laporan kasus anestesi tonsilitis

47
GENERAL ANASTESI PADA PASIEN TONSILEKTOMI Disusun oleh : Ivana Putri Oktavia (030.07.123) Azmi Ikhsan Azhary (030.09.043) Eva Maris Sahara (030.09.080) Pembimbing : Dr. Dublianus, Sp.An Dr. Evita, Sp.An Dr. Tati, Sp.An KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI PERIODE 4 NOVEMBER – 7 DESEMBER 2013

Upload: amanda-mejia

Post on 24-Oct-2015

511 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

laporan kasus anastesi tonsilitis

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

GENERAL ANASTESI PADA PASIEN TONSILEKTOMI

Disusun oleh :

Ivana Putri Oktavia (030.07.123)

Azmi Ikhsan Azhary (030.09.043)

Eva Maris Sahara (030.09.080)

Pembimbing :

Dr. Dublianus, Sp.An

Dr. Evita, Sp.An

Dr. Tati, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI

PERIODE 4 NOVEMBER – 7 DESEMBER 2013

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Page 2: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan

meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,

pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan

penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu

operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari

persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan

pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,

masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.

Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan

kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis,

ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.

Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi yang telah

menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif

tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal

dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari

bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang

mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan

bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi

dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal menggunakan

elektrocauter.

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,

kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,

dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah

anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan

dengan tujuan untuk pendidikan.

Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi

umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi

tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang

menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. 2

Page 3: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual,

muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap

obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal5.

3

Page 4: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An Sp

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 14 tahun

Berat Badan : 41 kg

Agama : Islam

Alamat : Bojonegoro

No. RM : 369385

Diagnosis : Tonsilitis Kronik

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu kandung pasien

pada tanggal 20 November 2013, pukul 07.30 WIB di bangsal bougenville RSUD cilegon

a. Keluhan utama : Nyeri Tenggorokan

b. Riwayat penyakit sekarang :

Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 3 hari. Nyeri

telan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut orangtuanya,

keluhan nyeri telan dirasakan setelah beberapa hari, sebelumnya sempat

mengalami demam dan pilek. Nyeri telan tidak disertai dengan ngorok maupun

nafas tersengal-sengal saat tidur. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek

yang kumat-kumatan hampir tiap bulan. Saat ini pasien tidak mengeluhkan pilek,

hidung tersumbat, nyeri di kedua telinga, kurang pendengaran, gemerebek

maupun sakit kepala .

3 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum

dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1

bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan,

susah menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa setelah

mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembarangan dan berminyak. Saat ini

pasien tidak mengalami batuk dan pilek. Pasien juga tidak mengeluhkan demam.

c. Riwayat penyakit dahulu :4

Page 5: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

1) Riwayat asma disangkal

2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga:

Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien

disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada 24 April 2013

GCS : E4V5M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Suhu : 36,8C

Pernafasan : 18 x/menit

Status Generalisa. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor

kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba

hangat.

b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi

merata dan tidak mudah dicabut.

c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

d. Pemeriksaan Leher

1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas

2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar

tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.

i. Pemeriksaan Thorax

1) Jantung

a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra

b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat

c) Perkusi :

i. Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra

ii. Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra

iii. Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra

iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra

5

Page 6: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

2) Paru

a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta

tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.

b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak

terdapat ketertinggalan gerak.

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru

d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak

terdengar suara wheezing

j. Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa

b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus

c) Perkusi : Timpani

d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak

teraba.

k. Pemeriksaan Ekstremitas :

Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

Turgor kulit cukup, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan 20 November 2013 Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 11,6 11,5-15,5 g/dL

Leukosit 6.90 4800-10800/L

Hematokrit 33,4 35-45%

Eritrosit 4,27x106 4,0-4,2x106/

Trombosit 442000 150000-450000/L

MCV 77,1 80,0-99,0 fl

MCH 27,2 27,0-31,0 pg

MCHC 34,9 33,0-37,0 %

RDW 14.5 11,5-14,5 %

MPV 7.4 7,2-14,1 fl

6

Page 7: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

CT 2.00 1-3 menit

BT 2.00 1-6 menit

Gol. Darah A

Kimia Klinik

SGOT 17 < 31 U/L

SGPT 8 < 32 U/L

Ureum 16,9 10-50 mg/dL

Creatinin 0,63 0,60-0,90 mg/dL

GDS 79 ≤ 200 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

E. KESAN ANESTESI

Perempuan 14 tahun menderita Tonsilitis Kronik dengan ASA I

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yaitu :

a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm

b. Pro Tonsilectomy

c. Informed Consent Operasi

d. Konsul ke Bagian Anestesi

e. Informed Consent Pembiusan

Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I

G. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :

Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis

Status Operatif : ASA 1, Mallampati II

Jenis Operasi : Tonsilektomi

Jenis Anastesi : General Anastesi

H. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Tonsilitis Kronik

7

Page 8: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

2. Diagnosis Pasca Bedah

Tonsilitis Kronik

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a Infus RL 500 cc

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis Pembedahan : Tonsilectomy

b. Jenis Anestesi : General Anestesi

c. Teknik Anestesi : General Anastesi dengan tekhnik semi closed circuit

system dengan NTT non kinking no 30

d. Mulai Anestesi : 21 November 2013, pukul 09.30 WIB

e. Mulai Operasi : 21 November 2013, pukul 09. 35 WIB

f. Premedikasi : Ondansentron 4 mg iv

g. Induksi : Fentanyl 100 mg iv

Propofol 100 mg iv

h. Medikasi tambahan : Cefotaxime 1 gr iv

Ketorolac 30 mg iv

Tramadol 100 mg iv

.i. Maintanance : O2 2 lt, N2O 2 lt ,isoflurane 1.5 lt

j. Relaksasi : Noveron 30 mg iv

Intubasi : Laringoskop blade no 2

Nasal Endotracheal Tube no 30 cuff (+)

k. Respirasi : pernapasan spontan

l. Posisi : Supine

m. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml

.n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR

Terlampir

n . Selesai operasi : 10.05 WIB

8

Page 9: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Pasien, An. SP, 14 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi

tonsilektomi pada tanggal 21 November 2013 dengan diagnosis pre operatif tonsilitis kronis.

Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 20 November 2013. Dari anamnesis terdapat

keluhan nyeri tenggorokan yang kambuh-kambuhan dirasakan sejak 3 bulan terakhir dan

bertambah berat sejak 3 hari yang lalu. Karena sering kambuh, dokter menganjurkan untuk

dilakukan operasi tonsilektomi. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah

120/80 mmHg; nadi 82x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC. Dari pemeriksaan

laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 20 November 2013 dengan hasil: Hb 11,6

g/dl; golongan darah A; AL 6.90 L; ureum 16,9 mg/dl; kreatinin 0,63 mg/dl; SGOT 17 U/L;

SGPT 8 U/L; GDS 79 mg/dL dan HBsAg (-). Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.

Pemberian maintenance cairan sesuai dengan berat badan pasien yaitu 2cc/kgBB/jam,

sehingga kebutuhan per jam dari penderita adalah 82 cc/jam. Sebelum dilakukan operasi

pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi

lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek

samping dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan

selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi cairan ini yaitu 6 x

maintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus dipenuhi selama 6 jam ini adalah 492

cc/6jam.

Operasi Tonsilektomi dilakukan pada tanggal 21 November 2013. Pasien dikirim dari

bangsal Bougenvile. Pasien masuk keruang OK 2 pada pukul 09.20 dilakukan pemasangan

NIBP dan O2 dengan hasil TD 122/76 mmHg; Nadi 79x/menit, dan SpO2 99%. Dilakukan

injeksi Ondansentron 4 mg dan fentanyl 100 mg. Pemberian fentanyl yang merupakan obat

opioid yang bersifat analgesic dan bisa bersifat induksi. Penggunaan premedikasi pada pasien

ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan

mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Karena dilakukan operasi

tonsilektomi, maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi nasal agar tidak

mengganggu operator sepanjang operasi dilakukan dan supaya pasien tetap dianestesi dan

dapat bernafas dengan adekuat.

Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin anestesi

yang menghantarkan gas (isoflurane) dengan ukuran 2 vol% dengan oksigen dari mesin ke

jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan

pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah 9

Page 10: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

dilakukannya pemasangan endotrakheal tube. Penggunaan isofluran disini dipilih karena

isofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas

lain, dan baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk

induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil

dan jarang menyebabkan aritmia.

Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka dialirkan

isofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan

dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi

diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan

pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi hampir

selesai.

Operasi selesai tepat jam 10:05 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke manual supaya

pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas iso dihentikan karena pasien sudah nafas spontan

dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari

penurunan saturasi lebih lanjut.

Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 750 cc Ringer Laktat. Perdarahan

pada operasi ini kurang lebih 25 cc. Pada pukul 09.45 WIB, sebelum selesai pembedahan

dilakukan pemberian analgetik., injeksi ketorolac 30 mg tramadol 100 mg diindikasikan untuk

penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur

pembedahan.

Pada pukul 10.05 WIB, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD

121/70mmHg; Nadi 85x/menit, dan SpO2 99%. Pembedahan dilakukan selama 30 menit

dengan perdarahan ± 25 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room).

Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat

serta kesadaran compos mentis. Tekanan darah selama 15 menit pertama pasca operasi stabil

yaitu 118/70 mmHg.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas

Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami

anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang. 10

Page 11: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Gambar 1. Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas

( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

1. Respirasi Internal dan Eksternal

Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian

yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet,

dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya dikeluarkan.

Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah respirasi internal

yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan

(oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari

dalam tubuh sesuai keperluan9.

2. Organ-organ pernafasan

Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d) bronkhus

(e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem

pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.

Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus

intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya9.

11

Page 12: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Gambar 2. Sistem Respirasi

( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

3. Faring

Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke

dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang

menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun

melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.

Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan

membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat

ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan,

selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu

makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung

posterior9.

4. Laring

Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar

lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum

dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding

laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami

kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran

suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring. Bagian laring sebelah

atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder9. Fungsi laring, yaitu

mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara. Laring

12

Page 13: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan

dan air masuk ke dalam trakhea. Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis

hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring

namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis selain

berfungsi sebagai penutup laring juga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,

karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang

mengelilingi lubang9.

B. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan

setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses

pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ

lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber

bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar

jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit4,10.

Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama

sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh

dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang

mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus4.

1. Etiologi

Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering

menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati

dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama

terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif.

Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,

Streptococcus beta hemolyticus group A 11.

2. Faktor predisposisi

Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :

- Rangsangan kronis (rokok, makanan)

- Hygiene mulut yang buruk

- Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

- Alergi (iritasi kronis dari alergen)

- Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)

- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

13

Page 14: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

3. Patofisiologi

Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh kita

baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh

makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena

infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-

faktor lain,maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh semua kuman

kumannya, akibatnya kuman yang yang bersarang di tonsil akan menimbulkan

peradangan tonsil yang kronik.pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil

berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi 5,11.

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses

radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan

mengerut sehingga kripta akan melebar.

Secara klinis kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel

leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih

kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul

perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa

menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun12.

4. Manifestasi klinis

Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi dari rasa

tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2) gejala sistemis,

berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot

dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis

kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan

kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan

kelenjar limfe regional 5,11.

5. Terapi

a. Medikanmentosa

Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,

obat kumur, dan obat.

Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu

diberikan selama sekurangnya 10 hari. Antibiotik yang dapat diberikan adalah

golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat

diberikan eritromisis atau klindamisin4.14

Page 15: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

b. Operatif

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah

operasi. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat

perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.

Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat

ini, indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil5,11,12.

C. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias

anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot 2.

Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar

ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan

pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa

sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium

anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya

kelebihan dosis1,2.

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan

utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa

pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,

dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah

didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran

pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan

relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak

diinginkan5,6.

Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang

aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,

mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain

itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan

yang luas.5

1. Macam-macam Teknik Anestesi 6,7

Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,

peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas

yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak 15

Page 16: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara

terbuka.

Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang

dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk

menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari

minimal volume udara semenit.

Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni

yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga

kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan

dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan

memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari

dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.

Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara

ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara

yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.

Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka

perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-

lain.

2. Persiapan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus

dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari

sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada

pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak

harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra

anestesi adalah:1,7

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan

fisik dan kehendak pasien.

c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,

biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

16

Page 17: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka

mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian

terbatas. Angka mortalitas 38%.

ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak

selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,

angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir

tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi

/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan

otak, jantung, paru, ibu dan anak.

a. Pemeriksaan praoperasi anestesi 7,8

I. Anamnesis

1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit

anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,

pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang

sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik

seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan

aminoglikosid, dan lain lain.

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis

pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.

6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi

seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik

7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,

kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,

psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

17

Page 18: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

II. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan

2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas

3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang

diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.

5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,

keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi

ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari

visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan

mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam

melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:

i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior

oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla

pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding

posterior uvula

iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv. Mallampati IV : palatum durum saja

6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda

regurgitasi.

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari

tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah

blok saraf regional

III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

Lab rutin :

1. Pemeriksaan lab. Darah

2. Urine : protein, sedimen, reduksi

3. Foto rongten ( thoraks )

4. EKG

Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

18

Page 19: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

1. EKG pada anak

2. Spirometri pada tumor paru

3. Tes fungsi hati pada ikterus

4. Fungsi ginjalpada hipertensi

5. AGD, elektrolit.

b. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari

premedikasi antara lain :1,2

a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron

f. memperlancar induksi, misal : pethidin

g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.

i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang

ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan

obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur

pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi

sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang

berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,

dan rencana anestesi yang akan digunakan2.

c. Obat-obatan Premedikasi

Pada kasus ini digunakan obat premedikasi 1,2,3 :

a. Fentanil

Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan

termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk

sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil,

suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk

meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan

selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan

19

Page 20: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya

kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka

dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai

premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun

intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif3.

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek

depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik

fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang

masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya

digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan

yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi

dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya

digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca

operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam

bentuk kombinasi tetap dengan droperidol1. Fentanyl dan droperidol (suatu

butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk

menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida

memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia1,2.

d. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya

stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi

untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

a. Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan

emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.

Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.

Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena

lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat

setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah

postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol

digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan

20

Page 21: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam

menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan

propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu

timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan

adanya skuele neurologik2,3.

Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.

Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis

atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang

berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain1,3.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti

selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.

Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan

karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik

kembali normal dengan intubasi trakea.

Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah

2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat

dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol

diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang

dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar

daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme

ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat

bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-

obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran

darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan

propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang

minimal.

Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat

dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada

otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai

efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan

jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek

antiemetik1.

21

Page 22: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,

apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa

hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya

sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi

nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.

e. Pemeliharaan

a. Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak

berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi

dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang

kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini

tidak larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh

karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat

relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas

terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak

oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan

pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai.

Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah

sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50% 2.3.

f. Obat Pelumpuh Otot

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga

menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini

dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,

misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal

kurarin.

Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan

laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam

pembedahan dan ventilasi kendali1,2.

Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :

Atracurium besilat (tracrium)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang

mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice

22

Page 23: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu

antara lain adalah :

a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia

unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi

hati dan ginjal.

b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.

c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada

umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama

kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit3.

Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja

obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya

atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan

penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.

Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg

atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu

dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.

Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

g. Intubasi Nasal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas

bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :1

a. Mempermudah pemberian anestesi.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

e. Pemakaian ventilasi yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

h. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati

jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk1.

a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.

23

Page 24: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,

penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada

ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk

dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius

kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.

b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan

pada dewasa untuk operasi :

Ringan= 4 ml/kgBB/jam.

Sedang= 6 ml/kgBB/jam

Berat = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10

% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan

lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /

dekstran.

c. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan

selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.

i. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi

yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk

observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan

sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di

ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari

komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya2.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu

dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa

cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,

dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang

sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional

anestesi digunakan skor Bromage1,6. 24

Page 25: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Tabel 1. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas

motorik

Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah

atau secara sadar.

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.

2

1

0

2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk

Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi

Apneu/tidak bernafas

2

1

0

3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula

Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula

Tekanan darah berbeda >50% dari semula

2

1

0

4 Kesadaran Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

Tidak ada respon atau belum sadar

2

1

0

5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula

Pucat

Sianosis

2

1

0

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 2. Steward Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran Bangun Respon terhadap stimuli Tak ada respon

210

2 Jalan napas Batuk atas perintah atau menangis Mempertahankan jalan nafas dengan baik Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas

210

3 Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan Gerakan tanpa maksud Tidak bergerak

210

Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.

25

Page 26: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Tabel 3. Robertson Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran Sadar penuh, membuka mata, berbicara

Tidur ringan

Membuka mata atas perintah

Tidak ada respon

4

3

2

1

2 Jalan napas Batuk atas perintah

Jalan nafas bebas tanpa bantuan

Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi kepala

Tanpa bantuan obstruksi

3

2

1

0

3 Aktifitas Mengangkat tangan atas perintah

Gerakan tanpa maksud

Tidak bergerak

2

1

0

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anakTanda Kriteria

Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula

Reflek laryng dan pharyng Mampu menela, batuk, dan muntah

Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat

perkembangan

Muntah Muntah, mual pusing minimal

Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan

mendengkur

Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System

Kriteria Skor

Gerakan penuh dari tungkai 0

Tak mampu ekstensi tungkai 1

Tak mampu fleksi lutut 2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Bromage score < 2 boleh pindah ke ruang perawatan.

26

Page 27: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas

masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK

Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat

meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Tanda-tanda radang dapat dilihat dari

suhu maupun angka leukosit. Pada pasien ini suhu tubuh tidak mengalami peningkatan dan

angka leukosit masih dalam batas normal. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien

sebelumnya sudah menerima terapi antibiotik oleh teman sejawat lain sebelum memutuskan

untuk periksa ke RSUD Sragen.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.

2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)

Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi

yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi

perdarahan.

Pada pasien ini teknik tonsilektomi yang digunakan adalah diseksi thermal

menggunakan electocauter dimana perdahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit

karena pemotongan jaringan maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.

C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

1. Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)

b. Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahan yang ada adalah :

Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum

dilakukan anestesi dan operasi.

27

Page 28: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan

umum penderita.

Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan :

Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini

diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai

puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling tidak 6 jam untuk

mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat

dihindarkan. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan tujuan terapi, yaitu:

1. Cairan rumatan (maintenance)

Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan

intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas <270

mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 %

2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)

Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water

movement melalui membran sel semipermeabel Tonisitas 275 – 295

mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, Lactate Ringer’s, koloid

3. Cairan khusus

Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air

keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi Tonisitas >

295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium- bikarbonat, Natrium

laktat hipertonik

Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik merupakan

jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada pasien ini diberikan

resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan tujuan untuk memperbaiki

volume sirkulasi dan pemilihan cairan ini berdasarkan pertimbangan

kompartemen yang mengalami defisit.

Persiapan kantung darah sebagai persiapan bila terjadi perdarahan durante atau

post operasi

Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus ini

diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko

aspirasi dengan menggunakan premedikasi sulfas atropin dan fentanyl. Teknik

anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube.

Selama operasi dipasang ET teknik cepat.

28

Page 29: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

2. Premedikasi

a. Sebagai antiemetic pada pasien diberikan ondansentron 4 mg iv

b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah maka diberikan fentanyl

100 mcg I.V.

3. Induksi

a. Digunakan Propofol 100 mg I.V. (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek

induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat

menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek

kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.

b. Pemberian Noveron 40 mg I.V. sebagai pelemas otot untuk mempermudah

pemasangan Nasotracheal Tube.

4. Maintenance

Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta isofluran 1 vol %.

5. Terapi Cairan

Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 41 kg )

a. Defisit cairan karena puasa 6 jam

(2 cc/jam x 41 kg x 6 jam) = 492 cc

Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap mendapat infus.

b. Perdarahan yang terjadi 25 cc

EBV = 70 cc x 41 kg = 2870 cc.

Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/2870 x 100 % = 0,87 %

c. Cairan yang sudah diberikan :

1). Pra anestesi = 500 cc

2). Saat operasi = 250 cc

Total cairan yang masuk = 750 cc

29

Page 30: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang

melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien

dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.

Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi

tonsilektomi pada penderita perempuan, usia 14 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis

tonsilitis kronik yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan SCCS NTT no 30 cuff

(+) respirasi spontan.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada

diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat

ditekan seminimal mungkin.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari

segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi

hal yang memerlukan penanganan serius.

Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

30

Page 31: Laporan Kasus Anestesi Tonsilitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.

Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,

FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

3. Drake A. Tonsillectomy.

http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi, diakses tanggal 23

Maret 2013.

4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk

Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

5. Lab/SMF Anestesiologi & reanimasi. 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik

Anestesiologi.

6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi

ke- 4. Jakarta: Gaya baru.

7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI

8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran

FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius

9. Sadina, 2009. Sistem Pernapasan Pada Manusia.

http://www.blogunila.ac.id/sadina/2009/10/01/sistem-pernapasan-pada-manusia/

diakses tanggal 24 April 2013.

10. Better Health Channel. 2011. Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia. 

http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 23 Maret 2013

11. NHS. 2010.  Tonsillitis. 

http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 23 Maret 2013

12. Lauro, Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.

http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 23 Maret

2013

31