manajemen anastesi pada kasus green code

34
MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE DI RSUP SANGLAH DENPASAR Oleh: dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn,KIC DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA / RSUP SANGLAH DENPASAR 2019

Upload: others

Post on 17-Apr-2022

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

DI RSUP SANGLAH DENPASAR

Oleh:

dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn,KIC

DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA /

RSUP SANGLAH DENPASAR

2019

Page 2: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii

ABSTRAK ............................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................3

2.1. Sistem Green Code di RSUP Sanglah Denpasar .......................................................3

2.2. Gawat Janin................................................................................................................5

2.3. Manajemen Anestesi pada Kasus Green Code ............................................. 11

BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................................21

BAB IV DISKUSI KASUS .....................................................................................................26

BAB V KESIMPULAN ...........................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................30

Page 3: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

iii

ABSTRAK

Pasien perempuan 33 tahun dengan diagnosis G2P1001 37 minggu 3 hari

Tunggal/Hidup Persalinan Kala I + distosia bahu. Pada pasien dilakukan tindakan

Sectio Secarea Cito pada tanggal 5 Juni 2019. Teknik anestesi yang digunakan pada

pasien ini adalah regional anestesi.

Pasien dengan status fisik ASA II memiliki permasalahan aktual yaitu gravida

dengan distosia bahu. Sebelum tindakan operasi pasien tidak diberikan obat-

obatan pre medikasi. Penanganan pre operatif lain terhadap pasien adalah berupa

edukasi psikologis terkait persiapan operasi, tindakan yang akan dilakukan, serta

komplikasi yang mungkin muncul dari operasi yang akan dijalani.

Pasien diinduksi dengan Bupivacain Heavy 0,5% 12,5 mg. Medikasi lain yang

diberikan pada pasien adalah Oksitosin 10 IU dilanjutkan 30 IU drip, Methergin 0,4

mg IV dan Ondansetron 4 mg IV. Saat operasi, tidak terjadi komplikasi apapun.

Status hemodinamik pasien stabil. Penanganan nyeri akut pasien pasca operasi yang

diberikan adalah morfin 20mg dalam 20 ml Normal Salin kecepatan 0,6 ml/jam dan

paracetamol 500mg setiap 6 jam. Pasca oeprasi pasien dirawat di ruangan dengan

kontrol nyeri oleh bagian anestesi.

Page 4: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

v

ABSTRACT

A 33-year-old female patient with a diagnosis of G2P1001 37 weeks 3 days

single/live delivery phase I + shoulder dystocia. The patient performed Cito Sectio

Secarea on June 5th, 2019. The anesthetic technique used in this patient was regional

anesthesia.

Patients with physical status ASA II have actual problem which is gravida

with shoulder dystocia. Before surgery the patient was not given pre-medication.

Other preoperative treatments for patients are in the form of psychological education

related to surgery preparation, actions to be taken, and complications that may arise

from the surgery.

The patient was induced with 0.5% Bupivacain Heavy 12.5 mg. Another

medication given to patient was Oxytocin 10 IU followed by 30 IU drip, Methergin

0.4 mg IV and Ondansetron 4 mg IV. During surgery, no complications occured. The

patient's hemodynamic status was stable. Acute pain management for postoperative

patients given was morphine 20 mg in 20 ml Normal Saline speed of 0.6 ml / hour

and paracetamol 500 mg every 6 hours. When post operative patient was treated in a

room with pain control by the anesthesia.

Page 5: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

1

BAB I

PENDAHULUAN

Periode saat bayi lahir sampai 28 hari kehidupannya disebut sebagai masa

perinatal. Masa perinatal ini adalah saat paling sering ditemukan adanya masalah

pada bayi baru lahir. Timbulnya masalah pada bayi saat perinatal jika dilihat dari

faktor ibu adalah karena pemeriksaan selama kehamilan yang tidak adekuat,

pertolongan saat persalinan yang tidak tepat.Angka kematian perinatal di Indonesia

masih tinggi yaitu 73 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan angka tertinggi,

dibandingkan angka kematian perinatal negara ASEAN lain. RSUP Sanglah sebagai

RS rujukan, memiliki angka kematian neonatal sebesar 64 per 1000 kelahiran hidup

pada tahun 2004 (Patel, 2015).

Setiap tahun diperkirakan empat juta bayi meninggal pada bulan pertama

setelah dilahirkan dan dua pertiganya meninggal pada tujuh hari pertama

kehidupannya (angka kematian neonatal dini). Angka kematian neonatal dini

merupakan indikator status kesehatan suatu negara yang mencerminkan kualitas

kontrol ibu hamil selama kehamilan. Angka kematian neonatus dini di negara

berkembang sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Hal ini

menunjukkan negara maju memiliki kualitas kontrol saat kehamilan, pelayanan serta

tindakan saat persalinan negara-negara maju yang lebih baik dibandingkan negara

berkembang. Penyebab kematian neonatal dini yang tersering adalah asfiksia, sepsis,

prematuritas dan berat badan lahir rendah. Penyebab asfiksia paling sering terjadi saat

proses persalinan (Patel, 2015).

Pelayanan di bidang obstetri terutama pada kasus gawat janin merupakan

sesuatu yang sangat penting. Keterlambatan waktu evakuasi janin dari dalam rahim

ke luar rahim akan memperpanjang lamanya hipoksia (kekurangan oksigen) pada

janin dan dapat berakibat terjadinya asfiksia berat atau mungkin kematian janin saat

masih di dalam rahim, kematian saat lahir (still birth) atau kematian perinatal.

Sanjaya (2008) melaporkan bahwa di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Sanglah

Page 6: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

2

Denpasar dari tanggal 1 Januari 2006 sampai dengan 31 Agustus 2006 ditemukan 134

kasus yang didiagnosis sebagai gawat janin (Sanjaya, 2008).

Idealnya, pada kasus gawat janin diperlukan waktu sesegera mungkin melahirkan

janin untuk mengatasi kekurangan oksigen (hipoksia). Kecepatan tindakan

evakuasi janin dari dalam kandungan ke luar kandungan sangat menentukan

kualitas luaran bayi baru lahir (neonatus). Di RSUP Sanglah Denpasar telah

diterapkan sistem green code untuk meningkatkan response time terhadap kasus

gawat janin. Pentingnya penatalaksanaan pada kasus gawat janin melatarbelakangi

laporan kasus ini. Pada laporan ini akan dibahas mengenai manajemen anestesi pada

pasien Green Code di RSUP Sanglah Denpasar (Sanjaya,2008).

Page 7: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Green Code di RSUP Sanglah Denpasar

Green code adalah sistem penanganan gawat darurat di bidang Obstetri yaitu

penanganan pada kehamilan yang mengancam keselamatan dari resiko kecacatan atau

kematian janin dengan dilakukan persalinan melalui tindakan Sectio Caesaria. Green

code (kode hijau) merupakan kode yang digunakan RSUP Sanglah untuk

mempercepat response time dalam penanganan fetal distress (gawat janin). Sistem

Green Code telah dilaksanakan sejak tahun 2007 di Instalasi Gawat Darurat RSUP

Sanglah Denpasar. Pelaksanaaan satu sistem management gawat janin dengan sistem

Green Code memerlukan waktu rata-rata kurang dari 10 menit yaitu mulai dari

penentuan diagnosis gawat janin sampai incisi kulit abdomen (RSUP Sanglah, 2015).

Berdasarkan Standar Pelayanan Gawat Darurat RSUP Sanglah, tim Green Code

terdiri atas dokter spesialis obsgyn, dokter spesialis anak, dokter spesialis anestesi,

perawat OK, bidan/perawat kamar bersalin, petugas laboratorium dan MOD

(Manager On Duty). Prosedur umum dalam kasus Green Code di RSUP Sanglah

antara lain (RSUP Sanglah, 2015):

1. Pasien yang datang ke IGD Kebidanan segera dilakukan pemeriksaan dan

dilakukan assessment oleh dokter spesialis Obsgyn.

2. Apabila pada pemeriksaan tersebut ditemukan adanya gawat janin maka

segera diputuskan untuk mengaktifkan system Green Code.

3. Salah satu petugas menghubungi petugas operator telpon di pesawat 300

untuk mengumumkan bahwa ada persiapan Green Code di IGD Kebidanan.

4. Petugas operator telpon segera mengumumkan panggilan “Persiapan Green

Code di IGD Kebidanan” lewat pengeras suara sebanyak 3 kali.

5. Tim Green Code segera merespon setelah mendengar panggilan.

Page 8: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

4

6. Tim Kebidanan mempersiapkan pasien untuk tindakan SC seperti :

pemasangan IV line, pengambilan sampel darah, pemasangan kateter urin

termasuk pemberian informed consent kepada keluarga tentang kondisi pasien

dan tindakan yang akan dilakukan serta memastikan kelengkapan rekam

medis pasien.

7. Dilakukan resusitasi intra uterin untuk menjaga kondisi janin serta ibunya

agar tetap dalam kondisi stabil, dengan pasien ditidurkan pada posisi miring

kiri serta diberikan oksigen.

8. Dokter spesialis anestesi melakukan evaluasi pra anestesi dan menyiapkan

obat dan alat anastesi yang diperlukan untuk tindakan pembiusan.

9. Tim OK menyiapkan kamar operasi termasuk alat-alat (instrument) dan

perlengkapan lainnya serta mengatur petugas yang akan terlibat dalam

tindakan SC yang akan dilakukan.

10. Dokter sepsialis anak dengan timnya langsung menuju ke OK untuk

mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan resusitasi

bayi.

11. Setelah persiapan, operator telpon kembali dihubungi untuk mengumumkan

tindakan “Green Code”.

12. Petugas operator telpon segera mengumumkan panggilan “Green Code” lewat

pengeras suara sebanyak 3 kali.

13. Pasien segera didorong ke kamar operasi (diharapkan dalam waktu 8 menit

bayi bisa dilahirkan)

14. Setelah pasien dipindahkan ke meja operasi, dilakukan pembiusan oleh dokter

spesialis anestesi.

15. Pembiusan telah dilakukan, tindakan SC oleh dokter spesialis Obsgyn

dimulai.

16. Segera setelah lahir bayi, dokter spesialis anak melakukan tindakan resusitasi

jika diperlukan.

17. Dokter spesialis anak segera memutuskan perawatan lanjutan pada bayi yang

dilahirkan apakah perlu perawatan intensif atau tidak.

Page 9: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

5

18. Perawatan ibu post operasi diputuskan oleh dokter anestesi bersama dokter

obsgyn apakah memerlukan perawatan intensif atau tidak.

19. Dokumentasi ditulis dengan lengkap oleh tim Green Code.

2.2 Gawat Janin

2.2.1 Definisi

Gawat janin menunjukkan suatu keadaan bahaya yang secara serius

mengancam kesehatan janin. Gawat janin juga umum digunakan untuk menjelaskan

kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk yaitu

menyebabkan kerusakan atau kematian janin sehingga harus diatasi secepatnya atau

janin secepatnya dilahirkan. Keadaan tersebut dapat terjadi baik pada antepartum

maupun intrapartum (Cunningham, 2012). Tanpa oksigen yang adekuat, denyut

jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut

pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam

laktat dengan pH janin yang menurun. 1 Gerakan janin yang menurun atau berlebihan

menandakan gawat janin. Tetapi, biasanya tidak ada gejala-gejala subjektif.

Seringkali indikator gawat janin yang pertama adalah perubahan dalam pola denyut

jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya variabilitas, atau deselerasi lanjut)

(Cunningham, 2012).

2.2.2 Etiopatofisiologi

Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun biasanya gawat

janin terjadi karena beberapa mekanisme yang berkesinambungan. Kondisi janin dan

ibu hendaknya dianalisa untuk kemudian membuat pemeriksan khusus dalam

membuktikan kebenaran analisa tersebut. Faktor yang menyebabkan gawat janin

ialah (Manuaba F, 2017):

a. Faktor ibu

Page 10: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

6

• Anemia / kekurangan darah sehingga hemoglobin juga akan berkurang dan

menyebabkan oksigen berkurang.

• Hipertensi merupakan kompensasi tubuh akibat adanya sumbatan pada

vaskuler. Sumbatan tersebut dapat mengurangi aliran pada vaskuler, dalam hal

ini adalah pada plasenta, sehingga janin tidak dapat memenuhi kebutuhan yang

cukup akan nurisi dan oksigen.

• Diabetes mellitus dapat menjadikan aliran darah menjadi mengental (viskositas

meningkat). Maka dari itu akan dapat menimbulkan gangguan pada laju/aliran

darah, terutama pada plasenta.

b. Faktor uteroplasental

• Kelainan tali pusat

Pada kasus tertentu, terkadang tali pusat sedemikian pendeknya sehingga perut

anak berhubungan dengan plasenta. Tali pusat harus lebih panjang dari 20-30cm

untuk memungkinkan kelahiran anak, bergantung pada apakah plasenta terletak

dibawah atau diatas. Tali pusat yang terlalu pendek dapat menimbulkan hernia

umbilikalis, solusio plasenta, persalinan tak maju dan karena tali pusat tertarik

terjadi inversio uteri. Sebaliknya, tali pusat yang terlalu panjang memudahkan

terjadinya lilitan tali pusat.

• Trauma

Gawat janin dapat disebabkan karena trauma seperti benturan yang dapat

menimbulkan edema pada plasenta sehingga menyebabkan pada pelepasan

sebagian atau seluruh permukaan plasenta.

c. Faktor janin

• Kompresi tali pusat dapat menyebabkan terhambatnya aliran darah dari ibu ke

janin.

• Penurunan kemampuan janin membawa oksigen di karenakan oleh hemoglobin

yang turun atau dari plasenta yang tidak berfungsi secara normal

Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang, maka janin akan mengalami

retardasi organ bahkan risiko asidosis dan kematian. Bermula dari upaya redistribusi

Page 11: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

7

aliran darah yang akan ditujukan pada organ penting seperti otak dan jantung dengan

mengorbankan visera (hepar dan ginjal). Hal ini tampak dari volume cairan amnion

yang berkurang (oligohidramnion). Bradikardia yang terjadi merupakan mekanisme

dari jantung dalam bereaksi terhadap tekanan (misalnya hipertensi pada kompresi tali

pusat) atau reaksi kemoreseptor akibat asidemia.

2.2.3 Gejala dan Tanda Klinis

Pada keadaan gawat janin, ibu akan mengalami kegagalan dalam pertambahan

berat badan dan uterus tidak bertambah besar.Biasanya berat badan ibu tidak naik

selang 2 kali ANC (Ante Natal Care) atau turun dari ANC sebelumnya pada trimester

2 dan 3. Kenaikan berat badan pada BMI normal adalah antara 11-16 kg. Uterus yang

lebih kecil daripada umur kehamilan yang diperkirakan memberi kesan retardasi

pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion. Selain itu, gerakan janin akan

berkurang dibandingkan sebelumnya. Ibu juga akan merasakan keluarnya air per

vaginam yang tidak dapat dikendalikan, bau amis, dan warna putih agak keruh.

Keluhan-keluhan tersebut seringkal disertai juga dengan sakit perut yang hilang

timbul (Cunningham, 2012).

Berikut adalah hal – hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan keadaan

gawat janin:

1. Denyut jantung janin (DJJ)

Pola frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk mengidentifikasi

janin normal atau abnormal. Kardiotokografi adalah alat elektronik yang

digunakan untuk tujuan memantau atau mendeteksi adanya gangguan yang

berkaitan dengan hipoksia janin dalam rahim melalui penilaian pola denyut

jantung janin dalam hubungan dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin

dalam rahim. Kardiotokografi merupakan suatu metode pemeriksaan yang telah

ditetapkan sebagai suatu pemeriksaan standar rutin untuk menentukan

kesejahteraan janin. Meskipun pemeriksaan kardiotokografi menunjukkan hasil

dengan tingkat positif palsu yang tinggi, yaitu sekitar 64 % dan evaluasinya juga

Page 12: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

8

sangat subyektif, tetapi saat ini tetap menjadi metode penapisan diagnosis

hipoksia akut pada janin, karena tidak ada cara pemeriksaan lain yang lebih

obyektif dan non invasif. Pemantauan dan pencatatan denyut jantung janin yang

segera dan kontinyu dalam hubungan dengan kontraksi uterus memberikan suatu

penilaian kesehatan janin yang sangat membantu selama persalinan (Hariadi,

2014). Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin:

1. Bradikardi

Denyut jantung janin kurang dari 120 denyut per menit.

2. Takikardi

Akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (>160 denyut/menit) dapat

dihubungkan dengan demam pada ibu yang sekunder terhadap infeksi

intrauterine. Prematuritas juga dihubungkan dengan denyut jantung janin yang

meningkat.

3. Variabilitas denyut jantung dasar yang menurun

Hal ini menandakan depresi sistem saraf otonom janin yang dapat terjadi oleh

karena medikasi ibu (atropine, skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium

dan analgesic narkotik).

4. Pola deselerasi

Deselerasi lanjut menunjukkan hipoksia janin yang disebabkan oleh insufisiensi

uteroplasenta. Deselerasi yang bervariasi menunjukkan kompresi sementara

waktu saja dari pembuluh darah umbilicus. Peringatan tentang peningkatan

hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, dan

bradikardia yang menetap. (Datta, 2014).

2. Mekonium

Mekonium akan keluar dari usus janin pada keadaan stres hipoksia, telah terbukti

bahwa pasase mekonium disebabkan karena rangsangan saraf dari saluran pencernaan

yang sudah matur. Pada saat janin aterm, saluran pencernaan menjadi matur, terjadi

stimulasi vagal dari kompresi tali pusat yang akan menyebabkan timbulnya peristaltik

dan relaksasi dari spinkter ani yang menyebabkan keluarnya mekonium. Walaupun

Page 13: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

9

etiologinya belum dipahami dengan baik, namun efek dari mekonium telah

diketahui.Pasase mekonium pada janin yang matur difasilitasi oleh myelinisasi

serabut saraf, peningkatan tonus parasimpatis dan bertambahnya konsentrasi motilin

(suatu peptida yang yang merangsang kontraksi usus). Ditemukan adanya hubungan

antara kejadian gawat janin dengan peningkatan kadar motilin.Mekonium secara

langsung merubah air ketuban, menekan efek antibakteri dan selanjutnya

meningkatkan risiko infeksi perinatal, juga dapat mengiritasi kulit janin sehingga

meningkatkan kejadian erythema toksikum. Namun komplikasi yang paling

berbahaya dari keluarnya mekonium in utero adalah aspirasi air ketuban yang

mengandung mekonium sebelum, selama dan sesudah persalinan (Hariadi, 2014).

Mekonium menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan nafas. Mekonium yang

teraspirasi ke jalan nafas akan menimbulkan fenomena katup bola dimana udara yang

melewati mekonium pada saat inspirasi akan terperangkap di bagian distal pada saat

ekspirasi, menyebabkan peningkatan resistensi ekspirasi paru, kapasitas residu

fungsional dan diameter anteroposterior rongga dada. Udara yang terjebak di bagian

distal saluran pernafasan menyebabkan hiperekspansi alveoli dan atelektasis dan

menimbulkan terjadinya ventilasi yang tidak seimbang dan shunt intrapulmoner.

Kebocoran udara terjadi pada sekitar 50 % bayi dengan aspirasi mekonium, dan

umumnya terjadi pada saat dilakukan tindakan resusitasi. Hipertensi pulmonar

merupakan komplikasi yang sering ditemukan.Aspirasi mekonium merupakan

penyebab utama dari penyakit yang berat dan kematian pada bayi baru lahir (Hariadi,

2014).

3. pH darah janin

pH darah janin memberikan informasi yang objektif tentang status asam basa

janin. Sesuai dengan American College Of Obstetricians and Gynecologists,

pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat membantu untuk

mengidentifikasi keadaan gawat janin. Pengambilan darah janin harus dilakukan di

luar his dan sebaiknya ibu dalam posisi tidur miring (Cunningham, 2012).

Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut:

Page 14: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

10

a. Deselerasi lambat berulang

b. Deselerasi variabel memanjang

c. Mekonium pada presentasi kepala

d. Hipertensi ibu

e. Osilasi/ variabilitas yang menyempit

Kontraindikasi pengambilan sampel darah janin:

a. Gangguan pembekuan darah janin

b. Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai

c. Infeksi pada ibu

Syarat pengambilan sampel darah janin:

a. Pembukaan lebih dari 2 cm

b. Ketuban sudah pecah

c. Kepala sudah turun hingga dasar pelvis

Cara pengambilan sampel darah:

1. Masukkan amnioskopi melalui serviks yang sudah didilatasi setelah ruptur

membran

2. Oleskan lapisan jel silikon untuk mendapatkan tetesan darah pada tempat insisi

3. Buat insisi tak lebih dari 2 cm dengan pisau tipis

4. Aspirasi darah dengan tabung kapiler yang telah diberi heparin

5. Periksa pH darah

6. Setelah insisi, hentikan perdarahan

Jika pH kulit kepala yang lebih besar dari 7,25, hal ini menandakan pH normal.

Sedangkan pH kulit kepala yang kurang dari 7,20 menandakan hipoksia janin dengan

asidosis. Jika hal ini terdeteksi maka persiapan kelahiran segera dilakukan (Datta,

2014).

Jika terjadi pH patologis, hal ini membuat rangsangan pada kemoreseptor yang

mengakibatkan :

Page 15: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

11

a) Takikardi

b) Irama detak jantung irregular, rangsangan saraf simpatikus dan saraf vagus yang

bersamaan

c) Detak jantung menurun dan irama tidak teratur

d) Rangsangan saraf vagus mempengaruhi sfingter ani terbuka sehingga mekonium

keluar

e) Metabolisme anaerobik membuat cadangan glukosa menurun dan kontraksi

melemah sehingga terjadi kegagalan total dan janin mati (Cunningham, 2012).

2.3 Manajemen Anestesi pada Kasus Green Code

Anestesi obstetri berbeda dari anestesi bedah lainnya karena waktu untuk

persiapan operasi dan anestesi dapat diubah dari beberapa jam hingga hanya beberapa

menit untuk menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi yang belum lahir. Gawat janin

adalah salah satu indikasi untuk mempercepat proses persalinan. Diagnosis gawat

janin didasarkan pada denyut jantung janin, apakah cepat, lambat, tidak teratur, dan

apakah terdapat mekonium selama persalinan. Gawat janin dikatakan jika denyut

jantung janin lebih dari 160 denyut per menit, di bawah 120 denyut per menit, atau

jika memiliki irama jantung yang tidak teratur. Gawat janin terjadi akibat asfiksia.

Asfiksia dapat terjadi baik antepartum atau intrapartum, ketika ada penurunan dalam

aliran darah uterus yang menyertai setiap kontraksi uterus. Kontraksi menurunkan

aliran darah uterus dan perfusi plasenta dengan cara kompresi eksternal pada vaskular

uterus. Plasenta mungkin tidak dapat membantu penyediaan pertukaran gas yang

memadai selama persalinan, karena adanya kontraksi menurunkan pertukaran gas.

Pemantauan janin secara efektif dapat memprediksi dan mendiagnosis asfiksia janin

selama kehamilan dan persalinan. (Dongare dan Nataraj,2018)

2.3.1 Persiapan Preoperatif

Ketika memilih anestesi regional atau general untuk persalinan seksio caesar,

sebaiknya mempertimbangkan outcome pada ibu dan neonatus. Studi mengenai

neonatal difokuskan pada pH tali pusat, skor Apgar, kebutuhan akan bantuan ventilasi

Page 16: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

12

saat lahir dan skor neurobehavioral. Anestesi regional adalah metode yang disukai

untuk operasi caesar pada wanita sehat, namun anestesi general masih diperlukan

dalam kasus-kasus tertentu. Penggunaan anestesi general digunakan pada ibu

melahirkan berisiko tinggi. Pilihan teknik anestesi harus sesuai dengan situasi klinis.

Jika waktu adalah faktor pembatas, diperlukan anestesi general karena teknik ini

menawarkan waktu induksi yang lebih cepat. Morbiditas dan mortalitas yang terkait

dengan anestesi general adalah aspirasi isi lambung dan kesulitan saat intubasi trakea.

(Dongare dan Nataraj, 2018) Kematian yang terkait dengan anestesi umum umumnya

terkait dengan masalah jalan nafas, seperti ketidakmampuanuntuk intubasi,

ketidakmampuan untuk ventilasi, atau aspirasipneumonitis, sedangkan kematian

berhubungan dengananestesi regional umumnya terkait dengan penyebaran blokade

dermatomal yang berlebihan atau lokaltoksisitas anestesi (Morgan dan Mikhail, 2013)

.Terdapat persepsi bahwa risiko anestesi general lebih besar daripada anestesi

regional. Bayi dapat dipengaruhi secara langsung melalui transfer obat melewati

transplasenta atau secara tidak langsung dengan perubahan perfusi janin-plasenta,

atau keduanya. Risiko efek langsung dari transfer plasenta paling besar dengan

anestesi umum, karena paparan dari obat yang diberikan ke ibu. (Dongare dan

Nataraj, 2018)

Evaluasi pra-anestesi untuk operasi caesar darurat harus dengan assessment

yang cepat untuk menentukan risiko jalan napas sulit, perdarahan obstetrik dan risiko

aspirasi. Investigasi pra operasi yang diperlukan adalah hitung darah lengkap, blood

grouping dan cross matching dan jika benar-benar diperlukan fungsi ginjal, tes fungsi

hati dan profil koagulasi (Lie dan Mok, 2017).

Semua pasien yang datang untuk operasi caesar perlu dipersiapkan untuk

anestesi umum dan tindakan untuk mencegah perdarahan. Persiapan pra operasi

termasuk resusitasi dalam rahim janin yang diantaranya adalah menghentikan

oksitosin, pasien posisi tidur miring ke kiri, pemberian oksigen, pemberian cairan

kristaloid, vasopresor intravena jika tekanan darah menurun, obat tokolitik seperti

terbutaline 250mcg (s.c), pemberian profilaksis aspirasi asam, persiapan jalan nafas

Page 17: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

13

yang sulit, mengamankan akses intravena (harus memiliki 2 akses IV), persiapan

pencegahan perdarahan dan pemantauan invasif jika diperlukan. Semua ibu yang

datang untuk operasi caesar darurat berisiko tinggi mengalami aspirasi, terutama

karena pedoman terbaru menyarankan agar ibu mengonsumsi makanan padat dan cair

selama persalinan normal. Natrium sitrat oral, ranitidine, dan metoclopramide IV

dapat digunakan sebagai profilaksis aspirasi asam. Sodium sitrat 30 ml harus

diberikan setidaknya 20 menit sebelum induksi anestesi umum. Studi menganjurkan

bahwa itu dapat diberikan sesaat sebelum dipindahkan ke ruang operasi. Kerugian

dari natrium sitrat adalah tingginya insiden mual dan muntah. Oleh karena itu, tidak

disarankan pada pasien yang menerima anestesi regional (Smith dkk, 2011).

2.3.2 Anestesi Spinal

Anestesi tulang belakang atau spinal melibatkan penempatan obat bius ke dalam

kantung tulang belakang yang terletak di dalam tulang belakang. Spinal biasanya

dilakukan pada tingkat punggung bagian bawah (lumbar vertebrae). Setelah anestesi

disuntikkan ke dalam kantung spinal, konduksi sumsum tulang belakang dan saraf

tulang belakang tepengaruh.(Patel,2015)

Keuntungan dari anestesi regional meliputi (1) kurang paparan neonatal

terhadap obat-obatan yang berpotensi depresan, (2) penurunan risiko aspirasi paru

ibu, (3) ibu yang terjaga saat kelahiran anaknya. Bila dibandingkan dengan teknik

epidural, anestesi spinal memiliki onset lebih cepat dan dapat diprediksi; dapat

menghasilkan blok yang lebih baik; dan tidak memiliki potensi toksisitas obat

sistemik yang serius karena dosis anestesi lokal yang lebih kecil. Terlepas dari teknik

regional yang dipilih, seseorang harus siap untuk memberikan anestesi umum kapan

saja selama prosedur (Morgan dan Mikhail, 2013).

Pada anestesi regional, pasien harus menerima bolus kristaloid intravena yang

tepat yaitu Ringer laktat (biasanya 1000-1500 mL) atau koloid (biasanya 250-500

mL) pada saat blokade saraf. Bolus semacam itu tidak akan konsisten mencegah

Page 18: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

14

hipotensi tetapi sebenarnya dapat menghilangkan hipovolemia yang sudah ada

sebelumnya. Setelah injeksia nestesi lokal, fenilefrin dapat dititrasi untuk

mempertahankan tekanan darah. Pemberian efedrin (5-10 mg) mungkin diperlukan

pada pasien hipotensi dengan berkurangnya detak jantung. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa fenilefrin menghasilkan asidosis neonatal yang lebih sedikit

dibandingkan dengan efedrin (Morgan dan Mikhail, 2013)..

Dokter anestesi menusukkan jarum halus di punggung bawah dan

melewatkannya diruang epidural melalui dura untuk memasuki ruang subarachnoid di

mana terdapat saraf tulang belakang dan cairan serebrospinal. Pasien biasanya

ditempatkan pada dekubitus lateral atau posisi duduk. Di lateral, pasien diposisikan

dengan punggung paralel dengan sisi meja operasi. Paha tertekuk ke atas, dan leher

tertekuk ke depan. Dalam posisi duduk, kaki pasien diletakkan di atas bangku

sementara pasien duduk tegak, kepalanya tertekuk sambil lengan memeluk bantal.

Setelah itu larutan lidokain (50–60 mg) atau bupivakain (10–15 mg) disuntikkan.

Bupivakain paling banyak digunakan dalam operasi obstetri karena onset yang cepat.

Dosis dan volume bupivacaine harus disuntikkan pada tingkat yang sesuai di ruang

L3-L4.(Patel, 2015) Penggunaan 22-gauge atau lebih kecil, jarum tulang belakang

pencilpoint (Whitacre, Sprotte, atau Gertie Marx) mengurangi kejadian sakit kepala

pasca tusukan. Menambahkan 10–25 mcg fentanyl atau 5–10 mcg sufentanil ke

dalam larutan anestesi lokal meningkatkan intensitas blok dan memperpanjang

durasinya tanpa mempengaruhi neonatal. Penambahan morfin (0,1-0,3 mg) dapat

memperpanjang analgesia pasca operasi hingga 24 jam, tetapi membutuhkan

pemantauan untuk depresi pernapasan pasca operasi. Pada pasien obesitas, standar

3,5 inci (9 cm) jarum spinal mungkin tidak cukup panjang untuk mencapai ruang

subaraknoid. Dalam kasus ini, jarum spinal yang lebih panjang dari 4,75 inci (12 cm)

hingga 6 inci (15,2 cm) mungkin diperlukan. Untuk mencegah jarum yang lebih

panjang ini tertekuk, beberapa ahli anestesi lebih suka jarum berdiameter lebih besar,

seperti jarum Sprotte 22-gauge atau, 2,5-in. (6,3 cm) (Morgan dan Mikhail, 2013)..

Page 19: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

15

Komplikasi anestesi spinal diklasifikasikan sebagai minor atau major. Komplikasi

minor terdiri dari perubahan status fisiologis pasien. Komplikasi minor meliputi

nausea dan muntah, insufisiensi pernapasan, sakit kepala pasca tusukan lumbar lebih

umum pada jarum yang lebih besar dan pasien yang lebih muda, dan nyeri punggung.

Komplikasi utama atau major termasuk cedera saraf, meningitis, dan disfungsi

neurologis lainnya, tetapi ini jarang terjadi. (Patel,2015)

2.3.3 Anestesi Epidural

Anestesi epidural biasanya melibatkan jarum berdiameter lebih besar daripada

jarum yang digunakan pada anestesi spinal untuk penempatan kateter yang

memungkinkan suplementasi anestesi jika perlu dan menyediakan rute yang sangat

baik untuk pemberian opioid pasca operasi. Jarum epidural melewati jaringan yang

sama seperti jarum anestesi spinal tetapi ujung jarum epidural diposisikan dalam

ruang epidural yang terletak tepat sebelum ruang dura dan subarachnoid (Patel,

2015).

Prosedur standar untuk pemberian anestesi epidural pada dasarnya sama

dengan blok subarachnoid. Prosedur aseptik harus dipertahankan sepanjang prosedur.

Setelah pembersihan dilakukan pada punggung ibu hamil, lokasi tusukan yang

direncanakan antara dua vertebra yang berdekatan dilakukan menggunakan anestesi

lokal. Tusukan di lokasi menggunakan jarum 19G. Jarum epidural dimasukkan ke

dalam kulit melalui ligamentum supraspinous, dengan jarum menunjuk ke arah

cephalad. Ini kemudian maju ke ligamen interspinous sampai terdapat sensasi

berbeda dari peningkatan resistensi yang dirasakan saat jarum masuk ke ligamentum

flavum. Kadang-kadang, kehilangan resistensi dapat menyebabkan beberapa

kesulitan menempatkan epidural. Saat jarum memasuki ligamentumflavum, biasanya

ada sensasi yang berbeda dari peningkatan resistensi, karena ligamen tersebut padat

dengan konsistensi kasar (Patel,2015).

Page 20: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

16

Setelah aspirasi negatif dan dosis uji negatif, total 15-25 mL anestesi lokal

disuntikkan secara perlahan dalam peningkatan 5 mL untuk meminimalkan risiko

toksisitas anestesi lokal sistemik. Lidocaine 2% (biasanya dengan epinefrin 1:

200.000) atau chloroprocaine 3% umum digunakan. Tambahan fentanil, 50-100 mcg,

atau sufentanil, 10-20 mcg, sangat meningkatkan intensitas analgesia dan

memperpanjang durasinya tanpa mempengaruhi bayi dalam rahim. Beberapa praktisi

juga menambahkan natrium bikarbonat (7,5% atau 8,4% larutan) ke dalam larutan

anestesi lokal (1 mEq / 10 mL lidokain) untuk meningkatkan konsentrasi basa bebas

nonionisasi dan menghasilkan onset yang lebih cepat dan penyebaran anestesi

epidural yang lebih cepat. Jika rasa sakit muncul, anestesi lokal tambahan diberikan

dalam peningkatan 5 mL. Setelah melahirkan, suplementasi opioid intravena juga

dapat digunakan. Nyeri yang tetap dan tidak dapat ditoleransi dan yang terbukti tidak

responsif terhadap tindakan ini memerlukan anestesi umum dengan intubasi

endotrakeal. Mual dapat diobati secara intravena dengan antagonis reseptor 5-HT3

seperti ondansetron4 mg (Morgan dan Mikhail, 2013)..

Morfin epidural (5 mg) pada akhir operasimemberikan efek anti nyeri yang

baik hingga sangat baik pasca operasi selama 6-24 jam. Peningkatan insiden (3,5-

30%)infeksi herpes simplex labialis berulangtelah dilaporkan 2-5 hari setelah

pemberian morfin epidural dalam beberapa penelitian. Pasca operasianalgesia juga

dapat diberikan infus epidural terus menerus dengan fentanyl, 25-75 mcg / jam, atau

sufentanil, 5-10 mcg / jam. Butorphanol epidural, 2 mg, juga dapat memberikan efek

anti nyeri pasca operasi yang efektif, tetapi somnolen adalah efek samping (Morgan

dan Mikhail, 2013)..

Walaupun obat yang digunakan dalam teknik spinal dan epidural serupa,

sekitar sepuluh kali volume anestesi diperlukan untuk teknik epidural untuk mencapai

tingkat anestesi yang sama untuk operasi caesar dibandingkan dengan anestesi spinal

(Patel,2015).

Page 21: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

17

2.3.4 Kombinasi Anestesi Epidural Spinal

Teknik kombinasi epidural spinal mempunyai beberapa keuntungan yaitu

kecepatan onset, kebutuhan yang lebih rendah untuk analgesik tambahan, insiden

hipotensi yang lebih rendah, dosis anestesi lokal lebih rendah. Jika blokdilakukan

dengan benar, teknik ini dapat dikaitkan dengan semua keuntungan tersebut.

Kombinasi anestesi epidural spinal memberikan onset lebih cepat untuk

menghilangkan rasa sakit saat setelah injeksi. Anestesi kombinasi epidural spinal

tampaknya aman untuk kasus preeklampsia / eklampsia berat (Patel,2015).

Untuk seksio sesarea, teknik ini menggabungkan manfaat anestesi spinal yang

cepat, andal, dan intens dengan fleksibilitas kateter epidural. Kateter ini juga

memungkinkan suplementasi anestesi dan dapat digunakan untuk analgesia pasca

operasi. Seperti disebutkan sebelumnya, obat yang diberikan secara epidural harus

diberikan dan dititrasi dengan hati-hati karena lubang dural yang dibuat oleh jarum

tulang belakang dapat memfasilitasi pergerakan obat epidural ke CSF dan

meningkatkan efeknya (Morgan dan Mikhail, 2013).

2.3.5 Anestesi General

Anestesi general memiliki keuntungan seperti (1) awitan yang sangat cepat,

(2) kontrol terhadap jalan nafas dan ventilasi, (3) kenyamanan yang lebih besar untuk

ibu melahirkan yang memiliki ketakutan yang tidak wajar terhadap jarum atau

operasi, dan (4) berpotensi hipotensi lebih kecil daripada anestesi regional. Anestesi

umum juga memfasilitasi manajemen jika terjadi komplikasi hemoragik parah.

Kerugian utamanya adalah risiko aspirasi paru, potensi ketidakmampuan untuk

intubasi atau ventilasi pasien, dan depresi janin yang diinduksi obat. Akan tetapi,

teknik anestesi saat ini membatasi dosis agen intravena sehingga depresi janin

biasanya tidak bermakna secara klinis dengan anestesi umum ketika kelahiran terjadi

dalam 10 menit induksi anestesi. Terlepas dari jenis anestesi, neonatus yang

Page 22: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

18

dilahirkan lebih dari 3 menit setelah insisi uterus memiliki skor Apgar dan nilai pH

yang lebih rendah (Morgan dan Mikhail, 2013). Masalah utama dengan anestesi

umum untuk persalinan sesar adalah timbulnya kesadaran ibu yang terkait dengan

penggunaan dosis kecil dan anestesi konsentrasi rendah dengan tujuan meminimalkan

efek pada neonatal. Penggunaan konsentrasi rendah dari agen anestesi volatile kuat

akan berhasil mencegah kesadaran tanpa efek neonatal yang merugikan atau

perdarahan uterus yang berlebihan. Seperti disebutkan di atas, desflurane 4,5% atau

sevoflurane 1,5% dalam 50% nitro oksida telah terbukti menjamin hal-hal diatas

(Dongare dan Nataraj,2018).

Aspirasi paru dari isi lambung dan kegagalan intubasi endotrakeal adalah

penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu terkait dengan anestesi umum. Semua

pasien harus menerima profilaksis terhadap pneumonia aspirasi dengan 30 mL

natrium sitrat 30-45 menit sebelum induksi. Pasien dengan faktor risiko tambahan

yang memengaruhi aspirasi juga harus menerima ranitidine intravena, 50 mg, atau

metoclopramide, 10 mg, atau keduanya, 1-2 jam sebelum induksi; faktor-faktor

tersebut termasuk obesitas morbid, gejala gastroesophageal reflux, jalan napas sulit,

atau bedah persalinantanpa periode puasa elektif (Morgan dan Mikhail, 2013).

Antisipasi dari intubasi endotrakeal yang sulit dapat membantu mengurangi

kejadian kegagalan intubasi. Pemeriksaan leher, mandibula, gigi, dan orofaring

membantu memprediksi pasien mana yang mungkin mengalami masalah. Prediktor

yang berguna untuk intubasi sulit meliputi klasifikasi Mallampati, leher pendek,

mandibula yang menyusut, gigi seri rahang atas yang menonjol, dan riwayat intubasi

sulit. Insiden intubasi yang gagal pada pasien hamil yang lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien bedah yang tidak hamil mungkin karena edema jalan napas, gigi

penuh, atau payudara besar yang dapat menghalangi pegangan laringoskop pada

pasien dengan leher pendek. Posisi kepala dan leher yang tepat dapat memfasilitasi

intubasi endotrakeal pada pasien obesitas. Berbagai bilah laringoskop, pegangan

laringoskop pendek, setidaknya satu tabung endotrakeal ekstra stiletted (6 mm),

forceps Magill (untuk intubasi hidung), jalan nafas masker laring (LMA), LMA

Page 23: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

19

intubasi (Fastrach), dan bronkoskop beroptic, laringoskop berbantuan video

(GlideScope atau Stortz CMAC), kemampuan untuk ventilasi jet transtracheal, dan

mungkin Combitube esofagus-trakea harus tersedia (Morgan dan Mikhail, 2013).

Ketika potensi kesulitan dalam mengamankan jalan nafas dicurigai, alternatif

untuk induksi cepat dengan laringoskopi konvensional, seperti anestesi regional harus

dipertimbangkan. Kami telah menemukan bahwa laringoskopi berbantuan video telah

sangat mengurangi timbulnya intubasi trakea yang sulit atau gagal. Pada kasus gawat

janin, jika ventilasi spontan (dengan masker atau LMA) dengan tekanan krikoid

mungkin dilakukan, persalinan dapat dilakukan. Dalam hal demikian, zat volatil yang

kuat dengan oksigen digunakan untuk anestesi, tetapi begitu janin dilahirkan, nitro

oksida dapat ditambahkan untuk mengurangi konsentrasi zat volatil; sevoflurane

mungkin merupakan agen volatil terbaik karena paling tidak mungkin menekan

ventilasi. Ketidakmampuan untuk memberikan ventilasi kepada pasien kapan saja

mungkin memerlukan krikotirotomi atau trakeostomi segera (Morgan dan Mikhail,

2013).

Teknik yang Disarankan untuk Seksi Caesar yaitu sebagai berikut (Morgan dan

Mikhail, 2013) :

1. Pasien ditempatkan terlentang dengan irisan di pinggul kanan bawah untuk

perpindahan rahim kiri

2. Denitrogenasi dilakukan dengan oksigen 100% selama 3-5 menit.

3. Pasien disiapkan dan dibungkus untuk operasi.

4. Ketika dokter bedah siap, induksi urutan cepat dengan tekanan krikoid dilakukan

menggunakan propofol, 2 mg / kg, atau ketamin, 1-2 mg / kg, dan suksinilkolin, 1,5

mg / kg. Ketamin digunakan sebagai pengganti propofol pada pasien hipovolemik.

Agen-agen lain, termasuk methohexital dan etomidate, memberikan sedikit

manfaat pada pasien.

Page 24: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

20

5. Dengan beberapa pengecualian, operasi dimulai hanya setelah penempatan yang

tepat dari endotrakeal tube terkonfirmasi. Hiperventilasi berlebihan (PaCO2 <25

mm Hg) harus dihindari karena dapat mengurangi aliran darah uterus dan telah

dikaitkan dengan asidosis janin.

6. Lima puluh persen nitro oksida dalam oksigen dengan hingga 0,75 MAC dari zat

volatil konsentrasi rendah (misalnya, 1% sevoflurane, 0,75% isoflurane, atau 3%

desflurane) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis volatil yang rendah

membantu memastikan amnesia tetapi umumnya tidak cukup untuk menyebabkan

relaksasi uterus yang berlebihan atau mencegah kontraksi uterus setelah oksitosin.

Relaksan otot dengan durasi sedang (atracurium, cisatracurium, atau rocuronium)

digunakan untuk relaksasi, tetapi dapat menyebabkan blokade neuromuskuler yang

berkepanjangan pada pasien yang menerima magnesium sulfat.

7. Setelah neonatus dan plasenta lahir, 20–80 unit oksitosin ditambahkan ke cairan

intravena, dan ditambahkan 20 unit untuk cairan berikutnya.

8. Jika rahim tidak berkontraksi dengan mudah, opioid harus diberikan, dan agen

terhalogenasi harus dihentikan. Methylergonovine (Methergine), 0,2 mg

intramuskular atau dalam 100 mL salin normal sebagai infus intravena lambatjuga

dapat diberikan tetapi dapat meningkatkan tekanan darah arteri.

9. Pada akhir operasi, relaksan otot sepenuhnya terbalik, pasien diekstubasi.

Page 25: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

21

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Natalina

No. RM : 19024820

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 33 tahun

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Desa Lajuk, Porong, Sidoharjo

Diagnosis : G2P1001 37 minggu 3 hari T/H PK I + distosia bahu

Tindakan : Sectio Cesarean Cito

MRS : 5Juni 2019 (06.00 WITA)

3.2 Anamnesis

Pasien perempuan berusia 33 tahun rujukan dari klinik Tiara Husada dengan

keluhan nyeri perut sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit.Keluhan nyeri perut

dirasakan muncuk secara tiba-tiba dan hilang timbul dengan intensitas sedang

berat dimana pasien tidak bisa beraktivitas, hanya berbaring di tempat tidur.

Pasien mengaku keluhannya tersebut tidak membaik dengan beristirahat saja,

bahkan semakin lama semakin nyeri sehingga pasien datang ke IGD Rumah Sakit

Page 26: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

22

Sanglah. Keluhan tersebut dikatakan disertai dengan keluarnya air dan lendir

darah dari kemaluan. Gerak janin dirasakan masih baik. Keluhan demam

sebelumnya disangkal.

Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah menderita penyakit

sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus,

penyakit lainnya.

Riwayat operasi : Pasien tidak pernah menjalani operasi

sebelumnya

Riwayat alergi : Riwayat alergi terhadap obat dan makanan

tidak ada.

Riwayat makan minum terakhir : Tanggal 4 juni 2019 (pukul 20.00 WITA)

Riwayat sosial : Pasien saat ini tidak bekerja. Tidak

mengonsumsi minuman berlakohol dan

merokok.

Riwayat Obstetri : - Hamil pertama/Aterm/Spontan/Laki-

laki/3000g

- Hamil ini

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

BB : 80 kg, TB : 160 cm, BMI : 31,25 kg/m2, Suhu aksila : 36,8oC, NRS diam:

3/10, NRS bergerak : 6/10

SSP : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, pupil isokor 3 mm/3 mm,

RC/RK +/+

Respirasi : Frekuensi 22 kali/menit, tipe vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-),

SpO2 99%

KV : TD 130/70 mmHg, HR 114 kali/menit, bunyi jatung S1-S2 tunggal,

regular, murmur (-), gallop (-)

Page 27: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

23

GIT : Supel, fundus uteri setinggi 2 jari di bawah prosesus xifoideus

UG : BAK spontan

MS : Fleksi defleksi leher normal, Mallampati II, geligi utuh

Status Obstetri

Mammae:

Inspeksi

Simetris, hiperpigmentasi aerola mammae (+)

Abdomen:

Inspeksi

Tampak perut membesar, disertai adanya striae gravidarum

Palpasi

Pemeriksaan Leopold

I. Tinggi fundus uteri 2 jari di bawah prosesus xifoideus. Teraba bagian bulat

dan lunak (kesan bokong).

II. Teraba bagian keras, datar dan memanjang di perut bagian kiri (kesan

punggung) dan teraba bagian kecil di perut bagian kanan (kesan ekstremitas).

III. Teraba bagian bulat, keras dan susah digerakkan (kesan kepala).

IV. Bagian bawah masuk pintu atas panggul (divergen).

- His (+) 3-4 kali dalam 10 menit dengan durasi 30-35 detik tiap his.

- Gerak janin (+)

Auskultasi

Bising usus (+), denyut jantung janin (DJJ) terdengar paling keras di sebelah kiri

bawah umbilikus dengan frekuensi 148 kali/menit.

Vagina:

V/v normal

Ketuban (-)

Blood slym (+)

Page 28: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

24

3.4 Pemeriksaan Penunjang

• Darah Lengkap (5/6/19)

WBC 22,9x103µ/µL (4,1-11,0), HGB 10,11 g/dL (12,0-16,0), HCT 32,96%

(36,0-46,0), PLT 401,5 x103µ/µL (140-440)

• Faal Hemostasis (6/4/19, 01.55 WITA)

PT 12.2 detik (10,8-14,4), APTT 25,6 detik (24-36), INR 0,96 (0,9-1,1)

3.5 Permasalahan dan Kesimpulan

Permasalahan Aktual : Gravida dengan distosia bahu

Permasalahan Potensial : Perdarahan, instabilitas hemodinamik

Kesimpulan : Status Fisik ASA II

3.6 Persiapan Anestesi

Informed consent, SIO, puasa, STATICS, obat anestesi dan emergency, infus

warmer, komponen darah, IV line bore besar, spinal set.

3.7 Manajemen Operasi

➢ Teknik Anestesi RA BSA

Pre medikasi : tidak ada

Induksi : Bupivacain Heavy 0,5% 12,5 mg

Medikasi lain : - Oksitosin 10 IU lanjut 30 IU drip

-Ondansetron 4 mg IV

-Methergin 0,4 mg IV

Durante operasi

Hemodinamik : TD 90-110/60-70 mmHg, Nadi 80-100x/menit, SpO2 99-

100%

Cairan masuk : RL 1000 ml

Cairan keluar : Urin 100 ml, perdarahan 600 ml

Page 29: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

25

Lama operasi :1 jam 20 menit

Ditemukan : lahir bayi laki-laki langsung menangis dengan berat badan

3600 gram, panjang 51 cm, Apgar Score 7/9

➢ Post Operasi

Analgetik : Morfin 20mg dalam 20 ml NS kecepatan 0,6 ml/jam,

paracetamol 500mg setiap 6 jam

Perawatan : Rawat Cempaka II Obstetri

Page 30: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

26

BAB IV

DISKUSI KASUS

Green code adalah sistem penanganan gawat darurat obstetri yang

mengancam keselamatan dari resiko kecacatan atau kematian janin dengan dilakukan

persalinan melalui tindakan Sectio Caesaria. Green code (kode hijau) merupakan

kode yang digunakan RSUP Sanglah untuk mempercepat response time dalam

penanganan gawat janin. Pelaksanaaan satu sistem management gawat janin dengan

sistem Green Code memerlukan waktu rata-rata kurang dari 10 menit mulai dari

penentuan diagnosis gawat janin sampai insisi kulit abdomen.

Pasien kasus ini, pasien mengeluhkan nyeri perut sejak 9 jam sebelum masuk

rumah sakit yang muncul secara tiba-tiba dan hilang timbul. Keluhan tersebut

disertai dengan keluarnya air dan lendir darah dari kemaluan. Gerak janin dirasakan

masih baik. Riwayat penyakit dahulu, riwayat operasi dan riwayat alergi disangkal.

Pasien saat ini tidak bekerja. Tidak mengonsumsi minuman berlakohol dan merokok.

Pasien mengaku kehamilan ini adalah kehamilan kedua. Saat kehamilan pertama

pasien melahirkan bayi laki-laki seberat 3000 gram secara spontan dengan usia

kehamilan cukup bulan.

Pada pasien telah dilakukan evaluasi praoperasi dan tidak didapatkan adanya

riwayat penyakit pasien yang dapat mengubah manajemen pasien selama dilakukan

operasi. Pada pemeriksaan fisik umum tidak terdapat kelainan. Pada pemeriksaan

status obstetrik ditemukan tanda-tanda persalinan dimana sudah terdapat his

sebanyak 3-4 kali dalam 10 menit dengan durasi 30-35 detik tiap his dan terdapat

blood slym. Frekuensi denyut jantung janin 148 kali/menit dan gerak janin dirasakan

baik. Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan hasil laboratorium adanya

leukositosis dengan WBC 22,9x103µ/µ L, anemia dengan kadar Hb 10,11 g/dL, HCT

menurun yaitu 32,96%, dan peningkatan PLT 401,5x103µ/µL. Sedangkan pada faal

hemostasis masih dalam batas normal.

Page 31: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

27

Kasus ini belum termasuk gawat janin. Pasien mengeluhkan nyeri perut

hilang timbul disertai dengan keluarnya air dan lendir darah dari kemaluan. Tidak

terdapat mekonium pada saat observasi, dan juga denyut jantung janin masih dalam

batas normal yaitu 148 kali/menit. Hanya saja pasien mengalami proses kala I yang

lama akibat distosia bahu yang dicurigai karena bayi makrosomia sehingga janin

harus segera dievakuasi untuk menghindari resiko gawat janin. Oleh karena kasus

tersebut belum pada fase gawat janin, maka aktivasi Green Code tidak dilakukan,

namun tindakan yang dilakukan berupa Sectio Secarea Cito.

Pada pasien ini dilakukan teknik RA BSA dengan tanpa premedikasi. Pasien

diinduksi dengan Bupivacain Heavy 0,5% 12,5 mg. Dosis bupivacaine yang

digunakan telah sesuai dengan teori yang menyarankan penggunaan bupivacaine

pada anestesi regional spinal antara 10-15 mg. Bupivacaine paling banyak digunakan

dalam operasi obstetri darurat karena onsetnya yang cepat. Selain itu, pasien juga

diberikan medikasi lain yaitu Oksitosin 10 IU dilanjutkan 30 IU drip, Methergin 0,4

mg IV yang bertujuan untuk meningkatkan kontraksi uterus pasca melahirkan

sehingga pasien terhindar dari resiko perdarahan. Pasien juga diberikan Ondansetron

4 mg IV yang bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi. Hal tersebut berkaitan

dengan teori menyebutkan bahwa ibu melahirkan dianggap berisiko tinggi untuk

mengalami aspirasi karena sfingter esofagus yang rileks yang disebabkan oleh

progesteron, waktu pengosongan lambung yang lama, dan tekanan uterus yang berat

pada diafragma.

Saat operasi berlangsung, status hemodinamik pasien masih dalam batas

normal yaitu tekanan darah dalam rentang 90-110/60-70 mmHg, nadi dalam rentang

80-100x/menit, dan saturasi oksigen 99-100%. Dengan lama operasi 1 jam 20 menit,

lahir bayi laki-laki langsung menangis dengan berat badan 3600 gram, panjang 51

cm, Apgar Score 7/9. Setelah operasi diberikan analgetik morfin 20mg dalam 20 ml

NS kecepatan 0,6 ml/jam, paracetamol 500mg setiap 6 jam. Berdasarkan teori,

penambahan morfin dapat memperpanjang analgesia pasca operasi hingga 24 jam,

tetapi membutuhkan pemantauan untuk depresi pernapasan pasca operasi.

Page 32: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

28

BAB V

KESIMPULAN

Masa perinatal adalah saat bayi lahir sampai 28 hari kehidupannya paling

sering ditemukan adanya masalah pada bayi baru lahir. Kasus gawat janin dengan

keterlambatan waktu evakuasi janin akan memperpanjang lamanya hipoksia pada

janin dan dapat berakibat terjadinya asfiksia berat atau mungkin kematian janin saat

masih di dalam rahim, kematian saat lahir (still birth) atau kematian perinatal. Kasus

gawat janin diperlukan waktu sesegera mungkin melahirkan janin untuk mengatasi

kekurangan oksigen (hipoksia) (Sanjaya, 2008).

Green code adalah sistem penanganan gawat darurat di bidang Obstetri yaitu

penanganan pada kehamilan yang mengancam keselamatan dari resiko kecacatan atau

kematian janin dengan dilakukan persalinan melalui tindakan Sectio Caesaria.

Pelaksanaaan sistem management gawat janin dengan sistem Green Code

memerlukan waktu rata-rata kurang dari 10 menit yaitu mulai dari penentuan

diagnosis gawat janin sampai incisi kulit abdomen. (RSUP Sanglah, 2015).

Anestesi untuk operasi caesar menjadi salah satu yang paling umum dilakukan

di seluruh dunia. Anestesi regional telah menjadi teknik yang lebih disukai untuk

kelahiran caesar. Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi regional dikaitkan

dengan penurunan angka kematian ibu, kebutuhan akan obat yang lebih sedikit,

penurunan kehilangan darah dan kontrol nyeri pascaoperasi yang sangat baik.

Kelebihan anestesi umum daripada anestesi regional diketahui meliputi induksi yang

lebih cepat, hipotensi yang lebih sedikit, dan kecemasan ibu yang lebih sedikit dan

penerapannya dalam situasi di mana ada kontraindikasi untuk anestesi regional.

Meskipun literatur yang tersedia menunjukkan bahwa kedua teknik tersebut aman.

Kehilangan kontrol jalan napas telah dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang

parah selama anestesi umum (Patel,2015).

Page 33: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

29

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. 2012.

Intrapartum Assessment. Williams obstetrics. Ed.22. Stamford: Appleton and

Lange.

Datta S. Fetal Distress. 2014. Anesthetic and Obstetric Management of High-Risk

Pregnancy. Ed.3. New York : Springer.

Dongare A, Nataraj S. 2018, Anaesthetic Management of Obstetric Emergencies

Department of Anaesthetic, Bengaluru, Karnataka.

Hariadi R. Gawat Janin. 2014. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya :

Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Lie SA, Mok MU. 2017. Peri-Operative Management of Caesarean Section for the

Occasional Obstetric Anaesthetist – an Aide Memoire. Proc Singapore Health.

Manuaba F. 2017. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.

Morgan GE, Mikhail M. 2013. Morgan Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th

Edition. Mc Graw Hill Education.

Patel N, 2015. Anesthesia for Cesarean Delivery-Department of Anesthesia Gujarat

Adana Instituteof Medical Science.

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. 2015. SPO Pelayanan Gawat Darurat

Green Code.

Sanjaya H. 2008.Meningkatkan Response Time di IRD dengan Emergency Code

Sebagai Implementasi Patient Safety. Indonesian Hospital Management

Award.

Page 34: MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE

30

Smith I, Kranke P, Murat I, Smith A, O’Sullivan G, Soreide E. 2011. Guidelines from

the European Society of Anaesthesiology. Eur J Anaesthesiol.