kitin dan kitosan_lely prima a._12.70.0139_c3_unika soegijapranata

28
1. HASIL PENGAMATAN Dari pengamatan yang telah dilakukan terhadap kitin dan kitosan, diperoleh hasil pengamatan seperti pada Tabel 1. berikut Table 1. Hasil Pengamatan terhadap Kitin dan Kitosan Kelompo k Perlakuan Rendemen Kitin I (%) Rendemen Kitin II (%) Rendemen Kitosan (%) C1 Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % 20 20 20% C2 Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % 32 33,333 21,667% C3 Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % 24 20 27,273% C4 Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % 41 16,667 20% C5 Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % 29 33,333 14,285 C6 Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % 35 28,571 11,765 Dari tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa rendemen kitin I yang paling tinggi adalah kelompok 4 dengan perlakuan Kulit 1

Upload: reed-jones

Post on 26-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

praktikum kitin dan kitosan dilaksanakan pada hari Senin, 1 September 2014 di labrotaorium rekayasa pangan. Bahan baku yang digunakan adalah kulit udang kering.

TRANSCRIPT

Page 1: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. HASIL PENGAMATAN

Dari pengamatan yang telah dilakukan terhadap kitin dan kitosan, diperoleh hasil

pengamatan seperti pada Tabel 1. berikut

Table 1. Hasil Pengamatan terhadap Kitin dan Kitosan

Kelompok Perlakuan Rendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

C1Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5

% + NaOH 40 %20 20 20%

C2Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5

% + NaOH 40 %32 33,333 21,667%

C3Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5

% + NaOH 40 %24 20 27,273%

C4Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5

% + NaOH 40 %41 16,667 20%

C5Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5

% + NaOH 40 %29 33,333 14,285

C6Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5

% + NaOH 40 %35 28,571 11,765

Dari tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa rendemen kitin I yang paling tinggi adalah

kelompok 4 dengan perlakuan Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 %

yaitu sebesar 41 %, sedangkan yang paling rendah terdapat pada kelompok 3 dengan

perlakuan Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 24 %.

Untuk rendemen kitin II yang paling tinggi adalah kelompok 2 dengan perlakuan Kulit

Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % dan kelompok 5 dengan perlakuan

Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 33,333 %,

sedangkan yang paling rendah terdapat pada kelompok 4 dengan perlakuan Kulit Udang

+ HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 16,667 %. Pada rendemen

kitosan diperoleh hasil tertinggi pada kelompok 5 dengan perlakuan Kulit Udang + HCl

0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 14,285, sedangkan yang paling

rendah terdapat pada kelompok 1 dengan perlakuan Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH

3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 7,843.

1

Page 2: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. PEMBAHASAN

Udang merupakan salah satu jenis hewan yang termasuk dalam kelompok crustacea

(berkulit keras). Pada umumnya dalam mengonsumsi udang, ada bagian yang

dihilangkan yaitu kepala dan kulit udang. Padahal sebebnarnya didalam kulit udang

banyak terkandung kitin dan kitosan yang merupakan biopolimer berpotensi untuk

dimanfaatkan oleh berbagai industri terutama industri pangan. Selain itu di dalam kulit

udang juga terdapat beberapa komponen seperti kalsium karbonat sebanyak 45-50% dan

protein sebanyak 25-40% (Marganov, 2003). Prasetyo (2006) menambahkan bahwa

kitin yng terkandung dalam kulit udang tersebut berikatan dengan garam anorganik

(CaCO3), protein serta pigmen karena kitin tidak dapat berada sendiri di alam.

Menurut Peter (1995) kitin adalah suatu kelompok polisakarida yang tersedia dalam

jumlah yang banyak di alam. Biasanya banyak terdapat pada komponen yang struktural

dari eksoskeleton pada crustacean dan serangga serta dalam dinding sel pada jamur dan

ragi. Selain itu kitin juga banyak ditemukan dalam paruh burung, tulang rawan pada

cumi-cumi serta kulit kerang. Secara fisik kitin memiliki kenampakan yang keras (tidak

elastis) serta berwarna putih. Aranaz, et al. (2009) mengatakan bahwa kitin tersusun

atas monomer N-2 asetamida-2 deoksi-D-glukosa yang terikat oleh ikatan glikosidik

pada posisi β (1,4). Kitin bersifat tidak dapat larut dalam air asam karena hanya

mempunyai sedikit 2-amino-2-deoksi-D-glukosa sehingga dalam pemanfaatannya tidak

terlalu banyak.

Oleh sebab itu seiring dengan perkembangan teknologi maka diperoleh cara untuk

mengoptimalkan pemanfaatan kitin. Caranya yaitu dengan modifikasi struktur kimia

dari kitin dimana dengan modifikasi tersebut akan diperoleh turunan dari kitin dengan

sifat kimia yang lebih baik. Ada beberapa hasil turunan dari kitin, salah satunya yaitu

kitosan yang merupakan senyawa yang disusun oleh disakarida (1-4)-2-deoksi-D-

glukosa. Kitosan diperoleh melalui proses hidrolisis kitin menggunakan basa yang kuat.

Kitosan memiliki sifat yang dapat larut dalam air asam karena telah memiliki cukup

banyak 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Selain itu viskositas dari kitosan dari kitosan

2

Page 3: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

ditentukan oleh derajat dari degradasi polimer serta derajat pada diasetilasi (Dunn et al.,

1997).

Kitosan berbentuk padatan amorf yang berwarna putih dan memiliki strukutur sama

seperti kitin yaitu kristal. Bila dibandingkan dengan kitin, rantai pada kitosan lebih

pendek. Kitosn memiliki bentuk yang hampir serupa dengan selulosa, perbedaannya

terletak pada gugus hidroksi C-2 yang digantikan oleh gugus amino (NH2) (Robert,

1992). Krakteristik kimia dari kitosan adalah gugus hidroksil reaktif, gugus amino

reaktif, agen pengkelat serta poliamin linear. Selain itu kitosan juga memiliki

karakteristik biologi seperti mempercepat pembentukan tulang, anti tumor,

biocompatible yang artinya sebagai biodegradable untuk tubuh, penghilang stress,

member efek regenerative, fungistatik hemeostatik serta spermicidal (Dutta et al, 2004).

Manfaat lain dari kitosan adalah dapat digunakan sebagai bahan pengawet atau

antimikroba sebab megandung enzim lysozim serta gugus asam amino bermuatan

positif yang akan mengikat muatan negatif senyawa lain. Sehingga kitosan dikenal

sebagai polisakarida bermuatan netral (Robert, 1992). Ratna & Sugiyani, (2006)

menambahkan bahwa kitosan sebagai antimikroba berasal dari kemampuan interaksi

pada molekul kitosan dengan senyawa yang berada di permukaan sel bakteri kemudian

akan teradsorbsi sehingga terbentuk lapisan yang menghambat saluran untuk

transportasi sel. Oleh sebab itu sel akan tersubstansi berkembang dan akhirnya mati.

Viskositas dan kelarutan kitosan kering dapat berubah karena tidak mempunyai titik

lebur serta disimpan pada suhu 100 oF dalam jangka waktu yang lama. Penyimpanan

kitosan pada wadah yang terbuka akan mengakibatkan viskositas menurun, dekomposisi

serta warna menjadi kuning. Kitosan juga memiliki sifat khusus lainnya yaitu hanya

larut oleh asam encer contohnya asam sitrat, asam asetat dan asam format. Namun

kitosan juga mampu larut dalam air jika kitosan telah mengalami substitusi diasetilasi

(Dunn et al., 1997).

Pada praktikum pembuatan kitin dan kitosan pada kali ini menggunakan kulit dan

kepala udang. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk mendapatkan kitin dan

Page 4: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

kitosan seperti tahap demineralisasi dan deproteinasi untuk memperoleh kitin

dilanjutkan dengan tahap deasetilasi untuk mendapatkan kitosan (Aranaz, et al., 2009).

Pada tahap pertama yaitu melakukan demineralisasi agar mineral pada kulit udang dapat

hilang. Hal pertama yang dilakukan adalah mencuci bersih kulit dan kepala udang pada

air mengalir lalu dikeringkan. Tujuannya agar kotoran pada kulit dan kepala udang

dapat hilang sehingga ekstrak kitin nantinya tidak tercemar (Bastaman, 1989).

Setelah itu dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak 2x kemudian dikeringkan.

Air panas yang digunakan untuk mencuci tersebut berfungsi untuk mensterilkan kulit

dan kepala udang dari mikroorganisme patogen. Proses pengeringan berfungsi agar air

yang masih tersisa pada bahan dapat teruapkan seluruhnya sehingga akan didapatkan

bahan yang kering. Selanjutnya dihancurkan sampai menjadi bubuk lalu diambil

sebanyak 10 gram dan diayak menggunakan ayakan dengan ukuran 40-60 mesh. Tujuan

dilakukan penghancuran tersebut ialah agar luas permukaan dari bahan menjadi semakin

besar, sehingga bahan akan mengalami kontak dengan pelarut secara maksimal dan

hasilnya komponen terlarut sempurna (Prasetyo, 2006).

Setelah itu ditambah dengan HCL pada perbandingan 10:1, HCl 0,75 N untuk kelompok

1 dan 2; HCl 1 N untuk kelompok 3 dan 4 serta HCl 1,2 untuk kelompok 5 dan 6. HCl

yang ditambahkan tersebut berfungsi sebagai pelarut untuk komponen mineral pada

kulit udang. Bastaman (1989) mengatakan bahwa untuk melakukan proses ekstraksi

kitin, terlebih dahulu harus menghilangkan mineral yang terkandung di dalam kulit

udang. Sebab jumlah mineral dalam kulit udang cukup tinggi yaitu sekitar 30%-50%

dari berat kering. Jenis mineral yang paling banyak dalam kulit udang adalah kalsium

fosfat maupun kalsium karbonat. Umumnya larutan asam yang digunakan adalah asam

encer HCl, asam laktat atau H2SO4.

Dengan ditambahkannya larutan asam encer maka permukaan biopolimer kitin akan

mengalami kerusakan, berikut adalah reaksi yang terjadi pada kitin yang ditambah

dengan HCl :

HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)

H+(aq) + H2O H3O+(aq)

Page 5: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)

CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)

(Robert, 1992).

Bastaman (1989) menambahkan bahwa ada beberapa kelebihan dalam menggunakan

HCl sebagai pelarut yaitu dalam pelarutan mineral tidak membutuhkan HCl dalam

konsentrasi yang tinggi. Selain itu mudah untuk dihilangkan atau dinetralkan dengan

NaOH (basa) jika masih ada sisa HCl yang menempel. Dengan adanya penambahan

NaOH tersebut maka akan terbentuk garam yang dapat dimanfaatkan sebagai agen

pemberi rasa.

Selanjutnya diaduk selama 1 jam serta dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90 oC.

Dengan dilakukan pemanasan tersebut maka perusakan mineral akan berjalan lebih

cepat serta memaksimalkan fungsi dari HCl yaitu melepaskan ikatan antara kitin dengan

bahan organik lain serta kalsium karbonat sebagai mineral. Gelembung udara berupa

CO2 yang terbentuk merupakan indikator dari lepasnya mineral dari kitin, Proses

pengadukan tersebut bertujuan agar tidak timbul gelembung udara akibat dari

terpisahnya mineral selama proses demineralisasi yang dilakukan (Puspawati, et al.,

2010).

Kemudian didinginkan sebentar lalu dicuci dengan air mengalir hingga pH menjadi

netral. Tujuan dari tahap pendinginan adalah agar kitin mengendap dengan sempurna

sehingga saat dilakukan pencucian tidak ikut terbuang (Rogers, 1986). Penetralan pH

juga bertujuan untuk menghilangkan mineral yang ada pada kitin. Sebab selama proses

demineralisasi terjadi reaksi antara HCl dengan mineral terutama kalsium karbonat yang

akan menghasilkan kalsium klorida, asam fosfat serta asam karbonat yang sifatnya larut

pada pelarut polar contohnya air. Sedangkan residu atau senyawa kitin yang tersisa

tidak dapat larut dalam air sehingga dalam menetralkan pH harus dilakukan dengan

proses penyaringan untuk mendapatkan residu kitin saja (Bastaman, 1989). Suptijah

(2004) menambahkan bahwa jika tidak dilakukan penetralan pH maka akan terjadi

degradasi produk karena adanya beberapa gugus amino yang bebas saat proses

pengeringan. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam.

Page 6: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil rendemen kitin I pada kelompok 1 :

20%, kelompok 2 : 32%, kelompok 3 : 24%, kelompok 4 : 41 %, kelompok 5 : 29 %

dan kelompok 6 : 35%. Hasil tersebut kurang sesuai dengan teori karena rendemen

paling banyak diperoleh kelompok 4 yang menggunakan HCl 1 N padahal seharusnya

diperoleh kelompok 6. Johnson dan Peterson (1974) mengatakan bahwa semakin

banyak rendemen kitin yang diperoleh berarti konsentrasi HCl yang digunakan juga

semakin tinggi. Sebab semakin tinggi konsentrasi HCl akan mempermudah lepasnya

mineral dari serbuk kulit udang secara sempurna. Ketidaksesuaian ini mungkin

disebabkan oleh pengadukan yang kurang konstan sehingga larutan HCl tidak dapat

bereaksi secara sempurna (Kaunas, 1984). Selain itu kemungkinan saat dilakukan

pencucian untuk mentralkan pH, ada rendemen yang ikut terbuang atau tidak sengaja

jatuh sehingga mengurangi berat dari rendemen.

Pada umumnya proses demineralisasi dilakukan secara tradisional seperti yang

dilakukan pada praktikum ini. Namun telah ditemukan cara baru yang lebih efektif

untuk menghilangkan mineral pada kulit udang yaitu melalui proses autolysis parsial.

Hal tersebut dikarenakan paparan pada CaCO3 atau aksi pemecah protein yang pada

akhirnya akan menghasilkan peningkatan paparan CaCO3 pada kulit udang. Penggunaan

metode ini dirasa cocok untuk skala industri sebab tidak membutuhkan biaya yang

mahal karena waktu yang dibutuhkan relative lebih singkat. Selain itu hanya dengan

menggunakan konsentrasi HCl yang rendah sudah cukup untuk melakukan

demineralisasi sehingga dapat menghindari kerusakan struktur polimer kitin (Toan, N.

V., 2009).

Tahap selanjutnya adalah deproteinasi yang merupakan tahap untuk menghilangkan

atau memisahkan ikatan antara protein dengan kitin. Pertama, hasil dari proses

demineralisasi (tepung) ditambah dengan NaOH 3,5 % pada perbandingan kitin : NaOH

= 6 : 1. NaOH berfungsi sebagai pelarut sehingga protein dalam kitin dapat terpisah atau

terlarut (Reece et al, 2003). Selama proses deproteinasi berlangsung, larutan NaOH

akan mengalami ionisasi dalam air yang menyebabkan terbentuknya setiap ion

hidroksida dan ion natrium. Jika NaOH ditambakan secara perlahan dan dalam jumlah

yang sedikit akan menimbulkan reaksi antara ion hidroksida dengan ion hydrogen

Page 7: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

sehingga akan terbentuk molekul air. Ketika ion hidrogen ada di dalam larutan maka

larutan bersifat asam. Namun sebaliknya, jika penambahan ion hidroksida dalam jumlah

yang sama dengan ion hidrogen maka larutan bersifat netral Rogers (1986).

Kemudian diaduk selama 1 jam lalu dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam. Proses

pengadukan dan pemanasan tersebut dilakukan agar panas yang diteima oleh kitin dapat

merata sehingga terjadi peningkatan derajat proteinasi namun kitin tidak gosong

(Rogers, 1986). Selain itu dengan adanya pemanasan dan pengadukan maka NaOH

dapat bekerja maksimal dan cepat dalam memisahkan protein sehingga akan diperoleh

kitin yang bebas protein. Setelah pemanasan lalu disaring, didinginkan untuk

selanjutnya residu dicuci higga mencapai pH netral. Dan terakhir dikeringkan selama 24

jam pada suhu 80 oC. hasil akhir dari proses ini berupa kitin yang selanjutnya dapat

diproses. Perlakuan pendinginan bertujuan untuk mengendapkan bubuk kitin yang telah

diperoleh sehingga ketika dilakukan pencucian tidak ada kitin yang terbuang. Pencucian

itu sendiri berfungsi agar kitin yang basa menjadi netral, selain itu degradasi produk

karena gugus amino bebas saat pengeringan dapat dicegah. Proses pengeringan

berfungsi agar air yang masih tersisa pada bahan dapat teruapkan seluruhnya sehingga

akan didapatkan bahan yang kering (Rogers,1986; Suptijah, 2004).

Deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisai bertujuan untuk memperoleh

rendemen kitin yang jumlahnya lebih banyak daripada melalui proses deproteinasi lebih

dahulu lalu proses demineralisasi. Sebab kitin pada mineral akan membuat pelindung

yang keras pada lapisan kulit udang. Selain itu strukutr dari mineral umumnya lebih

keras dibanding struktur protein, sehingga ketika mineral sudah dihilangkan terlebih

dahulu. Maka proses deproteinasi dapat berlangsung optimal sebab pelindung yang

dibenttuk mineral sudah hilang (Alamsyah et al., 2007).

Hasil rendemen kitin II yang diperoleh kelompok 1 : 20 %, kelompok 2 : 33,333 %,

kelompok 3 : 20 %, kelompok 4 : 16,667 %, kelompok 5 : 33,333 % dan kelompok 6 :

28,571%. Menurut Fennema (1985) bahwa dalam suasana basa, protein dan mineral

lebih mudah larut disbanding dalam suasana asam sebab aktivitas hidrolisis dari larutan

basa lebih tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses deproteinasi yang

Page 8: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

menggunakan NaOH (basa) dapat memaksimalkan mineral dan protein yang hilang,

akibatnya massa rendemen kitin akan turun. Hasil percobaan yang telah dilakukan

kurang sesuai denan teori tersebut sebab beberapa kelompok memperoleh rendemen

kitin setelah deproteinasi yang lebih besar dari sebelumnya. Hal tersebut mungkin

terjadi akibat proses penetralan, belum optimalnya pengeringan maupun kurangnya

proses demineralisasi yang menyebabkan pelindung dari mineral dalam kulit udang

masih tertinggal.

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam memperoleh kitin

diantaranya jenis bahan yang digunakan, proses ekstraksi yang meliputi deproteinasi

dan demineralisasi. Proses isolasi kitin dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatis

Hartati et al. (2002). Isolasi kitin yang dilakukan dalam praktikum ini adalah secara

kimia karena menggunakan beberapa larutan seperti NaOH dan HCl. Laila & Hendri

(2008) menambahkan bahwa kondisi dan tahapan dalam proses isolasi juga menentukan

kualitas dari kitin yang diperoleh. Faktor dari kondisi dan tahapan dalam proses tersebut

diantaranya pH, suhu, lamanya proses pembuatan serta konsentrasi zat kimia yang

digunakan.

Setelah diperoleh kitin dari proses demineralisasi dan deproteinasi, maka proses

selanjutnya adalah pembentukan kitosan sebagai turunan dari kitin. Proses untuk

mendapatkan kitosan ini disebut proses deasetilasi. Sesuai dengan pernyataan Robert

(1992) bahwa kitosan dapat diiekstraksi melalui 3 tahap yaitu demineralisasi,

deproteinasi dan deasetilasi. Perubahan kitin menjadi turunannya yaitu kitosan melalui

proses deasetilasi yaitu menghilangkan gugus asetil pada kitin dan merubahnya menjadi

amina pada kitosan.

Jumlah gugus asetil yang hilang dari kitosan maupun rendemen menunjukkan kualitas

dari kitosan yang sering disebut sebagai derajat deasitalase. Gugus asetil kitosan yang

semakin rendah menunjukkan derajat deasetilase yang semakin tinggi sehingga

membuat semakin kuat interaksi antar ikatan hidrogen dan ionnya (Knoor, 1984). Azhar

et al. (2010) menambahkan bahwa tujuan dari proses deasetilasi adalah memutus ikatan

kovalen anatara nitrogen dalam gugus asetamida kitin dengan gugus asetil yang akan

Page 9: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

member perubahan menjadi gugus amina (–NH2). Terlepasnya gugus asetil tersebut

akan membentuk gugus amina terasetilasi.

Proses diasetilasi diawali dengan menambahkan NaOH ke dalam kitin hasil dari proses

sebelumnya sebanyak 20 : 1 dengan konsentrasi NaOH 40% untuk kelompok 1 dan 2.

50% untuk kelompok 3 dan 4 serta 60% untuk kelompok 5 dan 6. Tujuan

ditambahkannya NaOH tersebut adalah untuk memperoleh kitosan yang berasal dari

kitin. Sebab struktur kristal dari kitin panjang dan memiliki ikatan yang kuat antara

gugus karboksil dengan ion nitrogen, oleh sebab itu butuh larutan natrium hidroksida

konsentrasi 40-50% serta suhu tinggi agar diperoleh kitosan (Hirano, 1989). Kitin

memiliki konformasi yang sangat rapat namun jika diberi NaOH maka konformasi

tersebut akan berubah menjadi renggang. Keadaan tersebut akan membuat enzim mudah

untuk melakukan deasetilasi pada polimer kitin. Selain itu kondisi alkali menyebabkan

terputusnya ikatan antara atom nitrogen dengan gugus karboksil (Martinou, 1995)

Kemudian diaduk selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Proses pengadukan

tersebut bertujuan untuk meratakan NaOH yang ditambahkan dana memeprcepat

penyerapan NaOH (Puspawati et al., 2010). Sedangkan proses pendiaman selam 30

menit dimaksudkan agar bubuk kitin yang telah diperoleh mengendap sehingga ketika

dilakukan pencucian tidak ada kitin yang terbuang (Rogers, 1986). Setelah itu

dipanaskan dengan suhu 140 oC selama 90 menit. Pemanasan dengan suhu yang tinggi

tersebut dapat membuat gugus asetil terlepas dari molekul kitin. Sehingga gugus

hydrogen dengan muatan positif akan berikatan dengan gugus amina pada kitin dan

akhirnya akan terbentuk gugus amina bebas (Mekawati et al., 2000).

Selanjutnya disaring sehingga diperoleh residu yang siap dicuci hingga pH menjadi

netral. Suptijah (2004) mengatakan bahwa jika tidak dilakukan penetralan pH maka

akan terjadi degradasi produk karena adanya beberapa gugus amino yang bebas saat

proses pengeringan. Kemudian dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 70 oC

dan pada akhirnya diperoleh kitosan sebagai produk akhir. Proses pengeringan

berfungsi agar air yang masih tersisa pada bahan dapat teruapkan seluruhnya sehingga

akan didapatkan bahan yang kering (Prasetyo, 2006).

Page 10: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Hasil rendemen kitosan yang diperoleh kelompok 1 : 7,843 %, kelompok 2 : 17,500 %,

kelompok 3 : 11,429 %, kelompok 4 : 11,429 %, kelompok 5 : 14,285 % dan kelompok

6 : 11,765 %. Hong et al. (1989) mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari

NaOH yang digunakan maka akan menghasilkan rendemen kitosan yang rendah. Sebab

dengan adanya NaOH akan memicu adanya proses polimerisasi dari rantai molekul

kitosan, sehingga berat molekul dari kitosan menjadi turun. Maka hasil pengamatan

yang diperoleh kurang sesuai dengan teori yang ada sebab rendemen kitosan paling

rendah justru terdapat pada kelompok 1 yang menggunakan NaOH paling sedikit.

Kesalahan ini mungkin disebabkan oleh hilangnya sebagian kitosan saat proses

penetralan dengan cara mencuci menggunakan air mengalir. Selain itu pengadukan yang

kurang konstan dan suhu yang tidak sesuai juga dapat mempengaruhi hasil. Karena

produk kitosan sangat dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, dimana derajat deasetilasi

bergantung pada kualitas bahan baku dan kondisi saat proses pembuatan seperti suhu,

konsentrasi larutan alkali serta waktu Suhardi (1992).

Yen, M. T., (2009) menambahkan bahwa produk akhir yang berupa kitosan tersebut

akan mengandug karbon, nitrogen serta hidrogen. Dimana beberapa komponen tersebut

akan mengalami peningkatan seiring dengan lamanya waktu yang digunakan untuk

membiarkan larutan NaOH bekerja. Sehingga pada umumnya terdapat berbagai jenis

kitin yang memiliki struktur berbeda satu dengan yang lain. Struktur maupun sifat kitin

dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan yang memiliki faktor suhu dan waktu.

Kitosan merupakan salah satu produk turunan dari kitin yang memiliki nilai ekonomis

tinggi karena dapat dimanfaatkan kembali meskipun berasal dari sisa dari bagian tubuh

udang yang umumnya tidak dapat digunakan kembali. Salah satu manfaatnya yaitu

dijadikan sebagai bahan pelapis atau pelindung untuk ikan segar. Berdasarkan penlitian

yang telah dilakukan, lapisan kitosan mampu mencegah kerusakan fisik, kimia maupun

biologi pada ikan disbanding pembungkus lain. Pengujian tersebut dilakukan dengan

membandingkan ikan yang dibungkus lapisan kitosan, dibungkus plastic dan yang tidak

dibungkus. Setelah didiamkan selama 3 hari pada suhu ruang, ikan yang dibungkus

plastic dan yang tidak dibungkus mengalami kerusakan akibat mikroorganisme karena

Page 11: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

terbentuk lapisan tipis berwarna kuning, sedangkan yang dibungkus dengan lapisan

kitosan tidak mengalami kerusakan (Paul, J. P., 2013).

Pemanfaatan kitosan dalam bidang lain adalah seperti sebagai suplemen untuk

makanan, obat serta bahan tambahan dalam berbagai proses. Hal tersebut dikarenakan

kitosan mudah larut dalam larutan asam asetat 1%. Prosesnya yang sederhana dalam

menghasilkan kitosan, membuat kitosan banyak dipelajari dan dikembangkan untuk

dapat dimanfaatkan. Salah satu metode yang paling sering digunakan yaitu

menggunakan spektroskopi IR yang dapat menentukan karakterisktik kitin dan kitosan.

Sehingga jika sisa dari bagian tubuh udang dapat diproses dengan baik maka akan

memberikan banyak manfaat termasuk tidak menjadi masalah bagi lingkungan (Islam,

Md. M., 2011).

Untuk mengoptimalkan dalam memperoleh kitosan dari kitin, ada cara lain ang dapat

digunakan yaitu dengan menggunakan asam salisilat. Dari penelitian yang telah

dilakukan terbukti bahwa asam salisilat mampu menghasilkan kitosan dengan kualitas

yang baik dan lebih konsisten. Selain itu, asam salisilat juga terbukti mampu

menurunkan berat dari kitosan yang diperoleh pada penambahan yang semakin banyak.

Namun untuk mengaplikasikan kitosan lebih jauh lagi dalam berbagai bidang perlu

diperhatikan kembali tingkat kekeruhan, kelarutan, derajat deasetilasi serta

kekentalannya (Toan, N. V., 2011).

Page 12: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. KESIMPULAN

Kitin adalah suatu kelompok polisakarida yang tersedia dalam jumlah yang banyak

di alam.

Kitin tersusun atas monomer N-2 asetamida-2 deoksi-D-glukosa yang terikat oleh

ikatan glikosidik pada posisi β (1, 4).

Ada beberapa hasil turunan dari kitin, salah satunya yaitu kitosan yang merupakan

senyawa yang disusun oleh disakarida (1-4)-2-deoksi-D-glukosa.

Viskositas dari kitosan dari kitosan ditentukan oleh derajat dari degradasi polimer

serta derajat pada diasetilasi.

Ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk mendapatkan kitin dan kitosan

seperti tahap demineralisasi dan deproteinasi untuk memperoleh kitin dilanjutkan

dengan tahap deasetilasi untuk mendapatkan kitosan.

Pada proses demineralisasi, penmbahan HCl bertujuan agar mineral pada kulit

udang dapat hilang.

Dengan pemanasan maka perusakan mineral akan berjalan lebih cepat serta

memaksimalkan fungsi dari HCl yaitu melepaskan ikatan antara kitin dengan bahan

organik lain serta kalsium karbonat sebagai mineral.

Penetralan pH juga bertujuan untuk menghilangkan mineral yang ada pada kitin.

Sebab semakin tinggi konsentrasi HCl akan mempermudah lepasnya mineral dari

serbuk kulit udang secara sempurna.

Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan oleh pengadukan yang kurang konstan

sehingga larutan HCl tidak dapat bereaksi secara sempurna.

NaOH berfungsi sebagai pelarut sehingga protein dalam kitin dapat terpisah atau

terlarut.

Deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisai bertujuan untuk memperoleh

rendemen kitin yang jumlahnya lebih banyak daripada melalui proses deproteinasi

lebih dahulu lalu proses demineralisasi.

Proses deproteinasi yang menggunakan NaOH (basa) dapat memaksimalkan mineral

dan protein yang hilang, akibatnya massa rendemen kitin akan turun.

12

Page 13: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

Perubahan kitin menjadi turunannya yaitu kitosan melalui proses deasetilasi yaitu

menghilangkan gugus asetil pada kitin dan merubahnya menjadi amina pada

kitosan.

Gugus asetil kitosan yang semakin rendah menunjukkan derajat deasetilase yang

semakin tinggi sehingga membuat semakin kuat interaksi antar ikatan hidrogen dan

ionnya.

Kondisi alkali menyebabkan terputusnya ikatan antara atom nitrogen dengan gugus

karboksil.

Semakin tinggi konsentrasi dari NaOH yang digunakan maka akan menghasilkan

rendemen kitosan yang rendah.

Semarang, 16 September 2014

Praktikan, Asisten Dosen :

- Stella Gunawan

Lely Prima Anggraeni

12.70.0139

Page 14: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris Acosta. (2009).Functional Characterization of Kitin and Kitosan.Current Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.

Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry. Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Islam, Md. M., Masum, Md. S., Rahman, M. M., Molla, Md. A. I., Shaikh, A. A., Roy, S. K. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic and Applied Sciences 11(1):77-80.

14

Page 15: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.

Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Paul, J., Jesline, S., Mohan. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extendthe Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering and Technology 1(5):15-22.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.

Page 16: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf.Diakses 12 September 2014.

Reece, C., dan Mitchell. (2003).Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.

Toan, N. V. (2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. The Open Biomaterials Journal. 1:21-24.

Toan, N. V. (2011). Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment. The Open Biomaterials Journal. 3:1-4.

Yen, M. T., Yang, J. H., Mau, J. L. (2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shell. International Journal of Elsevier 75:15-21.

Page 17: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Kitin I = berat keringberat basah I

x 100%

Rendemen Kitin II = berat kitin

berat basah II x 100%

Rendemen Kitosan = berat kitosan

berat basah III x 100%

Kelompok C1

Rendemen Kitin I = 2

10×100 %=20 %

Rendemen Kitin II = 0,52,5

× 100 %=20 %

Rendemen Kitosan =0,45,1

×100 %=7,843 %

Kelompok E2

Rendemen Kitin I¿3,210

x100 %=32 %

Rendemen Kitin II¿13

x100 %=33,33 %

Rendemen Kitosan ¿0,74

x 100 %=17,5 %

Kelompok C3

Rendemen Kitin I ¿ 2,410

x 100 %=24 %

Rendemen Kitin II ¿ 0,52,5

x 100 %=20 %

Rendemen Kitosan ¿ 0,43,5

x 100 %=11,429%

17

Page 18: Kitin Dan Kitosan_Lely Prima A._12.70.0139_C3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Kelompok C4

Rendemen Kitin I¿4,110

x 100 %=41 %

Rendemen Kitin II¿0,42,4

x 100 %=16,66 %

Rendemen Kitosan ¿0,21,7

x100 %=11,764%

Kelompok C5

Rendemen Kitin I¿2,910

x100 %=29 %

Rendemen Kitin II¿13

x100 %=33,333 %

Rendemen Kitosan ¿0,53,5

x 100 %=14,285 %

Kelompok C6

Rendemen Kitin I¿3,510

x100 %=35 %

Rendemen Kitin II¿0,82,8

x 100 %=28,571%

Rendemen Kitosan ¿0,43,4

x 100 %=11,765%

5.2. Laporan Sementara