laporan diskusi tutorial 7.3

17
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang lain (Baratawidjaja, 2006). Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi penggan pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat t sudah terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dala kualitas hidup (Susalit, 2007). Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 3: Pak Eko datang ke rumah Pak Andi, mengabarkan bahwa istri Pak Ek dirawat di Rumah Sakit karena gagal ginjal, dan sedang membutuhkan transfusi d karena kadar hemoglobinnya terusmenurun. Pak Andi pernah membaca, bahwa beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi, seperti hepatitis bahkan HIV/AIDS. Dokter berharap istri Pak Eko bisa menjalani operasi ginjal. Tapi tidak mudah untuk mendapatkan organ donor, karena jika tidak coco ditolak oleh tubuh penerima. Daya imun istri Pak Eko terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, yang ketat, maupun terapi yang harus diterimanya. Ada anak tetangga Pak Andi imunisasinya tidak berhasil akibat dikatakan daya imun anak tersebut lemah. Pa meminta Pak Andi untuk mendonorkan darahnya, tetapi Pak Andi ragu-ragu karena pernah terjadi saudaranya saat mendapatkan transfusi tiba-tiba gatal dan sesa Ada juga kasus ibu guru di sekolah Pak Andi yang pernah mengalami keguguran y oleh dokter dikatakan karena darah janin dan ibunya tidak cocok. B. RUMUSAN MASALAH 1. Gagal ginjal perlu transfusi darah karena kadar Hb terus menurun. 2. Jenis produk darah yang ditransfusikan pada pasien gagal ginjal. 3. Mekanisme penurunan Hb akibat gagal ginjal. 4. Beberapa penyakit bisa ditularkan melalui transfusi. 5. Prosedur transfusi darah. 6. Mekanisme penularan penyakit melalui transfusi. 7. Operasi cangkok ginjal apabila organ donornya tidak cocok akan ditolak ole penerima.

Upload: nisaul-amalia-rahmawati

Post on 22-Jul-2015

142 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu orang ke orang lain (Baratawidjaja, 2006). Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup (Susalit, 2007). Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 3: Pak Eko datang ke rumah Pak Andi, mengabarkan bahwa istri Pak Eko sedang dirawat di Rumah Sakit karena gagal ginjal, dan sedang membutuhkan transfusi darah karena kadar hemoglobinnya terus menurun. Pak Andi pernah membaca, bahwa beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi, seperti hepatitis, malaria, sifilis, bahkan HIV/AIDS. Dokter berharap istri Pak Eko bisa menjalani operasi cangkok ginjal. Tapi tidak mudah untuk mendapatkan organ donor, karena jika tidak cocok, akan ditolak oleh tubuh penerima. Daya imun istri Pak Eko terus menurun, baik karena perkembangan penyakit, diet yang ketat, maupun terapi yang harus diterimanya. Ada anak tetangga Pak Andi yang imunisasinya tidak berhasil akibat dikatakan daya imun anak tersebut lemah. Pak Eko meminta Pak Andi untuk mendonorkan darahnya, tetapi Pak Andi ragu-ragu karena dulu pernah terjadi saudaranya saat mendapatkan transfusi tiba-tiba gatal dan sesak nafas. Ada juga kasus ibu guru di sekolah Pak Andi yang pernah mengalami keguguran yang oleh dokter dikatakan karena darah janin dan ibunya tidak cocok.

B. RUMUSAN MASALAH 1. Gagal ginjal perlu transfusi darah karena kadar Hb terus menurun. 2. Jenis produk darah yang ditransfusikan pada pasien gagal ginjal. 3. Mekanisme penurunan Hb akibat gagal ginjal. 4. Beberapa penyakit bisa ditularkan melalui transfusi. 5. Prosedur transfusi darah. 6. Mekanisme penularan penyakit melalui transfusi. 7. Operasi cangkok ginjal apabila organ donornya tidak cocok akan ditolak oleh tubuh penerima.

8. Prosedur transplantasi organ. 9. Tinjauan aspek bioetika dan humaniora transplantasi organ. 10. Mekanisme penolakan pada transplantasi organ. 11. Daya imun terus menurun karena perkembangan penyakit, diet yang ketat, dan terapi. 12. Faktor penyebab imunodefisiensi. 13. Mekanisme penurunan daya imun akibat perkembangan penyakit, diet yang ketat, dan terapi. 14. Imunisasi anak tidak berhasil karena daya imun anak yang lemah. 15. Mekanisme kegagalan imunisasi akibat imunodefisiensi. 16. Akibat mendapatkan transfusi timbul gatal-gatal dan sesak nafas. 17. Reaksi dan komplikasi dari transfusi dan transplantasi. 18. Mekanisme reaksi dan komplikasi transfusi. 19. Keguguran terjadi akibat darah janin dan ibunya tidak cocok. 20. Mekanisme abortus akibat ketidakcocokan rhesus.

C. TUJUAN PENULISAN 1. Menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ. 2. Menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan imunodefisiensi). 3. Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal transplantasi.

D. MANFAAT PENULISAN 1. Mahasiswa mampu menjelaskan imunohematologi dan transplantasi organ. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan gangguan sistem imun (hipersensitivitas dan imunodefisiensi). 3. Menjelaskan aspek etik dan hukum/legal tranplantasi.

E. HIPOTESIS Transplantasi organ akan mencapai angka keberhasilan yang semakin tinggi apabila hubungan kekerabatan antara donor dengan resipien semakin dekat.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), dimana LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) masih normal. Kemudian perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Sampai pada LFG 60%, masih dalam tahap asimtomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jika LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada stadium ini sudah dapat dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2007). Pasien dengan gagal ginjal kronis berat hampir selalu mengalami anemia. Penyebab terpenting dari hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal, yang merangsang sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu memproduksi eritropoietin dalam jumlah cukup, sehingga mengakibatkan penurunan produksi eritrosit dan menimbulkan anemia (Guyton dan Hall, 2007).

B. Immunohematologi dan Transfusi Di dalam tubuh seseorang terdapat antibodi alamiah atau antibodi yang timbul akibat sensitasi transfusi atau kehamilan. Antibodi alamiah terdapat dalam tubuh meskipun belum pernah tersensitasi sebelumnya. Antibodi alamiah yang terpenting ialah anti-A dan anti-B. Antibodi alamiah pada umumnya adalah IgM, bereaksi optimal pada suhu 4C karena tergolong cold antibody. Antibodi imun adalah antibodi yang timbul setelah 3

sensitasi akibat transfusi atau transplasenta saat kehamilan. Pada umumnya terdiri dari atas IgG dan bereaksi optimal pada suhu 37C (warm antibody). Antibodi imun yang terpenting Rh antibody, anti-D. Sistem ABO diatur oleh tiga gen: A, B, O. Gen A dan B juga mengontrol sintesis enzim spesifik untuk menambahkan satu residu karbohidrat pada ujungnya, yang dikenal sebagai H substance. Gen O bersifat amorf dan tidak mentransformasi H substance. Harusnya terdapat 6 fenotipe, tetapi karena anti-O tidak ada sehingga tidak dikenal serologic, maka hanya ada 4 fenotipe. Grup A dibagi menjadi 2 subgrup: A1 dan A2. A2 bereaksi lebih lemah dibandingkan dengan A1, penderita dengan A2B dapat dikelirukan secara serologic sehingga dianggap golongan B. Keempat fenotip golongan darah sistem ABO, sebagai berikut: Fenotipe O A B AB Genotipe OO AA, AO BB, BO AB Antigen O A B AB Antibodi Anti-A, anti-B Anti-B Anti-A Tidak ada

Sistem

Rhesus

merupakan

suatu sistem yang aspek genetika,

sangat kompleks. nomenklatur

Masih maupun

banyak perdebatan interaksi antigeniknya.

baik mengenai

Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang

tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak

seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem

Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu eksposure apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Dengan

pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama.

4

Transfusi darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat kepada orang yang sakit. Macam- macam transfusi darah : 1. Darah lengkap (whole blood) : pada penderita yang mengalami perdarahan akif yang kehilangn darah > 25%. 2. Darah komponen : a. Sel darah merah Sel darah merah pekat : pada kasus kehilangan darah yang tidak terlalu bert, transfusi darah pra operatif atau anemia kronik yang volume plasmanya normal. Sel darah merah pekat cuci : untuk penderita lergi terhadap protein plasma. Sel darah merah pekat beku yang di cuci : untuk penderita yang mempunyai antibodi terhadap sel darah merah yang menetap. Sel darah merah diradiasi : untuk penderita transplan organ atau sumsum tulang. b. Leukosit atau granulosit konsentrat : untuk penderita yang jumlah leukositnya turun berat, infeksi yang tidak membaik atau berat yang tidak sembuh dengan pemberian antibiotik, kualitas leukosit menurun. c. Trombosit untuk penderita yang mengalami gangguan jumlah atau fungsi trombosit. d. Plasma dan produksi plasma untuk mengganti faktor pembekuan, penggantian cairan yang hilang. Contoh : plasma segar beku untuk hemofili, krio presipitat untuk hemofili & VWF. Calon donor harus mendapat informed consent serta penjelasan mengenai risiko transfusi. Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi: penetapan golongan darah berdasarkan ABO dan Rhesus, uji antibodi (dilakukan pada donor yang pernah mendapat transfusi atau hamil), dan uji terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis, dan tes antibodi HIV. Uji cocok silang (crossmatch) terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan pratransfusi untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk pasien serta mendeteksi antibodi ireguler dalam serum pasien. Terdapat 2 jenis uji cocok silang. Major Crossmatch Test menguji reaksi antara eritrosit donor dengan serum resipien, sedangkan Minor Crossmatch Test menguji reaksi antara serum donor dengan eristrosit

5

resipien. Crossmatch mayor dilakukan pada tes pratransfusi, sedangkan minor dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah. Reaksi transfusi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% pasien yang menjalani transfusi. Demam. Dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen. Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji pencocokan leukosit antara donor dan resipien. Reaksi Alergi. Renjatan anafilaktik timbul pada 1 dari 20.000 transfusi. Reaksi alergi ringan yang menyerupai urtikaria timbul pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada plasma resipien. Reaksi hemolitik. Terjadi akibat destruksi eritrosit akibat inkompatibilitas darah. Reaksi hemolitik juga dapat terjadi karena transfusi eritrosit yang rusak, injeksi air ke dalam sirkulasi, transfusi darah yang lisis, pemanasan berlebihan, darah beku, darah yang terinfeksi, transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau janin tersebut, sehingga antibodi menyerang dan merusak eritrosit. Penularan penyakit. Virus, seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C serta bakteri dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan sepsis setelah transfusi. Kontaminasi. Risiko terjadinya kontaminasi berhubungan langsung dengan lamanya penyimpanan. Cedera paru akut (TRALI). Berupa manifestasi hipoksemia akut dan cedera pulmoner bilateral yang terjadi 6 jam setelah transfusi. Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea, takipnea, demam, takikardi, hipo-/hipertensi, dan leukemia akut sementara. Mekanisme yang mungkin menjadi penyebab salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru (Djoerban, 2007).

6

C. Imunodefisiensi Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang lebih sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir. Penyakit defisiensi imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan fagosit. Defisiensi imun juga dapat dibagi menjadi defisiensi imun nonspesifik (defisiensi komplemen, interferon dan lisozim, sel NK, dan sistem fagosit) dan defisiensi imun spesifik (defisiensi kongenital atau primer, defisiensi imun spesifik fisiologik, dan defisiensi imun didapat atau sekunder). Defisiensi komplemen dan interferon serta lisozim didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Sedangkan defisiensi sel NK didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi. Defisiensi sistem fagosit ditekankan terhadap sel PMN, yang dapat berupa defisiensi kuantitatif dan kualitatif. Defisiensi kuantitatif berupa neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau peningkatan destruksi. Defisiensi kuantitatif adalah berupa penurunan fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan, dan membunuh mikroba intraseluler. Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat berupa kehamilan, usia tahun pertama, dan usia lanjut. Sedangkan defisiensi imun didapat atau sekunder merupakan defisiensi sekunder yang paling sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit akibat infeksi, malnutrisi, terapi sitotoksik, dan lainnya. (tabel selengkapnya dilampirkan) Malnutrisi. Malnutrisi dan defisiensi besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama pada imunitas seluler. Nutrisi buruk untuk jangka waktu lama dapat menghilangkan sel lemak yang biasanya melepas hormone leptin yang merangsang sistem imun. Infeksi. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat sitotoksik dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Sedangkan steroid dalam dosis tinggi dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi. Penyinaran. Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.

7

Kehilangan immunoglobulin. Defisiensi Ig dapat terjadi akibat kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM normal. (Baratawidjaja, 2006).

D. Transplantasi Organ Transplantasi adalah memindahkan alat atau jaringan tubuh dari satu tubuh ke orang lain. Hal tersebut merupakan tindakan pilihan bila suatu alat atau jaringan tubuh vital yang rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi akibat proses penyakit. Istilah dalam transplantasi : 1. Autograft : memakai jaringan sendiri, misalnya kulit sehat untuk menggantikan kulit dengan luka bakar atau pembuluh darah yang sehat untuk menggantikan arteri koroner yang tersumbat. 2. Isograft : transfer jaringan antara individu yang genetik identik, misalnya antara kembar monozigot (genetic identik). 3. Allograft/allogeneic/homograft : donor dan resipien dari spesies yang sama tapi genetik tidak identik. 4. Xenograft/ xenogeneic/heterograft : berbeda. Organ-organ yang dapat di transplantasi : 1. Kulit 2. Ginjal 3. Jantung 4. Kornea 5. Hati 6. Testis 7. Sumsum tulang 8. Sel punca Tubuh kita memiliki mekanisme untuk mengenali molekul-molekul asing (non-self) agar dapat dibedakan dari molekul self. Instrumen yang dapat membedakan itu adalah reseptor yang dikhususkan untuk mengenal spesifisitas. Hanya molekul yang memilki epitop akan dikenal sel sitem imun. Sel B mengenal epitop pada molekul utuh, sedang sel T mengenal epitop pada fragmen antigen (peptida) yang diikat oleh molekul pada permukaan APC yang disebut MHC. 8 donor dan resipien dari spesies yang

Regulasi Ekspresi dan Kontrol Genetik. Regulasi ekspresi MHC disandi oleh gen yang terletak di regio yang luas di kromosom 6. Kelompok gen tersebut dikenal sebagai lokus awal yang menentukan ekspresi molekul-molekul permukaan sel tubuh. Bila dua individu mempunyaim lokus yang berbeda pada transplantasi, yang satu akan menolak jaringan tandur individu lain. Molekul regulasi diatur secara transkripsional melalui elemen positif dan negatif. Aktifator transkripsi MHC-II berikatan dengan regio promotor darigen MHC II. Defek faktor transkripsi ini dapat menimbulkan bare lymphosite syndrome. Ekspresi MHC juga diatur oleh berbagai sitokin. IFN-, TNF- dan TNF- meningkatkan ekspresi MHC-I. Ekspresi MHC-II sel B ditekan oleh IFN-, kortikosteroid, dan PG. Ekspresi MHC-I pada permukaan sel ditekan oleh infeksi virus tertentu. Dalam beberapa hal penurunan ekspresi MHC-I lebih disebabkan oleh kurangnya kadar komponen yang diperlukan untuk transpor peptida/ MHC I dibanding oleh faktor transkripsi. Molekul MHC-I diekspresikan pada semua permukaan sel dengan nukleus, sedang MHC-II diekspresikan terutama pada permukaan sel khusus seperti sel APC, sel dendritik, makrofag, sel B, sel endotel dan sel epitel timus. Histokompatibilitas dan Histoinkompatibilitas a. Histokompatibel b. Histoinkompatibel : Jaringan dengan sifat antigenik sama : Jaringan yang menunjukkan perbedaan sifat antigenik yang bermakna Agen Histokompatibel Mayor adalah banyak lokus gen yang dapat menolak tandur, tapi yang terpenting adalah gen MHC. Agen Histokompatibel Minor biasanya lebih lemah dibanding antigen MHC dan diduga merupakan antigen yang dijadikan sasaran pada penolakan dengan awitan lambat. Contohnya antara lain golongan non ABO dan antigen yang berhubungan dengan kromosom seks. Agen Histokompatibel non MHC tidak banyak deketahui kecuali bahwa hal itu meliputi molekul yang disandi oleh sejumlah besar gen yang tersebar di antara kromosom (termasuk X dan Y).Prinsipnya setiap fragmen peptida yang dibawa ke permukaan sel dan dipresentasikan atau ke MHC 1 atau MHC 2 dapat berperan sebagai antigen histokompatibel. Agen yang demikian dapat berasal dari protein sitolitik atau dari debris sel yang telah dimakan atau dirusak fagosit. Yang penting adalah bahwa molekul disandi dalam sel donor dan tidak berasal dari bahan infeksi. Jaringan Khusus : 9

a. Jaringan yang sedikit mengekspresikan MHC Beberapa jaringan tandur alogenik seperti hati, hanya menimbulkan reaksi lemah. Hal tersebut disebabkan karena jaringan hati hanya sedikit mengekspresikan molekul MHC. b. Sequenstered antigen Kornea dan lensa mata tidak memperoleh pasokan aliran limfe sehingga tidak terjadi proses pengenalan dan penolakan. Contoh sequenstered antigen lainnya adalah testis dan selaput otak. Sebelum transplantasi organ dilakukan, beberapa aspek yang perlu ditinjau adalah aspek etik, hukum, dan agama (Etikomedikolegal transplantasi). Menurut segi hukum, tranplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai tindakan mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini tindakan ini melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alasan pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan (Hanafiah dan Amir, 1999). Menurut segi etik, transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Tindakan ini wajib dilakukan apabila ada indikasi, berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI yaitu pasal 2, pasal 7D, dan pasal 11 (Hanafiah dan Amir, 1999). Dari segi agama (Islam), transplantasi organ diperbolehkan, selama tidak membahayakan donor dan tidak ada tujuan komersialisasi (jual-beli organ) (Anonim, 2009). Permasalahan yang timbul dalam transplantasi adalah penolakan alat atau jaringan tubuh donor oleh resipien. Penolakan dibagi menjadi 2: 1. Penolakan pertama dan kedua Sel Th dan Tc resipien mengenal antigen MHC alogenik, sehingga memacu imunitas humoral dan membunuh sel sasaran. Makrofag juga dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh limfokin yang dihasilkan oleh Th. 2. Penolakan hiperakut, akut, dan kronik a. Penolakan hiperakut: tejadi dalam beberapa menit sampai jam setelah transplantasi. Disebabkan oleh destruksi oleh antibodi yang sudah ada pada resipien akibat transplantasi/transfusi darah atau kehamilan 10

sebelumnya. Antibodi mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edem dan perdarahan interstitial dalam jaringan tandur sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan. b. Penolakan akut: pada resipien yang sebelumnya tidak disensitasi terhadap tandur. Terjadi sesudah beberapa minggu sampai bulan setelah tandur tidak berfungsi sama sekali dalam waktu 5-21 hari. c. Penolakan kronik: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan setelah berfungsi normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen tandur karena timbulnya intoleransi terhadap sel T, terkadang juga diakibatkan sesudah pemberian imunosupresan dihentikan. (Baratawidjaja, 2006). Ada pula penyakit Graft versus Host dapat timbul dari 2 sumber dalam sumsum tulang yang ditransplantasikan: sel punca dan sel T matang yang ada dalam sumsum tulang. Penyakit Graft versus Host ialah keadaan yang terjadi bila sel yang imunokompeten asal donor (pada transplantasi sumsum tulang) ditransfusikan kepada resipien dengan supresi sistem imun atau bila transfuse darah segar diberikan kepada anak atau neonates yang imunokompromais yang menimbulkan reaksi seluler (CMI) di berbagai tempat. Sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan tandur dan dapat bermigrasi keluar dari tandur dan masuk ke dalam sistem limfoid resipien disebut sel passenger. Tanda dari respon GvH adalah pembesaran getah bening, limpa, hati, diare, kemerahan di kulit, rambut rontok, BB turun dan akhirnya meninggal. Kematian diduga terjadi karena destruksi sel pejamu dan jaringan akibat respons CMI yang berlebihan terhadap banyak sel sasaran pada pejamu yang memiliki antigen MHC-I. Respons GvH ini lebih mudah terjadi bila sebelum transplantasi atau transfuse tidak diusahakan untuk menyingkirkan semua sel T matang yang imunokompeten. Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan perioperatif, serta faktor pasca-operatif. Faktor terkait donor. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor jenazah. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara bertahap (tabel dilampirkan). Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi, dipastikan bahwa donor ikhlas, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani

11

operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal dengan satu ginjal setelah melakukan donasi, dan donor tidak boleh mengidap penyakit ginjal. Faktor terkait resipien. Harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah mengalami gagal ginjal tahap akhir. Risiko dan tingkat keberhasilan transplantasi juga dipengaruhi berbagai faktor tertentu, seperti usia dan kondisi umum resipien. Faktor imunologi. Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang berperan adalah kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen). Golongan darah ABO donor dan resipien harus sama agar tidak terjadi rejeksi vaskuler. Sedangkan ginjal transplan direjeksi terutama karena adanya protein pada membran sel yang dikode oleh MHC (Major Histocompatibility Complex). MHC menempati lengan pendek kromosom 6. Dengan obat imunosupresan, dilaporkan ketahanan hidup 1 tahun dari saudara dengan HLA identik 90-95%, saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 60-70% (Susalit, 2007).

12

BAB III PEMBAHASAN

Pada keadaan gagal ginjal, produksi eritropoietin, yaitu hormon yang merangsang eritropoiesis menurun, sehingga terjadi penurunan kadar Hb, akibatnya terjadi keadaan anemia. Jenis produk darah yang ditransfusikan kepada pasien gagal ginjal, seperti pada pasien dengan anemia lainnya adalah Packed Red Blood Cell (P-RBC). Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi darah, karena virus dan bakteri dapat mengkontaminasi eritrosit dan trombosit. Eritrosit dan trombosit berpatogen ini juga akan menyebabkan timbulnya penyakit pada tempat dimana ia ditransfusikan. Sebelum pelaksanaan transfusi darah, terlebih dahulu dicek keadaan donor, mulai dari keadaan umum, skrining darah untuk memastikan bebas dari penyakit menular, dan tes uji silang untuk mencocokkan darah donor dengan resipien. Sementara pasien harus termasuk dalam indikasi transfusi. Tranplantasi organ menurut kaidah bioetika dan humaniora boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan indikasi, sebagai jalan terakhir, ada persetujuan, dan agama Islam mensyaratkan bahwa organ tidak boleh diperjual-belikan. Reaksi penolakan pada transplantasi diperankan oleh sel Th yang kemudian merangsang sel Tc dan mekanisme imunitas humoral (antibodi), yang kemudian bekerja dengan tujuan destruksi sel sasaran. Selain itu makrofag sebagai imunitas nonspesifik juga berperan dalam proses destruksi. Sel imun resipien bekerja menolak antigen donor, sebaliknya, sel imun donor juga menolak antigen resipien. Pada intinya, penolakan terjadi dari dua belah pihak, baik resipien maupun donor. Mekanisme Penolakan Transplantasi Organ Golongan darah dan molekul MHC diantara berbagai individu berbeda. Reaksi penolakan dapat dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga sebagai donor, tissue typing, dan obat imunosupresi. Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal antigen MHC alogenik dan memicu imunitas humoral (antibodi). Sel CTL/Tc juga mengenal antigen MHC alogenik dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain juga bahwa makrofag dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut sesuai dengan reaksi tipe IV dari Gell dan Coombs/DTH. Urutan kejadian yang dapat terjadi selama penolakan tandur adalah: 1) dilakukan transplantasi; 2) sel dendritik atau makrofag yang ada di dalam tandur (passenger leucocytes) 13

meninggalkan tandur dan merangsang sel T resipien dengan segera; 3) sel T resipien diaktifkan dan membunuh sel donor dalam tandur; dan 4) sel donor yang dibunuh melepas antigen donor, yang dapat dimakan fagosit resipien yang kemudian mempresentasikannya ke sel T resipien melalui molekul MHC II (Baratawidjaja, 2006). Faktor penyebab imunodefisiensi secara umum adalah kelainan genetika dan defek kromosom yang menyebabkan imunodefisiensi primer, berbagai keadaan tertentu seperti kehamilan, usia lanjut, dan usia tahun pertama yang mengakibatkan imunodefisiensi fisiologis, dan malnutrisi, infeksi, obat-obatan, dan penyinaran, yang mengakibatkan imunodefisiensi sekunder/didapat. Mekanisme imunodefisiensi pada pasien dalam kasus akibat perkembangan penyakit terjadi sebagai konsekuensi dari gagal ginjal itu sendiri. Gangguan filtrasi menyebabkan terbuangnya protein, yang dibutuhkan sebagai bahan untuk membuat antibodi. Ketiadaan bahan ini menyebabkan defisiensi antibodi, yang menyebabkan pertahanan melemah. Diet pada pasien gagal ginjal juga merupakan salah satu faktor penyebab imunodefisiensi, karena pasien yang gagal ginjal biasanya diberikan diet rendah protein agar kerja filtrasi ginjal tidak terlalu berat. Padahal, protein dibutuhkan untuk pembentukan antibodi. Konsekuensi dari defisiensi protein adalah defisiensi antibodi, sehingga terjadi imunodefisiensi. Sedangkan efek terapi juga dapat menimbulkan imunodefisiensi. Hal ini timbul akibat pemakaian obat-obatan untuk terapi gagal ginjal yang mempunyai sifat imunonosupresif, misalnya kortikosteroid. Mekanisme imunosupresan sendiri antara lain menghambat respon imun primer, seperti pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, dan proliferasi dan diferensiasi sel imun. Karena itu, pada pasien transplantasi organ, untuk meminimalisir reaksi penolakan, digunakan obat-obatan imunosupresan. Kegagalan imunisasi dapat terjadi akibat imunodefisiensi. Imunisasi berdasar pada mekanisme latihan terhadap antigen yang masuk. Apabila pada saat latihan saja sistem imun telah mengalami defisiensi, sangat mungkin sekali pada saat infeksi antigen yang sebenarnya (virus atau bakteri yang sebenarnya dan tidak dilemahkan atau dimatikan) sistem imun tidak dapat menghadapi antigen tersebut dengan baik. Reaksi dan komplikasi dari transfusi dapat berupa reaksi hemolitik, reaksi panas atau demam, dan reaksi alergi. Pada pasien, reaksi yang berupa gatal-gatal dan sesak nafas adalah mekanisme alergi yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu reaksi anafilaksis dengan perantara IgE. Gatal adalah efek penekanan saraf oleh histamin, sedangkan pada bronkus, histamin menyebabkan bronkokonstriksi sehingga timbul gejala sesak nafas.

14

Kemungkinan penyebab terjadinya abortus yang terjadi pada ibu guru di sekolah Pak Andi adalah janin merupakan kehamilan kedua, dan anak pertama yang lahir mempunyai rhesus (+). Sementara jika ibu mempunyai rhesus (-), maka ibu akan membentuk antibodi terhadap eritrosit Rh (+), sehingga pada kehamilan berikutnya ibu telah mempunyai antibodi Rh(+) yang meningkat. Hal ini kemudian menyebabkan eritroblastosis fetalis, yaitu janin mengalami hemolisis. Karena itu, janin mengalami abortus di dalam uterus.

15

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN 1. Transplantasi organ dapat menimbulkan penolakan, kecuali apabila molekul MHC antara donor dan resipien identik. Semakin mirip molekul MHC antara donor dan resipien, maka risiko terjadinya penolakan semakin kecil. 2. Imunodefisiensi mempunyai tiga penyebab: kongenital (biasanya akibat faktor genetik), fisiologik, dan didapat (biasanya akibat pengaruh dari luar).

B. SARAN 1. Sebaiknya segera dilakukan tindakan pertolongan bagi istri Pak Eko (transfusi). 2. Sebaiknya dilakukan transplantasi ginjal setelah menemukan organ donor yang cocok. Jika belum menemukan maka sementara dapat dilakukan hemodialisis.

16

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. KH Maruf Amin: Jual Beli Organ Haram Hukumnya. Diakses darihttp://forum35.wordpress.com/2007/10/08/kh-maruf-amin-ketua-fatwa-mui-jualbeli-organ-haram-hukumnya/ Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Djoerban, Zubairi. 2007. Dasar-Dasar Transfusi Darah dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC. Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Suwitra, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

17