kitin kitosan_dhara benita n._13.70.0061_d3_unika soegijapranata

32
1. MATERI DAN METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain oven, blender, ayakan, dan peralatan gelas. 1.1.2. Bahan Bahan yang digunakan adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, NaOH 3,5%; NaOH 40%; NaOH 50%; dan NaOH 60%. 1.2. Metode DEMINERALISASI Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang

Upload: praktikumhasillaut

Post on 03-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Kitin merupakan homopolimer dari 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa atau merupakan residu N-asetilglukosianin yang dihubungkan oleh ikatan β-(1-4) dan kitosan sendiri merupakan polimer yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin dan merupakan kation polisakarida rantai linear yang terdiri dari β-(1,4)-2-asetamino-2-deoksi-β-D-glukopiranosa.

TRANSCRIPT

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain oven, blender, ayakan, dan

peralatan gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, NaOH

3,5%; NaOH 40%; NaOH 50%; dan NaOH 60%.

1.2. Metode

DEMINERALISASI

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

DEPROTEINASI

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin

DEASETILASI

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen

Kitin I (%)

Rendemen

Kitin II (%)

Rendemen

Kitosan (%)

D1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 25 48,25

D2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%32,14 31,38 39,43

D3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%36,84 45,71 46,80

D4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%34,78 37,78 39,20

D5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%29,17 32,73 39,14

Dalam praktikum kitin dan kitosan, diperoleh hasil pada tiap kelompok berbeda antara

kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Pada hasil untuk %Rendemen Kitin I

hasil terbesar ada pada kelompok D3 dengan nilai 36,84; sedangkan untuk hasil terkecil

pada kelompok D5 dengan nilai 29,17. Untuk %Rendemen Kitin II, hasil terbesar

didapatkan oleh kelompok D3 dengan nilai 45,71 dan hasil terkecil ada pada kelompok

D1 dengan nilai 25. Sedangkan untuk hasil dari %Rendemen Kitosan, hasil terbesar

didapatkan oleh kelompok D1 dengan nilai 48,25 dan hasil terkecil pada kelompok D5

dengan nilai 39,14.

3. PEMBAHASAN

Kitin dan kitosan adalah komponen struktural pada kutikula dari kelompok crustacea,

insecta, mollusca, dan terdapat juga dinding sel dari kapang dan tanaman yang

merugikan (Toan, 2011). Hal ini juga didukung dengan pernyataan dari Knorr (1984)

yang diacu dalam Yen et al (2009), dimana zat kitin dapat kita temukan didalam

cangkang atau kulit dari crustacea, kutikula serangga, dan dinding sel dari fungi.

Menurut Islam et al (2011), kitosan dan turunannya dapat digunakan untuk bahan

tambahan pangan. Kitosan sendiri terbuat dari kitin yang merupakan polimer

karbohidrat alami dan dapat ditemukan pada skeleton crustacea seperti udang, lobster,

dan kepiting serta dapat juga ditemukan pada eksoskeleton dari zooplankton, koral, dan

ubur-ubur. Kitin juga dimiliki oleh kelompok insecta seperti kupu-kupu dan kumbang

dalam sayapnya, dinding sel yeast, jamur, dan fungi lainnya yang juga mengandung

senyawa ini.

Kepala dan kulit udang merupakan material yang memiliki nilai ekonomi rendah dan

dianggap sebagai limbah atau dapat dijadikan makanan ternak. Pada iklim tropis,

limbah udang tersebut mengandung 30-65% protein, 10-20% kalsium, dan 8-10% kitin

dalam berat kering (Toan, 2009). Pembuatan kitin dan kitosan dapat memiliki fungsi

untuk menanggulangi masalah limbah udang, serta dapat menambah nilai jual dari

limbah udang yang sebelumnya hanya sebagai pakan ternak saja (Purwaningsih, 1994).

Kitin merupakan homopolimer dari 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa atau merupakan

residu N-asetilglukosianin yang dihubungkan oleh ikatan β-(1-4) dan kitosan sendiri

merupakan polimer yang diperoleh dari proses deasetilasi kitin dan merupakan kation

polisakarida rantai linear yang terdiri dari β-(1,4)-2-asetamino-2-deoksi-β-D-

glukopiranosa.

Kitin merupakan komponen utama didalam cangkang udang dan kepiting, pada tulang

rawan cumi-cumi, dan eksoskeleton dari serangga (Rinaudo, 2006). Umumnya,

cangkang dari crustacea tersusun dari 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat, dan

20-30% kitin (Fernandez-Kim, 2004). Menurut Toan (2011), kitin dan kitosan

mempunyai banyak fungsi biologi seperti zat antimikroba, penyembuhan luka terutama

pada formasi matriks. Kitin dan turunannya yaitu kitosan merupakan bahan yang

memiliki ketertarikan secara komersial yang disebabkan karena sifatnya yang mudah

terurai secara biologis (biodegradable), tidak beracun, memiliki kemampuan menyerap,

sebagai agen pengkelat, dan memiliki kemampuan biokompatibilitas yang sangat baik

(Toan, 2009). Menurut Shahidi et al (1999) yang diacu dalam Yen et al (2009), pada

industri pangan, kitin dan kitosan serta turunannya banyak diaplikasikan sebagai

emulsifier, agen pengental, agen penstabil, dan agen antimikroba. Selain itu, kitosan

juga telah digunakan sebagai suplemen diet karena keefektifannya dalam pengikatan

lemak dan agen pembentuk film. Sifat fungsional dari kitosan ini bergantung pada

viskositas atau berat molekulnya. Semakin tinggi berat molekulnya atau semakin tinggi

nilai viskositasnya, maka kitosan tersebut semakin efektif sebagai pengawet makanan

jika dibandingkan dengan kitosan dengan berat molekul lebih rendah (Islam et al,

2011). Kitin dan kitosan merupakan polimer alami yang dapat diperbaharui serta

memiliki jumlah yang melimpah (Paul et al, 2013).

Menurut Hossain et al (2005) yang diacu dalam Islam et al (2011), preparasi dan

pengisolasian kitin dari limbah udang dilakukan dengan cara demineralisasi,

deproteinasi, dan decoloration, sedangkan pembuatan kitosan dilakukan dengan cara

deasetilasi basa dari kitin. Islam et al (2011) menambahkan bahwa ada 4 tahap yang

harus dilakukan untuk memproduksi kitosan dari limbah udang, yaitu demineralisasi,

deproteinasi, decoloration, dan deasetilasi, namun pada praktikum ini yang dilakukan

hanyalah 3 tahap tanpa dilakukannya tahap decoloration, dan dalam tiap tahap tersebut

dilakukan suatu pemanasan, pengadukan, penyaringan dan juga pengeringan.

Pemanasan digunakan sebagai katalis dalam suatu reaksi kimia yang akan mempercepat

jalannya reaksi kimia yang dilakukan (Puspawati & Simpen, 2010). Pengadukan adalah

suatu aktivitas pencampuran dua zat atau lebih sehingga didapatkan campuran yang

homogen (Reynold & Richard, 1996) serta jika dilakukan kombinasi antara pemanasan

dan pengadukan akan mencegah terjadinya kegosongan (Rogers, 1986). Menurut

Suyitno (1989), penyaringan dilakukan untuk memisahkan suatu partikel padat yang

telah bercampur dengan partikel cair. Ditambahkan pula oleh Kimball (1992),

dilakukannya suatu penyaringan adalah untuk memisahkan bahan yang tidak terlarut

dan mengendap. Sedangkan tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengurangi

kadar air dalam bahan pangan sehingga dapat diperoleh bahan yang kering dan kaku

(Candra, 2011).

Dalam praktikum ini, juga dilakukan pengujian pH. Pengujian pH ini dilakukan dengan

menggunakan kertas lakmus. Pada umumnya, kertas lakmus ada yang berwarna merah

dan biru. Apabila kertas lakmus merah dicelupkan ke dalam suatu larutan atau ditetesi

suatu larutan berubah warna menjadi biru, maka larutan tersebut merupakan larutan

basa. Sedangkan jika tetap berwarna merah, maka larutan tersebut merupakan larutan

asam atau netral. Untuk kertas lakmus biru akan berubah warna menjadi merah pada

larutan asam dan tetap berwarna biru pada larutan basa maupun netral. Namun ada pula

kertas lakmus dengan warna metil jingga dan metil merah yang akan berubah menjadi

warna merah pada larutan yang bersifat asam, dan akan berubah menjadi warna kuning

pada larutan yang bersifat basa maupun netral. Adapula fenolftalin yang menjadi tidak

berwarna pada larutan yang bersifat asam maupun netral, dan berwarna merah keunguan

pada larutan basa (Rogers, 1986).

3.1. Demineralisasi

Tujuan dilakukan proses demineralisasi adalah untuk menghilangkan kandungan

mineral pada limbah kulit udang (Burrows et al, 2007), karena menurut Hargono et al

(2008), limbah udang (kepala dan kulit) mengandung mineral sebesar 40-50%.

Praktikum ini dimulai, dengan pencucian limbah udang. Pencucian ini dilakukan dengan

tujuan untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menmpel pada limbah udang

tersebut. Langkah selanjutnya adalah pencucian limbah udang tersebut dengan

menggunakan air panas 2 kali dan kemudian dikeringkan. Pencucian dengan air panas

ini mempunyai tujuan untuk mempermudah dalam penghancuran dari limbah udang

pada tahap selanjutnya. Limbah udang kering yang sudah dihancurkan diayak dengan

menggunakan ayakan 40-60 mesh. Tujuan dilakukannya pengayakan ini adalah untuk

memperoleh limbah udang dengan ukuran yang diinginkan dan seragam (Kimball,

1992). Kemudian limbah udang tersebut ditimbang sebanyak 10 gr untuk tiap-tiap

kelompok. Kemudian limbah udang tersebut dicampur dengan HCl (HCl 0,75 N untuk

kelompok 1 dan 2, HCl 1 N untuk kelompok 3 dan 4, dan HCl 1.25 N untuk kelompok

5) dengan perbandingan HCl : limbah udang 10 : 1.

Menurut Alamsyah et al (2007), proses demineralisasi pada ekstraksi kitin dari limbah

udang dilakukan secara kimiawi, yaitu dengan mereaksikan asam kuat dengan limbah

udang tersebut. Dalam hal ini asam kuat yang digunakan adalah HCl. Larutan HCl yang

digunakan memiliki fungsi sebagai pelarut, yaitu untuk melarutkan mineral-mineral yag

terkandung dalam limbah udang, terutama kalsium karbonat sbagai mineral yang paling

banyak terkandung di limbah udang (Burrows et al, 2007), dan hal ini didukung dengan

pernyataan Winarno (1997) bahwa mineral merupakan senyawa yang dapat larut dalam

asam kuat dan tidak dapat larut dalam air. Penggunaan HCl ini tidak dapat

mempengaruhi kitin yang akan diekstraksi, karena HCl merupakan asam encer dan

menurut Bastaman (1989), zat kitin tidak akan larut dalam asam encer.

Selanjutnya, sampel dipanaskan pada suhu 90oC sambil diaduk terus menerus selama 1

jam. Pemanasan ini dilakukan untuk mempercepat reaksi antara limbah udang dan HCl

yang ditambahkan, serta untuk mengoptimalkan reaksi HCl. Pengadukan yang

dilakukan memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya kegosongan akibat pemanasan

yang dilakukan, pengadukan ini juga dilakukan agar HCl dan limbah udang dapat

tercampur merata dan bereaksi dengan sempurna, sehingga proses penghilangan mineral

dapat berlangsung optimal. Setelah itu didinginkan agar praktikan dapat menyaring

residu dengan mudah, selain itu jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka

penyaringan akan menjadi tidak optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring

dan residu yang didapatkan dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral dengan

pengujian pH menggunakan kertas lakmus. Tujuan dilakukannya pencucian dengan air

ini adalah untuk menghilangkan HCl dari residu, karena menurut Bastaman (1989), HCl

merupakan senyawa yang bersifat adam dan dapat larut dalam air, dan pH yang sudah

netral tersebut mengindikasikan sudah hilangnya HCl dari residu tersebut, karena jika

kertas lakmus masih menunjukan pH asam hal tersebut dapat diartikan bahwa HCl

masih belum hilang, dan berarti mineral yang terlarut dalam HCl tersebut juga belum

hilang. Lalu dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 semalaman. Selanjutnya sampel

yang sudah kering ditimbang untuk mengetahui prosentase kitin (dengan protein) yang

dihasilkan.

3.2. Deproteinasi

Tujuan dilakukannya proses demineralisasi ini adalah untuk memisahkan komponen

protein dari zat kitin (Reece et al, 2003). Ditambahkan juga oleh Hargono et al (2008),

limbah udang memiliki kandugan protein sebesar 21%. Hasil dari proses demineralisasi

yang sudah kering, dicampur dengan menggunakan NaOH dengan perbandingan NaOH

3.5 % dan sampel adalah 6 : 1. Deproteinasi ini dilakukan secara kimiawi dengan

menggunakan basa kuat, dan dalam hal ini basa kuat yang digunakan adalah NaOH

(Alamsyah et al, 2007). Menurut Reece et al (2003) penambahan NaOH dalam proses

deproteinasi ini memiliki tujuan untuk melarutkan protein yang masih terkandung

dalam kitin hasil dari proses demineralisasi. Hal ini didukung oleh pernyataan Winarno

(1997) bahwa protein merupakan senyawa yang dapat larut didalam basa kuat akan

tetapi tidak dapat larut didalam asam kuat.

Kemudian dipanaskan sambil diaduk terus menerus selama 1 jam pada suhu 90oC.

Pemanasan ini dilakukan untuk mempercepat reaksi sampel dengan NaOH sedangkan

pengadukan dilakukan untuk mencegah terjadinya kegosongan akibat pemanasan yang

dilakukan, pengadukan ini juga dilakukan agar NaOH dan sampel dapat tercampur

merata dan bereaksi dengan sempurna, sehingga proses pemisahan protein berjalan

optimal. Setelah itu didinginkan sebentar sehingga memudahkan praktikan dalam

menyaring residu. Selain itu jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka

penyaringan akan menjadi tidak optimal. Langkah selanjutnya yaitu disaring dengan

menggunakan kain saring dan residu yang didapatkan dicuci dengan air hingga pHnya

menjadi netral dengan pengujian pH menggunakan kertas lakmus. Tujuan dilakukannya

pencucian dengan air ini adalah untuk menghilangkan NaOH dari residu, karena

menurut Bastaman (1989), NaOH merupakan senyawa basa yang dapat larut dalam air,

dan pH yang sudah netral tersebut mengindikasikan sudah hilangnya NaOH dari residu

tersebut, karena jika kertas lakmus masih menunjukan pH basa maka hal tersebut dapat

menunjukan bahwa NaOH masih belum hilang, dan berarti protein yang terlarut dalam

NaOH tersebut juga belum hilang. Selanjutnya sampel tersebut dikeringkan pada suhu

80oC selama semalaman. Pada proses ini dihasilkanlah kitin. Selanjutnya kitin yang

diperoleh ditimbang.

3.3. Deasetilasi

Proses deasetilasi ini dilakukan untuk memperoleh kitosan dari kitin. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Hossain et al (2005) yang diacu dalam Islam et al (2011), bahwa

kitosan diperoleh dari proses deasetilasi basa kitin. Kitin yang dihasilkan pada proses

deproteinasi, ditambahkan dengan NaOH (NaOH 40% untuk kelompok 1 dan 2, NaOH

50% kelompok 3 dan 4, dan NaOH 60% untuk kelompok 5) dengan perbandingan

NaOH dan kitin adalah 20 : 1. Menurut Hirano (1989), kitosan dapat diperoleh dengan

cara deasetilasi kitin dengan menggunakan basa kuat, dimana dalam praktikum ini basa

kuat tersebut adalah NaOH. Kemudian diaduk secara terus menerus selama 1 jam, lalu

didiamkan selama 30 menit, setelah itu dipanaskan selama 30 menit pada suhu 140oC.

Pengadukan ini berfungsi untuk menghomogenkan campuran, sedangkan pemanasan

dilakukan untuk mempercepat suatu reaksi, yaitu reaksi antara kitin dengan NaOH.

Menurut Reece et al (2003), penambahan NaOH dengan kombinasi pemanasan ini dapat

menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin dan terbentuklah

kitosan.

Kemudian didinginkan untuk memudahkan praktikan dalam menyaring residu. Selain

itu jika penyaringan dilakukan dalam keadaan panas, maka penyaringan akan menjadi

tidak optimal, lalu disaring dengan menggunakan kain saring dan residu yang

didapatkan dicuci dengan air hingga pHnya menjadi netral. Tujuan dilakukannya

pencucian dengan air ini adalah untuk menghilangkan NaOH dari kitosan yang

diperoleh, karena Bastaman (1989) menyatakan bahwa NaOH merupakan senyawa basa

yang dapat larut didalam air, dan pH yang sudah netral tersebut mengindikasikan sudah

hilangnya NaOH dari kitosan tersebut, karena jika kertas lakmus masih menunjukan pH

basa maka hal tersebut dapat menunjukan bahwa NaOH masih belum hilang, dan

menurut Hong et al (1989), jika kontak kitosan dengan basa kuat berkonsentrasi tinggi

semakin lama, maka akan menyebabkan terjadinya proses depolimerisasi rantai molekul

kitosan, sehingga kitosan yang didapatkan akan menjadi sedikit. Kemudian residu yang

didapatkan dioven selama semalaman pada suhu 70oC. Pada tahap ini kitosan

dihasilkan, dan kitosan yang diperoleh ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.

Dari hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa rendemen kitin I yang paling besar

berasal dari kelompok D3 dengan proses demineralisasi kulit udang menggunakan HCl

1 N. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prasetyo (2006) yang menyatakan bahwa dalam

proses demineralisasi pembuatan kitin, HCl yang paling baik digunakan adaah HCl

dengan konsenrasi 1 N. Sedangkan untuk kelompok lainnya yang menggunakan HCl

0.75 N hasil rendemennya cenderung lebih sedikit jika dirata-ratakan dibandingkan

dengan penggunaan HCl 1 N. Namun hasil yang didapatkan pada kelompok D5 dengan

menggunakan HCl 1.25 N didapatkan hasil yang lebih sedikit daripada penggunaan HCl

0.75 N. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Laila & Hendri (2008) yang menyatakan

bahwa semakin besar konsentrasi HCl yang digunakan dalam proses demineralisasi,

maka kitin yang diperoleh pun akan semakin besar, namun Knorr (1984) juga

berpendapat konsentrasi asam yang terlalu tinggi akan menyebabkan terdegradasinya

kitin, sehingga rendemen yang dihasilkan juga akan berkurang, dan pada praktikum ini,

rendemen kitin dengan penggunaan HCl 1.25 N juga cenderung lebih sedikit jika

dibandingkan dengan penggunaan HCl 1 N, namun juga lebih tinggi daripada

penggunaan HCl 0.75 N.

Kemudian rendemen kitin II yang paling besar dihasilkan oleh kelompok D3 dengan

proses deproteinasi dari rendemen kitin I dengan menggunakan NaOH 3.5%. Hasil yang

didapatkan antar kelompok juga berbeda-beda, ada yang mengalami peningkatan

rendemen dan ada pula yang mengalami penurunan rendemen kitin dari rendemen kitin

hasil dari proses demineralisasi. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh proses

pengadukan yang tidak konstan dan kekuatan mengaduk setiap kelompok berbeda-beda,

karena pengadukan yang dilakukan masih secara manual (Kaunas, 1984). Selain itu

peningkatan rendemen yang dihasilkan juga dapat disebabkan oleh membesarnya

volume partikel dari kitin akibat penambahan NaOH sehingga merenggangnya ikatan

setiap komponen (Suharto, 1984).

Dapat dilihat pula rendemen kitosan paling besar adalah kitosan yang dihasilkan oleh

kelompok D1 dengan proses deasetilasi kitin (rendemen kitin II) dengan menggunakan

NaOH 40%, hasil rendemen kitosan dengan penggunaan NaOH 40% juga cenderung

lebih besar (jika hasilnya dirata-rata) jika dibandingkan dengan penggunaan NaOH 50%

dan 60%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hong et al (1989) yang menyatakan bahwa

penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan terjadinya

depolimerisasi rantai molekul kitosan, sehingga berat molekul dari kitosan akan

berkurang dan rendemen kitosan yang diperoleh pun akan menjadi sedikit.

Berikut adalah beberapa contoh aplikasi kitin dan kitosan dalam industri pangan

menurut Paul et al (2013):

Edible film

Dengan sifat fungsional pembentukan filmnya, kitin dan kitosan telah berhasil

dikembangkan menjadi pembungkus makanan. Diantara kitin dan kitosan,

kitosanlah yang secara luas telah banyak digunakan dalam industri edible film, dan

dalam kemampuannya untuk membentuk film semi permeable, coating dengan

menggunakan kitosan dapat digunakan untuk memodifikasi atmosfer pada bagian

dalam coating dan juga dapat mengurangi penurunan kualitas akibat transpirasi

(transpiration loss). Pada umumnya edible film yang dikembangkan dari kitin dan

turunannya digunakan pada industri pangan dengan tujuan untuk meningkatkan

kualitas makanan tersebut dan untuk memperpanjang umur simpannya. Lapisan film

ini dapat menjadi suplemen dan kadang dapat mengontrol perrubahan fisikokimia,

fisik dan morfologi pada makanan yang dibungkusnya, sedangkan pembungkus

makanan biasa, seperti polyethylene film tidak dapat mengusahakan hal-hal tersebut,

karena masih dapat menyebabkan terjadinya fermentasi pada makanan dengan

berkuragnya jumlah oksigen, kondensasi dibagian dalam kemasan akibat suhu yang

berfluktuasi, serta dapat menyebabkan tumbuhnya kapang.

Zat Antimikroba

Saat ini, aktivitas antimikroba dari kitin dan turunannya terhadap semua jenis

mikroorganisme, seperti kapang, khamir dan bakteri masih mendapatkan perhatian

khusus, karena mekanismenya masih belum diketahui secara pasti, namun

mekanisme lainnya telah diketahui, yaitu interaksi antara molekul kitosan dengan

membran sel mikroorganisme dapat memberikan efek negatif bagi mikroorganisme

tersebut, karena dapat menyebabkan kebocoran pada sel, sehingga protein dan

komponen-komponen intraselular lainnya keluar dari sel mikroorganisme tersebut.

Kitosan yang masuk ke dalam nukleus dari mikroorganisme akan terikat dengan

DNA dari mikroorganisme tersebut, dan hal tersebut dapat mengakibatkan

terganggunya sintesis mRNA dan protein.

Senyawa pengkelat (chelating agent)

Kitosan juga berperan sebagai senyawa pengkelat dimana senyawa tersebut

merupakan senyawa yang dapat mengikat logam-logam berat yang terdapat pada

suatu bahan pangan yang ditambahkan dengan kitosan ini.

Kitosan dapat menghambat produksi racun dan pertumbuhan mikroorganisme.

Kitosan juga dapat mengaktifkan beberapa proses pertahanan pada jaringan induk,

dengan cara berperan sebagai agen pengikat air dan menghambat beberapa enzim.

Menurut jurnal berjudul Development of Chitosan Based Active Film to Extend The

Shelf Life of Minimally Processed Fish (Paul et al, 2013), kitin adalah rantai panjang

polimer dari glukosamin N-asetil, turunan dari glukosa. Kitin ini terutama ditemukan di

dinding sel jamur, eksoskeleton artropoda seperti krustasea dan serangga, radulas

moluska dan paruh dan kerang internal cumi seperti cumi-cumi dan gurita. Kitin dan

kitosan merupakan polimer alami yang melimpah dan terbarukan memiliki sifat yang

sangat baik seperti biodegradasi, biokompatibilitas, non toksisitas dan adsorpsi. Karena

memiliki sifat dapat sebagai pembentuk edible film, kitin dan kitosan telah berhasil

digunakan sebagai pembungkus makanan. Di antara dua ini ( kitin dan kitosan ), kitosan

secara luas digunakan dalam industri edible film. Karena kemampuannya untuk

membentuk film semi-permeabel, pelapisan kitosan dapat diharapkan untuk

memodifikasi suasana internal maupun menurunkan hilangnya transpirasi.

Menurut jurnal berjudul Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from

Mussel Shell (Abdulkarim et al, 2013), kitin (b-(1-4) N-asetil-D-glukosamin), adalah

polisakarida alami sangat penting. Kitin merupakan komponen utama dalam cangkang

udang, dan kepiting, tulang rawan dari cumi-cumi, dan penutup luar serangga, itu juga

terjadi seperti yang diperintahkan mikrofibril kristal membentuk komponen struktural

dalam eksoskeleton arthropoda atau di dinding sel jamur dan ragi . Umumnya, cangkang

crustacea yang dipilih terdiri dari protein 30-40%, 30-50% kalsium karbonat dan

kalsium fosfat, dan 20-30% kitin. Kitosan adalah polisakarida alami yang terdiri dari

kopolimer glukosamin dan N-asetilglukosamin, dan dapat diperoleh oleh deasetilasi

kitin parsial.

Menurut jurnal berjudul Extraction and Characterization of chitin; a functional

biopolymer obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio I.): A lesser

known source (Zaku et al, 2011), penggunaan produk yang dapat diperbaharui ini

memiliki tujuan untuk menghasilkan bahan yang memiliki nilai dan biologis yang

berkelanjutan dan untuk meminimalkan limbah merupakan tantangan bagi penelitian

saat ini dan pengembangan.

Menurut jurnal berjudul Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface

Structures of Chitin / Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities (Ishihara

et al, 2015), sifat kitin / kitosan terutama tergantung pada berat molekul, DDAc, dan

struktur yang konformasi. DDAc terutama mempengaruhi kelarutan, hidrofobisitas, dan

interaksi elektrostatik antara polyanions dan kelompok amino terprotonasi kitin /

kitosan. Namun, struktur permukaan kitin / kitosan dapat mempengaruhi adsorpsi Ag

NP.

Menurut jurnal berjudul Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab

Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India

(Sakthivel et al, 2015), kitin tidak larut dalam air , baik di setiap pelarut organik umum

maupun didalam larutan air asam, basa dan netral. Kitosan (poli-β- ( 1 → 4 ) N-asetil-

D-glucosamine), adalah turunan N- deasetilasi kitin. Sebuah nomenklatur yang tepat

sehubungan dengan derajat N-deasetilasi belum ditetapkan antara kitin dan kitosan.

Kitosan tidak larut pada pH netral dan basa, tetapi larut dalam asam anorganik dan

organik termasuk asetat, format, laktat, klorida, dan asam glutamat. Namun, reaktivitas

kimia dan biokimia dari kitosan adalah lebih tinggi dari kitin karena kitosan memiliki

gugus amino bebas didistribusikan secara teratur dalam rantai molekul.

4. KESIMPULAN

Limbah udang banyak mengandung protein dan mineral.

Komponen mineral utama yang terdapat pada limbah udang adalah kalsium

karbonat.

Kitin dapat diekstrak dari limbah udang.

Kitosan diperoleh dari proses diasetilasi kitin.

Proses demineralisasi menggunakan senyawa asam kuat.

Proses deproteinasi dan deasetilasi menggunakan senyawa basa kuat.

Proses deasetilasi berarti proses penghilangan gugus asetil pada kitin.

Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral pada limbah udang.

Proses deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein pada kitin hasil

demineralisasi.

Mineral dapat larut dalam asam kuat.

Protein dapat larut dalam basa kuat.

Kombinasi antara basa kuat dan pemanasan dapat melepaskan gugus asetil pada

kitin.

Proses pencucian dengan air dimaksudkan untuk menghilangkan HCl maupun

NaOH, karena kedua senyawa tersebut merupakan senyawa larut air.

Penetralan pH ditujukan untuk memastikan bahwa senyawa NaOH atau HCl sudah

berhasil dihilangkan.

HCl yang paling baik digunakan dalam proses demineralisasi adalah HCl dengan

konsentrasi 1 N.

Semakin tinggi konsentrasi HCl maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin

banyak, namun jika konsentrasi HCl terlalu tinggi juga akan menyebabkan

berkurangnya rendemen kitin.

Konsentrasi NaOH pada proses deasetilasi yang paling baik digunakan adalah

NaOH 40%.

Semakin lama kitin kontak dengan NaOH pada proses deasetilasi, maka akan

menyebabkan sedikitnya rendemen kitosan yang dihasilkan.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan saat proses deasetilasi, maka

akan menyebabkan sedikitnya rendemen kitosan yang dihasilkan.

Pemanasan dapat dilakukan untuk mempercepat suatu reaksi dan untuk

mengoptimalkan pereaksi.

Kitosan merupakan suatu produk tanpa protein dan mineral.

Penambahan NaOH dapat meningkatkan volume rendemen kitosan.

Semarang, 28 Oktober 2015

Praktikan (D3), Asisten dosen,

- Tjan, Ivana Chandra

Dhara Benita N.

13.70.0061

5. DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, A.; Isa, M.T.; dan Abdulsalam, S. (2013). Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell, http://www.iiste.org. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2015.

Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses pada tanggal 27 Oktober 2015.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and ChitosanFrom Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical, Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University. Belfast. 143 p.

Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise. (2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ. Sci., 2 (2): 103-111, 2007.

Candra B.A. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang Dikeringkan dan Diamobilisasi. Insitut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/47184/C11bac.pdf?seque

nce=1 . Diakses tanggal tanggal 27 Oktober 2015.

Hargono, Abdullah.; & I. Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Hossain, Z. Asaduzzaman, M.A. Kashem, Bazlul Karim Akanda, S.K. Roy and Shahidul Islam, Bangladesh J. Sc. Ind. Res.2005, 40(3-4), 163-168.

Ishihara, M.; Nguyen, V.Q.; Mori, Y.; Nakamura, S.; & Hattori, H. (2015). Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structures of Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activites. International Journal of Molecular Sciences. ISSN 1422-0067. Jepang.

Islam, Monarul Md.; Shah Md. Masum; M. Mahbubur Rahman; Md. Ashraful Islam Molla; A. A. Shaikh; S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01. Bangladesh.

Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.

Kimball, John. W. 1992. Biologi Umum. Erlangga, Jakarta.

Knorr, D. (1984). Use of chitinous polymers in food. Food Technology, 38(1), 85–97.

Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip

%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf. Diakses pada tanggal 27 Okto ber 201 5 .

Paul, Jiffy P; Sharmila Jesline J.W & K. Mohan. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering & Technology. Vol. 1, Issue 5, Oct 2013, 15-22. India.

Prasetyo, K.W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Purwaningsih. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90. 

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Reynold, T.D and Richards, P.A. 1996. Unit Oprations and Processes in Environmental Engineering, 2nd edition. PWS Publishing Company. Boston.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.

Sakthivel, D.; Vijayakumar, N.; & Anandan, V. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry Southeast Coast of India. International Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Research. Vol. 4, Issue 1, August 2015. India.

Shahidi, F., Arachchi, J. K. V., & Jeon, Y.-J. (1999). Food applications of chitin and chitosans. Trends in Food Science and Technology, 10, 37–51.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suyitno.(1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.

Toan, Van Nguyen. Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. (2009). The Open Biomaterials Journal Vol 1: 21-24. ISSN 1876-5025. Vietnam.

Toan, Van Nguyen. Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment. (2011). The Open Biomaterials Journal Vol 3: 1-3. ISSN 1876-5025. Vietnam.

Winarno,F.G., (1997), ”Kimia Pangan dan Gizi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yen, Min-Tsung; Joan-Hwa Yang; Jeng-Leun Mau. (2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells. Carbohydrate Polymers 75 (2009) 15–21. Taiwan.

Zaku, S.G.; Emmanuel, S.A.; Aguzue, O.C.; & Thomas, S.A. (2011). Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio I.): A lesser known source. African Journal of Food Science Vol. 5(8),pp. 478-483.

6. LAMPIRAN

Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkeringberatbasahI

×100 %

Rendemen Chitin II = berat kitin

berat basah II×100 %

Rendemen Chitosan = berat kitosan

berat basah III×100 %

Kelompok D1

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14 %

Rendemen Chitin II = 28

× 100 %

= 25 %

Rendemen Chitosan = 1,523,15

×100 %

= 48,25 %

Kelompok D2

Rendemen Chitin I = 4,514

× 100 %

= 32,14%

Rendemen Chitin II = 2,046,5

× 100 %

= 31,38 %

Rendemen Chitosan = 1,383,5

×100 %

= 39,43 %

Kelompok D3

Rendemen Chitin I = 3,59,5

× 100 %

= 36,84 %

Rendemen Chitin II = 1,63,5

×100 %

= 45,71 %

Rendemen Chitosan = 1,172,5

× 100 %

= 46,80 %

Kelompok D4

Rendemen Chitin I = 4

11,5× 100 %

= 34,78 %

Rendemen Chitin II = 1,74,5

× 100 %

= 37,78 %

Rendemen Chitosan = 0,982,5

× 100 %

= 39,20 %

Kelompok D5

Rendemen Chitin I = 3,512

×100 %

= 29,17 %

Rendemen Chitin II = 1,85,5

×100 %

= 32,73 %

Rendemen Chitosan = 1,373,5

× 100 %

= 39,14 %