kitin dan kitosan_lely prima a._12.70.0139_c3_unika soegijapranata
DESCRIPTION
praktikum kitin dan kitosan dilaksanakan pada hari Senin, 1 September 2014 di labrotaorium rekayasa pangan. Bahan baku yang digunakan adalah kulit udang kering.TRANSCRIPT
1. HASIL PENGAMATAN
Dari pengamatan yang telah dilakukan terhadap kitin dan kitosan, diperoleh hasil
pengamatan seperti pada Tabel 1. berikut
Table 1. Hasil Pengamatan terhadap Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
C1Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5
% + NaOH 40 %20 20 20%
C2Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5
% + NaOH 40 %32 33,333 21,667%
C3Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5
% + NaOH 40 %24 20 27,273%
C4Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5
% + NaOH 40 %41 16,667 20%
C5Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5
% + NaOH 40 %29 33,333 14,285
C6Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5
% + NaOH 40 %35 28,571 11,765
Dari tabel 1. diatas dapat dilihat bahwa rendemen kitin I yang paling tinggi adalah
kelompok 4 dengan perlakuan Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 %
yaitu sebesar 41 %, sedangkan yang paling rendah terdapat pada kelompok 3 dengan
perlakuan Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 24 %.
Untuk rendemen kitin II yang paling tinggi adalah kelompok 2 dengan perlakuan Kulit
Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % dan kelompok 5 dengan perlakuan
Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 33,333 %,
sedangkan yang paling rendah terdapat pada kelompok 4 dengan perlakuan Kulit Udang
+ HCl 0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 16,667 %. Pada rendemen
kitosan diperoleh hasil tertinggi pada kelompok 5 dengan perlakuan Kulit Udang + HCl
0,75 N + NaOH 3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 14,285, sedangkan yang paling
rendah terdapat pada kelompok 1 dengan perlakuan Kulit Udang + HCl 0,75 N + NaOH
3,5 % + NaOH 40 % yaitu sebesar 7,843.
1
2. PEMBAHASAN
Udang merupakan salah satu jenis hewan yang termasuk dalam kelompok crustacea
(berkulit keras). Pada umumnya dalam mengonsumsi udang, ada bagian yang
dihilangkan yaitu kepala dan kulit udang. Padahal sebebnarnya didalam kulit udang
banyak terkandung kitin dan kitosan yang merupakan biopolimer berpotensi untuk
dimanfaatkan oleh berbagai industri terutama industri pangan. Selain itu di dalam kulit
udang juga terdapat beberapa komponen seperti kalsium karbonat sebanyak 45-50% dan
protein sebanyak 25-40% (Marganov, 2003). Prasetyo (2006) menambahkan bahwa
kitin yng terkandung dalam kulit udang tersebut berikatan dengan garam anorganik
(CaCO3), protein serta pigmen karena kitin tidak dapat berada sendiri di alam.
Menurut Peter (1995) kitin adalah suatu kelompok polisakarida yang tersedia dalam
jumlah yang banyak di alam. Biasanya banyak terdapat pada komponen yang struktural
dari eksoskeleton pada crustacean dan serangga serta dalam dinding sel pada jamur dan
ragi. Selain itu kitin juga banyak ditemukan dalam paruh burung, tulang rawan pada
cumi-cumi serta kulit kerang. Secara fisik kitin memiliki kenampakan yang keras (tidak
elastis) serta berwarna putih. Aranaz, et al. (2009) mengatakan bahwa kitin tersusun
atas monomer N-2 asetamida-2 deoksi-D-glukosa yang terikat oleh ikatan glikosidik
pada posisi β (1,4). Kitin bersifat tidak dapat larut dalam air asam karena hanya
mempunyai sedikit 2-amino-2-deoksi-D-glukosa sehingga dalam pemanfaatannya tidak
terlalu banyak.
Oleh sebab itu seiring dengan perkembangan teknologi maka diperoleh cara untuk
mengoptimalkan pemanfaatan kitin. Caranya yaitu dengan modifikasi struktur kimia
dari kitin dimana dengan modifikasi tersebut akan diperoleh turunan dari kitin dengan
sifat kimia yang lebih baik. Ada beberapa hasil turunan dari kitin, salah satunya yaitu
kitosan yang merupakan senyawa yang disusun oleh disakarida (1-4)-2-deoksi-D-
glukosa. Kitosan diperoleh melalui proses hidrolisis kitin menggunakan basa yang kuat.
Kitosan memiliki sifat yang dapat larut dalam air asam karena telah memiliki cukup
banyak 2-amino-2-deoksi-D-glukosa. Selain itu viskositas dari kitosan dari kitosan
2
3
ditentukan oleh derajat dari degradasi polimer serta derajat pada diasetilasi (Dunn et al.,
1997).
Kitosan berbentuk padatan amorf yang berwarna putih dan memiliki strukutur sama
seperti kitin yaitu kristal. Bila dibandingkan dengan kitin, rantai pada kitosan lebih
pendek. Kitosn memiliki bentuk yang hampir serupa dengan selulosa, perbedaannya
terletak pada gugus hidroksi C-2 yang digantikan oleh gugus amino (NH2) (Robert,
1992). Krakteristik kimia dari kitosan adalah gugus hidroksil reaktif, gugus amino
reaktif, agen pengkelat serta poliamin linear. Selain itu kitosan juga memiliki
karakteristik biologi seperti mempercepat pembentukan tulang, anti tumor,
biocompatible yang artinya sebagai biodegradable untuk tubuh, penghilang stress,
member efek regenerative, fungistatik hemeostatik serta spermicidal (Dutta et al, 2004).
Manfaat lain dari kitosan adalah dapat digunakan sebagai bahan pengawet atau
antimikroba sebab megandung enzim lysozim serta gugus asam amino bermuatan
positif yang akan mengikat muatan negatif senyawa lain. Sehingga kitosan dikenal
sebagai polisakarida bermuatan netral (Robert, 1992). Ratna & Sugiyani, (2006)
menambahkan bahwa kitosan sebagai antimikroba berasal dari kemampuan interaksi
pada molekul kitosan dengan senyawa yang berada di permukaan sel bakteri kemudian
akan teradsorbsi sehingga terbentuk lapisan yang menghambat saluran untuk
transportasi sel. Oleh sebab itu sel akan tersubstansi berkembang dan akhirnya mati.
Viskositas dan kelarutan kitosan kering dapat berubah karena tidak mempunyai titik
lebur serta disimpan pada suhu 100 oF dalam jangka waktu yang lama. Penyimpanan
kitosan pada wadah yang terbuka akan mengakibatkan viskositas menurun, dekomposisi
serta warna menjadi kuning. Kitosan juga memiliki sifat khusus lainnya yaitu hanya
larut oleh asam encer contohnya asam sitrat, asam asetat dan asam format. Namun
kitosan juga mampu larut dalam air jika kitosan telah mengalami substitusi diasetilasi
(Dunn et al., 1997).
Pada praktikum pembuatan kitin dan kitosan pada kali ini menggunakan kulit dan
kepala udang. Ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk mendapatkan kitin dan
4
kitosan seperti tahap demineralisasi dan deproteinasi untuk memperoleh kitin
dilanjutkan dengan tahap deasetilasi untuk mendapatkan kitosan (Aranaz, et al., 2009).
Pada tahap pertama yaitu melakukan demineralisasi agar mineral pada kulit udang dapat
hilang. Hal pertama yang dilakukan adalah mencuci bersih kulit dan kepala udang pada
air mengalir lalu dikeringkan. Tujuannya agar kotoran pada kulit dan kepala udang
dapat hilang sehingga ekstrak kitin nantinya tidak tercemar (Bastaman, 1989).
Setelah itu dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak 2x kemudian dikeringkan.
Air panas yang digunakan untuk mencuci tersebut berfungsi untuk mensterilkan kulit
dan kepala udang dari mikroorganisme patogen. Proses pengeringan berfungsi agar air
yang masih tersisa pada bahan dapat teruapkan seluruhnya sehingga akan didapatkan
bahan yang kering. Selanjutnya dihancurkan sampai menjadi bubuk lalu diambil
sebanyak 10 gram dan diayak menggunakan ayakan dengan ukuran 40-60 mesh. Tujuan
dilakukan penghancuran tersebut ialah agar luas permukaan dari bahan menjadi semakin
besar, sehingga bahan akan mengalami kontak dengan pelarut secara maksimal dan
hasilnya komponen terlarut sempurna (Prasetyo, 2006).
Setelah itu ditambah dengan HCL pada perbandingan 10:1, HCl 0,75 N untuk kelompok
1 dan 2; HCl 1 N untuk kelompok 3 dan 4 serta HCl 1,2 untuk kelompok 5 dan 6. HCl
yang ditambahkan tersebut berfungsi sebagai pelarut untuk komponen mineral pada
kulit udang. Bastaman (1989) mengatakan bahwa untuk melakukan proses ekstraksi
kitin, terlebih dahulu harus menghilangkan mineral yang terkandung di dalam kulit
udang. Sebab jumlah mineral dalam kulit udang cukup tinggi yaitu sekitar 30%-50%
dari berat kering. Jenis mineral yang paling banyak dalam kulit udang adalah kalsium
fosfat maupun kalsium karbonat. Umumnya larutan asam yang digunakan adalah asam
encer HCl, asam laktat atau H2SO4.
Dengan ditambahkannya larutan asam encer maka permukaan biopolimer kitin akan
mengalami kerusakan, berikut adalah reaksi yang terjadi pada kitin yang ditambah
dengan HCl :
HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)
H+(aq) + H2O H3O+(aq)
5
Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)
CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)
(Robert, 1992).
Bastaman (1989) menambahkan bahwa ada beberapa kelebihan dalam menggunakan
HCl sebagai pelarut yaitu dalam pelarutan mineral tidak membutuhkan HCl dalam
konsentrasi yang tinggi. Selain itu mudah untuk dihilangkan atau dinetralkan dengan
NaOH (basa) jika masih ada sisa HCl yang menempel. Dengan adanya penambahan
NaOH tersebut maka akan terbentuk garam yang dapat dimanfaatkan sebagai agen
pemberi rasa.
Selanjutnya diaduk selama 1 jam serta dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90 oC.
Dengan dilakukan pemanasan tersebut maka perusakan mineral akan berjalan lebih
cepat serta memaksimalkan fungsi dari HCl yaitu melepaskan ikatan antara kitin dengan
bahan organik lain serta kalsium karbonat sebagai mineral. Gelembung udara berupa
CO2 yang terbentuk merupakan indikator dari lepasnya mineral dari kitin, Proses
pengadukan tersebut bertujuan agar tidak timbul gelembung udara akibat dari
terpisahnya mineral selama proses demineralisasi yang dilakukan (Puspawati, et al.,
2010).
Kemudian didinginkan sebentar lalu dicuci dengan air mengalir hingga pH menjadi
netral. Tujuan dari tahap pendinginan adalah agar kitin mengendap dengan sempurna
sehingga saat dilakukan pencucian tidak ikut terbuang (Rogers, 1986). Penetralan pH
juga bertujuan untuk menghilangkan mineral yang ada pada kitin. Sebab selama proses
demineralisasi terjadi reaksi antara HCl dengan mineral terutama kalsium karbonat yang
akan menghasilkan kalsium klorida, asam fosfat serta asam karbonat yang sifatnya larut
pada pelarut polar contohnya air. Sedangkan residu atau senyawa kitin yang tersisa
tidak dapat larut dalam air sehingga dalam menetralkan pH harus dilakukan dengan
proses penyaringan untuk mendapatkan residu kitin saja (Bastaman, 1989). Suptijah
(2004) menambahkan bahwa jika tidak dilakukan penetralan pH maka akan terjadi
degradasi produk karena adanya beberapa gugus amino yang bebas saat proses
pengeringan. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam.
6
Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil rendemen kitin I pada kelompok 1 :
20%, kelompok 2 : 32%, kelompok 3 : 24%, kelompok 4 : 41 %, kelompok 5 : 29 %
dan kelompok 6 : 35%. Hasil tersebut kurang sesuai dengan teori karena rendemen
paling banyak diperoleh kelompok 4 yang menggunakan HCl 1 N padahal seharusnya
diperoleh kelompok 6. Johnson dan Peterson (1974) mengatakan bahwa semakin
banyak rendemen kitin yang diperoleh berarti konsentrasi HCl yang digunakan juga
semakin tinggi. Sebab semakin tinggi konsentrasi HCl akan mempermudah lepasnya
mineral dari serbuk kulit udang secara sempurna. Ketidaksesuaian ini mungkin
disebabkan oleh pengadukan yang kurang konstan sehingga larutan HCl tidak dapat
bereaksi secara sempurna (Kaunas, 1984). Selain itu kemungkinan saat dilakukan
pencucian untuk mentralkan pH, ada rendemen yang ikut terbuang atau tidak sengaja
jatuh sehingga mengurangi berat dari rendemen.
Pada umumnya proses demineralisasi dilakukan secara tradisional seperti yang
dilakukan pada praktikum ini. Namun telah ditemukan cara baru yang lebih efektif
untuk menghilangkan mineral pada kulit udang yaitu melalui proses autolysis parsial.
Hal tersebut dikarenakan paparan pada CaCO3 atau aksi pemecah protein yang pada
akhirnya akan menghasilkan peningkatan paparan CaCO3 pada kulit udang. Penggunaan
metode ini dirasa cocok untuk skala industri sebab tidak membutuhkan biaya yang
mahal karena waktu yang dibutuhkan relative lebih singkat. Selain itu hanya dengan
menggunakan konsentrasi HCl yang rendah sudah cukup untuk melakukan
demineralisasi sehingga dapat menghindari kerusakan struktur polimer kitin (Toan, N.
V., 2009).
Tahap selanjutnya adalah deproteinasi yang merupakan tahap untuk menghilangkan
atau memisahkan ikatan antara protein dengan kitin. Pertama, hasil dari proses
demineralisasi (tepung) ditambah dengan NaOH 3,5 % pada perbandingan kitin : NaOH
= 6 : 1. NaOH berfungsi sebagai pelarut sehingga protein dalam kitin dapat terpisah atau
terlarut (Reece et al, 2003). Selama proses deproteinasi berlangsung, larutan NaOH
akan mengalami ionisasi dalam air yang menyebabkan terbentuknya setiap ion
hidroksida dan ion natrium. Jika NaOH ditambakan secara perlahan dan dalam jumlah
yang sedikit akan menimbulkan reaksi antara ion hidroksida dengan ion hydrogen
7
sehingga akan terbentuk molekul air. Ketika ion hidrogen ada di dalam larutan maka
larutan bersifat asam. Namun sebaliknya, jika penambahan ion hidroksida dalam jumlah
yang sama dengan ion hidrogen maka larutan bersifat netral Rogers (1986).
Kemudian diaduk selama 1 jam lalu dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam. Proses
pengadukan dan pemanasan tersebut dilakukan agar panas yang diteima oleh kitin dapat
merata sehingga terjadi peningkatan derajat proteinasi namun kitin tidak gosong
(Rogers, 1986). Selain itu dengan adanya pemanasan dan pengadukan maka NaOH
dapat bekerja maksimal dan cepat dalam memisahkan protein sehingga akan diperoleh
kitin yang bebas protein. Setelah pemanasan lalu disaring, didinginkan untuk
selanjutnya residu dicuci higga mencapai pH netral. Dan terakhir dikeringkan selama 24
jam pada suhu 80 oC. hasil akhir dari proses ini berupa kitin yang selanjutnya dapat
diproses. Perlakuan pendinginan bertujuan untuk mengendapkan bubuk kitin yang telah
diperoleh sehingga ketika dilakukan pencucian tidak ada kitin yang terbuang. Pencucian
itu sendiri berfungsi agar kitin yang basa menjadi netral, selain itu degradasi produk
karena gugus amino bebas saat pengeringan dapat dicegah. Proses pengeringan
berfungsi agar air yang masih tersisa pada bahan dapat teruapkan seluruhnya sehingga
akan didapatkan bahan yang kering (Rogers,1986; Suptijah, 2004).
Deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisai bertujuan untuk memperoleh
rendemen kitin yang jumlahnya lebih banyak daripada melalui proses deproteinasi lebih
dahulu lalu proses demineralisasi. Sebab kitin pada mineral akan membuat pelindung
yang keras pada lapisan kulit udang. Selain itu strukutr dari mineral umumnya lebih
keras dibanding struktur protein, sehingga ketika mineral sudah dihilangkan terlebih
dahulu. Maka proses deproteinasi dapat berlangsung optimal sebab pelindung yang
dibenttuk mineral sudah hilang (Alamsyah et al., 2007).
Hasil rendemen kitin II yang diperoleh kelompok 1 : 20 %, kelompok 2 : 33,333 %,
kelompok 3 : 20 %, kelompok 4 : 16,667 %, kelompok 5 : 33,333 % dan kelompok 6 :
28,571%. Menurut Fennema (1985) bahwa dalam suasana basa, protein dan mineral
lebih mudah larut disbanding dalam suasana asam sebab aktivitas hidrolisis dari larutan
basa lebih tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses deproteinasi yang
8
menggunakan NaOH (basa) dapat memaksimalkan mineral dan protein yang hilang,
akibatnya massa rendemen kitin akan turun. Hasil percobaan yang telah dilakukan
kurang sesuai denan teori tersebut sebab beberapa kelompok memperoleh rendemen
kitin setelah deproteinasi yang lebih besar dari sebelumnya. Hal tersebut mungkin
terjadi akibat proses penetralan, belum optimalnya pengeringan maupun kurangnya
proses demineralisasi yang menyebabkan pelindung dari mineral dalam kulit udang
masih tertinggal.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan dalam memperoleh kitin
diantaranya jenis bahan yang digunakan, proses ekstraksi yang meliputi deproteinasi
dan demineralisasi. Proses isolasi kitin dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatis
Hartati et al. (2002). Isolasi kitin yang dilakukan dalam praktikum ini adalah secara
kimia karena menggunakan beberapa larutan seperti NaOH dan HCl. Laila & Hendri
(2008) menambahkan bahwa kondisi dan tahapan dalam proses isolasi juga menentukan
kualitas dari kitin yang diperoleh. Faktor dari kondisi dan tahapan dalam proses tersebut
diantaranya pH, suhu, lamanya proses pembuatan serta konsentrasi zat kimia yang
digunakan.
Setelah diperoleh kitin dari proses demineralisasi dan deproteinasi, maka proses
selanjutnya adalah pembentukan kitosan sebagai turunan dari kitin. Proses untuk
mendapatkan kitosan ini disebut proses deasetilasi. Sesuai dengan pernyataan Robert
(1992) bahwa kitosan dapat diiekstraksi melalui 3 tahap yaitu demineralisasi,
deproteinasi dan deasetilasi. Perubahan kitin menjadi turunannya yaitu kitosan melalui
proses deasetilasi yaitu menghilangkan gugus asetil pada kitin dan merubahnya menjadi
amina pada kitosan.
Jumlah gugus asetil yang hilang dari kitosan maupun rendemen menunjukkan kualitas
dari kitosan yang sering disebut sebagai derajat deasitalase. Gugus asetil kitosan yang
semakin rendah menunjukkan derajat deasetilase yang semakin tinggi sehingga
membuat semakin kuat interaksi antar ikatan hidrogen dan ionnya (Knoor, 1984). Azhar
et al. (2010) menambahkan bahwa tujuan dari proses deasetilasi adalah memutus ikatan
kovalen anatara nitrogen dalam gugus asetamida kitin dengan gugus asetil yang akan
9
member perubahan menjadi gugus amina (–NH2). Terlepasnya gugus asetil tersebut
akan membentuk gugus amina terasetilasi.
Proses diasetilasi diawali dengan menambahkan NaOH ke dalam kitin hasil dari proses
sebelumnya sebanyak 20 : 1 dengan konsentrasi NaOH 40% untuk kelompok 1 dan 2.
50% untuk kelompok 3 dan 4 serta 60% untuk kelompok 5 dan 6. Tujuan
ditambahkannya NaOH tersebut adalah untuk memperoleh kitosan yang berasal dari
kitin. Sebab struktur kristal dari kitin panjang dan memiliki ikatan yang kuat antara
gugus karboksil dengan ion nitrogen, oleh sebab itu butuh larutan natrium hidroksida
konsentrasi 40-50% serta suhu tinggi agar diperoleh kitosan (Hirano, 1989). Kitin
memiliki konformasi yang sangat rapat namun jika diberi NaOH maka konformasi
tersebut akan berubah menjadi renggang. Keadaan tersebut akan membuat enzim mudah
untuk melakukan deasetilasi pada polimer kitin. Selain itu kondisi alkali menyebabkan
terputusnya ikatan antara atom nitrogen dengan gugus karboksil (Martinou, 1995)
Kemudian diaduk selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Proses pengadukan
tersebut bertujuan untuk meratakan NaOH yang ditambahkan dana memeprcepat
penyerapan NaOH (Puspawati et al., 2010). Sedangkan proses pendiaman selam 30
menit dimaksudkan agar bubuk kitin yang telah diperoleh mengendap sehingga ketika
dilakukan pencucian tidak ada kitin yang terbuang (Rogers, 1986). Setelah itu
dipanaskan dengan suhu 140 oC selama 90 menit. Pemanasan dengan suhu yang tinggi
tersebut dapat membuat gugus asetil terlepas dari molekul kitin. Sehingga gugus
hydrogen dengan muatan positif akan berikatan dengan gugus amina pada kitin dan
akhirnya akan terbentuk gugus amina bebas (Mekawati et al., 2000).
Selanjutnya disaring sehingga diperoleh residu yang siap dicuci hingga pH menjadi
netral. Suptijah (2004) mengatakan bahwa jika tidak dilakukan penetralan pH maka
akan terjadi degradasi produk karena adanya beberapa gugus amino yang bebas saat
proses pengeringan. Kemudian dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 70 oC
dan pada akhirnya diperoleh kitosan sebagai produk akhir. Proses pengeringan
berfungsi agar air yang masih tersisa pada bahan dapat teruapkan seluruhnya sehingga
akan didapatkan bahan yang kering (Prasetyo, 2006).
10
Hasil rendemen kitosan yang diperoleh kelompok 1 : 7,843 %, kelompok 2 : 17,500 %,
kelompok 3 : 11,429 %, kelompok 4 : 11,429 %, kelompok 5 : 14,285 % dan kelompok
6 : 11,765 %. Hong et al. (1989) mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi dari
NaOH yang digunakan maka akan menghasilkan rendemen kitosan yang rendah. Sebab
dengan adanya NaOH akan memicu adanya proses polimerisasi dari rantai molekul
kitosan, sehingga berat molekul dari kitosan menjadi turun. Maka hasil pengamatan
yang diperoleh kurang sesuai dengan teori yang ada sebab rendemen kitosan paling
rendah justru terdapat pada kelompok 1 yang menggunakan NaOH paling sedikit.
Kesalahan ini mungkin disebabkan oleh hilangnya sebagian kitosan saat proses
penetralan dengan cara mencuci menggunakan air mengalir. Selain itu pengadukan yang
kurang konstan dan suhu yang tidak sesuai juga dapat mempengaruhi hasil. Karena
produk kitosan sangat dipengaruhi oleh derajat deasetilasi, dimana derajat deasetilasi
bergantung pada kualitas bahan baku dan kondisi saat proses pembuatan seperti suhu,
konsentrasi larutan alkali serta waktu Suhardi (1992).
Yen, M. T., (2009) menambahkan bahwa produk akhir yang berupa kitosan tersebut
akan mengandug karbon, nitrogen serta hidrogen. Dimana beberapa komponen tersebut
akan mengalami peningkatan seiring dengan lamanya waktu yang digunakan untuk
membiarkan larutan NaOH bekerja. Sehingga pada umumnya terdapat berbagai jenis
kitin yang memiliki struktur berbeda satu dengan yang lain. Struktur maupun sifat kitin
dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan yang memiliki faktor suhu dan waktu.
Kitosan merupakan salah satu produk turunan dari kitin yang memiliki nilai ekonomis
tinggi karena dapat dimanfaatkan kembali meskipun berasal dari sisa dari bagian tubuh
udang yang umumnya tidak dapat digunakan kembali. Salah satu manfaatnya yaitu
dijadikan sebagai bahan pelapis atau pelindung untuk ikan segar. Berdasarkan penlitian
yang telah dilakukan, lapisan kitosan mampu mencegah kerusakan fisik, kimia maupun
biologi pada ikan disbanding pembungkus lain. Pengujian tersebut dilakukan dengan
membandingkan ikan yang dibungkus lapisan kitosan, dibungkus plastic dan yang tidak
dibungkus. Setelah didiamkan selama 3 hari pada suhu ruang, ikan yang dibungkus
plastic dan yang tidak dibungkus mengalami kerusakan akibat mikroorganisme karena
11
terbentuk lapisan tipis berwarna kuning, sedangkan yang dibungkus dengan lapisan
kitosan tidak mengalami kerusakan (Paul, J. P., 2013).
Pemanfaatan kitosan dalam bidang lain adalah seperti sebagai suplemen untuk
makanan, obat serta bahan tambahan dalam berbagai proses. Hal tersebut dikarenakan
kitosan mudah larut dalam larutan asam asetat 1%. Prosesnya yang sederhana dalam
menghasilkan kitosan, membuat kitosan banyak dipelajari dan dikembangkan untuk
dapat dimanfaatkan. Salah satu metode yang paling sering digunakan yaitu
menggunakan spektroskopi IR yang dapat menentukan karakterisktik kitin dan kitosan.
Sehingga jika sisa dari bagian tubuh udang dapat diproses dengan baik maka akan
memberikan banyak manfaat termasuk tidak menjadi masalah bagi lingkungan (Islam,
Md. M., 2011).
Untuk mengoptimalkan dalam memperoleh kitosan dari kitin, ada cara lain ang dapat
digunakan yaitu dengan menggunakan asam salisilat. Dari penelitian yang telah
dilakukan terbukti bahwa asam salisilat mampu menghasilkan kitosan dengan kualitas
yang baik dan lebih konsisten. Selain itu, asam salisilat juga terbukti mampu
menurunkan berat dari kitosan yang diperoleh pada penambahan yang semakin banyak.
Namun untuk mengaplikasikan kitosan lebih jauh lagi dalam berbagai bidang perlu
diperhatikan kembali tingkat kekeruhan, kelarutan, derajat deasetilasi serta
kekentalannya (Toan, N. V., 2011).
3. KESIMPULAN
Kitin adalah suatu kelompok polisakarida yang tersedia dalam jumlah yang banyak
di alam.
Kitin tersusun atas monomer N-2 asetamida-2 deoksi-D-glukosa yang terikat oleh
ikatan glikosidik pada posisi β (1, 4).
Ada beberapa hasil turunan dari kitin, salah satunya yaitu kitosan yang merupakan
senyawa yang disusun oleh disakarida (1-4)-2-deoksi-D-glukosa.
Viskositas dari kitosan dari kitosan ditentukan oleh derajat dari degradasi polimer
serta derajat pada diasetilasi.
Ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk mendapatkan kitin dan kitosan
seperti tahap demineralisasi dan deproteinasi untuk memperoleh kitin dilanjutkan
dengan tahap deasetilasi untuk mendapatkan kitosan.
Pada proses demineralisasi, penmbahan HCl bertujuan agar mineral pada kulit
udang dapat hilang.
Dengan pemanasan maka perusakan mineral akan berjalan lebih cepat serta
memaksimalkan fungsi dari HCl yaitu melepaskan ikatan antara kitin dengan bahan
organik lain serta kalsium karbonat sebagai mineral.
Penetralan pH juga bertujuan untuk menghilangkan mineral yang ada pada kitin.
Sebab semakin tinggi konsentrasi HCl akan mempermudah lepasnya mineral dari
serbuk kulit udang secara sempurna.
Ketidaksesuaian ini mungkin disebabkan oleh pengadukan yang kurang konstan
sehingga larutan HCl tidak dapat bereaksi secara sempurna.
NaOH berfungsi sebagai pelarut sehingga protein dalam kitin dapat terpisah atau
terlarut.
Deproteinasi dilakukan setelah proses demineralisai bertujuan untuk memperoleh
rendemen kitin yang jumlahnya lebih banyak daripada melalui proses deproteinasi
lebih dahulu lalu proses demineralisasi.
Proses deproteinasi yang menggunakan NaOH (basa) dapat memaksimalkan mineral
dan protein yang hilang, akibatnya massa rendemen kitin akan turun.
12
13
Perubahan kitin menjadi turunannya yaitu kitosan melalui proses deasetilasi yaitu
menghilangkan gugus asetil pada kitin dan merubahnya menjadi amina pada
kitosan.
Gugus asetil kitosan yang semakin rendah menunjukkan derajat deasetilase yang
semakin tinggi sehingga membuat semakin kuat interaksi antar ikatan hidrogen dan
ionnya.
Kondisi alkali menyebabkan terputusnya ikatan antara atom nitrogen dengan gugus
karboksil.
Semakin tinggi konsentrasi dari NaOH yang digunakan maka akan menghasilkan
rendemen kitosan yang rendah.
Semarang, 16 September 2014
Praktikan, Asisten Dosen :
- Stella Gunawan
Lely Prima Anggraeni
12.70.0139
4. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.
Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris Acosta. (2009).Functional Characterization of Kitin and Kitosan.Current Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.
Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry. Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Islam, Md. M., Masum, Md. S., Rahman, M. M., Molla, Md. A. I., Shaikh, A. A., Roy, S. K. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic and Applied Sciences 11(1):77-80.
14
15
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Paul, J., Jesline, S., Mohan. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extendthe Shelf Life of Minimally Processed Fish. International Journal of Research in Engineering and Technology 1(5):15-22.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.
16
http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf.Diakses 12 September 2014.
Reece, C., dan Mitchell. (2003).Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.
Toan, N. V. (2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Materials. The Open Biomaterials Journal. 1:21-24.
Toan, N. V. (2011). Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment. The Open Biomaterials Journal. 3:1-4.
Yen, M. T., Yang, J. H., Mau, J. L. (2009). Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shell. International Journal of Elsevier 75:15-21.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Kitin I = berat keringberat basah I
x 100%
Rendemen Kitin II = berat kitin
berat basah II x 100%
Rendemen Kitosan = berat kitosan
berat basah III x 100%
Kelompok C1
Rendemen Kitin I = 2
10×100 %=20 %
Rendemen Kitin II = 0,52,5
× 100 %=20 %
Rendemen Kitosan =0,45,1
×100 %=7,843 %
Kelompok E2
Rendemen Kitin I¿3,210
x100 %=32 %
Rendemen Kitin II¿13
x100 %=33,33 %
Rendemen Kitosan ¿0,74
x 100 %=17,5 %
Kelompok C3
Rendemen Kitin I ¿ 2,410
x 100 %=24 %
Rendemen Kitin II ¿ 0,52,5
x 100 %=20 %
Rendemen Kitosan ¿ 0,43,5
x 100 %=11,429%
17
18
Kelompok C4
Rendemen Kitin I¿4,110
x 100 %=41 %
Rendemen Kitin II¿0,42,4
x 100 %=16,66 %
Rendemen Kitosan ¿0,21,7
x100 %=11,764%
Kelompok C5
Rendemen Kitin I¿2,910
x100 %=29 %
Rendemen Kitin II¿13
x100 %=33,333 %
Rendemen Kitosan ¿0,53,5
x 100 %=14,285 %
Kelompok C6
Rendemen Kitin I¿3,510
x100 %=35 %
Rendemen Kitin II¿0,82,8
x 100 %=28,571%
Rendemen Kitosan ¿0,43,4
x 100 %=11,765%
5.2. Laporan Sementara