konstipasi

2
Patofisiologi Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB. Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi. Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan

Upload: bella-abbellargobel-tralala

Post on 24-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mengetahui patofisiologi dari konstipas

TRANSCRIPT

Page 1: konstipasi

 Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja

otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks,

kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan

pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB

normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat

tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal,

relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-

abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai

dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses

masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk

meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna

dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang

keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum

mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan

tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun

parasimpatis terlibat dalam proses BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor

yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut,

motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak

mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang

menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada

mereka dengan konstipasi.

Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak

mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari

kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan,

normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut

yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada

mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari.

Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling

lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur

aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik

dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus.

Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan

memanjangnya waktu gerakan usus.

Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang

meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan

dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon,

motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.

Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos

berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan

lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras

Page 2: konstipasi

dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan

kelemahan lebih lanjut.

Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada

mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum,

sebagai berikut:

1.      Diskesia Rektum

Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan

peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi

refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia

rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering

sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada

dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah

anus dan rektum

2.      Dis-sinergis Pelvis

Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB.

Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat

mengejan.

3.      Peningkatan Tonus Rektum

Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang

spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang

dominan.