laporan kasus anastesi

70
BAB I LAPORAN KASUS 1.1 Identitas Nama Pasien : Nn. Milla Hanifa Umur : 18 tahun Alamat : Kedung Mentawar Ngimbang, Lamongan Ruang rawat : Asoka HCU ASKES/ NON ASKES : Umum MRS : 05 April 2011 pukul 15.25 No. Reg : 07.08.86 1.2 Anamnesis Riwayat penyakit sekarang : Pasien jatuh dari sepeda motor. Saat kejadian pasien pingsan (+) dan muntah (+). Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi (-), DM (-), riwayat alergi (-). Riwayat penyakit keluarga : (-). Riwayat pribadi, sosial ekonomi dan budaya : (-). 1.3 Pemeriksaan fisik Somnolen Anemia (-), Ikterus (-), Cyanosis (-) Tekanan darah (T) : 120/90 mmHg Nadi (N) : 76 x/menit Respiratory Rate (RR) : 20 x/menit Suhu (t) : 37 ◦C 1

Upload: edwin-f-freecss-wowor

Post on 16-Apr-2015

236 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

laporan trepanasi

TRANSCRIPT

Page 1: laporan kasus anastesi

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas

Nama Pasien : Nn. Milla Hanifa

Umur : 18 tahun

Alamat : Kedung Mentawar Ngimbang, Lamongan

Ruang rawat : Asoka HCU

ASKES/ NON ASKES : Umum

MRS : 05 April 2011 pukul 15.25

No. Reg : 07.08.86

1.2 Anamnesis

Riwayat penyakit sekarang : Pasien jatuh dari sepeda motor. Saat kejadian pasien

pingsan (+) dan muntah (+).

Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi (-), DM (-), riwayat alergi (-).

Riwayat penyakit keluarga : (-).

Riwayat pribadi, sosial ekonomi dan budaya : (-).

1.3 Pemeriksaan fisik

Somnolen

Anemia (-), Ikterus (-), Cyanosis (-)

Tekanan darah (T) : 120/90 mmHg

Nadi (N) : 76 x/menit

Respiratory Rate (RR): 20 x/menit

Suhu (t) : 37 ◦C

Berat badan : 40 kg

Tinggi badan : 160 cm

1

Page 2: laporan kasus anastesi

Sistem Pernafasan :

Tidak ada kelainan

Tidak ada darah

Sesak : (-)

Tipe pernafasan : pernafasan dada

Retraksi dada : (-)

Bunyi nafas : bersih

Sistem jantung dan aliran darah :

Warna kulit : merah muda

Edema : (+) pada extremitas atas

CRT : < 2 detik

Bunyi jantung : S1 dan S2

Ictus : (-)

Clubbing finger : (-)

Sistem integumen/kulit :

Warna : kemerahan

Lembab : (+)

Turgor : normal

Sistem muskulosletal/otot dan tulang :

Nyeri : (-)

Fraktur : (-)

Sistem Persyarafan :

Kesadaran : somnolen

GCS : 345

Reflek cahaya : Dex/Sin +/+

Pupil : Isokor

Perubahan perfusi jaringan serebral oleh karena penurunan oksigenasi.

2

Page 3: laporan kasus anastesi

Sistem penglihatan :

Conjungtiva : merah muda

Alat bantu : (-)

Sistem pendengaran : (+)

Sistem pencernaan :

Abdomen : lunak

Kesulitan mengunyah : (-)

Kesulitan menelan : (-)

Bising usus : normal

Nutrisi :

Nafsu makan : berkurang

Kemampuan makan : dibantu

Diit : puasa

Pola makan : 3x/hari beragam

Minum : 5x/hari beragam

NGT : (-)

Infus : (+)

Pola eliminasi :

BAK : dibantu

Drainase : dower catheter

BAB : dibantu 1x

Konsistensi : lembek

Darah : (-)

Colostomy : (-)

3

Page 4: laporan kasus anastesi

1.4 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium I

Hematologi

Hb : 10,7 g/dl

Lekosit : 31.100 sel/cmm

Hct : 31,3 %

Eritrosit : 3.620.000

Trombosit : 172.000 ul

Pemeriksaan Laboratorium II

Hematologi

Hb : 12,5 g/dl

Lekosit : 27.500 sel/cmm

Hct : 37,5 %

Eritrosit : 4.210.000

Trombosit : 237.000 ul

LED : 50/105

Masa perdarahan : 2 menit 50 detik

Masa pembekuan : 12 menit 40 detik

Kimia klinik

Glukosa sewaktu : 193 mg/dl

SGOT : 36 u/l

SGPT : 10 u/l

Kreatinin serum : 0,83 mg/dl

Urea : 27,7 g

Hasil Pemeriksaan CT-Scan

Dari hasil pemeriksaan CT-Scan di dapatkan adanya hematom epidural (EDH)

pada temporal dextra dan adanya hematom subdural (SDH) pada frontotemporal

sinistra.

4

Page 5: laporan kasus anastesi

1.5 Diagnosis

Cedera otak sedang dengan EDH (Epidural hematom) temporal dextra dan

SDH (Subdural hematom) frontotemporal sinistra.

1. 6 Rencana operasi

Kraniotomi atau Trepanasi dengan dekompresi.

ASA : 4 E.

1.7 Laporan anestesi

Pada kasus ini mengunakan general anestesi (GA), sistem anestesinya

semi close system.

Cairan masuk : Pre Op = RL 500 ml

Durante Op = RL 2500 ml, PZ/NaCl 1000 ml, WB 3

kantung (350 ml/kantung), Manitol 250 ml

Cairan keluar : Perdarahan 2000 cc

Jalannya anestesi :

Anestesi mulai pada pukul 21.15 WIB

Peroksigenasi selama 5 menit

Induksi apneu intubasi

ETT no. 7, cuffed (+), mayo (+)

Semi close system

Gas anestesi (anestesi inhalasi) Isofluran dengan O2 dan N2O 2 lpm

Cairan yang masuk :

RL1 pukul 22.20 WIB

RL2 pukul 22.55 WIB

RL3 pukul 23.10 WIB

RL4 pukul 23.50 WIB

RL5 pukul 00.20 WIB

PZ/NaCl1 pukul 23.15 WIB

PZ/NaCl2 pukul 00.55 WIB

WB1 pukul 22.00 WIB

WB2 pukul 23.50 WIB

5

Page 6: laporan kasus anastesi

WB3 pukul 01.05 WIB

Manitol pukul 01.05 WIB

1.8 Laporan operasi

1. Posisi terlentang, kepala menoleh ke kiri dan kanan.

2. Desinfeksi.

3. a. Beri question mark region temporal dextra, lalu membuat 5 lubang boorhole,

kraniotomi dengan gigli.

b. Beri question mark region frontotemporal sinistra, lalu membuat 5 lubang

boorhole, kraniotomi dengan gigli.

4. Didapatkan :

a. EDH temporal basal dextra,

b. SDH frontotemporal sinistra,

c. Otak tegang.

5. Dilakukan :

a. Gantung duramater,

b. Evaluasi EDH temporal dextra dan SDH frontotemporal sinistra,

c. Tulang dikembalikan pada sisi kanan, tulang di samping subgaleal pada sisi

kiri.

6. Kulit ditutup lalu pasang Radon Drain.

7. Operasi selesai.

1.9 SOAP

05 April 2011

S : -

O : K/U lemah gelisah, GCS 335 pupil Ø 2mm/2mm, TD

120/90 mmHg, N 76 x/menit

Perubahan pupil:

o Pukul 16.00 : pupil isokor

o Pukul17.00 : pupil isokor

o Pukul 18.00 : pupil anisokor

o Pukul 19.00 : pupil anisokor

6

Page 7: laporan kasus anastesi

o Pukul 20.00 : pupil anisokor

A : masalah belum teratasi

P : lanjutkan intervensi (persiapan trepanasi pukul 21.00

WIB)

06 April 2011 pukul 05.00 WIB

S : (Pasien datang dari Ruang OK pukul 03.45 WIB)

O : - K/U koma

- Pernafasan dengan respirator ventilator mode IPPV, Vt

450, mv 1.6, Frek 12, F1O2 80, pp 30, peep 5

- Tanda vital : TD 120/80 mmHg, S 38˚C, N 80 x/menit

- ECG monitor irama sinus

- Kesadaran koma GCS E1VxM1

- Pupil midriasis 4/4

- Reaksi cahaya +/+

- Produksi urine 3 jam 100 cc

- Pakai F.cath

- Perut kembung, bising usus +, NGT +

- Diet : puasa

- Bed rest total

- Pasang infuse D5 ½ NS sebelah kanan dan cairan manitol

6 x 100 cc sebelah kiri

- Kolaborasi : injeksi nufirom 3 x 1, teranol 3 x 30,

gootrofil 4 x 3, gastidin 3 x 1, kutoin 3 x 1

A : Bersihan jalan nafas in efektif b.d intubasi + pasang

ventilator, masalah belum teratasi

P : Lanjutkan intervensi, suction secret, monitor lokasi selang

7

Page 8: laporan kasus anastesi

06 April 2011 pukul 10.35 WIB

S : -

O : K/U koma, GCS 1X1, pupil midriasis maksimal, TD

palpasi, HR 40-55 x/mnt

A : Dopamin syring 7-10 mcg

P : Memberitahukan kepada keluarga tentang kondisi pasien

yang memburuk

06 April 2011 pukul 10.40 WIB pasien meninggal dunia di samping perawat

dan keluarga.

8

Page 9: laporan kasus anastesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan

aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi

digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.

Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun

obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga

menghilangkan kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut,

maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot

yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.

Tujuannya untuk menghalau rasa sakit di bagian tubuh tertentu, daripada

harus melakukan pembiusan total. Tujuan anastesi adalah untuk menyediakan,

atau menghilangkan rasa sakit. Memblokir impuls saraf dari bagian bawah

segmen tulang belakang yang mengakibatkan penurunan sensasi di bagian bawah

tubuh.

Tindakan anestesi bertujuan untuk keselamatan pasien dalam menjalani

tindakan operasi. Keselamatan pasien akan lebih terjamin bila dapat dicegah atau

dihindari hal-hal yang dapat membahayakan pasien baik selama operasi maupu

sesudahnya.

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi

umum. Pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran,

sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.

General anestesi atau anestesi umum adalah kadar ketidaksadaran yang

reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada

seluruh tubuh. Obat-obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi, IV, IM,

oral, rektal. Anestesi inhalasi antara lain adalah nitrous oxide / N2O, halothane,

9

Page 10: laporan kasus anastesi

enflurane, isoflurane, sevoflurane. Anestesi IV/ IM adalah thiopental, propofol,

ketamin, midazolam, diazepam. Anestesi perektal : thiopental.

2.1.1 Penilaian dan Persiapan Pre Anestesi

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang

sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah

untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan

memilih teknik dan obat anestetik yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang

sesuai (Latief, 2009). Persiapan pre anestesi antara lain:

a. Anamnesis

a. Identifikasi pasien yang meliputi: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.

b. Keluhan saat ini dan operasi yang akan dihadapi.

c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat mejadi penyulit anestesi

(alergi, DM, penyakit paru kronis, penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal,

penyakit hati, dll).

d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat dan obat yang

digunakan sekarang dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anastesi.

e. Riwayat anastesi / operasi sebelumnya.

f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tndakan anestesi seperti

merokok, alkohol, dll.

g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan.

h. Makanan yang terakhir dimakan.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relaif besar

sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi

intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak

boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sitem

organ. Sistem organ yang harus diperiksa meliputi:

10

Page 11: laporan kasus anastesi

Breath (B1) : Jalan napas, pola napas, suara napas, suara napas tambahan.

Blood (B2) : Tekanan darah, nadi, perfusi, suara jantung, suara tambahan,

kelainan anatomis dan fungsi jantung.

Brain (B3) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat/perifer lainnya.

Bladder (B4) : GGA, GGK, produksi urine.

Bowel (B5) : Makan – minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,

gangguan lambung, gangguan metabolik, massa, kehamilan.

Bone (B6) : Patah tulang atau fraktur, kelainan postur tubuh, kelainan

neuromuskular.

c. Pemeriksaan Laboratorium

a. Rutin : darah lengkap (Hb, leukosit, hitung jenis, golongan darah, masa

perdarahan, masa pembekuan); urin (protein, reduksi, sedimen), foto dada, EKG

terutama pasien berumur lebih dari 40 tahun), Fungsi ginjal, fungsi liver, dll.

b. Khusus, dilakukan bila terdapat riwayat atau indikasi, yaitu :

o Elektrokardiografi pada anak,

o Spirometri atau bronkospirometri pada pasien tumor paru,

o Fungsi hati pada pasien ikterus,

o Fungi ginjal pada pasien hipertensi.

d. Kebugaran untuk Anestesi

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan

agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang

tidak perlu harus dihindari (Latief, 2009).

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang

ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA)

membuat klasifikasi pasien menjadi:

Kelas I : pasien normal dan sehat organik, fisiologis, psikiatrik, dan

biokimia.

Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada

keterbatasan fungsional.

11

Page 12: laporan kasus anastesi

Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik sedang sampai berat

yang menyebabkan keterbatasan fungsi.

Kelas IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang

mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.

Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Pada bedah cito atau emergncy biasanya dicantumkan huruf E.

e. Perencanaan Anestesi

Rencana anestesi meliputi hal-hal berikut, yaitu :

1. Premedikasi

2. Jenis anestesi : umum / anestesi lokal

3. Perawatan selama anestesi : pemberian oksigen dan sedasi

4. Pengaturan intra / durante operasi meliputi monitoring, keracunan, pengaturan

cairan, dan penggunaan teknik khusus

5. Pengaturan pasca operasi meliputi pengendalian nyeri dan perawatan intensif.

f. Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anetesi

diantaranya:

a) Meredakan kecemasan dan ketakutan

b) Memperlancar induksi anestesi

c) Megurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

d) Meminimalkan jumlah obat anestesi

e) Mengurangi mual muntah pasca bedah

f) Menciptakan amnesia

g) Mengurangi isi cairan lambung

h) Mengurangi reflek yang membahayakan

12

Page 13: laporan kasus anastesi

Obat – obat yang digunakan untuk premedikasi antara lain:

Golongan sedativa

Valium : 0,01 mg/kgBB.

Luminasi kemasan 1 ampul = 100 mg, dosis : 0,01 mg/kgBB.

Golongan narkotik

Petidin kemasan 1 ampul = 100mg, dosis 1mg/kg BB.

Morphin kemasan 1 ampul, dosis : 0,1 g.kg BB.

Golongan Belladona

Sulfas atropin kemasan 1 ampul = 0,25 mg, dosis 0,01 – 0,04 mg/kg BB.

Golongan antasida

Gelusil dan mylanta diberian 10-20 cc atau 1-3 sendok setelah suction aktif.

2.1.2 Anestesi Umum

General anestesi atau anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit secara

sentral disertai hilangnya kesadaran (revesibel) (Sumartanto, 2005). Kadar

ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai

hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Induksi anestesi adalah tindakan

untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar.

Fisiologi terjadinya anestesi :

Obat anestetika masuk ke pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar

ke jaringan, yang pertama terpengaruh adalah jaringan yang kaya akan pembuluh

darah yaitu otak sehingga kesadaran menurun/hilang, disertai hilangnya rasa nyeri

dan lain-lain.

Cara pemberian obat :

Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan cara inhalasi, intravena (IV),

intramuskular (IM), atau rektal. Anestesi inhalasi : nitrous oxide / N2O,

halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane. Anestesi IV/ IM : thiopental,

propofol, ketamin, midazolam, diazepam. Anestesi perektal : thiopental (Latief,

2009).

13

Page 14: laporan kasus anastesi

Kontra indikasi :

1. Kontra indikasi mutlak payah jantung.

2. Kontra indikasi relatif, tergantung kepada efek farmakologis dari obat yang

dipakai yaitu:

a. Kelainan jantung : hindarkan pemakaian obat yang mendepresi miokard, misalnya

eter, tiopental dan halotan.

b. Kelainan hepar : hindarkan obat yang dimetabolisme di hepar.

c. Kelainan ginjal : hindarkan obat yang diekresi di ginjal, misal petidin/gallarmin,

morfin

d. Kelainan paru : hindarkan obat-obat yang menyebabkan hipersekresi saluran

pernafasan yang mengakibatkan pengentalan sekresi dalam paru misal eter.

e. Kelainan endokrin : pada diabetes melitus hindarkan pemakaian obat yang

merangsang simpatis karena menyebabkan peninggian gula darah misal eter.

Induksi Intravena :

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah

terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena

hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.

Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama

induksi anestesi, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan

selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Tiopental diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis 3-7

mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan

dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.

Propofol intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3

mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri sehingga satu

menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kg secara intravena.

Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan

ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan

menggunakan sedativa seperti midasolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien

dengan tekanan darah tinggi. Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi

dengan mata terbuka.

14

Page 15: laporan kasus anastesi

Tabel Anestesi Intravena

Ketamin Propofol Droperidol Penthotal

- Meningkatkan efek

simpatis

- Meningkatkan tensi

- Meningkatkan HR

- Meningkatkan TIO &

TIK

- Timbul gerakan

voluntai/ekstrapiramida

l

- Hipersalivasi

- Halusinasi

- Psikomimetik efek

- Mimpi buruk setelah

anestesi

- Dosis besar dan

pemberian cepat

menyebabkan depresi

nafas

- Melewati barier

plasenta

- Meningkatkan

kontraksi uterus

- Dosis kecil bersifat

bronkodilatasi

- Dimetabolisme di

hepar

- Merupakan analgetik

poten

-Mengandung telur

lecitin, glicerol dan

soybean oil

-Tidak mempunyai

efek analgetik

-Mempunyai efek

sedasi

-Depresi

cardiovascular

-Menurunkan COP

dan tensi

-Depresi nafas

-Iritasi vena

-Menurunkan post

operative nausa

vomiting

-Long acting

sedasi

-Neuroleptik

-Alfa adrenergik

boking agen

sehingga

menurunkan

tekanan darah

-Kelainan

psikomotor

-Agitasi

-Tidak toxic

terhadap organ

-Anti emetik poten

-Bisa

menimbulkan efek

extrapiramidal

-Basa kuat

-Depresi respirasi

sampai apneu

-Depresi miokard

-Vasodilatasi

pembuluh darah

-Menurunkan tensi

-Menurunkan COP

-Histamin release

(reaksi alergi)

-Iritasi vena dan

nyeri tempat

suntikan

-Plebitis

Induksi Inhalasi :

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan atau sevofluran. Cara

induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau

pada dewasa yang takut disuntik.

15

Page 16: laporan kasus anastesi

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran

N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai

konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan

untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang

diperlukan.

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang

batukwalupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%.

Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.

Induksi dengan enfluran, isofluran atau desfluran jarang dilakukan, karena

pasien sering batuk dan waktu induksi lama.

Tabel Anestesi Inhalasi

Nitrous

oxide / N2O

Halothane Enflurane Isoflurane Sevoflurane

Sistem

respirasi

-menyebabkan

tachypnea

-menurunkan

tidal volume

-hypoxic drive

- menurunkan

tidal volume

-meningkatkan

respiratory rate

-meningkatkan

PaCO2

-bronchodilator

yang poten

-meningkatkan

frekwensi nafas

- menurunkan

minute

ventilation

-meningkatkan

PaCO2

-menurunkan

minute

ventilation

- jarang

menyebabkan

tachypnea

-depresi

respirasi

-meningkatkan

frekwensi nafas

Sistem

kardio

vaskuler

-merangsang

sistem saraf

simpatis

- meningkatkan

resistensi

vasculer

pembuluh darah

paru-paru

-depresi

kontraktilitas

myocard

- menurunkan

frekwensi

jantung

-menurunkan

coronary blood

flow

-depresi

kontraktilitas

myocard

-menurunkan

SVR

- meningkat

kan frekwensi

jantung

-menurunkan

SVR

-dilatasi arteri

koronaria

-menurunkan

tekanan darah

-depresi

kontraktilitas

myocard

-memperpan

jang QT interval

SSP - meningkatkan

cerebral blood

flow

meningkatkan

intra cranial

pressure

-vasodilator

pembuluh darah

cerebral

-meningkatkan

CBF

-menurunkan

-meningkatkan

CBF dan ICP

- menurunkan

CMR

- meningkatkan

aktifitas kejang

-pada

konsentrasi > 1

MAC,

meningkatkan

CBF dan ICP -

menurunkan

-sedikit

meningkatkan

CBF & ICP

- menurunkan

CMR O2

16

Page 17: laporan kasus anastesi

(peningkatan

ringan)

CMR CMR O2

Renal menurunkan

RBF & GFR

menurunkan

RBF & GFR

menurunkan

RBF dan GFR

menurunkan

RBF dan GFR

sedikit

menurunkan

RBF

Hepatik menurunkan

hepatic blood

flow

menurunkan

hepatic blood

flow

-menurunkan

hepatic blood

flow

-mempertahan

kan perfusi

hepar

-meningkatkan

artery blood

flow

- menurunkan

portal vein

blood flow

Induksi Intramuskular :

Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara

intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi Perrektal :

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau

midazolam.

2.2 Bedah

2.2.1 Cedera Otak

Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan

langsung pada kepala. Pada suatu benturan dapat dibedakan beberapa macam

kekuatan yakni kompresi, akselerasi, dan deselerasi. Sulit dipastikan kekuatan

mana yang paling berperan.

Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa

fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom

epidural, subdural atau intraserebral. Cedera difus dapat menyebabkan gangguan

fungsional saja yakni gegar otak atau cedera struktural yang difus.

Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan ke seluruh arah.

Gelombang ini mengubah tekanan jaringan, dan bila tekanan cukup besar, akan

terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau di

tempat yang berseberangan dengan benturan (contra coup).

17

Page 18: laporan kasus anastesi

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.

Meskipun otak hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, ia menerima

20% dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen

tersebut dikonsumsi oleh substansia kelabu.

Cedera otak yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer.

Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen

dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena

berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran

darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera otak harus

dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak

terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup.

Gangguan metabolisme jaringan otak akan menyebabkan odem yang dapat

mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum atau herniasi

di bawah falks serebrum.

Jika terjadi hernia jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami

iskemia sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang

menimbulkan kematian.

Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera

otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat

yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran

yang berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat

digolongkan menjadi ringan, bila derajat koma Glasgow total adalah 13-15,

sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8. Lokasi cedera otak primer dapat ditentukan

pada pemeriksaan klinik.

18

Page 19: laporan kasus anastesi

a. Definisi

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang

disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitiel dalam substansi otak tanpa

diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Cedera kepala terbuka berarti kulit mengalami laserasi sampai pada

merusak tulang tengkorak, sedangkan pada cedera kepala tertutup dapat

disamakan dengan gegar otak ringan dengan disertai edema serebral.

Kup dan kontra kup menggambarkan lokasi kerusakan internal otak

sebagai akibat dari proses benturan. Kontra kup adalah kerusakan yang terjadi

berlawanan dengan daerah benturan. Ini merupakan akibat dari daya atau

kekuatan benturan yang berjalan sepanjang jaringan otak dan karenanya berat

ringannya tergantung dari kekuatan benturan tersebut.

Berdasarkan GCS ( Glasgow Coma Scale ), cedera kepala digolongkan ke

dalam :

1. Cedera kepala ringan :

Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit

tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur

tengkorak, kontosio atau hematum (sekitar 55 %).

2. Cedera kepala sedang :

Jika GSC antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit – 24 jam,

dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).

19

Page 20: laporan kasus anastesi

3. Cedera kepala berat :

Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi kontosio

serebral, laserasi atau adanya hematum atau edema.

b. Manifestasi cedera

1. Fraktur Tengkorak

Susunan tulang tengkorak dan lapisan kulit kepala membantu

menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekuatan yang

ditransmisikan kedalam jaringan otak.

Ada dua bentuk umum dari fraktur yaitu fraktur garis (linear) umum terjadi

disebabkan oleh pemberian kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area

tengkorak tertentu dan fraktur tengkorak seperti bagian tulang frontal / temporal.

2. Gegar otak

Merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak ringan yang

menyebar. Gangguan neurologis sementara dan dapat pulih tenpa ada kehilangan

20

Page 21: laporan kasus anastesi

kesadaran. Mungkin mengalami disorientasi ringan, pusing, gangguan memori

sementara, kurang konsentrasi, mungkin juga mengalami amnesia retrogate.

3. Kontosio

Menggambarkan area otak yang mengalami memar. Memar umumnya pada

permukaan yang disertai dengan hemoragik kecil-kecil pada substansi otak.

Gejala bervariasi tergantug lokasi dan derajat. Dapat menimbulkan edema serebral

2-3 hari post trauma. Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK (tekanan

intra kranial) dan meningkatkan mortalitas (45%)

4. Hematom Epidural

Perdarahan yang terjadi pada ruang epidural yaitu antara tulang tengkorak

dan lapisan durameter. Ini terjadi karena adanya robekan cabang kecil arteri

meningeal media / meningeal frontal

5. Hematom Subdural

Perdarahan yang terjadi pada ruang subdural antara lapisan durameter dan

lapisan arachnoid, terjadi sebagai akibat robekan vena yang ditemukan pada ruang

ini.

21

Page 22: laporan kasus anastesi

6. Hematom Subarachnoid

Perdarahan yang terjadi pada ruang arachnoid yaitu antara lapisan arachnoid

dengan piameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah

tersebut.

7. Hematom Intracerebral

Penggumpalan darah 25 ml atau lebih pada parenkim otak. Penyebabnya

seringkali karena adanya infresi fraktur, gerakan akselerasi dan deselerasi yang

tiba-tiba.

c. Potensi komplikasi

Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah cedera kepala :

1. Kejang

2. Bocornya cairan serebrospinal

3. Hipertermia

4. Masalah Mobilisasi

5. Infeksi

6. Hipovolemik

d. Pemeriksaan diagnostik

Beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain : CT scan,

foto tengkorak, MRI, AGD (Analisa Gas Darah) untuk mengetahui adanya

masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. Kadar

kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam

meningkatkan TIK.  

2.2.2 Perdarahan Subdural

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis

walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga

tidak terungkap oleh anamnesis. Yang sering kali berdarah ialah “bridging veins”,

karena tarikan ketika terjadi penggeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural

paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di

daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins”. Karena perdarahan

22

Page 23: laporan kasus anastesi

subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang berkumpul

berjumlah hanya 100 sampai 200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti

karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 harihematom mulai

mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah

yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ

bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas

hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan

kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan

dan sisa darah (higroma).

Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh

setelah mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan “latent

interval” dan bisa berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan ada

kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun demikian, “latent interval” itu

bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya

dalam “latent interval” kebanyakan penderita hematoma subdural mengeluh

tentang sakit kepala atau pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga

mengeluh setelah mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul

gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru

pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural. Gejala-

gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, “organic brain

23

Page 24: laporan kasus anastesi

syndrome”, hemiparesis ringan,hemihipestesia, adakalanya epilepsi fokal dengan

adanya tanda-tanda papiledema.

Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan

robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya

vena memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu. Karena

hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, maka dibandingkan

dengan hematom epidural, prognosisnya lebih jelek. Hematom subdural dibagi

menjadi hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai

dengan hari ke tiga, sub akut bila timbul antara hari ke tiga hingga minggu ke tiga,

dan kronik bila timbul sesudah minggu ke tiga. Hematom subdural akut secara

klinis sukar dibedakan dengan hematom epidural yang berkembang lambat.

Hematom subdural akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak

ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau

demensia. Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematom.

a. Definisi

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.

Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki

ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea

sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam

bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-

vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu

merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,

sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan

darah.

b.Etiologi

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan

subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

• Trauma kapitis.

• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

24

Page 25: laporan kasus anastesi

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi

bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan

juga pada anak - anak.

• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan

subdura.

• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural

yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

c. Patofisiologi

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat

terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan

vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena

robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat

bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi

otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di

mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan

gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan

tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun

mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala

seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.

25

Page 26: laporan kasus anastesi

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.

Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak

mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan

robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan

sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar

sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi

perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan

terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.

Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang

peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh

sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural

kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial

dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh

efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase

ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains

tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik

tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial

mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial

yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi

serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi

tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong

ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial.

Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus

dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang

lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,

yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan

mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam

kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan

onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang

26

Page 27: laporan kasus anastesi

meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.

Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari

penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata

hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua

mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya

perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat

meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi

bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau

kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim

fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan

terjadinya perdarahan subdural kronik.

Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat

timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:

1. Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya

terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan

perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan

tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.

Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

2. Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah

trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan

cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula

di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau

hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan

resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.

Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-

minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,

bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural

apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan

27

Page 28: laporan kasus anastesi

darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma

ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga

mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula

jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula

masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula

melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini

mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.

Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan

meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan

menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap

cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan

gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik

dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening

tomografinya didapatkan lesi hipodens.

Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom,

perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :

1. Tipe homogen (homogenous)

2. Tipe laminar

3. Tipe terpisah (seperated)

4. Tipe trabekular (trabecular)

Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe

yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa

pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi

bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh

stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama

penyerapan.

Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom,

perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:

1. Tipe konveksiti ( convexity).

2. Tipe basis cranial ( cranial base ).

3. Tipe interhemisferik

28

Page 29: laporan kasus anastesi

Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah

tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan

perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra

kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca

operatif.

d. Gejala klinis

1.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai

48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan

neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi

batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan

pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan

dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48

jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural

akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan

subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma

kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita

memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat

kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan

meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita

mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap

rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan

intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi

unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang

otak.

29

Page 30: laporan kasus anastesi

3. Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah

satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat

dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah

dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang

mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam

hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan

lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,

menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering

terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua

keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak

dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya

genangan darah.

Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar

karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang

kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang

besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui

pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

• sakit kepala yang menetap

• rasa mengantuk yang hilang-timbul

• linglung

• perubahan ingatan

• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

30

Page 31: laporan kasus anastesi

e. Kerusakan pada bagian otak tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah

tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,

lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian

motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).

Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu

pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi

tubuh yang berlawanan.

Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada

ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya

mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang

nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang

mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian

penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar

31

Page 32: laporan kasus anastesi

dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

Kerusakan Lobus Parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,

tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan

matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu

mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian

tubuhnya.

Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa

pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan

hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini

disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam

mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa

mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik

(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau

mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari

lainnya.

Kerusakan Lobus Temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan

mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami

suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta

menghasilkan jalur emosional.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan

terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis

sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar

maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya.

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

32

Page 33: laporan kasus anastesi

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

f. Penatalaksanaan

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)

dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan

terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang

kemudian dapat mengalami pengapuran.

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-

gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan

pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan

tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan

circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole

craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak

diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena

dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari

perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang

sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah

menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu

untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi

merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang

lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan

subdural kronik sudah mulai berkurang.

Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang

bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien

trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan

refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya

penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh

adanya massa extra aksial.

Indikasi Operasi

• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

33

Page 34: laporan kasus anastesi

• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan

Kepala tidak bisa dilakukan.

Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.

Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau

kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian

pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah

yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak

yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk

mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka

dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus

ditiadakan.

Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan

Markam.

Follow-up

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik

dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

g. Pen-Kes untuk keluarga

Keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah

cedera kepala, diantara yaitu :

• Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera

kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu kontrol

dan berobat secara teratur dan lanjut.

• Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan

dirumah nantinya.

• Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari pasien.

• Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak

34

Page 35: laporan kasus anastesi

terjadi cidera pada neuromuskuler.

• Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang,

kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal

terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami

gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan

kembali pada realita pasien.

h. Rehabilitasi

• Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti

kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi

saluran kencing.

• Goal jangka pendek

1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan

posture untuk mobilitas dan keamanan.

2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi

musculoskletal, defisit neurologi.

Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi

seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM

(pergerakan sendi) dan mobilisasi dini. Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan

home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah. Pada pasien tidak

sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program sensory

stimulation. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :

dokter, terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga. Melakukan mobilisasi dini,

rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.

i. Prognosis

Tindakan op€erasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis

yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total.

Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka

mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.

35

Page 36: laporan kasus anastesi

j. Diagnosis banding

Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions,

gangguan kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson,

hydrocephalus dengan tekanan normal.

2.2.3 Perdarahan Epidural

Akibat trauma kapitis tengkorak bisa retak. Fraktur yang paling ringan,

ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang

berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya

menusuk ke dalam atau pun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai

jaringan otak (laserasio).

Pembuluh darah yang berada di bawah fraktur tulang tengkorak bisa ikut

terluka sehingga menimbulkan perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur,

pembuluh darah bisa pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat

dampak. Lebih-lebih jika tidak terdapat fraktur tengkorak, perdarahan epidural

akan cepat menimbulkan gejala-gejala. Sesuai dengan sifat dari tengkorak yang

merupakan kotak tertutup, maka perdarahan epidural tanpa fraktur, menyebabkan

tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa

keluar dan membentuk hematom subperiostal (sefalhematom) dan sifat tengkorak

bagaikan kotak tertutup sudah tidak berlaku lagi. Juga tergantung pada arteri atau

vena yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat

atau perlahan-lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau

tanpa fraktur linear atau pun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa

jam setelah trauma kapitis. Gejala-gejala yang timbul akibat perdarahan epidural

menyusun sindrom kompresi serebral traumatik akut. Gejala yang sangat

menonjol ialah kesadaran yang menurun secara progresif. Pupil pada sisi

perdarahan pertama-tama sempit, tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak

bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa herniasi tentorial sudah

menjadi kenyataan. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,

mencerminkan tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batang otak. Pada tahap

kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparesis atau serangan

epilepsi fokal. Hanya dekompresi bisa menyelamatkan keadaan.

36

Page 37: laporan kasus anastesi

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri

meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan

jalan antara duramater dan tulang dipermukaan dalam os temporale. Perdarahan

yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan oleh hematom akan

melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala, sehingga hematom

bertambah besar. Hematom epidural tanpa disertai cedera lain, biasanya

disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase awal

tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan

terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan

mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti oleh penurunan kesadaran.

Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil

ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal

dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.

Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran

menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran

sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang

merupakan tanda kematian. Ciri khas pada hematom epidural murni adalah

terdapatnya interval bebas antara saat terjadinya trauma dan tanda pertama yng

berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Jika hematom epidural disertai

dengan cedera otak, seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat

sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur. Diagnosis didasarkan pada

gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen kepala. Adanya

37

Page 38: laporan kasus anastesi

garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural, bila sisi fraktur terletak

ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan

lokasi hematom. Penatalaksanaan dilakukan segera dengan cara trepanasi dengan

tujuan melakukan evakuasi hematom dan menghentikan sumber perdarahan.

2.2.4 Trepanasi dan Kraniotomi

a. Definisi

Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala

yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.

Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di

antara tulang dan lapisan duramater.

Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang terdapat

pada rongga diantara lapisan duramater dengan araknoidea.

b. Ruang lingkup

Hematoma epidural terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga

tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

Sering terletak di daerah temporal atau temporoparietal yang disebabkan oleh

robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan

darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga

kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi

akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora

posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5%

dari seluruh penderita trauma kepala dan 9 % dari penderita yang dalam

keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan

diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong

segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung

akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak berlangsung lama.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil

anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis

merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana

sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.

38

Page 39: laporan kasus anastesi

c. Indikasi Operasi

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata.

Adanya tanda herniasi/ lateralisasi.

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT

Scan Kepala tidak bisa dilakukan.

d. Kontra indikasi operasi

Tidak ada.

e. Diagnosis Banding

Hematom intracranial lainnya.

f. Pemeriksaan Penunjang

CT Scan kepala.

g. Teknik Operasi

Positioning

Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup kurang

lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring

kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)

misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.

Washing

Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,

menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,

penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di

bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.

Markering

Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar

dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk

kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui

39

Page 40: laporan kasus anastesi

lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3

depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).

Desinfeksi

Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000

yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.

Operasi

Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung. Pasang

haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat. Buka flap secara

tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya

diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya

nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek. Buka

pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada

daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.

Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT

scan. Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace)

kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus

tabula interna. Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.

Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole

dengan kapas basah/ wetjes.

Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan

sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian

masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.

Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.

Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang

dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator

kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.

Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan

spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat

dihentikan dengan bone wax. Gantung dura (hitch stich) dengan benang silk 3.0

sedikitnya 4 buah. Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara

40

Page 41: laporan kasus anastesi

gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan degan diatermi. Bila ada

perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stich pada

daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila

perdarahab profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh diknabel

untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus. Bila ada

dura yang robek jahit dura denga silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul dengan

jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling

berulang-ulang.

Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah

salanjutnya adalah membuka duramater. Sayatan pembukaan dura

seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berlawanan dengan sayatan

kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian bagian yang terangkat

disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila

sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan

kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang

subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap

kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.

Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.

Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk

pembuluh darah kulit atau subkutan. Reseksi jaringan otak didahului dengan

koagulasi permukaan otak dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri

maupun vena. Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di

permukaan di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak

dibawahnya tak ada darah lagi. Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan

koagulasi. Tepi bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin

jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya

dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk

memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu

kauterisasi.

Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/ tidaknya tulang

dengan evaluasi klinsi pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan

lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut.

41

Page 42: laporan kasus anastesi

Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit.

Periost dan fascia ototo dijahit dengan vicryl 2.0. Pasang drain subgaleal. Jahit

galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan silk 3.0. Hubungkan drain dengan

vaum drain (Redon drain). Operasi selesai. Bila tulang dikembalikan, buat lubang

untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel

dura ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat

lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di

fiksasi (3-4 buah ditepi dan2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).

Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis

seperti diatas.

Komplikasi operasi

Perdarahan.

Infeksi.

Mortalitas

Tergantung beratnya cedera otak.

Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti

biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen

tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

Follow-up

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik

dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

42

Page 43: laporan kasus anastesi

43

Page 44: laporan kasus anastesi

BAB III

DISKUSI

Kasus Nn. Milla hanifa, 18 tahun, setelah terjatuh dari kendaraan

bermotor, rujukan dari lamongan. Saat kejadian pasien pingsan dan muntah.

Datang ke RSUD Jombang dengan keluhan kesadaran menurun dan ditemukan

adanya hematom berdiameter 7x7 cm ditemporal dextra disertai bloody otorrhea

dextra. Diagnosis awal pasien ini adalah Cedera otak sedang dengan Epidural

hemorrhage temporal dextra dan Subdural hemorrhage frontotemporal sinistra.

Kasus ini merupakan masalah yang serius. Terlihat pada gejala neurologis

yang timbul pada pasien ini yaitu penurunan kesadaran yang progresif, sedangkan

gejala neurologis lain menjadi kabur karena adanya cedera otak sedang yang

disertai dengan perdarahan subdural dan perdarahan epidural sehingga gejala dan

tanda yang khas pun tidak begitu terlihat dengan jelas.

Pasien ini adalah pasien darurat yang jika tidak segera dilaukan operasi

akan membahayakan bagi pasien. Kriteria ASA/PS untuk pasien ini adalah

termasuk ASA IV E. Pasien ini tidak dipuasakan terlebih dahulu karena

merupakan pasien darurat dan selama operasi perlu pengawasan yang ketat untuk

cegah aspirasi karena isi lambung masih ada.

Anestesi yang digunakan untuk pasien ini adalah general anestesi dengan

intravena-inhalasi, tanpa dilakukan premedikasi, karena kasus ini adalah kasus

sito (emergency). Induksi yang dipakai adalah Fentanyl 5-40 µg/kg bolus iv,

Roculax 0,6-1,2 mg/kg iv, Ondansetron 4 mg iv lambat. Fentanyl mempunyai

efek : depresi respirasi sampai apneu, depresi miokard, vasodilatasi pembuluh

darah, menurunkan tensi, menurunkan COP, dan histamin release. Sedangkan

untuk maintenance digunakan isofluran, yang memiliki efek : pada kardivasculer

menyebabkan T↓↓, N↑, pada respirasi menyebabkan volum tidal ↓, frekuensi

nafas ↑.

Anestesi mulai pada pukul 21.15 WIB. Pasien ditidurkan dan diberi

preoksigenasi selama 5 menit, untuk memberi cadangan oksigen saat akan

dilakukan intubasi. Setelah itu dilakukan induksi anestesi, saat pasien sudah apneu

dilakukan intubasi dengan ETT no. 7, cuff (+), mayo (+). Anestesi ini

44

Page 45: laporan kasus anastesi

menggunakan semi close system dengan kontrol respirasi. Cairan yang masuk saat

pre-op adalah Pre Operasi adalah RL 500 ml dan cairan yang masuk Durante

Operasi adalah RL 2500 ml, PZ/NaCl 1000 ml, WB 3 kantung (350 ml/kantung),

Manitol 250 ml.

Trepanasi berakhir pada pukul 02.15 WIB. Setelah operasi selesai tekanan

darah pasien 100/50 mmHg, Nadi 90 x/menit, dengan kesadaran koma (GCS

1X2). Setelah itu pasien dikirim ke ICU untuk perawatan dan pengawasan yang

intensif.

45

Page 46: laporan kasus anastesi

BAB IV

KESIMPULAN

Cedera otak sedang yang disertai dengan perdarahan subdural dan

perdarahan epidural pada kasus ini tidak menunjukkan tanda dan gejala yang

khas, hanya terlihat penurunan kesadaran yang progresif.

Kasus Nn. Milla Hanifa, 18 tahun, setelah terjatuh dari kendaraan

bermotor, rujukan dari lamongan. Saat kejadian pasien pingsan dan muntah.

Datang ke RSUD Jombang dengan keluhan kesadaran menurun dan ditemukan

adanya hematom berdiameter 7x7 cm ditemporal dextra disertai bloody otorrhea

dextra. Diagnosis awal pasien ini adalah Cedera otak sedang dengan Epidural

hemorrhage temporal dextra dan Subdural hemorrhage frontotemporal sinistra.

Kriteria ASA/PS untuk pasien ini adalah termasuk ASA IV E.

Anestesi yang digunakan untuk pasien ini adalah general anestesi dengan

intravena-inhalasi, tanpa dilakukan premedikasi, karena kasus ini adalah kasus

sito (emergency). Induksi yang dipakai adalah Fentanyl, Roculax, dan

Ondansetron. Sedangkan untuk maintenance digunakan isofluran.

Anestesi mulai pada pukul 21.15 WIB. Pasien ditidurkan dan diberi

preoksigenasi selama 5 menit, untuk memberi cadangan oksigen saat akan

dilakukan intubasi. Setelah itu dilakukan induksi anestesi, saat pasien sudah apneu

dilakukan intubasi dengan ETT no. 7, cuff (+), mayo (+). Anestesi ini

menggunakan semi close system dengan kontrol respirasi. Cairan yang masuk saat

Pre Operasi adalah RL 500 ml dan cairan yang masuk Durante Operasi adalah RL

2500 ml, PZ/NaCl 1000 ml, WB 3 kantung (350 ml/kantung), Manitol 250 ml.

Setelah operasi selesai pada pukul 02.15 WIB tekanan darah pasien 100/50

mmHg, Nadi 90 x/menit, dengan kesadaran koma (GCS 1X2).

46

Page 47: laporan kasus anastesi

DAFTAR PUSTAKA

Djamaloeddin. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina Rupa Aksara.

Dobson, MB. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC.

Grace, Pierce. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : Erlangga.

Greenberg. 2007. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta : Erlangga.

Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : UGM.

Kahan, Skot. 2011. Ilmu bedah. Jakarta : Bina Rupa Aksara.

Mansjoer, Arif. 2000. General Anestesi. In: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :

Media Aesculapius FKUI.

Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

Snell, Richard. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke

5. Jakarta : EGC.

Wibowo, Daniel. 2008. Neuroanatomi untuk Mahasiswa Kedokteran. Bandung :

Bayumedia.

Wim de Jong. 2003. Buku-Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2. Jakarta : EGC.

http://www.bedahunmuh .wordpress.id

47