laporan kasus respiro pediatri arzia
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
BRONKOPNEUMONIA DAN
LARINGOTRAKEOMALASIA
Oleh :
Arzia Pramadi Rahman
H1A 007 003
Pembimbing
dr. Sang Ayu K. Indriyani, SpA, M. Kes.
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSU PROVINSI NTB
MATARAM
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Bronkopneumonia merupakan suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah
yang terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Saluran pernapasan tersebut
tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk bercak-bercak konsolidasi di
lobulus yang berdekatan. Penyakit ini sering kali bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari
saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem
pertahanan tubuh. Bronkopneumonia dapat dijumpai sebagai infeksi primer biasanya pada
bayi, orang tua, atau orang-orang dengan sistem pertahanan tubuh yang lemah.
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan megurang
dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumococus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan bronkopneumonia
lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
Laringotrakeomalasia merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat
kelemahan struktur supraglotik serta kelemahan pada dinding trakea yang terjadi secara
bersamaan sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas serta menimbulkan
gejala utama berupa stridor. Laringomalasia dan trakeomalasia dapat
pula terjadi secara tersendiri-sendiri.
Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua kelainan kongenital tersering
pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus,bayi,dan anak yang sering menyebabkan
stridor. Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada
anak perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan tetapi
dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu,
laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan
pertumbuhan pada anak.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Bronkopneumonia
1.1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru dimana asinus terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai
infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium. Secara klinis pneumonia didefinisikan
sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus,
jamur, parasit), bahan kimia, radiasi, aspirasi, obat-obatan dan lain-lain.
Bronkopneumonia merupakan suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian
bawah yang terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Saluran
pernapasan tersebut tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk
bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang berdekatan. Penyakit ini sering kali bersifat
sekunder, mengikuti infeksi dari saluran nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan
penyakit yang melemahkan sistem pertahanan tubuh. Bronkopneumonia dapat dijumpai
sebagai infeksi primer biasanya pada bayi, orang tua, atau orang-orang dengan sistem
pertahanan tubuh yang lemah.
1.2. Epidemiologi
Insidens penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan
kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat
(pneumonia komunitas/PK) atau di dalam rumah sakit/ pusat perawatan (pneumonia
nosokomial/PN).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza.
Insidensi pneumonia komunitas di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun
dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara
itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan
cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit
ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya,
2
sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka
pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan megurang
dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu disebabkan oleh
pneumococus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar, sedangkan
bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi.
1.3. Etiologi
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan
tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen penyebab pneumonia
pada anak bervariasi tergantung:
Usia
Status imunologis
Status lingkungan
Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
Status imunisasi
Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan. Virus
merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan sampai 2 tahun.
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan
bakteri gram negatif seperti E. coli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H.
influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan
remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi kuman atipik Chlamydia
pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae. Patogen penyebab bronkopneumonia yang
biasa dijumpai dapat dilihat pada Tabel 1. Selain faktor infeksi, bronkopneumonia juga
dapat disebabkan oleh faktor non infeksi yang terjadi akibat disfungsi menelan atau
refluks esophagus, meliputi:
Bronkopneumonia hidrokarbon: Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan
muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan
bensin).
Bronkopneumonia lipoid: Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak
secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
3
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi
horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat
paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
Tabel 1. Penyebab bronkopneumonia.
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerobStreptococcus grup B Streptococcus grup DListeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonieVirusCMVHMV
3 miggu – 3 bulan Bakteri BakteriClamydia trachomatis Bordetella pertusisStreptococcus pneumonia Haemophillus influenza tipe BVirus Moraxella catharalisAdenovirus Staphylococcus aureusInfluenza VirusParainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan – 5 tahun Bakteri BakteriClamydia pneumoniae Haemophillus influenza tipe BMycoplasma pneumonia Moraxella catharalisStreptococcus pneumonia Staphylococcus aureusVirus Neisseria meningitidesAdenovirus VirusRinovirus Varisela ZosterInfluenza Parainfluenza
5 tahun – remaja Bakteri BakteriClamydia pneumoniae Haemophillus influenzaMycoplasma pneumonia Legionella spStreptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Lanjutan Tabel 1. Penyebab bronkopneumonia.Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
5 tahun – remaja Virus
4
Adenovirus Epstein-BarrRinovirus Varisela zosterInfluenza Parainfluenza
1.4. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis
dan memberikan terapi yang lebih relevan.
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
Pneumonia interstitialis (bronkiolitis)
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut:
1. Usia kurang dari 2 bulan
5
a. Pneumonia berat
- Chest indrawing (subcostal retraction)
- Bila ada napas cepat (> 60 x/menit)
b. Pneumonia sangat berat
- tidak bisa minum
- kejang
- kesadaran menurun
- hipertermi / hipotermi
- napas lambat / tidak teratur
2. Usia 2 bulan-5 tahun
a. Pneumonia
- bila ada napas cepat
b. Pneumonia berat
- Chest indrawing
- Napas cepat dengan laju napas
> 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
c. Pneumonia sangat berat
- tidak dapat minum
- kejang
- kesadaran menurun
- malnutrisi.
1.5. Patofisiologi
Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring sampai
parenkim paru adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mekanisme pertahanan bersihan
mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik
yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di
alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka
mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Paru
terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme, antara lain:
6
Filtrasi partikel di hidung.
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis.
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk.
Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar.
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar.
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal.
Drainase melalui sistem limfatik.
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi, aspirasi,
hematogen dari fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sebagian besar pneumonia
timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari
respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau
viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Sehingga terjadi infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan
dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam
alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan
cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke
alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat
(consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.
Gambar 1. A: Pneumonia lobaris pada lobus inferior pulmo sinistra.B: Alveoli normal. C: Alveoli pada pneumonia.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan
7
memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel
pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri
yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh
alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN. Proses radang dapat dibagi atas 4
stadium yaitu:
Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti).
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
Stadium III (3 – 8 hari)
8
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
1.6. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien,
status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis bisa sangat berbeda,
bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala dan tanda pneumonia meliputi
gejala infeksi pada umumnya demam, menggigil, sefalgia, rewel, gelisah, dispnu,
pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung bahkan disertai
sianosis sekitar hidung dan mulut. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan
gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut.
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-tanda itu tidak
muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi nafas cuping hidung (neonetus),
takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu nafas interkosta dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa
batuk. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam saat bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas), perkusi redup,
fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi.
Frekwensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana.
Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi
thorak tidak bernilai diagnostik karena umumnya kelainan patologisnya menyebar.
Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut:
- usia kurang dari 2 bulan: ≥ 60 kali per menit
- usia 2 bulan -1 tahun : ≥ 50 kali per menit
9
- usia 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali per menit.
Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah
halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi
dan anak kecil karena kecilnya volume thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan
sulit diidentifikasi.
Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media,
faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi
yang sakit dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.
1.7. Diagnosis
Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-
menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan
nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda
sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang
atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai
muntah.
Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan
sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering
terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas (biasanya ≥ 38,5oC), dan
iritabel.
Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun. Pada perkusi lapangan paru
redup pada daerah paru yang terkena. Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan
menurun. Fine crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak
ditemukan pada bayi. Dan kadang terdengar juga suara bronkial.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada.
Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif /
produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Tabel 2. Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia.
10
Pemeriksaan Bakteri Virus MikoplasmaAnamnesisUmur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolahAwitan Mendadak Perlahan Tidak nyataSakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselangBatuk Produktif nonproduktif keringGejala penyerta Toksik Mialgia, ruam,
organ bermukosaNyeri kepala, otot, tenggorok
Pemeriksaan FisikKeadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuanDemam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºCAuskultasi Ronkhi ±, suara
Napas melemahRonkhi bilateral,Difus, mengi
Ronkhi unilateral, mengi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis yang
berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3 dengan predominan PMN pada pneumonia
bakteri. Lekosit >30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus. Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam
batas normal. Trombositosis >500.000/mm3 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan
cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-
anak kecil. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED)
yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED
tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.
Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada
pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu
atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus
pneumonia.
C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama
11
interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP
digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non
infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang
digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi
trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik
dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab
spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.
Kriteria Diagnosis
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini:
sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada.
panas badan.
Ronkhi basah sedang nyaring (crackles).
Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus.
Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan).
1.8. Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik. Pada
kasus tertentu terkadang perlu dilakukan tindakan pembedahan.
Terapi Suportif
Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah:
12
1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan
terutama dalam 24-48 jam
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan mengandung
gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana rutin
yang harus diberikan.
Terapi Kausatif
Tatalaksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena
berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan
antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak memerlukan
antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus
dengan bakteri.
Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit:
Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3 hari. Diwilayah
resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat dinaikan sampai 80-90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20 mg/kgBB) dibagi
dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam
- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB sehari
sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5 mg/kgBB sehari
sekali
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia tanpa komplikasi,
sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang
optimal
Tabel 3. Pemberian antibiotik berdasarkan umur.
Usia Rawat jalan Rawat Inap Bakteri Patogen
13
0-2 minggu 1. Ampisillin + Gentamisin 2. Ampisillin + Cefotaksim
- E. Coli- Streptococcus B- Nosokomial enterobacteria
>2-4 minggu 1. Ampisillin + Cefotaksim atau Ceftriaxon2. Eritromisin
- E. Coli- Nosokomial Enterobacteria- Streptococcus B- Klebsiella- Enterobacter- C. trachomatis
>1-2 bulan 1. Ampisillin + Gentamisin 2. Cefotaksim atau Ceftriaxon
- E. Coli and other Enterobacteria- H. influenza- S. pneumonia- C. trachomatis
>2-5 bulan 1. Ampisillin 2. Sefuroksim sefiksim
1. Ampisillin2. Ampisillin + Kloramfenikol Sefuroksim Ceftriaxon
- H. influenza- S. pneumonia
>5 tahun 1. Penisillin A2. Amoksisilin Eritromisin
1. Penisillin G2. Sefuroksim Seftriakson Vankomisin
- S. pneumonia- Mycoplasma
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam, maka ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan
kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit
seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).
Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,
dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab
pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap
penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan
untuk stafilokokkus adalah 3-4 minggu.
Terapi Pembedahan
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks atau pneumomediastinum.
14
1.9. Prognosis, Komplikasi, dan Pencegahan
Prognosis
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak kecil
berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3% sampai 5%.
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat diturunkan
sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang
terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
Komplikasi
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.
Pencegahan
Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah pneumonia.
Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai jenis vaksinnya. Berikut
vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat mencegah pneumonia:
1. Vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus (Invasive
Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia adalah PCV-7 dan
PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia
2. Vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. Vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. Vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. Vaksin influenza untuk mencegah influenza
2. Laringotrakeomalasia
2.1. Definisi
Laringomalasia merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat kelemahan
struktur supraglotik sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran nafas. Sedangkan
trakeomalasia merupakan kelainan yang terjadi akibat kelemahan pada dinding trakea.
Laringotrakeomalasia merupakan laringomalasia dan trakeomalasia
15
yang terjadi secara bersamaan dan menimbulkan gejala utama
berupa stridor. Maskipun demikian, laringomalasia dan trakeomalasia
memuliki perbedaan etiologi dan patofisiologi
2.2. Epidemiologi
Laringomalasia diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942.
Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi. Anak
laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak
perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan tetapi
dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu,
laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan
pertumbuhan pada anak. Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua kelainan
kongenital tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus,bayi,dan anak
yang sering menyebabkan stridor.
Hawkins dan Clark (1987) yang melakukan evaluasi dengan laringoskopi
fleksibel pada 453 pasien, menemukan 84 orang dengan laringomalasia primer dan 29
orang dengan laringomalasia sekunder. Sedangkan Nussbaum dan Maggi (1990)
melaporkan sebanyak 68% dari 297 anak dengan laringomalasia juga mempunyai
kelainan pernafasan lainnya. Pada penelitian Holinger pada 219 pasien dengan stridor,
kelainan kongenital pada laring dan trakea menempati urutan pertama (60,3%) dan
kedua (16%). Penyebab tersering keadaan stridor pada bayi ialah laringomalasia dan
trakeomalasia sebagai dua kelainan kongenital yang tersering pada laring (59,8%) dan
trakea (45,7%) pada neonatus, bayi dan anak-anak. Beberapa penelitian melaporkan
sebanyak 65-75% bayi dengan stridor disebabkan oleh laringomalasia. Pada 10-15%
kasus laringomalasia bersifat berat dan dibutuhkan suatu intervensi bedah untuk
penatalaksanaannya. Melissa dkk, menemukan dari 22 anak dengan laringomalasia, 2
(9,1%) diantaranya membutuhkan intervensi bedah karena laringomalasia berat.
2.3. Etiologi dan Patogenesis
2.3.1. Laringomalasia
Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori yang
menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan
model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada
16
laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan
yang keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam. Secara umum terdapat dua teori
patofisiologi laringomalasia, yaitu teori anatomi dan teori neurogenik.
Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan
tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Teori
anatomi pertama kali disampaikan oleh Sutherland dan Lack, 1897, setelah mempelajari
18 kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini
merupakan kelainan kongenital disertai dengan imaturitas jaringan pada bayi yang baru
lahir. Pada kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal
dominan. Teori ini didukung oleh penemuan Presscott yang mempelajari 40 pasien
dengan laringomalasia. Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek. Dan
sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantile yang semuanya bermanifestasi
berat yang membutuhkan intervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan
laringomalasia didapatkan bentuk laring infantile pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglottis
melipat seperti omega dan 5 sisanya memiliki epiglottis yang normal.
Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah
terlambatnya perkembangan kontrol neuromuskular dibanding dengan teori anatomi.
Thompson dan Turner melaporkan terjadinya prolap struktur supraglotis setelah
dilakukan pemotongan saraf laring pada percobaan binatang. Penelitian ini didukung
dengan beberapa laporan tentang pasien yang menderita laringomalasia setelah
mengalami luka neurologi. Peron, dkk melaporkan 7 pasien mengalami flasiditas plika
ariepliglotika setelah mengalami kerusakan otak berat. Keadaan ini digolongkan sebagai
“laringomalasia didapat”. Dua dari 7 pasien ini mengalami perbaikan keadaan neurologi
yang diikuti dengan kembali normalnya fungsi laring. Dilaporkan pula terjadinya
laringomalasia pada pasien yang mengalami paresis serebral (cerebral palsy), overdosis
obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi 21. Penyebab neurogenik
selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik lainnya. Belmont dan
Grundfast menemukan 80% dari 30 anak dengan laringomalasia mempunyai penyakit
refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10% mengalami apnea tidur
sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi atau imaturitas dari control
neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan tersebut. Pada kepustakaan
lain disebutkan PRGE ditemukan pada 35-68% bayi dengan laringomalasia dan
dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotik sehingga terjadi peningkatan
hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat
17
pula terjadi sebaliknya dimana laringomalasia menyebabkan PRGE akibat perubahan
gradien tekanan intraabdominal/ intratorakal.
Meskipun laringomalasia merupakan penyebab utama stridor dan obstruksi
napas pada bayi, namun laringomalasia dapat pula bermanifestasi akibat yang lain,
seperti pada atlet yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga
menarik plika ariepliglotika ke endolaring dan terjadi obstruksi nafas. Keadaan ini
disebut dengan laringomalasia akibat latihan fisik (exercise induced laringomalacia/
EIL), yang dapat terjadi baik pada anak-anak atau dewasa dan sering terjadi kesalahan
diagnosis dan dianggap asma, keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL
merupakan sindrom dimana terjadi sesak nafas yang berat, stridor dan mengi minimal
selama latihan fisik yang berlebihan yang tidak berespons dengan pengobatan β-agonis
dan kromolin sodium, namun gejala dapat berkurang bila latihan fisik dikurangi.
2.3.2. Trakeomalasia
Berdasarkan penyebabnya, kelainan trakeomalasia dapat terjadi primer atau
intrinsik dan sekunder. Pada trakeomalasia primer, abnormalitas terjadi hanya pada
dinding trakea, sedangkan pada trakeomalasia sekunder, penyebabnya adalah adanya
penekanan dari luar trakea yang menyebabkan melemah dan kolapnya trakea.
Trakeomalasia primer relatif jarang, dibandingkan yang sekunder. Kondisi yang dapat
menyebabkan trakeomalasia sekunder adalah fistel trakeoesofagus, abnormalitas
jantung dan pembuluh darah, trakeostomi, masa di mediastinum dan celah laring.
Berdasarkan luas kelainannya, trakeomalasia dapat terjadi di sepanjang trakea disebut
juga trakeomalasia umum atau terbatas pada segmen tertentu atau trakeomalasia lokal.
Terjadinya trakeomalasia umum, diduga berhubungan dengan proses pemisahan
trakea dari esophagus pada masa embrional, dimana trakea terlalu banyak menerima
jaringan. Pada pemeriksaan patologi rasio antara kartilago trakea dan membran
posterior menurun menjadi 2:1 sedangkan pada trakea normal rasio ini sekitar 4:1 atau
5:1. Wallo dan Emery menggap anomaly trakea ini sebagai kelainan congenital.
Trakeomalasia lokal dapat terjadi oleh beberapa penyebab. Diantaranya adalah
abnormalitas pembuluh darah yang menyebabkan penekanan eksternal saluran nafas.
Penekanan dari anterior trakea ini biasanya oleh arteri inominata atau arkus aorta atau
adanya penekanan oleh masa atau tiroid. Trakeomalasia lokal dapat pula terjadi setelah
trakeostomi, biasanya mengenai bagian superior dari stoma trakea. Hal ini dapat terjadi
akibat penggunaan kanul trakeostomi yang lama, ukuran terlalu besar atau bersudut
18
tajam, sehingga kanul bergesekan dengan cincin trakea di atas trakeostomi, menekannya
ke posterior dan dapat merusak kartilago, sehingga menyebabkan hilangnya rigitas
kartilago.
2.4. Manifestasi Klinis
2.4.1. Laringomalasia
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan
pada70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera
setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan kemudian. Pada beberapa bayi
tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau dipresipitasi
oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan bernada tinggi.
Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai usia 9 bulan dan
kemudian bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas bertambah seperti
saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau posisi supinasi. Setelah itu keadaan
makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama 4 tahun 2 bulan. Tidak ada
korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan derajat atau waktu serangan. Stridor
dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan epigastrium akibat usaha
pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam keadaan pektus ekskavatum. Masalah
makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita laringomalasia
biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah sesudah makan.
Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal tumbuh.
Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan
regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat
sekunder dari tekanan negative yang tinggi di esophagus intratorak pada saat inspirasi.
Pneumonitis aspirasi dilaporkan terjadi pada 7% anak dengan laringomalasia.
Mekanisme kelainan ini belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan tekanan
negatif dan masalah makan.
Obstructive sleep apnea (23%) dan central sleep apnea (10%) juga ditemukan.
Keadaan hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas yang lama akan berisiko
tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam jiwa dan timbul hipertensi
pulmonal, yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia jantung, penyakit paru
obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat sekunder dari
laringomalasia.
19
Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat
klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk mempermudah
pemilihan teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya adalah sebagai berikut: tipe 1,
yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu
memendeknya plika ariepiglotika; tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.
Bentuk omega epiglotis tidak selalu menjadi ciri khas karena ini hanya ditemukan pada
30-50% pasien, dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor.
2.4.2. Trakeomalasia
Keadaan trakeomalasia akan memberikan gejala bila kolapsnya anteroposterior
lumen trakea lebih dari 40%. Pada keadaan trakeomalasia, dapat terjadi stridor inspirasi,
ekspirasi atau bifasik. Stridor inspirasi, ekspirasi, atau bifasik. Stridor inspirasi terjadi
pada trakeomalasia ekstratoraks, stridor ekspirasi pada trakeomalasia intratoraks dan
bifasik jika mencakup ekstra dan intratoraks. Namun pada umumnya stridor ekspirasi
yang sering ditemui. Stridor dapat terdengar bernada tinggi, menyerupai mengi asma.
Munculnya stridor dapat terjadi saat lahir, tetapi biasanya baru terdengar setelah bayi
lebih aktif atau terdapat infeksi saluran nafas. Stridor juga dapat dicetuskan bila
menangis, batuk, dan makan. Pada keadaan yang berat, stridor terdengar bahkan saat
istirahat. Seperti halnya pada laringomalasia, terdapat pula kesulitan makan akibat
koordinasi kurang baik antara proses bernafas dengan menelan. Stridor dapat menjadi
lebih keras saat makan namun aspirasi biasanya tidak terjadi.
Pada pemeriksaan endoskopi akan tampak gerakan trakea dan bronkus yang
berlebihan saat bernafas, dimana dinding membran posterior saluran trakeobronkial
tampak mendekati dinding anterior. Dan bila dibutuhkan ekspirasi paksa, seperti saat
menangis atau batuk, dinding dapat saling mendekat.
Penyempitan lumen trakea dapat bersifat ringan sampai berat. Berdasarkan
beratnya obstruksi, Mair dan Parson membagi kelainan ini menjadi obstruksi ringan,
bila obstruksi kurang dari 70%, sedang bila obstruksi 70-90% dan berat bila lebih dari
90%.
Berdasarkan gejala klinis, trakeomalasia terbagi 3 yaitu ringan, sedang dan berat.
Pada trakeomalasia ringan, penderita mengalami kesulitan pernafasan yang terkait
dengan proses infeksi seperti croup atau bronkitis, dan kesulitan mengeluarkan dahak.
Pada penderita trakeomalasia sedang terdapat stridor, wheezing, infeksi pernafasan
berulang dan kadang-kadang ditemukan sianosis. Sedangkan trakeomalasia berat jika
20
didapatkan gejala stridor pada saat istirahat, retensi sputum, obstruksi jalan nafas atas
dan henti jantung.
Trakeomalasia yang terjadi akibat penekanan arteri inominata, pada pemeriksaan
endoskopi akan tampak sebagai penekanan trakea di anterior kanan di atas karina. Pada
penekanan trakea oleh arkus aorta dobel yang melingkari trakea dan cabang utama
bronkus akan tampak gambaran penekanan konsentrik atau segitiga.
Trakeomalasia ringan-sedang masih dapat diharap membaik sejalan dengan
perkembangan traktus trakeobronkial yang makin membesar, dan biasanya menghilang
setelah usia 1-2 tahun.
2.5. Diagnosis
2.5.1. Laringomalasia
Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi. Dari anamnesis
ditemukan riwayat stridor inspiratoris mulai 2 bulan awal kehidupan, suara biasa
muncul pada minggu 4-6 awal, stridor berupa tipe inspiratoris dan tidak terdapat sekret
nasal, stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika
terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah
makan. Tangisan bayi biasanya normal. Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika diberi
makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada refluks
pada bayi. Bayi gembira dan tidak menderita. Pada pemeriksaan fisis ditemukan bayi
dapat berinteraksi secara wajar, dapat terlihat takipneu ringan, tanda-tanda vital normal.
Biasanya terdengar aliran udara nasal, Suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang.
Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk mendengar tangisan bayi selama
pemeriksaan. Stridor murni berupa inspiratoris. Suara terdengar lebih jelas di sekitar
angulus sternalis.
Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis laringomalasia adalah dengan
menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark menyatakan bahwa
laringoskopi fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan
dilakukan pada anak dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui kedua hidung
tanpa adanya premedikasi. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring,
dan supraglotis. Pada laringomalasia, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun
pada keadaan berat, sulit memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis.
21
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko
terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan penilaian
keadaan subglotis kurang akurat. Masih menjadi perdebatan apakah setiap bayi dengan
dugaan laringomalasia harus melalui pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi
meskipun pemeriksaan tersebut masih merupakan standar baku untuk menilai obstruksi
nafas, mengingat pemeriksaan ini memiliki beberapa kelemahan bagi neonatus, seperti
resiko anestesi dan instrumentasi, alat endoskopi yang khusus, ahli anestesi yang
handal, mahal dan waktu yang lebih lama, sehingga mungkin ada keterlambatan
diagnosis.
Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi
dan bronkoskopi. Kriterianya adalah:
1. Bayi dengan gangguan pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau
pneumonia berulang.
2. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia pada
laringoskopi fleksibel.
3. Bayi dengan lesi lain di laring.
4. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti.
Nusbaum dan Maggi melaporkan 68% dari 297 anak dengan laringomalasia mempunyai
kelainan pernafasan lainnya yang ditemukan dengan bronkoskopi.
2.5.2. Trakeomalasia
Pada trakeomalasia, diagnosis ditegakkan dengan trakeobronkoskopi, dimana
penurunan diameter trakea lebih dari 50% pada saat ekspirasi dianggap abnormal.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah esofagogram, sine-tomografi komputer
atau ultrafast, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Esofagogram berguna untuk
melihat anomali vaskular seperti arkus aorta dobel serta dapat menilai bila ada
perubahan pada dimensi anteroposterior trakea. Sinetomografi komputer atau ultrafast
merupakan modalitas terbaru yang tidak invasif dan dapat menunjukkan letak, luas,
derajat, dan dinamika kolapsnya trakea dan bronkus. Sementara itu pemeriksaan dengan
MRI baik untuk menilai adanya anomali vaskular dan massa mediastinum, tapi kurang
sensitif untuk membedakan stenosis trakea dari trakeomalasia.
22
Gambar 2. Gambaran radiologis trakeomalasia.
Peran radiologi konvensional posisi anteroposterior dan lateral pada
laringotrakeomalasia tidak terlalu banyak membantu karena kelainan ini merupakan
suatu proses dinamik, namun dapat membantu menyingkirkan penyebab lain. Bila foto
diambil saat inspirasi, maka bergeraknya aritenoid, plika ariepiglotika dan epiglotis ke
inferior dan medial dapat terlihat sebagai pengembungan dari ventrikel laring dan
hipofaring. Fluoroskopi akan lebih baik menggambarkan proses dinamik ini dan letak
kolaps dapat terlihat pada saat inspirasi disertai dilatasi pada hipofaring akibat obstruksi
di daerah laring. Pada trakeomalasia pembuatan foto tidak dapat hanya menggunakan
film tunggal. Namun bila pada film tunggal ditemui penyempitan segmen trakea yang
panjang lebih dari 50%, maka dapat dicurigai adanya trakeomalasia. Proses dinamik
trakea dapat diperlihatkan melalui film multiple pada posisi yang sama atau dengan
fluoroskopi. Letak penyempitan trakea intermitten akan terlihat berbeda pada setiap
siklus pernafasan. Trakea kolaps lebih dari50 % saat ekspirasi merupakan poin
diagnostik dari trakeomalasia.
2.6. Diagnosis Banding
Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring dan trakea merupakan
diagnosis banding dari laringotrakeomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi,
trauma, benda asing, tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea.
23
2.7. Penatalaksanaan
2.7.1. Laringomalasia
Kira-kira hampir 90% kasus laringomalasia bersifat ringan dan tidak
memerlukan intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah
memberi keterangan dan keyakinan untuk menenangkan orang tua pasien tentang
prognosis dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan
pertumbuhan yang normal dapat dicapai.
Pada laringomalasia yang berat, akan tampak gejala obstruksi nafas yang disertai
retraksi strenal dan interkosta, baik saat tidur atau terbangun, sulit makan, refluks berat,
dan gagal tumbuh. Anak-anak yang mengalami hal ini beresiko mengalami serangan
apnea. Keadaan hipoksia akibat obstruksi nafas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal
dan terjadi cor pulmonal. Menurut Jackson dan Jackson, 1942, pada keadaan berat ini
maka intervensi bedah tidak dapat dihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat
jalan pintas berupa trakeostomi sampai masalah teratasi. Namun pada anak-anak, resiko
morbiditas dan mortalitas trakeostomi beresiko tinggi.
Gambar 3. Supraglottoplasti.
Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat
dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe 1,
dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang tindih,
dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral dengan
menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2 dikoreksi
24
dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan
mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3 ditangani
dengan cara eksisi melewati ligament glosoepiglotika untuk menarik epiglottis ke depan
dan menjahitkan sebagian dari epiglottis ke dasar lidah.
2.7.2. Trakeomalasia
Pendekatan penanganan trakeomalasia tergantung pada penyebab yang
melatarbelakanginya. Kebanyakan pasien trakeomalasia primer tanpa kelainan
kongenital lain dapat sembuh sendiri dalam waktu 1-2 tahun tanpa membutuhkan
tindakan bedah. Pasien hanya diberikan terapi konservatif berupa terapi oksigen yang
dilembabkan, pemberian makanan yang pelan dan bertahap, dan terapi terhadap infeksi
saluran nafas. Orang tua pasien harus diberikan dukungan serta informasi dan diajari
mengenai resusuitasi jika anaknya mempunyai riwayat apnea. Resusitasi yang dapat
diajarkan adalah memberikan tekanan positif pada trakea, melalui pernafasan mulut ke
mulut atau dengan sungkup (mask) atau balon (ambubag). Orang tua juga dipesankan
untuk mencegah anak menangis.
Pada trakeomalasia yang disebabkan penekanan trakea oleh arteri inominata
perlu dipikirkan untuk melakukan arteriopeksi yang dapat disertai dengan trakeopeksi.
Aortopeksi yaitu pengikatan dinding luar aorta ke sternum merupakan tindakan yang
dipilih pada penekanan oleh arkus aorta. Prosedur ini hanya diperbolehkan bila derajat
obstruksinya berat. Penggunaan kanul trakeostomi yang agak besar efektif menyangga
trakeomalasia yang terjadi di bagian tengah, namun kurang efektif bila kolaps trakea
terjadi di bagian bawah atau bronkus. Dengan adanya trakeostomi akan mempermudah
pemberian ventilasi dan menaikkan tekanan pada saluran nafas. Kanul yang panjang
dengan bagian ujung yang rata bukan miring dapat diletakkan diatas karina, namun
beresiko terjadinya stenosis pada daerah ujung kanul. Baru-baru ini telah ada kanul
yang menyangga karina membentuk bifurkasio dan bercabang dua untuk masuk ke
bronkus dan bersifat fleksibel. Tindakan operasi lainnya pada keadaaan yang berat
adalah pemasangan bidai eksternal atau internal, reseksi segmen dan tandur kartilago.
2.8. Prognosis
Laringotrakeomalasia mempunyai prognosis yang baik, karena hampir sebagian
kasus dapat hilang sendirinya dalam 1-2 tahun.
25
26
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien:
Nama lengkap : By. M.
Tempat dan tanggal lahir : Kuripan, 30 Juni 2012.
Umur : 3 bulan.
Jenis kelamin : Laki-laki.
Alamat : Kuripan, LOBAR.
Identitas keluarga : Anak kandung.
Ibu Ayah
Nama Ny. Mukminah Tn. Ismail
Umur 28 tahun 30 tahun
Pendidikan/Berapa tahun SD/kelas 3 Tidak sekolah
Pekerjaan Buruh Buruh
Masuk RS tanggal : 07-09-2012.
Diagnosis Masuk : Suspect Bronkopneumonia, laringotrakeomalasia, gizi kurang,
observasi konvulsi, anemia normokromik normositer ec fase awal
defisiensi Fe.
Keluar RS tanggal : 13-09-2012.
Lama Perawatan : 7 hari.
Keadaan saat KRS : Pengobatan lanjut (rawat jalan).
I. ANAMNESIS (tanggal 07-09-2012, diberi tahu oleh orang tua pasien).
Keluhan Utama: Sesak nafas.
1. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan RSU Gerung dengan pneumonia berat, anemia sedang, dan
observasi konvulsi, saat ini dikeluhkan mengalami sesak nafas sejak ± 3 minggu
yang lalu dan memberat dalam 2 hari terakhir. Sesak yang dialami pasien bersifat
hilang timbul, tidak tentu waktu kemunculannya, memberat bila pasien menangis
dan berkurang bila pasien tertidur. Sesak nafas yang dialami pasien disertai bunyi
27
melengking keras disertai dengan adanya tarikan pada dinding dada. Awalnya
keluhan sesak nafas yang dialami pasein tidak terlalu sering terjadi dengan
frekuensi 1-2 kali dalam sehari, namun dalam 2 hari terakhir keluhan tersebut
semakin sering muncul dan dapat terjadi sepanjang hari. Ibu pasien mengatakan
bahwa pasien sering tersedak saat diberi ASI dan terkadang memuntahkan ASI
tersebut yang mulai terjadi sejak berusia ± 1 bulan. Ibu pasien menyangkal adanya
kebiruan pada bibir maupun bagian tubuh pasien yang lain saat sesak terjadi.
Pasien juga dikeluhkan mengalami batuk dan pilek sejak ± 3 minggu yang lalu.
Batuk hilang timbul dan tidak berdahak, serta pilek dengan ingus encer berwarna
putih bening tidak berbau.
Pasien pernah mengalami kejang pada seluruh tubuh disertai demam tinggi saat
berada di RSU Gerung sebanyak 2 kali, masing-masing berlangsung selama ± 1
menit, dengan jarak ± 1 jam antara kedua kejang tersebut dan pasien dikatakan
sadar diantara kejang tersebut serta setelahnya. Kemudian pasien kembali kejang
seluruh tubuh 1 kali lagi saat berada dalam proses perujukan / perjalanan dari RSU
Gerung ke RSUP NTB di Ambulan yang berlangsung ± 1 menit dan pasien
diktakan kembali sadar setelah kejang tersebut. Pasien tidak pernah mengalami
kejang lagi setelah saat itu.
BAB (+) normal, frekuensi 1-2 kali perhari, konsistensi lunak, berwarna kuning
kecoklatan, darah(-), lendir (-). BAK (+) normal, frekuensi 5-6 kali perhari, volume
±200 cc tiap BAK, berwarna kuning jernih, merah seperti teh (-).
2. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
Riwayat sesak napas berulang sebelumnya diakui sejak berumur ± 1 bulan,
namun kali ini memberat sehingga dibawa berobat.
Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
Riwayat alergi makanan / obat disangkal.
Riwayat gusi berdarah, mimisan, mudah memar, darah sukar membeku
disangkal.
Riwayat masuk rumah sakit sebelumnya disangkal.
3. Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:
28
Ayah pasien saat ini dikeluhkan batuk-pilek yang hilang timbul sejak ± 1
minggu yang lalu.
Riwayat sesak napas, sering bersin pagi hari pada keluarga disangkal.
Riwayat kejang pada keluarga disangkal.
Riwayat alergi obat / makanan disangkal.
Riwayat kelainan darah (talasemia, hemofilia, leukemia) disangkal.
Riwayat batuk lama (>3minggu) pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga
lain, tetangga sekitar disangkal.
4. Riwayat Keluarga (ikhtisar)
Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara. Pasien memiliki seorang kakak
perempuan berusia 8 tahun.
5. Riwayat Pengobatan
Sesak awal : tidak diberikan pengobatan, dibawa ke PKM Gerung kemudian
dirujuk ke RSU Gerung.
RSU Gerung :
o 06.30 : O2 headbox 10 liter / menit; IVFD KAEN 3B 20 tpm mikro; Inj.
Ampicilin 4 x 125 mg; Inj. Gentaicin 1 x 27 mg.
o 15.30 : Inj. Diazepam 2,5 mg.
o 17.00 : Inj. Dexamethasone 3 x 1,5 mg; Nebulize & NaCl 4cc + suction
tiap 6 jam.
o 17.30 : Aminophiline 45 mg bolus i.v.; puasa.
IGD RSUP : O2 1,5 liter / menit; IVFD KAEN 3B 15 tpm mikro; Inj.
Ampicilin 4 x 125 mg; Inj. Gentaicin 1 x 27 mg; Inj.
Dexamethasone 3 x 1,5 mg; Nebulize Cobivent tiap 6 jam.
Riwayat Pribadi
1. Riwayat kehamilan dan persalinan
Ibu pasien rutin ANC di Puskesmas, > 4 kali selama mengandung pasien.
Riwayat sakit berat dan minum obat-obatan selama hamil disangkal Ibu pasien.
Riwayat konsumsi obat penambah darah dari Puskesmas (+) sejak bulan pertama
kehamilan sampai menjelang persalinan.
29
Selama ANC, tidak ditemukan kelainan pada janin atau Ibu (riwayat perdarahan,
muntah berlebihan, demam selama kehamilan disangkal; bidan juga mengatakan
letak dan perkembangan janin normal).
Pasien lahir spontan di PKM, ditolong Bidan, lahir cukup bulan dengan berat
lahir 2900 gram. Lahir langsung menangis, riwayat biru setelah lahir (-), kuning
setelah lahir (-).
2. Riwayat nutrisi
ASI saja (+) hingga saat ini.
Pemberian PASI (bubur/pisang/nasi) belum pernah dilakukan.
Pemberian susu formula disangkal.
3. Perkembangan dan kepandaian
Orang tua pasien mengakui bahwa pasien sudah mulai bisa tersenyum jika ada
yang tersenyum padanya serta bereaksi terhadap suara-suara tertentu.
4. Vaksinasi
Vaksin A. Dasar B. Ulangan
BCG Pada umur: 2 bulan.
Hepatitis-B Pada umur: 3 hari setelah lahir. Pada umur: 1 bulan.
Polio Pada umur: 3 hari setelah lahir. Pada umur: 2 bulan.
DPT Pada umur: 2 bulan. Pada umur : (-)
Campak Pada umur: (-)
Orangtua mengaku pasien telah mendapatkan imunisasi dasar sesuai dengan
umur pasien.
5. Sosial ekonomi dan lingkungan
Keluarga pasien termasuk sosial-ekonomi rendah, orang tua pasien bekerja sebagai
buruh dengan penghasilan per bulan tidak tentu sekitar Rp.500.000-750.000 per
bulan.
Pasien tinggal berempat bersama orang tua dan kakaknya.
Ayah pasien adalah perokok aktif (2-3 batang perhari) dan sering merokok di dekat
pasien.
30
Pasien tinggal di daerah perkampungan yang jarak antar rumah saling berdekatan
(halaman sempit). Rumah pasien berdinding bata, beratap genteng, lantai semen,
jumlah kamar 2 dengan ukuran 3x3 m, ventilasi ruangan sedikit, keadaan rumah
cukup lembab, sirkulasi udara kurang, pencahayaan kurang. Dapur dan kamar
mandi terpisah dari rumah, memasak menggunakan kompor kayu, asap kompor
sampai ke dalam rumah. Sumber air untuk MCK dari air sumur. Air minum dari air
PAM, diakui dimasak dulu. Kebiasaan menggunakan sabun untuk cuci tangan
jarang dilakukan.
II. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 07-09-2012)
Status Present
- KU : Tampak sakit berat.
- Kes : Waspada.
- RR : 62 x/menit, tipe: abdominothorakal, stridor (+) inspirasi > ekspirasi.
- Nadi : 163 x/menit, isi dan kuat angkat cukup, teratur.
- T ax : 38,3°C.
- CRT : <2 detik.
Status Gizi
- Berat badan : 4,5 Kg.
- Panjang badan : 51 cm.
- Lingkar kepala: 35 cm: < [-2] SD.
- Z-score:
o BB/TB = [2] s/d [3] SD.
o BB/U = [2] s/d [-2] SD.
o PB/U = < [-3] SD.
- Kesimpulan status gizi : Kurang.
Lingkar kepala: 35 cm: < [-2] SD
31
BB/TB = [2] s/d [3] SD.
BB/U = [2] s/d [-2] SD.
32
PB/U = < [-3] SD.
Status General :
33
o Kepala dan Leher :
Kepala : Bentuk : mikrosefali
UUB : datar, belum menutup
UUK : datar, belum menutup
Rambut : Warna : hitam
Tebal/tipis : tebal
Distribusi : tidak jarang
Alopesia : tidak ada
Mata : Palpebra : tidak edema
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : anemis
Sklera : tidak ikterik
Produksi air mata : cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm
Simetrisitas : isokor, normal
Reflek cahaya : +/+
Kornea : jernih
Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : minimal
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan cuping hidung : tidak ada
Epistaksis : tidak ada
Sekret : ada, bening.
Mulut : Bentuk : normal
Bibir : mukosa bibir kering, sianosis tidak ada
Gusi : tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
34
Faring : Hiperemi : Ada
Edema : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
Tonsil : Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
Leher : Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat
Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Massa : tidak ada
Tortikolis : tidak ada
o Thoraks :
Dinding dada/paru :
Inspeksi: Bentuk : simetris, pectus excavatum
Retraksi : Ada, subcostal
Dispnea : ada
Pernafasan : abdomino-thorakal
Palpasi: kesan simetris, massa (-)
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler
Suara Napas Tambahan : Rhonki (+/+) basah halus, Wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi: Iktus : tidak terlihat
Palpasi: Apeks : tidak teraba
Thrill : tidak ada
Perkusi: Batas kanan : kesan ICS IV LPS dextra
Batas kiri : kesan ICS V LMK sinistra
Batas atas : kesan ICS II LPS dextra
Batas bawah : kesan ICS IV LMK sinistra
Auskultasi: Frekuensi : 163 x/menit
Suara dasar : S1 dan S2 tunggal
Bising : tidak ada
35
o Abdomen
Inspeksi: Bentuk : datar,
tampak depan : proporsi perut lebih besar daripada pinggul dan paha
tampak samping : bantalan bokong tipis
tampak belakang : baggy pants (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi: Timpani, asitestidak ada
Palpasi: Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa : tidak ada
o Anggota Gerak:
Tungkai Atas Tungkai BawahKanan Kiri Kanan Kiri
Akral hangat + + + +Edema - - - -Pucat + + - -Kelainan bentuk - - - -Pembengkakan Sendi
- - - -
Pembesaran KGBLeherAxillaInguinal
---
---
---
---
o Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (-), sklofuloderma (-)
o Urogenital : Laki-laki dan tidak tampak kelainan
o Vertebrae : tidak tampak kelainan
36
III. RESUME
Pasien laki-laki usia 3 bulan datang dengan keluhan sesak nafas sejak ± 3 minggu
yang lalu dan memberat dalam 2 hari terakhir. Sesak yang dialami pasien bersifat hilang
timbul, semakin sering terjadi, memberat bila pasien menangis dan berkurang bila pasien
tertidur, disertai bunyi melengking keras dengan adanya tarikan pada dinding dada. Pasien
sering tersedak saat diberi ASI dan terkadang memuntahkan ASI tersebut yang mulai
terjadi sejak berusia ± 1 bulan. Ibu pasien menyangkal adanya kebiruan pada bibir maupun
bagian tubuh pasien yang lain saat sesak terjadi. Pasien juga mengalami batuk hilang
timbul dan tidak berdahak, serta pilek dengan ingus encer berwarna putih bening tidak
berbau sejak ± 3 minggu yang lalu. Pasien pernah mengalami kejang pada seluruh tubuh
disertai demam tinggi saat berada di RSU Gerung sebanyak 2 kali, masing-masing
berlangsung selama ± 1 menit, dengan jarak ± 1 jam antara kedua kejang tersebut dan
pasien dikatakan sadar diantara kejang tersebut serta setelahnya. Ayah pasien saat ini
dikeluhkan batuk-pilek yang hilang timbul sejak ± 1 minggu yang lalu, namun riwayat
batuk lama (>3minggu) pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga lain, ataupun
tetangga sekitar disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan N: 163x/menit, isi dan kuat angkat cukup, RR:
62 x/menit dengan tipe abdominothorakal disertai stridor (+), suhu aksila 38,3°C, status
gizi kurang, mikrosefali, konjungtiva anemis (+), adanya secret pada hidung, faring dan
tonsil hiperemi (+), bentuk dada pectus excavatum disertai adanya retraksi subcostal,
rhonki basah halus pada basal paru kiri dan kanan.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (tanggal 07/09/2012)
o WBC: 11,7 x103/μL N = 4x103 – 11x103/μL
o RBC: 2,90 x106/μL N = 3,5x106 – 5,0x106/μL
o HGB: 8,4 g/dl N = 12 – 16 g/dl
o HCT: 28,0% N = 37 – 48%
o MCV: 96,6 fL N = 82 – 95 fL
o MCH: 29,0 pg N = 27 – 31 pg
o MCHC: 30,0 g/dL N = 29 – 36 g/dL
o PLT: 543 x103/μL N = 150x103 – 400x103/μL
37
V. DIAGNOSIS KERJA
Suspek Bronkopneumonia
Laringotrakeomalasia
Gizi Kurang
Observasi Konvulsi
Anemia normokromik normositer e.c. fase awal defisiensi Fe
o Anemia e.c. penyakit kronis
VII. RENCANA AWAL
Rencana Diagnostik
Laboratorium: MDT, Retikulosit, AGD, elektrolit.
Ro thoraks AP + Lateral dekstra.
Rencana terapi
O2 2 liter/menit.
Tidur posisi miring kanan atau kiri.
Konsul fisioterapi.
Kebutuhan cairan:
o Kebutuhan cairan total: 10 kg pertama = 100 cc/kgBB/hari.
100 cc/kgBB/hari x 4,5 kg = 450 cc/hari.
o Enteral: Pasang NGT ASI peras per NGT 10 cc setiap 3 jam.
10 cc x 8 kali pemberian = 80 cc.
o Parenteral: Kebutuhan cairan total – enteral.
450 cc/hari – 80 cc/hari = 370 cc/hari.
370 cc/24 jam = 15,416 cc/jam.
15,416 cc/60 menit = 0,256 cc/menit.
0,256 cc/menit x 60 tetes mikro/menit = 15,416 tetes mikro/menit.
IVFD D5 ¼ NS 15 tetes mikro/menit.
Inj. Ampicillin 4 x 125 mg i.v.
Gentamicin 3 x 12,5 mg i.v.
Bila demam, paracetamol 67,5 mg suppositoria.
Bila kejang, diazepam 1,5 mg i.v. pelan.
38
Nebulisasi combivent dan epinefrin secara bergantian setiap 6 jam.
Rencana Monitoring
Observasi keadaan umum dan tanda vital.
Cek SpO2 setiap 6 jam.
Rencana KIE
Motivasi keluarga untuk pemberian ASI peras secara rutin sesuai jadwal yang telah
ditentukan.
Memberi keterangan dan meyakinkan orang tua pasien mengenai kondisi yang
sedang dialami pasien dan tindak lanjut yang akan dilakukan.
FOLLOW UP
Tanggal 08/09/2012
Keluhan: demam (+), sesak nafas berkurang, kejang (-), BAB (+) normal, BAK (+)
normal.
KU: Tampak sakit sedang.
Kes: Waspada
RR: 44 x/menit, tipe: abdominothorakal, stridor (+) berkurang, retraksi
subcosta (+) berkurang, auskultasi pulmo vesikuler (+/+), ronkhi (+/+),
wheezing (-/-).
SpO2: 94% dengan O2 2 liter/menit.
Nadi: 132 x/menit, isi dan kuat angkat cukup, teratur.
T ax: 37,3°C.
Pemeriksaan Penunjang :
o Analisis Gas Darah
Asam/Basa:
- pH: 7,43 N = 7,20 – 7,60
- PCO2: 30 mmHg N = 30 – 50 mmHg
- PO2: 73 mmHg N = 70 – 700 mmHg
- BE: -3,6 mmol/L
- tCO2: 21,0 mmol.L
- HCO3: 20,1 mmol/L
39
- stHCO3: 21,5 mmol/L
Elektrolit:
- Na+: 135 mmol/L N = 135 – 145 mmol/L
- K+: 4,9 mmol/L N = 3,5 – 5,1 mmol/L
- Ca2+: 0,39 mmol/L N = 1,12 – 1,32 mol/L
Status Hemoglobin/Oksigen:
- tHb: 7,5 g/dL N = 12,0 – 17,0 g/dL
- SO2: 95% N = 90 – 100 %
- Hct: 25%
Terapi:
o Terapi lanjut.
o Transfusi PRC 50 cc.
Tanggal 10/09/2012
Keluhan: demam (-), sesak nafas berkurang, bunyi pernafasan berkurang, kejang (-),
BAB (+) normal, BAK (+) normal.
KU: Tampak sakit sedang.
Kes: Waspada.
RR: 40 x/menit, tipe: abdominothorakal, stridor (+) berkurang, retraksi
subcosta (+) berkurang, auskultasi pulmo vesikuler (+/+), ronkhi (±/±),
wheezing (-/-).
SpO2: 93% dengan O2 2 liter/menit.
Nadi: 132 x/menit, isi dan kuat angkat cukup, teratur.
T ax: 37,3°C.
Pemeriksaan Penunjang:
o MDT: (sampel diambil tanggal 07/09/2012)
- Kesan eritrosit: normositik normokromik.
- Kesan leukosit: jumlah cukup, netrofilia relatif.
- Kesan Trombosit: Jumlah sedikit meningkat, penyebaran tidak merata, clumps
(+), trombosit besar.
- Kesimpulan: Gambaran anemia mikrositik hipokromik disertai proses infeks
bacterial.
40
- Hasil pemeriksaan:
WBC: 11,7 x103/μL N = 4x103 – 11x103/μL
HGB: 8,4 g/dl N = 12 – 16 g/dl
HCT: 28,0% N = 37 – 48%
PLT: 543 x103/μL N = 150x103 – 400x103/μL
o Darah Lengkap
- WBC: 8,62 x103/μL N = 4x103 – 11x103/μL
- RBC: 3,68 x106/μL N = 3,5x106 – 5,0x106/μL
- HGB: 10,8 g/dl N = 12 – 16 g/dl
- HCT: 36,1% N = 37 – 48%
- MCV: 98,1 fL N = 82 – 95 fL
- MCH: 29,2 pg N = 27 – 31 pg
- MCHC: 29,8 g/dL N = 29 – 36 g/dL
- PLT: 384 x103/μL N = 150x103 – 400x103/μL
o Roentgen Thorax AP – Lateral Dextra
41
- Infiltrat suprahilus dextra et sinistra.
Kesan: Bronkopneumonia aspirasi.
Terapi:
o Terapi lanjut.
o Coba aff O2.
o Fisioterapi dada.
o Coba refleks hisap.
Tanggal 11/09/2012
Keluhan: demam (-), sesak nafas berkurang, bunyi pernafasan berkurang, kejang (-),
ASI (+), BAB (+) normal, BAK (+) normal.
KU: Tampak sakit ringan.
Kes: Waspada.
42
RR: 40 x/menit, tipe: abdominothorakal, stridor (+) berkurang, retraksi
subcosta (+) berkurang, auskultasi pulmo vesikuler (+/+), ronkhi (±/±),
wheezing (-/-).
SpO2: 98% tanpa O2.
Nadi: 128 x/menit, isi dan kuat angkat cukup, teratur.
T ax: 36,1°C.
Terapi:
o Terapi lanjut.
o Aff O2.
o Aff NGT.
o Nebulisasi combivent dan epinefrin (hanya pada malam hari) secara bergantian
setiap 6 jam.
Tanggal 12/09/2012
Keluhan: demam (-), sesak nafas berkurang, bunyi pernafasan berkurang, kejang (-),
ASI (+), BAB (+) normal, BAK (+) normal.
KU: Tampak sakit ringan.
Kes: Waspada.
RR: 34 x/menit, tipe: abdominothorakal, stridor (+) berkurang, retraksi
subcosta (+) berkurang, auskultasi pulmo vesikuler (+/+), ronkhi (±/±),
wheezing (-/-).
Nadi: 128 x/menit, isi dan kuat angkat cukup, teratur.
T ax: 36,1°C.
Terapi:
o Stop semua nebulisasi.
o Aff IVFD, stop injeksi, ganti oral :
- Amoxicillin 3 Cth ½.
- Fe 2 x 10 mg.
- Salbutamol 3 dd Pulv I.
o Rencana EEG.
43
Tanggal 13/09/2012
Keluhan: demam (-), sesak nafas (-), bunyi pernafasan (-), kejang (-), ASI (+), BAB
(+) normal, BAK (+) normal.
KU: Tampak sakit ringan.
Kes: Waspada.
RR: 32 x/menit, tipe: abdominothorakal, stridor (-), retraksi (-), auskultasi
pulmo vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Nadi: 128 x/menit, isi dan kuat angkat cukup, teratur.
T ax: 36,5°C.
Terapi:
o BPL.
o Lanjutkan terapi oral.
44
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan suspect bronkopneumonia,
laringotrakeomalasia, gizi kurang, observasi konvulsi, dan anemia normokromik
normositer ec fase awal defisiensi Fe. Pasien merupakan anak laki-laki berumur 3 bulan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Dalam kasus ini, pasien yang mempunyai keluhan sesak nafas yang hilang timbul
sejak ± 3 minggu yang lalu dan memberat dalam 2 hari terakhir. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan laju pernafasan 62 x/menit disertai dengan adanya stridor (+). Pada bagian
thoraks tampak adanya retraksi subcostal. Pada saat auskultasi didapatkan rhonki (+/+).
Adanya retraksi subcostal dan stridor pada pasien berusia 3 bulan mengarahkan diagnosis
suspek laringotrakeobronkomalasia.
Laringotrakeobronkomalasia merupakan deformitas atau kelemahan dinding jalan
nafas congenital, menyebabkan kolaps dan obstruksi jalan nafas pada saat inspirasi.
Stridor disebabkan oleh meningkatnya kecepatan turbulensi udara akibat
penyempitan/obstruksi laring yang sedang membuka pada region subglotis, serta getaran
dari lipatan pita suara, atau akibat penyempitan pada trakea yang terjadi karena tekanan
dinamik selama inspirasi yang berasal dari tekanan negatif dalam trakea di bagian distal
obstruksi. Untuk memastikan diagnosis laringotrakeobronkomalasia perlu dilakukan
pemeriksaan laringoskopi dan bronkoskopi.
Adanya sesak nafas yang memeberat, frekuensi nafas cepat, retraksi, rhonki,
riwayat tersedak saat minum ASI, disertai dengan pemeriksaan penunjang berupa hasil
foto thoraks adanya infiltrat suprahilus dextra-sinistra dan hasil laboratorium darah
lengkap berupa peningkatan leukosit sehingga dicurigai terjadi bronkopneumonia
aspirasi.
Setelah diukur panjang badan dan berat badannya, pasien dinyatakan mengalami
status gizi kurang. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya laringotrakeomalasia yang
menyebabkan terjadinya sesak nafas pada pasien sejak lahir sehingga dapat menganggu
intake nutrisi pada pasien, dimana pemberian ASI oleh Ibu menjadi tidak adekuat. Oleh
karena itu perlu dilakukan edukasi kepada keluarga pasien terutama ibunya untuk terus
memberikan ASI setiap 3 jam dengan durasi paling tidak 30 menit, dan mencegah
terjadinya tersedak dengan cara lebih menegakkan posisi tubuh bayi saat diberi ASI.
45
Konvulsi atau kejang dapat disebabkan oleh berbagai penyebab diantaranya
adalah asfiksia, ensefalopati hipoksia, perdarahan intrakranial, metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesemia, hipo/hipernatremia), infeksi, ataupun kejang yang
disebabkan oleh penggunaan obat-obat tertentu. Dari penyebab-penyebab yang telah
disebutkan, kejang pada kasus ini paling besar kemungkinan disebabkan oleh hipoksia
bisa terjadi akibat penurunan fungsi jaringan paru sebagai organ pertukaran udara
sehingga menyebabkan otak kekurangan oksigen untuk kebutuhan metabolismenya.
Berkurangnya kemampuan paru-paru ini dapat disebabkan oleh bronkopneumonia dan
kondisi laringotrakeomalasia yang terjadi. Kejang pada pasien ini juga dapat merupakan
salah satu tanda yang mengarahkan diagnosis ke arah laringotrakeomalasia.
Hasil pemeriksaan darah lengkap saat pasien MRS menunjukkan kadar Hb 8,4
g/dL, MCHC 30,0 g/dL, MCV 96,6 fL, dan MCH 29,0 pg mengindikasikan adanya
kondisi anemia normokromik normositer pada pasien. Kondisi anemia ini dicurigai
kemungkinan besar akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat akibat keluhan sesak nafas
yang mengganggu pasien saat minum ASI. Akibatnya, kebutuhan nutrisi dan mineral
untuk pembentukan Hb, khususnya Fe, tidak terpenuhi.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC;
1997.
2. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher, Edisi 13, Jilid
1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994.
3. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson Textbook Of Pediatrics. 19 th ed.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2002.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
5. Novialdi, Rusdi D. Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia dan
Trakeomalasia. Padang: Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP dr. M.
Djamil; 2011.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idrid NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010.
7. Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008.
8. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 20.
Jakarta: EGC; 2006.
9. Soetjiningsih, Suandi IKG, Utama DL. Petunjuk Pemeriksaan Fisik Pada Bayi Dan
Anak. Denpasar: SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. 2001.
10. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta: FKUI; 2005.
11. WHO Indonesia. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi Rumah
Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia –
Depkes RI; 2010.
47