koma hepatikum
DESCRIPTION
koma hepatikumTRANSCRIPT
KOMA HEPATIKUM
Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur
metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahan-bahan yang penting
untuk kehidupan manusia seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa, sedangkan dalam
proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai
jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat
penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran
normal darah splanknikus.4 Oleh karena itu terjadi kerusakan sel-sel parenkhim hati akut
maupun kronik yang berat, fungsi-fungsi tersebut akan mengalami gangguan atau kekacauan,
sehingga dapat timbul kelainan seperti ensefalopati hepatikum.Koma hepatic adalah suatu
sindrom neuropsikiatri, mempunyai spektrum klinik yang luas, dapat timbul akibat penyakit
hati yang berat, baik akut maupun yang menahun ditandai adanya gangguan tingkah laku,
gejala neurologik, astiriksis, berbagai derajat gangguan kesadaran sampai koma, dan kelainan
elektro ensefalografi.Koma hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik yang terjadi pada
penyakit hati. Definisi tersebut menyiratkn bahwa spektrum klinis koma hepatik sangat luas,
karena di dalamnya juga termauk pasien hepatitis fulminan serta pasien sirosis dalam stadium
ensefalopati hepatik subklinis (EHS). Pasien sirosis hepatis yang telah dapat diatasi keadaan
koma hepatik akutnya, berada dalam keadaan koma hepatik kronik, yang setiap saat dapat
kembali mengalami episode akut apabila terdapat beberapa faktor seperti infeksi, pendarahan
gastrointestinal dan asupan protein berlebihan. Pengobatan dini koma hepatik meliputi setiap
upaya terapeutik yang dilakukan pada koma hepatik kronik, untuk mencegah terjadinya
serangan EH akut. Karena terjadinya episode koma hepatik akut biasanya didahului oleh
keadaan dekompensasi (fungsi) hati, pengobatan ini juga dapat bermakna mempertahankan
“keadaan kompensasi selama mungkin”. Dengan tercapainya kompensasi, berarti secara
subjektif pasien memperoleh kualitas hidup yang lebih baik (sympton-free). Beberapa ahli
menyebutkan ensefalopati hepatic dengan istilah koma hepatikum. Karena manifestasinya
tidak selalu dalam bentuk koma, melainkan terdiri atas beberapa tingkat perubahan kesadaran
maka untuk selanjutnya dipakai istilah ensefalopati hepatic.Istilah lain adalah “Porto-System
Enchephalopathy” (PSE), tidak banyak dipakai lagi oleh karena ternyata koma hepatik dapat
terjadi tanpa kolateral porto-sistemik. Meskipun patogenesis yang tepat tentang terjadinya
koma hepatik belum diketahui sepenuhnya, namun hipotesa-hipotesa yang ada menekankan
peranan dari sel-sel parenkim hati yang rusak dengan atau tanpa adanya by pass sehingga
bahan-bahan yang diduga toksis terhadap otak tidak dapat dimetabolisir seperti : ammonia,
merkaptan, dan lain-lain dapat menumpuk dan mencapai otak. Faktor lain adalah terjadinya
perubahan pada neutransmitter, gangguan keseimbangan Asam Amino Aromatik (AAA) dan
Asam Amino Rantai Cabang (AARC) yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Selain itu
perlu disimak perubahan yang terjadi pada otak misalnya edema dan peningkatan tekanan
intra kranial, serta perubahan-perubahan pada astrosit terutama terjadi pada koma hepatik
akut (Fulminant Hepatic Failure). Hal – hal tersebut perlu dicermati agar pengelolaan
penderita-penderita koma hepatik lebih terarah dengan hasil optimal.
DEFENISI KOMA HEPATIKUM
Koma hepatik (ensefalopati hepatik) adalah sindroma neuropsikiatri pada penderita penyakit
hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang
dinamakan asteriksis.2 Perubahan mental diawali dengan perubahan kepribadian, hilang
ingatan dan iritabilitas yang dapat berlanjut hingga kematian akibat koma dalam.
Koma hepatik (ensefalopati sistem portal, ensefalopati hepatik) suatu kelainan dimana fungsi
otak yang mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan
normal dibuang oleh hati .
Klasifikasi yang dianut adalah :
1.Menurut cara terjadinya.
a.Koma hepatik tipe akut
Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk dan jatuh
dalam kondisi koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan,
hepatitis karena obat 3 (halotan dan asetaminofen) dan racun, sidroma reye dan dapat pula
pada sirosis hepatis. Pejalanan penyakit eksplosif ditandai dengan delirium, kejang disertai
dengan edema otak. Kematian terutama disebabkan edema serebral yang patogenesisnya
belum jelas, kemungkinan akibat adanya perubahan permeabilitas sawar darah otak dan
inhibisi neuronal (Na dan K) ATP-ase serta perubahan osmolar karena metabolisme amonia.
b.Koma hepatik tipe kronik.
Terjadinya dalam periode yang lama, berbulaan-bulan sampai bertahun-tahun3. Suatu contoh
klasik yaitu encepalopati hepatik yang terjadi pada sirosis hepatik dengan kolateral sistem
portal yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan
neurologik yang berangsur-angsur makin berat dan dicetuskan oleh bebrapa faktor pencetus
seperti azotermia, sedatif, analgesik, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolik,
kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbngan cairan dan pemakaian diuretik
akan dapat mencetuskan koma hepatik.
2.Menurut faktor etiologinya.
a.Koma Hepatik Primer / Endogen
Terjadinya tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati
yang difus dan nekrosis sel hati yang meluas. Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel
hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi,
berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada sirosis
hepatis disebabkan fibrosis sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral,
ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh
hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat
b.Koma hepatik Sekunder / Eksogen
Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus encepalopati hepatik :
1.Meningkatnya Amoniagenesis
- Substrate (protein) untuk amoniagenesis meningkat
- Intake protein meningkat
- Perdarahan saluran cerna
- Konstipasi
- Dehidrasi
- Substrate (urea) untuk amoniagenesis meningkat
- Gagal ginjal
- Katabolisme protein meningkat
- Infeksi
- Hipokalemia
- Sepsis
2.Fungsi Hepatoselluler Menurun
- Dehidrasi
- Hypotensi
- Sepsis
- Hypoxia
- Anemia
- Perkembangan carsinoma hepatoselluler
- Obat-obat toksik
- Terpapar virus hepatitis
3.Meningkatnya Portocaval Shunting
- Trombosis vena portal
- Transjugular intrahepatic postosystemic shunt formation
- Surgical shunt formation
- Spontaneous shunt formation
4.Penggunaan obat Psychoactive
- Benzodizepin
- Ethanol
- Anti nausea
- Anti histamin
5.Mekanisme yang lain :
Meningkatnya difusi amoniak ke blood brain barrier, alkalosis mungkin akan terjadi Tranfusi
darah, meningkatnya amoniagenesis dari tranfusi tidak seluruhnya diteliti.
PATOGENESIS
Patogenesis koma hepatik sampai saat ini belum diketahui secara pasti hal ini disebabkan
karena :
1.Masih terdapat perbedaan mengenai dasar neurokimia/neurofisiologis.
2.Heterogenitas otak baik secara fungsional ataupun biokimia yang berbeda dalam jaringan
otak.
3.Ketidakpastian apakah perubahan-perubahan mental dan penemuan biokimia saling
berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik
terjadi akibat akumulasi dari sejumlah zat neuro aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat
tersebut dalam sirkulasi sistemik.Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada
patogenesis koma hepatik antara lain adalah :
Hipotesis Amoniak :
Amoniak berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari
bakteri yang mengandung urease. Dalam hati amonia diubah menjadi urea pada sel hati
periportal dan menjadi glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah amonia masuk ke
sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi pada otot (50%), hati, ginjal
dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan terjadi gangguan metabolisme amonia
sehingga terjadi peningkatan kadar amonia sebesar 5-10 kali lipat.
Besarnya produksi amonia ekstrakolon terjadi dalam ginjal. Gagal ginjal dapat meningkatkan
amoniagenesis sebagai konsekuensi dari uremia yang meningkatkan persediaan substrat
untuk urease. Amonia adalah suatu senyawa neurotoksik yang secara prinsipil terbuang dari
tubuh manusia melalui konversi hepatic menjadi urea. Hepatosit-hepatosit periportal dalam
liver secara primer me-metabolisir amonia. Lalu, urea dikeluarkan dalam urine. Amonia
residual dalam sirkulasi sinusoidal hepatic dikonversikan menjadi glutamine melalui
hepatosit-hepatosit perivenous yang menunjukkan sintesis glutamine.
Pemaparan amonia akut menghasilkan peningkatan uptake neuronal dari L-arginine melalui
mekanisme transport khusus. Hal ini dapat memberikan suatu kesempatan untuk menambah
detoksikasi melalui peningkatan produksi glutamine, dengan arginine yang berperan sebagai
substrat awal, jalur ini juga memiliki konsekuensi toksik yang potensial akibat peningkatan
generasi NO neural. Meningkatnya metabolisme amonia intraserebral ditunjukkan dengan
menggunakan 13N-based Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), sehingga beberapa jalur
dapat menyebabkan neurotoksisitas amonia. Dalam penelitian-penelitian neuropatolisis,
Alzheimer tipe II astrocytosis khas dan sering memberikan hasil akhir seperti mekanisme
tersebut. Astrocytosis memperlihatkan nukleus yang membengkak, marginasi kromatin dan
nukleolus prominent. Astrocytes adalah satu-satunya sel dalam otak yang mampu
menimbulkan sintesis glutamine (jalur yang mempunyai rute utama untuk detoksifikasi
amonia serebral). Terpaparnya astrocytes serebral pada bayi tikus dalam kultur primer
menjadi amonia atau mangan (Mn) menghasilkan penurunan selektif dalam transport
glutamate GLAST tanpa menimbulkan kematian sel. Masing-masing paparan amonia dan Mn
mengacu pada peningkatan munculnya reseptor-reseptor benzodiazepine tipe peripheral
(PTBR). Karena perubahan-perubahan dalam pola-pola kemunculan gen dapat dilihat dalam
berbagai keadaan yang mengarah pada perkembangan oedema seluler dalam astrocytes dan
banyak tipe-tipe sel lainnya, mekanisme tersebut mengarah ke perubahan penampakan gen
astrocyte berasal dari pemaparan amonia dapat menjadi non-spesifik. MRS proton in vivo
(IH-MRS) menunjukkan bahwa astrocyte membengkak tanpa peningkatan tekanan
intraserebral dapat terjadi.Akhirnya, perkembangan lanjutan dari portosystemic
encephalopathy dapat disertai dengan oedema serebral, yang dapat berperan pada kerusakan
neurologis. Sedangkan oedema serebral memiliki manifestasi yang paling jelas pada pasien
dengan gagal hepatic yang sangat parah (FHF), bahan-bahan aktif secara osmotic dapat
menumpuk dalam otak pasien tanpa menyebabkan oedema serebral. Suatu kumpulan
myoinositol yang sensitive secara osmotic dilepaskan dari astrocytes sebagai respon terhadap
pembengkakan astrocyte yang terinduksi secara osmotic. Suatu deplesi myoinositosil terlihat
dengan 1H MRS pada pasien-pasien dengan portosystemic encephalopathyp kronis dan
tampaknya terkait dengan peningkatan sinyal untuk glutamine dan glutamate.
Dengan pemakaian magnetic resonance spectroscopy (MRS) oedema serebral tingkat rendah
dapat terlihat pada pasien dengan cirrhosis dan hepatic encephalopathyp kronis.
Selain dari pembengkakan astrocyte dan fenomena osmotic, perawatan hepatic
encephalopathy tidak termasuk pemakaian mannitol atau hiperventilasi kecuali dicurigai
adanya oedema serebral, seperti pada FHF. Tidak ada peran yang terbentuk baru-baru ini
untuk MRI atau MRS serebral rutin dalam evaluasi porto systemic encephalopathy. Data
mendukung hipotesis amonia dalam perkembangan portosystemic encephalopathy sehingga
menjadi impresif . Bahkan decade terakhir diketahui amonia sebagai elemen kunci dalam
patogenesa portosystemic encephalopathy. Tetapi molekul-molekul kecil lain juga berperan
dan teori-teori ini tidak eksklusif. Beberapa peneliti melaporkan bahwa amonia secara invitro
akan mengubah loncatan (fluk) klorida melalui membran neural dan akan menganggu
keseimbangan potensial aksi sel syaraf. Di samping itu amonia dalam proses detoksikasi akan
menekan eksitasi transmiter asam amino, aspartat dan glutamat.
Hipotesis Neurotransmiter Palsu :
Pada keadaan normal pada otak terdapat neutransmiter dopamin dan nor adrenalin, sedangkan
pada keadaan gangguan faal hati, neurotranmiter otak akan diganti oleh neurotransmiter palsu
yaitu oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibandingkan dopamin dan nor-
adrenalin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah :
1.Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin
yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak.
2.Pada gagal hati seperti sirosis hepatis akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang
(AARC) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalanin dan triptofan karena
penurunan ambilan hati (hepatic-uptake).Rasio antara AARC dan AAA (Fisischer ratio)
normal antara 3-3,5 akan menjadi lebih kecil dari1,0. Keseimbangan kedua kelompok asam
amino tersebut penting dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi
neurotransmiter pada susunan syaraf.
Hipotesis GABA dan Benzodizepin
Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmiter yang merangsang dan yang
menghambat fungsi otak merupakan faktor yang berperan pada terjadinya koma hepatik.
Terjadinya penurunan transmiter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat
dan dopamin sebagai akibat meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang
menghambat tranmisi impuls.Efek GABA yang meningkat bukan karena influks yang
meningkat kedalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu
substansi yang mirip benzodiazepin (Benzodiazepin like substrat).
Hipotesis Toksisitas Sinergis
Neurotoksin lain yang mempunyai efek sinergis dengan amonia seperti merkaptan, asam
lemek rantai pendek (oktanoid), fenol dan lain-lain.Asam lemak rantai pendek terutama
oktanoid mempunyai efek metabolik seperti rangsangan oksidasi, fosforilasi dan
penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas Na, K, ATP-ase sehingga dapat
mengakibatkan koma hepatik reversibel.Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan
fenilalamin dapat menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamin oksidase, laktat
dehidrogenase, suksinat dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain
seperti amonia yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan
memperkuat sifat-sifat neurotoksisitas dari amonia.
Beberapa bahan toksik yang diduga berperan terhadap terjadinya EH :
1.Amoniak
Ammonia merupakan bahan yang paling banyak diselidiki. Zat ini berasal dari penguraian
nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer,
otak dan lambung. Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui:
Pengaruh langsung terhadap membran neuron.Mempengaruhi metabolisme otak melalui
siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus
kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
Peneliti lain mendapatkan bahwa kadar amonia yang tinggi tidak seiring dengan beratnya
kelainan rekaman EEG. Dilaporkan bahwa peran amonia pada EH tidak berdiri sendiri.
Tetapi bersama-sama zat lain seperti merkaptan dan asam lemak rantai pendek. Diduga
kenaikan kadar amonia pada EH hanya merupakan indikator non spesifik dari metabolisme
otak yang terganggu .
Tingkat Encepalopati
Kadar Amonia Darah dalam Mikrogram/dl
Tingkat 0 <150
Tingkat 1: 151-200
Tingkat 2 :201-250
Tingkat 3 :251-300
Tingkat 4 :>300
2.Asam Amino Neurotoksik (Triptofan, Metionin, dan Merkaptan).
Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap SSP. Metionin dalam usus
mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di
samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu
detoksifikasi amonia di otak, dan bersama-sama amonia menyebabkan timbulnya koma .
3.Gangguan Keseimbangan Asam Amino
Asam Amino Aromatik ( AAA) meningkat pada encepalopati hepatik karena kegagalan
deaminasi di hati dan penurunan Asan Amino Rantai Cabang (AARC) akibat katabolisme
protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik. AAA ini
bersaing dengan AARC untuk melewati sawar otak, yang permeabilitasnya berubah pada
encepalopati hepatik. Termasuk AAA adalah metionin, fenilalanin, tirosin, sedangkan yang
termasuk AARC adalah valin, leusin, dan isoleusin
4.Asam Lemak Rantai Pendek
Pada encepalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam
butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab
encepalopati hepatik. Bahan-bahan ini bekerja dengan cara menekan sistem retikuler otak,
menghemat detoksifikasi ammonia .
5.Neurotramsmitter Palsu.
Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA),
oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. Neurotransmitter palsu merupakan
inhibitor kompetitif dari true neurotrasmitter (dopamine dan norephinephrine) pada sinaps di
ujung saraf, yang kadarnya menurun pada penderita PSE. Penelitian menunjukkan bahwa
GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks,
menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan
reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan
fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan
koordinasi motorik terganggu. Hipotesis ini membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut .
6.Glukagon
Peningkatan AAA pada encepalopati hepatik / koma hepatik mempunyai hubungan erat
dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan
beban nitrogen. Karena hormon ini melepas Asam Amino Aromatik dari protein hati untuk
mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glukagon meningkat akibat hipersekresi atau
hipometabolisme pada penyakit hati terutama bila terdapat sirkulasi kolateral .
7.Perubahan Sawar Darah Otak
Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam
substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang
mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial
seperti neurotrasmitter asli. Pada koma hepatikum ditemukan kerusakan kapiler, rusaknya
hubungan endotel, terjadi edema serebri sehingga bahan yang biasanya dikeluarkan dari otak
akan masuk dengan mudah seperti fenilalanin dalam jumlah besar, sehingga kadar asam
amino lainnnya meningkat di dalam otak .
MANIFESTASI
Spektrum klinis encepalopati hepatik sangat luas sekali dari asimtomatik hingga koma
hepatik3. Gejala dan tanda klinis ensepalopati hepatik dapat timbul sangat cepat dan
berkembang menjadi koma bila gagal hati pada penderita hepatitis fulminan. Pada penderita
sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat dan bila ditemukan pada stadium dini
masih reversibel.Manifestasi klinis encepalopati hepatik biasanya didahului oleh
dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniagenik seperti
makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif.Manifestasi
encepalopati hepatik adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik
encepalopati hepatik sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan
ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis serta kelainan EEG.
Koma hepatik subklinis (asimtomatis) merupakan awal terjadinya encephalopathy hepatik,
pasien tampak normal secara klinis tetapi tidak demikian pada uji psikometrik / pemeriksaan
EEG. Hal ini diistilahkan sebagai encephalopathy hepatik subklinis atau laten (EHS). Pada
kondisi ini untuk mendiagnosis pasien dengan memberikan tugas-tugas yang membutuhkan
waktu reaksi cepat.5 Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar
daripada koma hepatik klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh
kasus sirosis hepatik dengan hipertensi portal.Perkembangan koma hepatik menjadi koma
dibagi dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I
Tidak begitu jelas dan mungkin sukar diketahui. Tanda yang berbahaya adalah sedikit
perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawat baik,
pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa dan tidak mampu
memusatkan pikiran. Penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif
atau sedikit kurang ajar. Pemantauan yang seksama menunjukkan bahwa mereka lebih letargi
atau tidur lebih lama dari biasanya atau irama tidurnya terbalik.
Stadium II
Lebih menonjol daripada stadium I dan mudah diketahui. Terjadi perubahan perilaku yang
tidak semestinya dan pengendalian sfingter tidak dapat terus dipertahankan. Kedutan otot
generalisata dan asteriksis merupakan temuan yang khas. Asteriksis atau flapping tremor
dapat dicetuskan bila penderita disuruh mengangkat kedua lengannya dengan lengan atas
difiksasi, pergelangan tangan hiperekstensi dan jari-jari terpisah. Perasat ini menyebabkan
gerakan fleksi dan ekstensi involunter cepat dari pergelangan tangan dan sendi
metakarpofalang. Asteriksis merupakan suatu manisfestasi perifer gangguan metabolisme
otak. Keadaan seperti ini dapat juga timbul pada sindroma uremia. Pada tahap ini, letargi
serta perubahan sifat dan kepribadian menjadi lebih jelas terlihat.Apraksia konstitusional
adalah gambaran lain yang mencolok dari encepalopati hepatik. Penderita tidak dapat menulis
atau menggambar dengan baik seperti menggambar dengan baik seperti menggambar bintang
atau rumah. Sederetan tulisan tangan atau gambar merupakan cara berguna untuk
menentukan perkembangan encepalopati.
Stadium III
Penderita dapat mengalami kebingungan yang nyata dengan perubahan perilaku. Bila pada
saat ini penderita hanya diberi sedatif dan bukan pengobatan untuk mengatasi proses
toksiknya, maka mungkin encepalopati akan berkembang menjadi koma dan prognosisnya
fatal. Selama stadium ini, penderita dapat tidur sepanjang waktu. Elektroencepalogram mulai
berubah pada stadium II dan menjadi abnormal pada stadium III dan IV.
Stadium IV
Penderita masuk dalam keadaan koma yang tidak dapat dibangunkan, sehingga timbul refleks
hiperaktif dan tanda babinsky. Pada saat ini bau yang apek yang manis (fetor hepatikum)
dapat tercium pada napas penderita atau bahkan waktu masuk kedalam kamarnya. Fetor
hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan
dengan derajat somnolensia dan kekacauan. Hasil pemeriksaan laboratorium tambahan adalah
kadar amonia darah yang meningkat dan hal ini dapat membantu mendeteksi encepalopati.
DIAGNOSIS
1.Koma akibat intoksikasi obat-obatan (sedative, antidepresi, antipsycotik dan salicylates),
alkohol (keracunan akut dan encepalopati Wernicke)
2.Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural dan
perdarahan epidural
3.Tumor otak
4.Infeksi seperti meningitis, encephalitis dan abses intrakranial
5.Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremia, koma hipoglikemia, koma
hiperglikemia, anoxia, ketidakseimbangan elektrolit dan hiperkarbia.
6.Epilepsi
7.Hyperamonemia karena sebab yang lain seperti ureterosigmoidostomy
8.Sindroma otak organik
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fiisk, dan
pemeriksaan penunjang :
1.Anamnesis.
- Riwayat penyakit hati
- Riwayat kemungkinan adanya faktor pencetus
Adakah kelainan neuropsikiatri seperti perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan,
kemampuan bicara dan sebagainya.
2.Pemeriksaan fisik
- Tentukan tingkat kesadaran atau tingkat encepalopati
- Stigma penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal)
- Adanya kelainan neurologik yaitu inkoordinasi tremor, reflek patologi, kekakuan.
- Kejang, disatria.
Gejala infeksi berat atau septicemia
Tanda-tanda dehidrasi
- Adanya perdarahan gastrointestinal
3.Pemeriksaan Laboratorium
a.Hematologi
- Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosi-trombosit, hitung jenis lekosit
- Jika diperlukan faal pembekuan darah.
b. Biokimia darah.
- Uji faal hati yaitu transaminase, bilirubin, elektroforesis, protein, kolesterol,alkali fosfatase.
- Uji faal ginjal yaitu BUN, kreatinin serum
- Kadar amoniak darah.
Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hepatis, terjadi peningkatan kadar amonia darah karena
gangguan fungsi hati dalam mendetoksikasi am,onia serta adanya pintas porto sistemik.
- Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah
c.Urin dan tinja rutin
Pemeriksaan penunjang :
a. EEG (Elektroencefalografi).
Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus
gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8-12Hz).
Tingkat Encepalopati
Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0
Frekuensi Alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I : 7-8 siklus/detik
Tingkat II : 5-7 siklus/detik
Tingkat III : 3-5 siklus/detik
Tingkat IV : 3 siklus/detik atau negatif
b.Tes Psikometri.
Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang mengalami
koma hepatik subklinis. Penggunaanya sangat sederhana dan mudah melakukannya serta
memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tes ini pertama kali dipakai oleh Reitan
(Reitan Trail Making Test) yang digunakan secara luas pada ujian personel militer Amerika.
Kemudian dilakukan modifikasi dari tes ini yang disebut sebagai Uji Hubung Angka. Dengan
UHA, encepalopati dibagi dalam 4 kategori.
Tingkat Encepalopati
Hasil Uji Hubung Angka (UHA) dalam detik
Normal
15-30
Tingkat I
31-50
Tingkat II
51-80
Tingkat III
81-120
Tingkat IV
> 120
Tes UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat encepalopati hepatik terutama untuk pasien
sirosis hepatik yang rawat jalan.
c.CT Scan Kepala
Biasanya dilakukan dalam stadium koma hepatik yang parah untuk menilai udema otak dan
menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdural pada alkoholis).
d.Pungsi lumbal.
Umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan
serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel
darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat
menyebabkan peningkatan tekanan.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan koma hepatik harus memperhatikan apakah koma hepatik yang terjadi
adalah primer atau sekunder. Pada koma hepatik primer terjadinya koma akibat kerusakan
parenkim hati yang berat tanpa adanya faktor pencetus, sedangkan pada koma hepatik
sekunder terjadinya koma dipicu oleh faktor pencetus.
1. Koma hepatik tipe akut.
a. Tindakan Umum
1.Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif yaitu tirah baring, bebaskan
jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley.
2.Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmonal dan ginjal,
keseimbangan cairan, elektrolit serta asam basa.
3.Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein.
b. Tindakan Khusus
1.Mengurangi pemasukan protein
Pembatasan pemberian protein karena pemasukan protein yang berlebih akan meningkatkan
kadar amonia, pada pasein dengan gangguan hati yang berat akan memperbesar kemungkinan
terjadi encepalopati hepatik.
Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
Diet rendah protein (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati,
intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara
bertahap sampai kebutuhan maintenance (40-60gram/hari).
2.Mengurangi populasi bakteri kolon
Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau dengan pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-
50 cc diberikan 1-2 kali sehari dan dosis dapat ditingkatkan sampai batas toleransi dari
pasien. 10 Pasien diperintahkan untuk menurunkan dosis bila telah terjadi diare atau kram
perut. Bila terjadi over dosis laktulosa akan terjadi ileus, gangguan elektrolit, diare yang berat
dan hipovolemia.Laktulosa (Beta-galactosidofruktose) merupakan suatu disakarida sintetis
yang tidak diabsorbsi oleh usus halus, tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar, sehingga
terjadi lingkungan dengan PH asam yang akan menghambat penyerapan amoniak. Selain itu
frekuensi defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein di usus. Secara
umum dikatakan laktulosa menghambat produksi dan penyerapan amonia di dalam usus, dan
meningkatkan eliminasinya melalui feses. Laktulosa membutuhkan waktu 48 jam untuk
bekerja dan harus diberikan secara teratur.11 Penggunaan laktulosa bersama antibiotika yang
tidak diabsorbsi oleh usus seperti neomisin, akan memberikan hasil yang lebih baik.
Lactilol (Beta-GalactosideSorbitol), dosis : 0,3-0,5 gram/hari Pengosongan usus dengan
lavement 1-2x/hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman ( memakai
larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH= 4).
Antibiotika :
Antibiotik diberikan untuk menghilangkan bakteri dalam usus yang mampu mengurai protein
menjadi amoniak (bahan toksik lainnya).
Neomisin 4×1-2gram/hari peroral, untuk stadium I-II, atau melalui pipa nasogastrik untuk
stadium III-IV. Neomisin diberikan setelah laktulosa. Pemberian neomisin jangka lama
berisiko terjadi ototoksik (syaraf kranial VIII) dan nefrotoksik. Efek-efek ini juga
berhubungan dengan dosis. Selain neomisin bisa diberikan antibiotik yang lain sepeti
metronidazol, vancomicin oral, paromomycin dan quinolon oral 10
Rifaximin / derifat Rimycin ( Xifaxan, Salix Pharmaceuticals, Inc, Morrisville, NC) dosis :
1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif seperti halnya neomisin. Efek
samping obat ini seperti kram perut dapat turunkan dan mempercepat perawatan pasien di
rumah sakit, tetapi terapi jangka lama dilaporkan dapat menimbulkan resistensi.
c.Pemberian Asam Amino Rantai Cabang (AARC) :
Penderita koma hepatik perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat
diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus
terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung
AARC/asam amino rantai cabang (Comafusin hepar). 3
AARC diperlukan pula untuk eliminasi amonia yang meningkat. Eliminasi amonia menjadi
glutamin memerlukan glutamat atau asam glutamik, sedangkan AARC merupakan prekursor
glutamat. Ini akan menyebabkan makin menurunnya kadar AARC. Di sisi lain, asam amino
aromatik (AAA) meningkat karena tidak dimetabolisme oleh sel hati yang rusak. Akibatnya
rasio AARC / AAA menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatik.
Terapi nutrisi yang adekuat akan memperbaiki status nutrisi pasien. AARC merupakan asam
amino esensial yang terdiri dari leusin, isoleusin, dan valin, yang banyak terkandung dalam
susu, produk susu, dan makanan nabati. Pemberian AARC pada sirosis hepatik dengan
ensefalopati sub-klinis dapat mencegah ensefalopati yang lebih berat. Suplementasi AARC
juga memperbaiki rasio AARC / AAA sehingga status protein membaik dan mencegah
katabolisme otot. Peneliti melaporkan pula bahwa asupan protein, lemak, dan karbohidrat
yang adekuat, serta suplementasi formula yang diperkaya AARC pada pasien sirosis hepatik
dapat mencegah malnutrisi dan menambah harapan hidup.
Tujuan pemberian AARC pada koma hepatik adalah
a.Untuk mendapatkan energi yang dibutuhkan tanpa memperberat fungsi hati.
b.Pemberian AARC akan memperbaiki sintesis katekolamin pada jaringan perifer.
c.Asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino aromatik dalam darah.
d.Pemberian asam amino rantai cabang dengan dektrose hipertonik akan mengurangi
hiperaminosidemia.
d.Obat-obat lain :
L-ornithine L-aspartat (LOLA)
LOLA ( Hepa-Merz, Merz Pharmaceuticals GmgH, Frankfurt am Main, Germany). LOLA
tersedia dalam formula intra vena untuk pasien dengan kesadaran menurun dan formula oral.
LOLA adalah suatu garam stabil dengan 2 unsur asam amino. L-ornitine menstimuli siklus
urea, dengan hasil akhir hilangnya amoniak darah. Sedangkan keduanya yaitu L-ornitine dan
L-aspartat adalah substrat dari glutamate transaminase, sehingga dapat meningkatkan kadar
glutamate. Amoniak digunakan dalam konversi glutamate menjadi glutamine oleh glutamine
sintetase. Berdasarkan beberapa penelitian di eropa LOLA cukup efektif untuk pasien dengan
hiperammonaemia dan encepalopati hepatik dalam menurunkan konsentrasi amoniak darah
dan meningkatkan pencapaian psychometric. Penggunaan L-ornithine L-aspartat
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal.
Zinc
Defisiensi zinc dapat terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis. Pemberian zinc mempunyai
potensi untuk meningkatkan aktivitas ornitine transcarbamylase, suatu enzim dalam siklus
urea, sehingga dengan terjadinya ureagenesis dapat menurunkan amoniak. Zinc sulfat dan
zinc acetate diberikan dengan dosis 600mg per hari oral, tetapi efektifetasnya masih dalam
penelitian.Sodium benzote, Sodium phenylbuthyrate, Sodium phenilacetate.
Sodium benzoat berinteraksi dengan glycine untuk membentuk hippurate. Ekskresinya
diginjal menyebabkan hilangnya amoniak. Dosis sodium benzoat 5 g oral diberikan 2 kali
sehari dapat secara efektif mengendalikan encepalopati hepatik. Tetapi penggunaan obat ini
dibatasi karena risiko over load dan rasanya yang tidak enak.Sodium phenylbutyrate
dikonversi menjadi phenyacetate. Phenylacetate bereaksi dengan glutamine untuk
membentuk phenylacetylglutamine. Bahan ini dikeluarkan melalui urine yang hilang bersama
dengan amonia. Sodium phenylbutyrate (Buphenyl, ucyclyd, pharma, Ariz) dan sodium
phenyacetate intravena dikombinasi dengan natrium benzoat digunakan untuk terapi
hiperamonemia akibat rusaknya siklus urea.Hindari pemakaian sedativa atau hipnotika,
kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan dimenhidrimat (Dramamine) 50mg i.m:
bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain : fenobarbital, yang ekskresinya sebagian
besar melalui ginjal
Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
2. Koma hepatik tipe kronik
Prinsip-prinsip pengobatan koma hepatik tipe kronik :
a.Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg BB terutama protein nabati.
b.Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10
cc/hari).
c.Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4×1 gram/hari
d.Bila timbul aksaserbasi akut, sama seperti encepalopati hepatik tipe akut.
e.Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya.
f.Pembedahan elektif : colon by pass, transplantasi hati.
Transplantasi hati merupakan penanganan pada pasien dengan EH stadium akhir.
Transplantasi hati ini akan memberikan hasil yang mampu menormalkan konsentrasi amonia
darah, sehingga dapat memperbaiki fungsi kognitive pasien.
PROGNOSIS
Pada koma hepatik sekunder, bila faktor-faktor pencetus teratasi, maka dengan pengobatan
standart hampir 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan koma hepatik primer
dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila disertai hipoalbumin, ikterus, serta asites.
Sementara koma hepatik akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang sadar
kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan.
Prognosis penderita koma hepatik tergantung dari :
a.Penyakit hati yang mendasari
b.Faktor-faktor pencetus
c.Usia, keadaan gizi.
d.Derajat kerusakan parenkim hati
e.Kemampuan regenerasi hati