kasus tonsilitis akut

24
STATUS PASIEN THT Tanggal : 12 agustus 2011 No. Registrasi : 18-10-08 I. IDENTIFIKASI Nama : Tn. T Usia : 52 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Suku Bangsa : Sunda Pekerjaan : Karyawan Swasta Alamat : Jl. Sekolah dalam no. 12 Pav RT 02/01, Paledang, Bogor Pendidikan : SLTA II. ANAMNESIS Dilakukan secara autoanamnesis di Poli THT RSMM tanggal 12 Agustus 2011 pukul 10.00 WIB A. Keluhan Utama : Rasa nyeri di tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu B. Keluhan Tambahan : 1

Upload: yemi-meriyanti-sari

Post on 30-Nov-2015

240 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

penugasan

TRANSCRIPT

STATUS PASIEN THT

Tanggal : 12 agustus 2011

No. Registrasi : 18-10-08

I. IDENTIFIKASI

Nama : Tn. T

Usia : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku Bangsa : Sunda

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Alamat : Jl. Sekolah dalam no. 12 Pav RT 02/01, Paledang, Bogor

Pendidikan : SLTA

II. ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis di Poli THT RSMM tanggal 12 Agustus 2011 pukul

10.00 WIB

A. Keluhan Utama :

Rasa nyeri di tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu

B. Keluhan Tambahan :

1

Tenggorokan terasa panas, pusing, demam, rasa mengganjal saat menelan. Keluar

dahak kental berwarna kuning kehijauan, bersin-bersin terutama saat pagi hari,

keluar cairan jernih dari hidung disertai rasa tersumbat dan gatal

C. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan rasa sakit di tenggorokan sejak 1 minggu yang

lalu diawali oleh rasa kering pada tenggorokan. Nyeri dirasakan seperti tertusuk

disertai rasa panas dan mengganjal terutama saat pasien menelan. Pasien juga

mengeluh pusing dan demam sejak 5 hari yang lalu, tetapi tidak lemas dan nafsu

makan pasien tidak menurun. Demam dirasakan tidak tinggi dan pasien hanya

mengukurnya dengan punggung tangan. 3 hari yang lalu, pasien terbatuk dan

mengeluarkan dahak kental berwarna kuning kehijauan.

Selain itu, Pasien juga mengeluh sering bersin-bersin terutama saat pagi hari.

Saat pasien bersin jumlahnya bisa sampai 10x disertai keluar cairan jernih dan

encer disertai gatal pada kedua hidung pasien. Pasien juga merasakan saat itu

hidung terasa tersumbat sampai terkadang sulit untuk bernafas. Keluhan dirasakan

sejak pasien kanak-kanak, tetapi sifatnya hilang timbul. Selain udara dingin,

pasien juga mengaku keluhan timbul jika pasien terkena debu. Pasien pernah

menderita asma saat pasien kanak-kanak, tetapi gejala asma tidak pernah os

rasakan lagi sampai sekarang.

D. Riwayat Penyakit Dahulu:

Os tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.

E. Riwayat Penyakit Keluarga:

2

Os menyangkal ada anggota keluarga yang menderita penyakit darah tinggi dan

diabetes maupun penyakit kronis. Ada anggota keluarga Os yang menderita Asma,

yaitu bapak Os.

F. Riwayat Pengobatan

Satu hari sebelum Os ke Poli THT RSMM, Os berobat ke klinik tempat os bekerja

dan mendapatkan antibiotik

III.PEMERIKSAAN FISIK

A. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum :

Kesan Sakit : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Kulit : Sawo matang, turgor baik

Kepala : Normocephali, simetris, tidak ada deformitas

Mata : Konjuctiva tidak anemis, sclera tidak ikterik

Leher : Kelenjar Getah Bening tidak teraba membesar

Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas : Tidak dilakukan pemeriksaan

STATUS THT

1. PEMERIKSAAN TELINGA

ADS Dextra SinistraDaun Telinga Normotia Normotia

3

Nyeri tarik (-)Nyeri tekan tragus (-)

Nyeri tarik (-)Nyeri tekan tragus (-)

Preaurikuker Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan (-), sikatriks (-)

Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan (-), sikatriks (-)

Retroaurikuler Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan mastoid (-)

Hiperemis (-), Fistula(-), oedem (-), Nyeri tekan mastoid (-)

LIANG TELINGAa. Lapang/sempit Lapang Lapangb. Warna epidermis pucat pucatc. Sekret (-) (-)d. Serumen (-) (-)e. Kelainan Lain (-) (-)

MEMBRAN TIMPANIMT intakRefleks Cahaya (+)Retraksi (-)Buldging (-)

MT intakRefleks Cahaya (+)Retraksi (-)Buldging (-)

Pemeriksaan Fungsi PendengaranTest Penala 512 Hz

Jenis Pemeriksaan Kanan KiriRinne Positif PositifWeber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasiSchwabach Sama dengan

pemeriksaSama dengan pemeriksa

2. PEMERIKSAAN HIDUNG

Kanan Kiri

4

Deformitas (-) (-)Nyeri Tekan (-) (-)Krepitasi (-) (-)

RINOSKOPI ANTERIOR

Vestibulum Sekret (-), Krusta (-) Sekret (-), Krusta (-)Konka inferior Hipertrofi (+), Livid

(+), Hiperemis (-)Hipertrofi (+), Livid (+), Hiperemis (-)

Konka media Sulit dinilai Sulit dinilaiKonka superior Tidak terlihat Tidak terlihatMeatus nasi Pus (-), Polip (-) Pus (-), Polip (-)Kavum nasi Lapang LapangMukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)Sekret (+) Jernih (+) JernihSeptum Deviasi (-) Deviasi (-)

5

Dasar hidung Normal Normal

RINOSKOPI POSTERIOR

Koana Tidak DilakukanMukosa konkaSekretMuara tuba eustachiiAdenoidRosenmullerNasofaring

3. PEMERIKSAAN FARING

1. Arkus Faring : Simetris, hiperemis

2. Mukosa faring : Hiperemis

3. Dinding posterior faring : Hiperemis, Post Nasal drip (+)

4. Uvula : Letak tengah, simetris, hiperemis (+)

5. Tonsil Palatina :

• Besar : T2a-T2a

• Warna : Hiperemis

• Kripta : (-)

• Detritus : (-)

• Perlekatan : (-)

6. Gigi geligi : Dalam batas normal, lengkap, Caries (-)

6

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8

1. HIPOFARING ( Tidak Dilakukan )

a. Basis lidah

b. Valekula

c. Plika glosopiglotika

2. PEMERIKSAAN LARING ( Tidak Dilakukan)

a. Epiglotis

b. Plika ariepiglotika

c. Aritenoid

d. Sinus piriformis

e. Korda vokalis

f. Pita suara asli

g. Pita suara palsu

h. Subglotik/trakea

7

i. Rima glotis

3. LEHER

Pemeriksaan kelenjar getah bening regional :

Retro auricular : Tidak teraba membesar

Submentalis : Tidak teraba membesar

Submandibularis : Tidak teraba membesar

Sternokledomastoid : Tidak teraba membesar

4. Maksilo Fasial

Simetris

Paralisis Nervus kranialis (-)

IV. RESUME:

Pasien seorang laki-laki berumur 52 tahun datang ke poliklinik THT RSMM dengan

keluhan nyeri pada tenggorokan yang diawali rasa kering sejak 1 minggu yang lalu. 5 hari

yang lalu, pasien demam dan pusing. Demam dirasakan tidak tinggi dan tidak disertai

dengan rasa lemas dan tidak ada penurunan nafsu makan. 3 hari yang lalu pasien terbatuk

dan mengeluarkan dahak berwarna kuning kehijauan.

Selain itu pasien mengeluh bersin-bersin terutama pada pagi hari disertai dengan rasa

gatal dan tersumbat pada kedua hidung, saat bersin-bersin pasien juga mengeluhkan

keluar cairan encer dan berwarna jernih. Keluhan dirasakan hilang timbul sejak pasien

kana-kanak dan juga sering tercetus apabila terkena debu maupun udara dingin.

8

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

• Arkus Faring : Simetris, hiperemis

• Mukosa faring : Hiperemis

• Dinding posterior faring : Hiperemis, Post Nasal drip (+)

• Uvula : Letak tengah, simetris, hiperemis (+)

• Tonsil Palatina :

• Besar : T2a-T2a

• Warna : Hiperemis

• Konka Inferior : Hipertrofi, livid (+)

• Terdapat sekret jernih pada cavum nasi

V. DIAGNOSA KERJA:

Tonsilitis Akut dan Rhinitis kronik suspek alergi

VI. RENCANA PENGOBATAN:

Medikamentosa :

o Antobiotik : Cefadroksil 2x500mg tab

o Kortikosteroid : Metilprednisolon 2x8mg tab

o Mukolitik : ambroksol 3x1 tab

o Antipiretik : Paracetamol 3x500mg

o Betadine Gargle

9

VII. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN:

Laboraturium darah ( leukosit & hitung eosinofil)

Skin Prick test

VIII. PROGNOSIS:

Tonsilitis akut

Ad Vitam : ad bonam

Ad fungsionam : ad bonam

Ad sanationam : ad bonam

Rhinitis kronik suspek alergi

Ad Vitam : ad bonam

Ad fungsionam : ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

DOKTER MUDA: Aji Patriajati

DOKTER PENGAWAS: Dr. Tinneke Saboe, Sp. THT

TANDA TANGAN:

10

PENILAIAN

Tonsilitis Akut

Definisi

Tonsilitis akut adalah radang akut pada tonsil akibat infeksi kuman terutama Streptokokus

hemolitikus (50%) atau virus. Jenis Streptokokus meliputi Streptokokus β hemolitikus,

Streptokokus viridans dan Streptokokus piogenes. Bakteri penyebab tonsilitis akut lainnya

meliputi Stafilokokus Sp., Pneumokokus, dan Hemofilus influenzae. Hemofilus influenzae

menyebabkan tonsilitis akut supuratif.

Tonsilitis akut paling sering terjadi pada anak-anak, terutama berusia 5 tahun dan 10 tahun.

Penyebarannya melalui droplet infection, yaitu alat makan dan makanan.

Anatomi

Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian terpentingnya

adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual,

gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa

Rosenmuller, di bawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.

11

Anatomi Tonsil

a.Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada

kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior

(otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil

mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.

Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

Lateral– m. konstriktor faring superior

Anterior – m. palatoglosus

Posterior – m. palatofaringeus

Superior – palatum mole

Inferior – tonsil lingual

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum

(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan linfoid).

b. Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot

palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar

anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan

berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai

palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding

lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka.

Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah

terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.

12

c. Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut

kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi

menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.

d. Plika Triangularis

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika triangularis

yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat

menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering

terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.

e. Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris

eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A.

maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya

A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi

oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah

tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal

asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung

dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena

lidah dan pleksus faringeal.

f. Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda

(deep jugular node) bagian superior di bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke

kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh

getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

g. Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina

dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

13

h. Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan

limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%,

sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri

atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang

berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis

imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa

IgG.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi

limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan

mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan

sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

i. Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama

dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu

segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun

mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan

adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat

meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-

7 tahun kemudian akan mengalami regresi.

14

Patologi Tonsilitis Akut

Tonsil dibungkus oleh suatu kapsul yang sebagian besar berada pada fosa tonsil yang

terfiksasi oleh jaringan ikat longgar. Tonsil terdiri dari banyak jaringan limfoid yang disebut

folikel. Setiap folikel memiliki kanal (saluran) yang ujungnya bermuara pada permukaan

tonsil. Muara tersebut tampak oleh kita berupa lubang yang disebut kripta.

Saat folikel mengalami peradangan, tonsil akan membengkak dan membentuk eksudat yang

akan mengalir dalam saluran (kanal) lalu keluar dan mengisi kripta yang terlihat sebagai

kotoran putih atau bercak kuning. Kotoran ini disebut detritus. Detritus sendiri terdiri atas

kumpulan leukosit polimorfonuklear, bakteri yang mati dan epitel tonsil yang terlepas.

Tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Tonsilitis akut dengan

detritus yang menyatu lalu membentuk kanal-kanal disebut tonsilitis lakunaris.

15

Detritus dapat melebar dan membentuk membran semu (pseudomembran) yang menutupi

tonsil. Adanya pseudomembran ini menjadi alasan utama tonsilitis akut didiagnosa banding

dengan angina Plaut Vincent, angina agranulositosis, tonsilitis difteri, dan scarlet fever.

Diagnosis Tonsilitis Akut

Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di tenggorok. Kemudian berubah

menjadi rasa nyeri di tenggorok dan rasa nyeri saat menelan. Makin lama rasa nyeri ini

semakin bertambah nyeri sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat

menyebar sebagai referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia)

tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX).

Keluhan lainnya berupa demam yang suhunya dapat sangat tinggi sampai menimbulkan

kejang pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu makan berkurang

sering menyertai pasien tonsilitis akut. Suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya

penuh terisi makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foetor

ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus).

Pemeriksaan tonsilitis akut ditemukan tonsil yang udem, hiperemis dan terdapat detritus yang

memenuhi permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Ismus

fausium tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak

udem dan hiperemis. Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus mandibula

terlihat membesar dan ada nyeri tekan.

Komplikasi Tonsilitis Akut

Meskipun jarang, tonsilitis akut dapat menimbulkan komplikasi lokal yaitu abses peritonsil,

abses parafaring dan otitis media akut. Komplikasi lain yang bersifat sistemik dapat timbul

terutama oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus berupa sepsis dan infeksinya dapat

tersebar ke organ lain seperti bronkus (bronkitis), ginjal (nefritis akut & glomerulonefritis

akut), jantung (miokarditis & endokarditis), sendi (artritis) dan vaskuler (plebitis).

Terapi Tonsilitis Akut

Tonsilitis akut pada dasarnya termasuk penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting

disease) terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang baik. Pasien dianjurkan istirahat

16

dan makan makanan yang lunak. Berikan pengobatan simtomatik berupa analgetik,

antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Berikan antibiotik spektrum luas

misalnya sulfonamid. Ada yang menganjurkan pemberian antibiotik hanya pada pasien bayi

dan orang tua. Tonsilektomi dilakukan jika terdapat indikasi.

RHINITIS ALERGI

DEFINISI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi

yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,

1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah

kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah

mukosa hidung

terpapar alergen

yang diperantarai

oleh IgE.

17

Symptom Rhinitis Alergy

ETIOLOGI

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara

genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran

penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi. Apabila

kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %.

Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh

lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki

kecenderungan alergi.

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara

pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari,

dan lain-lain.

PATOFISIOLOGI

Sensitisasi

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses sensitisasi

terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di mukosa

hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel Antigen

Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian antigen

tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks molekul MHC

(Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan

terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC

menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9,

IL10, IL13 dan lainnya.

18

IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B menjadi

aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan terikat dengan sel

mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat

ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut.

Reaksi Alergi Fase Cepat

Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, tiptase dan

mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediator

tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari anastomosis

arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah pada

kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran

hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada ujung saraf

sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.

Hipersensitivity reaction

Reaksi Alergi Fase Lambat

Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini disebabkan

oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel postkapiler yang

akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM) dimana molekul ini

menyebabkan sel leukosit seperti eosinofil menempel pada sel endotel.

19

Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit,

basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian menjadi

teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic

Peroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsif hidung.

Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.

Alergic Reaction

KLASIFIKASI

Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA tahun 2000, menurut sifat

berlangsungnya rinitis alergi dibagi menjadi:

• Intermiten, yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

• Persisten, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan/atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

• Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

• Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung

tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap)

beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap

pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali

berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi

mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup

penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu

bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi

hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada

20

dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-

gosok oleh punggung tangan (allergic salute).

Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid

dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya

kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.

Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan

lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang

pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi

dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna

adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau

ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).

Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit yaitu tes

kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit gores (scratch)

dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick test). Tes intradermal

yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan pengenceran ganda (Skin

Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan

alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen penyebab, juga

dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat

pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke mukosa

hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau

Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).

PENATALAKSANAAN

Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:

• Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan ini

diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.

• Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE pada

permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif dengan

imunoterapi.

21

• Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjut

reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini dinetralisir

dengan obat – obatan antihistamin yang secara kompetitif memperebutkan reseptor H1

dengan histamin.

• Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya

gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau lokal.

Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:

Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi,

sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis

dan polip hidung.

Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap

alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi.

Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester

3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu

kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa

asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa

alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap

pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit.

3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit

alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

22

Daftar Pustaka

Rusmarjono & Efiaty Arsyad Soepardi. Penyakit Serta Kelainan Faring & Tonsil dalam Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H.

Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor).

Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

George LA. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adams, Boies, Higler

(eds). Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta : EGC ; 1997. hal 327-342.

Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery-Otolaringology 3th edition volume 1.

Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2006. hal 1188-1197.

23

Peter A. Hilger, M.D. Penyakit Hidung. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1997: hlm.210

Mark S Dykewicz, MD, et al. Diagnosis and Management of Rhinitis: Complete Guidelines

of the Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy, Asthma and Immunology.

Annals of allergy, asthma, & immunology. Volume 81, november (part II), 1998 : hlm.

478

24