kulyah al islam

22
MAKALAH PENGERTIAN DAN KEHARAMAN TGBC DALAM MUHAMMADIYAH DISUSUN OLEH : Dian kusumaningtyas ( 1001021008) Laily yaturrofiqoh ( 1001021016 ) Aji dwi ( 1001021016 ) Hendra Wanto ( 1001021036 ) Martha Aronaga putra ( 1001021016 ) PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

Upload: rahmad

Post on 12-Jul-2016

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

j

TRANSCRIPT

Page 1: Kulyah Al Islam

MAKALAH

PENGERTIAN DAN KEHARAMAN TGBC DALAM

MUHAMMADIYAH

DISUSUN OLEH :

Dian kusumaningtyas ( 1001021008)

Laily yaturrofiqoh ( 1001021016 )

Aji dwi ( 1001021016 )

Hendra Wanto ( 1001021036 )

Martha Aronaga putra ( 1001021016 )

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2011

Page 2: Kulyah Al Islam

KATA PENGANTAR

Muhammadiyah berdiri diltarbelakangi factor internel dan eksternal. Secara internal yang

mendorong K. H. Ahmad dahlan mendirikan Muhammadiyah adalah :

1. Merajalela bid’ah, kurafat syrik dan tahayyul, sehingga kehidupan Bergama tidak sesuai dengan

al-quran dan hadist

2. Merajalelanya kemiskinan, kebodohan, kekolotan, kemunduran bangsa Indonesia umumnya dan

umat islam khususnya

3. Tidak adanya ukhuwah umat islam serta tidak adanya organisasi islam yang kuat dan lemah

4. Lemah dan gagalnya sistem pendidikan pondok pesantren, sehingga kurang mencerminkan

perkembangan dan kemjuan zaman dan adanya kehidupan pendidikan yang mengisolasi diri.

Factor eksternal yang melatarbelakangi berdirinya muhammadiyah antara lain :

1. Merajalela penjajahan kolonialis belanda diindonesia yang harus dihadapi

2. Adanya kegiatan misionaris Kristen diindonesia

3. Sikap yang merendahkan pada islam oleh kaum terpelajar, yang mengganggap bahwa islam

agama yang out of date, tidak sesuai dengan kemajuan zaman

4. Adanya rencana kristenisasi pemerintah colonial belanda untuk kpentingan politik colonial

Tujuan awal muhamadiyah adalah menyebabkan ajaran nabi Muhammad kepada penduduk

Indonesia, terutama dikaresidenan Yogyakarta sebagai tempat tinggal K.H ahmad Dahlan. Selain itu,

tujuan awal muhammadiyah adalah memajukan umat islam dengan melakukan pembaharuan

pemikiran agama agar sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga bisa diteriima oleh masyarakat.

Page 3: Kulyah Al Islam

I. PENGERTIAN TBC ( TAHAYUL, BID’AH, KUFARAT )

A. TAHAYUL

Takhayul Secara bahasa, berasal dari kata khayal yang berarti: apa yang tergambar pada

seseorang mengenai suatu hal baik dalam keadaan sadar atau sedang bermimpi.

Dari istilah takhayul tersebut ada dua hal yang termasuk dalam kategori talhayul, yaitu:

1. Kekuatan ingatan yang yang terbentuk berdasarkan gambar indrawi dengan segala jenisnya,

(seperti: pandangan, pendengaran, pancaroba, penciuman) setelah hilangnya sesuatu yang dapat

diindera tersebut dari panca indra kita.

2. Kekuatan ingatan lainnya yang disandarkan pada gambar idrawi, kemudian satu dari unsurnya

menjadi sebuah gambar yang baru. Gambar baru tersebut bisa jadi satu hal yang benar-benar

terjadi, atau hal yang diluar kebiasaan (kemustahilan). Seperti kisah seribu satu malam, Nyai

Roro Kidul dan cerita-cerita khurafat lainnya. Takhayul diartikan juga: percaya kepada sesuatu

yang tidak benar (mustahil) . Jadi takhayul merupakan bagian dari khurâfat.

Ulama bersefaham bahwa dari beberapa pengertian bid’ah tersebut diatas yang paling mengena

pada maksud bid’ah yang dapat dikatakan sesat adalah yang diartikan oleh Iman As- Syathibi.[3]

Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil pokok-pokok pengertian bid’ah menurut syara

sebagai berikut:

Kepercayaan atau tahayul ini sebenarnya sudah dihilangkan oleh Islam. Rosulullah

pernah berdebat dengan orang Badui. “Tidak ada penyakit menular dan tidak ada kepercayaan

pada tahayul,” sabda Nabi Muhammad saw.

Badui berkata, “Lantas, bagaimana dengan unta yang sehat, kemudian sakit setelah

didekati unta yang sakit?” Nabi menjawab, “Lalu siapa yang menulari unta pertama?”

Perdebatan ini menegaskan, kepercayaan seperti itu tidak ada dan tidak dibenarkan

adanya menurut pandangan Islam. Dalam HR Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda, yang

artinya: “Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, dan safar”.

‘Adwa penularan penyakit. Thiyarah yaitu merasa bernasib sial atau meramal nasib

buruk karena melihat burung, binatang lainnya. Hamah maksudnya burung hantu. Safar adalah

bulan kedua dalam tahun Hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharam.

Page 4: Kulyah Al Islam

Islam tidak mengenal adanya hari atau bulan nahas, celaka, sial, malang dan yang sejenis. Yang

ada hanyalah bahwa setiap hari dan atau bulan itu baik, bahkan dikenal hari mulai (Jum’at) dan

bulan mulia (seperti bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah).

Jelas, tahayul tidak ada tempat dalam Islam dan dalam hati kaum Muslimin. Tahayul

merupakan bentuk syirik. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Nabi Saw berkata: “Tiyarah (tahayul)

ialah sejenis syirik” (HR. Tirmizi).

Ketika belakangan sering terjadi kasus kesurupan massal, juga individual, orang

menyebutnya ”kemasukan setan, jin, atau makhlus halus”. Ini juga tahayul! Karena menurut para

ahli, kesurupan adalah fenomena psikologis, tidak ada kaitan sama sekali dengan makhluk halus.

Kesurupan adalah semata-mata fenomena alami yang bisa terjadi pada manusia dan tidak

pandang bulu di belahan dunia mana pun. Terutama di masyarakat yang tingkat kesulitan

dihupnya tinggi.

Fenomena kesurupan berkaitan dengan masalah stress hidup dan beban hidup

masyarakat. Dalam masyarakat yang penuh ketidakpastian, kesulitan ekonomi yang sangat

membebani para korban, dan ketidak menentuan masa depan, turut andil bagian dalam

memperbesar terjadinya kesurupan.

Pada kasus anak-anak sekolah, mereka yang terkena rata-rata kehidupan ekonominya

susah, mikirin beban pelajaran, ditambah dengan mikirin buku yang tidak terbeli dan SPP yang

belum dibayar otomatis membuat sang anak menjadi sangat stress dan berusaha untuk ditahan.

Pada puncaknya, jika sang anak tidak mampu untuk menahan ini, maka akan meledak dan

terjadilah kesurupan.

Kesurupan adalah fenomena biasa dalam dunia psikologi dan fisiologi. Apa yang terjadi

pada mereka hanyalah masalah psikis yang disebut trance disorder. Orang yang mengalami hal

ini akan bisa spontan teriak-teriak dan bahkan berkata-kata yang tidak biasanya di lakukan. Ini

disebut dengan munculnya sifat ganda, karena pada dasarnya setiap orang mempunyai karakter

lebih dari satu. Dalam keadaan trance, seseorang akan memcunculkan karakter yang lain yang

biasanya tidak ditampakkan. Singkatnya, fenomena trance alias kesurupan ini bukanlah hal aneh

dan perlu dimistifikasi. Ini adalah fenomena alam biasa, yang disebabkan oleh tekanan jiwa.

Page 5: Kulyah Al Islam

B. BID’AH

a. Bid’ah ialah sesuatu yang diadakan di dalam agama. Maka tidak termasuk bid’ah

sesuatu yang diadakan di luar agama untuk kemaslahatan dunia seperti pengadaan hasil-hasil

industri dan alat-alat untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi.

b. Bid’ah tidak memiliki dasar yang menunjukkannya dalam syari’at. Adapun hal-hal

yang memiliki dasar-dasar syari’at, maka bukan bid’ah meskipun tidak ada dalilnya dalam

syari’at secara khusus. Contohnya pada zaman kita ini orang yang membuat alat alat seperti kapal

terbang, roket, tank, dll. dari alat-alat perang modern dengan tujuan persiapan memerangi orang-

orang kafir dan membela kaum muslimin. Maka perbuatannya bukan bid’ah meskipun syari’at

tidak menjelaskannnya secara rinci, dan Rasulullah tidak menggunakan alat-alat tersebut untuk

memerangi orang-orang kafir. Tetapi membuatnya termasuk dalam firman Allah secara umum, ”

Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja.” (Al-Anfal : 60). Begitu pula

perbuatan-perbuatan lain yang semisal. Maka setiap sesuatu yang memiliki dasar dalam syara’, ia

termasuk syari’at dan bukan bid’ah.

c. Bid’ah di dalam agama kadang-kadang dikurangi dan kadang-kadang ditambah,

sebagaimana dijelaskan oleh As-Suyuti meskipun perlu pembatasan bahwa sebab menguranginya

adalah agar lebih mantap dalam beragama. Adapun jika sebab menguranginya bukan agar lebih

mantap dalam beragama, maka bukan bid’ah. Seperti meninggalkan perintah yang wajib tanpa

udzur. Itu disebut maksiat bukan bid’ah begitu pula meninggalkan perkara sunnat tidak dianggap

bid’ah.

Dengan demikian nyatalah bahwa segala sesuatu itu dianggap benar apabila ibadah

dilakukan ikhlas dan sesuai dengan syari’at. Jika ada ulama yang berani mengatakan bahwa jika

kita beribadah asalkan dengan niat yang ikhlas akan tetapi tidak dilakukan sesuai dengan syariat

atau tidak ada perintahnya mengenai peribadahan tersebut akan diterima oleh Allah maka kadar

keilmuan seorang ulama itu harus di pertanyakan. Bahkan ada pula sebagian dari para ustadz-

ustadz di daerah yang mereka berani sekali mengatakain asalkan niat Lillahi Ta’aala maka segala

sesuatunya itu bisa diterima atau ditolak itu menjadi urusan Allah. Karena manusia hanya

berusaha Allahlah yang menentukan. Mereka (para ulama-ulama tersebut) lupa atau tidak

mengetahui bahwa selain ikhlas harus juga sesuai/diperintahkan oleh syari’at.

Page 6: Kulyah Al Islam

Setelah hal tersebut diatas kemudian timbul lagi permasalahan baru yang disebut sebagai

Bid’ah hasanah. Sebenarnya ungkapan bid’ah hasanah ini muncul ketika Umar r.a mendapati

suatu kaum muslimin pada zamannya melakukan shalat tarawih pada malam bulan Ramadhan

dengan sendiri-sendiri dan bahkan ada yang berjama’ah hanya dengan beberapa orang saja dan

ada yang berjama’ah dengan jumlah besar. Keadaan ini terus berlangsung hingga Amirul

Mu’minin Umar r.a mengumpulkan mereka kepada satu Imam, lalu beliau radhiallahu ‘anhu

berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat taraweh secara berjama’ah)”.

Yang kemudian bisa dijadikan pertanyaan adalah apakah benar qiyamul lail dengan

berjama’ah di bulan Ramadhan itu temasuk bid’ah yang dikatagorikan kepada bid’ah yang

menyesatkan? Hal ini dijawab oleh Syaikh Muhammd bin Shalih al Utsaimini bahwa hal tersebut

bukan bid’ah akan tetapi termasuk sunnah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, berdasarkan

hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Aisyah r.a, bahwa nabi pernah

melakukan qiyamul lail di bulan Ramadhan dengan para sahabat selama tiga malam berturut-

turut, kemudian beliau sholallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya pada malam berikutnya

dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu lalu kamu

tidak akan sanggup melaksakannya.”

Disini jelas sekali bahwa Umar r.a tidaklah mengada-ada atau membuat ajaran baru

berupa qiyamul lail dibulan Ramadhan secara berjama’ah dengan satu imam, akan tetapi beliau

r.a mencoba ingin menyatukan orang-orang yang shalatnya bersendiri-sendiri dan sebagian yang

lain berjama’ah. Tidak mungkin apa yang Umar r.a ucapkan “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini

(shalat taraweh secara berjama’ah)” adalah bid’ah yang sebagimana yang disabdakan Nabi:

Setiap bid’ah itu adalah sesat.” Juga sesuatu yang tidak mungkin jikalau Umar r.a melakukan

sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah salah

seorang hamba dikalangan sahabat yang mendapat jaminan masuk surga dan beliau juga

dikatagorikan sebagai golongan generasi terbaik dan termasuk Khulafa Arasyidin yang lurus dan

adil.

Disamping itu pula ada pendapat imam Syafii yang disalahkan artikan dari sebagian

kaum muslimin yang kemudian dijadikan kontrovesi dan perselisihan, dan sebagian para ulama

berlindung pada qaul Imam Syafi’ie ini. Yaitu tentang pembagian bid’ah hasanah (baik) dan

bid’ah sayyi‘ah (buruk).

Page 7: Kulyah Al Islam

Bid’ah adalah suatu amalan yang diada-adakan atau menambah amalan dalam ritual

ibadah, padahal tidak dicontohkan oleh Rosulullah Saw. Secara bahasa, bid’ah artinya penciptaan

atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam

ritual agama (ibadah mahdhah), yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah, disebut bid’ah.

“Hati-hatilah kalian terhadap perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara baru itu

bid’ah. Dan setiap kebid’ahan adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR.

Baihaqy, An Nasai)

“Barang siapa melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak ada perintahnya dari kami

maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang mengada-adakan hal baru dalam urusan kami ini (agama) padahal bukan

dari bagiannya maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumya.

Sedangkan secara istilah (syariat) adalah sebagaimana perkataan Imam Asy-Syatibi, “Bid’ah

adalah suatu cara yang diada-adakan di dalam agama yang menyerupai agama dengan tujuan

untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Bukan termasuk bid’ah jika sesuatu itu diada-adakan di luar agama (ibadah mahdhah) untuk

kemaslahatan dunia, seperti pengadaan teknologi dalam transportasi, industri, atau yang lainnya.

Imam Malik berkata: “Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah

amalan baru dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad

Saw menyembunyikan risalah, karena Allah Swt menegaskan dalam Surah Al-Maidah:3, yang

artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan

kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

Bid’ah juga terjadi dalam bidang akidah. Syekh Yusuf Qardadhawi dalam bukunya, Fiqih

Prioritas, menyatakan, keyakinan  yang  bertentangan dengan  kebenaran yang dibawa oleh

Rasulullah Saw dan ajaran yang terdapat di dalam Kitab Allah dsebut bid’ah   dalam akidah  (al-

bid’ah al-i’tiqadiyyah). Termasuk dalam hal ini ialah perbuatan mengharamkan  apa  yang

dihalalkan  oleh  Allah,  juga perbuatan yang  dimaksudkan  untuk  beribadah kepada Allah tetapi

tidak disyariahkan dalam ajaran agama-Nya, seperti  mengadakan  upacara-upacara  keagamaan  

yang   tidak diajarkan oleh agama.

Page 8: Kulyah Al Islam

Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada kemaksiatan karena hal itu bertentangan dengan ajaran

agama. Di samping itu, orang yang melakukan bid’ah tidak merasa perlu bertobat dan kembali

kepada jalan yang benar. Bahkan dia malah mengajak orang lain untuk menjalankan bid’ah itu

bersama-sama.

Termasuk bid’ah dalam hal keyakinan ini adalah meyakini pahala bacaan Al-Quran akan

sampai kepada orang yang sudah meninggal. Padahal, “Sesungguhnya kamu tidak dapat

menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (QS. An-Nahl: 80)

Al-Quran itu untuk orang yang hidup. “Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan

kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang

hidup.” (QS. Yasin: 69-70).  Lagi pula, orang mati tidak lagi bisa berbuat kebaikan.

Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya

manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan” (QS. An-

Najm: 38-39).

Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir: ”Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i dan

para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai

kepada orang yang mati karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka.

Jelas, tidak ada dalam Islam ”menghadiahkan bacaan Al-Quran kepada orang yang mati”.

Membaca Surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian

seseorang, tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang

menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih, sebagaimana ditegaskan

oleh Al Imam Ad Daruquthni.

Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati

oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka

diampuni dan ditempatkan di surga. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka

termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak

termasuk hasil usaha seseorang semasa hidup di dunia.

Bid’ah mengingkari kesempurnaan Islam. Islam sudah mengatur berbagai sisi kehidupan

manusia, mulai dari hal-hal besar seperti mengurus negara sampai hal-hal yang dianggap sebelah

mata oleh manusia seperti tatacara buang hajat. Tidak hanya kaum muslimin saja yang

mengakuinya, bahkan orang kafir pun mengakui kesempurnaaan Islam tersebut.

Page 9: Kulyah Al Islam

Salah satu bahaya bid’ah adalah pelakunya tidak sadar bahwa dirinya telah berbuat dosa dengan

perbuatan bid’ahnya, bahkan menyangka telah berbuat amal yang saleh.

Sebagian orang untuk melegalkan perbuatan bid’ahnya berdalil dengan perkataan Umar

rodhiyallohu ‘anhu, “Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini” (yakni sholat tarawih berjamaah

pada bulan Romadhon) (HR. Bukhori). Maka yang dimaksud bid’ah dalam ucapan Umar tersebut

adalah bid’ah secara bahasa yaitu bid’ah (hal yang baru) yang tidak ada pada zaman Abu Bakar

As-Shidiq. Sedangkan sholat tarawih berjamaah telah ada pada zaman Rosululloh shollallohu

‘alaihi wa sallam.

Sebagian orang yang lain berdalil dengan perkataan Imam Syafi’i rohimahulloh, “Bid’ah

ada dua macam, Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela). Apa saja yang

sesuai dengan sunnah maka termasuk bid’ah mahmudah dan apa yang menyelisihi sunnah maka

termasuk bid’ah madzmumah.”

Maka maksud perkataan ini adalah bid’ah secara bahasa, karena bid’ah dalam istilah syariat

adalah yang tidak ada landasan dalil syar’inya. Adapun Bid’ah Mahmudah, yaitu bid’ah yang

sesuai dengan sunnah nabi dan memiliki landasan syar’i, maka jelaslah yang dimaksud adalah

bid’ah secara bahasa bukan secara istilah. Sehingga dalih apa pun atau perkataan siapa pun yang

digunakan oleh seseorang untuk membela bid’ahnya, tetaplah tidak dapat merubah ketetapan

Rosululloh bahwa setiap bid’ah adalah sesat.

Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :

1. Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-

penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-

penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah

(diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.

2. Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam

dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat

yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka

perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan :

“Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan

kami, maka perbuatannya di tolak”.

Page 10: Kulyah Al Islam

MACAM-MACAM BID’AH

Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :

1. Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti

ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah

(kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.

2. Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa

yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa

bagian yaitu :

a. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu

ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan

shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau

mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun,

kelahiran dan lain sebagainya.

b. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan,

seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

c. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah

yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan

dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri

(memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

d. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak

dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu

Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada

dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya

dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat,

sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu “ alaihi wa sallam “Artinya : Janganlah kamu

sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan

hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu

Page 11: Kulyah Al Islam

Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih]. Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa sallam “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka

perbuatannya tertolak”. Dan dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa

beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien

(Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.

Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang

menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan

diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada

kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka,

dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang

yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Ada juga bid’ah yang

merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat

berdo’a disisinya. Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana

halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan

keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat

seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga

memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).

Catatan :Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah

(jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua

bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak

setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !.Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan

dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

: “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak

ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-

Dien, yang senada dengan sabdanya : “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang

bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang mengada-

ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya

dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya

Page 12: Kulyah Al Islam

; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir

maupun batin. Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan

bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu

pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata :

“Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama

salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan

penyusunannya”.

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-

masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar

Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut

bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat

sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti

bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya

dalam syariat sebagai rujukannya. Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada

rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan

penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh

para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk

menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat

secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak

bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para

sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar

Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam.

Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan

bid’ah dalam Ad-Dien. Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam

syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis

sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan

yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ;

sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-

Page 13: Kulyah Al Islam

hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya

tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua,

karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa

sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang

selalu tidak bertanggung jawab.

C. KHURAFAT

Khurâfat secara bahasa berarti takhayul, dongeng atau legenda

Sedangkan khurâfy adalah hal yang berkenaan dengan takhayul atau dongeng.

Dalam kamus munawir khurafat diartikan dengan: hal yang berkenaan dengan kepercayaan yang

tidak masuk akal (batil).

Khurâfat ialah semua cerita sama ada rekaan atau khayalan, ajaran-ajaran, pantang-

larang, adat istiadat, ramalan-ramalan, pemujaan atau kepercayaan yang menyimpang dari ajaran

Islam.Berdasarkan pengertian di atas, khurâfat mencakup cerita dan perbuatan yang direka-reka

dan bersifat dusta. Begitu juga dengan pemikiran yang direka-reka merupakan salah satu bentuk

khurafat.

Sumber khurafat (ejaan lama: churafat) adalah dinamisme dan animisme. Dinamisme

adalah kepercayaan adanya kekuatan dalam diri manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-

benda, dan kata-kata. Sedangkan Animisme adalah kepercayaan adanya jiwa dan ruh yang dapat

mempengaruhi alam manusia

Khurafat diartikan sebagai cerita-cerita yang mempesonakan yang dicampuradukkan

dengan perkara dusta, atau semua cerita rekaan atau khayalan, ajaran-ajaran, pantangan, adat-

istiadat, ramalan-ramalan, pemujaan atau kepercayaan yang menyimpang dari ajaran Islam

Khurafat adalah bid’ah dalam bidang akidah, yakni kepercayaan atau keyakinan kepada

sesuatu perkara yang menyalahi ajaran Islam. Misalnya, meyakini kuburan orang saleh dapat

memberikan berkah, memuja atau memohon kepada makhluk halus (jin), meyakini sebuah benda

–tongkat, keris, batu, dll.—memikiki kekuatan ghaib yang bisa diandalkan, dan sebagainya.

Khurafat adalah budaya masyarakat Jahiliyah. Di antara khurafat mereka ialah

mempercayai kepada arah burung yang berterbangan, memberi kesan kepada nasib mereka.

Masyarakat Jahiliah percaya, jika burung hantu menghinggapi dan berbunyi di atas sesebuah

Page 14: Kulyah Al Islam

rumah, maka artinya salah seorang dari penghuni rumah itu akan meninggal dunia. Kepercayaan

sebegini mengakibatkan penghuni rumah akan berdukacita.

Kini juga berkembang ”khurafat modern”. Musuh-musuh Islam berusaha

mengembangkan pemikiran Islam yang menyimpang, seperti munculnya aliran ”Islam liberal”,

yang antara lain mengkampanyekan pluralisme, serta mengembangkan pemikiran bahwa ”semua

agama benar” dan ”Tuhan semua agama sama”. Aliran Islam liberal ini bisa disebut ”khurafat

modern” yang harus diperangi.

Masih bertahannya TBC di kalangan masyarakat Islam jelas merupakan penghambat kebangkitan

Islam, sekaligus tantangan dunia dakwah. Semoga gerakan pemurnian Islam terus berlangsung

untuk memberantasnya dan demi tegaknya tauhidullah. Amin! Wallahu a’lam. (ZI, Dari berbagai

sumber).

Daftar pustaka Badawi. Mh. Djadan. 2003. Tata Usaha Muhammadiyah. Yogyakarta: PT. Surya Sarana

Utama Divisi grafika

Majlis Tarjih. 1967. Pengertian TBC. Yogyakarta:pimpinan PUsat Muhammadiyah

http://Keharaman TBC.ac.id

Nashir, Haedar. 2000. Macam-macam dan hukum TBC.Yogyakarta.UMM Press