khaerudin kurniawan

Upload: rifai-m-lukman

Post on 20-Jul-2015

270 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Khaerudin Kurniawan Just another STAF site

Skip to content

Home Biografi

Hello world! Analisis Buku Teks BI SD

Analisis dan Pengembangan Buku Teks BI SD Berbasis KarakterPosted on December 13, 2010 by khaerudinkurniawan BAB I PENDAHULUAN 1. A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Permendiknas No. 2 Tahun 2008 mengenai buku teks, pada pasal 1 dijelaskan bahwa: buku teks adalah buku acuan wajib untuk digunakan di satuan pendidikan dasar dan menengah atau perguruan tinggi yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, dan kepribadian, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kepekaan dan kemampuan estetis, peningkatan kemampuan kinestetis dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Menurut Bacon (Tarigan, 1986: 11), buku teks adalah buku yang dirancang untuk digunakan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau para ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi. Secara umum, buku teks berfungsi sebagai sarana penting dan ampuh bagi penyedian dan pemenuhan pembelajaran serta memiliki peran penting dalam sistem pendidikan nasional dan dapat memberikan pengaruh besar terhadap kesatuan nasional

melalui pendirian dan pembentukkan suatu kebudayaan umum. Buku pelajaran tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Satu-satunya media belajar yang bisa melampaui kebersamaan guru dengan para siswanya adalah buku (pelajaran). Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebagian besar waktu belajar produktif siswa dihabiskan dengan bersama buku dan lima persen saja yang bersama guru (Sari & Reigeluth, 1982: 55). Sebagai media pengajaran, buku pelajaran merupakan media yang strategis dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan, budaya, dan karakter (moral dan kepribadian) bagi para siswa. Pada dasarnya, sebuah buku pelajaran yang baik adalah buku yang berfungsi sebagai alat pembelajaran yang efektif. Buku pelaj aran yang baik adalah buku pelajaran yang dapat membantu siswa belajar. Buku pelaj aran bukan hanya merupakan buku yang dibuka atau dibaca pada saat pembelajaran di kelas, melainkan dan inilah yang terpenting buku yang dibaca setiap saat. Agar harapan tersebut menjadi kenyataan, buku harus menarik, baik itu dari segi bentuk maupun isi dan berdampak pada pengembangan kemampuan berpikir, berbuat, dan bersikap. Buku pelajaran yang benar adalah buku yang dapat membantu siswa memecahkan masalah-masalah yang sederhana maupun rumit; tidak menimbulkan persepsi yang salah serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan (Pusat Perbukuan, 2004: 4). Buku pelajaran dapat dipandang sebagai simpanan pengetahuan tentang berbagai segi kehidupan. Oleh karena sudah dipersiapkan dari segi kelengkapan materi dan cara penyajiannya, buku pelajaran memberikan fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik itu tentang substansi maupun cara penggunaannya. Dengan demikian, buku pelajaran bagi siswa merupakan bagian dari budaya buku, yang menjadi salah satu tanda dari masyarakat yang maju, modern, dan berperadaban. Melalui kegiatan membaca buku, seseorang dapat memperoleh pengalaman tidak langsung yang banyak sekali. Memang, dalam pendidikan merupakan hal yang berharga jika siswa dapat mengalami sesuatu secara langsung. Akan tetapi, banyak bagian dalam pelajaran yang tidak dapat diperoleh dengan pengalaman langsung. Oleh karena itu, dalam belajar di sekolah, dan dalam kehidupan di luar sekolah, mendapatkan pengalaman tidak langsung itu sangat penting. Kemajuan peradaban masa sekarang banyak mendapat dukungan dari kegiatan membaca buku. Oleh Karena itulah, penyiapan buku pelajaran patut dilakukan dengan sebaik-baiknya. Dipandang dari proses pembelajaran, buku pelajaran itu mempunyai peran penting. Jika tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan siswa memiliki berbagai kompetensi, untuk mencapai tujuan tertentu, siswa perlu menempuh pengalaman dan latihan serta mencari informasi. Alat yang efektif untuk itu adalah buku pelajaran sebab pengalaman dan latihan yang perlu ditempuh dan informasi yang perlu dicari dan cara menempuh dan mencarinya, disajikan dalam buku pelajaran secara terprogram. Manfaat buku pelajaran tidak hanya bagi siswa, tetapi guru pun dapat terbantu. Tujuan pengadaan dan pemanfaatan buku pelajaran memang diperuntukkan bagi siswa. Akan tetapi, guru pada waktu mengajar dapat mempertimbangkan pula materi yang tersaji dalam buku pelajaran. Guru, tentulah, memiliki kebebasan dalam memilih, mengembangkan, dan menyajikan materi. Semua itu merupakan wewenang dan kewajiban profesional guru. Ia memiliki pengetahuan tentang struktur keilmuan

berkenaan dengan materi yang akan diajarkannya. Ia pun memiliki keterampilan dalam mengolah dan menyajikan materi tersebut. Walaupun demikian, segala yang tersaji dalam buku pelajaran tetap berguna baginya, misalnya, sebagai bahan untuk dipilih, dan disusun bersama dengan bahan dari sumber lain. Juga, cara penyajian dalam buku pelajaran dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana menyajikan bahan pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran kepada siswa. Memang, untuk memperkaya bahan pembelajaran, guru diharapkan menggunakan sumber-sumber lain. Begitu pula ia diharapkan menemukan berbagai teknik mengajar yang cocok dengan situasi kelasnya. Dalam proses belajar mengajar, guru memanfaatkan buku ajar secara optimal sehingga siswa dapat meningkatkan kecerdasannya secara berjenjang, berkesinambungan, dan tanpa paksaan. Buku sekolah, khususnya buku pelajaran, merupakan media instruksional yang dominan peranannya di kelas (Patrick, 1988) dan bagian sentral dalam suatu sistem pendidikan (Altbach et al, 1991). Karena buku merupakan alat yang penting untuk menyampaikan materi kurikulum, maka buku sekolah menduduki peranan sentral pada semua tingkat pendidikan (Lockeed & Verspoor, 1990). Studi yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia (Supriadi, 1997: 37, 57) mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif dan signifikan dengan hasil belajarnya sebagaimana diukur dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM). Lima korelasi yang dihitung menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu untuk meta pelajaran PPKn, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi akses siswa terhadap buku pelajaran, maka semakin tinggi pula hasil belajarnya. Oleh sebab itu, setiap usaha untuk meningkatkan akses siswa terhadap buku akan meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini konsisten dengan studi tahun 1976 di Indonesia yang menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas sekolah lainnya berkorelasi dengan prestasi belajarnya (World Bank, 1989: 44). Studi lain (Heyneman, Farrell, & Sepulveda-Stuarto, 1981) melaporkan bahwa dari 18 korelasi yang dihitung, 83% di antaranya secara signifikan menunjukkan kuatnya hubungan antara buku pelajaran dengan prestasi belajar siswa. Di Filipina, meningkatnya rasio buku, yakni dari 1 : 10 menjadi 1 : 2 di kelas I dan II pada tahun 1970-an, mengakibatkan peningkatan hasil belajar para siswanya secara signifikan. Laporan Bank Dunia (1995 : 10 11) juga mencatat bahwa di Nikaragua, para siswa yang menerima buku pelajaran Matematika mencapai hasil belajar yang jauh lebih tinggi daripada siswa yang tidak menerimanya. Di Brazil, para siswa kurang beruntung (disadvantaged children) yang mendapatkan buku pelajaran Matematika cuma-cuma menunjukkan peningkatan prestasi yang amat signifikan. Karena alasan tersebut, maka banyak negara di dunia termasuk Indonesia melakukan investasi besar-besaran untuk penyediaan buku sekolah. Pemerintah Indonesia sendiri telah menginvestasikan dana yang amat besar untuk pengadaan buku sekolah. Sebagaimana telah disebut terdahulu, antara tahun 1969-1988 telah dicetak 550 juta eksemplar buku pelajaran dan buku bacaan yang diedarkan ke sekolah-sekolah. Hingga tahun 2000, sebanyak US$ 355,2 juta dana dialokasikan untuk pengadaan 158 juta buku pelajaran SD, 85,1 juta buku pelajaran SLTP, dan 8,8 juta buku pegangan guru SLTP yang 37% dananya merupakan pinjaman Bank Dunia.

Penyediaan buku pelajaran oleh pemerintah ternyata tidak membuat siswa tidak membeli buku pelajaran. Pada sekitar 40% sekolah yang disurvei, sebagian besar siswa menggunakan buku terbitan swasta dalam jumlah yang tinggi, sedangkan pada 60% sekolah lainnya kepemilikan siswa atas buku terbitan swasta tergolong rendah. Namun, kecenderungan umum menunjukkan bahwa siswa menggunakan dan membeli buku terbitan swasta. Kecenderungan lain ialah bahwa sekitar sepertiga buku sekolah yang belum disahkan yang beredar di pasaran berasal dari seperlima dari jumlah penerbit nasional yang memproduksi dan mengedarkan buku-buku pelajaran (Supriadi, 1997: 4547). Pada kenyataannya buku pelajaran (buku teks) tidak selalu sesuai dengan standar kelayakan baik kelayakan isi, bahasa, penyajian, maupun kegrafikaan. Tentu saja kita akan bertanya, buku teks yang bagaimana yang memenuhi kelayakan tersebut? Untuk menentukan buku teks yang memenuhi standar kelayakan memang tidak semudah yang kita kira. Semua itu harus melalui beberapa proses pengkajian. Proses pengkajian ini mengacu pada instrumen penilaian buku teks dari BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Dari asumsi di atas maka selayaknyalah, keberadaan buku teks yang sudah menjadi kelayakan pembelajaran di sekolah secara terus-menerus harus mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk terus dikaji ulang dengan tujuan pemenuhan kualitas yang diharapkan sehinga buku teks bisa terus memberikan pencerahan dan wawasan serta nilai-nilai, budaya, dan karakter kepada siswa secara mendalam. Nilai, budaya, dan karakter ini menjadi penting mengingat pada keberadaan buku teks tersebut tidak hanya menjadi bahan ajar melainkan menjadi penuntun pada hakikat keindonesiaan yang majemuk. Hakikat tersebut adalah nilai-nilai luhur Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia dan kepribadian serta jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kajian buku teks ini diarahkan pada pengembangan isi buku teks bahasa Indonesia di sekolah dasar berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa sesuai dengan tema sentral pendidikan nasional. 1. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskanlah masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik isi buku teks bahasa Indonesia sekolah dasar berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa? 2. Bagaimana karakteristik penyajian buku teks bahasa Indonesia sekolah dasar berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa? 3. Bagaimana karakteristik pemakaian bahasa buku teks bahasa Indonesia sekolah dasar berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa? 1. Bagaimana karakteristik ilustrasi buku teks bahasa Indonesia sekolah dasar berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa? 1. C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan (1) mengkaji/menganalisis buku teks yang digunakan di Sekolah Dasar yang dikhususkan pada buku teks Bahasa Indonesia kelas 4, 5, dan 6 dan (2) menganalisis isi buku teks yang dimaksud apakah sudah sesuai dengan standardisasi kelayakan sebuah buku, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan aspek kegrafikaan berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa. Di samping itu, tujuan akhir penelitian ini diharapkan terbentuk: (1) saransaran/rekomendasi terhadap penyusunan buku teks bahasa Indonesia berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa, (2) kriteria penyusunan mengenai isi, penyajian, pemakaian bahasa, dan kegrafikaan buku teks yang berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa, dan (3) penyusunan dan penerbitan buku teks bahasa Indonesia yang berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa. 1. D. Urgensi Penelitian Kita perlu menyadari benar-benar bahwa buku teks atau buku pelajaran merupakan sarana atau instrumen yang paling baik serta memberikan pengaruh besar terhadap kesatuan nasional melalui pendirian dan pembentukan suatu kebudayaan umum. Maka, kualitas kelayakan dari buku teks harus ditingkatkan sesuai dengan perkembangan zaman. Buku teks yang berbasis nilai, budaya, dan karakter pada sekolah dasar sangatlah penting karena pembentukan karakter diri pada anak semestinya dimunculkan sejak dini. Isi buku teks dapat menjadi salah satu bentuk pemodelan penerapan nilai-nilai atau karakter yang terdapat pada diri sendiri, peserta didik, masyarakat, maupun negara. Buku teks biasanya lebih mengarah kepada ranah kognitif siswa sehingga yang menjadi titik beratnya hanya konten belaka. Paradigma ini haruslah kita ubah karena buku merupakan sumber dari ilmu pengetahuan yang dapat menghipnotis pembacanya. Oleh karena itu, kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan kegrafikaan yang dapat membangun citra diri peserta didik yang baik dan unggul harus disampaikan sejak dini dan secara terus- menerus. Nilai-nilai, budaya, dan karakter adalah suatu tongkat pemukul yang memberi arti pada kehidupan kita. Nilai-nilai dapat memberikan warna pada realitas kehidupan dan kemanusiaan dengan cara-cara pemahaman yang baru, menciptakan di dalam diri kita dan peserta didik bergairah untuk menjalankan rencana-rencana tujuan pendidikan dan pembelajaran. Dalam menjalankan misi pendidikan untuk mencapai kesempurnaan, kita melewatkan jalan yang mudah, jalan yang secara alami kita kenal. Menjelajah proses pembelajaran kita merupakan perasaan dan karakteristik yang tidak terlihat (Tillman dan Colomina, 2004: 214). Secara tradisional, nilai-nilai disampaikan oleh orang tua dan lingkungan. Dalam pendidikan, nilai-nilai harus diberikan oleh guru karena teknologi dan materi tidaklah cukup. Kita harus menyentuh energi kreatif dan nilai-nilai universal yang dipegang oleh setiap manusia. Kita harus memperbaharui usaha-usaha untuk mendidik anak-anak didik tetapi juga memanfaatkan harapan dan mimpi mereka sebagai penggerak emosi sehingga buku teks yang digunakan dalam proses pembelajaran memiliki kekuatan untuk memfasilitasi pengembangan nilai-nilai universal dan untuk menyambung

kembali dengan nilai-nilai kebudayaan kita dan nilai universal yang menyatukan kita semua. Buku teks berbasis nilai dan karakter ini diharapkan dapat memberikan suatu sarana bagi pendidikan di seluruh Indonesia untuk berkarya, berbagi, dan berdialog karena buku teks ini mengenalkan keseluruhan rangkaian dari pengalaman pendidikan berbasis nilai, budaya, dan karakter. Buku teks ini memberikan suatu alternatif penting yang membuat anak-anak dan remaja mampu mengeksplorasi dan memahami nilai-niali sambil mereka terlibat dalam kegiatan sekolah sehari-hari. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pembentukan karakter ini harus merujuk pada Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Jadi, standar isi dari buku teks harus menjadi penuntun ke arah pemersatu bangsa Indonesia yang bersifat menasional. Lebih lanjut lagi, Salam (2000) menyatakan sebagai bentuk pengalaman, Pancasila adalah sebagai pandangan hidup bangsa, tingkah laku dan perbuatan dijiwai Pancasila dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, norma-norma sopan-santun, dan norma-norma hukum. Adapun tujuan analisis dan pengembangan buku teks berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa ini adalah sebagai berikut. 1. Membantu individu peserta didik berpikir dan merefleksikan nilai-nilai yang berbeda serta implikasi praktis dalam menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kaitannya dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan dunia secara keseluruhan. 2. Menggali lebih dalam pemahaman, motivasi, dan tanggung jawab yang berkaitan dengan membuat pilihan individu dan sosial yang positif. 3. Memberikan inspirasi kepada individu untuk memilih nilai individu, sosial, moral dam spiritual pribadi, dan menyadari metode praktis untuk mengembangkan dan menggali lebih dalam nilai-nilai tersebut. 4. Mendorong pendidik dan penanggung jawab untuk memperlakukan pendidikan dengan membekali siswa dengan filosofi hidup, yakni memfasilitasi seluruh pertumbuhan, pengembangan, dan pilihan mereka sehingga mereka dapat mengintegrasikan diri mereka ke dalam lingkungan dengan penghargaan, kepercayaan kepada diri sendiri serta tujuan (Tillman dan Colomina, 2004: 38). Nilai-nilai dan karakter dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu spiritualitas, bertemu dengan diri sendiri, dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Hal ini juga sudah memfasilitasi kebutuhan manusia akan perasaan dicintai, dimengerti, dihargai, berarti/bermakna, dan aman. Menurut Tillman dan Colomina (2004: 196) nilai-nilai dan karakter yang menjadi program yang dapat dieksplorasi dan dikembangkan secara universal untuk suatu dunia yang lebih baik adalah kedamaian, penghargaan, cinta, kebahagiaan, kebebasan, kejujuran, kerendahan hati, toleransi, kerja sama, tanggung jawab, kesederhanaan, dan persatuan. Nilai-nilai itulah yang dijadikan fokus kajian buku teks Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar di Indonesia.

BAB II STUDI PUSTAKA DAN ROADMAP 1. A. Buku Teks dan Sumber Belajar Berdasarkan kebijakan yang digariskan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, hasil kegiatan kecendekiaan para pengajar perguruan tinggi di Indonesia dijuruskan untuk dimuarakan dalam bentuk penerbitan artikel ilmiah, penciptaan teknologi terterapkan, pendaftaran hak paten, dan penulisan buku teks. Dalam kaitannya dengan buku teks, secara tegas dicanangkan agar penulisannya didasarkan pada hasil penelitian pengajar yang bersangkutan sehingga pembahasannya betul-betul membumi pada persoalan yang terdapat di Indonesia. Dengan demikian, dalam berkiprah di masyarakat nanti, para mahasiswa dan peserta didik Indonesia lainnya nanti akan langsung dapat mendarmabaktikan pengetahuan dan ilmunya pada lingkungannya tanpa perlu pengadaptasian lagi.Buku teks/pelajaran merupakan sumber belajar dan media yang sangat penting untuk mendukung tercapainya kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Arti pentingnya buku pelajaran tersebut diungkapkan melalui semboyan-semboyan yang diberikan kepada buku, seperti, "Buku adalah guru yang baik tanpa pernah bertatap muka", "Buku adalah guru yang tak pernah jemu", Buku adalah jendela informasi dunia", "Buku adalah media komunikasi untuk menginformasikan ilmu, teknologi, seni, agama, dan ide-ide". Oleh karena itu, UNESCO mencanangkan "Buku untuk semua".

Pengetahuan atau ilmu yang disajikan dalam sebuah buku teks dibangun secara bertahap melalui pemaparan sejumlah konsep sesuai dengan peta atau pohon konsep keilmuan yang terkait. Dalam menyajikan materinya, segi didaktik dan pedagogi selalu diperhatikan, sehingga buku teks sering dilengkapi dengan indikasi atau penjelasan tentang tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus mata ajarannya seperti dikehendaki kurikulum (Rifai, 2008). Sekarang ini, banyak buku teks pelajaran yang beredar, di antaranya adalah buku-buku yang sudah memperoleh rekomendasi penilaian kelayakan dari Pusat Perbukuan. Namun, berdasarkan tinjauan atas beberapa buku pelajaran, masih ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian pada saat sebuah buku akan dipilih. Utorodewo (2007) menuliskan makalah tentang Tinjauan Buku Teks Pelajaran Bahasa Indonesia yang berisi hasil observasi buku-buku teks pelajaran bahasa Indonesia secara umum dikaitkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22/2006 tentang Standar Isi. Adapun hasil penelitiannya adalah pada buku teks SD kelas 1-3 terdapat bacaan yang belum disertai tanda baca; ada beberapa kutipan bacaan dengan tingkat kesulitan yang sama pada buku teks pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas 5 dan 6 dengan buku teks SMP dan SMA; pada penyajian materi bahasa dan sastra terdapat apresiasi sastra yang di dalam menyajikan contoh penafsirannya belum mencantumkan alasan tafsiran si penulis buku.

Penelitian yang dilakukan Utomo (2008) pada buku-buku pelajaran SD kelas 1 dan 5 terbitan Erlangga, Bumi Aksara, Yudistira, dan Galaxy Puspa Mega, didapatkan hal-hal sebagai berikut.

Kekeliruan konsep Anak rekaan orang tua Ketinggian tingkat intelek Pemotongan kalimat yang sembarangan Bahasa penuturan yang miskin

Temuan yang cukup mengejutkan adalah mayoritas buku yang dikaji menyajikan bahan berlebihan dan luas sehingga mendorong guru berceramah, dan murid menjadi pendengar atau tukang hapal. Murid pun menjadi pasif. Pemerintah telah mencanangkan pendidikan untuk semua (education for all), yang maksudnya terhadap anak perempuan dan laki-laki mempunyai akses yang sama dalam memperoleh pendidikan. Pada Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender di semua sektor, aspek pendidikan merupakan aspek yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender, yang salah satunya dapat dilakukan melalui penyediaan bahan ajar dan buku pelajaran yang berperspektif gender. Namun, faktanya masih banyak bahan ajar yang bias gender terutama pada bahan ajar atau buku pelajaran tingkat pendidikan dasar. Kenyataan tersebut diperoleh dari hasil penelitian dan hasil analisis pengkajian bahan ajar yang dilakukan oleh Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Departemen Pendidikan Nasional/Dinas Pendidikan Daerah bekerja sama dengan para peneliti dari Pusat Studi Wanita. Salah satu bukti bahwa bahan ajar maupun buku pelajaran masih mengandung muatan bias gender itu dapat dilihat pada buku teks bahasa Indonesia, contoh-contoh kalimat masih bias gender, dan gambar perempuan umumnya berperan di sektor domestik, sedangkan laki-laki di sektor publik. Bahan ajar yang berwawasan gender sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya ketimpangan gender atau stereotipe gender. Terlebih bagi anak sekolah dasar, apa yang mereka tangkap dari buku pelajaran baik dari kalimat-kalimat maupun gambar yang tidak responsif gender akan masuk di kepala dengan memori yang sangat panjang, bahwa antara laki-laki dan perempuan mengenai peran, sifat dan statusnya memang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan Institute of Education Reform (IER) (2008) menyimpulkan bahwa buku-buku paket pelajaran sekolah dasar masih menyimpan sejumlah kelemahan. Buku pelajaran menyajikan materi yang terlalu padat dan penyajiannya kurang sesuai dengan pola pikir anak. Buku pelajaran yang dikaji itu juga miskin bahasa penuturan, tidak mengundang rasa ingin tahu, dan tidak mengandung masalah yang harus dipecahkan. Lalu buku-buku itu juga tidak merangsang munculnya pertanyaan kritis. Materi yang terlalu padat itu menyebabkan guru akan menggunakan metode pengajaran berceramah. Tujuannya agar semua materi tersampaikan dengan cepat meskipun tidak menimbulkan sikap kritis aktif. Hal itu membuat anak menjadi pasif. Hasil penelitian Muchlis (2009) mengenai hasil telaah buku ajar dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Masih dijumpai sajian materi buku ajar yang kurang sesuai dengan perkembangan siswa sasaran sehingga terasa sulit dicerna oleh siswa. 2. Masih dijumpai sajian buku ajar yang terkesan teoretis dan kurang ilustrasi sehingga tidak jauh berbeda dengan buku referensi. 3. Masih dijumpai sajian buku ajar yang tidak sesuai dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Misalnya, kompetensi dasarnya siswa dapat menulis surat pribadi tetapi sajiannya berupa penjelasan teoretis tentang menulis surat pribadi. 4. Masih dijumpai sajian materi buku ajar yang tidak/kurang melibatkan siswa untuk mencari, mengamati, mencoba, dan menyimpulkan sendiri. Siswa selalu diberi ikan, tidak/kurang ada kesempatan bagi siswa untuk mengail ikan sendiri. 5. Masih dijumpai format buku ajar yang kurang menarik sehingga membosankan bagi siswa ketika mempelajarinya. 6. Masih dijumpai tata letak buku ajar yang masih monoton sehingga siswa cepat bosan ketika membacanya. Dari penelitian yang dipaparkan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penelitian mengenai pengkajian isi yang mengaitkan dengan nilai-nilai, budaya, dan pembentukan karakter masih belum ditelaah. Pengkajian mengenai nilai-nilai dan karakter sangatlah penting karena pembentukan karakter harus dibangun sejak dini agar terbentuk manusia-manusia Indonesia yang unggul yang mencerminkan karakter bangsa. 1. B. Fungsi Buku Pelajaran Di dalam pengertian yang dikemukakan Pusat Perbukuan (2005), Quest (1915), dan Buckingham (1958) tersirat bahwa fungsi buku pelajaran adalah sebagai penunjang program pengajaran atau berfungsi untuk mencapai tujuan tujuan intruksional. Secara lebih jelas, Pusat Perbukuan (2005: 4) memaparkan fungsi buku pelajaran sebagai berikut. Dipandang dari proses pembelajaran, buku pelajaran itu memiliki peran penting. Jika tujuan pembelajaran adalah untuk menjadikan siswa memiliki berbagai kompetensi, untuk mencapai tujuan tertentu, siswa perlu menempuh pengalaman dan latihan serta mencari informasi. Alat yang efektif untuk itu adalah buku pelajaran sebab pengalaman dan latihan yang perlu ditempuh dan informasi yang perlu dicari dan cara menempuh dan mencarinya, disajikan dalam buku pelajaran secara terprogram. Sementara itu, Buckingham (dalam Tarigan, 1986: 16) menjelaskan fungsi atau keuntungan-keuntungan buku pelajaran sebagai berikut. 1) 2) 3) 4) kesempatan mempelajarinya sesuai dengan kecepatan masing-masing, kesempatan untuk mengulangi atau meninjau kembali, kemungkinan mengadakan pemeriksaan terhadap ingatan, kemudahan untuk membuat catatan-catatan bagi pemakaian selanjutnya,

5)

kesempatan khusus yang dapat ditampilkan oleh sarana visual dari sebuah buku.

Greene dan Petty (1971: 540) mengemukakan pula pendapatnya tentang fungsi buku pelajaran secara lebih lengkap, yakni sebagai berikut. 1) Mencerminkan suatu sudut pandangan yang tangguh dan modern mengenai pengajaran serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan. 2) Menyajikan suatu sumber pokok masalah atau subjectmatter yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa, sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan yang keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya. 3) Menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-keterampilan ekspresional yang mengemban masalah pokok dalam komunikasi. 4) Menyajikan bersama-sama dengan buku manual yang mendampingi metodemetode dan sarana-sarana pengajaran untuk memotivasi para siswa. 5) Menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis. 6) Menyajikan bahan/ sarana evaluasi dan remidial yang serasi dan tepat guna.

Pendapat-pendapat tentang fungsi buku pelajaran di atas lebih ditekankan pada kepentingan siswa, yakni sebagai sarana belajar, sumber informasi, dan sarana berlatih di dalam menguasai program pembeajaran tertentu. Meskipun demikian, buku pelajaran tidak terhenti pada kepentingan siswa, tetapi juga guru pun mendapat manfaat dari kehadiran buku pelajaran. Menurut Pusat Perbukuan (2005: 4), fungsi buku pelajaran bagi guru adalah sebagai berikut. Guru, tentulah, memiliki kebebasan dalam memilih, mengembangkan, dan menyajikan materi. Semua itu merupakan wewenang dan kewajiban profesionalnya. Ia memiliki pengetahuan tentang struktur keilmuan berkenaan dengan materi yang akan diajarkannya. Ia pun memiliki keterampilan dalam mengolah dan menyajikan materi tersebut. Walaupun demikian, segala yang tersaji dalam buku pelajaran tetap berguna baginya, misalnya sebagai bahan untuk dipilih, dan disusun bersama dengan bahan dari sumber lain. Juga, cara penyajian dalam buku pelajaran dapat dijadikan sebagai contoh pada menyajikan bahan dalam kegiatan pembelajaran siswanya. Fungsi buku pelajaran bagi guru juga dikemukakan Sari & Reigeluth (1982: 56-57). Pertama, kehadiran buku seperti itu memungkinkan guru untuk lebih banyak berhadapan dengan murid seorang-seorang atau dengan kelompok kecil. Kedua, guru dapat lebih banyak memusatkan perhatiannya kepada usaha membangkitkan minat

siswa dan, jika diperlukan, menolong siswa yang lemah. Ketiga, karena ketrampilan dan pengetahuan dasar telah diperoleh dari buku sebelum masuk kelas, waktu selama di kelas dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang lebih menyenangkan dan sama pentingnya, yakni kegiatan yang diarahkan kepada pemantapan ingatan dan kepahaman, dan bahkan kepada pengembangan pengetahuan yang dibahas (Sari & Reigeluth 1982, h. 567) Dari paparan di atas, jelaslah bahwa buku pelajaran memiliki fungsi yang besar, baik itu dalam kaitannya dengan kepentingan siswa ataupun guru. Dari buku pelajaran, siswa dapat memperoleh pengetahuan dan informasi secara sistematis. Siswa pun dapat melatih diri dan menguasainya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Buku teks memberi kesempatan kepada siswa untuk menyegarkan kembali ingatannya dan memeriksa pemahamannya sesuai dengan kesempatan yang dimiliki serta kemamuan masing-masing. Di samping itu, guru memperoleh banyak manfaat dari kehadiran buku pelajaran. Guru dapat menyampaikan materi pelajaran secara lebih terporgram sesuai dengan tuntutan kurikulum serta dapat melakukan interkasi yang lebih banyak lagi untuk mengembangkan berbagai kompetensi siswa. Buku teks mempunyai peranan penting. Dengan mempelajari buku teks, ilmu pengetahuan dapat ditransfer secara terusmenerus dan berulang-ulang sehingga pengetahuan yang ingin didapat akan lama tersimpan dalam ingatan siswal; itulah yang menjadi tujuan penulisan buku teks. Bertolak dari definisi-definisi di atas juga dapat dikemukakan bahwa keberadaan buku teks mengemban beberapa fungsi dan peran. Di antara fungsi-fungsi tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, buku teks dapat menyajikan sumber evaluasi dan remedial; buku teks mencerminkan suatu sudut pandang; kedua, buku teks menyediakan pokok masalah yang teratur, rapi, dan bertahap; ketiga, buku teks menyajikan pokok masalah yang kaya dan serasi; keempat, buku teks menyediakan aneka metoda dan sarana pengajaran; kelima, buku teks menyajikan fiksasi awal bagi tugas dan latihan. Buku teks mempunyai fungsi yang erat kaitannya dengan kurikulum. Greene dan Petty dalam H.G. Tarigan (1986:17) telah merumuskannya sebagai berikut. 1) Mencerminkan sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pengajaran serta mendemontrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan. 2) Menyajikan pokok masalah atau subjek yang kaya, mudah dibaca, dan bervariasi yang seuai dengan minat dan kebutuhan pada siswa sebagai dasar bagi programprogram kegiatan yang disarankan, keterampilan-keterampilan ekspresional, yang diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang seharusnya. 3) Menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap, mengenai keterampilan-keterampilan ekpresional dan mengemban masalah-masalah pokok dalam komunikasi. 4) Menyajikan metode dan media pengajaran untuk memotivasi para siswa.

5) Menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan dan tugas praktisi. 6) Menyajikan bahan evaluasi yang sesuai dengan tepat guna.

C.Buku Pelajaran Sebagai Sumber Belajar Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, seorang siswa dituntut tidak hanya mengandalkan dari yang terjadi di dalam kelas, tetapi harus mau dan mampu menelusuri beragam sumber belajar yang diperlukan (Jarolimek & Foster, 1989 dan Schnunke, 1988). Sumber belajar mempunyai potensi sebagai alat, sarana, pelaku, dan wahana untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sumber belajar dipandang sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan kemungkinan untuk memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dalam belajar. Egdar Dale dalam Heinich, dkk. (1989: 12-13) mengartikan sumber belajar dengan pengertian cukup luas, yaitu pengalaman. Dalam hal ini pengalaman merupakan kehidupan itu sendiri sehingga sumber belajar pada hakikatnya merupakan segala sesuatu yang dialami dan ditemui individu dalam kehidupan ini. Sementara itu, menurut AECT (1997), ditinjau dari segi pendayagunaannya ,sumber belajar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber belajar yang didesain, sumber belajar yang dimanfaatkan. Sumber belajar didesain (by design), artinya sumber belajar yang secara khusus dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional dalam rangka mempermudah tindak belajar-mengajar yang formal dan direncanakan secara sistematis. Misalnya buku teks, buku paket, slide, video pendidikan, dan sebagainya yang khusus dibuat dan dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan. Sumber belajar yang dimanfaatkan (by utilization) atau yang tidak secara khusus dirancang untuk keperluan instruksional tetapi telah tersedia/dapat diperoleh karena memang sudah ada di alam dan lingkungan sekitar, serta dapat digunakan untuk kepentingan belajar. Pembagian lain yang biasa dilakukan terhadap komponen sumber belajar adalah sebagai berikut. Pertama, sumber belajar cetak yang berupa buku, majalah, ensiklopedi, brosur, poster, denah, dan lain-lain. Kedua, sumber belajar noncetak yang berupa film, slide, video, model, audio-kaset, dan lain-lain. Ketiga, sumber belajar berupa fasilitas: auditorium, perpustakaan, ruang belajar, meja belajar, studio, lapangan, pasar, dan lain-lain. Keempat, sumber belajar berupa kegiatan: wawancara, kerja kelompok, observasi, simulasi, kepanitiaan, dan lain-lain. Kelima, sumber belajar yang berupa lingkungan masyarakat: taman, pesawahan, ladang jagung, perkebunan, terminal, kota, desa, dan lain-lain. Manfaat dan kegunaan sumber belajar secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, merupakan pembuka jalan dan wawasan terhadap ladang keilmuan yang akan ditelusuri. Dalam konteks ini, sumber belajar merupakan peta dasar yang perlu dijajagi secara makro agar wawasan terhadap rentangan pengetahuan akan dipelajari dapat diperoleh lebih awal.

Kedua, merupakan pemandu secara teknis dan langkah-langkah operasional untuk menelusuri secara lebih teliti menuju penguasaan keilmuan secara tuntas. Ketiga, memberikan berbagai macam ilustrasi dan contoh-contoh yang berkaitan dengan aspek-aspek bidang keilmuan yang dipelajari. Keempat, memberikan petunjuk dan gambaran tentang hubungan antara yang sedang dipelajari dengan berbagai bidang keilmuan. Kelima, menginformasikan sejumlah penemuan-penemuan baru yang pernah diperoleh orang lain sehubungan dengan bidang keilmuan tertentu. Keenam, menunjukkan berbagai permasalahan yang timbul sebagai konsekuensi logis dalam suatu bidang keilmuan yang menuntut adanya kemampuan pemecahan dari orang yang mengabdikan diri dalam bidang tersebut. Manfaat sumber belajar dalam konteks pembelajaran di kelas antara lain dapat disebutkan sebagai berikut. 1) Memberi pengalaman belajar yang kongkret dan langsung kepada siswa dalam kegiatan belajarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membaca sumber belajar ke dalam kelas atau mengunjungi sumber belajar yang dapat dijangkau siswa maupun guru. 2) Menyajikan sesuatu yang tidak mungkin diamati secara langsung, yaitu dengan cara menunjukkan model, denah, sketsa, foto, film, dan lain sebagainya; 3) Memperluas cakrawala sajian di dalam kelas, hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggunakan buku teks, majalah, nara sumber, dan lain sebagainya. 4) Memberi informasi yang akurat dan terbaru, atau bersifat melengkapi/ memperluas informasi yang sudah ada. Cara yang ditempuh dapat melalui pemakaian buku teks dengan dilengkapi majalah, koran, nara sumber, dan lain sebagainya. 5) Membantu memecahkan masalah-masalah pendidikan atau pengajaran dalam ruang lingkup mikro maupun makro, misalnya pemakaian modul, belajar jarak jauh (makro), simulasi, penggunaan OHP (mikro). 6) Memberi atau mempertinggi motivasi belajar. 7) Merangsang kreativitas dan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah dalam belajar, serta mengembangkan pemikiran yang asli dan baru kepada peserta didik Garvey dan Krug (1977: 59-60) menawarkan beberapa jenis keterampilan yang terkait dengan memperoleh informasi dari buku sebagai sumber belajar, yakni sebagai berikut. 1. Keterampilan merujuk (refference skill), terkait dengan keterampilan menemukan informasi melalui daftar isi, bab, sub-bab, indeks dan lain-lain. 2. Keterampilan pemahaman (comprehension skill). Siswa perlu dibekali dengan keterampilan untuk memahami isi buku teks, teks tertulis, kata, dan frase. hubungan antar gagasan, diagram, peta dan lain-lain. Keterampilan-keterampilan tersebut dapat meningkatkan pemahaman. 3. Keterampilan menganalisis dan mengkritisi (analytical and critical skill). Keterampilan ini terkait dengan kemampuan bertanya. Oleh karena itu, para siswa perlu dibekali keterampilan membaca dan bertanya untuk melihat aspek atau masalah tertentu. Menurut Garvey dan Krug, guru perlu membekali siswa

dengan keterampilan secara intelegensi dan mental untuk melakukan kategorisasi isi bacaan serta melakukan kritisi terhadap isi bacaan. 4. Keterampilan mengembangkan imajinasi (imaginative skill). Keterampilan ini harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Buku teks dapat dipilih oleh guru untuk meningkatkan keterampilan imajinasi siswa. 5. Keterampilan membuat catatan (note-making skill). Keterampilan ini tidak hanya terkait dengan kemampuan siswa dalam merangkum, mencatat, dan meringkas isi bacaan, melainkan juga dalam memproduksi pengetahuan melalui proses membaca dan merangkum isi bacaan. Siswa dibekali dengan keterampilan untuk melakukan interpretasi terhadap isi teks berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Kemudian ia melakukan proses produksi berdasarkan hasil bacaan yang telah diolah menjadi pengetahuan baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengontrol tingkat pemahaman merupakan suatu proses perkembangan yang berkaitan erat dengan perkembangan perilaku kognitif. Semakin tua usia anak, semakin meningkat kemampuannya dalam memahami sesuatu hal. Banks (1990) mengemukakan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa siswa SD kelas 5 yang memiliki kemampuan membaca di atas rata-rata dengan mudah menyesuaikan diri dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Sementara itu, iswa yang memiliki kemampuan membaca di bawah rata-rata ternyata mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugastugas. Mereka tidak mengetahui dan tidak berusaha berpikir tentang kesulitankesulitannya itu. Pada dasarnya, siapapun yang sedang membaca bertujuan untuk memahami pesan apa yang disampaikan oleh penulis. Untuk memahami bacaan, orang tersebut hendaknya menyadari isi bacaan tersebut. Dalam hal inilah diperlukannya kesadaran atau pemahaman terhadap informasi yang melatarbelakangi kemunculannya. Hal itu kemudian sering disebut kesadaran metakognitif. Kemampuan yang diperlukan agar kesadaran metakognitif tersebut muncul, yakni berupa adalah kemampuan melakukan kontrol (monitoring) pemahaman terhadap isi bacaan. Banks (1990) mengemukakan empat langkah untuk melakukan kegiatan tersebut. Pertama, siswa harus mengetahui kapan mereka melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Kedua, siswa harus mengetahui apa yang mereka ketahui. Ketiga, siswa harus mengetahui sesuatu yang mereka perlukan untuk mengetahu. Keempat, siswa harus mengetahui kegunaan teknik-teknik yang bisa membantu mereka dalam belajar. D. Ruang Lingkup Buku Pelajaran Buku sangat penting peranannya dalam kehidupan manusia. Hal karena hampir semua kehidupan manusia direkam dalam buku. Buku adalah kunci ke arah gudang ilmu pengetahuan. Orang yang ingin maju dan pandai haruslah menggunakan buku.. Hanya saja, sebagai pengisi sumber belajar, buku harus memiliki susunan yang teratur, sistematis, jenisnya bervariasi, kaya akan pengalaman, daya penarikan kuat, dan sesuai dengan minat dan dapat memenuhi kebutuhan siswa. Lebih dari itu buku teks harus menantang, merangsang dan menunjang aktivitas dan kreativitas siswa (Djahiri, 1992:77). Bahan yang terkandung dalam buku teks, hendaknya tersusun rapi. Bahan ajar harus pula tersusun dalam gradasi tertentu dan disesuaikan dengan hakikat mata

pelajaran. Susunannya dapat beragam, misalnya dengan pola umum-khusus, mudahsukar, sebagian-keseluruhan, dan sebagainya. Dilihat dari asfek keterbacaan, Harjasujana (1997 : 2) menegaskan bahwa sejak dini harus dimulai penumbuhan rasa cinta buku dan gemar membaca pada diri anak. Hal tersebut bisa dicapai apabila buku-buku yang harus dicintai dan dibaca itu memadai jumlahnya dan dipahami pula isinya. Buku yang tidak dipahami isinya mustahil digemari pembacanya. Oleh karena itu, masalah keterbacaan karya tulis itu perlu diperhatikan bila sang penulis berkeinginan agar karyanya dibaca orang. Para guru harus diberi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengevaluasi dan mengadaptasi buku-buku teks. Mereka harus dipersiapkan dalam menggunakan bukubuku teks sebagai sumber untuk mengajar secara kreatif. Harapannya buku teks dapat dijadikan sumber untuk mendukung dan memudahkan pembelajaran (Richards, 1998 : 14). Berkenaan dengan relevansi penilaian buku sebagai syarat-syarat dikeluarkannya rekomendasi Dirjen Dikdasmen (2004: 15), perlu dinyatakan bahwa hal itu sangat penting dan mulia, yaitu untuk melindungi siswa/sekolah dari penggunaan buku yang belum dijamin kelayakannya. Melalui proses penilaian, paling tidak buku telah disaring dari segi kualitas isi dan relevansinya dengan kurikulum, keterbacaannya, penampilan fisik, dan implikasi keamanannya bila buku itu digunakan oleh para siswa. Dengan demikian, ketetentuan tersebut perlu dipertahankan, bahkan lebih jauh dapat ditingkatkan kriterianya dan diperketat lagi prosedur penilaiannya. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya teknologi pencetakan buku, semakin banyaknya pengarang yang handal, meningkatnya tuntutan dunia pendidikan akan buku-buku yang semakin bermutu dan semakin tingginya harapan masyarakat terhadap proses pendidikan yang terpercaya. Hanya buku-buku yang benar-benar layak pakai yang direkomendasi untuk dapat digunakan di sekolah. Dikemukakan Dedi Supriadi (2000 : 161) sebagai berikut. Perkembangan penilaian buku selama 17 tahun (1979-1995) menunjukkan tingginya jumlah buku (terdiri atas buku-buku pelajaran dan buku-buku bacaan) yang disertakan dalam penilaian oleh Direktorat Sarana Pendidikan. Hal ini menunjukkan meningkatnya produktivitas dunia penerbitan nasional dan adanya kepercayaan penerbit atas lembagalembaga penilaian buku, di samping adanya kebutuhan penerbit untuk mendapatkan status pengesahan atas buku-bukunya. Dari jumlah buku yang disertakan dalam penilaian, sekitar 36-70 % dinyatakan lulus dan mendapatkan SK Dirjen Dikdasmen. Pada dua tahun berikutnya (1996-1997), ketika proses penilaian masih berjalan normal, jumlah buku yang disertakan dalam penilaian semakin meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Antara tahun 1995-1997 terjadi diskusi intensif di lingkungan Ditjen Dikdasmen dan pusat perbukuan yang juga melibatkan IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Di lingkungan intern Depdiknas, diskusi menyangkut kriteria, prosedur, dan urgensi penilaian buku. Adapun dengan IKAPI pembicaraan itu lebih banyak menyangkut urgensi penilaian buku. Ditjen dikdasmen sendiri kadang-kadang menunjukkan sikap

yang ambivalen terhadap penelitian buku dengan perlu tidaknya rekomendasi Dirjen diberikan atas buku-buku terbitan swasta. Secara umum, Ditjen Dikdasmen (2003: 15) masih merasakan perlunya ada mekanisme untuk melindungi sekolah dari penggunaan buku yang tidak layak pakai. Beberapa kasus yang terungkap di beberapa kota membuktikan bahwa buku-buku itu kemudian diketahui mengandung cacat (salah konsep atau berisi unsur-unsur yang menyentuh wilayah SARA, ternyata belum disahkan penggunaannya di sekolah. Sekalipun bukubuku tersebut merupakan pelengkap, dalam kenyataannya buku-buku itu menggantikan kedudukan buku paket yang disediakan pemerintah. Menurut aturan, buku paket wajib digunakan di sekolah, terlepas dari ada atau tidaknya buku pelengkap. Di sinilah dilemanya; di satu pihak Ditjen Dikdasmen mewajibkan sekolah untuk menggunakan buku paket, dilain pihak juga memberikan rekomendasi bagi penggunaan buku-buku lain. Akibatnya, sekalipun buku paket tersedia dalam jumlah yang cukup, sekolahsekolah cenderung lebih senang menggunakan buku pelengkap yang pembeliannya menjadi tanggung jawab para orangtua siswa. Bagi keluarga yang kurang mampu, pembelian buku tersebut menjadi bahan yang amat berat. Pusat Perbukuan (2004: 19-27) merumuskan standar penilaian buku pelajaran, yakni sebagai berikut. 1. Isi/materi buku pelajaran yang mencakup masalah a. kesesuaian materi dengan kurikulum, b. relevansi materi ditinjau dari segi tujuan pendidikan, c. kebenaran materi ditinjau dari segi ilmu bahasa dan ilmu sastra, d. kesesuaian materi pokok dengan tingkat perkembangan kognitif sisiwa. 2. Penyajian materi yang mencakup masalah a. pencantuman tujuan pembelajaran, b. penahapan pembelajaran, c. penarikan minat dan perhatian siswa, d. kemudahan pemahaman, e. pelibatan keaktifan siswa, f. hubungan antarabahasa, dan g. penyertaan soal dan latihan. 3. Aspek bahasa dan keterbacaan yang mencakup masalah

a. penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, b. penggunaan bahasa yang dapat meningkatkan daya nalar dan daya cipta siswa, c. penggunaan struktur kalimat yang sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa dan tingkat perembangan kognitif siswa, d. penggunana paragraf, dan Penilaian terhadap buku pelajaran terbitan swasta mempunyai aspek positif dan negatif. Aspek positif, penilaian tersebut merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan di sekolah. Dari hasil penilaian ditemukan banyak buku yang tidak memenuhi syarat, misalnya dari segi isi, bahasa, dan grafika, mengandung salah konsep, penulisan notasi yang keliru, data yang tidak akurat, pesan yang tidak jelas, bahasa yang rancu, dan grafika yang kurang baik. Apabila buku-buku tersebut digunakan di sekolah, implikasinya terhadap peserta didik dan mutu pendidikan bisa sangat luas. Dengan ada penilaian sekalipun, masih banyak buku yang kurang bermutu masuk ke sekolah. Apabila tidak ada penilaian, keadaan tersebut akan lebih parah lagi. Disamping itu, secara moral, ada tuntutan kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap sekolah, termasuk dalam menilai dan mengawasi buku-buku yang digunakannya. Penilaian paling tidak dapat mengurangi risiko yang timbul akibat digunakannya bukubuku yang tidak layak pakai. Dari survei yang dilakukan diketahui bahwa sebagian penerbit mengaku merasa gamang, miris, dan dibebani rasa bersalah bila mengedarkan buku yang belum disahkan ke sekolah. Beberapa hasil temuan diungkapkan oleh Dedi Supriadi (2000 : 191) sebagai berikut. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Jawa Barat pada tahun 1995-1997 yang pernah penulis ikuti terungkap bahwa adanya penilaian mendorong penerbit untuk lebih berhati-hati untuk menerbitkan buku. Untuk itu mereka menyiapkan tim penyunting yang handal untuk buku-bukunya. Mereka juga percaya bahwa bersaing di pasaran dengan mengabaikan mutu sangat besar risikonya, di samping bisa mengorbankan peserta didik. Pengalaman ini menunjukkan bahwa banyak penerbit yang mempunyai idealisme tinggi. Buku teks harus memenuhi syarat-syarat tertentu, penyajiannya harus menarik, menantang, materinya bervariasi sehingga siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajarinya. Semakin berkualitas suatu buku, maka sempurna mata pelajaran yang ditunjangnya. Untuk memenuhi kualitas buku teks yang baik, maka diperlukan kriteriakriteria tertentu dalam penyusunan dan penulisan buku teks kriteria tersebut menurut Greene dan Petty (Tarigan, 1986:22) sebagai berikut. Sudut pandang (point of view). Buku teks harus mempunyai landasan, prinsip, dan sudut pandang tertentu yang menjiwai dan melandasi buku teks secara keseluruhan. Sudut pandang itu berupa teori dan ilmu jiwa, bahasa, dan sebagainya.

Kejelasan konsep. Konsep-konsep yang digunakan dalam suatu buku teks harus jelas dan tandas. Keremang-remangan perlu dihindari agar siswa mendapat kejelasan atas berbagai uraian yang dikemukakannya. Relevan dengan kurikulum. Buku teks harus relevan dengan kurikulum yang berlaku. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai media pengajaran di sekolah yang mau tidak mau harus mengukuti berbagai ketentuan kelembagaan, termasuk di dalamnya kurikulum. Menarik minat.. Buku teks ditulis untuk siswa. Oleh karena ,itu penulis buku teks harus mempertimbangkan minat siswa pemakai buku teks tersebut. Semakin sesuai dengan minat siswa, semakin tinggi daya penarik buku teks tersebut. Menumbuhkan motivasi Buku teks yang baik ialah buku teks yang dapat membuat siswa merasa ingin dan senang untuk mengerjakan tugas atau latihan-latihan yang ada dalam buku tersebut. Menstimulasi aktivitas siswa. Buku teks yang baik ialah buku teks yang merangsang, menantang, dan menggiatkan aktivitas siswa. Hal ini sesuai dengan konsep CBSA atau klasifikasi nilai. Ilustratif Buku teks harus disertai dengan ilustrasi yang mengena dan menarik. Ilustrasi yang cocok pastilah memberikan daya tarik tersendiri serta memperjelas hal yang dibicarakan. Harus dapat dimengerti Buku teks harus dimengerti oleh pemakainya. Aspek pemahaman harus didahulukan. Faktor utama yang berperan di sini adalah bahasa. Bahasa buku haruslah sesuai dengan bahasa siswa. Kalimat-kalimatnya efektif dan terhindar dari makna ganda. Menunjang mata pelajaran lain. Dengan mempelajari buku teks satu mata pelajaran dapat menambah pengetahuan bagi mata pelajaran lainnya. Menghargai perbedaan individu. Buku teks yang baik tidak membesar-besarkan perbedaan individu tertentu. Perbedaan dalam kemampuan, bakat, ekonomi, dan sosial budaya tidak dipermasalahkan. Memantapkan nilai-nilai. Buku teks yang baik berusaha memantapkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, melestarikan nilai-nilai perjuangan, dan semangat UUD 1945, nilai luhur Pancasila, sehingga siswa akan berusaha melestarikannya. Komponen-komponen buku pelajaran memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan buku jenis lainnya. Pada buku pelajaran terdapat komponen-

komponen, seperti definisi, contoh, analagi, parafrae, gambar, dan diagram sebagai sarana untuk menjelaskan suatu konsep atau pengertian (Ajat Sakri, tth.: 6). Komponen-komponen hal itu sangat terbatas di dalam buku-buku lainnya. Di dalam Pedoman Penulisan Buku Pelajaran yang disusun Pusbuk (2005: 12), komponenkomponen yang harus ada meliputi hal-hal berikut. (1) pendahuluan berupa tujuan instruksional, dan sebagainya, (2) uraian berupa penggunaan istilah/konsep, ciri-ciri, klasifikasi, rincian, rumus, contoh, penilaian, dan manfaat, (3) bentuk visual berupa tabel, format, bagan, peta, potret, serta gambar, (4) petunjuk praktik, (5) latihan, pertanyaan, dan tugas, serta (6) rangkuman. Selain itu, menurut Ajat Sakri (tth.: 14), beberapa buku ajar selalu dilengkapi dengan soal, tugas, dan latihan. Sarana pendidikan tersebut dimaksudan sebagai batu uji bagi siswa untuk mengetahui tingkat penguasaan bab yang dibacanya. Keberhasilan siswa dalam menjawab pertayaan atau menyelesaikan latihan dengan baik menunjukkan bahwa sasaran bab itu tercapai. Pendapat yang lebih lengkap dikemukakan Mager (1995: 23), selain terdapatnya bahan ajar, buku pelajaran menyajikan latihan untuk menerapkan keterampilan atau kompetensi yang sedang dipelajari dan umpan balik yang menjadi indikator tentang kualitas latihan yang dilakukan oleh siswa. Marger mengungkapkan komponen-komponen penting sistem modul dalam sistematika berikut. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) deskripsi materi ajar secara menyeluruh (program picture), tujuan pembelajaran yang akan dicapai (objektive), manfaat dan relevansi materi ajar (relevance), contoh kompetensi yang akan dimiliki setelah mempelahari bahan ajar (demo), materi ajar (instruktion), latihan (practice), umpan balik (feedback), dan cara untuk menguji keterampilan yang akan dipelajari.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa buku pelajaran tersusun atas beberapa komponen. Komponen-komponen tersebut mencakup hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan pembelajaran di sekolah, seperti tujuan pelajaran, materi, media, dan

alat evaluasi. Komponen-komponen tersebut tersusun secara terintegrasi di dalam perbabnya. Di samping itu, di dalam edaran yang dikeluarkan Pusat Perbukuan (2008) yang ditujukan kepada penerbit-penerbit di dalam rangka penilaian buku pelajaran untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, sebuah buku pelajaran harus tercakup di dalamnya judul pelajaran, peta konsep, apersepsi, kamus mini, dan refleksi. Adapun komponenkomponen untuk keseluruhan isi buku, komponen-komponen itu meliputi kata pengantar, petunjuk penggunaan, ulangan semester, glosarium, indeks, dan daftar pustaka. Berikut keseluruhan komponen-komponen buku pelajaran yang penulis kembangkan berdasarkan sumber-sumber tersebut. 1. Urutan Unsur-Unsur Keseluruhan Isi Buku 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Judul buku Kata pengantar Daftar isi Petunjuk penggunaan buku (untuk siswa) Judul pelajaran Rincian subjudul Rangkuman Ulangan harian

i. Refleksi j. Ulangan semester k. Glosarium l. Indeks

m. Daftar pustaka 2. Kerangka per pelajaran 1. Judul/unit pelajaran 2. Pemicu Misalnya anekdot, teka-teki, nyanyian, puisi, ungkapan orang terkenal. 1. Peta konsep Berisi gambaran materi secara garis besar yang akan dipelajari siswa dalam satu pelajaran. 1. Subjudul per KD Redaksi bebas disesuaikan dengan pemahaman siswa.

1. Tujuan KD 2. Apersepsi Pengakitan materi yang akan dipelajari siswa dengan materi yang telah mereka pelajari sebelumnya atau pengalaman siswa sendiri di kehidupannya sehari-hari). 1. Paparan materi 1. Penjelasan (teoritis) 2. Contoh-contoh 3. Latihan 4. Tugas 2. Kamus mini Berisi kata-kata sulit yang ada dalam pelajaran 1. Rangkuman 2. Ulangan harian 3. Refleksi E. Kriteria Buku Pelajaran yang Baik Greene dan Petty sebagaimana yang dikutip Tarigan (1986: 20-21) merumuskan sepuluh kriteria buku yang baik. Kesepuluh kriteria itu adalah sebagai berikut. 1) Buku pelajaran itu haruslah menarik minat, yaitu para siswa yang mempergunakannya. 2) Buku pelajaran itu haruslah mampu memberi motivasi kepada para siswa yang memakainya. 3) Buku pelajaran itu haruslah memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang memanfaatkannya. 4) Buku pelajaran itu seyogyanyalah mempertimbangkan aspek linguistik, sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya. 5) Buku pelajaran itu isinya haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya; lebih balk lagi kalau dapat menunjangnya dengan rencana sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu. 6) Buku pelajaran itu haruslah dapat menstimulasi, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi para siswa yang mempergunakannya. 7) Buku pelajaran itu haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsepkonsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para siswa yang memakainya.

8) Buku pelajaran itu haruslah mempunyai sudut pandang atau point of view yang jelas dan tegas, sehingga pada akhirnya menjadi sudut pandang para pemakainya yang setia. 9) Buku pelajaran itu haruslah mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilainilai anak dan orang dewasa. 10) Buku pelajaran itu haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa pemakainya. Sementara itu, Akhlan Husen (1998: 188-190) merumuskan kriteria buku pelajaran yang baik itu sebagai berikut. 1. Buku pelajaran harus mempunyai landasan, prinsip dan sudut pandang tertentu yang menjiwai atau melandasi buku pelajaran secara keseluruhan. Sudut pandangan ini dapat berupa teori dari ilmu jiwa, bahasa, dan sebagainya. 2. Konsep-konsep yang digunakan dalam suatu buku pelajaran harus jelas dan tegas. Ketidakjelasan, kesamaran perlu dihindari agar siswa atau pembaca juga memperoleh kejelasan, pemahaman, dan pengertian. 3. Buku pelajaran ditulis untuk digunakan di sekolah-sekolah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bahwa buku pelajaran harus relevan dengan kurikulum yang berlaku di sekolah. 4. Buku pelajaran ditulis untuk siswa, karena itu penulis buku pelajaran harus mempertimbangkan minat-minat siswa pemakai buku pelajaran tersebut. Semakin sesuai buku pelajaran dengan minat siswa, semakin tinggi daya penarik buku pelajaran tersebut. 5. Motivasi berasal dari kata motif yang berarti daya penclorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan motivasi diartikan sebagai penciptaan kondisi yang ideal sehingga seseorang ingin, mau, senang mengerjakan sesuatu. Buku pelajaran yang baik ialah buku pelajaran yang dapat membuat siswa ingin, mau, senang mengerjakan apa yang diinstruksikan di dalam buku tesk tersebut. Apalagi bila buku pelajaran tersebut dapat menggiring siswa ke arah penumbuhan motivasi intrinsik. 6. Buku pelajaran yang baik ialah buku pelajaran yang merangsang, menantang, clan menggiatkan aktivitas siswa. Hal ini sesuai dengan konsep CBSA. Di samping tujuan clan bahan, faktor metode sangat menentukan dalam hal ini. 7. Buku pelajaran harus disertai dengan ilustrasi yang mengena dan menarik. Ilustrasi yang cocok pastilah memberikan daya penarik tersendiri serta memperjelas hal yang dibicarakan. 8. Buku pelajaran haruslah muclah dimengerti oleh para pemakainya, yakni siswa. Pemahaman harus didahului oleh komunikasi yang tepat. Faktor utama yang berperan di sini ialah bahasa. Oleh karena itu, bahasa buku pelajaran haruslah : 1. 2. 3. 4. sesuai dengan bahasa siswa, kalimat-kalimatnya efektif, terhindar dari makna ganda, sederhana,

5. sopan, 6. menarik. 7. Buku pelajaran mengenai bahasa Indonesia misalnya di samping menunjang mata pelajaran bahasa Indonesia, juga menunjang mata pelajaran lain. Melalui pengajaran bahasa Indonesia pengetahuan siswa dapat bertambah dengan masalah-masalah sejarah, ekonomi, geografi, kesenian, olah raga, dan lain-lain. Hal itu dapat diwujudkan melalui wacana/pelajaran bacaan yang membicarakan pengetahuan-pengetahuan tersebut di atas. 10. Buku pelajaran yang baik tidak membesar-besarkan perbedaan individu tertentu. Perbedaan dalam kemampuan, bakat, minat, ekonomi, sosial, budaya setiap individu tidak dipermasalahkan tetapi diterima sebagaimana adanya. 11. Buku pelajaran yang baik berusaha untuk memantapkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Uraian-uraian yang menjurus kepada penggoyahan nilai-nilai yang berlaku pantas dihindarkan. Pusat Perbukuan (2004: 8-12) juga mengeluarkan tujuh kriteria atau prinsip penulisan buku pelajaran yang baik. Ketujuh prinsip itu meliputi prinsip kebermaknaan, keotentikan, keberfungsian, performansi komunikatif, kebertautan, dan prinsip penlilaian. Lebih lanjut ketujuh prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Prinsip kebermaknaan Prinsip ini menekankan pada pemenuhan dorongan bagi siswa untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasan, perasaan, dan informasi kepada orang lain, baik secara lisan maupun tertulis. b) Prinsip keotentikan Prinsip ini menekankan pada pemilihan dan pengembangan materi pelatihan berbahasa, yaitu: (1) berupa pelajaran atau wacana tulis atau lisan, (2) banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemahiran fungsi berbahasanya, (3) menekankan fungsi komunikatif bahasa, yakni menekankan pada proses belajarmengajar, (4) memenuhi kebutuhan berbahasa siswa, (5) berisi petunjuk, pelatihan, dan tugas-tugas dengan memanfaatkan media cetak atau elektronik seoptimal mungkin, (6) didasarkan atas hasil analisis kebutuhan berbahasa siswa,

(7) mengandung pemakaian unsur bahasa yang bersifat selektif dan fungsional, dan (8) mendukung terbentuknya performansi komunikatif siswa yang andal. c) Prinsip keterpaduan Penataan bahasa dan sastra dilakukan dengan memperhatikan halhal berikut: (1) mempertahankan keutuhan bahan, (2) menuntut siswa untuk mengerjakan atau mempelajarinya secara bertahap, dan (3) secara fungsional, yakni bagian yang sate bergantung kepada bagian yang lain dalam jalinan yang padu dan harmonis menuju kebermaknaan yang maksimal. d) Prinsip keberfungsian Prinsip keberfungsian ada pada pemilihan metode dan teknik pembelajaran. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bagian ini adalah: memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil bagian dalam peristiwa berbahasa yang seluas-luasnya, memberikan kepada siswa informasi, praktik, latihan, dan pengalaman-pengalaman berbahasa yang sesuai dengan kebutuhan berbahasa siswa, mengarahkan siswa kepada penggunaan bahasa, bukan penguasaan pengetahuan bahasa, jika memungkinkan, memanfaatkan berbagai ragam bahasa dalam tindak/ peristiwa berbahasa yang terjadi, dan mengarahkan siswa untuk mengembangkan kemahiran berbahasanya, serta mendorong kemampuan berpikir/bernalar dan kreativitas siswa. e) Prinsip performansi komunikatif Pengalaman belajar adalah segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya peristiwa belajar. Hal ini bisa berupa kegiatan berbahasa, mengamati, berlatih atau bahkan merenung. Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pengalaman belajar ialah mendukung terbentuknya performansi komunikatif siswa yang andal; sesuai dengan bahan pembelajaran; bermakna bagi pengembangan potensi dan kemahiran berbahasa siswa; sesuai dengan tuntutan didaktik metodik yang mutakhir; disajikan secara berkelanjutan dan berkaitan dengan pengalaman-pengalaman belajar berbahasa yang lain secara terpadu. f) Prinsip kebertautan (kontekstual)

Prinsip ini, khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan media dan sumber belajar. Agar diperoleh hasil yang optimal, pembelajaran bahasa dengan menggunakan ancangan komunikatif menuntut penggunaan media dan sumber belajar dengan persyaratan: (1) dapat memberikan pengalaman langsung bagi siswa untuk belajar berbahasa (reseptif maupun produktif, lisan maupun tulis); (2) merupakan fakta berbahasa (rekaman peristiwa berbahasa) atau peristiwa aktual yang dapat ditemukan siswa atau diadakan oleh guru; (3) sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan berbahasa siswa, balk di dalam maupun di luar kelas; (4) bervariasi, balk wujud (tertulis/lisan) maupun ragamnya (majalah, koran, radio, percakapan di pasar, di tempat dokter praktik, dalam rapat, dan lain-lain); dan (5) memberikan kemudahan bagi pengembangan performansi komunikatif siswa yang andal. Fakta bahasa dan berbahasa yang disajikan kepada siswa harus: (a) berguna atau dapat ditemukan setiap saat di sekitarnya;

(b) sesuai dengan tuntutan kegiatan berbahasa yang mungkin dihadapi di masyarakat; (c) bervariasi dan menantang; bermakna bagi pengembangan performansi komunikatif siswa secara optimal. g) Prinsip penilaian Pembelajaran bahasa dengan ancangan komunikatif menuntut sistem penilaian yang: (1) mengukur dengan langsung kemahiran berbahasa siswa secara menyeluruh dan terpadu, (2) mendorong siswa agar aktif berlatih berbahasa (Indonesia) secara tulis/lisan, baik produktif maupun reseptif, (3) mengarahkan kemampuan siswa dalam menghasilkan wacana lisan maupun tulisan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, standar pengembangan buku pelajaran berfokus kepada tiga aspek, yakni keberadaan isi, penyajian materi, dan bahasa dan keterbacaannya. Dengan merangkum pendapat-pendapat yang dikemukakan terdahulu, F. Pengembangan Buku Pelajaran Bahasa Indonesia

Buku pelajaran memiliki kedudukan yang sangat ideal dan strategis di dalam proses belajar mengajar. Bahkan, buku pelajaran menjadi acuan dan sekaligus acuan utama dalam proses tersebut. Dengan kedudukan yang sangat penting itulah, pengembangan buku pelajaran tidak dapat dilakukan serampangan. Buku pelajaran harus disusun dan dikembangkan berdasarkan landasan dan cara-cara yang benar. 1.Landasan Pengembangan Menurut Pusat Perbukuan (2005: 6-7), ada tiga landasan yang harus diperhatikan dalam pengembangan buku pelajaran, Untuk buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, ketiga landasan itu adalah keilmuan bahasa dan sastra, ilmu pendidikan dan keguruan, serta keterbacaan materi dan bahasa yang digunakan. 2. Landasan Keilmuan Bahasa dan Sastra Bahasa Indonesia pada hakikatnya merupakan alat yang diciptakan oleh masyarakat Indonesia untuk berkomunikasi. Dengan bahasa itu, masyarakat Indonesia bisa bergaul dengan sesamanya, menyampaikan pikirannya dan perasaan secara baik. Bahasa Indonesia memungkinkan manusia Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan kesusasteraannya. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sangat strategis bagi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia serta dalam kehidupan warga secara individual. Bahasa Indonesia mendukung seluruh aktivitas di semua segi kehidupan bangsa dan warga negara Indonesia. Tidak berlebihan pula apabila dikatakan bahasa Indonesia merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Penguasaan bahasa Indonesia yang baik oleh seseorang (siswa) merupakan keharusan dalam memperoleh berbagai kesempatan untuk mempertinggi kualitas kehidupannya. Hal tersebut sesuai dengan paparan yang dikemukakan di alam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (2006: 231) yang menyatakan sebagai berikut. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu siswa mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Dalam kaitan dengan hal tersebut, penguasaan kecakapan berbahasa Indonesia menjadi sangat penting. Pendidikan di sekolah merupakan jalur yang sangat efektif dalam upaya tersebut. Wujud penguasaan bahasa Indonesia di sekolah, adalah dengan pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia. Belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi dan belajar sastra berarti belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusaiannya. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kecakapan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis serta menimbulkan penghargaan terhadap hasil cipta manusia Indonesia. Kecakapan tersebut dimaksudkan agar siswa siap mengakses situasi multiglobal lokal yang

berorientasi pada keterbukaan dan kemasadepanan. Siswa terbuka terhadap beraneka ragam informasi yang hadir di sekitar mereka dan dapat menyaring yang berguna, belajar menjadi diri sendiri, dan siswa menyadari akan eksistensi budayanya sehingga tidak tercerabut dari lingkungannya. Sesuai dengan KTSP, tujuan umum pembelajaran bahasa Indonesia mengacu pada kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara serta sastra Indonesia sebagai hasil cipta intelektual produk budaya, yang berkonsekuensi pada fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Adapun tujuan umum pembelajaran bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. 3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. 4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa 6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (Depdiknas, 2006: 232). Oleh karena itu, di dalam pembelajarannya dikehendaki terjadinya kegiatan berbahasa dan berdasatra, yaitu kegiatan menggunakan bahasa dan bersastra sesuai dengan keperluan siswa sehari-hari. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip pendekatan komunikasi, yakni pendekatan yang mengarahkan pengajaran bahasa pada tujuan pengajaran yang mementingkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Akhlan Husen dkk (1997: 97) mengemukakan pendekatan komunikatif sebagai berikut. Titik berat pengajaran bahasa (berdasarkan pendekatan komunikatif) adalah bagaimana agar siswa dapat berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajarinya itu, bukan mengetahui tentang bahasa yang menonjolkan kaidah-kaidah kebahasaan. Dengan pendekatan komunikatif, pengajaran bahasa diharapkan dapat dikembangkan untuk menjadi menarik bagi siswa. Belajar bahasa di kelas menjadi kegiatan yang memang benar-benar bergumul dengan bahasa sebagaimana yang digunakan di dalam berkomunikasi, bahasa yang benar-benar hidup. Belajar bahasa menjadi kegiatan yang benar-benar berupa kegiatan berbahasa, menggunakan bahasa, dan bukan kegiatan meningkatkan pengetahuan mengenai bahasa. Penjelasan tentang pendekatan komunikatif juga dikemukakan Pusat Perbukuan (2006: 4) dengan mengutip gagasan dari the Council of Europe tentang gagasan baru pengajaran bahasa. siswa yang belajar bahasa tidak sekadar membutuhkan latihan yang secara sepihak banyak menekankan penguasaan struktur bahasa, tetapi seharusnya menekankan makna

bahasa sebagai kebutuhan komunikasi. Pembelajaran bahasa tidak lagi dipandang hanya sebagai penguasaan fitur-fitur fonologi, gramatikal, dan leksikal belaka yang sering dilakukan secara terpisah. Berdasarkan uraian tersebut, dalam kaitannya dengan pengembangan buku pelajaran, maka materi yang isajikan di dalamnya berupa materi-materi yang bertujuan membentuk kompetensi komunikasi (communicative competence), bukan semata-mata membentuk kompetensi kebahasaan (grammatical competence). Dengan demikian berbagai unsur bahasa, seperti kosakata, bentuk serta makna kata, bentuk serta makna kalimat, bunyi bahasa, dan ejaan, tidak disajikan secara berdiri sendiri, melainkan dijelaskan di dalam kegiatan berbahasa secara integratif dan terpadu di dalam materi keterampilan berbahasa dan bersasatra. 3. Landasan Ilmu Pendidikan dan Keguruan Landasan berikutnya adalah ilmu pendidikan dan keguruan. Pemilihan bahan, penentuan luas cakupan dan urutan isi buku pelajaran harus mempertimbangkan kaidahkaidah pendidikan dan keguruan. Hal itu misalnya mempertimbangkan sisi perkembangan diri siswa, sedangkan metode penyajiannya menyesuaikan dengan materi pelajaran maupun dengan keadaan siswa. Misalnya, siswa SD yang usianya berkisar antara 6 s.d. 12 tahun, karakteristiknya berada pada tahap concrete operations (Piaget, 1997). Jangkauan berpikir ini terbatas pada pemecahan persoalanpersoalan nyata. Siswa pada tingkat ini tidak mampu memecahkan masalah verbal yang kompleks, hipotesis, atau persoalan-persoalan yang menyangkut masa yang akan datang, khususnya untuk siswa SD kelas awal. Implikasi dari hal itu, buku pelajaran yang disusun harus mengandung masalah-masalah konkret. Mengenai ilustrasi, ukuran huruf, dan lain-lain juga perlu diperhatikan. Namun, untuk siswa SD kelas akhir kemampuan berpikir hipotetis yang sederhana sudah dapat mulai dikembangkan. Siswa SMP dan SMA/SMK dilihat dari sisi usia berkisar antara 12-15 tahun dan 15-17 tahun. Kelompok usia ini tergolong ke dalam masa adolescene pada usia itu mulai memasuki tahap formal operations (Piaget, 1997). Pada tahap ini siswa mulai mengembangkan kemampuan memecahkan masalah yang dapat diselesaikan melalui operasi logis. Hal ini ditandai dengan kemampuan siswa yang lebih baik dalam mengorganisasikan data, membuat alasan-alasan ilmiah, serta merumuskan hipotesis. Siswa juga mampu berpikir dalam jangkauan yang lebih jauh. Kalau pada tahap perkembangan sebelumnya siswa hanya mampu melihat hubungan antara bilangan dengan benda-benda konkret, dan pada tahap perkembangan berikutnya siswa mampu berpikir tentang hubungan dengan khayalan abstrak dan membuat pernyataan verbal serta. dalil-dalil. Mereka sering melibatkan diri dalam diskusi-diskusi filsafat, agama, dan moral. 4. Landasan Keterbacaan Materi dan Bahasa yang Digunakan Landasan lain adalah dari keterbacaan materi dan bahasa yang digunakan. Aspek ini berkaitan dengan pengolahan kata dan kalimat sehingga dapat memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahaminya. Panjang dan susunan kata, frase, kalimat, dan wacana, yang bagaimana yang tidak menyulitkan siswa. Begitu pula makna kata, frase, dan

kalimat, harus memudahkan siswa ketika mereka memahami isi buku tersebut. Dalam kaitan ini, ada tiga ide utama yang berkaitan dengan aspek keterbacaan. 1) Kemudahan membaca, yakni berhubungan dengan bentuk tulisan atau tifografi: ukuran huruf dan lebar spasi. 2) Kemenarikan, yakni berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide bacaan, dan keindahan gaya tulisan. 3) Kesesuaian, yakni berhubungan denan kata dan kalimat, panjang pendek, frekuensi, bangun kalimat, dan susunan paragraf (Pusat Perbukuan, 2004: 16). Adapun menurut Mintowati (2003: 23) ada tiga hal yang harus diperhatikan di dalam pemilihan bahan pengajaran: tingkat kesukaran, konteks budaya, dan kemenarikan bagi siswa. Pemilihan bahan bacaan hendaknya sesuai dengan minat siswa. Tentunya hal itu bukanlah hal yang mudah untuk memenuhinya karena siswa mempunyai minat yang berbeda-beda. Untuk mengatasinya, guru (penulis) bisa mengidentifikasi konteks budaya di lingkungan siswa dan masyarakatnya. Selain itu, bahan harus menarik perhatian siswa. Bahan bacaan yang menarik merupakan bahan yang dekat dengan kehidupan siswa, sedang hangat dibicarakan di masyarakat dan bermanfaat. Dalam bagian lain Mintowati (2003: 23) menjelaskan bahwa untuk mengukur keterbacaan suatu teks, termasuk di dalamnya buku pelajaran, seorang penulis dapat menggunakan formula keterbacaan yang dibuatt oleh Spache, Dale dan Chall, Gunning, Fry, Raygor, atau Flesh. F. Langkah-langkah Pengembangan Buku Teks Menurut Adjat Sakri (tth: 17), langkah-langkah di dalam menulis buku pelajaran adalah sebagai berikut: Menentukan calon pembaca buku ajar. Mencari sumber bahan. Merumuskan tujuan karangan (penulisan buku ajar). Mengenali kendala. Menentukan isi, tujuan, dan sasaran. Memperkirakan beban pembaca (siswa). Sementara itu, menurut Akhlan Husen dkk (1998: 199-210), terdapat sembilan langkah yang harus diperhatikan oleh para penulis buku pelajaran:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

penentuan pendekatan yang akan digunakan, perumusan tujuan pembelajaran khusus, pemilihan bahan pengajaran, penetapan rencana pelaksanaan, penentuan metode pengajaran, pemilihan kmedia pengajaran, penentuan alokasi waktu, penilaian proses, dan pemilihan bahasa baku.

Adapun Pusat Perbukuan (2005: 1) menyarankan sebelas langkah di dalam pengembangan buku pelajaran. Kesebelas langkah itu adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. merencanakan pendekatan sistem, melakukan analisis kebutuhan, mendeskripsikan kelompok sasaran, bekerja sama dengan ahli bidang studi, menuliskan kompetensi yang dapat diukur, melakukan analisis piramida, mengidentifikasi jenis belajar, pemilihan metode dan media, serta peta belajar, menentukan struktur pelajaran dan desain pertanyaan, membuat lay-out halaman,

10. melakukan penulisan naskah yang sesungguhnya, 11. melakukan evaluasi. Berdasarkan pendapat-pendapat itu, secara umum langkah-langkah pengembangan buku pelajaran adalah sebagai berikut: (1) menentukan kelompok sasaran (tingkat sekolah dan kelas), (2) mentukan kompetensi dasar yang akan dikembangkan, (3) merumuskan struktur isi buku, (4) mengumpulkan bahan-bahan pelajaran, (5) melakukan penulisan naskah, (6) melakukan evaluasi serta uji coba lapangan, dan (7) melakukan perbaikanperbaikan. 1. Menentukan Sasaran Pembaca Menulis buku pelajaran termasuk ke dalam proses komunikasi. Agar komunikasi mencapai tujuaruiya, terlebih dulu penulis harus mengenal karakteristik pembacanya (siswa). Misalnya, kecakapan dalam membacanya, tingkat kemampuan berbahasa dan pengetahuannya, minatnya pada materi pembelajaran, serta semangat belajarnya (Sakri, tth. 18). Penelitian yang dilakukan McConnell (1980, h 285) menunjukkan bahwa kebanyakan siswa menyenangi buku pelajaran yang sederhana, yang tersusun dengan baik, setali, dan menarik. Sebaliknya, pengajarnya tidak suka akan buku seperti itu, bahkan tidak mempercayainya. Keluhan yang disampaikan oleh para pengajar atas buku McConnell menyatakan bahwa buku itu terlalu sederhana. Pendapat seperti itu wajar karena

pengajarterlalu banyak tabu akan isi buku dan sukar baginya untuk menempatkan diri pada posisi kemampuan siswa. Menurut Adjat Sakri (tth. : 19), ada beberapa cara untuk mengetahui kemapuan para siswa. Pertama, berdasar pengalaman penulis itu sendiri selama mengajar. Kedua, penulis dapat pula menanyakan pengalaman sejawat dalam menghadapi para siswa. Cara lain, merupakan gabungan keduanya. Keterangan yang objektif mengenai kemapuan para siswa juga dapat diperoleh lewat penyebaran kuesioner. Saran yang dikemukakan Pusat Perbukuan (2005: 5) berkenaan dengan identifikasi kemampuan para siswa meliputi beberapa hal berikut. 1) Bagaimana sikap siswa terhadap mata pelajaran yang akan Anda tulis?

2) Bagaimana motivasi siswa? Apakah sekadar ingi terhindar dari nilai lima dalam rapor atau ingin mempelajari secara mendalam? 3) 4) Adakah hal-hal yang menarik bagi mereka? Apa saja yang menghambat proses belajar mereka?

2. Menentukan Kompetensi Dasar Kompetensi berarti pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan dan bertindak (Santosa, dkk., 2008: 3.7). Kompetensi mendeskripsikan tentang hal yang diharapkan dapat dilakukan oleh siswa setelah mempelejari suatu pokok bahasan atau tema tertentu. Kompetensi itu digunkan untuk menjabarkan pokok bahasan atau tema, merancang kegiatan belajar yang diperlukan, dan menulis tes. Kompetensi belajar memberitahukan kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan (Pusat Perbukuan, 2005: 5). Untuk itu, penulis buku harus melakukan telaah kurikulum untuk dapat memahami kedalaman dan keluasan materi yang dikehendaki kurikulum. Pada akhirnya, buku pelajaran diharapkan benar-benar merupakan pengejawantahan kurikulum atau berfungsi sebagai wahana dan pelaksana kurikulum. Dalam hal inilah buku pelajaran harus benar-benar mengikuti, menuruti, dan melaksanakan kompetensi dasar yang terkandung di dalam kurikulum (Husen, dkk., 1997: 220). Dalam KTSP bahasa Indonesia, kompetensi dasar itu terbagi ke dalam empat aspek keterampilan berbahasa: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Setiap aspek pada umumnya terbagi ke dalam 2-3 kompetensi dasar. Masing-masing kompetensi dasar diturunkan ke dalam beberapa bagian, sebagai perinciannya. Tugas penulis dalam hal ini adalah mengembangkan kompetensi dasar itu ke dalam pengalaman belajar, alokasi waktu, sumber bahan, hingga sistem pengujian atau penilaiannya. Pusat Perbukan (2005: 14-17) menjelaskan aspek-aspek tersebut sebagai berikut. 1) Pengalaman belajar berhubungan dengan bagaimana, di mana, dan dari sumber belajar yang mana siswa belajar. Sifat pengalaman belajar komprehensif, tetapi juga khas. Artinya, kegiatan belajar siswa bukan sekadar mendengarkan ceramah dan

menghapal, akan tetapi siswa harus mampu menghayati, mengalami sendiri, dan menggunakannya sehingga bermakna. Kelas tidak berarti ruang yang dibatasi oleh dinding segi empat, beratap, dan berjendela, tetapi juga tempat belajarnyata, seperti pasar, musium, dan kantor pos. Pembelajarannya dapat berupa mendemonstrasikan, mempraktikan, mensimulasikan, mengadakan eksperimen, menganalisis, mengaplikasikan, menemukan, menghayati, meneliti, menelaah, wawancara, dan lainlain. Pengalaman yang dapat diciptakan adalah siswa diberit tugas berbicara di depan kelas tentang strategi mengembangkan usaha dagang dikaitkan dengan peluang yang muncul di masyarakat. 2) Alokasi waktu pembelajaran suatu kompetensi dasar tertentu diperhitungkan dari hasil analisis dan atau pengalaman penggunaan jam pembelajaran untuk mencapai suatu kemampuan dasar, baik itu di kelas maupun di luar kelas. Penentuan waktu ini tergantung oada situasi, cakpan, serta kedalaman materinya. Semakin rumit, banyak, serta luas suatu materi berarti semakin banyak waktu yang diperlukan; begitu pula sebaliknya. Implikasinya, alokasi waktu merupakan salah satu komponen penulisan buku pelajaran yang harus diperhitungkan penulis. 3) Sumber bahan bukan hanya buku pelakaran, tetapi juga yang terkait dengan pembelajaran, seperti sarana, prasarana, bentuk, maupun tempat (seperti pasar, wisata, dan musium). Sumber belajar yang dapat digunakan siswa adalah sebelum berbicara di dean kelas, misalnya, mereka mengamati dan mewawancari pedagang di pasar sebagai bahan dalam mengembangkan usaha dagang dikaitkan dengan peluang yang muncul di masyarakat. 4) Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Kegiatan penilaian mengandung dua tujuan utama, yaitu: a) untuk mengetahui tingkat penguasaan atau pencapaian tujuan (indikator) pelajaran yang telah dirumuskan; b) untuk menentukan tingak lanjut berikutnya (follow up) yang mungkin diberikan atas tingkat pencaian tujuan pelajaran oleh siswa. Bentuk evaluasi dapat dikategorikan menjadi dua, yatiu tes dan nontes. Bentuk instruemn tes meliputi: pilihan ganda, uraian objektif, uraian non-objektif, jawaban singkat, menjodohkan, benar-salah, unjuk kerja dan portofolio, sedangkan bentuk instrumen nontes meliputi wawancara, inventori, dan pengamatan. Guru diharapkan menggunakan instrumen yang bervariasi agar diperoleh data tentang pencapaian belajar siswa yang akurat dalam semua ranah. Pemilihan bentuk-bentuk penilaian tersebut harus memperhatikan kemampuankemampuan yang dapat mendorong kemampuan penalaran dan kreativitas siswa serta sesuai dengan ciri khas dari mata pelajaran yang bersangkutan.Penulisan bentuk penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan dinilai sehingga memudahkan dalam pembuatan soal-soalnya.

Beberapa kriteria atau hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian adalah sebagai berikut. a) Penilaian harus mencakup tiga aspek kemampuan, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. b) Menggunakan berbagai cara penilaian pada waktu kegiatan belajar sedang berlangsung, misalnya: mendengarkan, observasi, mengajukan pertanyaan, mengamati hasil kerja siswa, memberikan tes. c) Pemilihan cara dan bentuk penilaian berdasarkan atas tuntutan tujuan atau indikator pembelajaran. d) Mengacu kepada tujuan dan fungsi penilaian, misalnya pemberian umpan balik, pemberian informasi kepada siswa tentang tingkat keberhasilan belajarnya, memberikan laporan kepada orang tua. e) Mengacu kepada prinsip diferensiasi, yakni memberikan peluang kepada siswa untuk menunjukkan apa yang diketahui, yang dipahami, dan mampu dilakukannya. f) Tidak bersifat diskriminasif (tidak memilih-milih mana siswa yang berhasil dan mana yang gagal dalam menerima pembelajaran). 3. Merumuskan Struktur Buku Struktur atau organisasi buku pelajaran tetap mengikuti struktur tata tulis pada umumnya, yakni diawali dengan pendahuluan, isi, dan penutup. Selayaknya sebuah buku, buku pelajaran merupakan suatu kesatuan yang bermakna. Kebermaknaan ini ditandai oleh adanya ikatan organisasi. Oleh karena itu, pada awal tulisan, pelajaran dimulai dengan pendahuluan berupa informasi umum tentang buku, misalnya penyajian tujuan umum yang hendak dicapai setelah mempelajari buku, cara penggunaan buku, serta cara pengerjaan latihan atau soal. Tahap berikutnya adalah memilih materi, menyajikan materi, serta menggunakan bahasa dan keterbacaan sebagai isi buku pelajaran. Hal yang harus diperhatikan adalah pilihlah bahan yang menarik, mudah diikuti, serta mudah dipahami pada awal pelajaran. Misalnya, berupa cerita lucu yang berisi kritik sosial serta mendorong siswa untuk menafsirkannya. Tahap terakhir, buku pelajaran ditutup dengan latihan atau tes sumatif yang menggambarkan kemampuan siswa secara komprehensif setelah mempelajari buku tersebut. Kekomprehensifan tampak dari terkembangkannya kemampuan kognitif, psikomotorik, serta afektif secara terpadu (Pusat Perbukuan, 2005: 73). Dalam sumber lain, Pusat Perbukuan (2005: 16-17) memberikan rambu-rambu tentang struktur penulisan buku pelakaran, yakni meliputi pendahuluan, penyajian isi, rangkuman, latihan, dan tindak lanjut. Selanjutnya, Pusat Perbukuan (2005: 18-19) menyarankan hal-hal berikut dalam hal lay out atau tata letaknya. 1) Gambar di Awal Bab

Bagian awal bab merupakan tempat yang harus sangat diperhatikan baik oleh penulis maupun petugas lay-out. Bagian itu ada baiknya diisi dengan gambar yang berfungsi sebagai epitome, yaitu uraian atau gambar konkret, sederhana, mudah ditangkap maksudnya oleh siswa, dan yang lebih penting berkaitan dengan materi yang akan dibahas dalam bab tersebut. Epitome memungkinkan siswa ikut berpikir mencari jawabannya walaupun is belum memahami materi sesungguhnya. Dengan demikian, gambar itu akan melibatkan siswa secara aktif semenjak awal bab. 2) Uraian Materi Standar Materi standar artinya materi yang berlaku untuk siswa rata-rata. Buku pelajaran s harus mengandung materi standar tersebut. Semua uraian yang diperlukan untuk menyampaikan materi itu terdapat dalam buku. Dengan perkataan lain, buku pelajaran bersifat self contained. Lay out halaman harus dibuat sedemikian rupa sehingga uraian materi standar terns mengalir tanpa terganggu oleh hal-hal lain yang sifatnya hanya membantu. 3) Kegiatan Kegiatan artinya suatu petunjuk siswa untuk aktif melakukan pekerjaan praktis, seperti percobaan, diskusi kelompok, dan simulasi. Tujuannya agar siswa menerima materi secara lebih bermakna daripada sekadar mengikuti secara pasif uraian materi yang ada. Tampilan kegiatan harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenal oleh siswa. Dengan adanya kegiatan, buku pelajaran sekaligus akan berfungsi sebagai panduan kegiatan belajar-mengajar. Akan tetapi, perlu diingatkan kepada bagian lay out bahwa buku itu bersifat self contained, artinya semua informasi esensial yang diperlukan siswa terdapat di dalamnya. Kalaupun kegiatan-kegiatan itu tidak sempat dilakukan sampai tuntas atau bahkan tidak dilakukan sama sekali, uraian materi standar akan memberikan materi esensial secara lengkap kepada siswa. Dengan demikian, kegiatan, jendela, dan epitome hanya bersifat membantu agar materi yang disampaikan itu dapat diterima secara bermakna oleh siswa dan berbagai potensi siswa dapat berkembang secara optimal. 4). Jendela dan Gambar Di samping kegiatan, akan ada juga jendela yang berisikan semacam kilasan iptek yang mengandung data otentik ataupun peristiwa yang kontekstual. Fungsinya untuk membuat buku senantiasa terlihat segar dan menyenangkan dari halaman ke halaman. Gambar-gambar penguat informasi dipilih sedemikian rupa sehingga menggelitik imajinasi dan membangkitkan minat siswa secara terus-menerus. Substansi dari gambar itu sendiri dapat dibuat menakjubkan dan menimbulkan kekaguman yang mendalam. Tata letaknya dibuat sedemikian rupa sehingga tidak monoton baik ukuran maupun posisinya terhadap teks.

BAB III

METODE PENELITIAN A.Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif. Peneliti melakukan eksplorasi terhadap buku teks yang diteliti. Hal ini dilakukan karena belum adanya penelitian yang secara spesifik mengenai penelitian dan penilaian buku teks yang berbasis nilai, budaya, dan karakter bangsa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keadaannya. Metode kualitatif ini, merupakan multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan (Ratna, 2008: 47). Pada penelitian metode kualitatif, peneliti tidak bermaksud untuk menjawab suatu hipotesis, tetapi ditekankan untuk lebih memahami masalah yang diteliti. Sesuai dengan metode ini, penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan, menyusun, memeriksa, mengklarifikasi, menganalisis, menginterpretasikan data, serta memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi teks. B.Langkah-langkah Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan dan dilalui dalam penelitian ini, setelah penentuan masalah yang akan diungkap serta metodologi yang digunakan dalam menyelesaikan masalah tersebut, adalah sebagai berikut: 1. menentukan kerangka teori untuk masing-masing pendekatan yang akan digunakan dalam menganalisis permasalahan yang diungkap, sesuai dengan wilayah persoalan yang akan dikaji; 2. memahami dan menganalisis hubungan antara isi buku teks dengan analisis interteks; 3. mempelajari dan menganalisis konteks isi, penyajian, bahasa, dan kegrafikaan dari buku teks tersebut dengan menggunakan sejumlah pendekatan dan penilaian yang telah dibakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP; 4. menyusun laporan penelitian. Adapun jadwal kegiatan penelitian ini secara lebih rinci akan mengikuti alur sebagai berikut: Kegiatan

SubkegiatanDiskusi internal Riset awal kepustakaan Penulisan draf wawancara dan penentuan lokasi penelitian Persiapan logistik penelitian

Waktu 1-10 Mei 2010 15 Mei-15 Juni 2010 16-23 Juni 2010 24-30 Juni 2010

Riset pendahuluan

Pelaksanaan

Pelaporan

Publikasi

Riset kepustakaan Pelaksanaan wawancara dan observasi lapangan Pengorganisasian data dan analisis Penulisan laporan penelitian Penyiapan buku model berbasis nilainilai dan karakter Presentasi laporan dan diskusi Penulisan artikel jurnal terakreditasi nasional

1-31 Juli 2010 1-31 Agustus 2010 1-30 September 2010 1-31 Oktober 2010 1-15November 2010 1-15 Desember 2010 1631 Desember 2010

1. C. Subjek Penelitian Subjek penelitian yang digunakan adalah buku teks Bahasa Indonesia Sekolah Dasar Kelas 4, 5, dan 6. Buku teks sebagai subjek penelitian diambil atau diunduh dari http://bse.depdiknas.go.id/. Subjek yang diambil merupakan buku teks yang digunakan oleh sekolah-sekolah dasar yang ada di Indonesia yang telah lolos peni