laporan kasus tonsilitis kronis

32
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut (Kurien M et Al, 2003). Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita tonsilitis akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis (Dias EP, 2009). Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh radang tenggorok yang berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%). Sedangkan pada penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronis atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan (Undaya R, 1999 dalam Farokah, 2005). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malaysia pada Poli THT Rumah Sakit Sarawak selama 1 tahun dijumpai 1

Upload: yudha-badd-on

Post on 07-Feb-2016

1.314 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

ilmu telinga hidung tenggorokan tonsilitis kronis

TRANSCRIPT

Page 1: laporan kasus tonsilitis kronis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada

tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan

pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada

penderita tonsilitis akut (Kurien M et Al, 2003). Ketidaktepatan terapi antibiotik pada

penderita tonsilitis akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada

kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor

penyebab terjadinya tonsilitis kronis (Dias EP, 2009).

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh

radang tenggorok yang berulang. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7

provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6%

tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%). Sedangkan pada penelitian di RSUP

Dr. Hasan Sadikin pada periode April sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024

pasien tonsilitis kronis atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan (Undaya R, 1999

dalam Farokah, 2005). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malaysia pada Poli

THT Rumah Sakit Sarawak selama 1 tahun dijumpai 8.118 pasien dalam jumlah

penderita penyakit tonsilitis kronis menempati urutan keempat yakni sebanyak 657

(81%) penderita (Sing T, 2007).

Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan,

menghirup udara tetesan setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau berbagi

peralatan atau sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan remaja berusia 5-

15 tahun yang paling mungkin untuk mendapatkan tonsilitis, tetapi dapat menyerang

siapa saja (NHS, 2010).

Hanya sekitar 30 % dari tonsilitis pada anak disebabkan oleh radang

tenggorokan dan hanya 10% dari tonsilitis pada orang dewasa disebabkan oleh radang

tenggorokan (Joseph Lauro, 2011).

1

Page 2: laporan kasus tonsilitis kronis

Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki,

13,7 persen pada perempuan). Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak

yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan

yang memadai mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis

dan terapi yang tepat dan rasional.

2

Page 3: laporan kasus tonsilitis kronis

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : An “N”

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 11 tahun

Alamat : Selong Lombok Timur

Agama : Islam

Suku : Sasak

Pekerjaan : Pelajar

Status : Belum Kawin

No. CM : 273726

Tanggal Masuk : 10 Juli 2014

Tanggal Pemeriksaan : 10 Juli 2014

2.2. ANAMNESIS

Auto dan alloanamnesa tanggal 10 Juli 2014 pukul 11.00 WITA di Poli

THT.

2.2.1. Keluhan utama

Sering nyeri menelan.

2.2.2. Riwayat penyakit sekarang

Sejak 1 bulan yang lalu pasien mengeluh sering nyeri menelan

yang hilang timbul. Nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan

makanan. Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak di tenggorokan

dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga mengeluh nyeri menelan

disertai dengan sering demam, batuk, pilek dengan lendir putih yang

kumat-kumatan dan hidung tersumbat. Ibu pasien mengatakan pasien

ngorok saat tidur. Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga,

tidak ada kurang pendengaran dan tidak ada sakit kepala.

3

Page 4: laporan kasus tonsilitis kronis

2.2.3. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pengobatan

Pasien memiliki riwayat pilek yang cukup lama dan hilang

timbul sejak 1 bulan terakhir. Pasien telah berobat ke puskesmas dan

diberi obat. 2 minggu SMRS, pasien pergi berobat ke dokter. Setelah

diperiksa, pasien diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan

disarankan untuk dilakukan operasi pengangkatan amandel. Namun

pasien belum mau dioperasi dan lebih memilih untuk diberi

pengobatan mengurangi gejala. Seminggu yang lalu obatnya habis

dan keluhan muncul lagi.

2.2.4. Riwayat penyakit keluarga dan Sosial

Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit seperti ini.

2.2.5. Riwayat alergi

Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan

maupun obat-obatan.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan tanggal 10 Juli 2014 pukul 11.00 WITA di Poli THT.

2.3.1. Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Berat badan : 24 kg

Tinggi Badan : 125 cm

Status Gizi : Cukup

2.3.2. Tanda vital

Tensi : 110/70

Nadi : 89 x/menit

Respirasi : 24 x/menit

Suhu : 36,5 °C

4

Page 5: laporan kasus tonsilitis kronis

2.3.3. Status Lokalis

2.3.3.1. Pemeriksaan telinga

No. Pemeriksaan

Telinga

Telinga kanan Telinga kiri

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

Bentuk dan ukuran dalam batas

normal, hematoma (-), nyeri

tarik aurikula (-)

3. Liang telinga Serumen (+), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), otorhea

(-)

Serumen (+), hiperemis (-),

furunkel (-), edema (-), otorhea

(-)

4. Membran timpani Intak. Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light (+)

Intak. Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-), cone of light (+)

5

Page 6: laporan kasus tonsilitis kronis

2.3.3.2. Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan hidung Dextra Sinistra

Hidung Bentuk normal Bentuk normal

Sekret Mukoserous Mukoserous

Mukosa konka media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Mukosa konka

inferior

Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Meatus media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Meatus inferior Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)

Septum Deviasi (-) Deviasi (-)

Massa (-) (-)

2.3.3.3. Pemeriksaan Tenggorokan

6

Page 7: laporan kasus tonsilitis kronis

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)

Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Geligi Warna kuning gading, caries (-), gangren(-)

Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar

Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal

Uvula Bentuk normal, hiperemi (+), edema (-)

Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)

Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)

Tonsila palatine Kanan Kiri

Ukuran T3 T3

Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)

Permukaan Tidak rata Tidak rata

Kripte Melebar Melebar

Detritus (+) (+)

Peri Tonsil Abses (-) Abses (-)

Fossa Tonsillaris

dan Arkus Faringeus

hiperemi (+) hiperemi (+)

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium: Darah lengkap, bleeding time, cloting time.

2.5. DIAGNOSIS

Tonsilitis kronis

2.6. DIAGNOSIS BANDING

Tonsilofaringitis kronis

2.7. RENCANA TERAPI

2.7.1. Obat-obatan

7

Page 8: laporan kasus tonsilitis kronis

Amoxicillin (sirup kering 250mg/5ml) selama 5-7 hari

Paracetamol sirup (120mg/5ml)

Obat kumur + desinfektan

2.7.2. Pembedahan

Tonsilektomi.

2.8. KIE pasien

2.8.1. Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, manis, pedas,

dan lainnya yang dapat mengiritasi tenggorokan. Begitu pula dengan

minuman dingin.

2.8.2. Menjaga higiene mulut.

2.8.3. Datang kembali untuk kontrol setelah 5 hari, untuk melihat

perkembangan penyembuhan.

2.8.4. Sarankan keluarga untuk menjaga kesehatan pasien dan

mempertimbangkan untuk melakukan operasi pengangkatan amandel

atau tonsilektomi jelaskan indikasi, dan komplikasinya.

8

Page 9: laporan kasus tonsilitis kronis

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. EMBRIOLOGI

Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong

faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan

bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal

dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia

kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada

sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-sel limfatik.

Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau

trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel

germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan

interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium). (Adam LG et al, 2001)

Gambar 1 Gambaran Histologi Tonsil

3.2. ANATOMI

Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang

letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Berdasarkan

lokasinya, tonsil dibagi menjadi; Tonsilla lingualis yang terletak pada radix

linguae, Tonsilla palatina (tonsil) yang terletak pada ismus faucium antara arcus

glossopalatinus dan arcus glossopharingicus, Tonsilla pharingica (adenoid) yang

9

Page 10: laporan kasus tonsilitis kronis

terletak pada dinding dorsal dari nasofaring, Tonsilla tubaria yang terletak pada

bagian lateral nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva dan Plaques dari peyer

(tonsil perut), terletak pada ileum.

Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla palatina,

Tonsilla pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada

pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan

nama cincin waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi

melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi

hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan

tonsil pada umur 5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.

Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting

dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah masa jaringan limfoid yang terletak di

dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai

origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral

lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertical dan di atas melekat

pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas ke

bawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada

palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot

ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior

akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan leteral dinding faring.

Gambar 2 : Cincin Waldeyer

10

Page 11: laporan kasus tonsilitis kronis

Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting pada awal

kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan local yang setiap saat berhubungan

dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun.

Fungsi ini didukung secara anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan

jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar,

sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian

kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada

permukaan penyusun cincin waldeyer itu semakin besar. (Soepardi et al, 2007)

Gambar 3 : Tonsil palatina

11

Page 12: laporan kasus tonsilitis kronis

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah: (Soepardi

et al, 2007)

Anterior : arcus palatoglossus

Posterior : arcus palatopharyngeus

Superior : palatum mole

Inferior : 1/3 posterior lidah

Medial : ruang orofaring

Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior

oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang

dan lateral tonsila.

Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk

triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum

nasi dan sinus paranasals pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga

tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.

Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan

terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami

regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran

adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran

maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang teijadi

selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti. virus,

bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.

12

Page 13: laporan kasus tonsilitis kronis

Gambar 4. Adenoid

Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas

anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot

konstriktor faring superior. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah

yang kosong di atasnya dikenal sebagai fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsil

terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap

kali makan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga

disebut kapsul tonsil, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.

(Soepardi et al, 2007)

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna

yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan

a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina

desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal

asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan

memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,

mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.

Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar

m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan

mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior.

13

Page 14: laporan kasus tonsilitis kronis

Gambar 5 perdarahan tonsil

Tonsil dipersarafi oleh nervus trigeminus dan glossofaringeus. Nervus

trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati

ganglion sfenopalatina yaitu nervus palatine. Sedangkan nervus glossofaringeus

14

Page 15: laporan kasus tonsilitis kronis

selain mempersarafi bagian tonsil, juga dapat mempersarafi lidah bagian belakang

dan dinding faring. (Nurjanna Z, 2011)

3.3. IMUNOLOGI TONSIL

Tonsil palatina merupakan penghasil utama dari sitokin yang dihasilkan

oleh makrofag - makrofag dan partikel netrofil didalam tubuh yang merupakan

mekanisme pertahanan tubuh dan juga merupakan organ limfatik sekunder yang

diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.

Interleukin ( IL) seperti IL-1β, IL-6 . dan tumor necrosis factor- α juga berperan

dalam pertahanan tubuh pada fase akut. Secara sistemik proses imunologi dari

tonsil terbagi 3 yaitu; (Wanri, Arwansyah. 2007)

Respon imun tahap 1.

Respon imun tahap 2.

Migrasi limfosit

Pada respon imun tahap 1 terjadi ketika antigen memasuki orofaring

mengenai epitel kripta yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai

barrier imunologi. Sel M tidak hanya berperan untuk mentransport antigen

melalui barrier tetapi juga membentuk kompartemen intraepitel spesifik yang

membawa material asing dalam konsentrasi yang tinggi secara bersamaan. Respon

imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripta dan

mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid, sel plasma tonsil juga

menghasilkan lima jenis Ig ( Ig G 65 %, Ig A 30%, Ig M, Ig d, Ig E) yang

membantu melawan dan mencegah infeksi. Respon imun berikutnya berupa

migrasi limfosit. Dari penelitian didapat bahwa migrasi limposit berlanjut terus

menerus dari darah ke tonsil dan kembali ke sirkulasi melalui pembuluh limfe.

Tonsilektomi merupakan tindakan operasi yang sering dilakukan pada

bidang THT. Ikinciogullary melaporkan kadar IgG, IgA, dan IgM dalam serum

mengalami penurunan setelah dilakukan tindakan tonsilektomi dibandingkan

dengan kadar sebelum operasi. Walaupun demikian, menurut Ikinciogullary

perubahan ini tidak menyebabkan defisiensi imun yang signifikan. Hasil yang

15

Page 16: laporan kasus tonsilitis kronis

berbeda didapatkan oleh Faramazi (Iran, 2006), bahwa kadar IgA mengalami

peningkatan pada minggu-minggu awal pasca tonsiloadenoidektomi. Sedangkan

IgG dan IgM mengalami perubahan yang tidak bermakna. Faramazi juga

mendapatkan kadar limfosit T mengalami penurunan yang ringan, dan kembali

normal setelah 8 minggu. Sedangkan kadar limfosit B tidak mengalami perubahan

yang signifikan. Selain itu, aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada

usia 3-10 tahun sehingga sampai saat ini masih terdapat kontroversi di kalangan

ahli penyakit dalam, ahli bagian anak dan ahli THT dalam hal pendekatan

diagnostik dan terapi pada kasus anak.

3.4. DEFINISI

Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari

cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang

terdapat di dalam rongga mulut, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina

(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustasius (lateral

band dinding faring/Gerlach’s tonsil).

Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya

menahun. Yang dimaksud kronis adalah apabila terjadi perubahan histologis pada

tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan

fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel – sel radang yang dapat menjadi fokal infeksi

bagi organ – organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain – lain. (Soepardi et

al, 2007)

Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut yang

tidak mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam

waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti

dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4

bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis

kronis yang merupakan infeksi fokal. (Amarudin, 2005)

Faktor predisposisi lain timbulnya tonsillitis kronis ialah rangsangan yang

menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,

16

Page 17: laporan kasus tonsilitis kronis

pengaruh cuaca, dan kelelahan fisik. Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis

akut tetapi kadang kuman berubah menjadi kumah golongan gram negatif.

(Soepardi et al, 2007)

3.5. ETIOLOGI

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari

tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau

kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab

tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis akut, yang paling sering

adalah kuman gram positif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling

banyak ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus β hemolyticus.

Beberapa jenis bakteri lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus,

Pneumococcus, Haemophylus influenza, virus, jamur dan bakteri anaerob.

(Nurjanna Z, 2011)

3.6. PATOFISIOLOGI

Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte-

kriptenya, sampai disitu secara aerogen (melalui hidung, droplet yang

mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil),

maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan. (Nurjanna Z,

2011)

Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik

yang melalui hidung maupun mulut. Kuman yang masuk kesitu dihancurkan oleh

makrofag, Sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi maka

pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibatnya

kuman bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil

berubah menjadi sarang infeksi (tonsil sebagai fokal infeksi). Sewaktu – waktu

kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan umum yang

menurun. (Nurjanna Z, 2011)

17

Page 18: laporan kasus tonsilitis kronis

Fokal infeksi adalah sumber kuman di dalam tubuh dimana kuman dan

produk-produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat

menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau

bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau

gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi. Penyebaran

kuman atau toksin dapat melalui beberapa jalan. Penyebaran jarak dekat biasanya

terjadi secara limfogen, sedangkan penyebaran jarak jauh secara hematogen.

Fokal infeksi secara periodik menyebabkan bakterimia atau toksemia. Bakterimia

adalah terdapatnya kuman dalam darah. Kuman-kuman yang masuk ke dalam

aliran darah dapat berasal dari berbagai tempat pada tubuh. Darah merupakan

jaringan yang mempunyai kemampuan dalam batas-batas tertentu untuk

membunuh kuman-kuman karena adanya imun respon. Maka dalam tubuh sering

terjadi bakterimia sementara. Bakterimia sementara berlangsung selama 10 menit

sampai beberapa jam setelah tindakan. (Nurjanna Z, 2011)

3.7. MANIFESTASI KLINIS & DIAGNOSIS

Pasien dengan tonsillitis kronis akan mengeluh ada penghalang/rasa

mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,

kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. (Soepardi et al, 2007)

Bila tonsillitis kronis tersebut dalam keadaan eksaserbasi akut maka aka

nada tanda-tanda infeksi seperti demam, infeksi saluran nafas, nyeri menelan,

lesu, tidak nafsu makan, pada pemeriksaan tonsil terlihat hiperemi, membengkak,

ada kripte melebar, dan detritus. (Soepardi et al, 2007)

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan

mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan

medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:

(Soepardi et al, 2007)

18

Page 19: laporan kasus tonsilitis kronis

TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas

yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi

hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat

menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur

yang dapat diketahui dalam anamnesis. (Nurjanna Z, 2011)

3.8. TATALAKSANA

Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan

pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana

penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-

gejala. Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi

tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat

irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan

infeksi kronis maupun berulang. (Dedya et al, 2009)

Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan

mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam

parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan

yang efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil.

Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada

parenkim tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan

pemeriksaan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes

diagnostik yang menjanjikan. (Nurjanna Z, 2011)

Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology –

Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995

19

Page 20: laporan kasus tonsilitis kronis

menetapkan : Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of

Otolaryngology,Head and Neck Surgery: (Derake A, 2002)

a) Indikasi absolut:

i) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas,

disfagia menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar.

ii) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofacial

iii) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang

tidak hilang dengan pengobatan. Otitis media efusi atau otitis media

supuratif.

iv) Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi

v) Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai

keganasan)

b) Indikasi relatif :

i) Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam

setahun meskipun dengan terapi yang adekuat

ii) Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis

kronis tidak responsif terhadap terapi media

iii) Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus

yang resisten terhadap antibiotik betalaktamase

iv) Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

c) Kontra indikasi :

i) Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi

ii) Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya

tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi

iii) Infeksi saluran nafas atas yang berulang

iv) Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak

terkontrol.

v) Celah pada palatum

20

Page 21: laporan kasus tonsilitis kronis

3.9. KOMPLIKASI

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.

Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul

endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,

urtikaria, dan furunkolosis.

3.10.PROGNOSIS

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan

pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat

penderita tonsilitis lebih nyaman. (Nurjanna Z, 2011)

21

Page 22: laporan kasus tonsilitis kronis

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan nyeri dan sulit menelan yang sebelumnya

diawali oleh demam, batuk, dan pilek. Ketika dimintai keterangan lebih lanjut,

pasien mengaku sejak dulu sudah sering merasa sulit menelan. Saat dilakukan

pemeriksaan pada daerah tenggorok, terlihat tonsil membesar T3 (dextra) dan T3

(sinistra) dengan tampilan hiperemis, bengkak, kripte melebar, dan terlihat

detritus. Keterangan tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mendiagnosa

pasien dengan tonsillitis kronis eksaserbasi akut. Hal ini diperkuat dengan riwayat

infeksi yang sedang diderita pasien saat ini yaitu demam, batuk, dan pilek yang

menandakan adanya eksaserbasi akut.

Dilihat dari ukurannya T3 dan T3, keadaan pasien merasa kesulitan untuk

makan dan minum, dan seringnya keadaan ini kambuh dalam 1 bulan terakhir,

maka disarankan untuk dilakukan operasi tonsilektomi. Namun sebelum

dilakukan tonsilektomi, peradangan pada tonsil ditenangkan terlebih dahulu

dengan terapi medikamentosa sembari memberi waktu keluarga untuk

mempertimbangkan persetujuan operasi. Ketika nanti telah ada persetujuan untuk

dilakukannya tonsilektomi dan saat kontrol kembali keadaan tonsil sudah tenang,

maka dapat dipersiapkan untuk operasi, mulai dengan pemeriksaan laboratorium

untuk mengecek darah lengkap, bleeding time dan clotting time.

22