laporan kasus 2 kad

49
I. PEMBAHASAN A. Identitas. Nama : Ny. R TTL : Cirebon, 13/06/1992 Umur : 23 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Jakarta Utara Masuk RS tanggal : 14/08/2015 B. Anamnesis Keluhan Utama: muntah – muntah sejak 5 jam SMRS Riwayat Penyakit Sekarang: 1 tahun SMRS Os di diagnosis sakit Diabetes. Berat badan os menurun ± 10kg. Namun nafsu makan os meningkat, sering terbangun ketika malam untuk pipis, dan sering minum. 5 jam SMRS Os mual disetai muntah ± 20 kali beberapa jam SMRS. Muntah setiap kali diisi makanan dan minuman. Mulutnya terasa pahit. Disertai dengan nyeri pada uluhati, Lemas dan banyak pipis . Os juga mengeluh sakit kepala. Terakhir kali mkn saat pagi hari (bihun dan gorengan). Suntik insulin terakhir saat pagi hari. Demam disangkal. Bab cair disangkal. Saat masuk RS Os tidak sadarkan diri dan setelah masuk keruangan os demam. GDS: 758

Upload: ayuannisahusna

Post on 04-Dec-2015

337 views

Category:

Documents


32 download

DESCRIPTION

aaaaaa

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus 2 KAD

I. PEMBAHASAN

A. Identitas.

Nama : Ny. R

TTL : Cirebon, 13/06/1992

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jakarta Utara

Masuk RS tanggal : 14/08/2015

B. Anamnesis

Keluhan Utama: muntah – muntah sejak 5 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:

1 tahun SMRS Os di diagnosis sakit Diabetes. Berat badan os menurun

± 10kg. Namun nafsu makan os meningkat, sering terbangun ketika malam

untuk pipis, dan sering minum.

5 jam SMRS Os mual disetai muntah ± 20 kali beberapa jam SMRS.

Muntah setiap kali diisi makanan dan minuman. Mulutnya terasa pahit.

Disertai dengan nyeri pada uluhati, Lemas dan banyak pipis . Os juga

mengeluh sakit kepala. Terakhir kali mkn saat pagi hari (bihun dan gorengan).

Suntik insulin terakhir saat pagi hari. Demam disangkal. Bab cair disangkal.

Saat masuk RS Os tidak sadarkan diri dan setelah masuk keruangan os

demam. GDS: 758

Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : somnolen

K. Umum : Tampak Sakit Berat

TTV :

a. TD : 120/70 mmHg

b. Suhu : 37,5oC

c. Napas : 28 x/ menit, napas cepat dan dalam, cuping hidung (+)

d. Nadi : 115 x/ menit

Page 2: Laporan Kasus 2 KAD

- Kepala

o Normocephal, wajah tampak pucat , Anemis -/-, ikterik -/-, pupil

isokor ±3 mm, Pernapasan cuping hidung (+), Telinga dalam batas

normal, Bibir tampak kering, lidah tidak kotor, gigi-geligi baik,

faring tidak hiperemis, T1-T1

- Leher

o Thyroid (-), KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat

- Toraks

o Normo cest, nyeri tekan (-), masa (-), Vokal Fremitus +/+ simetris

o Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, Wheezing -/-

o Cor : ictus cordis teraba pada ICS 4 linea midclavikula, BJ 1 dan 2

normal, reguler

- Abdomen

o Tampak cembung, Nyeri Tekan Epigastrium (+), Hepatomegali (-).

Splenomegali (-), Turgor kulit (+) lama kembali, Bising Usus (+)

normal

- Ekstremitas

o Akral dingin, tangan dan kaki lembab, sianosis (-), Odem (-), RCT

< 2 “

C. Pemeriksaan Penunjang

14-08-2015

Page 3: Laporan Kasus 2 KAD
Page 4: Laporan Kasus 2 KAD
Page 5: Laporan Kasus 2 KAD
Page 6: Laporan Kasus 2 KAD
Page 7: Laporan Kasus 2 KAD
Page 8: Laporan Kasus 2 KAD

Resume

Perempuan, 28 tahun datang dengan keluhan vomittus sejak pagi SMRS.

vomitus ±20 kali dalam sehari. Muntah berisi makanan. Mulutnya terasa pahit.

Disertai dengan nyeri epigastrium, malaise, chepalgia dan poliuri. Makan terakhir dan

menyuntik insulin saat pagi hari. Riwayat Dm sejak 1 tahun lalu dan sudah ada

penurunan berat badan sebanyak kurang lebih 10 kg.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 120/70, nadi 115x/menit, RR

28x/menit (nafas cepat dan dalam), Suhu 36,80C. IMT underweight. Pada

Page 9: Laporan Kasus 2 KAD

pemeriksaan fisik mata cekung, mukosa bibir kering, nyeri tekan abdomen, turgor

kulit kembali lamban.

Pada pemeriksaan laboratorium Tgl 14-8-15 leukosit 37.41, trombosit 528,

GDS 756, Na 131, K 5.7, Cl 94, aseton +, pH 7.137, pCO2 15.6, pO2 170.8, saturasi

O2 98.90, total CO2 5.80, gliko Hb ( HbA1c) 13.0

Daftar masalah

-Ketoasidosis diabetikum

Assessment

Ketoasidosis diabetikum

S : vomittus sejak pagi SMRS. vomitus ±20 kali dalam sehari. Muntah berisi

makanan. Mulutnya terasa pahit. Disertai dengan nyeri epigastrium, malaise,

chepalgia dan poliuri. Makan terakhir dan menyuntik insulin saat pagi hari. Riwayat

Dm sejak 1 tahun lalu dan sudah ada penurunan berat badan sebanyak kurang lebih

10 kg.

O :Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 120/70, nadi 115x/menit, RR

28x/menit (nafas cepat dan dalam), Suhu 36,80C. IMT underweight. Pada

pemeriksaan fisik mata cekung, mukosa bibir kering, nyeri tekan abdomen, turgor

kulit kembali lamban.

Pada pemeriksaan lab: 14-8-15 leukosit 37.41, trombosit 528, GDS 756, Na 131, K

5.7, Cl 94, aseton +, pH 7.137, pCO2 15.6, pO2 170.8, saturasi O2 98.90, total CO2

5.80, gliko Hb ( HbA1c) 13.0, keton 2+

A: ketoasidosis diabetikum

hiperosmoral non ketotik

P: Rencana diagnosis: GDS, HCO3, elektrolit, EKG

Terapi

- REHIDRASIà NaCl 0,9% atau RL 2L à loading 2 jam pertamaà 80

tpm selama 4 jam à lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)

- INSULIN à 4-8 U/jam sampai GDR 250 mg/dl atau reduksi minimal

Page 10: Laporan Kasus 2 KAD

- Infus K à K+ 5.7 àberi 25mEq/L (Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam)

- Infus Bicarbonat àBerikan 44-132 mEq dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80

tpm

Pemberian Bicnat = [ 25 – HCO3 terukur ] x BB x 0.4

- Antibiotik dosis tinggi

Pancreatitis

S: muntah +, mual +, nyeri pada uluhati +, penurunan berat badan +, riwayat

maag +, demam +

O: pada pemeriksaan fisik: s: 37,5 c, mukosa bibir kering+, nyeri tekan

epigastrium +. Pada pemeriksaan laboratorium: Luekosit: 37.41, GDS: 758,

Limpase darah:162, Amylase pancreatic:95

A: pankreatitis

gastritis

P: rencana diagnosis: USG, endoskopi

terapi

- Puasa

- Pengeluaran isi lambung

- Analgetik

- Antibiotik

- Antasida

Page 11: Laporan Kasus 2 KAD

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai

oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin

atau keduanya.1

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes

melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.

WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah

penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah

Page 12: Laporan Kasus 2 KAD

penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita

diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di

Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita

melakukan pemeriksaan secara teratur. 2

Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh

meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai

penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh

darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti

penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan

demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi vaskularnya menjadi penting

untuk diketahui dan dimengerti 3

Latar belakang

American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan KAD sebagai suatu trias yang

terdiri dari ketonemia, hiperglikemia dan asidosis. American Diabetes Association

menyarankan penggunaan pendekatan yang lebih pragmatis, yakni KAD dicirikan dengan

asidosis metabolik (pH <7,3), bikarbonat plasma <15 mmol/L, glukosa plasma >250 mg/dL

dan hasil carik celup plasma (≥ +) atau urin (++). 1,2,3 Patut diperhatikan bahwa masing-

masing dari komponen penyebab KAD dapat disebabkan oleh karena kelainan metabolik

yang lain, sehingga memperluas diagnosis bandingnya. 2,3

Page 13: Laporan Kasus 2 KAD

Data komunitas di Amerika serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD

sebesar 8 per 1000 pasien, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4

per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia tidak sebanyak di

negara barat, mengingat prevalensi DM tipe I yang rendah. Laporan insidens KAD di

Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama pada pasien DM tipe II.

Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetikum adalah dengan memperoleh

riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk

mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini

adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium

serta terapi insulin dosis rendah. Penggunaan bikarbonate tidak direkomendasikan pada

kebanyakan pasien. Cerebral edema, sebagai salah satu dari komplikasi ketoasidosis

diabetikum yang paling langsung, lebih umum terjadi pada anak anak dan anak remaja

dibandingkan pada orang dewasa. Follow-up pasien secara kontinu dengan menggunakan

algoritma pengobatan dan flow sheets dapat membantu meminimumkan akibat sebaliknya.

Tindakan tindakan preventif adalah pendidikan pasien serta instruksi kepada pasien untuk

segera menghubungi dokter sejak dini selama terjadinya penyakit

BAB II

Page 14: Laporan Kasus 2 KAD

TINJAUAN PUSTAKA

KETOASIDOSIS DIABETIKUM

DEFINISI

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik

yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh

defisiensi insulin absolut atau relatif.1 KAD dan koma hipoglikemia akibat OHO merupakan

komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius yang membutuhkan pengelolaan gawat

darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat

menyebabkan syok.3

Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda nitroprusid

pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7,3. Hiperglikemia

pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa darah > 600 mg/dL

biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua

atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat. 4

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Page 15: Laporan Kasus 2 KAD

Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD dan KHH, namun

beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau kurangnya dosis insulin

dapat menjadi faktor pencetus penting. Patut diperhatikan bahwa terdapat sekitar 10-

22% pasien yang datang dengan diabetes awitan baru. Pada populasi orang Amerika

keturunan Afrika, KAD semakin sering diketemukan pada pasien dengan DM tipe 2,

sehingga konsep lama yang menyebutkan KAD jarang timbul pada DM tipe 2 kini

dinyatakan salah. 1,3

Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih

yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit medis lainnya yang dapat

mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, emboli pulmonal dan

infark miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat juga

dapat menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya adalah: kortikosteroid,

pentamidine, zat simpatomimetik, penyekat alpha dan beta serta penggunaan diuretik

berlebihan pada pasien lansia. 3

Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi insulin kerja

pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan peningkatan insidens

KAD secara signifikan bila dibandingkan dengan metode suntikan insulin

konvensional. Studi Diabetes Control and Complications Trial menunjukkan insidens

KAD meningkat kurang lebih dua kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok

injeksi konvensional. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan insulin kerja

pendek yang bila terganggu tidak meninggalkan cadangan untuk kontrol gula darah.3

Pada pasien-pasien muda dengan diabetes tipe 1, permasalahan psikologis yang

disertai dengan gangguan pola makan dapat menjadi pemicu keadaan KAD pada

Page 16: Laporan Kasus 2 KAD

kurang lebih 20% kasus. Faktor- faktor yang dapat menyebabkan pasien

menghentikan penggunaan insulin seperti ketakutan peningkatan berat badan,

ketakutan hipoglikemia, pemberontakan dari otoritas dan stres akibat penyakit kronik

juga dapat menjadi pemicu kejadian KAD. 2

EPIDEMIOLOGI

Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah antara

4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian SHH < 1%.

(2) Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan ditemukan bahwa

dari 613 pasien yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45% SHH dan 33%

merupakan campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian tersebut ternyata

sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD dan SHH, adalah

mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.5

Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada

sentrum yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian pasien dengan

hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya lebih

buruk pada usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi.4,6

Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas

pada kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan

33% pada kelompok usia > 79 tahun. Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara

10% pada mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84

tahun, dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun.5

Page 17: Laporan Kasus 2 KAD

PATOGENESIS

Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi

insulin, relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.

Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang

normal dan untuk mensupresi ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat

melemahkan kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga

membentuk lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi

insulin makin kurang.5

patogenesis DKA 13

Pada KAD, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi

juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol,

dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi

glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang

mengakibatkan hiperglikemia dan perubahan osmolaritas extraseluler.4

Page 18: Laporan Kasus 2 KAD

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon

kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas

dari jaringan adipose (lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar

menjadi benda keton (ß- hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali,

sehingga mengakibatkan ketonemia dan asidosis metabolik. KAD dan SHH berkaitan

dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium,

kalium, dan elektrolit lain di ekskresikan lebih banyak.7

patofisiology DKA 14

FAKTOR PENCETUS

Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan

yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :

Page 19: Laporan Kasus 2 KAD

1. Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh

Infeksi. Infeksinya dapat berupa : Pneumonia, Infeksi traktus urinarius, Abses,

Sepsis, dll.

2. Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler, Infark miokard akut ,

Emboli paru, Thrombosis V.Mesenterika

3. Trauma, luka bakar, hematom subdural.

4. Heat stroke

5. Kelainan gastrointestinal: Pankreatitis akut, Kholesistitis akut, Obstruksi

intestinal

6. Obat-obatan, dimana mengganggu metabolisme karbohidrat : Diuretika ( high

dose thiazide ), Steroid (glucocorticoids), sympathomimetic agents

( dobutamine dan tarbutaline ) danLain-lain

Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang

bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.

Keadaan ini terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1,

Permasalahan psikologis yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar

20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa mendorong

penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan naiknya berat

badan pada keadaan kontrol metabolisme yang baik, ketakutan akan jatuh dalam

hypoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat penyakit kronis.5,12

MANIFESTASI KLINIS

Page 20: Laporan Kasus 2 KAD

Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala

diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan, pandangan

kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan muncul beberapa hari sebelum

masuk rumah sakit.6

KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan SHH

cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas.

Dehidrasi akan bertambah berat bila disertai pemakaian diurétika. Gejala tipikal

untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering, turgor kulit menurun, hipotensi

dan takhikardia.Pada pasien tua mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian

juga pasien dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan respons yang

berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat bervariasi dari sadar penuh ,

letargi, sampai koma.6

Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan

ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi

terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-pasien SHH tertentu, gejala neurologi fokal

atau kejang mungkin merupakan gejala klinik yang dominant.4,6

Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk DKA dan SHH,

pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh karena vasodilatasi

perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda buruknya prognosis.8

Nyeri abdomen sering terjadi pada KAD. Diperlukan perhatian khusus untuk

pasien yang mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa merupakan akibat

ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA Evaluasi lebih lanjut

Page 21: Laporan Kasus 2 KAD

harus dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan dehidrasi dan

asidosis metabolik.5

Page 22: Laporan Kasus 2 KAD

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH meliputi

penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit atau anion

gap (perbedaan anion-kation yang tinggi), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan

dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan

elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus

dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi.6

HbA1c mungkin bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini adalah

akumulasi dari suatu proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak

terkontrol ,atau suatu episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik. Foto thorax

harus dikerjakan jika ada indikasi.9

Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik

yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan hiperglikemia.

Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular

yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien

dengan konsentrasi kalium serum rendah atau low- normal pada saat masuk, mungkin akan

kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu

monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium

lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.4

Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif ( >

320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan status mental.

Pada mayoritas pasien DKA kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin berkaitan dengan

sumber nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk menentukan diagnosa banding dengan

pankreatitis. Nyeri abdominal dan peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering

terjadi pada DKA dibandingkan dengan SHH.6

22

Page 23: Laporan Kasus 2 KAD

Kriteria diagnosis KAD:3

a.kadar glukosa > 250 mg/dl

b.pH < 7,35

c.HCO3- rendah

d.Anion gap yang tinggi

e.Keton serum positif

DIAGNOSIS BANDING

Tidak semua pasien dengan ketoasidosis adalah KAD. Ketosis karena kelaparan

(starvation) dan ketoasidosis alkoholik (KAA) dibedakan dengan anamnesis dan konsentrasi

glukosa plasma yang terentang dari sedikit meningkat (jarang > 250 mg/dl) sampai

hipoglikemia. Sebagai tambahan, walaupun KAA dapat mengakibatkan asidosis, konsentrasi

bikarbonat serum pada keadaan ketosis kelaparan biasanya lebih dari 18 mEq/l.4

KAD harus pula dibedakan dari penyebab lain terjadinya asidosis metabolik yang

tinggi anion gap seperti acidosis laktat, minum obat-obatan seperti salicylate, metanol,

ethylene glycol, dan paraldehyde, dan gagal ginjal kronis ( dimana lebih khas asidosis

hiperkhloremia daripada high-anion gap acidosis). Riwayat intoksikasi obat atau

menggunakan metformin harus dicari.6

PENATALAKSANAAN

Kebehasilan pengobatan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia dan

gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan faktor presipitasi;

dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat. Faktor

23

Page 24: Laporan Kasus 2 KAD

presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan

baik.5,6

TERAPI CAIRAN

Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :

1) Penggantian cairan dan garam yang hilang

2) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan pemberian

insulin

3) Mengatasi stres sebagai pncetus KAD

4) Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta

penyesuaian pengobatan.

Pasien dewasa

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan

extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar

glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin

(dengan demikian dapat memperbaiki sensitivitas terhadap insulin).6

24

Page 25: Laporan Kasus 2 KAD

Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg

berat badan/jam atau lebih besar pada jam pertama (1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa).

Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit

darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam

jika natrium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama

25

Page 26: Laporan Kasus 2 KAD

jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakini baik, maka perlu ditambahkan 20–30

mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.4

Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik

(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik.

Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan

osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm. Pada pasien dengan gangguan ginjal

atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan status mental

harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari overload yang iatrogenic.

7,9

Pasien berusia < 20 tahun

Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan

extravascular ,dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan

volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena

pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat isotonik

(NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat, pemberian

ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak melebihi 50 ml/kg pada 4

jam pertama therapy. Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan

dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.45–0.9% ( tergantung pada kadar sodium serum)

diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan pemeliharaan selama 24 jam ( 5

ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan penurunan osmolaritas tidak

melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1. Sekali lagi jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium

serum diketahui, maka perlu diberikan 20–40 mEq/l kalium (2/3 KCl atau potassium-acetate

dan 1/3 KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi

dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di atas.6

26

Page 27: Laporan Kasus 2 KAD

Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat dengan cepat

mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang iatrogenik, yang dapat

mengakibatkan edema cerebral.8

TERAPI INSULIN

Pada keadaan KAD ringan (gambar 8), insulin reguler diberikan dengan infus

intravena secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada

hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis

0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan

dosis 0.1 unit· kgBB/jam (5–7 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus

tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infus intravena

secara kontinu dengan dosis 0.1 unit· kgBB/hr dapat diberikan pada pasien- pasien tersebut.

Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma

sebanyak 50–75 mg/dl sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi.4,7

Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama,

periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai

penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.7

Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk SHH,

mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kgBB/jam ( 3–6 units/jam),

dan dextrose ( 5–10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau

konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai

asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.7

27

Page 28: Laporan Kasus 2 KAD

Gambar 8 Tabel panduan penggunaan insulin pada KAD15

Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.

Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk

pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.

Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada KAD, tidaklah

terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-OHB dikonversi ke asam

asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh

karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside tidak

digunakan sebagai suatu indikator terapi. Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus

diperiksa tiap 2–4 jam untuk memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine,

osmolaritas, dan pH vena (untuk DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan

berulang-ulang ; pH vena (pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap

anion dapat diikuti, untuk memonitor resolusi asidosis.9

Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan maupun intramuskular

tiap jam adalah sama efektif seperti pemberian intravena dalam menurunkan glukosa darah

dan benda keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar sebanyak 0.4–0.6 units/kg bb, separuh

28

Page 29: Laporan Kasus 2 KAD

sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah secara subkutan atau intramuskular . Sesudah

itu, 0.1 unit· kgBB/jam insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular.6,7

Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat serum >

18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih NPO (Nothing Per

Oral), insulin intravena yang kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan ditambah

dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4 jam.4

Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan

kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau lama untuk

mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam

setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup.

Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan penundaan insulin subcutan akan

memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi

subkutan secara bersamaan.4

Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis

seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan

penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–

1.0 unit· kgBB/jam dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam bentuk campuran insulin kerja

pendek dan panjang sampai mencapai suatu dosis optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu

diingat bahwa dosis insulin ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita DM

tipe 2 yang bisa diberi obat anti hiperglikemia oral dan pengaturan diet.9

KALIUM

Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar

dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq

kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan

konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang menunjukkan

29

Page 30: Laporan Kasus 2 KAD

keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian, kalium penggantian harus

dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi

kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot

pernapasan.6

Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang

sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan

penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum.5,6

BIKARBONAT

Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi. Pada pH >

7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa penambahan

bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau

perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita

KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1.5

Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada KAD

dengan pH < 6.9. Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi

sangat bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat.

Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.

Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh karena

itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas dan harus

dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH

mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu.4,5,6

FOSFAT

Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat

berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal

membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD.4,5

30

Page 31: Laporan Kasus 2 KAD

Pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa

adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot

dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia, penggantian fosfat kadang- kadang

diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan

pada mereka dengan konsentrasi fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 20–30 mEq/l

kalium fosfat dapat ditambahkan ke larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan

fosfat dalam SSH.4,5

Penangan KAD 13

KOMPLIKASI

Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/SHH dan komplikasi

akibat pengobatan:

Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan dengan

pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin dan

terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin

31

Page 32: Laporan Kasus 2 KAD

intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan. Biasanya,

pasien yang sembuh dari KAD menjadi hyperkhloremi disebabkan oleh penggunaan larutan

saline berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion

gap yang sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang hilang

dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia ini

adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau

oliguria yang ekstrim.9

Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi KAD

yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA. Umumnya terjadi pada anak-

anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang telah

diketahui DM dan pada orang-orang umur duapuluhan.5,8

Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada SHH. Secara

klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit

kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinensia,

perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi

herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak

ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku , angka

kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 7–14% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang

permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh

perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas

dengan cepat pada terapi KAD atau SHH.9

Kurangnya informasi yang berhubungan dengan angka morbiditas edema cerebral

pada pasien orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien orang dewasa

lebih secara klinis, daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi

resiko edema cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian defisit air

32

Page 33: Laporan Kasus 2 KAD

dan natrium berangsur- angsur dengan perlahan pada pasien yang hyperosmolar (maksimal

pengurangan osmolaritas 3 mOsm. dan penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat

glukosa darah mencapai 250 mg/dl. Pada SHH, kadar glukosa darah harus dipertahankan

antara 250-300 mg/dl sampai keadaan hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien

menjadi stabil.8

Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat terapi KAD.

Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik koloid yang

mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan compliance paru-paru.

Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen alveolo- arteriolar yng lebar

pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan

fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru.8

Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada KAD

maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase dan lipase

terjadi pada 16 – 25% kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih

dari 3 kali nilai normal tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian,

pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 – 15% kasus KAD.9

Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan hipertonisitas

merupakan komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada keadaan ini risiko untuk

terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin diperlukan dekompresi dengan

naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun asam lambung sebagai tindakan

profilaksis.5

PENCEGAHAN

33

Page 34: Laporan Kasus 2 KAD

Banyak kasus KAD dapat dicegah dengan perawatan medik yang baik, edukasi yang

sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama belum timbulnya penyakit. Sick-

day management harus mendapat perhatian. Hal ini meliputi informasi spesifik pada

1. kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan

2. target glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit

3. mengobati demam dan infeksi

4. inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung karbohidrat dan

garam. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan untuk tidak pernah

menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat mulai sakit .

Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan anggota

keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti mengukur dan

mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika glukosa darah > 300

mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan berat

badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff atau keluarga dapat

mencegah terjadinya SHH dalam kaitan dengan keadaan dehidrasi pada individu tua yang

tidak mampu untuk mengenali atau menghindari kondisi ini. Edukasi yang baik harus

diberikan sehingga pasien mengenai tanda dan gejala new- onset diabetes; kondisi-kondisi,

prosedur, dan obat-obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring

glukosa dapat mengurangi kejadian dan beratnya SHH.6,5

34

Page 35: Laporan Kasus 2 KAD

DAFTAR PUSTAKA

1. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi

Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam

FKUI; 2006; hal. 1920

2. Murray, Robert K. Harpers biochemistry, Ed. 25, Appleton and Lange, 2000:603-609.

3. Allan Graw, et.al, Clinical Biochemistry, Churchill Livingstone, Toronto, 1999; 56-63.

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam jilid III. –Ed. IV, cet. ke-2- dkk. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007.

5. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and the

hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th ed.

Kahn CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738–770

6. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med

Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.

7. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American Diabetes

Association. Diabetes Care vol27 supplement1 2004, S94-S102.

8. Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA : Diabetic ketoacidosis. In Diabetes

Mellitus :Theory and practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam,

Elsevier,1997, 827-844.

9. Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis.

Diabetes Care 13: 22-23, 1990 .

10. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit

dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai

penerbit FKUI, 2006; 1857.

11. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia

2011. Jakarta : PERKENI, 2011.

12. Diabetic ketoacidosis and hyperosmolar hyperglycemic state in adults: Clinical features,

evaluation, and diagnosis.Abbas E Kitabchi, PhD, MD,

FACP,.http://www.uptodate.com/contents/diabetic-ketoacidosis-and-hyperosmolar-

hyperglycemic-state-in-adults-clinical-features-evaluation-and-diagnosis. Jan 2015. | this

topic last update: Jul 02, 2014.

13. Dyanne western, Diabetic Ketoacidosis;Evaluation and Treatment. Cooper Medical School of

Rowan University, Camden, New JerseyAmFamPhysician. 2013 Mar 1;87(5):337-

346.http://www.aafp.org/afp/2013/0301/p337.html. sited, 20 februari 2015.

14. Dr Adrian Scott, Sheffield Teaching Hospitals NHS Foundation Trust Anne Claydon, Barts

Health NHS Trust . The management of the hyperosmolar hyperglycaemic state (HHS) in

35

Page 36: Laporan Kasus 2 KAD

adults with diabetes, Joint British Diabetes Societies Inpatient Care Group. August 2012

http://www.diabetologists-abcd.org.uk/JBDS/JBDS_IP_HHS_Adults.pdf, sited; 20 februari

2015.

15. Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, et al. Intensive insulin therapy in critically ill

patients. N Engl J Med 345: 1359-1367, 2001.

16. 1. Hyperglycaemic crises and lactic acidosis in diabetes mellitus. English, P and Williams, G.

Liverpool : s.n., October 2003, Postgrad Med, Vol. 80, pp. 253-261.

17. 2. Hyperglycemic Crises in Diabetes. Kitabchi, AE, et al. Suplement 1, January 1, 2004,

Diabetes Care, Vol. 27, pp. S94-S102.

18. 3. Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes. Kitabchi, AE, et al. 1,

January 1, 2001, Vol. 24, pp. 131-153.

19. 4. Centers for Disease Control, Division of Diabetes Translations. Diabetes Surveillance

2001. Centers for Disease Control Website. [Online] January 18,2005. [Cited: May 22, 2009.]

http://www.cdc.gov/diabetes/statistics/.

20. 5. Diabetic ketoacidosis in type 1 and type 2 diabetes mellitus: Clinical and biochemical

differences. Newton, Christopher A and Raskin, Phillip. September 27, 2004, Archive of

Internal Medicine, Vol. 164, pp. 1925-1931.

36