laporan kasus anak ckd rsup ntb
DESCRIPTION
CKDTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
GAGAL GINJAL KRONIS STADIUM V
Oleh :
ARRUM CHYNTIA YULIYANTI, S.Ked
H1A 010 024
Pembimbing:
dr. Sukardi, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik (PGK)
merupakan masalah kesehatan pada anak yang cukup serius dengan prevalens
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Chronic Kidney Disease (CKD)
didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal minimal tiga bulan
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yaitu <60
mL/mnt/1.73 m2.1 Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18
per 1 juta anak 2 Menurut laporan data tahun 2006, di Amerika Serikat pada
populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu juta. Angka kejadian CKD pada anak
di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Di RSCM Jakarta antara tahun
1991-1995 ditemukan CKD sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal
yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat
jalan.3 Pada anak-anak, CKD dapat merupakan kelainan bawaan, didapat, atau
penyakit ginjal metabolik, dan penyebab yang berkorelasi erat dengan usia pasien
pada saat pertama kali terdeteksi. 1
Pasien CKD seringkali datang dengan berbagai keluhan yang
menunjukkan bahwa pasien datang pada stadium lanjut, karena keterlambatan
diagnosis. Awal penyakit ini biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan
keluhan-keluhan yang tidak khas seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan
menurun dan muntah, 1 Selain itu dapat ditemukan juga gangguan pertumbuhan,
anemia, hipertensi, gangguan elektrolit, dan osteodistrofi renal.2 Pengobatan
konservatif bertujuan untuk memanfatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat
progresivitas gagal ginjal. Selain itu terdapat pengobatan pengganti adalah
melakukan dialisis dan cangkok ginjal. Pencegahan dan deteksi dini merupakan
hal yang sangat penting, karena dengan deteksi dini progresivitas penyakit dapat
dikendalikan. Untuk prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year
survival rate adalah 96%. Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit
primer, dialisis dan transplantasi.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi 4,6
2.1 DEFINISI CHRONIC KIDNEY DISEASE
Definisi yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD menyebutkan
bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari kriteria di
bawah ini : 1,4
Tabel 2.1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi :
Kelainan Patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta anak.2
Menurut laporan 2006, kejadian Gagal Ginjal Terminal (GGT) / End-Stage Renal Disease
(ESRD) di Amerika Serikat pada populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu juta. Studi
kohort yang dilakukan dari Chronic Renal Insufficiency arm of the North American
Pediatric Renal Transplant Cooperative Study (NAPRTCS) menunjukkan persentase
19% pada kelompok usia 0-1 tahun,17% pada kelompok usia 2-5 tahun, 33% pada
kelompok usia 6-12 tahun, 31% pada kelompok usia diatas 12 tahun.
Angka kejadian CKD pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada.
Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia
didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988)
menderita CKD. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan CKD sebesar 4.9%
3
dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita
penyakit ginjal yang berobat jalan 3. CKD pada anak umumnya disebabkan oleh karena
penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari
seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam
periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17% 1.
2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan congenital
misalnya displasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada usia > 5 tahun sering
disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal polikistik) dan penyakit
didapat (glomerulonefritis kronis). 1,4
Tabel 2.2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD 1,4
Riwayat keluarga dengan penyakit polistik ginjal atau penyakit ginjal genetik
Bayi berat lahir rendah
Anak dengan riwayat gagal ginjal akut
Hipoplasia atau displasia ginjal
Penyakit urologi terutama uropati obstruktif
Refluks verikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih dan parut ginjal
Riwayat menderita sindrom nefrotik atau sindrom nefritis akut
Riwayat menderita sindrom hemolitik uremik
Riwayat menderita Henoch Schoenlein Purpura
Diabetes mellitus
Lupus Eritematosus Sistemik
Riwayat menderita tekanan darah tinggi
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi
awal kerusakan ginjal dan tatalaksana serta untuk pencegahan komplikasi CKD.
Klasifikasi stadium ini ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium lebih
tinggi menunjukan nilai laju filtrasi glomerulus yag lebih rendah.1,4
4
Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
Nilai LFG dapat menggambarkan fungsi ginjal secara menyeluruh. Nilai LFG dapat
dihitung berdasarkan rumus berikut: 5
K X TB (cm)
LFG (mL/menit/1,73 m2 ) =
Kreatinin serum (mg/dL)
K adalah konstanta (K= 0,33 untuk bayi berat lahir rendah di bawah usia 1 tahun, K=
0,45 untuk bayi berat lahir cukup bulan sampai 1 tahun, K= 0,55 untuk anak sampai
umur 13 tahun, K= 0,57 untuk perempuan 13-21 tahun, dan 0,70 untuk anak laki-laki
13 – 21 tahun).
TB=tinggi badan
2.5 PATOGENESIS
Chronic Kidney Disease (CKD), kerusakan atau cedera pada ginjal oleh sebab
struktural maupun penyakit metabolik genetik masih tetap berlanjut meskipun penyebab
utamanya telah dihilangkan 2. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder
yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada CKD. Bukti lain
yang menguatkan adanya mekanisme tersebut ialah adanya gambaran histologik ginjal
yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.
Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan kerusakan nefron yang lebih lanjut.
Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan
gagal ginjal terminal (GGT) atau Kidney Failure atau End-Stage Renal Disease (ESRD)3.
Tabel 2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit 1,4
Stadium Penjelasan LFG
(ml/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
meningkat > 90
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 - 89
3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang 30 - 59
4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat 15 - 29
5 Gagal Ginjal terminal < 15 atau dialisis
5
Hyperfiltration injury/cedera hiperfiltrasi adalah perjalanan umum dari kerusakan
glomerulus, dan tidak bergantung pada penyebab yang mendasari kerusakan
ginjal. Dengan hilangnya nefron, sisa nefron yang lain mengalami hipertrofi struktural
dan fungsional ditandai dengan peningkatan aliran darah glomerular. Kekuatan
pendorong untuk filtrasi glomerulus meningkat pada nefron yang masih hidup. Meskipun
mekanisme hiperfiltrasi ini sementara dapat memelihara fungsi ginjal, hal ini dapat
menimbulkan kerusakan progresif pada glomeruli yang masih hidup, disebabkan efek
langsung dari peningkatan tekanan hidrostatik pada intergritas dinding kapiler dan atau
efek beracun dari peningkatan protein yang melintasi dinding kapiler. Seiring waktu,
dengan populasi nefron yang mengalami sclerosing meningkat, nefron yang masih hidup
akan mengalami peningkatan beban ekskresi yang bertambah, sehingga akan
menyebabkan lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus 2.
Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana
dibuktikan oleh penelitian bahwa pengurangan proteinuria dapat menunjukan efek yang
menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat memberikan
efek toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu meningkatkan
proses glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis 2,3.
Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan penyakit
dengan menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses hiperfiltrasi.
Hiperfosfatemia dapat meningkatkan perkembangan penyakit karena deposisi kalsium-
fosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah . Hiperlipidemia, sebuah kondisi umum
pada pasien CKD, dapat merusak fungsi glomerular melalui oxidant-mediated injury 2, 6..
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang timbul pada CKD merupakan manifestasi:3
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksis uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D.
4. Abnormalitas respon end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).
Pasien CKD menunjukan keluhan non spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi,
kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan anak tampak pucat, lemah dan hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung
6
bertahun-tahun. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan
keadaan-keadaan seperti:1,2
Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan: hiperkalemia/hipokalemia,
hipernatremia/hiponatremia, dehidrasi.
Gangguan asam basa: asidosis metabolik.
Gangguan metabolisme karbohidrat (hiperglikemi) dan lemak (hiperlipidemia).
Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat: hiperparatiroid sekunder, osteodistrofi
ginjal, rickets/osteomalasia, kalsifikasi jaringan lunak.
Gangguan metabolisme hormon: defisiensi hormone eritropoetin menyebabkan
depresi sumsum tulang sehingga sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap
proses hemolisis/perdarahan dan menyebabkan anemia normokrom normositer.
Selain itu terjadi juga hipertensi.
Gangguan perdarahan. Retensi toksik uremia menyebabkan hemolisis sel eritrosit,
ulserasi mukosa saluran cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit
memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negatif dan jumlah
retikulosit normal.
Gangguan saluran cerna: Mual, muntah, hiccup akibat kompensasi oleh flora normal
usus sehingga ammonia (NH3) mengiritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
Stomatitis uremia juga dapat terjadi akibat mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena
sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
Gangguan fungsi kardiovaskular: perikarditis, toleransi miokard terhadap latihan
rendah.
Gangguan jantung: kardiomiopati uremik, hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan
septum interventrikular.
Gangguan neurologi: neuropati perifer, ensefalopati hipertensif dan retardasi mental.
Gangguan kulit: Gatal terutama pada dialisis rutin karena toksik uremia yang kurang
terdialisis, peningkatan kadar kalium fosfat, alergi bahan-bahan dalam proses dialisis.
Rambut tipis dan kasar serta kulit kering bersisik karena ureum meningkat
menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit.
Gangguan perkembangan seksual: keterlambatan pubertas.
7
Tabel 2.4 Manifestasi Sindrom Uremik 1,4
Sistem Tubuh Manifestasi
Biokimia Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin)
Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
Hiperkalemia
Retensi atau pembuangan Natrium
Hipermagnesia
Hiperurisemia
Perkemihan&
Kelamin
Poliuria, menuju oliguri lalu anuria
Nokturia, pembalikan irama diurnal
Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
Protein silinder
Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas
Kardiovaskular Hipertensi
Retinopati dan enselopati hipertensif
Beban sirkulasi berlebihan
Edema
Gagal jantung kongestif
Perikarditis (friction rub)
Disritmia
Pernafasan Pernafasan Kusmaul, dispnea
Edema paru
Pneumonitis
Hematologi Anemia menyebabkan kelelahan
Hemolisis
Kecenderungan perdarahan
Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK,
peumonia,septikemia)
Kulit Pucat, pigmentasi
Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis, bergerigi,
ada garis merah biru yang berkaitan dengan kehilangan protein)
Pruritus
“kristal” uremik
kulit kering
memar
Saluran cerna Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB
Nafas berbau amoniak
Rasa kecap logam, mulut kering
Stomatitis, parotitid
Gastritis, enteritis
Perdarahan saluran cerna
Diare
Metabolisme
intermedier
Protein-intoleransi, sintesisi abnormal
Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
Lemak-peninggian kadar trigliserida
Neuromuskular Mudah lelah
8
Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang utama.
Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin. Pada CKD,
kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat sisa maupun
overload cairan pada tubuh.
Ganguan ekskresi natrium, dalam perjalanan CKD kemampuan nefron untuk
mengatur keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan CKD yang
stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh menigkat, walau kadang tidak begitu
terlihat pada pemeriksaan fisik. Pada berbagai bentuk gangguan ginjal (contohnya
glomerulonefritis), terjadi gangguan pada glomerulotubular sehingga tidak dapat menjaga
keseimbangan dari intake natrium yang berlebih terhadap jumlah yang diekskresikan. Hal
ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari cairan ekstraselular sehingga terjadi
hipertensi, yang dapat semakin menambah kerusakan pada ginjal 6. Hiponatremia
(dilutional hyponatremia) kadang ditemukan pada penderita CKD. Hal ini disebabkan
retensi dari air yang berlebihan, sehingga menyebabkan dilusi cairan intravaskular 6,7.
Gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi kalium,
dan biasanya hiperkalemia yang berat terjadi saat LFG <10mL/menit/1.73m2. Apabila
hiperkalemia terjadi pada LFG >10mL/menit/1.73m2 harus dicari penyebab dari
hiperkalemia, termasuk diantaranya: intake kalium yang berlebih, hyporeninemic
Otot mengecil dan lemah
Susunan saraf pusat :
Penurunan ketajaman mental
Konsentrasi buruk
Apati
Letargi/gelisah, insomnia
Kekacauan mental
Koma
Otot berkedut, asteriksis, kejang
Neuropati perifer :
Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi paraplegi
Gangguan
kalsium dan
rangka
Hiperfosfatemia, hipokalsemia
Hiperparatiroidisme sekunder
Osteodistropi ginjal
Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi,
pembuluh darah, jantung, paru-paru)
Konjungtivitis (uremik mata merah)
9
hypoaldosteronism, asidosis metabolik yang berat, tranfusi darah, hemolisis, katabolisme
protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE inhibitor, B-blocker, dan aldosteron
antagonist3,6,7. Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang ditemukan, hal ini terjadi
biasanya karena intake kalium yang rendah, penggunaan diuretik yang berlebihan,
kehilangan kalium dari traktus gastrointestinal.
Asidosis metabolik berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD sebagai
akibat penurunan ekskresi asam oleh ginjal dan produksi ammonia3,6,7.
Uremia, walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai ukuran
kapasitas ekskresi dari ginjal, akumulasi hanya dari kedua molekul ini tidak bertanggung
jawab atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome pada gagal ginjal
yang berat. Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita gagal ginjal berperan dalam
uremic syndrome. Hal ini meliputi water-soluble, hydrophobic, protein-bound, charged,
dan uncharged compound. Sebagai tambahan, produk ekskresi nitrogen termasuk
diantaranya guanido, urat, hippurat, produk dari metabolisme asam nukleat, polyamines,
mioinositol, fenol, benzoate, dan indol. Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi
dari setiap sistem organ. Dialisis kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan
dari gangguan ini. Kadar urea yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada mulut,
yaitu kadar urea yang tinggi pada saliva dan menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti
ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti ammonia), dan uremic frost. Gangguan
pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat tinggi, dan dapat menyebabkan coma
uremicum. Pada jantung dapat mengakibatkan uremic pericarditis maupun uremic
cardiomyopathy6.
Hipertensi, Anak-anak dengan CKD mungkin memiliki hipertensi berkelanjutan
yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravaskular dan atau produksi renin
yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular.
Anemia, hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD, terutama disebabkan
karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interstitial,
tubular atau sel endotelial). Faktor lain yang mungkin menyebabkan anemia termasuk
kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan survival-time dari
eritrosit 2,3,6,7.
Abnormal hemostasis, pada pasien CKD terjadi waktu perdarahan yang
memanjang, karena menurunnya aktivitas dari platelet factor III, agregasi platelet yang
10
abnormal, dan gangguan konsumsi protrombin, dan meningkatnya aktivitas fibrinolitik
karena fibrinolisin tidak tereliminir pada ginjal.
Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka panjang
dari CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada dalam
keadaan resisten terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan kadar GH
namun terjadi penurunan kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan abnormalitas dari
insulin like growth factor–binding proteins 2,3,6.
Analisis antropometri dan biokimia penting dilakukan karena terjadi peningkatan
risiko gangguan status nutrisi akibat defisiensi nutrisi dan protein. Penurunan nafsu
makan terjadi akibat asidosis dan inflamasi yang menyebabkan peningkatan sitokin
seperti leptin, TNF-α, IL-1 dan IL-6 sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan dan
kecepatan metabolisme. Malnutrisi merupakan komplikasi serius dan sering ditemukan
pada CKD.5
Tabel 2.5 Faktor penyebab gangguan pertumbuhan pada penderita CKD
Asupan energi yang tidak mencukupi
Asupan protein yang tidak mencukupi
Gangguan keseimbangan air dan elektrolit, dan asidosis metabolik
Osteodistrofi renal
hipertensi
infeksi
anemia
Ganguan hormonal
Terapi kortikosteroid
Faktor psikososial
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in children. In:
Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd
edition. Oxford: Oxford
University Press Inc., pp. 427-45)
Renal Osteodystrophy atau osteodistrofi ginjal merupakan istilah yang digunakan
untuk menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada pasien dengan
CKD. Kondisi yang umum ditemukan pada anak-anak dengan CKD adalah gangguan
berupa tingginya turnover pada tulang yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme
sekunder. Temuan patologik ini disebut osteitis fibrosa cystica. Patofisiologi osteodistrofi
ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan CKD ketika LFG menurun kira-kira 50%
11
dari normal, penurunan massa ginjal secara fungsional menyebabkan penurunan aktivitas
hidroksilase-1α ginjal, dengan penurunan produksi vitamin D aktif (1,25
dihydroxycholecalciferol). Kekurangan bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan
penurunan penyerapan kalsium di usus halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan
peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid. Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH)
sebagai upaya untuk memperbaiki hipokalsemia, dengan meningkatan resorpsi
tulang. Kemudian dalam perjalanan CKD, ketika LFG menurun 20-25% dari normal,
mekanisme kompensasi untuk meningkatkan ekskresi fosfat menjadi tidak memadai,
sehingga mengakibatkan hiperfosfatemia yang kemudian lebih lanjut akan
mengakibatkan hipokalsemia dan peningkatan sekresi PTH. 3,6,7
Manifestasi klinis osteodistrofi ginjal termasuk kelemahan otot, nyeri tulang, dan
mudah fraktur akibat trauma ringan. Pada anak-anak yang sedang tumbuh, dapat terjadi
perubahan rakitik, deformitas varus dan valgus pada tulang panjang dan terselipnya
kepala epifisis tulang femur dapat dilihat. Studi laboratorium mungkin menunjukkan
penurunan kadar kalsium serum, peningkatan tingkat fosfor serum, peningkatan alkali
fosfatase, dan tingkat PTH normal. Radiografi dari tangan, pergelangan tangan, dan lutut
menunjukkan resorbsi subperiosteal tulang dengan pelebaran metafisis.
Adynamic Bone Disease (low-turnover bone disease) dapat terjadi pada anak dan
orang dewasa dengan CKD. Temuan patologis yang ditemukan berupa osteomalasia. Hal
ini berhubungan dengan supresi berlebihan dari PTH, mungkin terkait dengan
penggunaan calcium containing-phosphat binder dan analog vitamin D 4.
2. Tes Fungsi Ginjal 8,9Gi
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis CKD dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.4
a. Anamnesis
Penderita CKD menunjukan keluhan tidak spesifik seperti sakit kepala, lelah,
letargi, kurang nafsu makan, muntah, dan gangguan pertumbuhan. Keadaan ini dapat
berlangsung secara bertahun-tahun.4
b. Pemeriksaan Fisik
Gangguan pertumbuhan, anemia, hipertensi, osteodistrofi ginjal, tanda
pembesaran jantung, dan keterlambatan seksual.4
12
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah: hemoglobin, elektrolit, analisa gas darah, gula, profil lipid, kadar vitamin
D, faktor pembekuan. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum
dan kreatinin dan penurunan LFG. Kelainan biokimiawi darah meliputi anemia,
hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia, dan asidosis
metabolik. 4,7
2. Radiologi:
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan
memberikan petujuk kearah penyebab CKD.
Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
Ultrasonografi: USG merupakan modalitas terpilih untuk kemungkinan
penyakit ginjal obstruktif. USG ginjal dapat memperlihatkan gambaran ukuran
ginjal yang mengecil dan korteks yang menipis dan foto toraks untuk melihat
pembesaran jantung.4,7 Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk
mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak
dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit
ginjal polikistik.
CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi pada
pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada
pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT
tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk
mendeteksi adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance angiography
juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun
arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.
Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan
menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid
(DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography
(IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk
mendeteksi nefropati refluks.
13
Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini
diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal
meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid
sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia
tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan.
2.8 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pada penderita CKD bertujuan untuk 3:
1. Mengganti fungsi ginjal yang hilang, dimana terjadi penurunan yang progresif sejalan
dengan penurunan GFR.
2. Memperlambat progresivitas dari disfungsi ginjal. Anak dengan CKD sebaiknya
dirawat di layanan kesehatan yang mampu memberikan layanan multidisiplin, seperti
medik, perawatan, nutrisi, sosial dan psikologi.
Pengelolaan CKD memerlukan pemantauan ketat terhadap klinis dan hasil
laboratorium pasien. Studi laboratorium darah harus diikuti secara rutin meliputi serum
elektrolit, BUN, kreatinin, kalsium, fosfor, albumin, alkalin fosfatase, dan tingkat
hemoglobin. Pengukuran berkala kadar hormon paratiroid (PTH) dan Rontgen tulang
mungkin berguna dalam mendeteksi bukti awal osteodistrofi ginjal. Echocardiography
harus dilakukan secara berkala untuk mendeteksi adanya hipertrofi ventrikel kiri dan
disfungsi jantung sebagai akibat dari komplikasi CKD 3.
1. Pengobatan konservatif
Pada umumnya pengobatan konservatif masig mungkin dilakukan bila klirens
protein >10 mL/menit/1,73m2 dengan tujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih
ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat
progresivitas gagal ginjal.1,4
14
Keseimbangan air dan elektrolit 2,3
Pada sebagian besar anak dengan CKD dapat menjaga keseimbangan air dan
elektrolit dengan normal dengan asupan natrium yang sesuai dari diet yang tepat. Anak
dengan CKD yang disebabkan displasia ginjal umumnya terjadi poliuria dengan
kehilangan natrium berlebih dari urin, asupan dengan volume yang tinggi, rendah kalori
disertai suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut dengan
pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia.
Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Pada CKD akibat kelainan anatomi ginjal biasanya terjadi pengeluaran natrium
yang banyak sehingga terjadi hiponatremia dan dehidrasi berat. Pada keadaan ini
dibutuhkan suplai natrium dalam makanan. Sebaliknya, pada penderita yang disertai
hipertensi, edema, atau gagal jantung, harus dilakukan retriksi natrium dan pemberian
diuretik seperti furosemid (1-4 mg/kgBB/hari). Umumnya diet rendah garam pada CKD
tanpa hipertensi atau sembab adalah 2 g/kgBB/hari (80 mEq/kgBB/hari). Bila disertai
sembab dikurangi menjadi 1 mEq/kgBB/hari dan bila ditemukan oligouria atau anuria
harus diperketat menjadi 0,2 mEq/kgBB/hari. Catatan 1 g garam dapur sebanding dengan
400 mg natrium atau 17 mEq natrium. 1,4 Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang
menimbulkan hipertensi, edema, dan gagal jantung dianjurkan untuk membatasi asupan
natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan CKD mampu mempertahankan homeostasis kalium,
kecuali bila fungsi ginjal sudah sangat menurun sampai tingkat dimana dialisis
diperlukan. Namun hiperkalemia juga dapat ditemukan pada penderita yang mendapat
asupan kalium berlebihan, asidosis berat, atau hiporeninemic hipoaldosteronisme (terkatit
dengan kerusakan juxtaglomerular apparatus (JGA) yang mensekresi renin). Bila terjadi
hiperkalemia, perlu diterapi dengan restriksi asupan kalium, oral alkalinizing agents
seperti natrium bikarbonat, dan atau potassium exchange resin (kayexalate).
Asidosis
Penderita CKD sering mengalami asidosis kronis yang menyebabkan kerusakan
tulang dan gagal tumbuh. Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu
diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mEq/kgBB/hari, dengan
pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya, diusahakan kadar
15
bikarbonat plasma dipertahankan anatara 23-25 mEq/L.2,3 Bila asidosis berat (HCO3 < 8
mEq/L) koreksi dengan dosis 0,3 x kgBB x (12-HCO3 serum) mEq/L i.v. Tablet NaHCO3
325 mg = 4 mEq HCO3. 1,4
Nutrisi
Pembatasan masukan protein harus dimulai bila LFG 15-20 mL/menit/1,73m2.
Jumlah kalori yang diberikan harus cukup untuk anabolisme dan pertumbuhan, jadi harus
disesuaikan dengan kebutuhan menurut usia. Untuk bayi diberikan 100 kkal/kgBB/hari
sedangkan jumlah protein diberikan sesuai dengan usia dan tingkat penurunan LFG.
Retriksi protein dilakukan bila kadar ureum darah > 30 mmol/L atau terdapat gejala
uremia. Protein umumnya diberikan 1,4 g/kgBB/hari untuk bayi dan 0,8-1,1 g/kgBB/hari
untuk anak yang terdiri atas protein yang nilai biologis tinggi (paling sedikit mengandung
70% asam amino esensial). Bila retriksi protein terlalu ketat akan mengakibatkan
malnutrisi, sehingga jumlah protein yang harus diberikan paling sedikit 4% dari jumlah
total kalori atau 1g/kgBB/hari. Maksud pembatasan protein adalah mencegah katabolisme
protein endogen, mengurangi akumulasi sisa nitrogen, serta membatasi toksisitas
sistemik. 1,4
Tabel 2.6 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak
dengan CKD
Usia Tinggi (cm) Energi (kkal) Protein (g) Kalsium (g) Fosfor (g)
0-2 bulan 55 120/kgBB 2,2/kgBB 0,4 0,2
2-6 bulan 63 110/kgBB 2,0/kgBB 0,5 0,4
6-12 bulan 72 100/kgBB 1,8/kgBB 0,6 0,5
1-2 tahun 81 1.000 18 0,7 0,7
2-4 tahun 96 1.300 22 0,8 0,8
4-6 tahun 110 1.600 29 0,9 0,9
6-8 tahun 121 2.000 29 0,9 0,9
8-10 tahun 131 2.200 31 1,0 1,0
10-12 tahun 141 2.450 36 1,2 1,2
12-14 tahun
Laki-laki
Perempuan
151
154
2.700
2.300
40
34
1,4
1,3
1,4
1,3
14-18 tahun
Laki-laki
Perempuan
170
159
3.000
2.350
45
35
1,4
1,3
1,4
1,3
18-20 tahun
Laki-laki
Perempuan
175
163
2.800
2.300
42
33
0,8
0,8
0,8
0,8 Sumber: Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia Kompendium Nefrologi Anak.
Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
16
Pasien dengan CKD biasanya membutuhkan pembatasan berbagai komponen diet
yang progresif sejalan dengan fungsi ginjal yang menurun. Diet fosfor, kalium, dan
natrium harus dibatasi sesuai dengan studi laboratorium dan keseimbangan cairan
pasien. Pada bayi dengan CKD umum digunakan susu formula dengan kadar fosfor yang
dikurangi. Asupan kalori yang optimal pada pasien dengan CKD tidak diketahui, tetapi
dianjurkan untuk menyediakan setidaknya diet yang sesuai Recommended Daily
Allowance (RDA) untuk umur. Asupan protein diusahakan 2.5g/kgBB/24jam dan harus
harus terdiri dari protein dengan nilai biologis tinggi, yang akan dimetabolisme menjadi
sisa asam amino daripada limbah nitrogen. Protein ini biasanya didapat dari telur dan
susu, diikuti oleh daging, ikan, dan unggas.3
Asupan makanan harus disesuaikan secara optimal melalui konsultasi dengan ahli
gizi dengan ekspertise CKD pada anak. Asupan kalori dapat ditingkatkan pada bayi
dengan menambahkan formula dengan komponen karbohidrat, lemak (minyak
trigliserida rantai menengah / Medium chained triglycerides (MCT)), dan protein
sebagaimana ditoleransi oleh pasien.3
Jika asupan kalori secara oral tetap tidak memadai atau penambahan berat badan
dan kecepatan pertumbuhan suboptimal, pemberian dengan pipa enteral harus
dipertimbangkan. Tambahan makanan mungkin tersedia melalui pipa nasogastrik,
gastrostomi, atau gastrojejunal.3
Anak-anak dengan CKD mungkin mengalami kekurangan vitamin yang larut
dalam air baik karena asupan yang tidak memadai atau kehilangan lewat
dialisis. Sehingga vitamin ini harus secara rutin diberikan. Seng dan suplemen zat besi
ditambahkan hanya jika terbukti ada defisiensi. Suplementasi dengan vitamin yang larut
dalam lemak seperti vitamin A, E, dan K biasanya tidak diperlukan.3
Osteodistrofi Renal 1,3,4
Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25
dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu
pada GRF 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama
terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara
independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen.
Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi
17
dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam
jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat
and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti
membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga
rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari
diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara
harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer
(non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang
bermanfaat.
Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar
PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu
ditambahkan vitamin D3
hidroksilasi.
Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi
osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah
1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat
kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk
menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal,
1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-
dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH,
tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol
pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast.
Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap
kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan
kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan
parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan
pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang. 3,6
Tujuan terapi osteodistrofi renal pada CKD adalah mencegah deformitas tulang
dan normalisasi kecepatan pertumbuhan dengan intervensi diet rendah fosfat dan terapi
farmakologi berupa pengikat fosfat dan vitamin D.10 Terapi vitamin D dimulai ketika
pasien menderita CKD stadium tiga. Dosis dinaikkan secara bertahap, bergantung kepada
kadar fosfat serum dan kadar hormon paratiroid.11 Pasien dengan CKD stadium 2-4
18
mulai diberi kalsitriol (vitamin D aktif) pada saat kadar 25-hidroksivitamin D >30ng/mL
dan kadar hormon paratiroid serum di atas nilai normal. Pada CKD stadium lima dan
kadar hormon paratiroid >300 pg/mL. Kalsitriol diberikan untuk menurunkan kadar
hormon paratiroid sampai kadar 200-300 pg/mL. Kalsitriol diberikan secara intermiten,
baik melalui intravena maupun oral.5
Hipertensi 2,3
Langkah pertama untuk mengendalikan hipertensi adalah tindakan
nonfarmakologis yaitu diet rendah garam, penurunan berat badan, dan berolah raga. Bila
dengan cara ini tidak berhasil diberikan obat farmakologis. Pengobatan farmakologis
dapat langsung diberikan bila hipertensi disertai gejala kerusakan organ atau peningkatan
tekanan darah sangat cepat. Obat yang sering dipakai adalah:1,4
Diuretika
Beta –Bloker adrenergic (propanolol atau etanolol)
Agonis alfa adrenergik
Vasodilator perifer (hidrolazid)
Calsium channel blocker dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor
Tindakan farmakologi dimulai dengan pemberian diuretik, bila tidak berhasil atau
hipertensi makin berat dapat diberikan beta-bloker adrenergik (propanolol atau etanolol)
dan atau vasodilator perifer (hidralazid). Bila gabungan obat-obatan tersebut masih tidak
memberikan hasil dapat diberikan Calsium channel blocker (nifedipin) atau ACE
inhibitor (kaptopril/enalapril). Pada hipertensi krisis akut dapat diberikan nifedipin
sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgBB. Furosemid diberikan dengan dosis 1-5
mg/kgBB i.v diulang tiap 6-12 jam kecepatan maksimal 4 mg/kgBB/menit atau dapat
diberikan klonidin drip dengan dosis 0,002 mg/kgBB/8jam + 100 mL dekstrose 5%,
tetesan awal 12 tetes mikrodrip/menit, bila tekanan darah belum turun tetesan dinaikan 6
tetes/mikridrip/menit tiap 30 menit (maksimal 36 tetes mikrodrip/menit). Bila 30 menit
setelah tetesan maksimal tekanan darah belum turun, ditambah kaptopril dengan dosis 0,3
mg/kgBB/kali, diberikan 2-3 kali sehari (maksimal 2 mg/kgBB/kali). Pemberian
kaptopril harus hati-hati pada pasien kelainan ginjal bilateral atau steosis arteri renalis
bilateral karena dapat mempercepat kerusakan ginjal.1,4
Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi,
diperlukan diet rendah garam 2-3 g/hari,dan terapi insial pilihan dapat digunakan
19
golongan thiazid (HCT 2mg/kgBB/24 jam dalam 2 dosis) untuk CKD derajat 1-3, namun
pada CKD derajat 4, thiazid kurang efektif dan dapat diberikan diuretik dari golongan
furosemide dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis.
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors (enalapril, lisinopril) dan
angiotensin II blockers (losartan) obat antihipertensi pilihan pada anak dengan penyakit
ginjal yang disertai proteinuria karena memiliki potensi untuk memperlambat
progresivitas menjadi ESRD. Calcium channel blockers (amlodipine), β blockers
(propranolol, atenolol), dan agen yang bekerja sentral (clonidine) dapat berguna sebagai
terapi pada anak dengan CKD dimana tekanan darah tidak dapat dikontrol melalui
restriksi asupan sodium, diuretik, dan ACE inhibitor.
Anemia 2,3
Anemia pada CKD adalah anemia normokromik normositer, terutama karena
produksi eritropoietin yang tidak adekuat dan massa sel tubular renal yang berkurang.
Kompensasi jantung terhadap anemia menyebabkan hipertrofi ventrikel dan
kardiomiopati sehinga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung atau penyakit
jantung iskemik. Rekomendasi KDOQI menyebutkan target hemoglobin 11 hingga 12
g/dL pada penderita CKD, dan penderita dengan kadar feritin serum < 100 ng/mL harus
mendapat suplementasi besi. Recombinant human erythropoietin (rHuEPO) dengan dosis
50-150 mg/kgBB/hari subkutan (pada sedang yang menjalani dialisis dapat diberikan
intravena), diberikan 3 kali seminggu. Pemberian rhuEPO dapat mengurangi atau
menghindarkan transfusi darah pada CKD. Bila ditemukan pasien anemia disertai
mengancam jiwa perlu diberikan transfusi darah PRC 10-20 ml/kgBB. Biasanya transfusi
PRC diberikan bila kadar Hb < 6 mg/dL. Jika ditemukan hipersplenisme dan usaha untuk
menaikkan Hb tidak berhasil, harus dilakukan splenektomi. 1,4
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar
hemoglobin tanpa bantuan terapi rHuEPO, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik,
suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan
memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi
dan kadar hemoglobin dibawah 10g/dL, dapat diberikan rHuEPO dengan dosis 50 unit/kg
secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai
target hemoglobin 10-12 g/dL. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar
tercapai suplemen besi yang adekuat. Semua pasien yang mendapat terapi rHuEPO harus
20
diberikan suplementasi besi secara oral maupun intravena. Sedangkan pasien yang resiten
dengan pemberian rHuEPO harus dievaluasi kemungkinan adanya defisiensi besi, occult
blood loss, infeksi / inflamasi kronik, defisiensi vitamin B12 / folat, dan fibrosis sumsum
tulang terkait hiperparatiroid sekunder.
Pengobatan anemia dilakukan sesuai penyebabnya. Bila ditemukan defisiensi zat
besi diberikan zat besi oral dengan dosis 2-3 mg besi elemental/kgBB/kali diberikan 3
kali sehari selama 3 bulan. Bila terjadi defesiensi asam folat, diberikan asam folat dengan
dosis 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu. Pasien yang menjalani dialisis secara teratur diberi
asam folat oral 1 mg/hari.
Perlu dicegah progresivitas anemia dan anemia yang berkelanjutan, maka
direkomendasikan memeriksa hemoglobin secara berkala apabila hematokrit dalam
rentang 33-36% dan hemoglobin 11,0-12,0 g/dL (NKF-KDOQI). Eritropoetin diberikan
pada pasien predialisis dengan kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL, diberikan secara
subkutan 1-3 kali per minggu dengan rentang dosis inisial antara 30-300
unit/kgbb/minggu. Terapi besi oral sebaiknya diberikan jika kadar feritin plasma di bawah
100 ng/mL, anjuran dosis 2-3 mg/kgbb/hari terbagi dalam 2-3 dosis. Zat besi diberikan
dalam keadaan perut kosong dan tidak diberikan bersamaan dengan pengikat fosfat.5
Pertumbuhan 2,3
Anak dengan CKD dimana tinggi badan tetap berada kurang dari -2 SD atau
kurang dari persentil 5 walaupun sudah mendapat asupan energi yang adekuat dan terapi
efektif dari osteodistrofi renal, anemia, dan asidosis metabolik dapat diberikan terapi
dengan recombinant human GH (rHuGH) dalam dosis farmakologik. Terapi inisial
dengan rHuGH dapat diberikan 0,05 mg/kgBB/24jam secara subkutan dengan pengaturan
dosis secara periodik agar dicapai tinggi badan yang optimal sesuai umur. Terapi dengan
rHuGH dilanjutkan hingga pasien mencapai:
1. Tinggi badan sesuai umur mencapai persentil 50
2. Tinggi badan yang cukup untuk dewasa (pada anak yang lebih besar atau remaja)
3. Menjalani transplantasi ginjal
Penggunaan rHuGH jangka panjang secara signifikan meningkatkan tinggi badan
dan dapat mengejar pertumbuhan secara persisten. Pada beberapa pasien dapat mencapai
tinggi badan sesuai dewasa normal.
21
Gagal jantung
Terjadinya gagal jantung biasanya akibat kelebihan cairan dan atau hipertensi
berat. Pengobatan langsung ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan nifedipin
sublingual dan mengeluarkan cairan dengan diuretik seperti furosemid baik secara oral
maupun intravena. Bila terjadi perikarditis pada uremia yang berat, merupakan indikasi
untuk dilakukan dialisis dan dalam keadaan akut mungkin perlu tindakan
perikardiosintesis. Adanya cairan perikardium yang persisten atau terjadi rekurensi
mungkin membutuhkan pemberian steroid non–adsorber (triamnisolon) setelah tindakan
perikardiosentesis. 1,4
Infeksi 3
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih
berulang. Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah
sebagai profilaksis.
Imunisasi 2
Anak dengan CKD harus tetap menerima imunisasi standar sesuai jadwal anak
yang sehat. Ada pengecualian penggunaan vaksin hidup pada anak dengan CKD dengan
glomerulonefritis yang menjalani terapi imunosupresif. Diusahakan pemberian vaksin
virus hidup (MMR (mumps, measles, rubella), varicella) diberikan sebelum transplantasi
ginjal, karena vaksin ini tidak boleh diberikan sejalan dengan terapi imunosupresif.
Semua anak dengan CKD juga tetap harus mendapat vaksin influenza tahunan.Data
menunjukkan bahwa anak dengan CKD masih dapat memberi respon suboptimal
terhadap imunisasi yang diberikan.
Penyesuaian dosis obat 2
Karena banyak obat diekskresikan melalui ginjal, maka penyesuaian dosis yang
tepat dibutuhkan untuk memaksimalkan efektivitas dan mengurangi toksisitas. Strategi
dalam penyesuaian dosis dapat berupa pemanjangan interval pemberian antar dosis,
penguranan dosis absolut, maupun keduanya.
Progesivitas dari CKD 2
Walau tidak ada terapi yang definitif untuk meningkatkan fungsi ginjal pada anak
dan dewasa penderita CKD, ada beberapa strategi yang mungkin efektif untuk
memperlambat progresivitas disfungsi ginjal. Kontrol yang optimal pada hipertensi
22
(menjaga tekanan darah lebih rendah dari persentil 75) penting pada smuea pasien CKD.
ACE inhibitor atau Angiotensin II receptor blocker adalah obat pilihan pada anak dengan
proteinuria yang disertai/ tanpa disertai hipertensi. Kadar fosfor harus dijaga sesuai
dengan rentang normal sesuai umur. Terapi terhadap komplikasi infeksi dan dehidrasi
juga dapat mengurangi kerusakan parenkimal ginjal.
Rekomendasi lain yang berguna termasuk diantaranya koreksi anemia,
mengontrol hiperlipidemia, mencegah obesitas, dan mengurangi penggunaan
NSAID.Pembatasan asupan protein walaupun berguna bagi dewasa penderita CKD,
namun pada anak tidak dianjurkan karena dapat mengganggu tumbuh kembang anak.
2. Tatalaksana gagal ginjal terminal (GGT) atau end stage renal disease (ESRD)
Tujuan terapi GGT pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang hidup
anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan tujuan
utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Tindakan Dialisis
Indikasi dialisis pada bayi, anak, dan remaja sangat bervariasi dan tergantung dari
status klinis pasien. Tindakan dialisis baik peritoneal maupun hemodialisis harus
dilakukan sebelum LFG <10 mL/ menit/1,73m2. Indikasi absolut untuk tindakan awal
dialisis kronik pada anak dengan gagal ginjal:
a. Hipertensi tidak terkendali, hipertensiensefalopati.
b. Gagal jantung : kardiomiopati
c. Perikarditis tamponade
d. Neuropati perifer: parestesis, disfungi motorik.
e. Osteodistrofi ginjal: kalsifikasi tersebar, deformitas tulang.
f. Depresi sumsum tulang: anemia berat, leukopenia.
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada
tabel di bawah ini. Di Inggris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis
peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak. Hemodialisis adalah suatu teknik
untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan berat molekul kecil dari darah
secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan akses
23
sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau brachial
dari lengan yang tidak dominan. 8
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-
permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat.
Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter
peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu: 8
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari
dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam
sehari dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan Terapi pengganti ginjal
yang efektif, angka mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua
kelompok umur. Keuntungan dari dialisis perionial dan hemodialisis dapat dilihat pada
tabel di bawah ini: 8
Tabel 2.7 Kelebihan Peritonial dialisis dan hemodialisis.
Sumber: Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic Kidney Disease. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009
Transplantasi Ginjal
Trasplantasi ginjal merupakan pilihan ideal untuk pengobatan gagal ginjal tahap
akhir. Indikasi transplantasi ginjal adalah pasien gagal ginjal tahap akhir dengan gagal
tumbuh berat atau mengalami kemunduran klinis setelah mendapat pengobatan yang
optimal. Pemerikasaan imunologi yang penting untuk keberhasilan transplantasi adalah
Peritoneal dialisis Hemodialisis
Secara teknik, lebih mudah dikerjakan
Menghindari pemindahan cairan, elektrolit
dan metabolit lain secara mendadak
Meminimalisasi restriksi kebutuhan cairan
dan diet
Membutuhkan tanggung jawab yang lebih
dari orangtua/pengasuh
Mengurangi komplikasi anemia,
mengontrol hipertensi lebih baik.
Dapat membosankan karena menjadi
rutinitas harian
Pemindahan metabolit dapat
meliputi molekul yang lebih kecil
Hanya tersedia di beberapa fasilitas
pelayanan kesehatan
Membutuhkan pengaturan restriksi
cairan
Dapat dilakukan 3 kali/minggu
dengan lama hemodialisis 3-5 jam
tergantung dengan kebutuhan
24
golongan darah ABO dan antigen HLA 3. Transplantasi dapat berasal dari kadaver
(jenazah) atau donor hidup keluarga.
Transplantasi merupakan pengobatan yang paling optimal untuk bayi, anak dan
remaja karena merupakan usaha yang paling baik yang dilakukan untuk mengembalikan
anak ke kehidupan normal. Dialisis hanya merupakan usaha untuk memelihara dan
mempertahankan keadaan pasien sampai saat pasien akan dilakukan transplantasi.1,4
2.9. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien CKD setelah transplantasi 5 year survival rate adalah 96%.
Biasanya kematian terjadi akibat komplikasi penyakit primer, dialisis dan transplantasi.
Angka mortalitas pada anak dengan CKD lebih rendah daripada penderita dewasa. Bayi
yang menjalani dialisis memiliki angka mortalitas yang lebih buruk dibanding anak yang
usianya lebih tua. Sebuah studi pada 5.961 pasien dengan usia ≤18 tahun, yang berada
dalam daftar tunggu transplantasi ginjal di USA ditemukan bahwa anak yang telah
menjalani transplantasi memiliki angka mortalitas yang lebih rendah (13,1
kematian/1.000 pasien per tahun) dibanding anak yang masih berada dalam daftar tunggu
(17,6 kematian/1.000 pasien per tahun). Pada tahun 2005 Annual Data Report (ADR)
menunjukkan bahwa 92% anak-anak yang menjalani transplantasi ginjal dapat bertahan
selama 5 tahun ke depan dibanding 81% dari anak-anak yang menjalani hemodialisis
maupun peritoneal dialisis. Usia harapan hidup untuk anak berusia 0–14 tahun dan sedang
menjalani dialisis hanya 18.3 tahun, dimana populasi usia yang sama dan menjalani
transplantasi ginjal dapat mencapai 50 tahun. 1,10
25
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. W
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Dusun Kesume, Gerung, kabupaten Lombok Barat
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : belum menikah
Pekerjaan : Pelajar SD
MRS : 9 Januari 2015
Cara datang : diantar
No. RM : 548277
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : lemas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik anak RSUP NTB dengan keluhan lemas yang
dirasakan sejak 3 hari sebelum MRS. Pasien mengeluh perut terasa kembung dan
membesar sejak 1 bulan sebelum MRS tanpa adanya rasa nyeri pada perut. Pasien
juga mengeluh kedua kaki bengkak yang muncul bersamaan dengan perut yang
membesar. Pasien juga mengeluh sesak napas semakin memberat sejak 1 hari
sebelum MRS. Sesak dirasakan terus-menerus, tidak disertai suara “ngik” dan
memberat jika tidur berbaring terlentang. Sesak berkurang jika pasien duduk. Pasien
juga mengeluh gatal-gatal pada kulitnya. Pasien juga dikeluhkan pucat dan cepat
lelah. Pasien juga dikeluhkan mual dan muntah sebanyak 3 kali per hari selama 2
hari sebelum MRS. Muntah berisi makanan yang dimakan sebanyak setengah gelas
belimbing.
Keluhan nyeri dada dan nyeri pinggang disangkal. Keluhan demam (-), batuk
(-), pilek (-), sakit kepala (-), sakit tenggorokan (-) juga disangkal oleh pasien. BAK
26
dikeluhkan berjumlah sedikit, dengan frekuensi 1-2 kali per hari, dengan volume
sekitar 20-100 cc per hari sejak sekitar 5 bulan lalu, rasa nyeri saat BAK (-), BAK
warna seperti teh (-). BAB tidak ada keluhan, 1 kali per hari, mencret (-), BAB
campur darah (-), BAB hitam (-), kentut (+). Pasien minum air maksimal 220 cc per
hari.
c. Riwayat Penyakit Dahulu:
Hasil pemeriksaan bulan Desember 2014 menyatakan tidak ditemukan batu di
sepanjang saluran kencing.
Pasien didiagnosis menderita gagal ginjal kronis sejak bulan Oktober tahun 2014.
pasien sudah rutin menjalani hemodialisis 2 kali dalam seminggu.
Saat tahun 2012 pasien mengaku pernah mengalami bengkak tiba-tiba pada
seluruh tubuh yang muncul mendadak, sesak napas, dan mudah lelah namun
hilang dengan sendiri setelah kira-kira 2 bulan.
Riwayat penyakit keganasan, DM, Sakit kuning, Asma, penyakit jantung
disangkal
Pasien memiliki riwayat minum OAT selama 6 bulan dengan 2 kali periode sekitar
4 tahun yang lalu.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa pada keluarga disangkal.
Riwayat hipertensi pada ayah dan kakek pasien.
Riwayat penyakit DM, keganasan, Asma, penyakit jantung, penyakit ginjal dalam
keluarga disangkal oleh orangtua pasien.
e. Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien menjalani hemodialisis di RS di Bali. Sekarang keluarga
pasien ingin mendapatkan jadwal hemodialisis regular di RSUP NTB agar pasien
dapat lebih nyaman.
Pasien didiagnosis dengan kardiomiopati dilatasi dan hipertensi grade II setelah
dilakukan dua kali pemeriksaan Echocardiografi di RS di Bali.
f. Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang pelajar kelas 5 SD. Ibu pasien adalah seorang ibu rumah
tangga. Ayah pasien bekerja wiraswasta dengan penghasilan keluarga sekitar 1-1,5
juta rupiah per bulan. Pasien tidak memiliki kebiasaan minum kopi ataupun
27
makanan siap saji. Pasien mengaku belum pernah mendapat imunisasi apapun sejak
kecil. Di lingkungan sekitar pasien tidak ada yang menderita batuk-batuk lama dan
keluhan sesak napas seperti pasien. Pasien tinggal di rumah berisi 3 orang. Ventilasi
dan cahaya di rumah pasien dirasakan baik. Riwayat alergi obat disangkal. Riwayat
alergi makanan disangkal.
g. Riwayat Keluarga (Ikhtisar)
Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara. Pasien memiliki seorang kakak laki-
laki yang berusia 13 tahun.
h. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Selama hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya di Posyandu (lebih dari
4 kali selama kehamilan). Ibu tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan, jamu, rokok,
maupun alkohol selama hamil. Ibu pasien mengaku selama hamil dirinya tidak
pernah mengalami mual muntah yang berlebihan pada bulan-bulan pertama
kehamilan. Ibu pasien juga tidak pernah menderita sakit berat, seperti tekanan darah
tinggi, kejang, perdarahan, demam yang lama, ataupun trauma. Ibu pasien rutin
mengkonsumsi tablet penambah darah selama kehamilan. Pasien lahir di Polindes
melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan. Pasien lahir pada usia kehamilan
cukup bulan dengan berat badan lahir 3400 gram dan langsung menangis.
i. Riwayat Nutrisi
Saat bayi pasien mendapat ASI sampai usia 6 bulan. Saat ini pasien makan dan
minum seperti biasa, namun nafsu makan pasien menurun sejak keluhan muncul.
j. Perkembangan dan Kepandaian
Orang tua pasien menyatakan perkembangan anaknya baik dan sesuai dengan anak
yang seumuran dengan pasien. Pasien dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan
baik.
k. Riwayat Imunisasi (Vaksinasi)
Imunisasi Dasar Ulangan
BCG (+) 1x Usia 1 bulan (-)
Hepatitis B (+) 4x Usia 0 bulan (baru lahir) Usia 1, 4, 6 bulan
Polio (+) 4x Usia 1 bulan Usia 2, 4, 6 bulan
DPT (+) 3x Usia 2 bulan Usia 4, 6 bulan
Campak Usia 12 bulan
28
III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 9 januari 2015)
Status generalis:
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : compos mentis / E4V5M6
Berat Badan : 23 kg
Tinggi badan : 121 cm
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 102 x / menit, regular, kuat angkat
Pernapasan : 32 x / menit, regular, abdominotorakal
Suhu : 36,7 C
CRT : < 2 detik
Status gizi:
BB/U: 69% = malnutrisi berat
TB/U: 87% = anak pendek
BB/TB: 100% = normal
Status Lokalis:
Kepala :
- Ekspresi wajah : normal
- Bentuk dan ukuran : bulat dan normal
- Rambut : sebaran rambut rata, kebotakan (-)
- Edema wajah (-)
- Malar rash (-)
- Hiperpigmentasi (-)
- Nyeri tekan kepala (-)
Mata :
- Bentuk : normal, simetris
- Alis : normal
- Bola mata: exopthalmus (-/-), anopthalmus (-/-), nystagmus (-/-), strabismus (-/-)
- Palpebra: edema (-/-), ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+), hiperemia (-/-)
- Sklera : ikterus (-/-), perdarahan (-), hiperemia (-/-), pterigium (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
29
- Kornea : normal
- Lensa: jernih, katarak (-/-)
- Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
Telinga :
- Bentuk : normal, simetris kiri dan kanan
- Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-)
- Nyeri tekan tragus : (-/-)
- Pendengaran : kesan normal
Hidung :
- Bentuk: simetris, deviasi septum (-)
- Napas cuping hidung (-)
- Perdarahan (-/-), sekret (-/-)
- Daya penciuman : kesan normal
Mulut :
- Bentuk : simetris
- Bibir : sianosis (-), edema (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
- Gusi : hiperemia (-), edema (-), perdarahan (-), benjolan (-)
- Gigi : karang gigi (+), caries (+)
- Mukosa : pucat (-), lesi (-), kotor (-)
- Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di pinggir
(-), tremor (-), lidah kotor (-), pseudomembran (-)
- Faring : hiperemia (-)
Leher :
- Kaku kuduk (-)
- Scrofuloderma (-)
- Pembesaran KGB (-)
- Trakea: deviasi (-)
- otot sternocleidomastoideus: aktif (+), hipertrofi (-)
- Pembesaran tiroid (-)
Thorax :
Pulmo :
Inspeksi :
30
- Bentuk: simetris
- Ukuran: normal, barrel chest (-)
- Pergerakan dinding dada : simetris
- Permukaan kulit : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), sikatrik (-)
- Iga dan sela antar iga: normal, retraksi (-)
- Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (+)
- Tipe pernapasan abdominotorakal, reguler
Palpasi :
- Trakea : deviasi (-)
- Permukaan dada: thrill (-), nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-), suhu
normal
- Pergerakan dinding dada simetris
Perkusi :
- Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi :
- vesikuler pada semua lapang paru
- Suara tambahan rhonki -/-
- Suara tambahan wheezing -/-
- Suara gesek pleura (-/-)
Cor :
- Inspeksi: Iktus cordis tidak tampak
- Palpasi: Iktus cordis sulit dievaluasi
- Perkusi: - batas kanan jantung : ICS 2 linea midklavikula dextra
- batas kiri jantung : ICS 5 axilaris anterior sinistra
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler. Murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (+)
- Umbilicus : masuk merata
31
- Permukaan Kulit : mengkilat (+), sikatrik (-), venektasi (-), pelebaran vena
kolateral (+), caput meducae (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-)
Auskultasi :
- Bising usus (+) 10 x/menit normal
- Metallic sound (-)
- Bising aorta (-)
Perkusi :
- Redup (+) pada seluruh lapang abdomen
- undulasi (+)
- Nyeri ketok CVA: -/-
Palpasi :
- Turgor : sulit dievaluasi
- Massa : sulit dievaluasi
- Nyeri tekan sulit dievaluasi
- Hepar, lien dan renal sulit dievaluasi
Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Akral pucat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal
- Edema: -/-
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Akral pucat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal
- Edema: +/+ pitting
- Sianosis : -/-
Genitalia: Tidak dievaluasi
32
IV. ASSESTMENT
Acute on chronic kidney disease stage V on HD regular
Anemia sedang et causa penyakit kronis
Gagal tumbuh gizi kurang
Hipertensi grade II
Ascites per magna et causa chronic kidney disease
kardiomiopati dilatasi
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan Darah Lengkap :
Parameter 8/1/2015 Normal
HGB 7,40 P : 11,5–16,5 g/dL
RBC 2,75 P : 4,0 – 5,0 [10^6/µL]
HCT 34,2 P : 37 – 45 [%]
MCV 83,0 82,0 – 92,0 [fL]
MCH 26,9 27,0-31,0 [pg]
MCHC 30,6 32,0-37,0 [g/dL]
WBC 7,53 4,0 – 11,0 [10^3/ µL]
PLT 420 150-400 [10^3/ µL]
b. Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik
Parameter 8/1/2015 Normal
GDS 96 <160
ureum 114 10-50
kreatinin 4,7 0,9-1,3
SGOT/AST 29 <40
SGPT/ALT 11 <41
c. Hasil Pemeriksaan elektrolit serum
Parameter 8/1/2015 Normal
Na 133 135-146 mmol/l
K 3,4 3,4-5,4 mmol/l
Cl 103 95-108 mmol/l
d. profil protein dan lipid
Parameter 9/01/2015 Normal
Albumin 3,3 3,5-5,0 g/dl
cholesterol 107 <200 mg %
trigliserida 153 <200 mg %
HDL 46 >45 mg%
33
VI. RESUME
W seorang anak perempuan berusia 10 tahun, dibawa ke poliklinik anak RSUP
NTB dengan keluhan utama lemas sejak 3 hari sebelum MRS. Pasien mengeluh perut
terasa kembung dan membesar sejak 1 bulan sebelum MRS tanpa adanya rasa nyeri pada
perut. Pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak yang muncul bersamaan dengan perut
yang membesar. Pasien juga mengeluh sesak napas yang memberat sejak 1 hari sebelum
MRS. Sesak dirasakan terus-menerus, tidak disertai suara “ngik”, memberat jika tidur
berbaring terlentang, sesak berkurang jika duduk. Pasien dikeluhkan gatal pada kulit,
pucat dan cepat lelah, mual dan muntah sebanyak 3 kali per hari selama 2 hari sebelum
MRS. Muntah berisi makanan yang dimakan sebanyak setengah gelas belimbing. BAK
sedikit. Pasien minum air maksimal 220 cc per hari. Pasien didiagnosis menderita gagal
ginjal kronis sejak bulan 3 bulan sebelum MRS. pasien sudah rutin menjalani
hemodialisis 2 kali dalam seminggu. Pasien mengaku pernah mengalami bengkak tiba-
tiba pada seluruh tubuh 3 tahun sebelum MRS. Bengkak muncul mendadak, disertai sesak
napas, dan mudah lelah namun hilang dengan sendiri setelah kira-kira 2 bulan. Pasien
memiliki riwayat minum OAT selama 6 bulan dengan 2 kali periode sekitar 4 tahun yang
lalu. Riwayat hipertensi didapatkan pada ayah dan kakek pasien. Sebelumnya pasien
menjalani hemodialisis di RS di Bali. Sekarang keluarga pasien ingin mendapatkan
jadwal hemodialisis regular di RSUP NTB agar pasien dapat lebih nyaman. Pasien
didiagnosis dengan kardiomiopati dilatasi dan hipertensi grade II setelah dilakukan dua
kali pemeriksaan Echocardiografi di RS di Bali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran compos
mentis, tampak pucat, TD 120/80 mmHg, Nadi 102 x / menit, regular, kuat angkat, RR
32 x / menit, regular, abdominotorakal, Suhu 36,7 C. Status gizi malnutrisi berat dan
pendek. Ditemukan konjungtiva anemis (+/+), karang gigi (+), caries (+), otot
sternocleidomastoideus aktif (+), distensi abdomen (+), permukaan kulit abdomen
mengkilat (+), pelebaran vena kolateral abdomen (+), redup (+) pada seluruh lapang
abdomen, tes undulasi (+), akral pucat (+/+), edema pitting ekstremitas bawah (+/+).
Dari pemeriksaan penunjang HGB 7,40; RBC 2,75; HCT 34,2; MCV 83,0; MCH
26,9; MCHC 30,6; PLT 420; WBC 7,53; GDS 96; AST 29; ALT 11; Albumin 3,3; ureum
114; kreatinin 4,7. Na 133; K 3,3; Cl 103; cholesterol 107; Trigliserida 153; HDL 46.
LFG 14,1 mL/menit/1,73 m2.
34
VII. DIAGNOSIS BANDING
Anemia sedang et causa defisiensi Fe
Ascites per magna et causa massa hepar
Ascites per magna et causa massa abdomen
Ascites per magna et causa gagal jantung
Tuberculosis ekstrapulmoner
VIII. PLANNING
A. Planning Terapi
Medikamentosa
Oksigen nasal kanul 2 L per menit
IVFD NaCl 0,9 % 18 tetes per menit
Hemodialisis reguler 3 x seminggu
Amlodipin 2 mg per 24 jam `
Furosemide 20 mg per 12 jam
Spironolakton 12,5 mg per 12 jam
Digoksin 0,0625 mcg per 12 jam
Recombinant human erythropoietin (rHuEPO) dengan dosis 50 IU/kgBB
(sediaan Epprex 2000 IU/0,5 ml) subkutan 2x seminggu
Asam ursodeoksikolat 8-10 mg/kgBB/kali dalam 3 dosis (180 mg per 8 jam)
(sediaan Estazor Kapsul 250 mg)
Vitamin D3 aktif 0,25 mcg per 24 jam
Asam folat tablet 1 mg/hari
Suplemen Ca 200 mg (Calnic syr) 1 cth per 24 jam
Non-medikamentosa
diet protein 0,8 g/kgBB/hari (18,4 g/hari)
kalori 35 kkal/kgBB/hari (805 kkal/hari)
B. Planning Diagnosis
rontgen thorax AP dan lateral
USG thorax dan abdomen
EKG
35
Urinalisis
Analisis cairan ascites
Pemeriksaan morfologi darah tepi dan retikulosit
Pemeriksaan Serum Iron, Serum feritin dan TIBC, HbSAg
Tes Mantoux
C. Planning follow up
Monitor vital sign
Monitor urin output dan berat badan
Monitor tanda-tanda komplikasi
D. Planning KIE
restriksi cairan
menampung urin
menjaga emosi dan psikis pasien
tidak boleh menggaruk kulit
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Penunjang Assestment Planning
10/1/2015 Sesak napas
(+), gatal (+).
Kedua kaki
bengkak (+),
perut besar,
nafsu makan
kurang
KU: sedang, GCS E4V5M6,
CM
TD: 110/60mmHg
N :110x/mnt
RR: 28x/mnt
Tax: 37,5 °C
Konjunctiva Anemis (+/+)
Abdomen distensi (+), Undulasi
(+)
Edema pitting ekstremitas
bawah (+/+)
Parameter 10/1/2015
Berat jenis 1,015
pH 8,0
protein +3
nitrit -
glukosa +2
Keton -
Urobilinogen -
darah -
bilirubin -
• ACKD stage V on
HD regular
• Anemia sedang et
causa penyakit
kronis
• Gagal tumbuh gizi
kurang
• Hipertensi grade II
• Ascites per magna
et causa CKD
- Terapi lanjut
- HD
- Kondisi post HD
TD: 130/90mmHg
N :110x/mnt
RR: 28x/mnt
Tax: 37,5 °C
14/1/2015 Sesak napas,
kedua kaki
masih bengkak
KU: sedang, GCS E4V5M6,
CM
TD: 120/80mmHg
N :110x/mnt
RR: 26x/mnt, cepat
Tax: 36,9 °C
Konjunctiva Anemis (+/+)
Abdomen distensi (+), Undulasi
(+)
Edema pitting ekstremitas
bawah (+/+)
Parameter 15/1/
2015
Normal
HGB 7,7 P : 11,5–16,5 g/dL
RBC 2,77 P:4,0– 5,0 [10^6/µL]
HCT 24,4 P : 37 – 45 [%]
MCV 88,1 82,0 – 92,0 [fL]
MCH 27,8 27,0-31,0 [pg]
MCHC 31,6 32,0-37,0 [g/dL]
WBC 7,81 4,0 – 11,0 [10^3/ µL]
PLT 362 150-400 [10^3/ µL]
• ACKD stage V on
HD regular
• Anemia sedang et
causa penyakit
kronis
• Gagal tumbuh gizi
kurang
• Hipertensi grade II
•Ascites per magna
et causa CKD
- Terapi lanjut
- HD
- IVFD NaCl 0,9 % 20
tetes per menit
- Kondisi post HD
TD: 90/60mmHg
N : 96x/mnt
RR: 28x/mnt
Tax: 36,7 °C
19/1/2015 kaki tidak
bengkak,
sesak masih
KU: sedang, GCS E4V5M6,
CM
TD: 120/80mmHg
N :125x/mnt
RR: 32x/mnt, cepat, dangkal
Tax: 36,8 °C
Parameter 17/1/
2015
Normal
Serum
iron
36 90-126 mikro s/dl
TIBC 306
- Pungsi ascites 2700 cc, warna
kuning jernih
• ACKD stage V on
HD regular
• Anemia sedang et
causa penyakit
kronis
• Anemia defisiensi
besi
- Terapi lanjut
- USG Abdomen post
pungsi
37
• Gagal tumbuh gizi
kurang
• Hipertensi grade II
20/1/2015 KU: sedang, GCS E4V5M6,
CM
TD: 120/80mmHg
N :88x/mnt
RR: 22x/mnt
Tax: 36,6 °C
BB: 18 kg
TB: 121 cm
Status gizi:
BB/U: 54% = malnutrisi berat
TB/U: 87% = anak pendek
BB/TB: 78% = malnutrisi
sedang
Ascites ec. Suspect
massa abdomen
- USG abdomen
21/1/2015 Sesak (-), perut
telah mengecil
KU: sedang, GCS E4V5M6,
CM
TD: 130/100mmHg
N :88x/mnt
RR: 22x/mnt
USG abdomen 21/1/2015
Hasil: nefritis kronis bilateral, ukuran
ginjal mengecil
Efusi pleura dekstra
Ascites minimal
• ACKD stage V on
HD regular
• Anemia sedang et
causa penyakit
kronis
• Anemia defisiensi
besi
• Gagal tumbuh gizi
kurang
• Hipertensi grade II
- Aff infus
- Aff O2
- Terapi lanjut
- Fe tablet 4
mg/kgBB/hari
25/1/2015 Tidak ada
keluhan, nafsu
makan baik
KU: sedang, GCS E4V5M6,
CM
TD: 120/90mmHg
N :88x/mnt
RR: 22x/mnt
• ACKD stage V on
HD regular
- Pasien boleh pulang
- Hemodialisis 2 kali
seminggu hari rabu
dan sabtu
- kontrol 1 minggu lagi
BAB IV
PEMBAHASAN
W seorang anak perempuan berusia 10 tahun, dibawa ke poliklinik anak RSUP
NTB dengan keluhan utama lemas sejak 3 hari sebelum MRS. Pasien mengeluh perut
terasa kembung dan membesar sejak 1 bulan sebelum MRS tanpa adanya rasa nyeri pada
perut. Pasien juga mengeluh kedua kaki bengkak yang muncul bersamaan dengan perut
yang membesar. Pasien juga mengeluh sesak napas yang memberat sejak 1 hari sebelum
MRS. Sesak dirasakan terus-menerus, tidak disertai suara “ngik”, memberat jika tidur
berbaring terlentang, sesak berkurang jika duduk. Pasien dikeluhkan gatal pada kulit,
pucat dan cepat lelah, mual dan muntah sebanyak 3 kali per hari selama 2 hari sebelum
MRS. Muntah berisi makanan yang dimakan sebanyak setengah gelas belimbing. BAK
sedikit. Pasien minum air maksimal 220 cc per hari. Pasien didiagnosis menderita gagal
ginjal kronis sejak bulan 3 bulan sebelum MRS. pasien sudah rutin menjalani
hemodialisis 2 kali dalam seminggu. Pasien mengaku pernah mengalami bengkak tiba-
tiba pada seluruh tubuh 3 tahun sebelum MRS. Bengkak muncul mendadak, disertai sesak
napas, dan mudah lelah namun hilang dengan sendiri setelah kira-kira 2 bulan. Pasien
memiliki riwayat minum OAT selama 6 bulan dengan 2 kali periode sekitar 4 tahun yang
lalu. Riwayat hipertensi didapatkan pada ayah dan kakek pasien. Sebelumnya pasien
menjalani hemodialisis di RS di Bali. Sekarang keluarga pasien ingin mendapatkan
jadwal hemodialisis regular di RSUP NTB agar pasien dapat lebih nyaman. Pasien
didiagnosis dengan kardiomiopati dilatasi dan hipertensi grade II setelah dilakukan
pemeriksaan Echocardiografi di RS di Bali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran compos
mentis, tampak pucat, TD 120/80 mmHg, Nadi 102 x / menit, regular, kuat angkat, RR
32 x / menit, regular, abdominotorakal, Suhu 36,7 C. Status gizi malnutrisi berat dan
pendek. Ditemukan anemia, ascites dan edema pitting pada kedua ekstremitas bawah.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia sedang, hiponatremia,
peningkatan ureum 114 mg/dL dan kreatinin 4,7 mg/dL, LFG (Schwartz) 14,1
mL/menit/1,73 m2, hipoalbumin, proteinuria +3. Glukosuria +2. Foto thorax dan
pemeriksaan EKG belum dilakukan. USG ginjal menunjukkan adanya proses kronis pada
kedua ginjal dan ginjal mengecil. Selama perawatan dilakukan hemodialisis kronik dua
39
kali dalam seminggu. Dilakukan juga terapi suportif untuk mengatasi anemia, hipertensi
dan dietetik. Pasien diperbolehkan pulang, dan dilakukan hemodialisis kronik dua kali
dalam seminggu.
Pasien CKD dapat mengalami eksaserbasi akut dengan gejala penurunan fungsi
ginjal yang mendadak dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh sehingga
mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa, air, elektrolit, dan eliminasi zat-zat
sisa. Manifestasi awal eksaserbasi akut bisa berupa pucat, oliguria, edema, hipertensi,
muntah, dan letargi. Pada keadaan lanjut dapat timbul komplikasi kelebihan cairan (gagal
jantung dan edema paru) atau aritmia karena hiperkalemia. Pasien ini didiagnosis CKD
karena kemungkinan kerusakan ginjal sudah berlangsung >3 bulan yang ditemukan pada
anamnesis yaitu adanya riwayat edema anasarka disertai hipertensi, dan buang air kecil
yang menjadi berkurang sejak 5 bulan sebelumnya. Pasien datang ke rumah sakit dengan
manifestasi eksaserbasi akut berupa pucat, oliguria, anemia, hiponatremia, dan penurunan
fungsi ginjal berat. Setelah keadaan akut teratasi diharapkan CKD derajat 4 dapat
mengalami perbaikan fungsi ginjal, sedangkan CKD derajat 5 sebaliknya. Setelah
keadaan akut teratasi dengan hemodialisis, LFG tetap < 15 mL/menit/1,73 m2 sehingga
pasien ini didiagnosis sebagai CKD derajat 5. Kenyataan ini didukung juga dengan
kembalinya keadaan akut pasien dengan cepat, sehingga dilakukan hemodialisis sebanyak
2 kali. Hal ini menandakan minimnya fungsi ginjal yang tersisa. Pada pasien ini juga
cukup sulit untuk mencari etiologi CKD, karena setelah keluhan bengkak pada 3 tahun
yang lalu pasien ini tidak pernah berobat. Namun pasien ini dicurigai pernah menderita
glomerulonephritis akut pasca streptokokus ataupun sindrom nefrotik sehingga
menyebabkan gagal ginjal akut yang lama dan kemudian berubah menjadi gagal ginjal
kronis karena tidak pernah dilakukan pengobatan dan pencegahan. Meskipun demikian
hasil USG yang menunjukkan adanya proses kronis pada kedua ginjal dapat digunakan
untuk memikirkan kemungkinan glomerulonefritis kronis sebagai penyebab CKD pasien
ini. Pasien juga pernah meminum obat anti tuberculosis selama 6 bulan dengan 2 kali
periode sehingga masih memungkinkan dicurigai sebagai Tb ekstraparu yaitu Tb ginjal.
Pada pemeriksaan urine yang pertama didapatkan proteinuria dan glukosuria.
Glukosuria tanpa disertai dengan peningkatan glukosa darah dapat disebabkan oleh
rendahnya ambang transport maksimum pada proses reabsorbsi tubulus, keadaan stress.
40
Sedangkan proteinuria sebagai akibat kegagalan filtrasi oleh glomerulus misalnya proses
inflamasi non infeksi di glomerulus.
Tatalaksana utama pada pasien ini adalah mengatasi keadaan eksaserbasi akutnya,
yaitu dengan dialisis akut. Indikasi untuk dilakukan dialisis akut baik untuk peritoneal
dialisis maupun hemodialisis adalah sama yaitu, meliputi sindroma uremia (muntah,
kejang, penurunan kesadaran), tanda kelebihan cairan (hipertensi, edema paru), asidosis
yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena, dan indikasi
biokimiawi meliputi hiperkalemia (Kalium serum >7 mEq/L), ureum darah >200-300
mg/dL atau kreatinin 15 mg/dL, dan bikarbonat plasma <12 mEq/L. Dialisis akut dapat
dilakukan dengan peritoneal dialisis ataupun hemodialisis. Umumnya dialisis pada anak
dilakukan dengan peritoneal dialisis, karena secara teknik lebih sederhana dan lebih
mudah dikerjakan, dan merupakan pilihan yang paling tepat untuk pasien dengan keadaan
hemodinamik yang tidak stabil.
Hemodialisis adalah suatu proses pemisahan zat tertentu (toksin uremik) dari
darah melalui membran semi permeabel di dalam dialiser, dan selanjutnya dibuang
melalui cairan dialisat. Pada hemodialisis, pengeluaran zat terlarut dan kelebihan cairan
terjadi dengan cepat (3-5 jam) sehingga diperlukan oleh pasien dengan gangguan
elektrolit, kelebihan cairan dan hiperkatabolik yang memerlukan koreksi cepat.
Perubahan zat terlarut dan pengeluaran cairan yang terlalu cepat dapat menyebabkan
hipotensi sehingga tidak dapat ditolerir oleh pasien dengan keadaan hemodinamik yang
tidak stabil. Sedangkan dialisis peritoneal mempunyai kemampuan mengeluarkan zat
terlarut dari darah 1/8 dari hemodialisis, dan kemampuan mengeluarkan cairan ¼ dari
hemodialisis. Pada pasien ini dilakukan hemodialisis dengan pemasangan AV shunt.
Penatalaksanaan lainnya untuk pasien CKD adalah tatalaksana suportif dan
substitusi. Penatalaksanaan suportif meliputi tatalaksana untuk hipertensi, anemia, dan
dietetik, sedangkan tatalaksana substitusi meliputi pemberian eritropoeitin, pemberian
vitamin D.
Hipertensi pada pasien CKD disebabkan karena tingginya kadar renin akibat
ginjal yang rusak, hipervolemia, dan berkurangnya zat vasodilator. Bila LFG menurun,
dan jumlah urine berkurang, hipertensi terjadi akibat kelebihan cairan. Target tekanan
darah pada anak dengan CKD adalah di bawah persentil 90 sesuai usia dan jenis kelamin.
Pemberian terapi farmakologis pada hipertensi dimulai dengan pemberian diuretik, bila
41
dengan diuretik tidak berhasil atau hipertensi semakin berat dapat diberikan preparat beta
blocker dan atau vasodilator perifer. Bila dengan gabungan obat tersebut tidak
memberikan hasil dapat diberikan antagonis kalsium, dan pada hipertensi krisis akut
dapat digunakan nifedipine sublingual.
Pada pasien ini, pilihan terapi farmakologik untuk hipertensi merupakan
kombinasi antara diuretik dan penghambat kalsium. Furosemide merupakan loop diuretic
yang poten dan dianjurkan pada anak dan remaja dengan hipertensi disertai penurunan
faal ginjal. Spironolakton sebagai diuretik hemat kalium masih dapat diberikan pada
pasien ini karena tidak ditemukan hiperkalemia. Sedangkan penghambat kalsium
berperan dalam vasodilator perifer.
Anemia pada CKD terjadi akibat produksi eritropoietin yang menurun dan massa
sel tubular renal yang berkurang. Kompensasi jantung terhadap anemia menyebabkan
hipertrofi ventrikel dan kardiomiopati sehinga meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung atau penyakit jantung iskemik. Rekomendasi KDOQI menyebutkan target
hemoglobin 11-12 g/dL pada pasien CKD, dan pasien dengan kadar feritin serum <100
ng/mL harus mendapat suplementasi besi. Recombinant human erythropoietin (rHuEPO)
dengan dosis 50 IU/kgBB subkutan dua kali seminggu digunakan untuk anemia akibat
CKD, pemberian rhuEPO dapat mengurangi atau menghindari kebutuhan transfusi darah
pada CKD. Pasien yang menjalani dialisis secara teratur diberi asam folat oral 1 mg/hari,
dan bila terjadi defisiensi asam folat, dosis asam folat yang digunakan adalah 1-5 mg/hari
selama 3-4 minggu. Transfusi PRC diberikan bila kadar Hb <6 g/dL.
Dietetik memegang peranan penting pada anak CKD karena pasien rentan
terhadap malnutrisi dan hipoalbuminemia. Tantangan bagi dokter anak dan ahli gizi
adalah untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal. Kebutuhan energi harus
memenuhi recommended dietary allowance (RDA) untuk anak normal dengan tinggi
sesuai. Jika terdapat malnutrisi, asupan kalori dapat ditingkatkan untuk memperbaiki
penambahan berat badan dan pertumbuhan linier. Asupan kalori harus cukup untuk
meningkatkan efisiensi protein (protein-sparing effect) dan mencegah pasien dari proses
katabolik. Diet restriksi protein hingga kini masih menjadi perdebatan. Analisis Cochrane
menyimpulkan bahwa restriksi protein dapat mengurangi proteinuri pada nefropati
diabetes. Sedangkan rekomendasi KDOQI menganjurkan asupan protein 0,8-1
g/kgBB/hari dan asupan kalori sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari pada anak CKD.
42
Setiap pasien CKD sebaiknya direncanakan untuk menjalani transplantasi, dan
sebelum sampai pada pelaksanaan program transplantasi, pasien dipersiapkan untuk
menjalani dialisis sebagai pengganti fungsi ginjal. Pemilihan hemodialisis atau dialisis
peritoneal berkesinambungan CAPD (Continuous ambulatory peritoneal dialysis) sangat
individual berdasarkan umur, status pertumbuhan, perkembangan pasien, dan penyakit
primernya. Pada anak, CAPD menjadi pilihan utama, sedangkan hemodialisis hanya
dilakukan bila dialisis peritoneal tidak mungkin dilakukan.
Akses vaskular dibedakan menjadi akses sementara (temporary access) dan akses
tetap (permanent access). Akses vaskular sementara digunakan pada pasien gagal ginjal
akut, pasien gagal ginjal kronis sementara menunggu akses tetap dapat digunakan, atau
pasien dialisis peritoneal dan transplantasi yang membutuhkan hemodialisis sementara,
atau pada pasien yang memerlukan plasmaferesis atau hemoperfusi. Sedangkan akses
vaskular tetap (permanent access) digunakan pada pasien yang memerlukan hemodialisis
jangka panjang. Pemilihan akses vaskular tergantung pada kedaruratan melakukan
dialisis, waktu yang tersedia untuk mempersiapkan akses vaskular, serta keadaan
pembuluh darah pasien. Akses vaskular sementara yang menjadi pilihan adalah kanulasi
vena per kutan melalui vena subklavia, vena jugularis interna, atau vena femoralis, dan
pirau arteriovenosa yang biasa digunakan sebagai akses vascular hemodialisis pada anak
terutama dengan berat badan kurang dari 20 kg. Sedangkan akses vaskular tetap dibuat
secara sub kutan dengan membuat anastomosis pada anggota gerak antara arteri besar dan
vena terdekat (fistula arteri vena) atau dengan interposisi komponen graft antara arteri
dan vena terdekat.
Pada pasien ini direncanakan dilakukan hemodialisis kronik, karena dialisis
peritoneal tidak memungkinkan di sarana layanan kesehatan. Akses vaskular yang
digunakan adalah akses fistula arteriovenosa, karena akses ini sering digunakan dan dapat
dipasang pada anak dengan berat badan >20 kg.
Berdasarkan data epidemiologi, prognosis pasien CKD adalah buruk sejalan
dengan fungsi ginjal yang terus menurun. Penyebab kematian utama pada CKD adalah
penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal replacement therapy dapat meningkatkan
angka harapan hidup pada CKD derajat 5. Transplantasi ginjal memerlukan dana dan
peralatan yang mahal serta sumber daya manusia dan dapat menimbulkan komplikasi
akibat pembedahan atau reaksi penolakan tubuh. CAPD meningkatkan angka harapan
43
hidup dan quality of life dibandingkan hemodialisis. Bagi keluarga pasien, dilakukannya
CAPD akan sangat memberatkan karena kemampuan ekonomi yang terbatas.
Setelah menjalani hemodialisis pasien tetap sesak napas sehingga dilakukan
pungsi ascites untuk mengurangi keluhan. Pada pungsi didapatkan 2700 cc cairan ascites
dengan warna kuning jernih. Pasien tidak sesak napas lagi setelah dilakukan pungsi
ascites dan berat badan pasien turun dari 23 kg menjadi 18 kg. Setelah itu dilakukan USG
abdomen untuk membuktikan kecurigaan massa abdomen namun tidak ditemukan massa
dari hasil pemeriksaan USG abdomen, melainkan hanya terdapat pengecilan ginjal dan
ascites minimal. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan analisis cairan ascites. Prognosis
pasien ini buruk karena keterlambatan pengobatan dan telah disertai dengan
kardiomiopati dilatasi dan gagal tumbuh gizi buruk. Kardiomiopati dilatasi merupakan
faktor risiko terjadinya gagal jantung di kemudian hari.
Pada pasien ini diberiksan juga UDCA (asam ursodeoksikolat) merupakan asam
empedu yang mempunyai manfaat dalam memperbaiki fungsi hati, dan mempunyai sifat
antiinflamasi dan sitoprotektif. Dari studi terbaru menunjukkan bahwa UDCA
mempunyai potensi dalam meningkatkan aliran darah perifer pada pasien dengan gagal
jantung kronik.
BAB V
KESIMPULAN
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal kronik adalah suatu
kerusakan parenkim ginjal yang dapat / tidak disertai menurunnya laju filtrasi glomerulus
(LFG), dimana kerusakan ini bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 5 stadium sesuai
dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Jumlah penderita CKD pada anak lebih
sedikit dibanding pada dewasa. Pada anak-anak CKD dapat disebabkan oleh berbagai hal,
terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-
lain. Gejala klinis CKD merupakan manifestasi dari penurunan fungsi filtrasi glomerulus
yang mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan
asam-basa, serta gangguan fungsi endokrin berupa berkurangnya kadar eritropoietin dan
vitamin D3. Pada anak juga sering disertai gangguan pertumbuhan karena metabolisme
kalsium-fosfat yang terganggu. Penanganan CKD disesuaikan dengan tahap penurunan
laju filtrasi glomerulus, yang secara prinsip dibagi menjadi terapi konservatif dan terapi
pengganti ginjal (TPG). Selain itu juga dibutuhkan terapi multidisipliner yang mencakup
bidang medik, sosial, psikologi, gizi, dan cakupan lain untuk membantu sisi kesehatan
dan tumbuh kembang anak. Angka mortalitas pada penderita CKD bergantung pada
penyebab yang mendasari dan juga tatalaksana yang didapat. Anak dengan CKD yang
mendapat transplantasi ginjal memiliki angka mortalitas dan usia harapan hidup yang
lebih tinggi dibanding mereka yang menjalani TPG (seperti hemodialisis atau peritoneal
dialisis).
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Indonesia. Kompendium
Nefrologi Anak. Bandung : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
2. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed.Chapter
535.2 Chronic Kidney Disease 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier
3. Sjaifullah M,Noer, Gagal ginjal kronik pada anak (Chronic Renal Failure in
Children).Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR:RSU
Dr. Soetomo.2005.Surabaya
4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-
RSUP Dr.HAsan Sadikin Bandung. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ed. 4.
Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran: 2012
5. Sudung O. Pardede, Swanty Chunnaedy. Sari Pediatri Vol. 11, No. 3. Penyakit
Ginjal Kronis. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta; 2009
6. Bangga Arvin Srivastava RN. Pediatric Nephrology. 5th ed. Jaypee Brothers
Medical Publisher. India: 2011
7. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification .National Kidney Foundation (NKF)
NKDOQI.2002.
8. Rachmadi Dedi, Meliyana Fina. Hemodialisa Pada Anak dengan Chronic Kidney
Disease. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RS Dr.HAsan Sadikin Bandung; 2009
9. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.
Pediatric Nephrology, Berlin, Germany. 2007.
10. Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.
Pediatric Nephrology, Berlin, Germany. 2007.