laporan kasus anastesi
DESCRIPTION
laporan trepanasiTRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas
Nama Pasien : Nn. Milla Hanifa
Umur : 18 tahun
Alamat : Kedung Mentawar Ngimbang, Lamongan
Ruang rawat : Asoka HCU
ASKES/ NON ASKES : Umum
MRS : 05 April 2011 pukul 15.25
No. Reg : 07.08.86
1.2 Anamnesis
Riwayat penyakit sekarang : Pasien jatuh dari sepeda motor. Saat kejadian pasien
pingsan (+) dan muntah (+).
Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi (-), DM (-), riwayat alergi (-).
Riwayat penyakit keluarga : (-).
Riwayat pribadi, sosial ekonomi dan budaya : (-).
1.3 Pemeriksaan fisik
Somnolen
Anemia (-), Ikterus (-), Cyanosis (-)
Tekanan darah (T) : 120/90 mmHg
Nadi (N) : 76 x/menit
Respiratory Rate (RR): 20 x/menit
Suhu (t) : 37 ◦C
Berat badan : 40 kg
Tinggi badan : 160 cm
1
Sistem Pernafasan :
Tidak ada kelainan
Tidak ada darah
Sesak : (-)
Tipe pernafasan : pernafasan dada
Retraksi dada : (-)
Bunyi nafas : bersih
Sistem jantung dan aliran darah :
Warna kulit : merah muda
Edema : (+) pada extremitas atas
CRT : < 2 detik
Bunyi jantung : S1 dan S2
Ictus : (-)
Clubbing finger : (-)
Sistem integumen/kulit :
Warna : kemerahan
Lembab : (+)
Turgor : normal
Sistem muskulosletal/otot dan tulang :
Nyeri : (-)
Fraktur : (-)
Sistem Persyarafan :
Kesadaran : somnolen
GCS : 345
Reflek cahaya : Dex/Sin +/+
Pupil : Isokor
Perubahan perfusi jaringan serebral oleh karena penurunan oksigenasi.
2
Sistem penglihatan :
Conjungtiva : merah muda
Alat bantu : (-)
Sistem pendengaran : (+)
Sistem pencernaan :
Abdomen : lunak
Kesulitan mengunyah : (-)
Kesulitan menelan : (-)
Bising usus : normal
Nutrisi :
Nafsu makan : berkurang
Kemampuan makan : dibantu
Diit : puasa
Pola makan : 3x/hari beragam
Minum : 5x/hari beragam
NGT : (-)
Infus : (+)
Pola eliminasi :
BAK : dibantu
Drainase : dower catheter
BAB : dibantu 1x
Konsistensi : lembek
Darah : (-)
Colostomy : (-)
3
1.4 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium I
Hematologi
Hb : 10,7 g/dl
Lekosit : 31.100 sel/cmm
Hct : 31,3 %
Eritrosit : 3.620.000
Trombosit : 172.000 ul
Pemeriksaan Laboratorium II
Hematologi
Hb : 12,5 g/dl
Lekosit : 27.500 sel/cmm
Hct : 37,5 %
Eritrosit : 4.210.000
Trombosit : 237.000 ul
LED : 50/105
Masa perdarahan : 2 menit 50 detik
Masa pembekuan : 12 menit 40 detik
Kimia klinik
Glukosa sewaktu : 193 mg/dl
SGOT : 36 u/l
SGPT : 10 u/l
Kreatinin serum : 0,83 mg/dl
Urea : 27,7 g
Hasil Pemeriksaan CT-Scan
Dari hasil pemeriksaan CT-Scan di dapatkan adanya hematom epidural (EDH)
pada temporal dextra dan adanya hematom subdural (SDH) pada frontotemporal
sinistra.
4
1.5 Diagnosis
Cedera otak sedang dengan EDH (Epidural hematom) temporal dextra dan
SDH (Subdural hematom) frontotemporal sinistra.
1. 6 Rencana operasi
Kraniotomi atau Trepanasi dengan dekompresi.
ASA : 4 E.
1.7 Laporan anestesi
Pada kasus ini mengunakan general anestesi (GA), sistem anestesinya
semi close system.
Cairan masuk : Pre Op = RL 500 ml
Durante Op = RL 2500 ml, PZ/NaCl 1000 ml, WB 3
kantung (350 ml/kantung), Manitol 250 ml
Cairan keluar : Perdarahan 2000 cc
Jalannya anestesi :
Anestesi mulai pada pukul 21.15 WIB
Peroksigenasi selama 5 menit
Induksi apneu intubasi
ETT no. 7, cuffed (+), mayo (+)
Semi close system
Gas anestesi (anestesi inhalasi) Isofluran dengan O2 dan N2O 2 lpm
Cairan yang masuk :
RL1 pukul 22.20 WIB
RL2 pukul 22.55 WIB
RL3 pukul 23.10 WIB
RL4 pukul 23.50 WIB
RL5 pukul 00.20 WIB
PZ/NaCl1 pukul 23.15 WIB
PZ/NaCl2 pukul 00.55 WIB
WB1 pukul 22.00 WIB
WB2 pukul 23.50 WIB
5
WB3 pukul 01.05 WIB
Manitol pukul 01.05 WIB
1.8 Laporan operasi
1. Posisi terlentang, kepala menoleh ke kiri dan kanan.
2. Desinfeksi.
3. a. Beri question mark region temporal dextra, lalu membuat 5 lubang boorhole,
kraniotomi dengan gigli.
b. Beri question mark region frontotemporal sinistra, lalu membuat 5 lubang
boorhole, kraniotomi dengan gigli.
4. Didapatkan :
a. EDH temporal basal dextra,
b. SDH frontotemporal sinistra,
c. Otak tegang.
5. Dilakukan :
a. Gantung duramater,
b. Evaluasi EDH temporal dextra dan SDH frontotemporal sinistra,
c. Tulang dikembalikan pada sisi kanan, tulang di samping subgaleal pada sisi
kiri.
6. Kulit ditutup lalu pasang Radon Drain.
7. Operasi selesai.
1.9 SOAP
05 April 2011
S : -
O : K/U lemah gelisah, GCS 335 pupil Ø 2mm/2mm, TD
120/90 mmHg, N 76 x/menit
Perubahan pupil:
o Pukul 16.00 : pupil isokor
o Pukul17.00 : pupil isokor
o Pukul 18.00 : pupil anisokor
o Pukul 19.00 : pupil anisokor
6
o Pukul 20.00 : pupil anisokor
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi (persiapan trepanasi pukul 21.00
WIB)
06 April 2011 pukul 05.00 WIB
S : (Pasien datang dari Ruang OK pukul 03.45 WIB)
O : - K/U koma
- Pernafasan dengan respirator ventilator mode IPPV, Vt
450, mv 1.6, Frek 12, F1O2 80, pp 30, peep 5
- Tanda vital : TD 120/80 mmHg, S 38˚C, N 80 x/menit
- ECG monitor irama sinus
- Kesadaran koma GCS E1VxM1
- Pupil midriasis 4/4
- Reaksi cahaya +/+
- Produksi urine 3 jam 100 cc
- Pakai F.cath
- Perut kembung, bising usus +, NGT +
- Diet : puasa
- Bed rest total
- Pasang infuse D5 ½ NS sebelah kanan dan cairan manitol
6 x 100 cc sebelah kiri
- Kolaborasi : injeksi nufirom 3 x 1, teranol 3 x 30,
gootrofil 4 x 3, gastidin 3 x 1, kutoin 3 x 1
A : Bersihan jalan nafas in efektif b.d intubasi + pasang
ventilator, masalah belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi, suction secret, monitor lokasi selang
7
06 April 2011 pukul 10.35 WIB
S : -
O : K/U koma, GCS 1X1, pupil midriasis maksimal, TD
palpasi, HR 40-55 x/mnt
A : Dopamin syring 7-10 mcg
P : Memberitahukan kepada keluarga tentang kondisi pasien
yang memburuk
06 April 2011 pukul 10.40 WIB pasien meninggal dunia di samping perawat
dan keluarga.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi menurut arti kata adalah hilangnya kesadaran rasa sakit, namun
obat anestasi umum tidak hanya menghilangkan rasa sakit akan tetapi juga
menghilangkan kesadaran. Pada operasi-operasi daerah tertentu seperti perut,
maka selain hilangnya rasa sakit dan kesadaran, dibutuhkan juga relaksasi otot
yang optimal agar operasi dapat berjalan dengan lancar.
Tujuannya untuk menghalau rasa sakit di bagian tubuh tertentu, daripada
harus melakukan pembiusan total. Tujuan anastesi adalah untuk menyediakan,
atau menghilangkan rasa sakit. Memblokir impuls saraf dari bagian bawah
segmen tulang belakang yang mengakibatkan penurunan sensasi di bagian bawah
tubuh.
Tindakan anestesi bertujuan untuk keselamatan pasien dalam menjalani
tindakan operasi. Keselamatan pasien akan lebih terjamin bila dapat dicegah atau
dihindari hal-hal yang dapat membahayakan pasien baik selama operasi maupu
sesudahnya.
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi
umum. Pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran,
sedangkan pada anestesi umum hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran.
General anestesi atau anestesi umum adalah kadar ketidaksadaran yang
reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada
seluruh tubuh. Obat-obat anestesi umum dapat diberikan secara inhalasi, IV, IM,
oral, rektal. Anestesi inhalasi antara lain adalah nitrous oxide / N2O, halothane,
9
enflurane, isoflurane, sevoflurane. Anestesi IV/ IM adalah thiopental, propofol,
ketamin, midazolam, diazepam. Anestesi perektal : thiopental.
2.1.1 Penilaian dan Persiapan Pre Anestesi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah
untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan
memilih teknik dan obat anestetik yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang
sesuai (Latief, 2009). Persiapan pre anestesi antara lain:
a. Anamnesis
a. Identifikasi pasien yang meliputi: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
b. Keluhan saat ini dan operasi yang akan dihadapi.
c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat mejadi penyulit anestesi
(alergi, DM, penyakit paru kronis, penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal,
penyakit hati, dll).
d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat dan obat yang
digunakan sekarang dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anastesi.
e. Riwayat anastesi / operasi sebelumnya.
f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tndakan anestesi seperti
merokok, alkohol, dll.
g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan.
h. Makanan yang terakhir dimakan.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relaif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sitem
organ. Sistem organ yang harus diperiksa meliputi:
10
Breath (B1) : Jalan napas, pola napas, suara napas, suara napas tambahan.
Blood (B2) : Tekanan darah, nadi, perfusi, suara jantung, suara tambahan,
kelainan anatomis dan fungsi jantung.
Brain (B3) : GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat/perifer lainnya.
Bladder (B4) : GGA, GGK, produksi urine.
Bowel (B5) : Makan – minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,
gangguan lambung, gangguan metabolik, massa, kehamilan.
Bone (B6) : Patah tulang atau fraktur, kelainan postur tubuh, kelainan
neuromuskular.
c. Pemeriksaan Laboratorium
a. Rutin : darah lengkap (Hb, leukosit, hitung jenis, golongan darah, masa
perdarahan, masa pembekuan); urin (protein, reduksi, sedimen), foto dada, EKG
terutama pasien berumur lebih dari 40 tahun), Fungsi ginjal, fungsi liver, dll.
b. Khusus, dilakukan bila terdapat riwayat atau indikasi, yaitu :
o Elektrokardiografi pada anak,
o Spirometri atau bronkospirometri pada pasien tumor paru,
o Fungsi hati pada pasien ikterus,
o Fungi ginjal pada pasien hipertensi.
d. Kebugaran untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang
tidak perlu harus dihindari (Latief, 2009).
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA)
membuat klasifikasi pasien menjadi:
Kelas I : pasien normal dan sehat organik, fisiologis, psikiatrik, dan
biokimia.
Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada
keterbatasan fungsional.
11
Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik sedang sampai berat
yang menyebabkan keterbatasan fungsi.
Kelas IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang
mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi.
Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergncy biasanya dicantumkan huruf E.
e. Perencanaan Anestesi
Rencana anestesi meliputi hal-hal berikut, yaitu :
1. Premedikasi
2. Jenis anestesi : umum / anestesi lokal
3. Perawatan selama anestesi : pemberian oksigen dan sedasi
4. Pengaturan intra / durante operasi meliputi monitoring, keracunan, pengaturan
cairan, dan penggunaan teknik khusus
5. Pengaturan pasca operasi meliputi pengendalian nyeri dan perawatan intensif.
f. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anetesi
diantaranya:
a) Meredakan kecemasan dan ketakutan
b) Memperlancar induksi anestesi
c) Megurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d) Meminimalkan jumlah obat anestesi
e) Mengurangi mual muntah pasca bedah
f) Menciptakan amnesia
g) Mengurangi isi cairan lambung
h) Mengurangi reflek yang membahayakan
12
Obat – obat yang digunakan untuk premedikasi antara lain:
Golongan sedativa
Valium : 0,01 mg/kgBB.
Luminasi kemasan 1 ampul = 100 mg, dosis : 0,01 mg/kgBB.
Golongan narkotik
Petidin kemasan 1 ampul = 100mg, dosis 1mg/kg BB.
Morphin kemasan 1 ampul, dosis : 0,1 g.kg BB.
Golongan Belladona
Sulfas atropin kemasan 1 ampul = 0,25 mg, dosis 0,01 – 0,04 mg/kg BB.
Golongan antasida
Gelusil dan mylanta diberian 10-20 cc atau 1-3 sendok setelah suction aktif.
2.1.2 Anestesi Umum
General anestesi atau anestesi umum adalah hilangnya rasa sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran (revesibel) (Sumartanto, 2005). Kadar
ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai
hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Induksi anestesi adalah tindakan
untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar.
Fisiologi terjadinya anestesi :
Obat anestetika masuk ke pembuluh darah/sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan, yang pertama terpengaruh adalah jaringan yang kaya akan pembuluh
darah yaitu otak sehingga kesadaran menurun/hilang, disertai hilangnya rasa nyeri
dan lain-lain.
Cara pemberian obat :
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan cara inhalasi, intravena (IV),
intramuskular (IM), atau rektal. Anestesi inhalasi : nitrous oxide / N2O,
halothane, enflurane, isoflurane, sevoflurane. Anestesi IV/ IM : thiopental,
propofol, ketamin, midazolam, diazepam. Anestesi perektal : thiopental (Latief,
2009).
13
Kontra indikasi :
1. Kontra indikasi mutlak payah jantung.
2. Kontra indikasi relatif, tergantung kepada efek farmakologis dari obat yang
dipakai yaitu:
a. Kelainan jantung : hindarkan pemakaian obat yang mendepresi miokard, misalnya
eter, tiopental dan halotan.
b. Kelainan hepar : hindarkan obat yang dimetabolisme di hepar.
c. Kelainan ginjal : hindarkan obat yang diekresi di ginjal, misal petidin/gallarmin,
morfin
d. Kelainan paru : hindarkan obat-obat yang menyebabkan hipersekresi saluran
pernafasan yang mengakibatkan pengentalan sekresi dalam paru misal eter.
e. Kelainan endokrin : pada diabetes melitus hindarkan pemakaian obat yang
merangsang simpatis karena menyebabkan peninggian gula darah misal eter.
Induksi Intravena :
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali.
Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernafasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan dosis 3-7
mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula digunakan
dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri sehingga satu
menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kg secara intravena.
Ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam. Ketamin tidak dianjurkan pada pasien
dengan tekanan darah tinggi. Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi
dengan mata terbuka.
14
Tabel Anestesi Intravena
Ketamin Propofol Droperidol Penthotal
- Meningkatkan efek
simpatis
- Meningkatkan tensi
- Meningkatkan HR
- Meningkatkan TIO &
TIK
- Timbul gerakan
voluntai/ekstrapiramida
l
- Hipersalivasi
- Halusinasi
- Psikomimetik efek
- Mimpi buruk setelah
anestesi
- Dosis besar dan
pemberian cepat
menyebabkan depresi
nafas
- Melewati barier
plasenta
- Meningkatkan
kontraksi uterus
- Dosis kecil bersifat
bronkodilatasi
- Dimetabolisme di
hepar
- Merupakan analgetik
poten
-Mengandung telur
lecitin, glicerol dan
soybean oil
-Tidak mempunyai
efek analgetik
-Mempunyai efek
sedasi
-Depresi
cardiovascular
-Menurunkan COP
dan tensi
-Depresi nafas
-Iritasi vena
-Menurunkan post
operative nausa
vomiting
-Long acting
sedasi
-Neuroleptik
-Alfa adrenergik
boking agen
sehingga
menurunkan
tekanan darah
-Kelainan
psikomotor
-Agitasi
-Tidak toxic
terhadap organ
-Anti emetik poten
-Bisa
menimbulkan efek
extrapiramidal
-Basa kuat
-Depresi respirasi
sampai apneu
-Depresi miokard
-Vasodilatasi
pembuluh darah
-Menurunkan tensi
-Menurunkan COP
-Histamin release
(reaksi alergi)
-Iritasi vena dan
nyeri tempat
suntikan
-Plebitis
Induksi Inhalasi :
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau
pada dewasa yang takut disuntik.
15
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai
konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan
untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang
diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batukwalupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%.
Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran, isofluran atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi lama.
Tabel Anestesi Inhalasi
Nitrous
oxide / N2O
Halothane Enflurane Isoflurane Sevoflurane
Sistem
respirasi
-menyebabkan
tachypnea
-menurunkan
tidal volume
-hypoxic drive
- menurunkan
tidal volume
-meningkatkan
respiratory rate
-meningkatkan
PaCO2
-bronchodilator
yang poten
-meningkatkan
frekwensi nafas
- menurunkan
minute
ventilation
-meningkatkan
PaCO2
-menurunkan
minute
ventilation
- jarang
menyebabkan
tachypnea
-depresi
respirasi
-meningkatkan
frekwensi nafas
Sistem
kardio
vaskuler
-merangsang
sistem saraf
simpatis
- meningkatkan
resistensi
vasculer
pembuluh darah
paru-paru
-depresi
kontraktilitas
myocard
- menurunkan
frekwensi
jantung
-menurunkan
coronary blood
flow
-depresi
kontraktilitas
myocard
-menurunkan
SVR
- meningkat
kan frekwensi
jantung
-menurunkan
SVR
-dilatasi arteri
koronaria
-menurunkan
tekanan darah
-depresi
kontraktilitas
myocard
-memperpan
jang QT interval
SSP - meningkatkan
cerebral blood
flow
meningkatkan
intra cranial
pressure
-vasodilator
pembuluh darah
cerebral
-meningkatkan
CBF
-menurunkan
-meningkatkan
CBF dan ICP
- menurunkan
CMR
- meningkatkan
aktifitas kejang
-pada
konsentrasi > 1
MAC,
meningkatkan
CBF dan ICP -
menurunkan
-sedikit
meningkatkan
CBF & ICP
- menurunkan
CMR O2
16
(peningkatan
ringan)
CMR CMR O2
Renal menurunkan
RBF & GFR
menurunkan
RBF & GFR
menurunkan
RBF dan GFR
menurunkan
RBF dan GFR
sedikit
menurunkan
RBF
Hepatik menurunkan
hepatic blood
flow
menurunkan
hepatic blood
flow
-menurunkan
hepatic blood
flow
-mempertahan
kan perfusi
hepar
-meningkatkan
artery blood
flow
- menurunkan
portal vein
blood flow
Induksi Intramuskular :
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan secara
intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi Perrektal :
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan tiopental atau
midazolam.
2.2 Bedah
2.2.1 Cedera Otak
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Pada suatu benturan dapat dibedakan beberapa macam
kekuatan yakni kompresi, akselerasi, dan deselerasi. Sulit dipastikan kekuatan
mana yang paling berperan.
Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa
fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom
epidural, subdural atau intraserebral. Cedera difus dapat menyebabkan gangguan
fungsional saja yakni gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan ke seluruh arah.
Gelombang ini mengubah tekanan jaringan, dan bila tekanan cukup besar, akan
terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau di
tempat yang berseberangan dengan benturan (contra coup).
17
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.
Meskipun otak hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, ia menerima
20% dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen
tersebut dikonsumsi oleh substansia kelabu.
Cedera otak yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer.
Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen
dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena
berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran
darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera otak harus
dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak
terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup.
Gangguan metabolisme jaringan otak akan menyebabkan odem yang dapat
mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum atau herniasi
di bawah falks serebrum.
Jika terjadi hernia jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami
iskemia sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang
menimbulkan kematian.
Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera
otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat
yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran
yang berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat
digolongkan menjadi ringan, bila derajat koma Glasgow total adalah 13-15,
sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8. Lokasi cedera otak primer dapat ditentukan
pada pemeriksaan klinik.
18
a. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitiel dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala terbuka berarti kulit mengalami laserasi sampai pada
merusak tulang tengkorak, sedangkan pada cedera kepala tertutup dapat
disamakan dengan gegar otak ringan dengan disertai edema serebral.
Kup dan kontra kup menggambarkan lokasi kerusakan internal otak
sebagai akibat dari proses benturan. Kontra kup adalah kerusakan yang terjadi
berlawanan dengan daerah benturan. Ini merupakan akibat dari daya atau
kekuatan benturan yang berjalan sepanjang jaringan otak dan karenanya berat
ringannya tergantung dari kekuatan benturan tersebut.
Berdasarkan GCS ( Glasgow Coma Scale ), cedera kepala digolongkan ke
dalam :
1. Cedera kepala ringan :
Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit
tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur
tengkorak, kontosio atau hematum (sekitar 55 %).
2. Cedera kepala sedang :
Jika GSC antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit – 24 jam,
dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).
19
3. Cedera kepala berat :
Jika GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi kontosio
serebral, laserasi atau adanya hematum atau edema.
b. Manifestasi cedera
1. Fraktur Tengkorak
Susunan tulang tengkorak dan lapisan kulit kepala membantu
menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekuatan yang
ditransmisikan kedalam jaringan otak.
Ada dua bentuk umum dari fraktur yaitu fraktur garis (linear) umum terjadi
disebabkan oleh pemberian kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area
tengkorak tertentu dan fraktur tengkorak seperti bagian tulang frontal / temporal.
2. Gegar otak
Merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak ringan yang
menyebar. Gangguan neurologis sementara dan dapat pulih tenpa ada kehilangan
20
kesadaran. Mungkin mengalami disorientasi ringan, pusing, gangguan memori
sementara, kurang konsentrasi, mungkin juga mengalami amnesia retrogate.
3. Kontosio
Menggambarkan area otak yang mengalami memar. Memar umumnya pada
permukaan yang disertai dengan hemoragik kecil-kecil pada substansi otak.
Gejala bervariasi tergantug lokasi dan derajat. Dapat menimbulkan edema serebral
2-3 hari post trauma. Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK (tekanan
intra kranial) dan meningkatkan mortalitas (45%)
4. Hematom Epidural
Perdarahan yang terjadi pada ruang epidural yaitu antara tulang tengkorak
dan lapisan durameter. Ini terjadi karena adanya robekan cabang kecil arteri
meningeal media / meningeal frontal
5. Hematom Subdural
Perdarahan yang terjadi pada ruang subdural antara lapisan durameter dan
lapisan arachnoid, terjadi sebagai akibat robekan vena yang ditemukan pada ruang
ini.
21
6. Hematom Subarachnoid
Perdarahan yang terjadi pada ruang arachnoid yaitu antara lapisan arachnoid
dengan piameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah
tersebut.
7. Hematom Intracerebral
Penggumpalan darah 25 ml atau lebih pada parenkim otak. Penyebabnya
seringkali karena adanya infresi fraktur, gerakan akselerasi dan deselerasi yang
tiba-tiba.
c. Potensi komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat terjadi setelah cedera kepala :
1. Kejang
2. Bocornya cairan serebrospinal
3. Hipertermia
4. Masalah Mobilisasi
5. Infeksi
6. Hipovolemik
d. Pemeriksaan diagnostik
Beberapa jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain : CT scan,
foto tengkorak, MRI, AGD (Analisa Gas Darah) untuk mengetahui adanya
masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. Kadar
kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
meningkatkan TIK.
2.2.2 Perdarahan Subdural
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis
walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga
tidak terungkap oleh anamnesis. Yang sering kali berdarah ialah “bridging veins”,
karena tarikan ketika terjadi penggeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural
paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di
daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins”. Karena perdarahan
22
subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang berkumpul
berjumlah hanya 100 sampai 200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti
karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5 sampai 7 harihematom mulai
mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari. Darah
yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Di situ
bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas
hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan
kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan
dan sisa darah (higroma).
Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh
setelah mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan “latent
interval” dan bisa berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan ada
kalanya juga bisa lebih dari dua tahun. Namun demikian, “latent interval” itu
bukannya berarti bahwa si penderita sama sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya
dalam “latent interval” kebanyakan penderita hematoma subdural mengeluh
tentang sakit kepala atau pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga
mengeluh setelah mengidap trauma kapitis. Tetapi apabila di samping itu timbul
gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru
pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural. Gejala-
gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang makin menurun, “organic brain
23
syndrome”, hemiparesis ringan,hemihipestesia, adakalanya epilepsi fokal dengan
adanya tanda-tanda papiledema.
Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya
vena memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu. Karena
hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, maka dibandingkan
dengan hematom epidural, prognosisnya lebih jelek. Hematom subdural dibagi
menjadi hematom subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai
dengan hari ke tiga, sub akut bila timbul antara hari ke tiga hingga minggu ke tiga,
dan kronik bila timbul sesudah minggu ke tiga. Hematom subdural akut secara
klinis sukar dibedakan dengan hematom epidural yang berkembang lambat.
Hematom subdural akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak
ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau
demensia. Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematom.
a. Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.
b.Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis.
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
24
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi
bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan
juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural
yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
c. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun
mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
25
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan
sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial
mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial
yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong
ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial.
Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus
dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
26
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah
trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan
cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula
di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau
hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan
resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-
minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan
27
darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma
ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula
jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula
masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula
melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap
cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan
gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik
dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom,
perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen (homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah (seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe
yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa
pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi
bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh
stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama
penyerapan.
Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom,
perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
28
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah
tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan
perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra
kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca
operatif.
d. Gejala klinis
1.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
29
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah
satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
• sakit kepala yang menetap
• rasa mengantuk yang hilang-timbul
• linglung
• perubahan ingatan
• kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
30
e. Kerusakan pada bagian otak tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,
lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).
Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu
pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya
mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang
nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian
penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar
31
dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu
mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian
tubuhnya.
Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa
pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini
disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan
terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar
maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
32
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
f. Penatalaksanaan
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan
terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang
kemudian dapat mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-
gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan
tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan
circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole
craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak
diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena
dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari
perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang
sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah
menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu
untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi
merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang
lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan
subdural kronik sudah mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien
trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan
refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya
penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh
adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi
• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
33
• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan
Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.
Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau
kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian
pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah
yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak
yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk
mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka
dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus
ditiadakan.
Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan
Markam.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik
dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
g. Pen-Kes untuk keluarga
Keluarga diberikan penkes tentang perawatan pasien dengan masalah
cedera kepala, diantara yaitu :
• Penjelasan tentang pengertian, penyebab, pengobatan dan komplikasi cidera
kepala termasuk gangguan fungsi luhur dari pasien, oleh karena itu perlu kontrol
dan berobat secara teratur dan lanjut.
• Mengajarkan bagaimana cara pemenuhan nutrisi dan cairan selama dirawat dan
dirumah nantinya.
• Mengajarkan pada keluarga dan melibatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari pasien.
• Mengajarkan melatih mobilisasi fisik secara bertahap dan terencana agar tidak
34
terjadi cidera pada neuromuskuler.
• Mempersiapkan keluarga untuk perawatan pasien dirumah bila saatnya pulang,
kapan harus istirahat, aktifitas dan kontrol selama kondisi masih belum optimal
terhadap dampak dari cidera kepala pasien dan sering pasien akan mengalami
gangguan memori maka mengajarkan pada keluarga bagaimana mengorientasikan
kembali pada realita pasien.
h. Rehabilitasi
• Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti
kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi
saluran kencing.
• Goal jangka pendek
1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan
posture untuk mobilitas dan keamanan.
2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi
musculoskletal, defisit neurologi.
Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi
seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM
(pergerakan sendi) dan mobilisasi dini. Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan
home program terapi yang melibatkan lingkungan dirumah. Pada pasien tidak
sadar dilakukan dengan strategi terapi coma management dan program sensory
stimulation. Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis :
dokter, terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga. Melakukan mobilisasi dini,
rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi yang adekuat, edukasi keluarga.
i. Prognosis
Tindakan op€erasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis
yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total.
Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka
mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.
35
j. Diagnosis banding
Dementia, stroke, TIA, encephalitis, abses otak, adverse drugs reactions,
gangguan kejiwaan, Tumor otak, perdarahan subarachnoid, Parkinson,
hydrocephalus dengan tekanan normal.
2.2.3 Perdarahan Epidural
Akibat trauma kapitis tengkorak bisa retak. Fraktur yang paling ringan,
ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang
berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya
menusuk ke dalam atau pun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai
jaringan otak (laserasio).
Pembuluh darah yang berada di bawah fraktur tulang tengkorak bisa ikut
terluka sehingga menimbulkan perdarahan. Apabila tidak terjadi fraktur,
pembuluh darah bisa pecah juga karena gaya kompresi yang timbul akibat
dampak. Lebih-lebih jika tidak terdapat fraktur tengkorak, perdarahan epidural
akan cepat menimbulkan gejala-gejala. Sesuai dengan sifat dari tengkorak yang
merupakan kotak tertutup, maka perdarahan epidural tanpa fraktur, menyebabkan
tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah bisa
keluar dan membentuk hematom subperiostal (sefalhematom) dan sifat tengkorak
bagaikan kotak tertutup sudah tidak berlaku lagi. Juga tergantung pada arteri atau
vena yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat
atau perlahan-lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau
tanpa fraktur linear atau pun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa
jam setelah trauma kapitis. Gejala-gejala yang timbul akibat perdarahan epidural
menyusun sindrom kompresi serebral traumatik akut. Gejala yang sangat
menonjol ialah kesadaran yang menurun secara progresif. Pupil pada sisi
perdarahan pertama-tama sempit, tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak
bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa herniasi tentorial sudah
menjadi kenyataan. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,
mencerminkan tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batang otak. Pada tahap
kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparesis atau serangan
epilepsi fokal. Hanya dekompresi bisa menyelamatkan keadaan.
36
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri
meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara duramater dan tulang dipermukaan dalam os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom epidural. Desakan oleh hematom akan
melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala, sehingga hematom
bertambah besar. Hematom epidural tanpa disertai cedera lain, biasanya
disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase awal
tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan
terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan
mengalami sakit kepala, mual dan muntah diikuti oleh penurunan kesadaran.
Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil
ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran
sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang
merupakan tanda kematian. Ciri khas pada hematom epidural murni adalah
terdapatnya interval bebas antara saat terjadinya trauma dan tanda pertama yng
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Jika hematom epidural disertai
dengan cedera otak, seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat
sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur. Diagnosis didasarkan pada
gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen kepala. Adanya
37
garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural, bila sisi fraktur terletak
ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan
lokasi hematom. Penatalaksanaan dilakukan segera dengan cara trepanasi dengan
tujuan melakukan evakuasi hematom dan menghentikan sumber perdarahan.
2.2.4 Trepanasi dan Kraniotomi
a. Definisi
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Epidural Hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di
antara tulang dan lapisan duramater.
Subdural hematoma (SDH) adalah suatu perdarahan yang terdapat
pada rongga diantara lapisan duramater dengan araknoidea.
b. Ruang lingkup
Hematoma epidural terletak di luar duramater tetapi di dalam rongga
tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
Sering terletak di daerah temporal atau temporoparietal yang disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang tengkorak. Gumpalan
darah yang terjadi dapat berasal dari pembuluh arteri, namun pada sepertiga
kasus dapat terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang EDH terjadi
akibat robeknya sinus venosus terutama pada regio parieto-oksipital dan fora
posterior. Walaupun secara relatif perdarahan epidural jarang terjadi (0,5%
dari seluruh penderita trauma kepala dan 9 % dari penderita yang dalam
keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena memerlukan tindakan
diagnostik maupun operatif yang cepat. Perdarahan epidural bila ditolong
segera pada tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan langsung
akibat penekanan gumpalan darah pada jaringan otak tidak berlangsung lama.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil
anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis
merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana
sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
38
c. Indikasi Operasi
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata.
Adanya tanda herniasi/ lateralisasi.
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
d. Kontra indikasi operasi
Tidak ada.
e. Diagnosis Banding
Hematom intracranial lainnya.
f. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan kepala.
g. Teknik Operasi
Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Headup kurang
lebih 15 derajat (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan,
menghilangkan lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka,
penetrasi betadine lebih baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di
bawah kepala untuk membatasi kontak dengan meja operasi.
Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut – untuk
kosmetik, sinus – untuk menghindari perdarahan, sutura – untuk mengetahui
39
lokasi, zygoma – sebagai batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3
depan antara tragus sampai dengan canthus lateralis orbita).
Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
Operasi
Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung. Pasang
haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat. Buka flap secara
tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah. Di bawahnya
diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk (bahaya
nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada doek. Buka
pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium pada
daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT
scan. Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace)
kemudian dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus
tabula interna. Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole
dengan kapas basah/ wetjes.
Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan
spoeling dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat
dihentikan dengan bone wax. Gantung dura (hitch stich) dengan benang silk 3.0
sedikitnya 4 buah. Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara
40
gentle. Evaluasi dura, perdarahan dari dura dihentikan degan diatermi. Bila ada
perdarahan dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stich pada
daerah tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila
perdarahab profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh diknabel
untuk mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus. Bila ada
dura yang robek jahit dura denga silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul dengan
jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan spoeling
berulang-ulang.
Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah
salanjutnya adalah membuka duramater. Sayatan pembukaan dura
seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berlawanan dengan sayatan
kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian bagian yang terangkat
disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari arakhnoid. (Bila
sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat). Masukkan
kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam ruang
subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap
kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk
pembuluh darah kulit atau subkutan. Reseksi jaringan otak didahului dengan
koagulasi permukaan otak dengan pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri
maupun vena. Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di
permukaan di ruang subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak
dibawahnya tak ada darah lagi. Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan
koagulasi. Tepi bagian otak yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin
jaringan otak bebas dari perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya
dipergunakan kauter bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk
memegang jaringan otak gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu
kauterisasi.
Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/ tidaknya tulang
dengan evaluasi klinsi pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan
lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut.
41
Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar kulit.
Periost dan fascia ototo dijahit dengan vicryl 2.0. Pasang drain subgaleal. Jahit
galea dengan vicryl 2.0. Jahit kulit dengan silk 3.0. Hubungkan drain dengan
vaum drain (Redon drain). Operasi selesai. Bila tulang dikembalikan, buat lubang
untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel
dura ditengah tulang yang akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat
lubang pada tulang yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di
fiksasi (3-4 buah ditepi dan2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura).
Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis
seperti diatas.
Komplikasi operasi
Perdarahan.
Infeksi.
Mortalitas
Tergantung beratnya cedera otak.
Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti
biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen
tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik
dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.
42
43
BAB III
DISKUSI
Kasus Nn. Milla hanifa, 18 tahun, setelah terjatuh dari kendaraan
bermotor, rujukan dari lamongan. Saat kejadian pasien pingsan dan muntah.
Datang ke RSUD Jombang dengan keluhan kesadaran menurun dan ditemukan
adanya hematom berdiameter 7x7 cm ditemporal dextra disertai bloody otorrhea
dextra. Diagnosis awal pasien ini adalah Cedera otak sedang dengan Epidural
hemorrhage temporal dextra dan Subdural hemorrhage frontotemporal sinistra.
Kasus ini merupakan masalah yang serius. Terlihat pada gejala neurologis
yang timbul pada pasien ini yaitu penurunan kesadaran yang progresif, sedangkan
gejala neurologis lain menjadi kabur karena adanya cedera otak sedang yang
disertai dengan perdarahan subdural dan perdarahan epidural sehingga gejala dan
tanda yang khas pun tidak begitu terlihat dengan jelas.
Pasien ini adalah pasien darurat yang jika tidak segera dilaukan operasi
akan membahayakan bagi pasien. Kriteria ASA/PS untuk pasien ini adalah
termasuk ASA IV E. Pasien ini tidak dipuasakan terlebih dahulu karena
merupakan pasien darurat dan selama operasi perlu pengawasan yang ketat untuk
cegah aspirasi karena isi lambung masih ada.
Anestesi yang digunakan untuk pasien ini adalah general anestesi dengan
intravena-inhalasi, tanpa dilakukan premedikasi, karena kasus ini adalah kasus
sito (emergency). Induksi yang dipakai adalah Fentanyl 5-40 µg/kg bolus iv,
Roculax 0,6-1,2 mg/kg iv, Ondansetron 4 mg iv lambat. Fentanyl mempunyai
efek : depresi respirasi sampai apneu, depresi miokard, vasodilatasi pembuluh
darah, menurunkan tensi, menurunkan COP, dan histamin release. Sedangkan
untuk maintenance digunakan isofluran, yang memiliki efek : pada kardivasculer
menyebabkan T↓↓, N↑, pada respirasi menyebabkan volum tidal ↓, frekuensi
nafas ↑.
Anestesi mulai pada pukul 21.15 WIB. Pasien ditidurkan dan diberi
preoksigenasi selama 5 menit, untuk memberi cadangan oksigen saat akan
dilakukan intubasi. Setelah itu dilakukan induksi anestesi, saat pasien sudah apneu
dilakukan intubasi dengan ETT no. 7, cuff (+), mayo (+). Anestesi ini
44
menggunakan semi close system dengan kontrol respirasi. Cairan yang masuk saat
pre-op adalah Pre Operasi adalah RL 500 ml dan cairan yang masuk Durante
Operasi adalah RL 2500 ml, PZ/NaCl 1000 ml, WB 3 kantung (350 ml/kantung),
Manitol 250 ml.
Trepanasi berakhir pada pukul 02.15 WIB. Setelah operasi selesai tekanan
darah pasien 100/50 mmHg, Nadi 90 x/menit, dengan kesadaran koma (GCS
1X2). Setelah itu pasien dikirim ke ICU untuk perawatan dan pengawasan yang
intensif.
45
BAB IV
KESIMPULAN
Cedera otak sedang yang disertai dengan perdarahan subdural dan
perdarahan epidural pada kasus ini tidak menunjukkan tanda dan gejala yang
khas, hanya terlihat penurunan kesadaran yang progresif.
Kasus Nn. Milla Hanifa, 18 tahun, setelah terjatuh dari kendaraan
bermotor, rujukan dari lamongan. Saat kejadian pasien pingsan dan muntah.
Datang ke RSUD Jombang dengan keluhan kesadaran menurun dan ditemukan
adanya hematom berdiameter 7x7 cm ditemporal dextra disertai bloody otorrhea
dextra. Diagnosis awal pasien ini adalah Cedera otak sedang dengan Epidural
hemorrhage temporal dextra dan Subdural hemorrhage frontotemporal sinistra.
Kriteria ASA/PS untuk pasien ini adalah termasuk ASA IV E.
Anestesi yang digunakan untuk pasien ini adalah general anestesi dengan
intravena-inhalasi, tanpa dilakukan premedikasi, karena kasus ini adalah kasus
sito (emergency). Induksi yang dipakai adalah Fentanyl, Roculax, dan
Ondansetron. Sedangkan untuk maintenance digunakan isofluran.
Anestesi mulai pada pukul 21.15 WIB. Pasien ditidurkan dan diberi
preoksigenasi selama 5 menit, untuk memberi cadangan oksigen saat akan
dilakukan intubasi. Setelah itu dilakukan induksi anestesi, saat pasien sudah apneu
dilakukan intubasi dengan ETT no. 7, cuff (+), mayo (+). Anestesi ini
menggunakan semi close system dengan kontrol respirasi. Cairan yang masuk saat
Pre Operasi adalah RL 500 ml dan cairan yang masuk Durante Operasi adalah RL
2500 ml, PZ/NaCl 1000 ml, WB 3 kantung (350 ml/kantung), Manitol 250 ml.
Setelah operasi selesai pada pukul 02.15 WIB tekanan darah pasien 100/50
mmHg, Nadi 90 x/menit, dengan kesadaran koma (GCS 1X2).
46
DAFTAR PUSTAKA
Djamaloeddin. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Dobson, MB. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC.
Grace, Pierce. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta : Erlangga.
Greenberg. 2007. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. Jakarta : Erlangga.
Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : UGM.
Kahan, Skot. 2011. Ilmu bedah. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Mansjoer, Arif. 2000. General Anestesi. In: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI.
Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.
Snell, Richard. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke
5. Jakarta : EGC.
Wibowo, Daniel. 2008. Neuroanatomi untuk Mahasiswa Kedokteran. Bandung :
Bayumedia.
Wim de Jong. 2003. Buku-Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2. Jakarta : EGC.
http://www.bedahunmuh .wordpress.id
47