al islam 3

42
1. Apakah defenisi dari Ta’aruf ? Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah – taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal. Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan. 2. Apakah Perbedaan Pacaran dan Ta’aruf ? Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli motor second, tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus motor itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan motor itu. Sedangkan taaruf adalah seperti seorang montir motor yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf, seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk membawa pergi motor itu sendiri.

Upload: muhamad-firmansyah

Post on 25-Nov-2015

44 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1. Apakah defenisi dari Taaruf ?Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal.

Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan taaruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.

2. Apakah Perbedaan Pacaran dan Taaruf ?Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli motor second, tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus motor itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan motor itu.

Sedangkan taaruf adalah seperti seorang montir motor yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf, seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk membawa pergi motor itu sendiri.

3. Ada Suatu Pertanyaan Seperti ini ?a. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?

..

Katakan kepada kaum mukminin hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka .Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma dia berkata:

:

Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang pandangan yg tiba-tiba ? mk beliau bersabda: Palingkan pandanganmu.

Adapun suara dan ucapan wanita pada asal bukanlah aurat yg terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lbh dari tuntutan hajat dan tdk boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan tidak boleh berupa perkara-perkara yg membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapan menjadi aurat dan fitnah yg terlarang. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Maka janganlah kalian berbicara dgn suara yg lembut sehingga lelaki yg memiliki penyakit dlm kalbu menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yg maruf / baik .

Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabat lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kepentingan dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tdk berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.

4. Proses Taaruf Lalu bagaimana proses taaruf yang syari sehingga menuju pernikahan yang barokah?

Yang pertama yaitu tidak boleh menunggu, misalnya jarak antara taaruf dengan pernikahan selama satu tahun. Si akhawat diminta menunggu selama satu tahun karena ikhwannya harus bekerja terlebih dahulu atau harus menyelesaikan kuliah dulu. Hal ini jelas mendzolimi akhwat karena harus menunggu, dan juga apa ada jaminan bahwa saat proses menunggu itu tidak ada setan yang mengganggu??

Yang kedua adalah tidak boleh malu-malu, jadi kalau memang sudah siap untuk menikah sebaiknya segera untuk mengajukan diri untuk bertaaruf. Apabila malu-malu maka proses Taaruf akan tidak terjadi atau tidak akan lancar dalam prosesnya, nah jadi repot sendiri kita.

Kemudian yang ketiga dapat melalui jalur mana saja. Maksudnya adalah kita bisa meminta bantuan siapa saja untuk mencarikan calon pendamping kita, mulai dari orang tua, murobbi, saudara, kawan atau orang-orang yang dapat kita percaya.

Etika selama bertaaruf yaitu jangan terburu-buru menjatuhkan cinta. Misalnya ketika kita mendapatkan satu biodata calon pasangan tanpa mengenal lebih dalam, tiba-tiba sudah yakin dengan pilihan itu. Alangkah baiknya jika mengenal lebih dalam mulai dari kepribadian, fisik, dan juga latar belakang keluarganya, sehingga nanti tidak seperti membeli kucing dalam karung. Akan tetapi tidak terburu-buru dalam menjatuhkan cita itu juga tidak boleh terlalu lama dan bertele-tele. Sebaiknya menanyakan hal yang penting dan to the point. Hal ini juga untuk menghindari godaan setan yang lebih dahsyat lagi.

Proses taaruf dikatakan selesai jika sudah mendapatan tiga hal yaitu1. Tentang budaya keluarga,2. proyeksi masa depan dan

3. visi hidup dari masing masing.

Nah jika ketiga hal ini sudak didapatkan maka proses taaruf selesai, dan berlanjut ke tingkat berikutnya apakan dilanjutkan atau tidak. Jika iya maka segera untuk ditindak lajuti bersama dengan pihak keluarga kedua belah pihak kalau istilah jawanya rembug tuwo. Dan ingat pada saat proses menunggu datangnya hari bahagia itu godaan setan akan bertumpuk-tumpuk, akan ada saja yang menggoda kita melalui berbagai macam hal. Jadi untuk menghindari itu perbanyak dzikir mengingat Allah, dan memperbaiki hubungan dengan Allah. Karena dengan itu maka Allah akan senantiasa melindungi hati kita, pikiran kita dan tindakan kita dari hal-hal yang dilarang.

5. Kesimpulan Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah.

Wallahul mustaan

(Allah-lah tempat meminta pertolongan).Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.

Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Muawiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid. (HR. Muslim)

Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab.

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.

Perkara ini diistilahkan dengan taaruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .

Taaruf adalah kegiatan bersilaturahmi, kalau pada masa ini kita bilang berkenalan bertatap muka, atau main/bertamu ke rumah seseorang dengan tujuan berkenalan dengan penghuninya. Bisa juga dikatakan bahwa tujuan dari berkenalan tersebut adalah untuk mencari jodoh. Taaruf bisa juga dilakukan jika kedua belah pihak keluarga setuju dan tinggal menunggu keputusan anak untuk bersedia atau tidak untuk dilanjutkan ke jenjang khitbah - taaruf dengan mempertemukan yang hendak dijodohkan dengan maksud agar saling mengenal.

Sebagai sarana yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan, taaruf sangat berbeda dengan pacaran. Taaruf secara syar`i memang diperintahkan oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara pacaran dengan taaruf adalah dari segi tujuan dan manfaat. Jika tujuan pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina, dan maksiat. Taaruf jelas sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.

Perbedaan taaruf dengan pacaran Dalam pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat seorang yang ingin membeli mobil second, tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia cuma memegang atau mengelus mobil itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya. Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan mobil itu.

Sedangkan taaruf adalah seperti seorang montir mobil yang ahli memeriksa mesin, sistem kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar-menawar. Ketika melakukan taaruf, seseorang baik pihak pria atau wanita berhak untuk bertanya yang mendetil, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak jujur, bisa berakibat fatal nantinya. Namun secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh untuk membawa pergi mobil itu sendiri.

Proses taarufDalam upaya taaruf dengan calon pasangan, pihak pria dan wanita dipersilakan menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan cuma berdua saja. Harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi, taaruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua.

Tujuan taarufTaaruf adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap calon pasangan. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan data global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak cukup penting. Misalnya masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya dengan cara yang seksama, bukan cuma sekedar curi-curi pandang atau ngintip fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk mendatangi calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto, lukisan atau video.

Karena pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada salahnya untuk dilihat. Khusus dalam kasus taaruf, yang namanya melihat wajah itu bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama. Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh di sana. Begitu juga dia boleh meminta diperlihatkan kedua telapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena telapak tangan wanita bukanlah termasuk aurat.

Manfaat Taaruf Selain urusan melihat fisik, taaruf juga harus menghasilkan data yang berkaitan dengan sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya. Hanya semua itu harus dilakukan dengan cara yang benar dan dalam koridor syariat Islam. Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri atau dari calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton, boncengan, kencan, nge-date dan seterusnya dengan menggunakan alasan taaruf. Janganlah ta`aruf menjadi pacaran, sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilath antara pasangan yang belum jadi suami-istri ini.

SEMOGA BERMANFAATnote : semua kembali pada individu mana yang mau di pilih , mau taaruf atau melalui proses pacaran... yang terpenting niatnya baik dan tulus, bisa mempertanggungjawabkan jalan apa yang di pilihnya kepada ALLAH dan tidak melanggar norma norma.

HUKUM PACARAN MENURUT ISLAM (penjelasan mengenai sebab diharamkannyapacaran)Posted on June 19, 2011 by Situs islam: www.almanhaj.or.id , www.alsofwah.or.id , www.muslim.or.id

Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran` dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.

I. Tujuan Pacaran

Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.

Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan. Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum siap.

Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari aktifitas yang normal.

II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?

Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.

Sehingga kita juga sering mendengar istilah chek-in, yang awalnya adalah istilah dalam dunia perhotelan untuk menginap. Namun tidak sedikit hotel yang pada hari ini berali berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan mahasiswa, juga pasanga-pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah menjadi bagian dari lahan pemasukan tersendiri buat beberapa hotel dengan memberi kesempatan chek-in secara short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman untuk ruangan berzina bagi para pasangan di luar nikah.

Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap sebagai hak asasi setiap orang.

Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.

Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus `hamil di luar nikah` dan aborsi ilegal.

Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan perilaku zina yang oleh sistem hukum di negeri ini sama sekali tidak dilarang. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang berzina, tidak bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan diberi simpati.

III. Pacaran Dalam Pandangan Islam

a. Islam Mengakui Rasa Cinta

Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14).

Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mewujudkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.

Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku`.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal

Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.

Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.

Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `laki-laki sejati`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.

Sedangkan pemandangan yang kita lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.

Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.

c. Pacaran Bukan Cinta

Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berbentuk sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemu langsung.

Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada kepastian tentang kesetiaan dan seterusnya.

Padahal cinta itu adalah memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.

d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan

Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, atau perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya atas data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.

Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)

Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.

Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebagai ta`aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.

Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemu dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum dan acak-acakan. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.

Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya bisa dikatakan sebuah penyesatan dan pengelabuhan.

Dan tidak heran bila kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.

Diperbolehkan melakukan taaruf terhadap orang yang dikhitbah dalam dua hal saja:

1. dengan mempertemukan perempuan untuk meyakinkan orang yang mengkhitbah dengan meilhatnya dan mengkabarkan sifat-sifatnya. sebagaiman dalam sebuah hadist yang di riwayatkan oleh anas

: ) ( : 113/3 : 110/6)(

gigi yang terlihat diantara mulut yaitu gigi yang berada diantara gigi-gigi dan geraham =

yaitu untuk mengetahui bau mulut

urat syaraf yang tebal yang mengelilingi tumit =

yaitu untuk melihat keindahan dua kakinya

demikian pula hal dengan perempuan untuk melakukan hal yang serupa yaitu melihat orang yang mengkhitbahnya

2. melihat secara langsung untuk melihat kecantikan dan kesuburannya yaitu dengan melihat wajahnya, telapak tangan dan tinggi badan maka wajah menunjukan kecantikannya telapak tangan menunjukan keseburan dan kekurusannya.

sebagaimana syariat telah memeperbolehkan tentang bolehnya laki-laki melihat wanita yang mau di khitbahnya.

: : ) ( : 112/3-113).

: : ) ( : 110/6).

fiqhul islamy wa adillatuhu, wahbah zuhaili 7/22-23 darrul fikrKhitbah : Pinangan dalam Hukum Islam

I. PengantarDalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. KHI mengatur peminangan itu dalam pasal 1, 11, 12, dan 13. keseluruhan pasal yang mengatur peminangan ini keseluruhannya berasal dari fqh madzhab, terutama madzhab Syafiie. Namun hal-hal yang dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh tentang peminangan seperti hukum perkawinan yang di lakukan setelah berlangsungnya peminangan yang tidak menurut ketentuan, tidak diatur dalam KHI .

Kami akan menjelaskan pengertian pinangan, hukum peminagan , Syarat-Syarat Khitbah, Pembatalan Tali Pertunangan , akibat hukum pinangan.

II. PembahasanA. Pengertian Khitbah

Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.

Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Pinangan yang kemudian berlanjut dangan pertunangan yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya" (Muttafaq 'alaih)Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.

Hukum Tukar CincinKategori: Fiqh dan Muamalah13 Komentar // 5 Desember 2011

Bismillah Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Fenomena tukar cincin sudah biasa kita saksikan di saat-saat pernikahan, saat tunangan atau lamaran. Namun sebagian besar yang melakukan ceremonial tersebut tidak mengetahui bagaiamana Islam menghukumi hal ini. Barangkali pula mereka tidak mengetahui apa hukum mengenakan emas bagi pria. Bahkan ada ulama yang menyatakan bahwa tukar cincin bisa mengandung keyakinan syirik. Agar menghilangkan penasaran Anda, simak dalam tulisan berikut ini.

Dengarkan Sabda Nabimu shallallahu alaihi wa sallamHai ikhwah ketahuilah bahwa emas berupa gelang, cincin dan galung haram bagi seorang pria. Tentu saja kita mengatakan haram bukan hanya asal-asalan. Namun tentu ada dalilnya. Dan kita diperintahkan untuk taat pada Rasul shallallahu alaihi wa sallam jika lisan beliau melarang sesuatu. Dalilnya adalah hadits berikut ini,

Dari Abu Musa, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Emas dan sutra dihalalkan bagi para wanita dari ummatku, namun diharamkan bagi para pria. (HR. An Nasai no. 5148 dan Ahmad 4/392. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ini dalil umum mengenai larangan perhiasan emas bagi pria.Sedangkan mengenai larangan secara khusus mengenai cincin emas sendiri terjadi ijma (kesepakatan) para ulama dalam hal ini akan haramnya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Al Bukhari dan selainnya,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang cincin emas (bagi laki-laki). (HR. Bukhari no. 5863 dan Muslim no. 2089). Sudah dimaklumi bahwa asal larangan adalah haram.Selain itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bertemu seorang lelaki yang memakai cincin emas di tangannya. Beliau mencabut cincin tersebut lalu melemparnya, kemudian bersabda,

Seseorang dari kalian telah sengaja mengambil bara api neraka dengan meletakkan (cincin emas semacam itu) di tangannya. Lalu ada yang mengatakan lelaki tadi setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pergi, Ambillah dan manfaatkanlah cincin tersebut. Ia berkata, Tidak, demi Allah. Saya tidak akan mengambil cincin itu lagi selamanya karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah membuangnya. (HR. Muslim no. 2090, dari hadits Abdullah bin Abbas).Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini berkata, Seandainya si pemilik emas tadi mengambil emas itu lagi, tidaklah haram baginya. Ia boleh memanfaatkannya untuk dijual dan tindakan yang lain. Akan tetapi, ia bersikap waro (hati-hati) untuk mengambilnya, padahal ia bisa saja menyedekahkan emas tadi kepada yang membutuhkan karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah melarang seluruh pemanfaatan emas. Yang beliau larang adalah emas tersebut dikenakan. Namun untuk pemanfaatan lainnya, dibolehkan. (Syarh Shahih Muslim, 14: 56)

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Shahih Muslim (14: 32), Emas itu haram bagi laki-laki berdasarkan ijma (kesepakatan) para ulama. Dalam kitab yang sama (14: 65), Imam Nawawi juga berkata, Para ulama kaum muslimin sepakat bahwa cincin emas halal bagi wanita. Sebaliknya mereka juga sepakat bahwa cincin emas haram bagi pria.

Bagaimana cincin emas bagi wanita? Sudah dijelaskan dalam dalil di atas akan kebolehannya bagi wanita. Dalam Al Majmu, Imam Nawawi rahimahullah berkata, Dibolehkan bagi para wanita yang telah menikah dan selainnya untuk mengenakan cincin perak sebagaimana dibolehkan cincin emas bagi mereka. Hal ini termasuk perkara yang disepakati oleh para ulama dan tidak ada khilaf di dalamnya. (Al Majmu, 4: 464)

Apa hukum pria gunakan logam mulia lain selain emas? Perlu diketahui bahwa menggunakan perak tidaklah masalah bagi pria, bahkan hal ini disepakati (menjadi ijma) para ulama (Lihat Al Mawsuah Al Fiqhiyyah, 32: 164). Yang jadi rujukan mereka adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata,

. . Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menulis atau ingin menulis. Ada yang mengatakan padanya, mereka tidak membaca kitab kecuali dicap. Kemudian beliau mengambil cincin dari perak yang terukir nama Muhammad Rasulullah. Seakan-akan saya melihat putihnya tangan beliau. (HR. Bukhari no. 65 dan Muslim no. 2092). Dalam Al Muntaqa Syarh Muwatha (2: 90), disebutkan bahwa perak bagi pria dibolehkan dalam tiga penggunaan, yaitu pedang, cincin dan mushaf.Sedangkan untuk logam lainnya, tidaklah masalah bagi pria. Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan guru kami- berkata, Lelaki diharamkan memakai cincin emas. Sedangkan cincin perak, atau logam semacamnya, walaupun sama-sama logam mulia, hukumnya boleh memakainya karena yang diharamkan adalah emas. Dan tidak boleh pula memakai cincin dari campuran emas, tidak boleh memakai kacamata, pena, jam tangan yang ada campuran emas-nya. Intinya, lelaki tidak diperbolehkan berhias dengan emas secara mutlak. (Muntaqa Fatawa Al Fauzan, jilid 5 fatwa no. 450)

Pandangan Ulama Mengenai Hukum Tukar CincinJika tukar cincin dengan emas, maka masalahnya adalah cincin emas haram bagi pria, tidak bagi wanita. Jika ada yang bertukar cincin dengan logam selain emas (walau jarang ditemukan), apa tidak masalah? Jawabannya, tetap bermasalah dan dikritik oleh para ulama.

Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah dalam website Al Islam Sual wal Jawab berkata, Cincin kawin bukanlah tradisi kaum muslimin. Jika diyakini cincin kawin tersebut punya sebab yang dapat mengikat ikatan cinta antara suami istri, dan jika cincin tersebut dilepas dapat mengganggu hubungan keduanya, maka hal ini bisa dinyatakan SYIRIK dan masuk dalam keyakinan jahiliyah. Ditambah lagi bahwa emas itu haram bagi pria, maka cincin kawin tidaklah diperbolehkan sama sekali. Kami dapat rinci alasannya:

1. Karena cincin kawin tidak ada kebaikan sama sekali dan hanya merupakan tradisi yang diimpor oleh kaum muslimin dari orang kafir.

2. Jika yang mengenakan cincin kawin tersebut menganggap bahwa cincin itu bisa berpengaruh dalam langgengnya pernikahan, maka hal ini bisa masuk dalam kesyirikan (karena menyandarkan sebab pada sesuatu yang bukan sebab sama sekali, pen). Laa hawla quwwat illa billah, tidak ada daya dan upaya untuk berlindung dari kesyirikan kecuali dengan pertolongan Allah. Demikian faedah yang kami peroleh dari fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan. (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 21441)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya mengenai hukum cincin pernikahan. Beliau rahimahullah menjawab, Cincin nikah yang biasa digunakan adalah emas. Padahal emas sama sekali tidak punya pengaruh bagi yang mengenakannya. Sebagian orang yang mengenai cincin pernikahan ini terkadang membuat ukiran di emas tersebut dan diserahkan pada istrinya. Begitu pula si istri diukir namanya di cincin dan akan diberi pada suaminya. Keyakinan mereka adalah bahwa tukar cincin semacam ini akan lebih merekat ikatan cinta di antara pasutri. Dalam kondisi seperti ini, cincin pernikahan bisa jadi haram karena cincin menjadi sandaran hati padahal tidak disetujui secara syari maupun terbukti dari segi keilmiahan. Begitu pula tidak boleh menggunakan cincin nikah yang dikenakan oleh pasangan yang baru dilamar. Karena jika belum ada akad nikah, si wanita belumlah menjadi istri dan belumlah halal. Wanita tersebut bisa halal bagi si pria jika benar-benar telah terjadi akad. (Al Fatawa Al Jamiah lil Mar-ah Al Muslimah, 3: 914-915)

Sifat Seorang Muslim: Mendengar dan Patuh, Samina wa AthanaAllah Taala berfirman,

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An Nuur: 51). Inilah sifat orang muslim dan beriman. Bukan hanya firman Allah yang ia ikuti, namun juga kata Rasulnya shallallahu alaihi wa sallam.Perhatikan dan renungkan pula ayat-ayat berikut ini.

Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (QS. Ali Imron: 32). Ayat ini menunjukkan dengan jelas kita harus menaati Rasul. Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur: 63). Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyelisihi perintah Rasul akan mendapat ancaman. Hal ini menunjukkan bahwa perintah beliau pun harus tetap diikuti.Renungkan pula sabda Nabimu shallallahu alaihi wa sallam,

Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al -Quran dan yang semisal bersamanya (As Sunnah). Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Al-Quran! Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Quran dari perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam Al-Quran dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak, daging binatang buas yang bertaring dan barang temuan milik orang kafir muahid (kafir dalam janji perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih utama) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap jamuan mereka. (HR. Abu Daud no. 4604. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).Perhatikan baik-baik kalimat yang kami garis bawahi dalam hadits di atas. Seakan-akan apa yang dulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampaikan benar-benar terjadi saat ini. Ternyata saat ini sebagian umat Islam hanya mau mengambil apa yang telah disebutkan dalam Al Quran saja. Sehingga karena anjing tidak disebut dalam Al Quran kalau itu haram, maka mereka pun tidak mengharamkannya. Begitu pula emas, jika tidak ditemukan pelarangannya dalam Al Quran, ia pun tidak mau mengharamkannya. Sungguh inilah bukti nubuwah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan, Allah Taala telah memerintahkan kita untuk menataati Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan diperintahkan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan dalam perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al Quran. Sehingga tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam asalkan bersesuaian dengan Al Quran. Sungguh perkataan semacam ini adalah perkataan orang yang menyimpang. (Jaami Bayanil Ilmi wa Fadhlih, 2: 190-191; dinukil dari Maalim Ushul Fiqh, hal. 126). Jadi sungguh aneh jika ada yang masih ngotot membela perhiasan emas itu halal bagi pria dikarenakan dalam Al Quran tidak disebutkan larangannya.

Penjelasan di atas berarti jika Rasul kita shallallahu alaihi wa sallam- melarang pria berhias dengan emas, kita pun harus mendengar dan taat artinya kita menjauhi dan meninggalkannya. Karena ingatlah,

Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. (QS. An Nuur: 54). Artinya, jika mentaati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kita akan mendapat petunjuk kepada shirathal mustaqim, yakni jalan yang lurus.Demikian tulisan sederhana yang kami sajikan. Moga menambah hasanah ilmiah para pembaca. Begitu pula kami memohon pada Allah semoga ilmu ini menjadi ilmu yang bermafaat bagi kita semua dan bisa diamalkan. Dan lebih baik disebar dan dishare kepada kaum muslimin lainnya apalagi yang belum mengetahui akan hukum masalah ini.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Hanya Allah yang memberi petunjuk, kita selaku manusia tidak bisa memberikan petunjuk hidayah kepada orang yang kita cintai sekalipun. Innaka laa tahdii man ahbabta. Tugas kita hanyalah memberi nasehat dan wejangan, hidayah di tangan Allah.

Dari artikel Hukum Tukar Cincin Muslim.Or.Id by null1. PacaranSebelum melangsungkan pernikahan, sebagian besar orang biasanya berpacaran terlebih dahulu. Hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu atau masa penjajagan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.

Dengan adanya anggapan seperti ini, maka akan melahirkan konsensus di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang pernikahan. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh. Perbuatan ini sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syariat Islam.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya. [1]

Jadi, dalam Islam tidak ada kegiatan untuk berpacaran, dan berpacaran hukumnya haram.

Contoh lain yang juga merupakan pelanggaran, yaitu sangkaan sebagian orang bahwa kalau sudah tunangan (khitbah), maka laki-laki dan perempuan tersebut boleh jalan berdua-duaan, bergandengan tangan, bahkan ada yang sampai bercumbu layaknya pasangan suami-isteri yang sah. Anggapan ini adalah salah! Dan perbuatan ini adalah dosa dan akan membawa kepada perzinaan yang merupakan perbuatan dosa besar!

2. Tukar Cincin (Pertunangan)Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan. Hal ini juga bukan dari ajaran Islam.[2]

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam melarang kaum laki-laki untuk memakai cincin yang terbuat dari emas.

Dari Abu Musa al-Asyari radhiyallaahu anhu, bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Emas dan sutra dihalalkan untuk wanita dari ummatku dan diharamkan atas laki-lakinya.[3]

Cincin pertunangan adalah tradisi orang-orang Nasrani, dimana mereka biasa memberikan cincin kepada calon pengantin sebelum dilangsungkannya pernikahan.

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah berkata, Kami tidak mengetahui dasar amalan ini dalam syariat. Dan yang paling utama adalah meninggalkan hal tersebut, baik cincin itu terbuat dari emas, perak, atau selainnya. [4]

3. Menuntut Mahar yang TinggiMenurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu anhu yang membatasi mahar wanita adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah.[5]

4. Mengikuti Upacara AdatAjaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara, dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk diting-galkan dan dihilangkan. Sebagian ummat Islam dalam cara pernikahan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga Sunnah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan. Padahal Sunnah Rasul shallal-laahu alaihi wa sallam merupakan cahaya dalam agama ini.

Di antara contoh upacara-upacara adat yang jelas-jelas syirik seperti upacara menginjak telur, pasang sesaji, pasang janur, dan lainnya dengan tujuan untuk mengusir jin dan menganggap supaya berkah.

Ada pula yang mengharuskan berpakaian adat yang membuat mempelai wanita dan para pendampingnya memamerkan aurat, memamerkan rambut, bahu dan bagian tubuh lainnya kepada hadirin. Perbuatan ini adalah maksiat. Ingat, setiap wanita yang sudah baligh maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Ada juga ritual sungkeman, yaitu kedua mempelai berlutut menghadap kepada orang tua mereka untuk meminta maaf dan memohon restu yang biasanya dilakukan seusai akad nikah. Padahal, perbuatan ini mengajarkan orang untuk tunduk dan sujud kepada selain Allah, bahkan dapat menjerumuskan seseorang kepada kesyirikan. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam mengajarkan hormat kepada orang tua, akan tetapi bukan dengan cara ruku, berlutut atau bersujud, dan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan hal-hal tersebut kepada anak-anak dan para Shahabatnya. Yang disyariatkan adalah berjabat tangan ketika berjumpa dan berpelukan ketika pulang dari safar, justru hal ini banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin.

Mudah-mudahan para orang tua atau para wali sadar untuk tidak mengikuti upacara-upacara adat yang mengandung perbuatan syirik dan kemaksiatan. Dan mudah-mudahan mereka sadar untuk kembali mengikuti ajaran Islam yang mudah dan tidak menyulitkan agar pernikahan anaknya diberkahi oleh Allah Taala.

Sungguh sangat ironis...! Kepada mereka yang masih mengagungkan adat istiadat Jahiliyyah dan melecehkan ajaran Islam, berarti mereka belum yakin sepenuhnya kepada kebenaran agama Islam.Allah Azza wa Jalla berfirman:

Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? [Al-Maa-idah : 50]

Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, ajaran, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla dan kelak di akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi. [Ali Imran : 85]

5. Mencukur Jenggot bagi Laki-lakiSebagian laki-laki yang akan menikah mencukur jenggotnya dengan alasan supaya tampil lebih rapi ketika merayakan pernikahannya.

Dalam syariat Islam, laki-laki tidak boleh mencukur jenggotnya dan hukumnya haram, karena Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki untuk memelihara dan memanjangkan jenggotnya.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

: .

Rapikanlah kumis, biarkanlah jenggot; selisihilah orang Majusi. [6]

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, Mencukur jenggot bagi kaum laki-laki adalah perilaku yang buruk karena mereka seringkali meniru perilaku orang-orang kafir Eropa yang selalu mencukur jenggotnya. Mereka merasa malu jika mereka memelihara jenggot, apalagi ketika mereka menemui pengantin wanita tanpa ber-cukur. Dalam hal ini mereka telah melakukan hal-hal yang dilarang. Di antaranya:

1. Merubah ciptaan Allah.Allah Taala berfirman:

Syaitan dilaknat Allah, dan ia berkata, Aku pasti akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu, dan pasti akan aku sesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan akan aku suruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka merubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar merubahnya). Barangsiapa menjadikan syaitan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh ia menderita kerugian yang nyata. [An-Nisaa' : 118-119]

Mencukur jenggot termasuk perilaku merubah apa yang ditetapkan oleh ajaran Islam.

2. Melanggar perintah Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam.Beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot. [7]

Kita mengetahui bahwa perintah tersebut tidak menunjukkan wajib, kecuali ada qarinah atas yang menegaskan hal itu, yaitu sebagaimana yang ada pada point ketiga berikut ini.

3. Menyerupai orang kafir.Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

.

Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot. Bedakanlah diri kalian dengan orang-orang Majusi. [8]

4. Menyerupai kaum wanita.

.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki. [9]

Oleh karena itu, laki-laki yang mencukur jenggotnya telah terbukti berusaha menyerupai wanita. [10]

6. Mencukur Alis Mata bagi WanitaBegitu pula sebagian wanita mencukur bulu alis matanya menjelang pesta pernikahan dengan alasan supaya tampil lebih cantik. Perbuatan ini adalah dosa dan dilarang dalam syariat Islam.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Allah melaknat wanita yang bertato, wanita yang minta ditato, wanita yang mengerik alis dan yang meminta dikerik alisnya, dan wanita yang mengikir giginya agar tampak cantik, mereka telah mengu-bah ciptaan Allah. [11]

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang meminta disambung rambutnya.[12]

7. Kepercayaan terhadap Hari Baik dan Sial dalam Menentukan Waktu Pernikahan.Sebagian kaum muslimin masih mempercayai adanya hari baik atau hari sial, bulan baik atau bulan sial ketika mereka menentukan tanggal pernikahan putera-puteri mereka. Mereka mendatangi dukun, orang pintar, peramal atau paranormal untuk minta nasihatnya tentang penentuan tanggal tersebut. Ini adalah perbuatan tathayyur yang sangat dilarang dalam Islam! Agama Islam tidak mengenal adanya hari sial.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sungguh dia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam. [13]

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik; dan tidak ada seorang pun di antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya. [14]

Thiyarah yaitu menganggap sial dengan sesuatu yang dilihat, didengar atau diketahui. Bisa juga berarti merasa bernasib sial atau buruk karena melihat burung atau apa saja. Seperti kepercayaan orang Jahiliyyah yang menganggap sial dengan bulan Shafar. Atau juga menganggap sial dengan hari-hari tertentu.

8. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Ucapan Kaum JahiliyyahKaum Jahiliyyah selalu menggunakan kata-kata, Birrafaa' wal Baniin (semoga rukun dan banyak anak), ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birrafaa' wal Baniin telah dilarang dalam agama Islam.

Dari al-Hasan, bahwa Aqil bin Abi Thalib radhiyallaahu anhu menikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan Jahiliyyah: Birrafaa' wal Baniin. Maka Aqil bin Abi Thalib radhiyallaahu anhu melarang mereka seraya berkata, Janganlah kalian mengucapkan demikian! Karena Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam melarang ucapan demikian. Para tamu bertanya: Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid? Aqil menjawab, Ucapkanlah:

.

Baarakallaahu lakum wabaaraka alaikum (mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan).

Demikianlah ucapan selamat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. [15]

Doa yang biasa Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai adalah:

.

Semoga Allah memberikan berkah kepadamu dan kepada pernikahanmu serta mengumpulkan kalian berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan.

Doa ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu:

: .

Bahwasanya jika Nabi shallallaahu alaihi wa sallam mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan doa: Baarakallaahu laka wabaaraka alaika wa jamaa bainakumaa fii khair (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu dan kepada pernikahanmu serta mengumpulkan kalian berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan). [16]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]_______Footnote[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim (no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat Muslim, dari Shahabat Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma.[2]. Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 99), cet. Daarus Salaam, th. 1423 H.[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/392, 393, 394, 407), at-Tirmidzi (no. 1720) dan an-Nasa-i (VIII/161), dari Shahabat Abu Musa al-Asyari. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 277).[4]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/129).[5]. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (VI/347-348) dan al-Insyirah fi Adabin Nikah (hal. 35).[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu.[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5893) dan Muslim (no. 260).[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 260 (55)) dan Abu Awanah (I/188), dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu.[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5885, 6834), at-Tirmidzi (no. 2784) dan lainnya, dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma.[10]. Adabuz Zifaf (hal. 207-210).[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5931) dan Muslim (no. 2125 (120)), dari Abdullah bin Masud radhiyallaahu anhu. Lihat keterangan lengkap dalam Adabuz Zifaf (hal. 202-210).[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2124), dari Sahabat Ibnu Umar radhiyallaahu anhuma.[13]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/429), al-Hakim (I/8) dan al-Baihaqi (VIII/135). Al-Hakim berkata, Shahih atas syarat al-Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu.[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3910), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (lihat Shahiih Adabul Mufrad no. 698), at-Tirmidzi (no. 1614), Ibnu Majah (no. 3538), Ahmad (I/389, 438, 440), Ibnu Hibban (no. 1427al-Mawaarid) dan al-Hakim (I/17-18), dari Ibnu Masud radhiyallaahu anhu.[15]. Hadits shahih lighairihi: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/252, no. 17381), ad-Darimi (II/134), an-Nasa-i (VI/128), Ibnu Majah (no. 1906), Ahmad (I/201 dan III/451), dan yang lainnya.[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/38), at-Tirmidzi (no. 1091), ad-Darimi (II/134), al-Hakim (II/183), Ibnu Majah (no. 1905), Abu Dawud (no. 2130) dan al-Baihaqi (VII/148).Jujuran, Budaya Pernikahan Yang Kurang Islami

Bagi warga Nias, Banjar, atau Bugis, tentu sangat mengenal istilah jujuran. Sebagian kalangan menyebutkan ini sebagai mahar. Namun sebagian kalangan menyebutkan juga sebagai hantaran/seserahan. Sesuatu yang diberikan oleh pihak calon pengantin laki-laki ke pihak calon pengantin perempuan.

Jujuran, lazimnya berupa uang dengan nilai tertentu yang disepakati antara pihak laki-laki dan perempuan. Biasa disebut juga dengan uang panaik. Uang yang akan digunakan sebagai ongkos pesta pernikahan dan untuk modal awal setelah menikah.

Pada kenyataannya, semakin cantik si gadis, biasanya uang jujurannya juga semakin mahal. Atau semakin tinggi tingkat derajat keluarga si gadis di mata masyarakat, maka semakin mahal pula jujurannya. Justru masyarakat setempat akan memandang aneh jika ada gadis yang cantik atau berasal dari golongan kaum berada, namun uang jujurannya murah.

Akhirnya, menghadapi hal seperti ini, banyak sekali calon laki-laki harus mundur merelakan gadis yang dicintainya. Banyak juga kejadian kawin lari karena pasangan itu tidak rela untuk berpisah. Adakalanya juga pihak wanita memberikan uang secara diam-diam ke pihak laki-laki untuk digunakan sebagai jujuran. Sungguh suatu tradisi yang menyulitkan.

Bagaimana menurut Islam ?

Sebelum saya ingin menyampaikan pembahasan dari sudut pandang saya, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan alasan mengapa harus dilihat dari sudut pandang Islam.

Di kalangan masyarakat Nias, Banjar, atau Bugis, diantaranya memeluk agama Islam. Bahkan masyarakat Banjar terkenal dengan Islam yang cukup kental. Ironis memang jika budaya jujuran tetap dipertahankan di sana.

Dalam Islam, laki-laki yang akan menikahi wanita, haruslah memberikan mahar. Mahar adalah pemberian dari laki-laki ke wanita untuk menikahinya. Bentuknya bebas dan tidak ada batasan. Bahkan menurut sejarah, Fatimah binti Rasulullah saja maharnya berupa Baju Besi Ali Karomallaahuwajhah. Karena Ali memang tidak memiliki yang lainnya. Ada juga yang hanya berupa cincin besi. Bahkan ada yang hanya berupa dibacakan surat dalam AlQuran.

Nabi sendiri dalam hadits-haditsnya, sebagai berikut :

Sesungguhnya wanita yang paling besar berkahnya ialah yang paling bagus wajahnya dan paling sedikit maskawinnya. (Abu Umar, At-Tauqani dalam kitab muasyarah al-ahliin).

Sesungguhnya diantara berkah wanita adalah kemudahan meminangnya, kemudahan maskawinnya dan kemudahan rahimnya. (Ahmad)

Sebaik-baik wanita adalah yang bagus wajahnya dan murah maskawinnya. (Ibnu Hibban)

Sebagai umat Islam, kita diperbolehkan menjaga tradisi. Sebagai bagian dari usaha melestarikan budaya bangsa. Sebagaimana hal yang dilakukan oleh Sunan dikenal dengan Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga. Juga memanfaatkan tradisi dalam menjalankan dakwahnya. Tentunya setelah disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

Budaya jujuran pada kenyataannya seringkali mempersulit jalan menuju pernikahan. Sementara Islam justru menganjurkan untuk mempermudah. Sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi :Dan apabila datang kepadamu orang yang kamu rela akan agama dan amanahnya, maka nikahkanlah ia, jika tidak kamu lakukan, maka akan terjadi bencana di bumi dan kerusakan yang besar.

Sebagai umat Islam, sudah sewajarnya kita lebih mengutamakan apa yang diajarkan Rasulullah daripada berusaha mempertahankan adat dan budaya. Apalagi jika alasan dalam mempertahankan adat dan budaya tersebut hanya dikarenakan faktor gengsi atau karena takut malu di mata masyarakat. Wallaahu'alam.Tradisi Tunangan dalam Pandangan Islam

Di zaman sekarang ini tidak asing lagi bagi kita bila mendengar istilah Tunangan. Istilah tersebut hampir dikenal seluruh kalangan dan lingkungan, dari kalangan orang biasa sampai kalangan orang luar biasa, dari lingkungan kota sampai lingkungan desa.

Kemudian apa sih tunangan itu?Sebenarnya dalam Islam pun istilah tersebut telah dikenal, namun dengan istilah lain, yaitu Khitbah. Hanya saja istilah Tunangan tersebut mempunyai qoyyid atau ketentuan yang menjadikan Khitbah yang dijelaskan oleh Syariat dengan Tunangan seakan-akan berbeda. Pasalnya Tunangan itu sendiri mengharuskan kedua pasangan untuk saling memakaikan cincin tunangan sebagai tanda ikatanTunangan yang disebut juga dengan istilah tukar cincin. Sedangkan menurut Syariat, Khitbah tersebut tidak menuntut hal demikian, bahkan saling memakaikan cincinyang tentunya di antara kedua pasangan tersebut memegang tangan pasangannyaadalah sesuatu yang dilarang Syariat; karena diantara keduanya belum sah dalam sebuah ikatan pernikahan. Dan laki-laki yang mengkhitbah seorang perempuan hanya diperbolehkan melihat dua anggota dari seorang perempuan yang dikhitbahnya, yaitu muka dan kedua telapak tangan saja.

Di dalam istilah jawa, istilah Tunangan disebut juga dengan istilah Tetalen. Istilah tersebut diambil dari kata Tali; karena seseorang yang telah terlibat dengan istilah tersebut seakan-akan mereka berada dalam sebuah tali yang mengikat mereka. Kedua pasangan Tetalen tidak bisa sesuka hati memilih atau menerima orang lain ke jenjang pernikahan, kecuali dengan seseorang yang mempunyai ikatan tersebut dan selagi ikatan tersebut belum terputus atau dilepas atas kesepakatan keduanya.

Sedangkan di kalangan anak muda zaman sekarang, hubungan khusus antar lawan jenis yang resmi menurut merekadengan artian kedua pasangan tersebut mengakuinyadikelompokkan ke dalam tiga katagori, yaitu:1. Pacar, yaitu bila salah satu dari pasangan tersebut mengucapkan kata-kata cinta yang mungkin murni dari hati atau sekedar gombalatau permintaan menjadi pacar yang menuntut jawaban iya atau tdak, dan yang satunya menerima dengan jawaban iya atau dengan ungkapan yang searti dengan ungkapan tersebut.2. Tunangan, yaitu apabila kedua pasangan tersebut saling memakaikan cincin tunanagan, baik secara resmi dengan mengadakan acara khusus dan melibatkan kedua keluarga pasangan atau hanya sekedar perjanjian diantara keduanya saja.3. Suami-Istri, yaitu apabila kedua pasangan tersebut sudah berada dalam ikatan pernikahan yang sah.

Di samping tiga katagori tersebut, baru-baru ini muncul yang namanya Teman tapi mesra dan Kakak adik ketemu gede. seorang laki-laki menganggap seorang perempuan sebagai adik atau sebaliknya, atau menganggap teman tapi melebihi dari batas teman yang wajar. Diantara faktor keduanya adalah timbul dari perasaan tidak enak kepada seseorang yang ia tolak cintanya, dengan tujuan supaya tidak menyakiti hati orang tersebut, atau karena rasa kagum pada seseorang dan menginginkan orang tersebut menjadi kakak atau adik angkatnya. Bahkan tidak sedikit dalam kasus seperti ini mereka yang tersandung cinta kepada adik angkatnya ketika telah beranjak dewasa.

PENGERTIAN KHITBAH

Khitbah atau Pinangan menurut Syariat adalah langkah penetapan atau penentuan sebelum pernikahan. Bagi laki-laki yang akan meminang seorang perempuan harus dalam ketenanagan dan kemantapan untuk menentukan pilihannya dari semua sisi sehingga setelah meminang tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan pinangan dan mengundur pernikahannya tanpa ada sebab; karena hal tersebut menyakiti diri perempuan yang di pinang, merobek perasaan dan melukai kemuliannya dengan sesuatau yang tidak di ridloi Agama dan tidak sesuai dengan budi pekerti yang luhur.

Pinangan tersebut adalah sesuatau yang timbul dari seorang laki-laki yang meminang ketika berniat untuk menikah dengan menjelaskan maksudnya, baik dirinya sendiri atau melalui perantaraan seseorang yang dipercaya dari keluarga atau saudaranya.

HUKUM MEMINANG PEREMPUAN YANG TELAH DI PINANG

Ketika seorang perempuan telah dipinang, maka ia telah menutup diri dari pinangan orang lain, dalam artian tidak satupun seseorang yang diperbolehkan Syariat untuk meminangnya; karena hal tersebut mejadikan terputusnya ikatan, menumbuhkan kebencian dan permusuhan. Seorang muslim tidak diperkenankan menyaingi dan merebut pinangan yang telah didahului saudara seislamnya kecuali saudaranya telah membatalkan pinangan tersebut dengan tanpa ragu. Ketika ia ragu dalam memutus pinangan, maka wajib meminta izin padanya atas diperbolehkan atau tidaknya meminang pinangan yang ia masih ragu untuk memutusnya.

Sebagaimana Rosulullah melarang hal tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar R.A, Rosulullah SAW bersabda : tidak di perbolehkan bagi seorang laki-laki meminang seorang wanita yang telah dipinang saudaranya sehingga pinangannya itu dibatalkan sebelumnya atau seorang yang meminang member izin padanya.(Au kama Qol).

Larangan yang dijelaskan hadits di atas menunjukan terhadap larangan yang berunsur Haram menurut pendapat Jumhurul Fuqoha (mayoritas Ulama), di antaranya adalah Imam SyafiI RA. Beliau berkata: Arti hadits tersebut adalah ketika seorang laki-laki telah meminang seorang perempuan yang telah rela dan cenderung menerima pinangannya, maka tidak diperbolehkan kepada siapapun untuk meminangnya.Adapun ketika seorang perempuan tersebut belum diketahui kerelaan dan kecenderungan menerima pinangan tersebut, maka hukum meminangnya diperbolehkan, dan di antara tanda-tanda dari kerelaan perempuan yang Perawan (Bikr) adalah diamnya, dan Janda (Tsayyib) dengan ucapan iya atau sejenisnya.

HUKUM PEREMPUAN YANG TELAH DI PINANG ADALAH HUKUM PEREMPUAN LAIN (AJNABIYAH)

Hal ini adalah tatak rama Islam dalam sesuatau yang berhubungan dengan diperbolehkannya melihat perempuan yang akan dipinang, namun kebanyakan orang zaman sekarng beranggapan bahwa perempuan yang dipinangnya atau disebut dengan tunangannya sebagai seseorang yang mutlak ia miliki, padahal anggapan tersebut salah; karena Tunangan atau seorang yang telah meminang atau yang telah dipinang itu masih dalam hukum orang lain, masih diharamkan apa saja yang diharamkan terhadap orang lain sebelum resepsi pernikannya dilaksanakan dengan sempurna.

MERAMAIKAN PERNIKAHAN DAN MENYAMARKAN PINANGAN

Dari ungkapan di atas, agama Islam yang lurus menganjurkan untuk menyembunyikan atau tidak meramaikan pinanagan, dalam artian perayaannya dalam batas-batas yang lebih sempit dengan hanya melibatkan anggota keluarga saja tanpa mengadakan acara-acara seperti nasyid dll.

SYABAK

Ada istilah lain dalam bahasa Arab yang sama arti dengan tunangan yaitu Syabak, dan hadiyah yang diberikan ketika tunangan baik berbentuk cincin tunangan atau lainnya disebut dengan Syabkah. Hal tersebut adalah sesuatu yang baru-baru muncul dan marak di kalangan masyarakat umum di zaman sekarang ini. mereka menambah beban terhadap seseorang yang hendak menikah bahkan mereka bermahal-mahalan dalam masalah syabkah (Hadiah Tunanangan) dan hampir samapi mendahulukan mahar.Demikian itu bukanlah dari urusan Islam sedikitpun , hanya saja Islam tidak melarang hal tersebut selagi masih dalam batas-batas kemampuan; karena Syariat bisa menganggap urf (konvensi) atau kebiasaan selagi tidak bertentangan dengan nas-nas Syariat tersebut.

Tapi harus diperhatikan bahwa seorang laki-laki diharamkan memakai sesuatu yang terbuat dari emas baik berbentuk cincin atau yang lainnya. Cukuplah cincin tunangan yang terbuat dari emas dipakai Tunangan Perempuan saja atau Tunangan laki-laki memakai cincin tunangan selain emas, seperti perak, tembaga dan lain lain tanpa saling memakaikan cincin tunangan tersebut; karena keduanya belumlah halal dalam ikatan pernikahan yang sah.

MEMBATALKAN TUNANGAN

Kadang-kadang setelah bertunagan, terjadi sesuatu yang mendatangkan terhadap batalnya tunangan. Dalam hal ini mengembalikan syabkah ( hadiah tunangan) secara utuh itu hukumnya wajib menurut Syariat. Adapun hadiah-hadiah yang bersifat tidak langgeng seperti makanan, maka hukumnya tidak wajib diganti, sedangkan sesuatu yang bersifat langgeng seperti jam tangan, cincin emas dan gelang, maka wajib dikembalikan apabila pembatalan tunangan tersebut diminta dari pihak perempuan. Jika pembtalan tunangan tersebut dari pihak laki-laki atau disebabkan kematian maka tidak wajib mengembalikannya.

Tetapi sebagai orang yang bermoral tinggi dan bermartabat luhur, hendaknya kita tidak pernah meminta kembali sesuatu sesuatu yang telah kita berikan kepada seseorang; karena seorang yang meminta pemberiannya kembali sama halnya dengan anjing yang memakan utah-utahannya sendiri, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi SAW.