laporan coklat cahya prana
DESCRIPTION
laporan tentang praktikum coklatTRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao) merupakan salah satu komoditas andalan
perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional,
khususnya menyediakan lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara.
Selain itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan
pengembangan agroindustri (Maswadi, 2011).
Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang
berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010 Indonesia
menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.630 ton,
dibawah negara Pantai Gading dengan produksi 1,38 juta ton. Volume ekspor
kakao Indonesia tahun 2009 sebesar 535.240 ton dengan nilai Rp. 1.413.535.000
dan volume impor sebesar 46.356 ton senilai 119,32 ribu US$ (Ditjenbun1, 2010).
Selain berperan cukup penting bagi perekonomian nasional, kakao juga
berperan dalam menyediakan lapangan pekerjaan, sebagai sumber pendapatan dan
devisa negara, serta mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan
agroindustri. Salah satu produk olahan kakao adalah cokelat.
Cokelat adalah sebutan untuk hasil olahan makanan atau minuman dari biji
kakao (Theobroma cacao). Cokelat pertama kali dikonsumsi oleh penduduk
Mesoamerika kuno sebagai minuman, walaupun dipercaya bahwa dahulu cokelat
hanya bisa dikonsumsi oleh para bangsawan. Coklat merupakan salah satu bahan
penyegar yang banyak dihasilkan di Indonesia, yang umumnya diproduksi dalam
tiga jenis, antara lain cocoa butter, cocoa liquor, dan cocoa powder. Salah satu
bahan utama pembuatan kue atau permen adalah cooking chocolate compound
atau sering disebut cooking chocolate atau coklat masak saja. Cooking chocolate
adalah coklat khusus untuk membuatn kue secara professional. Coklat ini dapat
dilelehkan dan mengeras kembali (Hartomo, 2012).
Cokelat umumnya diberikan sebagai hadiah atau bingkisan di hari raya.
Dengan bentuk, corak, dan rasa yang unik, cokelat sering digunakan sebagai
ungkapan terima kasih, simpati, atau perhatian bahkan sebagai pernyataan cinta.
Cokelat juga telah menjadi salah satu rasa yang paling populer di dunia. Selain
dikonsumsi paling umum dalam bentuk cokelat batangan, cokelat juga menjadi
bahan minuman hangat dan dingin.
Pembuatan produk coklat dari biji kakao membutuhkan proses yang cukup
lama. Proses tersebut antara lain yaitu pembersihan, penyangraian, pemisahan
kulit, pemastaan, dan pembuatan coklat yang meliputi tahap pencampuran,
conching, tempering dan pencetakan. Praktikum dilakukan untuk mengetahui
proses-proses pembuatan coklat dari biji kakao dan mengetahui sifat-sifat coklat
secara organoleptik.
1.2 Tujuan
Tujuan dari dilakukannya praktikum pembuatan coklat yaitu:
1. Mahasiswa dapat memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian.
2. Mahasiswa dapat mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji.
3. Mahasiswa dapat mengetahui ukuran partikel pasta hasil pemastaan
dibandingkan dengan pasta komersial.
4. Mahasiswa dapat mengetahui ukuran partikel adonan coklat selama pelembutan
dan mengetahui sifat coklat yang dihasilkan dengan suhu akhir tempering
berbeda.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kakao
Kakao merupakan tanaman tahunan yang mulai berbunga dan berbuah
umur 3-4 tahun setelah ditanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan
secara tepat, maka masa produksinya dapat bertahan lebih dari 25 tahun, selain itu
untuk keberhasilan budidaya kakao perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan
faktor bahan tanam. Penggunaan bahan tanam kakao yang tidak unggul
mengakibatkan pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang rendah,
oleh karena itu sebaiknya digunakan bahan tanam yang unggul dan bermutu
tinggi (Raharjo, 1999).
Biji kakao merupakan salah satu komoditi perdagangan yang mempunyai
peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar/meningkatkan
devisa negara serta penghasilan petani kakao. Produksi biji kakao di Indonesia
secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah dan
beragam, antara lain kurang terfermentasi, tidak cukup kering, ukuran biji tidak
seragam, kadar kulit tinggi, keasaman tinggi, cita rasa sangat beragam dan tidak
konsisten. Hal tersebut tercermin dari harga biji kakao Indonesia yang relatif
rendah dan dikenakan potongan harga dibandingkan harga produk sama dari
negara produsen lain (Haryadi dan Supriyanto, 2001).
Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku
Stercul iaceae yang diusahakan secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988)
klasifikasi tanaman ini sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
Menurut Sunanto (1992), jenis tanaman kakao yang terkenal ada tiga, yaitu:
1. Jenis Criollo, yang terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan Criollo Amerika
Selatan. Jenis ini menghasilkan biji kakao yang mutunya sangat baik dan
dikenal sebagai coklat mulia, fine dan flavour cocoa, choiced cocoa, edel
cocoa. Buahnya berwarna merah atau hijau, kulit buahnya tipis dan berbintil
bintil kasar dan lunak. Biji buahnya berbentuk bulat telur dan berukuran
besar dengan kotiledon berwarna putih pada waktu basah.
2. Jenis Forastero, menghasilkan biji coklat yang mutunya sedang (bulk cacao)
atau juga sebagai ordinary cocoa (lindak cacao). Buahnya berwarna hijau
dan kulitnya tebal. Biji buahnya tipis atau gepeng dan kotiledon berwarna
ungu pada waktu basah.
3. Jenis Trinitario, merupakan campuran atau hybrida dari jenis Criollo dengan
jenis Forastero secara alami, sehingga jenis ini menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cocoa dan ada yang termasuk bulk cocoa
Standar mutu biji kakao disusun sebagai pedoman pengolahan biji kakao
pada tingkat petani sebagai dasar penetapan harga pada tingkat petani/produsen
dan dapat menjamin serta memenuhi kepentingan produsen kalangan dagang
maupun industri pengguna.
Tabel 1. Standarisasi Nasional Biji Kakao (SNI 01-2333-2000)
No Karakteristik Mutu I Mutu II Mutu III
1. Jumlah biji/100g 80-85 86-100 >110
2. Kadar air, % (b/b) maks 7,5 7,5 7,5
3. Berjamur, % (b/b) maks 3 4 4
4. Tak terfermentasi, (b/b) maks
5. Berserangga, hampa, berkecambah,
% (b/b) maks
3 6 6
6. Biji pecah, % (b/b) maks 3 3 3
7. Benda asing, % (b/b) maks 0 0 0
8. Kemasan kg, netto/karung 62,5 62,5 62,5
Sumber : SNI 01-2333-2000
2.2 Definisi Cokelat
Istilah coklat pada awalnya muncul dari bahasa suku bangsa Aztec yang
waktu itu memberi nama minuman yang rasanya pahit dari produk tanaman
tersebut dengan nama xocolati artinya memang minuman pahit. Kakao sejak
waktu itu tidak hanya sebagai bahan membuat minuman dan makanan yang lezat
serta mewah saja, tetapi juga sebagai alat tukar atau alat pembayaran yang
mempunyai nilai tukar tinggi (Pudjogumarto, 2011).
Cokelat merupakan produk pangan hasil olahan derivat biji kakao yang
berasal dari tanaman kakao atau Theobroma cacao, L. Biji kakao mengandung
35-50% minyak/ lemak, 15% pati, 15% protein, 1-4% theobromin dan 0,07-0,36%
kafein. Kernel kakao mengandung 0,19-0,30% theobromin dan kulit arinya
mengandung sekitar 0,19-2,98% senyawa alkaloid. Biji kakao juga mengandung
0,05-0,36% senyawa kafein dan lemak kakao yang berasal dari nib kakao
sebanyak 45-53% (Sudibyo, 2012).
Kualitas gizi cokelat telah diakui oleh beberapa penulis dan beberapa
orang menyebutnya makanan lengkap. Penting bahan kimia yang ditemukan
dalam cokelat adalah sebagai berikut. Lemak terutama ditemukan di cokelat
adalah mentega kakao yang berisi pproximately 33% asam oleat (tak jenuh
tunggal), asam palmitat 25% (jenuh), dan asam stearat 33% (jenuh). Antioksidan
Cocoa mengandung konsentrasi yang besar dari flavonoid, epicatechin, catechin
dan procyanidins. Kakao memiliki tingkat maksimum flavonoid, lebih besar
daripada bahkan teh dan anggur. Cokelat mengandung jumlah yang jauh lebih
tinggi flavonoid daripada coklat susu. Senyawa nitrogen dari kakao termasuk
protein dan methylxanthines theobromine dan kafein. Mereka adalah stimulan
sistem saraf pusat, diuretik, dan Perelaksasi otot halus. Kakao massa juga
mengandung mineral kalium, fosfor, tembaga, besi, Seng dan magnesium, yang
memperkuat manfaat kesehatan dari cokelat. Cokelat juga mengandung valeric
asam yang berfungsi sebagai peredam tekanan meskipun kehadiran kafein
stimulan dan theobromine dalam cokelat (Latif, 2013).
2.3 Fungsi Bahan
2.3.1 Lemak Kakao
Lemak kakao dibuat dari biji kakao dengan beberapa tahap proses yaitu
fermentasi, perendaman, pengeringan, penggosengan, penghalusan dan
pengepresan (Shukla, 2003). Lemak kakao adalah formula yang termahal dan
terpenting dalam pembuatan penyalut pada industri permen coklat karena sekitar
29.5% bahan penyusunnya adalah lemak kakao (Minifie, 1989, Wang, et.al.,
2006).
Lemak kakao merupakan lemak nabati alami yang mempunyai sifat unik,
yaitu tetap cair pada suhu dibawah titik bekunya. Lemak kakao mempunyai warna
putih kekuningan dan mempunyai bau khas cokelat. Lemak ini mempunyai sifat
rapuh (brittle) pada suhu 25oC dan tidak larut dalam air, sedikit larut dalam
alkohol dingin, angka penyabunan 188-198, angka iod 35-40. Lemak kakao larut
sempurna dalam alkohol murni panas dan sangat mudah larut dalam kloroform,
benzene, dan petroleum eter (Mulato, 2002 dalam Nur, 2012).
Lemak kakao yang digunakan dalam pembuatan cokelat harus memiliki
ciri-ciri yakni akan mencair pada suhu 32oC-35oC, mempunyai tekstur yang keras
dan sedikit rapuh, serta warnanya tidak buram dan tetap cerah jika dicampur pada
bahan lain serta memadat pada suhu kamar. Retensi waktu untuk penyimpanan
juga harus disesuaikan dengan kondisi cokelat, karena jika tidak maka dapat
menyebabkan cokelat akan melekat pada cetakan, menghasilkan warna yang
buram serta menimbulkan blooming di permukaan cokelat. Dimana fungsi dari
lemak kakao pada pembuatan cokelat yakni untuk memadatkan (Ketaren, 1986).
Tabel 1. Sifat-sifat Lemak Kakao
Sifat- sifat Nilai Pengukuran
Bilangan Iod 33-42
Bilangan Penyabunan 188-198
Titik Leleh 32-350C
Asam miristat 0,1
Asam palmitat 25,4
Asam palmitoleat 0,2
Asam Stearat 33,2
Asam oleat 32,6
Asam Linoleat 2,8
Sumber : O’ Brien (2008)
2.3.2 Susu
Susu adalah cairan kolostrum bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh
kelenjar susu mamalia betina. Susu adalah sumber gizi utama bagi bayi sebelum
mereka dapat mencerna makanan padat. Susu binatang (biasanya sapi) juga diolah
menjadi berbagai produk seperti mentega, yoghurt, es krim, keju, susu kental
manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi manusia (Tokocsc, 2007).
Susu yang digunakan yaitu susu bubuk, susu bubuk adalah bubuk yang
dibuat dari susu kering yang solid. Susu bubuk mempunyai daya tahan yang lebih
lama daripada susu cair dan tidak perlu disimpan di lemari es karena kandungan
uap airnya sangat rendah. Susu bubuk banyak sekali ditemukan di negara-negara
berkembang karena biaya transportasi dan penyimpanannya sangat murah (karena
tidak membutuhkan pendingin). Susu bubuk dianggap tidak mudah rusak
dikarenakan sedikitnya kandungan air (bakteri sangat cepat berkembangbiak pada
makanan yang basah atau minuman). Susu bubuk dalam pembuatan cokelat
digunakan untuk memberikan aroma serta meningkatkan nilai gizi dari produk
selai cokelat yang dihasilkan (Tokocsc, 2007).
Protein yang terdapat pada susu menambahkan rasa creamy pada cokelat
dimana terdiri dari 80% kasein dan 20% whey protein. Kasein akan bertindak
sebagai surfaktan dan akan menurunkan viskositas sedangkan whey protein
bertindak sebaliknya akan menaikkan viskositas (Haylock & Dodds, 1999).
Protein tidak hanya menambah kandungan gizi dari cokelat, protein juga penting
dalam menentukan rasa, tekstur dan stabilitas (Beckett, 2008). Berdasarkan sifat
fisik, susu memiliki titik leleh 23-330C dan titik beku -55-0,610C dan fungsi
penambahan susu pada pembuatan cokelat adalah sebagai bahan untuk
memadatkan aroma dan mengurangi sedikit kepahitan pada coklat yang dihasilkan
(Bajeng, 2012).
2.3.3 Lesitin (Emulsifier)
Emulsi merupakan suatu campuran yang tidak stabil dari dua cairan yang
pada dasarnya tidak saling bercampur, pada umumnya untuk membuat kedua
cairan tersebut dapat bercampur diperlukan zat pengemulsi (emulsifying agent)
sehingga sediaan emulsi dapat stabil. Zat pengemulsi diantaranya adalah lesitin
(Ansel,1989).
Lesitin adalah phospolipid yang merupakan komponen essensial dari
membran sel dan pada prinsipnya terdapat pada berbagai varietas makhluk hidup.
Pada kenyataannya, lesitin banyak ditemukan dalam tanaman-tanaman seperti
kedelai, kacang tanah, biji kapas, bunga matahari, dan jagung. Lesitin banyak
digunakan dalam industri pangan sebagai zat pendispersi, pengemulsi dan
penstabil (stabilizing agent) (Wade, 1994). Lesitin (phospatidil kolin) dengan
komponen utamanya kolin, adalah zat gizi penting yang ditemukan secara luas
pada berbagai pangan dan tersedia sebagai suplemen. Kolin telah lama dikenal
sebagai zat gizi esensial bagi sejumlah spesies hewan dan akhir-akhir ini terbukti
esensial juga pada manusia (Swarbrick, 1995).
Lesitin mengandung sekitar 13 % kolin berdasar berat. Lesitin juga zwiter
ion, mempunyai muatan positif pada atom N kolin dan muatan negatif pada atom
O dari grup phospat. Lesitin dapat bersifat polar (bagian kolin) dan non polar
(bagian asam lemak) sehingga sangat efektif sebagai emulsifier (Swarbrick,
1995).
2.3.4 Pasta Kakao
Pasta kakao atau cocoa mass atau cocoa paste dibuat dari biji kakao kering
melalui beberapa tahapan proses sehingga biji kakao yang semula padat menjadi
bentuk cait atau semi cair. Pasta coklat dapat diproses lebih lanjut menjadi lemak
dan bubuk coklat yang merupakan bahan baku pembuatan produk makanan dan
minuman (Ruku, S., 2008). Dalam penggunaannya pasta coklat biasa diolah lebih
lanjut menjadi cocoa powder, cocoa butter, dan cocoa liqour sebagai bahan baku
dalam pembuatan produk turunan cokelat. Untuk menghasilkan produk coklat
tersebut karakteristik produk (chocolate manufature) secara fisik, kimia dan
sensoris sangat ditentukan oleh bahan dasar dan proses pengolahannya (Minifie,
1989).
Pecahan-pecahan inti biji hasil penyangraian didinginkan dan dilumatkan
(dihaluskan). Proses pelumatan dilakukan dua atau tiga tingkat, diawali dengan
menggunakan mesin pelumat tipe silinder atau pemasta kasar, kemudian diikuti
dengan pelumatan lanjut dengan silinder berputar sampai diperoleh pasta coklat
dengan kehalusan tertentu. Selama proses pelumatan, suhu pasta dikontrol
sedemikian rupa sehingga proses sangrai lanjut fase cair tidak berlangsung.
Setelah proses pelumatan selesai, pasta yang terbentuk disimpan dalam wadah
yang higienis (Ruku, S., 2008).
2.3.5 Soda Kue
Soda kue didefinisikan sebagai bahan pengembang yang dihasilkan
dari pencampuran senyawa-senyawa asam dan sodium bikarbonat dengan atau
tanpa penambahan pati atau tepung (Matz, 1972). Menurut Anton Rahmadi dalam
handbook Karakteristik Unik Lemak Coklat, teknik lain untuk menghasilkan
lemak coklat adalah dengan pemberian soda kue sebelum proses penyangraianj
dengan tujuan untuk menurunkan keasaman cokelat bubuk, sekaligus
mempermudah pemisahan coklat dari lemaknya. Teknik ini dikenal dengan istilah
Dutched Process. Coklat proses konvensional dapat digunakan dalam resep yang
menggunakan baking soda sebagai ragi yang hanya mengandalkan pada keasaman
kakao untuk mengaktifkannya (Romalawati, M., 2012)
2.3.6 Vanili
Aroma yang dihasilkan dari proses pengolahan coklat berasal dari
bubuk kakao dan bahan tambahan lainnya seperti bubuk vanili. Tanaman vanili
(Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu tanaman rempah yang bernilai
ekonomi cukup tinggi. Tanaman ini digunakan untuk bahan penyegar, penyedap
dan pengharum makanan, gula-gula, ice-cream, minuman, bahan obat-obatan
(Helmy, 2008).
Aroma vanili banyak digunakan dalam industri makanan/minuman,
farmasi dan kosmetika. Dalam industri makanan/minuman umumnya digunakan
dalam bentuk ekstrak, keperluan farmasi dalam bentuk tincture dan untuk parfum
dalam bentuk tinctuce atau absolut. Untuk konsumsi langsung dalam rumah
tangga umumnya dalam bentuk utuh atau bubuk. Penggunaannya langsung
dicampurkan kedalam bahan makanan atau minuman (Helmy, 2008).
2.3.7 Gula
Jumlah gula yang ditambahkan pada pembuatan cokelat pada umumnya
berkisar 27%. Gula yang digunakan adalah gula kering dengan kadar air yang
sangat rendah supaya permen cokelat tidak mudah meleleh. Pada pembuatan
cokelat diusahakan tidak ada air yang masuk walau hanya setetes. Gula yang
umum dijumpai memiliki kandungan air yang tinggi maka jika akan digunakan
untuk pembuatan cokelat maka akan cepat meleleh (Minifie, 1999).
Gula pasir yang dibutuhkan untuk pembuatan permen cokelat adalah yang
bermutu tinggi (SHS 1), kering dan bebas dari gula invert. Secara kuantitatif,
sebaiknya gula terdiri dari 99,8% sukrosa dengan kadar air antara 0,01-0,02%,
mineral 0,006-0,03%, dan gula invert 0,03-0,2%. Kadar air yang terlalu tinggi
akan menyulitkan proses refining atau conching. Gula dihaluskan sebelum
digunakan (Wahyudi, dkk, 2008). Gula dapat berfungsi untuk memberikan rasa
manis, ada beberapa jenis gula yang dapat ditambahkan pada produk makanan
diantaranya adalah sukrosa.
2.4 Proses Pembuatan Coklat
Proses pembatan coklat meliputi proses penyangraian, pengupasan kuit biji
kakao, pemastaan kasar, alkalisasi, pengepresan, pengayakan, mixing,
1. Penyangraian
Penyangraian merupakan tahapan utama yang harus dilakukan dalam proses
produksi bubuk kakao maupun pasta cokelat. Selama penyangraian terjadi reaksi-
reaksi kimia pembentukan aroma khas cokelat melalui reaksi Maillard (Jinap et al,
1998). Metode roasting ada 3 macam yaitu whole bean roasting, nib roasting, dan
liquor roasting. Whole bean roasting adalah dilakukannya penyangraian setelah
biji kakao dibersihkan. Sedangkan pada nib roasting penyangraian dilakukan
setelah biji kakao di-winnowing dan menjadi nib. Dan liquor roasting adalah
metode penyangraian setelah biji di winnowing dan dipastakan (di-grinding)
sehingga menjadi liquor. Biasanya temperatur yang digunakan untuk
penyangraian antara 1100C dan 1400C saat kadar air berkurang sebanyak 3%.
Proses penyangraian total lamanya antara 45 menit dan 1 jam. Setelah
penyangraian, produk biasanya didinginkan pada pendingin eksternal. Perlakuan
suhu tinggi selama roasting diiringi dengan semakin berkurangnya kelembaban
pada biji kakao mengakibatkan terbunuhnya mikroba kontaminan seperti
Salmonella yang mungkin terkontaminasi pada biji kakao selama pengeringan
tanah/di tempat terbuka (Beckett, 1994).
Resiko utama adanya kontaminasi pada biji kakao yang tidak ter-treatment
yaitu bahaya yang dibawanya akan ditransfer hingga ke pabrik pengolahan. Dan
untuk alasan ini, prosedur pra-penyangraian atau prosedur sebelum proses
penyangraian seperi pembersihan biji biasanya dilakukan di gedung yang terpisah
(Kleinert, 1996):
1) Perubahan Fisik
Perubahan fisik yang terjadi adalah penurunan berat biji kakao (0,2-0,5%
dari berat) karena terjadi penurunan kadar air biji dan terjadi perubahan
warna biji kakao menjadi lebih gelap.
2) Perubahan Kimia
Jika biji mendapat perlakuan panas maka akan terjadi reaksi browning non
enzimatis yang meliputi reaksi maillard dan karamelisasi.Secara tradisional
biji kakao disangrai dalam batch kecil dengan jumlah biji kakao beberapa
ribu kilogram dalam alat penyangrai berbentuk bola.
Operator mesin dapat memindahkan beberapa biji kakao yang telah diproses
di mesin penyangrai atau dituangkan ke baki pendingin. Berdasarkan aroma biji
kakao yang diinginkan maka diatur temperatur dan waktu yang diperlukan untuk
memastikan bahwa flavor yang terbentuk adalah flavor yang tepat (Beckett,
1994). Mutu produk kakao hasil sangrai ditentukan oleh mutu biji dan kondisi
penyangraiannya (Minifie, 1999). Oleh karena itu, penyangraian merupakan
proses yang harus benar-benar diperhatikan untuk menghasilkan produk cokelat
yang bermutu baik (Hoskin & Dimick, 1997)
Selama proses penyangraian terbentuk 400-500 komponen yang telah
diidentifikasi dari bermacam bentuk fraksi volatil dan non-volatil pada cokelat.
Komponen tersebut termasuk dalam jenis hidrokarbon, alkohol, aldehid, keton,
ester, amina, aksazol, komponen sulfur, and lain-lain (Hoskin & Dimick, 1997).
2. Pengupasan Kulit Biji Kakao
Komponen biji kakao yang berguna untuk bahan pangan adalah daging biji
(nib), sedangkan kulit biji merupakan limbah yanng saat ini banyak dimanfaatkan
sebagai campuran pakan ternak (Mulato, dkk, 2005). Sebab, adanya shell atau
kulit yang terikut dalam produk cokelat akan memberikan flavor inferior (Beckett,
1994). Oleh karena itu kulit biji perlu dikupas sehingga terpisah antara kulit
dengan daging biji kakao (nib kakao).
Winnowing adalah proses untuk memisahkan kulit biji dan beberapa lembaga dari
biji. Sesuai namanya, winnowing ini mirip dengan prinsip yang dipakai untuk
memisahkan jagung dari tongkolnya pada saat panen (Beckett, 1994).
Hal yang sangat diinginkan dalam proses ini winnowing ini adalah
menjaga agar nib tetap dalam potongan besar (bukan berupa serpih kecil)
sehingga mudah dipisahkan dari kulit atau shell. Adanya sepotong kecil nib yang
masih melekat dengan shell akan ikut terbuang. Oleh karena itu, secara ekonomis
sangat penting untuk melakukan proses winnowing dengan tepat dan teliti
(Beckett, 1994).
Proses winnowing memiliki titik kritis untuk dua alasan. Pertama ialah
kemurnian pada produk akhir. Membuat bubuk kakao bebas dari kulit biji sangat
sulit, teknik pemisahan tidaklah sempurna dan batas maksimum kandungan kulit
biji pada bubuk kakao adalah 1,75%. Beberapa industri mampu menguranginya
sampai 1,5%. Yang kedua ialah profitabilitas. Kandungan nib setelah proses ini
haruslah 83-84%, dan mengandung 1-1,75% kulit biji dan kadar air setelah
penyangraian sekitar 1,5-3% tergantung dari derajat penyangraian. Kehilangan
pada proses ini memiliki efek disproporsional pada harga jual kembali biji (Dand,
1993). Proses winnowing menghasilkan rata-rata nib 78-80%, kulit biiji 10-12%
dengan sejumlah kecil lembaga, dan 4% partikel non kakao sebagai pengotor
(Belitz and Grosc, 1999).
Metode pemisahan antara daging dan biji dan kulit biji juga dapat dilakukan
dengan metode Desheller dan dilakukan secara mekanis dengan menggunakan
mesin. Mesin desheller akan menghasilkan fraksi nib dan fraksi kulit dengan
ukuran dan sifat fisik yang berbeda secra bersamaan. Saat membentur silinder
pemecah yang berputar, nib akan pecah dengan ukuran yang relatif besar dan
seragam karena nib mempunyai sifat elastis. Sebaliknya, kulit biji karena sifatnya
rapuh terpecah menjadi partikel-partikel yang halus dan mudah dipisahkan dari
butiran nib dengan cara hisapan (pneumatik). Meskipun demikian tidak seluruh
butiran nib dapat dipisahkan dari partikel kulit secara sempurna. Presentase kulit
terikut nib sebesar 0,6%, sebaliknya presentase nib terikut kulit sebesar 1%.
Ukuran rata-rata butiran nib adalah 10 mesh. Partikel-partikel kulit biji
diendapkan dalam silikon agar tidak mengotori lingkungan (Mulato, dkk, 2005).
3. Pemastaan Kasar
Untuk dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, nib
yang semula berbentuk butiran padat kasar harus dihancurkan samapai ukuran
tertentu (<20m µ) dan menjadi bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau
penghalusan nib kakao umumnya dilakukan dengan cara penghancuran untuk
merubah biji kakao padat menjadi pasta dengan kehalusan butiran 40 mµ dengan
menggunakan mesin silinder (Mulato, dkk, 2005).
Lebih dari setengah berat nib adalah lemak, efek dari penghalusan
(pemastaan), bersama dengan panas yang terbentuk dari proses penghalusan,
menyebabkan nib yang padat menjadi cair, dan akan memadat jika temperatur
turun dibawah titik lelehnya. Derajat kehalusan ukuran partikel sangat pentiing.
Liquor yang digunakan untuk pembuatan lemak kakao dan bubuk, jika terlalu
halus akan sulit untuk dipress. Namun, jika terlalu kasar pengepresan tidak akan
sempurna dikarenakan sejumlah lemak masih terjebak dalam struktur sel (Dand,
1993).
4. Alkalisasi
Umumnya cocoa liquor yang akan digunakan dalam pembuatan bubuk
cokelat atau cocoa powder di-alkalisasi terlebih dahulu, tetapi hanya sedikit liquor
yang digunakan untuk membuat cokelat diberi perlakuan ini. Adapun proses
alkalisasi ini telah dikembangkan di Belanda sejak abad 19 sehingga alkalisasi
dikenal juga dengan istilah Dutching Process. Alasan untuk melakukan proses ini
adalah untuk meninimalkan terjadinya aglomerasi pada saat cokelat bubuk
dilarutkan dengan susu atau air. Kemampuan alkali untuk melakukan hal belum
sepenuhnya pasti, tetapi proses alkallisasi jelas mempengaruhi dua aspek dalam
cokelat yaitu flavor dan warna (Beckett, 1994).
Menurut Minifie (1999) ada 4 macam cara alkalisasi, yaitu
a) Alkalisasi biji kakao (whole beans)
Biji kakao di treatment dengan larutan alkali dalam roaster sehingga larutan
tersebut akan terserap oleh kulit biji. Namun kerugian proses ini adalah
sedikitnya alkali yang terpenetrasi ke dalam nib dan hasilnya pun tak
seragam. Biasanya bubuk kakao menjadi berwarna merah cerah.
b) Alkalisai keping biji (nib)
Proses ini menggunakan drum-drum untuk merendam keping biji setelah
dilakukan penyangraian. Keping biji direndam dalam larutan alkali hangat
(700C) samapai sempurna. Setelah perendaman, keping biji yang basah
dikeringkan.
c) Alkalisasi bubur cokelat/ liquor
Perendaman dalam larutan alkali dilakukan terhadap bubur cokelat hasil
penggilingan. Alkalisasi ini biasanya dilakukan dalam tangki.
d) Alkalisasi bungkil cokelat/ cocoa cake
Proses ini digunakan untuk bahan dengan kandungan lemak rendah yaitu
terhadap bungkil hasil pengepresan. Kerugian dari alkalisasi adalah adanya
lemak kakao pada nib, yang bisa rusak akibat reaksi
penyabunan/interesterifikasi (Meursing, 1997). Karena molekul cocoa butter
tersusun atas tiga asam yang menempel pada rangka dasar berupa gliserol.
Asam ini dapat bereaksi dengan alkali menghasilkan flavor tersabun atau
soapy flavor. Untuk mengatasinya, maka sejumlah kecil asam etanoat atau
asam tartarat dapat ditambahkan setelah proses alkalisasi yang bertujuan
untuk menurunkan pH (Beckett, 1994).
Alasan lain dilakukannya alkalisasi adalah untuk memicu perubahan warna
pada kakao akibat adanya reaksi dari senyawa tannin (polihidroksifenol). Dimana
senyawa tannin tersebut tersusun atas molekul epikatekin yang selama tahap
fermentasi, pengeringan, dan penyangraian saling bersatu, kemudian teroksidasi
atau bereaksi dengan komponen kimia lain dalam kakao. Reaksi alkalisasi ini
akan meningkatkan jumlah molekul warna dan membuat kakao menjadi lebih
gelap. Proses alkalisasi juga memerlukan kehati-hatian dalam mengatur pH,
kelembaban, suhu penyangraian, dan lamanya waktu karena ada kemungkinan
akan dihasilkannya beraneka macam warna dalam range yang luas (Beckett,
1994).
5. Pengepresan (Defatted)
Lemak kakao dikeluarkan dari pasta kakao dengan cara dikempa atau di-
press. Rendemen pengempaan sangat dipengaruhi oleh kondisi pasta seperti suhu,
kadar air, ukuran partikel, dan tekanan kempa. Lemak kakao akan relatif mudah
dikempa pada suhu antara 40-450C, kadar air <4% dan ukuran partikel <75mm.
pengempaan pasta dilakukan di dalam tabung yang dilengkapi dengan pennyaring
120 mesh dengan tekanan hidrolik sampai 40 atm. Karena tekanan hidrolik, lemak
akan terpisah dari pusat dan keluar dari saringan lewat dinding tabung dalam fase
cair berwarna putih kekuningan. Jika dibiarkan pada suhu kamar (<370C), lemak
kakao akan membeku dan mudah dibentuk. Lemak kakao memiliki sifat khas
yakni bersifat plastis. Kandungan senyawa lemak padat relatif tinggi, warna putih-
kekuningan dan mempunyai bau khas cokelat.
Lemak kakao banyak diolah untuk produk makanan setelah dicampur dengan
pasta, gula, dan bahan-bahan lainnya untuk dibuat menjadi makanan cokelat.
Lemak cokelat juga banyak dipakai sebagai bahan baku industri farmasi dan
kosmetika. Sedangkan sisa hasil kempaan adalah bungkil padat dengan
kandungan lemak berkisar antara 10-22% tergantung pada permintaan konsumen.
Bungkil merupakan bahan baku utama pembuatan bubuk cokelat untuk makanan
atau minuman. Saat ini dikenal pasar bubuk cokelat dengan 3 tingkatan kadar
lemaknya, yaitu kadar lemak rendah (10-12%), medium (13-17%) dan lemak
tinggi (>17% sampai 22%) (Mulato, dkk, 2005).
2.5 SNI Produk Kakao Massa (SNI 3749:2009)
Parameter Satuan Syarat Mutu
Keadaan
- Bau - Khas kakao massa
- Rasa - Khas kakao massa
- Warna - Coklat
Kadar lemak % Min 48
Kadar air % Maks. 2
Kehalusan (lolos ayakan 200 mesh)
% Min. 99,0
Kadar abu dari bahan kering tanpa lemak (b/b)
% Maks. 14
Kulit (shell) dihitung dari alkali free nibs (b/b)
% Maks. 1,75
Cemaran logam
- Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
- Kadmium (Cd) mg/kg Maks 1,0
- Timah (Sn) mg/kg Maks 40
-Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 1,0
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2009
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a. Roaster
b. Pisau
c. Timbangan
d. Gelas Arloji
e. Tempat Sampel
f. Mesin Winnowing
g. Pinset
h. Alat Pemasta
i. Thickness meter
j. Tisu
k. Ball mill refiner
l. Mesin Conching
m. Wadah Stainless steel
n. Pengaduk
o. Termometer
p. Cetakan Coklat
3.1.2 Bahan
a. Kakao Biji
b. Biji kakao sangrai
c. Nib
d. Pasta Komersial
e. Pasta Kakao
f. Lemak Kakao
g. Susu Fullcream
h. Fine Sugar
i. Lesitin
j. Vanili
k. Soda Kue
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
3.2.1. Penyangraian
Biji kakao yang telah mengalami proses fermentasi dan akan digunakan
sebagai produk lanjutan dari biji kakao diharuskan melewati proses penyangraian
untuk meningkatkan flavor dan rasa yang terdapat pada biji kakao. Dalam proses
100 gram biji kakao
Penyangraian dalam roaster, T = 110oC, t = 10’
Pendinginan
Penimbangan biji kakao
Pengamatan perubahan warna, aroma dan tekstur biji kakao sangrai utuh dan dibelah.
Dibandingkan dengan biji kakao yang tidak disangrai
penyangraian, terdapat beberapa perubahan yang signifikan terhadap struktur fisik
dan kimia pada biji kakao. Perubahan yang terjadi pada biji kakao dapat diamati
melalui beberapa tahapan proses penyangraian.
Tahapan pertama dalam proses penyangraian adalah persiapan biji kakao
yang akan diambil sampelnya sebesar 100 gram sebagai sampel percobaan dalam
proses penyangraian dengan cara ditimbang pada neraca analitik. Sampel 100
gram biji kakao tersebut selanjutnya disangrai pada mesin roaster atau mesin
penyangraian dengan suhu 110-115oC selama 10 menit untuk mendapatkan warna,
aroma, rasa dan flavor yang diinginkan. Setelah 10 menit, biji kakao yang telah disangrai
dikeluarkan pada mesin sangrai (roaster) untuk didinginkan terlebih dahulu agar suhu
pada biji kakao mengalami penurunan. Penurunan suhu biji kakao tersebut juga dapat
memudahkan dalam melakukan pengamatan terhadap biji kakao yang telah disangrai.
Namun, sebelum dilakukan pengamatan terhadap warna, aroma dan tekstur, biji kakao
yang telah turun suhunya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat akhir dari biji
kakao setelah penyangraian. Dengan diketahuinya berat akhir tersebut, maka proses
pengamatan dapat dilakukan dengan cara mengamati warna, aroma dan tekstur secara
fisik melalui panca indera. Bandingkan biji kakao yang telah disangrai dan yang
belum disangrai.
3.2.2 Pemisahan Biji
Biji kakao sangrai
Pemasukan kedalam mesin winnowing
Penimbangan nib dan kulit
Pemisahan kulit yang terikut
Penghitungan efisiensi kulit yang terikut
Penimbangan 50 gram nib
Pada praktikum pemisahan biji kakao tahap awal yang harus dilakukan
yakni biji kakao yang telah disangrai kemudian dilakukan pemisahan kulit dalam
mesin winnowing pemisahan kulit ini dilakukan untuk menghilangkan kulit atau
memisahkan kulit dari nib dengan prinsip pemisahan berdasar densitas yakni
pecahan nib yang memiliki massa jenis lebih besar akan terampung ke bawah
sedangkan kulit yang memiliki massa jenis lebih besar akan terisap dalam kantong
penyaring udara. Selanjutnya dilakukan penimbangan nib dan kulit hal ini
bertujuan untuk mengetahui berat awal nib dan kulit selanjutnya dilakukan
penimbangan nib sebanyak 50 gram kemudian dipisahkan kulitnya yang terikut
hal ini bertujuan untuk menghilangkan kulit yang terikut dalam nib . Tahap
berikutnya dilakukan penimbangan kulit yang terikut hal ini bertujuan untuk
mengetahui berat kulit yang masih terikut dalam nib yang telah dipisahkan dengan
kulit dalam mesin winnowing
3.2.3 Pemastaan
Pada praktikum pemastaan,pertama dilakukan penimbangan Nib yeng telah
dipisahkan kulitnya sebanyak 50 gram. Kemudian Nib dimasukkan ke alat
Biji yang bersih dari kulit
Penimbangan
Pemasukan dalam alat pemasta
Penimbangan pasta yang diperoleh
Pengukuran besar partikel pasta dengan thickness meter
Pasta
Pembandingan dengan ukuran pasta komersial
pemasta. Hal ini bertujuan untuk menghancurkan Nib sehingga dapat digunakan
pada proses pembuatan coklat pada proses pemastaan diharapkan pasta memiliki
viskositas kurang lebih 200mesh sehingga didapatkan coklat yang lembut. Tahap
selanjutnya dilakukan penimbangan pasta yang bertujuan untuk mengetahui berat
pasta yang diperoleh. Selanjutnya dilakukan pengukuran partikel menggunakan
Thickness meter yang bertujuan untuk mengetahui ukuran partikel pasta yang
dihasilkan. Tahap akhir yakni dilakukan pembandingan pasta yang diperoleh
dengan pasta komersial.
3.2.4 Proses Pembuatan Coklat
Pasta kakao, lemak kakao, susu full cream,
fine sugar, lesitin, vanili dan soda kue
Penimbangan
Pasta kakao dan lemak kakao
Pemanasan
Pencampuran
Lelehan pasta dan lemak
kakao , susu full cream dan fine
sugar Refining
Suhu 60oC, 6 jam
Suhu 60oC, 8 jam
Suhu 60oC, 10 jam
Conching suhu 60-70oC, 4 jam
Lesitin, vanili dan soda kue
Tempering
(P 1)Pengadukan, suhu 28oC
(P 2)Pengadukan, suhu
28oC lalu suhu dinaikkan 33oC
(P 1)Tanpa pengadukan,
suhu 28oC
Pencetakan
Pendiaman 24 jam dalam ruang dingin
Pengeluaran dari cetakan
Pembungkusan dan simpan 1 minggu
Pengamatan uji sensoris
Produk olahan biji kakao tidak hanya melalui proses penyangraian,
pemisahan kulit dan pemastaan. Produk olahan biji kakao yang lain yaitu tersier
adalah coklat batang. Pada pembuatan coklat batang ini bahan yang dibutuhkan
adalah pasta kakao, lemak kakao, susu full cream dan fine sugar. Bahan – bahan
tersebut memiliki fungsi masing – masing dalam pembuatan coklat batang, seperti
pada penambahan lemak kakao ini untuk membentuk inti kristal lemak kakao
menjadi bentuk β yang nantinya akan menentukan titik leleh dari coklat batang
yang dihasilkan. Sedangkan pada pasta kakao ini sebagai bahan baku utama dalam
pembuatan coklat dan bahan tambahan lainnya seperti susu full cream dan fine
sugar sebagai bahan untuk menambah rasa seperti susu dan manis pada coklat
batang yang dihasilkan.
Pertama menyiapkan bahan – bahan pembuatan coklat yaitu: pasta kakao,
lemak kakao, susu full cream, fine sugar, lesitin, vanili dan soda kue. Lakukan
penimbangan bahan dengan neraca analitik untuk mengetahui berat bahan dan
menyesuaikan bahan dengan formulasi pembuatan coklat. Menyiapkan Pasta dan
kakao lemak terlebih dahulu dan dilakukan pemanasan untuk melelehkan pasta
dan lemak kakao. Mencampurkan fine sugar dan susu full cream untuk menambah
flavor pada coklat. Lakukan refinning degan 3 perlakuaan yaitu: suhu 60 oC
dengan lama refinning 6, 8 dan 10 jam. Refinning untuk mencampur dan
melembutkan bahan pembuatan coklat. Conching menghilangkan rasa asam pada
kakao akibat proses penyangraian, meninkatkan daya alir coklat akibat pelapisan
lemak, serta menurunkan viskositas. Prses conching dengan suhu 60 – 70 oC
selama 4 jam dan dilakukan penambahan lesitin, vanili dan soda kue. Proses
conching untuk menghilangkan rasa asam pada kakao akibat proses penyangraian
dan melapisi coklat dengan lemak kakao agar aliran coklat lebih baik.
Penambahan lesitin untuk menurunkan vislositas bahan akibat lesitin mempunyai
2 gugus yang mampu mencampurkan lemak dan air pada bahan. Tempering coklat
dilakukan menggunakan 3 perlakuan yaitu: (P1) Pengadukan, suhu 28 oC (P2)
Pengadukan, suhu 28 oC lalu suhu dinaikkan 33 oC (P3) Tanpa pengadukan, suhu
28 oC. Tempering berfungsi untuk memberikan kesempatan coklat membentuk
tekstur β yang padat dan mengkilap. Tahap akhir lakukan pendinginan coklat
didalam ruang pendingin agar teksturnya menjadi padat. Kemudian kemas dan
simpan selama 1 minggu untuk membuat tekstur kristal pada coklat.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN KAKAO
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Penyangraian
Penyangraian
ke-
Berat awal (gram) Berat akhir (gram)
1 100,79 95,64
2 100,65 95,99
3 100,04 94,315
Biji Pembeda Kakao Sangrai Kakao tidak
sangria
Utuh Warna Pucat terang Coklat gelap
Aroma Aroma khas
cokelat
Masam
Tekstur Rapuh
(tersegmentasi)
Alot / keras
Dibelah Warna Lebih cerah Lebih gelap
Tekstur Rapuh
(tersegmentasi)
Keras
Gambar
4.1.2 Pemisahan Kulit
Pemisahan ke- Berat awal (gram) Berat akhir (gram)
Kulit biji Nib
1 143,22 28,20 95,02
2 143,22 24,8 95,56
4.1.3 Menghitung efisiensi kulit dalam 50 gr biji kakao
Pemisahan ke- Berat awal
(gram)
Kulit Biji yang
terikut
(gram)
Efisiensi
(%)
1 49,53 0,47 0,94
2 49,18 0,82 1,64
4.2.4 Pemastaan
Pemisahan ke-
Berat nib
(gram)
Berat pasta(gram)
Ukuran partikel (µ)
Uk. Partikel pasta komersial
(µ)
1 95,02 71,37 88 112 95,56 94,11 68,5
4.2 Hasil Pengamatan Coklat
4.2.1 Ukuran partikel coklat setelah refining.
Waktu Ball Mill (jam) Ukuran partikel (µm)
4 23
6 17
8 13
4.2.2 Parameter Tekstur
No
.Nama Panelis
Parameter Tekstur
179 247 51368
1191 715
91
6
42
7831
1 Nur Yanti 2 5 7 3 6 1 4 8 9
2 Citra Wahyu 8 2 7 6 5 3 4 1 9
3 Lailatul N 3 9 1 4 5 2 6 7 8
4 Nofal Ilhami 4 6 1 6 7 5 9 8 3
5 Nurul Ummah 3 7 4 2 1 5 8 9 2
6 Fiska Fibi 3 7 4 1 5 1 6 8 9
7 Hasna Amalia 6 7 4 9 3 8 5 9 2
8 Dwi Tari W 5 8 6 2 3 1 2 4 7
9 Rina Dias 7 4 6 8 5 1 3 8 9
10 Hujjah 5 7 6 2 3 1 2 4 9
11 Esthi 7 6 8 2 4 1 3 5 9
12 Sri Dewi 8 9 4 1 7 1 3 6 5
13 Dwi Putri W 3 6 5 7 8 2 5 4 7
14 Rahmawati Indah 3 2 4 2 8 9 5 6 1
15 Novika Tri H 6 3 5 2 1 8 9 7 4
16 Maisaroh 5 4 3 7 1 9 8 6 7
17 Dewi Ruhael 7 4 1 3 3 9 5 2 8
18 Oriza Krisnata W 4 1 9 8 8 6 5 7 2
19 Angga Setiawan 3 4 6 2 5 7 1 8 9
20 M. Dwi Nurcahyo 4 5 2 9 6 8 1 3 7
21 Herninda 1 4 2 9 3 8 7 6 5
Rata – rata 4,61 5,24 4,52 4,2 4,62 4,57 4,8 6 6,24
4.2.3 Parameter Kenampakan
No
.Nama Panelis
Parameter Kenampakan
179 247 51368
1191
71
5916 427 831
1 Nur Yanti 1 6 3 2 5 9 8 7 4
2 Citra Wahyu 8 3 2 1 4 9 6 7 5
3 Lailatul N 7 5 3 1 2 9 8 6 4
4 Nofal Ilhami 5 7 3 1 2 8 9 4 6
5 Nurul Ummah 7 3 5 2 6 9 8 4 1
6 Fiska Fibi 8 3 2 1 5 9 6 4 7
7 Hasna Amalia 6 2 3 4 8 5 7 9 1
8 Dwi Tari W 5 2 3 1 7 9 8 6 4
9 Rina Dias 4 7 6 1 8 9 2 5 3
10 Hujjah 4 3 2 1 7 9 8 6 5
11 Esthi 3 4 2 1 6 9 7 5 8
12 Sri Dewi 8 9 4 2 7 1 3 6 5
13 Dwi Putri W 3 5 2 1 7 8 6 4 6
14 Rahmawati Indah 3 5 2 1 7 8 6 4 6
15 Novika Tri H 5 4 1 2 9 7 8 3 6
16 Maisaroh 5 4 3 8 2 9 6 1 7
17 Dewi Ruhael 6 4 1 7 3 9 5 2 8
18 Oriza Krisnata W 6 3 7 1 4 9 8 2 5
19 Angga Setiawan 2 1 7 4 6 8 9 5 3
20 M. Dwi Nurcahyo 1 4 5 2 9 7 8 3 6
21 Herninda 1 7 2 6 8 9 4 3 5
Rata – rata4,7
1
4,3
8
3,1
92,4
5,6
28,1
6,7
6
4,6
2
5,0
1
4.2.4 Parameter Kecepatan Leleh
No
.Nama Panelis
Parameter Kecepatan Leleh (Sekon)
179 247 513 681 191 715 916 427 831
1 Nur Yanti 15 20 13 10 11 5 12 22 8
2 Citra Wahyu 4 3 7 4 6 2 5 3 5
3 Lailatul N 14 13 9 8 6 5 10 12 16
4 Nofal Ilhami 8 9,5 6 7 8 4 6 7 11
5 Nurul Ummah 15 13 10 5 7 3 8 9 20
6 Fiska Fibi 12 15 9 6 8 5 10 10 18
7 Hasna Amalia 23 20 23 20 30 20 25 50 16
8 Dwi Tari W 17 24 22 11 15 8 17 12 15
9 Rina Dias 21 24 15 5 12 7 20 12 20
10 Hujjah 17 24 25 5 14 7 17 16 23
11 Esthi 17 22 17 13 16 7 17 20 15
12 Sri Dewi 19 18 15 9 20 4 21 12 16
13 Dwi Putri W 28 31 33 34 28 12 43 34 26
14 Rahmawati Indah 14 18 9 7 13 6 16 12 13
15 Novika Tri Hardini 14 16 15 11 12 6 18 13 17
16 Maisaroh 27 30 25 10 41 5 20 23 12
17 Dewi Ruhael 21 17 12 17 14 10 15 14 17
18 Oriza Krisnata W 36 29 45 9 40 8 30 56 34
19 Angga Setiawan 92 101 95 19 105 30 79 133 103
20 M. Dwi Nurcahyo 80 133 119 36 122 9 81 14 114
21 Herninda 58 73 76 24 83 16 72 90 75
Rata - rata 26,3 31,11 28,6 13 29,1 8,54 25,8 27,4 28,3
4.2 Pembahasan
4.2.1 Penyangraian
Biji kakao yang sudah kering dengan kadar air sekitar 6 – 7% digoreng
tanpa menggunakan minyak. Lamanya penyangraian selama 40 menit.
Selanjutnya biji dikupas dengan tangan atau dengan menggunakan alat
(Widyotomo, dkk., 2004). Dengan adanya penurunan kadar air sekitar 6 – 7 %
pada biji kakao setelah penyangraian juga dapat menurunkan berat dari biji kakao
antara sebelum penyangraian dan sesudah penyangraian. Hal ini dapat dilihat pada
tabel yang menunjukkan berat awal dan berat akhir setelah penyangraian. Dimana
pada setiap tahap penyangraian, selalu mengalami penurunan berat dengan rata –
rata penurunana sebesar 5.18 gram. Penurunan berat ini dapat disebabakan karena
pemberian suhu penyangraian, karena kadar air yang ada pada biji kakao akan
menguap. Suhu penyangraian pada praktikum ini yaitu 110 oC selama 10 menit.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Mulato (2002 ) bahwa selama proses
penyangraian, air akan menguap dari biji, kulit yang menempel di permukaan inti
biji terlepas, inti biji menjadi cokelat, dan beberapa senyawa menguap, antara lain
asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan ester.
Dapat dilihat pada tabel berikutnya yang menunjukkan bahwa anatara biji
kakao sebelum disangrai dan sesudah disangrai mengalami perubahan. Data
kondisi biji kakao antara penyangraian dan tidak penyangraian dapat dilihat pada
table. Pada tabel tersebut, kondisi biji utuh setelah penyangraian mengalami
perubahan warna menjadi lebih gelap, aroma yang sebelumnya tidak terlalu tajam
menjadi lebih tajam setelah disangrai dan tekstur yang lebih rapuh daripada
sebelum disangrai. Hal ini juga berbanding lurus dengan perubahan yang terjadi
ketika biji kakao sangrai dibelah. Perubahan tersebut dapat terlihat dari warna biji
yang dibelah sebelum penyangraian adalah coklat gelap sedangkan setelah
penyangraian berwarna coklat kemerahan. Sedangkan teksturnya menjadi sangat
rapauh setelah mengalami penyangraian.
Perubahan kondisi fisik dan berat pada biji kakao ini dapat dibuktikan
melalui literatur yang dinyatakan menurut Mulato, dkk. (2004) bahwa selama
proses penyangraian senyawa asam amino dan gula pereduksi akan membentuk
senyawa mailard yang dapat merubah biji kakao menjadi lebih coklat. Hal ini
dikarenakan adanya reaksi hidrolisis pada sukrosa oleh air dan gula pereduksi
yang menyebabkan terjadinya perubahan pada biji kakao sehingga terbentuk cita
rasa dan aroma yang khas pada biji kakao. Dengan adanya reaksi hidrolisis ini
terdapat beberapa kandungan air pada biji kakao yang mengalami proses
penguapan akibat adanya pemanasan sehingga berat kakao menjadi lebih kurang.
4.2.2 Pemisahan Kulit
Pemisahan kulit biji kakao ini dapat dilakukan setelah proses
penyangraian. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan nib yang dapat digunakan
pada pembuatan produk olahan biji kakao lainnya seperti pasta kakao, lemak
kakao, kakao bubuk dan coklat batang.
Menurut Minife (1980) Pemisahan kulit dikatakan baik apabila kulit biji
kakao yang terikut mengandung 1,5-2% kulit biji. Sedangkan pada praktikum Kli
ini diperoleh data. Berat nib kakao penyangraian 1 yaitu 49,53 gram dihasilkan
kulit yang terikut 0,47 gram dengan efisiensi 0,94% dan penyangraian 2 nib biji
kakao yaitu 49,18 gram dihasilkan kulit yang terikut 0,82 gram dengan efisiensi
1,64. Dapat disimpulkan bahwa pemisahan kulit 1 sudah cukup baik.
Sedangkan pada pemisahan kedua, dari berat awal 143, 22 gram
didapatkan 95,56 gram nib dan kulit biji sebanyak 24,8 gram. Untuk kulit yang
terikut dari 45,72 gram nib diperoleh 0,82 gram dengan efesiensi 1,64% Hal ini
menunjukkan penyangraian kedua mempunyai efisiensi yang terlalau rendah.
Diakibatkan proses penyangraian yang kurang sempurna. Selain itu proses
pergerakan di dasar lumpang karena adanya tekanan alat penumbuk yang
kontinyu sehingga berakibat pada menurunnya efektifitas pemecahan (Henderson
& Perry, 1970).
4.2.3 Pemastaan
Grafik 1. Ukuran partikel saat pemastaan
Proses pemastaan bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel pasta
kakao sampai 200 mesh. Berdasarkan hasil pengamatan pada pemastaan pertama
dari 95,02 gram nib diperoleh pasta sebanyak 71,37 gram dengan ukuran partikel
pasta 88 µm, sedangkan ukuran partikel pasta komersial yaitu 11 µm. Kemudian,
pada pemastaan kedua, 95,56 gram nib diperoleh pasta sebanyak 94,11 gram
dengan ukuran partikel pasta 68,5 µm, sedangkan ukuran partikel pasta komersial
sama dengan yang pertama yaitu 11 µm.
Menurut literatur terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses
pemastaan. Alat yang digunakan akan berpengaruh pada proses pemastaan. Kadar
kulit dan kadar air biji kakao juga akan mempengaruhi tingkat kesulitan dalam
penghancuran nib menjadi pasta kakao sehingga ukuran partikel pasta yang
diperoleh berbeda (Beckett, 2000).
4.2.4. Coklat
Pada pengujian coklat yang diperoleh dari hasil praktikum untuk
mengetahui mutu coklat. Untuk pengujian dilakukan dengan menggunakan uji
organoleptik dengan menggunakan beberapa panelis. Uji organoleptik ini
dilakukan metode uji kesukaan panelis dengan beberapa parameter yaitu,
kenampakan, warna, rasa, aroma, tekstur. Serta terdapat pengukuran kecepatan
melelehnya coklat dalam mulut yang diukur dengan stopwatch untuk mengetahui
perdetiknya.
a. Ukuran Partikel Coklat
Praktikum kali ini, diamati ukuran partikel setelah dilakukan pencampuran
dengan ball mill dengan tiga pemberian waktu yang berbeda yaitu selama 4 jam, 6
jam dan 8 jam. Dalam pembuatan coklat, tahap awal yang perlu dilakukan adalah
pencampuran bahan menggunakan ball mill.
Berdasarkan hasil pengamatan, ukuran partikel yang diperoleh secara
berurutan yaitu 23 µm, 17 µm, 13 µm. Data tersebut menunjukkan bahwa
semakin lama proses refining maka semakin lembut atau semakin kecil ukuran
partikel yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan ball mill refiner menggunakan panas
dalam mencampur dan melembutkan coklat. Semakin lama waktu pelembutan,
maka bahan-bahan yang terkena panas akan semakin lunak atau meleleh sehingga
ukuran partikenya semakin kecil. Menurut Misnawi dkk (2008), melalui
penghalusan yang baik, fraksi–fraksi padat dalam cokelat akan menyebar rata
dalam fraksi cair (lemak) dan potensi aroma, serta cita rasa dan warna khas
cokelat tertampakkan.
b. Tekstur Coklat
Grafik diatas menunjukkan pengukuran tekstur coklat dengan perbedaan
selang waktu penyimpanan. Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis mengalami
kenaikan dan penurunan atau tidak stabil. Dari data grafik diatas dapat dilihat,
panelis lebih menyukai coklat yang di simpan pada waktu 4-6 jam. Selain itu Dari
3 suhu tempering yang berbeda panelis secara keseluruhan lebih menyukai yang
diberi perlakuan penympanan pada suhu dingin. Hal ini dikarenakan penggunaan
suhu tempering yang rendah mengakibatkan terbentuknya fat bloom dipermukaan
coklat. Penyataan ini diperkuat denga pernyataan Ketaren (1986), menyatakan
tempering kurang baik maka dapat menyebabkan coklat melekat pada cetakan,
memiliki warna yang buram serta terbentuk blooming dikarenakan bentuk kristal
lemak pada coklat belum stabil.
Melalui proses thermal ini, struktur cokelat akan leleh. Pendinginan cepat
menjadi suhu 26 -270C akan menyebabkan pembentukan polimorf stabil dan
tidak stabil menjadi kristal. Suhu dipertahankan pada titik ini untuk
meratakan pembentukan kristal secara menyeluruh pada campuran pasta dan
untuk pembentukan kristal secara lengkap. Selanjutnya suhu dinaikkan kembali
menjadi 30-320C untuk melelehkan semua kristal yang tidak stabil dan
menyisakan kristal β. Sehingga, dengan terbentuknya kristal tersebut
menyebabkan tekstur yang dihasilkan dari sampel dengan perlakuan tempering
yang baik akan mendapatkan tekstur yang padat dan kompak.
c. Kenampakan Coklat
Grafik diatas menunjukkan nilai uji organoleptik yang diberikan oleh
panelis. Pada praktikum kali ini menggunakan 21 panelis. Panelis memberikan
nilai yang berbeda – beda. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui
bahwa cokelat yang memiliki kenampakan paling bagus adalah cokelat yang
diberi perlakuan refining 8 dan coklat yang jelak adalah yang diberikan perlakuan
refining 6 jam. Perlakuan refining 8 jam merupakan waktu yang optimal dalam
melembutkan seluruh bahan untuk pembuatan cokelat. Menurut Alex (2003) yang
menyatakan bahwa pendinginan cepat menjadi suhu 26 -270C akan menyebabkan
pembentukan polimorf stabil dan tidak stabil menjadi kristal.
Sedangakn pada refining 6 jam yang menghasilkan coklat yang kurang
baik ini bisa disebabkan waktu yang digunakan dalam refining kurang optimal,
sehingga pelembutan bahan-bahan yang bersifat keras seperti gula kurang
maksimal. Jika ukuran partikel gula masih besar maka dapat menyebabkan
kenampakan cokelat menjadi kurang baik. ukuran partikel yang semakin kecil
menyebabkan permukaan biji cokelat lebih mengkilat (glossy) sehingga derajat
kecerahannya semakin meningkat. Misnawi et al (2006) Menurut Ukuran partikel
yang lebih besar menghasilkan sinar pantul yang kurang sempurna yang
ditangkap oleh mata ataupun pengukur warna sebagai permukaan yang buram.
Selain itu, gula juga dapat menjadi salah satu penyebab blomming ketika gula
bereaksi dengan air, sehingga dalam pembuatan cokelat adanya air sangat
diminimalisir.
d. Melting
Kecepatan leleh atau melting merupakan salah satu parameter dalam
pengujian organoleptik untuk mengetahui tingkat kecepatan coklat meleleh
dimulut dengan pengukuran waktu menggunakan stopwatch. Pengujian tingkat
kecepatan leleh dimulut dilakukan dengan menggunakan panelis agak terlatih.
Semakin rendah suhu tempering menghasilkan tingkat kecepatan leleh yang
tinggi. Rerata hasil pengujian kecepatan leleh dimulut berkisar antara 8,54 sampai
31,11.
Hasil pengamatan pada kecepatan kelelehan di mulut atau melting
menunjukkan panelis lebih menyukai lama penyimpanan 4 jam. Sifat leleh dari
produk coklat ini dipengaruhi pada proses tempering dan suhu penyimpanan,
tingkat kecepatan leleh di mulut (mouthfell) semakin cepat, hal ini disebabkan
kandungan lemak kakao yang mempengaruhi kecepatan leleh coklat dengan
perbedaan suhu penyimpanan dan suhu tempering. Menurut Becket (1999) dalam
Indarti dkk (2008), lemak kakao didominasi oleh trgiliserida yang terdiri atas
asam stearat 34%, palmitat 27% dan oleat 34% yang bersifat padat pada suhu
ruang dan meleleh pada suhu tubuh 37 oC dan memberikan tekstur yang smooth
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Mesin winnowing kurang efisien atau kurang maksimal. Pemisahan nib dari
kulit biji kakao yang dilakukan secara mekanis dengan mesin winnowing
dapat mencapai lebih dari 83% dan nib lazimnya mengandung 1.5 – 2% kulit
biji yang terikut.
2. Ukuran partikel pasta kakao hasil pemastaan yaitu 88 µ dan 68,5 µ lebih
besar dibandingkan dengan ukuran partikel pasta komersial yaitu 11 µm.
3. Biji kakao yang disangrai memiliki warna biji coklat pucat dan coklat gelap
ketika dibelah, aroma khas biji kakaonya berkurang, serta memiliki tekstur
keras namun rapuh.
4. Tempering akan membentuk kristal cokelat yang lebih stabil. Tingkat
stabilitas coklat yang akan berdampak pada kecepatan melumernya coklat
dalam rongga mulut
5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya praktikan lebih memnfaatkan watu
dengan baik, agar praktikum tidak berjalan dengan lama.
DAFTAR PUSTAKA
Alex, K. B. C. 2003. An Undergraduate Thesis Submitted to the University of Queensland as a requirement for the Degree of Bachelor of Engineering (Chemical). http://www.cheque.uq.edu.au/ugrad/theses/2003/pdf/CHE4007/40219358/40219358.pdf. Diakses pada tanggal 14 April 2016.
Beckett, S. T. 1994. Industrial Chocolate Manufacture and Use. 2nd Ed. Blakie Academic and Professional London.
Beckett, S. T. 2008. The Science of Chocolate, 2nd edn. London: Royal Society of Chemistry Paperbacks.
Dewan Standarisasi, 2008. Standar Mutu Bungkil Kacang Tanah.
http://wordpress.com/2008/05/sni-kacang-tanah.pdf. akses Tanggal 2 Mei
2015, Jember.
Ketaren, S., 1986. Pengantar Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Minifie, W. Belnard., 1999. Chocolate, cocoa and Confectinery Sains
Technology. London: An Aspen Publication.
Misnawi, 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan Citarasa Cokelat.
Jember: Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 21 (3).
Mulato, S. Dan Sukrisno, W. 2003. Alat dan Mesin Pengolahan Kopi dan Kakao
Produk Primer dan Sekunder. Jember: Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indoneisa (Puslit).
Nuraeni, 1995. Coklat Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Haylock, S. J. dan Dodds, T. M. 1999. Ingredients from milk. In Industrial Chocolate Manufacture and Use, 3rd edn. Beckett, S. T. (Ed.). Oxford: Blackwell Science, pp. 137–152.
Helmy, Zahron. 2008. Pengolahan dan Penganekaragaman Hasil Vanili Berdasarkan Standar Mutu Nasional. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun).
Wahyudi, T., Pangabean, T.R., dan Pujiyanto. Panduan Lengkap Kakao:
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Kleinert, J. 1994. Cleaning, roasting and winnowing. p. 56—69.In: S.T. Beckett (Ed.). Industrial Chocolate Manufacture and Use. New York: Van Nostrand Reinhold.
Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI-3749-Kakao Massa. Badan Standar Nasional Indonesia: Jakarta.
Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao. Yogyakarta: Kanisius.
Wahyudi, T., Pangabean, T.R., dan Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao:
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta: Penebar
Swadaya.
LAMPIRAN PERHITUNGAN KAKAO
1. Penyangraian
Penyangraian ke-
Berat sebelum penyangraian (gram)
Berat sesudah penyangraian (gram)
1 100,79 95,64
2 100,65 95,99
3 100,04 94,31
Berat total sesudah penyangraian 286,44
2. Pemisahan Kulit
a. Untuk 2 kali winnowing =
= = 143,22 (nib + kulit)
Winnowing I
Nib = 92,02
Kulit = 28,20
Winnowing II
Nib = 95,86
Kulit = 24,8
Jumlah total nib = 92,02 + 95,86
= 187 gr
b. Efisiensi Kulit maksimum dari pengambilan sampel 50 gr nib
Winnowing I
Nib = 49,53
Kulit =0,47
Efisiensi = x 100%
= = 0,94% < 1,75%
Winnowing II
Nib = 49,18
Kulit =0,82
Efisiensi = x 100%
= = 1,64% < 1,75%
3. Pemastaan
Winnowing I = 71,37 gr
Winnowing II= 94,11 gr
Hasil pemastaan =
=
=
= 82,74 gr
Sehingga dari 187 gr nib kakao yg digunakan menghasilkan pasta sebanyak 82,7
LAMPIRAN PERHITUNGAN COKLAT
1. PERHITUNGAN TEKSTURRata-rata tekstur sampel 179
Rata-rata tekstur sampel 247
Rata-rata tekstur sampel 513
Rata-rata tekstur sampel 681
Kode 191=
Kode 715 =
Kode 916 =
Kode 427 =
Kode 831 =
1. Perhitungan Kenampakan Coklata. 179
b. 247