kerangka pengukuran risiko sistemik

38
1 OCCASIONAL PAPER KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK Cicilia A. Harun Sagita Rachmanira R. Renanda Nattan Desember, 2015 OP/ 4 /2015 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Upload: voque

Post on 12-Jan-2017

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

1

OCCASIONAL PAPER

KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

Cicilia A. Harun Sagita Rachmanira R. Renanda Nattan

Desember, 2015

OP/ 4 /2015

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper

ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan

merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Page 2: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK*

Cicilia A. Harun†, Sagita Rachmanira‡, dan Raquela Renanda§

Abstrak

Mitigasi risiko sistemik tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan single indicator atau 1 (satu) metode tertentu, tetapi

diperlukan serangkaian alat ukur yang komprehensif. Sehubungan dengan hal tersebut, dikembangkan kerangka pengukuran risiko sistemik sebagai kerangka kerja identifikasi, pemonitoran, dan pengukuran risiko yang dapat menjadi acuan dalam pengawasan dan perumusan kebijakan makroprudensial, termasuk menjadi referensi dalam pengembangan alat ukur risiko sistemik ke depan. Dalam kajian ini, kerangka pengukuran risiko sistemik disusun dengan mencakup 3 (tiga) aspek utama, yaitu tipe alat ukur risiko sistemik, dimensi alat ukur, dan alat ukur didasarkan pada fase pembentukan risiko sistemik. Selain itu, kajian ini membahas pula mengenai pembentukan risiko sistemik dalam kaitannya dengan siklus keuangan. Secara umum, alat ukur risiko sistemik yang baik diharapkan mampu menangkap sinyal imbalances dan dapat menilai potential losses.

Key word : systemic risk, measurement of systemic risk,

macroprudential

JEL Classification : E58, G01

* Pendapat dalam paper ini tidak merepresentasikan stance kebijakan Bank Indonesia.

Penulis bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan yang tidak disengaja. † Peneliti Ekonomi Senior, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:

[email protected] ‡ Peneliti Ekonomi, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:

[email protected] § Research Fellow, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia, email:

[email protected]

Page 3: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

3

I. PENDAHULUAN

Risiko sistemik merupakan potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya

gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan

karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity),

keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta

kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk

mengikuti siklus perekonomian (procyclicality)1. Dalam beberapa penelitian risiko

sistemik didefinisikan secara bervariasi tergantung dari kepentingan penelitian

ataupun implementasi kebijakan. Umumnya, risiko sistemik didefinisikan dari 3

(tiga) sudut pandang yang berbeda, yakni (i) magnitude sumber risiko, sebagai

contoh: adanya shock yang terjadi secara tiba-tiba dan probabilitas terjadinya risiko

sistemik; (ii) pembentukan risiko (transmisi), seperti interconnectedness

antarelemen dalam sistem keuangan dan contagion/domino effect; serta (iii) dampak

yang ditimbulkan, yaitu dengan mengaitkan dampak risiko sistemik ke

perekonomian dan loss of confidence; atau gabungan di antara ketiga sudut pandang

tersebut.

Pembahasan mengenai risiko sistemik yang dilakukan oleh Group of Ten

(2001) merupakan contoh pendefinisian risiko sistemik dari sudut pandang sumber

risiko dan dampak yang ditimbulkan. Dalam penelitian tersebut risiko sistemik

didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya value ekonomi

atau hilangnya kepercayaan dan peningkatan ketidakpastiaan dalam sistem

keuangan yang dapat menimbulkan efek negatif bagi perekonomian. Risiko sistemik

dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa terduga, atau terjadi secara perlahan-lahan

pada saat absennya respons kebijakan yang tepat. Adapun efek negatif risiko

sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada

sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset. Penelitian lain yang

juga menekankan risiko sistemik berdasarkan sumber dan dampak adalah Billio et

al. (2010) dan ECB (2010). Masing-masing dalam penelitiannya mendefinisikan

risiko sistemik sebagai kombinasi dari keadaan-keadaan yang mengancam stabilitas

atau kepercayaan publik terhadap sistem keuangan serta sebagai risiko instabilitas

keuangan yang menyebar sehingga dapat melumpuhkan fungsi sistem keuangan

1 Berdasarkan definisi dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial.

Page 4: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

4

pada titik tempat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan menderita kerugian.

Sementara itu, penekanan yang berbeda disampaikan oleh Blancher et al. (2013).

Dalam penelitiannya, Blancher membahas risiko sistemik berdasarkan fase

terjadinya, yaitu build up phase, shock materialized phase, serta amplification and

propagation phase.

Setelah merujuk pada hasil penelitian yang disampaikan di atas, wajar

apabila kemudian upaya mitigasi risiko sistemik menjadi perhatian utama dalam

menjaga stabilitas sistem keuangan. Selain hasil penelitian tersebut, setidaknya

terdapat dua argumentasi pendukung lainnya. Pertama, karakteristisk sistem

keuangan yang rentan akan risiko sistemik (financial fragility); dan kedua

pengalaman krisis keuangan, khususnya sistem keuangan di Indonesia yang terjadi

pada 1997/1998 dan global financial crisis (GFC) tahun 2008. Terkait dengan

financial fragility, dapat disampaikan sebagai berikut. Pertama, fungsi utama sistem

keuangan adalah melakukan alokasi sumber daya (resources) melalui kegiatan

intermediasi. Sebagai lembaga intermediasi, struktur institusi keuangan yang

cenderung mengandalkan sumber dana jangka pendek untuk memberikan

pembiayaan jangka panjang mengakibatkan institusi keuangan rentan akan risiko

yang muncul akibat maturity mismatch. Sementara itu, dari struktur permodalan,

ketika modal institusi keuangan dapat dipenuhi dengan penerbitan utang, institusi

keuangan berpotensi terekspos risiko akibat eksposur leverage. Kedua, adanya

interkoneksi antarelemen dalam sistem keuangan, baik melalui physical exposure,

melalui system settlement, maupun melalui information sharing (penyebaran

informasi) pelaku pasar dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu institusi

keuangan menjadi cepat menyebar dan berpotensi menimbulkan dampak sistemik.

Adapun karakteristik ketiga yang terkait dengan financial fragility sistem keuangan

ialah adanya teori asymmetric information dan pandangan myopic dalam

pengambilan keputusan, yaitu keputusan diambil berdasarkan ketidakpastian akan

ekspektasi nilai aset pada masa depan yang tidak terlalu lama.

Selain faktor financial fragility, upaya mitigasi risiko sistemik semakin

disadari oleh otoritas dan pelaku pasar keuangan seiring terjadinya krisis keuangan

yang dapat mengganggu perekonomian. Indonesia mengalami krisis keuangan yang

memerlukan biaya pemulihan yang cukup tinggi pada 1997/1998 serta turut

mengalami tekanan yang signifikan pada saat GFC memuncak pada November

2008. Interconnectedness atau keterkaitan antarelemen sistem keuangan

mengakibatkan dampak krisis semakin cepat meluas, tidak hanya dalam sistem

Page 5: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

5

keuangan, tetapi hingga ke sektor riil, sosial, dan politik. Akibatnya, biaya recovery

(pemulihan) krisis yang ditimbulkan pun semakin tinggi. Guna merespons hal

tersebut, otoritas keuangan di beberapa negara mulai memprioritaskan upaya

untuk meningkatkan ketahanan institusi dan pasar keuangan serta upaya untuk

membatasi build-up risiko sistemik untuk mencegah terjadinya krisis. Hal tersebut

dilakukan sejalan dengan berkembangnya pendekatan makroprudensial dalam

mewujudkan stabilitas sistem keuangan. Instrumen kebijakan makroprudensial,

yang dinilai mampu melengkapi kebijakan moneter dan mikroprudensial, mulai

diimplementasikan di beberapa negara dengan ultimate goal meminimalkan risiko

sistemik. Sementara itu, guna meningkatkan ketahanan institusi keuangan,

otoritas mulai mengembangkan sistem pengawasan dengan pendekatan

makroprudensial.

Perkembangan serupa juga terjadi dalam sistem keuangan Indonesia. Sebagai

otoritas keuangan yang memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, Bank

Indonesia (BI) merumuskan kebijakan makroprudensial dan melakukan kegiatan

pengawasan makroprudensial dengan tujuan utama mitigasi risiko sistemik.

Rangkaian kegiatan tersebut sebagaimana tercermin dalam Kerangka Kebijakan

Makroprudensial (Harun & Rachmanira, 2013; Harun & Rachmanira, 2015).

Berdasarkan kerangka kebijakan yang telah disusun, mitigasi risiko sistemik

dilakukan melalui strategi operasional pengawasan makroprudensial, yakni

monitoring, stress identification, risk assessment, dan risk signaling; serta

pengembangan instrumen kebijakan yang tepat.

Berbeda dengan kebijakan moneter yang memiliki indikator dan target

pencapaian kebijakan yang terukur (seperti nilai tukar dan suku bunga), indikator

dan target pencapaian kebijakan makroprudensial relatif sulit untuk diukur.

Pencapaian stabilitas sistem keuangan tidak dapat diukur hanya dengan

menggunakan single indicator, tetapi diperlukan pula indikator-indikator

pendukung. Begitu juga dengan upaya mitigasi risiko sistemik. Dalam mencegah

build-up risiko sistemik, diperlukan serangkaian indikator monitoring dan metode/

tools pengukuran risiko sistemik yang mampu menangkap sinyal imbalances dan

yang dapat menilai potential losses. Hal itu sejalan dengan penelitian BCBS (2012)

yang menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada metode kuantitatif (model)

yang secara komprehensif dapat mengukur risiko sistemik pada sistem keuangan,

selain model dan metodologi yang menilai satu atau beberapa aspek risiko sistemik

secara terpisah.

Page 6: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

6

Paparan di atas menjadi latar belakang kajian ini. Tujuan kajian ini adalah

pengidentifikasian indikator monitoring dan metode/tools pengukuran risiko

sistemik. Adapun kontribusi utama kajian ini ialah menghasilkan kerangka kerja

identifikasi, monitoring, dan pengukuran risiko sistemik yang dapat menjadi acuan

dalam pengawasan dan perumusan kebijakan makroprudensial di BI, yang

selanjutnya disebut dengan kerangka pengukuran risiko sistemik/KPRS

(systemic risk measurement framework). Selain alasan tersebut, identifikasi juga

diperlukan sebagai referensi dalam pengembangan indikator dan metode/tools ke

depan. Referensi ini diperlukan untuk memastikan agar pengukuran risiko sistemik

dilakukan dengan indikator dan metodologi yang tepat sehingga tidak menimbulkan

interpretasi yang keliru—misalnya dalam bentuk bias, over-estimation, atau under-

estimation—terhadap risiko sistemik yang terjadi di sistem keuangan. Kekeliruan

pengukuran risiko sistemik juga dapat terjadi jika cakupan penilaian tidak memadai

untuk dapat menarik simpulan mengenai risiko sistemik.

Pembahasan dalam kajian diawali dengan ulasan mengenai karakteristik alat

ukur risiko sistemik yang meliputi indikator monitoring dan metode pengukuran.

Selanjutnya, pembahasan difokuskan pada penyusunan KPRS di BI yang secara

umum dikelompokkan berdasarkan tipe alat ukur, dimensi alat ukur, dan fase

pembentukan risiko sistemik. Sementara itu, bahasan mengenai fase pembentukan

risiko sistemik dari dimensi time-series yang dikaitkan dengan siklus keuangan

akan diulas pada bagian selanjutnya. Kajian juga dilengkapi dengan informasi

mengenai metode pengukuran risiko sistemik yang digunakan oleh beberapa bank

sentral pada bagian terakhir.

Page 7: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

7

II. KARAKTERISTIK ALAT UKUR RISIKO SISTEMIK

Risiko sistemik adalah risiko yang berasal dan menular melalui sektor

finansial, antara lain, akibat kurangnya solvabilitas atau buffer likuiditas pada

institusi finansial yang berpotensi menimbulkan dampak yang parah pada

intermediasi finansial dan ekonomi riel (Blancher et al., 2013). Dalam penelitian

yang sama, risiko sistemik diidentifikasi terbentuk melalui 3 (tiga) fase, yang setiap

fasenya diperlukan alat ukur yang berbeda-beda. Pertama adalah fase build up

dengan gejala overheating pada sistem keuangan yang ditandai dengan boom (harga)

aset, pertumbuhan kredit yang konsisten tinggi, atau perkembangan financial

innovation yang cepat. Alat ukur risiko sistemik pada fase ini difokuskan untuk

menilai kemungkinan (probabilitas) terjadinya dampak sistemik dan indikator

pendeteksian krisis keuangan secara dini (early warning indicator). Ciri khas

metodologi dalam fase ini adalah fokus pada sektor tertentu dalam sistem keuangan

atau fokus pada sebuah indikator yang mewakili perilaku ambil untung dari pelaku

pasar. Contoh pengukuran dalam fase ini adalah pengukuran probabilitas

terjadinya krisis dengan menggunakan kinerja sektor perbankan dan penggunaan

indikator rasio kredit terhadap GDP untuk menilai siklus keuangan.

Tahap kedua adalah fase shock materialized. Fase ini merupakan fase awal

krisis yang ditandai dengan munculnya shock/tekanan pada sistem keuangan

(contohnya rasio GDP/fiscal shock, tekanan nilai tukar, tekanan harga properti,

atau kegagalan salah satu systemically-important financial institutions (SIFI)). Alat

ukur risiko sistemik pada fase ini difokuskan pada asesmen terhadap potensi

kerugian dalam sistem keuangan maupun sektor riel dengan asumsi terjadi stres

atau kegagalan. Metode penilaian yang telah mulai banyak digunakan oleh otoritas

keuangan maupun institusi keuangan dalam mengukur gap atau selisih dari potensi

kerugian dalam kondisi stres atau default terhadap kemampuan untuk menyerap

risiko yang diwakili oleh buffer likuiditas atau permodalan. Metodologi yang telah

sering diimplementasikan oleh otoritas keuangan dan institusi keuangan untuk

mengukur risiko sistemik jika sistem keuangan memasuki fase ini adalah metode

loss given default atau model stress testing.

Fase terakhir adalah fase amplification and propagation yang merupakan

meluasnya dampak krisis, baik antara institusi keuangan, pasar keuangan,

maupun sektor lain, bahkan hingga sistem keuangan negara lain. Alat ukur risiko

Page 8: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

8

sistemik pada fase ini difokuskan pada interconnectedness dan konsentrasi

eksposur dalam sistem keuangan, potensi fire sale terhadap aset-aset keuangan,

dan asesmen crossborder exposures. Dengan kata lain, metode pengukuran yang

paling tepat, antara lain, adalah (1) metode yang dapat memberikan penilaian

mengenai dampak sistemik sebagai akibat kegagalan salah satu elemen sistem

keuangan, atau yang disebut analisis dampak sistemik (systemic impact analysis);

serta (2) metode penilaian tingkat kerugian sebagai akibat terjadinya penularan

(contagion analysis).

Tabel 1. Metode Pengukuran untuk Tiap Fase Penyebaran Risiko Sistemik

Fase Metode Pengukuran/Penilaian

Build up 1. Probabilitas terjadinya krisis 2. Early Warning Indicator

Shock materialized

(systemic event)

1. Loss Given Default 2. Stress Testing

Amplification and

propagation

1. Analisis Dampak Sistemik 2. Contagion Analysis

Gambar 1. Tahap Penyebaran Risiko Sistemik

Sementara dalam penelitian lain (Gunadi et al., 2014), transmisi

terbentuknya risiko sistemik dijelaskan melalui sudut pandang yang berbeda, yakni

melalui jalur balance sheet, financial market, real sector, infrastructure, dan market

confidence (lihat Gambar 2). Identifikasi alat ukur dapat dilakukan dengan

menggunakan indikator yang tersedia di tiap-tiap jalur penyebaran risiko tersebut,

sebagai contoh, dalam jalur balance sheet digunakan indikator neraca institusi

build up

phase

amplification

&

propagation

shock

materialization

(Blancher,et al, 2013)

Page 9: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

9

keuangan, dalam jalur financial market (pasar keuangan) digunakan indikator

indeks harga di pasar keuangan, dalam jalur real sector (sektor riel) digunakan

kinerja korporasi dan rumah tangga, dalam jalur infrastruktur digunakan indikator

sistem pembayaran, dan dalam jalur market confidence digunakan indikator tingkat

kepercayaan masyarakat yang dapat diperoleh dari survei.

Sumber: Gunadi et. al. (2014)

Gambar 2. Transmisi Risiko Sistemik

Selanjutnya, berdasarkan kajian teoretis, pembahasan mengenai

karakteristik alat ukur risiko sistemik dapat dijelaskan melalui dua pendekatan,

yaitu indikator pemonitoran (monitoring) dan metode/tools pengukuran sebagai

berikut.

2.1 Indikator Pemantauan (Monitoring)

Indikator merupakan sarana yang digunakan untuk monitoring suatu kondisi

atau perkembangan. Dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan melalui

mitigasi risiko sistemik, indikator dapat digunakan sebagai sarana monitoring untuk

Page 10: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

10

identifikasi sinyal imbalances (ketidakseimbangan) dalam pengawasan

makroprudensial ataupun sebagai sarana monitoring dalam implementasi instrumen

kebijakan makroprudensial. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai

indikator mempengaruhi keakuratan pengawasan dan ketepatan implementasi

kebijakan. Berdasarkan pendapat Wolken (2013), indikator dalam proses identifikasi

pembentukan risiko sistemik hendaknya memenuhi persyaratan indikator yang

baik, yaitu sebagai berikut:

(i) relevance (relevan), yang berarti memiliki kemampuan untuk menggambarkan

kondisi perekonomian real dan sistem keuangan dengan benar;

(ii) collectable (dapat dikumpulkan/diperoleh), yakni indikator yang dapat

digunakan secara kontinyu dalam jangka waktu panjang;

(iii) comprehensive and dynamic (komprehensif dan dinamis), yang berarti indikator

dapat mencakup seluruh sistem keuangan dan dapat berubah sesuai dengan

perkembangan waktu;

(iv) forward looking (berorientasi ke masa depan), yang merupakan early warning

indicators sehingga memberikan waktu yang cukup bagi otoritas untuk

mengambil tindakan; serta

(v) accurate (akurat) yang berarti memiliki kesalahan paling kecil dalam memberi

sinyal, termasuk sinyal yang salah. Berikut detail pembahasan karakteristik

indikator monitoring risiko sistemik.

2.1.1 Indikator Monitoring Berdasarkan Arah

Abel & Bernanke (2001) mengelompokkan indikator berdasarkan arah yang

menggunakan siklus bisnis sebagai referensi, yaitu sebagai berikut.

a. Procyclical indicator

Sumber: KSK No.25 (2015)

Gambar 3. Contoh Perilaku Procyclicality dalam Sistem Keuangan Indonesia

Page 11: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

11

Procyclical indicator adalah indikator yang bergerak searah dengan

pergerakan siklus bisnis atau kegiatan perekonomian agregat, baik ketika terjadi

ekspansi maupun kontraksi. Salah satu contoh indikator yang memiliki sifat

prosiklikal adalah pertumbuhan kredit perbankan. Berdasarkan Kajian Stabilitas

Keuangan (KSK) No. 25 tahun 2015, perbankan Indonesia mengalami perlambatan

pertumbuhan kredit hingga akhir 2015 sebagai akibat dari ketidakpastian dan

perlambatan ekonomi global dan domestik. Adanya perilaku prosiklikal antara

pertumbuhan kredit dan laju perekonomian ini ditunjukkan dengan penurunan laju

pertumbuhan aset, salah satunya melalui peningkatan lending standard untuk

menahan penyaluran kredit.

b. Countercyclical indicator

Selain indikator yang bergerak searah, terdapat indikator yang bergerak

berlawanan dengan siklus bisnis atau kegiatan perekonomian agregat, baik ketika

terjadi ekspansi maupun kontraksi. Indikator itu disebut dengan indikator

countercyclical. Salah satu contoh indikator yang memiliki sifat countercyclical

adalah non-performing loan (NPL). Ketika perekonomian melambat, risiko kredit

perbankan akan meningkat akibat penurunan kemampuan masyarakat untuk

membayar kredit.

c. Acyclical indicator

Indikator acyclical merupakan indikator yang bergerak tanpa adanya

hubungan yang jelas dengan siklus bisnis. Indikator itu jarang ditemukan karena

dinilai kurang mampu untuk menjelaskan behavior atau keadaan dalam sistem

keuangan.

2.1.2 Indikator Pemonitoran (Monitoring) Berdasarkan Waktu

Berdasarkan waktu interpretasi, yaitu dengan membandingkan turning point

(peak dan trough) indikator dengan turning point siklus bisnis, Abel dan Bernanke

(2001) mengelompokkan indikator menjadi tiga kelompok sebagai berikut.

a. Leading indicator

Sebuah indikator dikatakan sebagai leading indicator apabila indikator

tersebut bergerak terlebih dahulu sebelum perekonomian agregat bergerak, dalam

pengertian peak atau trough indikator terjadi terlebih dahulu sebelum peak atau

trough perekenomian agregat terjadi. Salah satu contoh indikator yang bersifat

Page 12: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

12

leading adalah market return yang akan mengalami penurunan terlebih dahulu

sebelum perekonomian melambat dan sebaliknya. Jika ditinjau dari sisi

penggunaan, indikator yang bersifat leading memiliki potensi untuk memprediksi

pergerakan ekonomi ke depan dan sebagai early warning indicators. Hal itu

dikarenakan indikator yang bersifat leading akan berubah arah terlebih dahulu jika

dibandingkan dengan perekonomian agregat, sebagai contoh penurunan harga aset

merupakan early warning indicator (EWI) terhadap perlambatan ekonomi.

b. Coincident indicator

Indikator dengan peak atau trough yang terjadi hampir bersamaan dengan

peak atau trough siklus bisnis disebut sebagai coincident indicator. Beberapa

indikator ekonomi seperti GDP, indeks produksi, gaji, dan penjualan ritel

merupakan contoh dari indikator coincident. Berbeda dengan indikator leading,

indikator coincident menyediakan informasi terkait kondisi perekonomian yang

sedang terjadi.

c. Lagging indicator

Indikator dengan peak atau trough yang terjadi setelah peak atau trough

siklus bisnis dinamakan lagging indicator. Indikator lagging biasanya digunakan

sebagai alat ukur terhadap kondisi yang telah terjadi, sebagai contoh: indikator

keuntungan perusahaan merupakan alat ukur performa dari perusahaan tersebut

dan angka penggangguran biasanya berubah setelah beberapa triwulan perubahan

siklus bisnis. Kendati indikator lagging cenderung mengikuti pergerakan

perekonomian daripada memimpinnya, Baumohl (2013) berpendapat bahwa

indikator lagging tetap memiliki andil untuk masa yang akan datang. Rasio

inventaris terhadap penjualan yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi

karena perusahaan akan meningkatkan jumlah persediaan, dan sebaliknya

kenaikan rasio tersebut dapat menandai perlambatan perekonomian.

Baumohl (2013) mengatakan bahwa penggunaan leading, coincident, dan

lagging indicator secara bersamaan akan memberikan gambaran yang lebih lengkap

terkait sistem keuangan dan risiko sistemik, misalnya adalah Conference Board

(CB), sebuah lembaga riset yang menghitung beberapa indeks berdasarkan data

perekonomian Amerika setiap bulan, yaitu (i) leading economic indicators (LEI) yang

disusun dengan menggunakan 7 (tujuh) indikator nonfinansial (contoh: average

hourly workweek in manufacturing) dan 3 (tiga) indikator finansial (contoh: leading

credit index); (ii) lagging indicator index (LII) yang terdiri atas 7 (tujuh) indikator

Page 13: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

13

(contoh: average duration of unemployment), dan (iii) Coincident Indicator Index (CII)

yang terdiri atas 4 (empat) indikator (contoh: employees in nonagricultural payrolls).

Ketiga indeks di atas menggunakan bobot yang berbeda-beda untuk setiap

komponen penyusunnya. Indeks LEI didesain untuk memprediksi arah

perekonomian Amerika Serikat, sedangkan LII digunakan untuk mengonfirmasi

bagian dari siklus bisnis yang telah terlewati. Ketiga indeks ini selanjutnya dapat

digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap terkait dengan kondisi

ekonomi. Penurunan indeks LEI selama 4 (empat) bulan dalam 7 (tujuh) bulan dan

penurunaan CII secara berurutan dalam 3 (tiga) bulan dapat memberikan

peringatan akan datangnya resesi ekonomi.

2.1.3 Indikator Monitoring Berdasarkan Komponen Pembentuk

Berdasarkan pembentukannya, indikator dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu single indicator dan composite indicator.

a. Single indicator

Single indicator disusun berdasarkan beberapa data menggunakan metode

pengolahan yang sederhana. Umumnya single indicator digunakan untuk

menangkap satu pergerakan atau kondisi dalam sistem keuangan. Contoh single

indicator adalah rasio NPL sebagai salah satu indikator risiko kredit dan rasio alat

likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) sebagai indikator risiko likuiditas.

b. Composite indicator

OECD (2008) dalam kajiannya menyebutkan bahwa composite indicator

merupakan indikator yang disusun dengan menggabungkan lebih dari beberapa

indikator berdasarkan sebuah model tertentu. Composite indicator dinilai mampu

mengukur konsep multidimensi seperti competitiveness, industrialisasi,

sustainabilitas, dan integrasi pasar yang tidak dapat diukur oleh single indicator.

Bahasan lain terkait dengan composite indicator sebagaimana disampaikan oleh

Gadanecz dan Jayaram (2009) yang berpendapat bahwa composite indicator dapat

menangkap interaksi dari single indicator sehingga dapat menggambarkan interaksi

antarsektor dalam sistem finansial. Penggabungan beberapa indikator dalam

sebuah composite indicator biasanya menggunakan pembobotan dan dihitung dalam

bentuk indeks. Indikator yang dipandang memiliki kontribusi lebih besar akan

diberikan bobot yang lebih besar dan sebaliknya. Salah satu contoh composite

Page 14: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

14

indicator adalah Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) yang digunakan BI untuk

menilai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam pengawasan makroprudensial.

Kelemahan dari indeks ini adalah sifatnya yang lebih sebagai prompt indicator.

Composite indicator kurang dapat diproyeksikan ke depan, kecuali jika seluruh

indikator pembentuknya juga dapat diproyeksikan ke depan. Selain itu, composite

indicator pun biasanya terdiri atas indikator yang frekuensinya cukup tinggi

sehingga cukup dinamis dan sulit diproyeksikan. Selain itu, untuk memberikan

informasi mengenai kondisi stres atau krisis, composite indicator dapat dilengkapi

dengan threshold yang ditentukan dengan referensi kejadian stres atau krisis pada

masa lalu. Penggunaan referensi historis ini akan mengurangi kemampuan indeks

atau composite indicator dalam memprediksi kondisi stres atau krisis yang

direpresentasikan oleh kombinasi kondisi-kondisi di sistem keuangan yang belum

pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, pembentukan composite indicator juga

terkadang menerapkan asumsi distribusi tertentu, misalnya distribusi normal.

Kelemahan dari asumsi ini adalah ketidakcocokan distribusi yang diasumsikan

dengan sebaran data yang seharusnya terjadi.

2.2 Metode Pengukuran

Selain indikator monitoring, mitigasi atas build-up risiko sistemik dapat pula

dilakukan dengan menggunakan metode/tools pengukuran. Metode/tools

pengukuran risiko sistemik merupakan model yang dikembangkan dan dibangun

dengan tujuan untuk melihat potential impact yang ditimbulkan dari sebuah risiko.

Beberapa contoh metode pengukuran risiko sistemik adalah conditional value at risk

(CoVaR), marginal expected shortfall (MES), dan network analysis. Meskipun

dikategorikan sebagai alat pengukuran risiko sistemik, penggunaan alat ukur

tersebut dapat bervariasi bergantung pada aspek risiko sistemik yang hendak

diukur. Sebagai contoh beberapa penelitian sebelumnya yang mengukur risiko

sistemik melalui mekanisme yang lebih spesifik, yaitu imbalances (Caballero, 2009),

spill over kepada ekonomi real (Group of Ten, 2001), eksposur yang berkorelasi

(Acharya, Pedersen, Philippon, and Richardson, 2010), disrupsi informasi (Mishkin,

2007), gelembung harga aset (Rosengren, 2010), dan feedback behavior (Kapadia,

Dhrehmann, Elliott, and Sterne, 2009).

Penggunaan metodologi pengukuran semacam ini biasanya hanya bisa fokus

pada suatu risiko tertentu dan cenderung kurang dapat merepresentasi kondisi

Page 15: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

15

sistem keuangan secara komprehensif, seperti yang dapat direpresentasikan oleh

composite indicator. Penggunaan indikator tertentu dalam metodologi pengukuran

semacam ini juga kurang dapat merepresentasikan interaksi antarelemen yang

terjadi dalam sistem keuangan sehingga terkesan hanya dapat merepresentasikan

risiko sektoral. Namun, dengan landasan teori mengenai transmisi risiko sistemik,

penggunaan metodologi pengukuran ini dapat secara intuitif memberikan informasi

mengenai kondisi sistem keuangan yang diwakili oleh satu indikator tertentu.

Variasi mekanisme yang digunakan untuk mengukur risiko sistemik

menunjukkan bahwa dibutuhkan lebih dari satu pengukuran untuk dapat

menangkap kompleksitas dari sistem keuangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu

kerangka yang robust untuk pengawasan dan mengendalikan stabilitas sistem

keuangan yang menggabungkan berbagai perspektif dan proses berkelanjutan

untuk terus mengevaluasi sistem keuangan yang terus berkembang dan risiko

sistemik yang beradaptasi dengan perubahan pada sistem keuangan. Beberapa

bank sentral negara lain telah mengembangkan kerangka analisis untuk mengukur

risiko sistemik, seperti Risk Assessment Model of Systemic Institutions (RAMSI) yang

dikembangkan oleh Bank of England (BoE), Systemic Risk Model (SRM) yang

dikembangkan oleh bank sentral Austria, Macro Financial Risk Assessment

Framework (MFRAF) yang dikembangkan oleh bank sentral Kanada dan Systemic

Risk Assessment Model for Macroprudential Policy (SAMP) yang dikembangkan oleh

Bank of Korea (BoK).2

2 Lebih detail dibahas pada Appendix.

Page 16: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

16

III. KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK DI BANK INDONESIA

Kerangka Pengukuran Risiko Sistemik (KPRS) merupakan bagian dari

keseluruhan kerangka kebijakan makroprudensial yang disusun dengan kontribusi

sebagai berikut:

a. KPRS menjamin perolehan data dan informasi yang tepat mengenai kondisi

stabilitas sistem keuangan. KPRS yang baik mampu memberikan informasi yang

tepat mengenai sumber permasalahan sebagai modal utama dalam upaya

mitigasi risiko sistemik;

b. KPRS mendukung perolehan informasi yang secepat mungkin untuk mencegah

terjadinya eskalasi risiko sistemik dengan cara mendeteksi permasalahan di

sistem keuangan sedini mungkin sehingga mampu mencegah terjadinya risiko

sistemik atau krisis keuangan;

c. KPRS mendukung pelaksanaan protokol manajemen krisis (PMK) dalam

memberikan data dan informasi yang akurat dan cepat untuk mendukung

pengambilan keputusan yang harus dilakukan dalam waktu cepat; dan

d. KPRS juga mendukung pelaksanaan evaluasi kebijakan makroprudensial untuk

memastikan implementasi kebijakan berjalan sesuai dengan tujuannya serta

mendeteksi unintended consequences yang bersifat kontraproduktif sehingga

langkah-langkah untuk perbaikan kebijakan/instrumen dapat dilakukan

segera.

Gambar 4. Kerangka Pengukuran Risiko Sistemik

Tipe Alat Ukur Dimensi

Tahapan

Pembentukan

Risiko Sistemik

Kerangka Pengukuran Risiko Sistemik

1. Indikator monitoring2. Model-based

1. Cross Section2. Time Series

1. Munculnya sumber gangguan2. Menyebarnya sumber gangguan menjadi risiko 3. Systemic event

Page 17: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

17

Secara umum KPRS di BI tampak sebagaimana disampaikan pada Gambar

4. Berdasarkan gambar tersebut, terdapat tiga klasifikasi utama atas alat ukur

risiko sistemik di BI. Pertama, klasifikasi berdasarkan tipe atau jenis alat ukur,

yakni dapat berupa indikator dan hasil pengembangan metode pengukuran

tertentu. Kedua, klasifikasi berdasarkan dimensi cross section dan time series.

Ketiga, klasifikasi berdasarkan tahapan pembentukan risiko sistemik, yakni

tahapan munculnya sumber gangguan, tahapan penyebaran sumber gangguan

dalam sistem keuangan, serta tahapan pengukuran (potensial) dampak yang

ditimbulkan (systemic event).

3.1. Tipe Alat Ukur

Secara umum, alat ukur risiko sistemik dapat berupa indikator dan hasil

pengembangan atas metode pengukuran risiko sistemik. Dalam pengawasan

makroprudensial, indikator dapat digunakan pada tahapan monitoring, stress

identification, dan risk assessment. Indikator yang digunakan untuk pemantauan

(monitoring) umumnya adalah indikator sederhana, yang berasal dari laporan

keuangan institusi keuangan serta data pasar keuangan yang tersedia secara

publik. Indikator itu digunakan untuk mendeteksi vulnerability yang terdapat secara

mikrofinansial serta mendeteksi shock yang bersifat idiosyncratic dan systematic.

Selain indikator sistem keuangan, pemantauan dalam pengawasan

makroprudensial juga mengharuskan pengumpulan data makrofinansial untuk

mendeteksi vulnerability dan shock yang bersumber dari kondisi makroekonomi.

Adapun pemrosesan data yang dilakukan dalam tahap pemantauan biasanya hanya

dalam bentuk perhitungan rasio-rasio yang menggambarkan kinerja sistem

keuangan, contohnya: non-performing loans, capital adequacy ratio.

Sementara itu, indikator yang digunakan pada tahapan identifikasi dan

penilaian risiko sistemik pada dasarnya sudah diolah melalui metodologi tertentu

bergantung pada risiko yang akan diidentifikasi dan dinilai. Metodologi tersebut

memasukkan juga sejumlah interpretasi dan asumsi oleh peneliti yang membangun

metodologi yang bersangkutan untuk menghasilkan pengukuran terhadap risiko

tertentu. Misalnya, asumsi terhadap data yang berdistribusi normal paling sering

digunakan untuk penggunaan model-model statistik. Namun, terdapat juga

beberapa model pengukuran risiko sistemik yang tidak menggunakan asumsi

distribusi normal, misalnya menggunakan clustering.

Page 18: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

18

Selain penggunaan indikator, dalam proses identifikasi dan penilaian risiko

sistemik, diperlukan pula pengembangan metode pengukuran yang lebih kompleks,

terutama karena representasi variabel yang diukurnya. Dalam beberapa metodologi

pengukuran, risiko sistemik harus diukur dengan menggabungkan atau

mentransmisikan sejumlah indikator. Pengembangan itu dapat berupa penyusunan

indeks yang menggabungkan berbagai indikator kinerja dalam sistem keuangan

sebagaimana dilakukan oleh beberapa bank sentral (lihat Tabel 2). Di BI sendiri

telah dikembangkan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan/ISSK (Gunadi et al. 2013,

dan Gunadi et al. 2015).

Tabel 2. Indeks Sistem Keuangan yang Dikembangkan Negara Lain

Sumber: Gunadi et. al. (2015)

Penggunaan indeks menjadi relatif populer di antara bank sentral dan

otoritas keuangan. Hal itu disebabkan pembentukan indeks lebih mudah

dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh banyak pihak. Indeks dapat mencakup

seluruh atau sebagian sistem keuangan yang cukup signifikan dalam

Page 19: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

19

merepresentasikan keseluruhan kondisi stabilitas sistem keuangan. Dengan

dilengkapi threshold, indeks juga dapat digunakan sebagai sinyal peringatan jika

kondisi SSK menuju pemburukan sehingga diperlukan upaya-upaya mitigasi risiko

segera. Oleh karena itu, indeks dapat juga digunakan sebagai indikator untuk

protokol manajemen krisis (crisis management protocols).

Selanjutnya, pengembangan metode (model) pengukuran risiko sistemik juga

dilakukan dengan menggunakan transmisi sejumlah indikator melalui

pengembangan sejumlah modul atau model (RAMSI, SRM, MFRAF, dan SAMP)3.

Kelebihan dari membangun model adalah risiko sistemik dapat ditransmisikan

secara sistematis ke seluruh sistem keuangan dengan mempertimbangkan semua

aspek yang perlu dimasukkan dalam pengukuran risiko sistemik, sedangkan

kelemahannya adalah model penilaian risiko sistemik pada dasarnya ada data-

driven atau sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data sistem keuangan. Sepanjang

permasalahan data gap masih dialami dalam bidang stabilitas sistem keuangan,

penggunaan model dalam mengukur risiko sistemik harus dilakukan secara berhati-

hati karena ada bagian-bagian sistem keuangan atau transmisi risiko sistemik yang

tidak dapat direpresentasikan dalam model.

3.2 Dimensi Alat Ukur

Dalam perspektif makroprudensial, risiko dapat dikelompokkan menjadi 2

(dua) dimensi, time series dan cross section. Dimensi time series menekankan pada

bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk

evolusi dengan sektor ekonomi (procyclicality). Sementara itu, dimensi cross section

menekankan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu

periode tertentu yang disebabkan oleh kesamaan eksposur (consentration risk)

dan/atau interlink dalam sistem keuangan (contagion risk). Akibatnya,

permasalahan yang terjadi di satu institusi keuangan dapat berakibat negatif pada

institusi keuangan lainnya, baik melalui saluran langsung maupun tidak langsung.

Pengukuran risiko sistemik menggunakan dimensi time series

merepresentasikan perkembangan dari suatu indikator risiko sistemik dari waktu

ke waktu. Dalam hal ini, pengukuran dari waktu ke waktu tersebut dapat

menggunakan indikator dengan frekuensi yang relatif rendah, misalnya kuartalan,

tetapi bisa juga menggunakan indikator yang frekuensinya relatif tinggi, seperti

3 Lebih detail disampaikan pada Appendix.

Page 20: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

20

indikator pasar keuangan yang selalu berubah dari menit ke menit, bahkan dari

detik ke detik. Dalam frekuensi yang lebih rendah, risiko sistemik yang diukur

umumnya merupakan indikator ketidakseimbangan dalam intermediasi atau

perilaku ambil risiko (imbalances). Sebagai contoh, Drehman et al. (2012)

membangun indikator siklus finansial yang merepresentasikan perilaku ambil risiko

dari pelaku pasar sehubungan dengan reaksinya terhadap kondisi perekonomian.

Indikator yang dibangun dari pengukuran dengan frekuensi data yang lebih rendah

itu umumnya digunakan untuk menangkap perilaku prosiklikalitas dari agen

keuangan. Untuk frekuensi yang lebih tinggi dapat diambil contoh pengukuran

volatilitas harga aset di pasar keuangan yang merepresentasikan risiko pasar yang

bersangkutan.

Dari sisi cross section, pada suatu waktu pengukuran risiko sistemik perlu

menangkap kondisi elemen sistem keuangan yang berbeda-beda, misalnya indikator

permodalan individual bank pada satu waktu tertentu merepresentasikan

ketahanan sektor perbankan di bulan tersebut. Demikan pula, kondisi NPL

perbankan yang diagregasi dari angka NPL individual perbankan merepresentasikan

risiko kredit sektor perbankan. Indikator yang bersifat cross sectional digunakan

untuk menangkap risiko sistem keuangan sebagai akibat dari konsentrasi pada

portofolio atau sektor ekonomi dan bisnis tertentu. Selain itu, risiko yang datangnya

dari efek penularan (contagion effect) dari risiko sistemik sebagai akibat dari

interkoneksi antaragen keuangan juga membutuhkan data yang bersifat cross

sectional. Misalnya, interbank stress testing membutuhkan data eksposur interbank

dari semua bank pada satu waktu tertentu untuk mengukur dampak kegagalan

suatu bank kepada bank yang lainnya. Selanjutnya, sejumlah metodologi

pengukuran risiko sistemik menggabungkan data kedua dimensi ini dengan cara

menggunakan panel data untuk memperoleh dinamika dari kedua dimensi itu

sekaligus. Misalnya, credit risk stress testing menggunakan model yang dibangun

dari panel data bank. Penggunaan panel data ini mampu memfasilitasi heterogenitas

dari bank sekaligus menangkap perilaku sektor perbankan secara bersamaan dalam

menghadapi kondisi makroekonomi.

3.3 Fase Pembentukan Risiko Sistemik

Risiko sistemik terbentuk melalui tiga tahapan sebagaimana diilustrasikan

pada Gambar 5. Pada gambar tersebut tampak tahapan pembentukan risiko

sistemik yang diilustrasikan dengan menggunakan sejumlah terminologi yang biasa

Page 21: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

21

digunakan dalam bidang sistem keuangan dan makroprudensial, yakni terdiri atas

(i) tahapan pemunculan sumber gangguan yang melibatkan kombinasi antara shock

dan profil risiko yang buruk (vulnerability), tahapan itu sering disebut fase build-up;

(ii) tahapan penyebaran sumber gangguan dalam sistem keuangan hingga menjadi

risiko; serta (iii) tahapan pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic

event).

Pada tahapan pertama, alat ukur risiko sistemik digunakan dengan tujuan

untuk mengidentifikasi sumber gangguan. Dalam hal ini, sumber gangguan

dikategorikan menjadi dua, yaitu shock dan vulnerability. Risiko akan

termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability; dan akan memiliki

dampak sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang

memadai. Berdasarkan Bernanke (2013), shock merupakan peristiwa tertentu yang

memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate causes). Sementara itu,

vulnerability diasosiasikan dengan kondisi (preexisting feature) sistem keuangan

yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock. Selanjutnya,

risiko sistemik terbentuk melalui interaksi antara shock dari luar dan vulnerabilities

yang menjadi karakteristik dari sistem keuangan itu sendiri.

Gambar 5. Pembentukan Risiko Sistemik

Identifikasi shock (Gambar 5) dilakukan dengan mengukur indikator stress

dalam sistem keuangan dengan menggunakan early warning system (EWS) yang

lazimnya terdiri atas prompt dan near crisis indicator sebagai leading indicator.

Namun, terdapat kemungkinan adanya kelemahan EWS dalam mendeteksi shock,

SHOCK

Cross section:

- concentration risk

- contagion risk

Time series:

- procyclicality risk

Market risk

Credit risk

Liquidity risk

Operational risk

VULNERABILITY (RISK PROFILE)

DimensionType of Risk

Risk in financial system

Yes No

SYSTEMIC RISK

Temporary Structural

Potential Impact

Stable Financial

System

Resilient?

Check

liquidity &

solvency

buffer

Sumber gangguan

Transmisi

Dampak

4

1

2

3

Page 22: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

22

yakni apabila shock yang terjadi merupakan akibat dari bentuk interaksi yang baru

di dalam sistem keuangan sehingga belum tercakup dalam EWS yang digunakan4.

Sementara itu, vulnerability merupakan karakteristik elemen sistem keuangan yang

berupa simpul kerawanan yang mengamplifikasi dan mempropagasi shock awal

sehingga berpotensi untuk memperbesar shock pada sistem keuangan. Terdapat

dua jenis vulnerability dalam sistem keuangan, yakni vulnerability yang merupakan

karakteristik dasar setiap elemen (contoh: sifat maturity mismatch dari institusi

keuangan); serta vulnerability yang muncul akibat kegiatan bisnis elemen sistem

keuangan (cumulative behavior), seperti penyaluran kredit yang secara terus

menerus terkonsentrasi pada sektor tertentu. Secara umum identifikasi vulnerability

dilakukan melalui risk profiling atas perilaku setiap elemen dalam sistem keuangan,

yaitu dengan mengukur kinerja dan risiko elemen-elemen tersebut5. Identifikasi

vulnerability mencakup dimensi time series dan cross section dengan menggunakan

pendekatan risiko sistem keuangan, yakni kredit, likuiditas, pasar, dan operasional

(Gambar 5). Identifikasi vulnerabilities melalui pendekatan risiko kredit

merefleksikan risiko yang muncul dari fungsi intermediasi sistem keuangan.

Sementara itu, pendekatan risiko pasar diukur karena keterkaitan elemen sistem

keuangan pada aset keuangan yang diperdagangkan di pasar keuangan yang

mentransmisikan harga aset, tingkat bunga, dan nilai tukar (untuk aset dalam

valuta asing), sedangkan identifikasi vulnerabilities melalui pendekatan risiko

likuiditas akan mewakili kemampuan elemen sistem keuangan untuk memenuhi

kewajiban jangka pendek. Sementara itu, identifikasi melalui pendekatan risiko

operasional dilakukan berkaitan dengan fungsi sistem keuangan dalam memberikan

jasa keuangan seperti penyediaan media untuk sistem pembayaran, penyediaan

pembiayaan untuk sektor-sektor ekonomi, atau pemberian fasilitas untuk

4 EWS dikembangkan untuk mendeteksi shock atau krisis keuangan dengan menggunakan

beberapa pilihan indikator yang secara historis dapat menjadi leading indicator atau

indikator awal dari terjadinya shock dan/atau krisis. Jika shock dan krisis yang terjadi belum

pernah terjadi pada masa lalu dan diindikasikan dengan leading indicator yang berbeda

dengan EWS yang telah digunakan, masih ada kemungkinan shock/krisis yang tidak dapat

dideteksi secara dini. Sebagai contoh, kasus subprime mortgage crisis pada tahun 2007

menjadi shock yang tidak terdeteksi karena rendahnya transparansi dalam perdagangan

structured products pada saat itu.

5 Berdasarkan PBI No. 16/11/PBI/2015 perihal Pengaturan dan Pengawasan

Makroprudensial, sistem keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan,

pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga

yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian.

Merujuk pada definisi di atas, yang dimaksud dengan elemen sistem keuangan adalah

institusi keuangan, baik bank maupun non-bank, pasar dan infrastruktur keuangan, serta institusi non-keuangan dan rumah tangga

Page 23: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

23

pengelolaan likuiditas dalam mata uang domestik atau valuta asing. Tabel 3

menunjukkan contoh identifikasi vulnerabilities sektor perbankan melalui

pendekatan risiko di atas.

Pada tahap kedua dalam fase pembentukan risiko sistemik, risiko akan

termaterialisasi dalam sistem keuangan ketika shock berinteraksi dengan

vulnerabilities (Gambar 5). Interaksi di antara kedua jenis sumber gangguan

tersebut menghasilkan kombinasi probabilitas sebagai berikut.

a. Jika tidak ada shock dan tidak ada vulnerability, tidak terjadi potensi risiko

sistemik.

b. Jika ada shock, tetapi tidak ada vulnerability, terdapat peningkatan probabilitas

terjadinya risiko sistemik relatif terhadap kondisi normal karena masih

dimungkinkan terdapat unknown vulnerability. Krisis keuangan masih dapat

dihindari karena elemen-elemen sistem keuangan akan memiliki ketahanan yang

cukup untuk menyerap risiko. Sebagai contoh, pada waktu terjadi tekanan pada

likuiditas global seperti yang terjadi pada kuartal terakhir tahun 2008,

perbankan Indonesia secara system-wide sanggup menyerap risiko yang terjadi

karena tidak terdapat vulnerability yang dapat menghasilkan risiko sistemik.

c. Jika tidak ada shock, tetapi ada vulnerability, probabilitas risiko sistemik akan

meningkat. Namun, seperti pada kombinasi sebelumnya, krisis keuangan pun

masih dapat dihindari karena tidak ada trigger yang meng-ekspos vulnerability

tersebut. Dalam kondisi ini, vulnerability telah terbentuk karena akumulasi risiko

dari perilaku ambil risiko pada saat siklus keuangan berada dalam kondisi

upswing.

d. Jika terjadi shock dan terdapat vulnerability secara bersamaan, tergantung dari

besarnya shock dan parahnya vulnerability, probabilitas terjadinya risiko

sistemik akan meningkat. Jika vulnerability berada pada sektor keuangan yang

dominan, seperti umumnya perbankan di emerging markets, risiko sistemik

dapat terjadi.6

6 Risiko termaterialisasi ketika shock berinteraksi dengan vulnerability (Bank of Canada,

2014).

Page 24: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

24

Gambar 6. Interaksi Shock dan Vulnerability

Tabel 3. Contoh Identifikasi Vulnerabilties Bank

Pendekatan Risiko

Vulnerability Dimensi

Risiko Kredit

Kredit yang terkonsentrasi pada sektor tertentu atau pada beberapa debitur besar

Procyclicality kredit (excessive credit growth), secara total atau sektoral

Cross section

Time series

Risiko Likuiditas

Excessive maturity mismatch

Pendanaan yang terkonsentrasi pada jangka pendek dan nasabah besar

Kepemilikan alat likuid yang terbatas untuk memenuhi kewajiban jangka pendek

Market likuidity risk, ketidakmampuan penggunaan aset untuk memenuhi kewajiban jangka pendek tanpa merubah harga aset

Segmentasi pasar uang antar bank

Procyclicality likuiditas, penurunan buffer likuiditas pada saat build-up risk

Cross section

Time series

Risiko Pasar

Market liquidity risk karena perubahan harga

aset volatilitas suku bunga dan nilai tukar

Peningkatan portofolio dalam valuta asing

Cross section

Risiko Operasional

Frekuensi gangguan/permasalahan pada sistem pembayaran

Cross section

Dalam hal terdapat potensi terjadinya risiko sistemik, salah satu metodologi

atau alat ukur yang dapat digunakan adalah stress test. Stress test membutuhkan

skenario shock yang sifatnya ekstrim tetapi plausible. Selain itu dibutuhkan juga

data vulnerability dari elemen sistem keuangan, yaitu dalam bentuk data neraca

keuangan dan laporan laba rugi dari elemen sistem keuangan (tergantung dari

Page 25: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

25

sektor keuangan yang diukur). Metodologi stress test yang baik juga telah

memperhitungkan interaksi antarelemen sistem keuangan sehingga dinamika yang

terjadi di sistem keuangan dapat tertangkap dengan baik dan hasil stress test

mendekati kondisi yang sebenarnya. Untuk keperluan itu, metodologi stress test

memasukkan juga modul contagion stress test dan second round impact.

Ketika risiko sistemik telah ditransmisikan dalam pengukuran nilai risiko

sistemik, nilai ini diterjemahkan menjadi kerugian yang harus ditanggung oleh

elemen-elemen sistem keuangan. Dalam banking stress testing risiko kredit, pasar,

likuiditas, dan operasional diterjemahkan sebagai kerugian yang harus diserap oleh

bank. Dalam hal ini, ketahanan dari bank dalam menghadapi risiko-risiko tersebut

diukur dari permodalannya, yaitu modalnya masih lebih tinggi daripada tingkat

modal yang dipersyaratkan oleh regulator setelah dikurangi dengan kerugian yang

dihitung dalam stress testing. Hal yang sama dilakukan terhadap elemen-elemen

lain, yaitu IKNB, korporasi, dan rumah tangga. Dalam beberapa skenario,

perbankan kemungkinan bisa bertahan lebih baik daripada IKNB atau korporasi.

Ketahanan rumah tangga lebih sulit diukur karena data untuk rumah tangga tidak

tersedia atau tidak lengkap.

Jika secara umum elemen-elemen sistem keuangan dapat menyerap risiko

(Gambar 5), besar kemungkinan tidak akan ada gangguan instabilitas terhadap

sistem keuangan, atau sistem keuangan dapat bertahan tanpa memberikan dampak

negatif pada perekonomian. Jika salah satu elemen sistem keuangan mengalami

permasalahan, fase pembentukan risiko sistemik berlanjut ke tahap berikutnya,

yakni pengukuran (potensial) dampak yang ditimbulkan (systemic event) melalui

analisis dampak sistemik. Analisis dampak sistemik merupakan sarana ad hoc yang

digunakan untuk mengukur dampak dari kegagalan suatu elemen sistem keuangan

terhadap keseluruhan sistem keuangan (Harun, 2013 dan Harun et al., 20147). Hasil

analisis dampak sistemik menentukan apakah kegagalan satu elemen sistem

keuangan akan memberikan dampak sistemik atau tidak. Jika dampaknya sistemik,

perlu dipertimbangkan untuk melakukan mekanisme bail in atau bail out sesuai

dengan aturan yang berlaku. Jika tidak, elemen sistem keuangan tersebut harus

dimasukkan dalam proses resolusi untuk memberikan proteksi terhadap

kepentingan depositor atau kreditur. Sebagai contoh, jika suatu bank mengalami

kegagalan, hal yang perlu dipertimbangkan dalam analisis dampak sistemik adalah

7 Harun (2013) dan Harun et al. (2014) adalah penelitian untuk keperluan internal Bank

Indonesia dan tidak dipublikasikan.

Page 26: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

26

dampak dari kegagalan bank pada institusi keuangan lain yang terafiliasi dengan

bank tersebut; dampaknya terhadap kondisi pasar keuangan, terutama berkaitan

dengan aset-aset yang dimilikinya yang akan dijual untuk menutupi kerugiannya;

ataupun aset-aset atas nama bank yang bersangkutan, misalnya obligasi korporasi

diterbitkan, utang di pasar uang antarbank, dan aset-aset lain. Selanjutnya, melalui

analisis dampak sistemik dapat dihasilkan penilaian atas potensi dampak dari suatu

systemic event, apakah bersifat sementara (temporary) atau struktural. Jika bersifat

struktural, biaya untuk pemulihan sistem keuangan akan lebih besar daripada jika

dampaknya bersifat sementara. Dalam hal ini analisis dampak sistemik dapat juga

menentukan elemen sistem keuangan yang perlu ditargetkan untuk melakukan

mitigasi risiko.

3.4 Risiko Sistemik dan Siklus Keuangan

Apabila dikaitkan dengan siklus keuangan, tahapan pembentukan sumber

gangguan biasanya terjadi pada fase build up. Dalam fase ini pelaku pasar

cenderung memanfaatkan kondisi untuk meraih keuntungan yang sebesar-

besarnya meskipun aturan prudensial sudah diterapkan. Jika diilustrasikan dalam

siklus keuangan, fase ini berada pada ruas siklus yang menanjak atau upswing

(Gambar 7). Dalam kondisi ini pengukuran risiko sistemik perlu difokuskan pada

pengukuran ketidakseimbangan sistem keuangan, serta pengukuran terhadap

indikator stress yang dapat menunjukkan tanda-tanda bahwa siklus keuangan telah

mendekati puncaknya yang diinterpretasikan sebagai perilaku ambil risiko yang

sudah berlebihan. Drehman et al (2012) membentuk siklus keuangan beberapa

negara maju dan menemukan bahwa krisis keuangan terjadi sekitar dua tahun

setelah siklus mencapai puncak atau peak.

Gambar 7. Ilustrasi Fase dalam Siklus Keuangan

Page 27: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

27

Indikator ketidakseimbangan atau imbalances pada dasarnya mengacu pada

indikator time series yang frekuensinya relatif lebih rendah (bulanan hingga

kuartalan). Di berbagai bank sentral, harga properti digunakan sebagai proxy untuk

mendeteksi imbalances. Hal itu didasarkan pada premis bahwa harga properti

didorong oleh perilaku spekulatif dari investor (terutama sektor rumah tangga) yang

dibiayai oleh pembiayaan kredit pemilikan rumah (KPR). Selain itu, harga rumah

juga didorong oleh peningkatan permintaan terhadap barang kebutuhan pokok

sebagai akibat dari peningkatan daya beli masyarakat yang juga didorong oleh

peningkatan pertumbuhan ekonomi. Imbalances yang dideteksi di sini berkaitan

dengan perilaku prosiklikalitas dari perbankan dalam penyaluran kredit.

Pembentukan indikator siklus keuangan, sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya juga merupakan salah satu upaya untuk mendeteksi

ketidakseimbangan dalam sistem keuangan karena persepsi pelaku pasar terhadap

kondisi perekonomian dan perilaku ambil risikonya.

Selanjutnya, sumber gangguan yang telah termaterialisasi menjadi risiko

akan menyebar pada fase propagasi atau propagation mechanism. Fase itu terjadi

setelah dan antara terjadinya puncak dari siklus keuangan hingga siklus mencapai

dasarnya atau trough (Gambar 7). Dalam fase ini permasalahan yang terjadi di satu

sektor atau elemen sistem keuangan cenderung ditularkan atau dirambatkan pada

sektor atau elemen sistem keuangan lainnya. Oleh karena itu, pengukuran risiko

sistemik dalam fase ini umumnya menggunakan indikator cross sectional. Indikator

yang paling dibutuhkan dalam hal ini adalah indikator yang mengindikasikan

keterkaitan physical exposures antarelemen sistem keuangan, termasuk untuk

setiap individual elemen sistem keuangan terutama institusi keuangan dan

korporasi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur dampak

permasalahan di satu bank terhadap bank lain adalah metode interbank stress

testing dengan melakukan contagion analysis.

Dalam fase propagasi, indikator global-systemcically important banks atau G-

SIB merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam pengukuran risiko

sistemik. Indikator itu dihasilkan untuk membentuk daftar bank di dunia, yang jika

mengalami permasalahan memiliki potensi memberikan dampak sistemik pada

sistem keuangan global. Indikator G-SIB terdiri atas size, interconnectedness,

substitutability, complexity, dan cross-border exposure untuk Global SIFI (BCBS

2011–dokumen GSIB). Dalam fase propagasi, subindikator G-SIB yang diaplikasikan

untuk D-SIB (tanpa menggunakan pengukuran cross-border exposure karena hanya

Page 28: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

28

melihat pengaruhnya pada perekonomian domestik) adalah indikator yang perlu

diamati untuk setiap individual bank untuk melihat potensi propagasi

permasalahan. Pengukuran-pengukuran untuk meninjau potensi propagasi

permasalahan itu juga dilakukan dalam Analisis Dampak Sistemik.

Fase yang terakhir adalah fase systemic event atau pada bab II disebut juga

sebagai shock materialized. Fase itu berkaitan dengan krisis keuangan. Walaupun

bank sentral dan otoritas keuangan telah mengembangkan early warning system,

systemic event pada dasarnya hanya bisa dideteksi secara backward looking. Bank

sentral dan otoritas keuangan tidak pernah mampu secara akurat memprediksi

terjadinya krisis meskipun siklus keuangan memberikan informasi puncak siklus

dan data pada masa lampau menunjukkan bahwa krisis umumnya terjadi sekitar 2

(dua) tahun setelah terjadi puncak siklus keuangan. Dengan demikian, systemic

event merupakan periode yang sangat pendek di dalam fase propagasi karena shock

dan vulnerability terjadi dan membentuk risiko sistemik. Setelah systemic event

terjadi, segmen downswing yang terbentuk dapat berbentuk U atau berbentuk V.

Jika berbentuk U, downswing akan berlangsung lebih dalam dan lama pada siklus

keuangan dan disertai dengan masa pemulihan yang cukup lama. Kondisi itulah

yang berpotensi memberikan dampak yang bersifat struktural. Jika berbentuk V,

downswing akan berlangsung dalam periode yang lebih pendek dan pemulihan atau

recovery juga akan berlangsung cepat. Dalam siklus keuangan, systemic event bisa

saja tidak terjadi karena dalam segmen downswing pelaku pasar sudah secara

otomatis menyesuaikan portofolionya untuk mengurangi potensi kerugiannya. Hal

itu bergantung pada ketahanan dari elemen-elemen sistem keuangan. Pada

dasarnya segmen downswing dapat diupayakan untuk tidak jatuh terlalu dalam.

Hal yang dapat dilakukan oleh bank sentral dan otoritas keuangan adalah tetap

berjaga-jaga dengan menyiapkan sejumlah instrumen yang dimiliki untuk

menghindari terjadinya krisis keuangan yang akan menimbulkan biaya yang tinggi

untuk pemulihan.

Dalam fase ini frekuensi near crisis indicators dan stress indicators sangat

tinggi, misalnya indeks yang menggambarkan kondisi sistem keuangan secara

keseluruhan atau indikator likuiditas institusi keuangan menjadi sangat penting

untuk terus mengukur kemampuan elemen-elemen sistem keuangan dalam

memenuhi kewajiban jangka pendek.. Jika krisis telah terjadi, protokol manajemen

krisis (PMK) telah diaktifkan dan dalam PMK tersebut dapat saja diaktivasikan

pelaporan dalam frekuensi yang lebih tinggi oleh institusi keuangan. Sebagai contoh,

Page 29: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

29

ketika krisis keuangan global memuncak dalam kuartal IV 2008, Bank Indonesia

meminta bank-bank besar melaporkan kondisi likuiditasnya pada penutupan sesi

siang dan penutupan sesi sore atau meningkatkan frekuensi pelaporan

likuiditasnya dari 1 kali sehari menjadi 2 kali sehari.

Untuk mengantisipasi terjadinya systemic event ini dengan cara memastikan

kapasitas penyerapan risiko cukup memadai, otoritas keuangan atau institusi

keuangan dapat membuat skenario systemic event dan menyimulasikan skenario

tersebut dalam model stress testing. Model stress testing, terutama digunakan untuk

mengukur kondisi solvabilitas dan likuiditas pada saat terjadinya stress yang saat

ini sudah sering dipergunakan oleh kalangan perbankan. Hasil dari stress testing

adalah gap yang muncul sebagai akibat buffer, cadangan modal, atau likuiditas

harus dipergunakan untuk menutup kerugian sebagai akibat terjadinya systemic

event yang dituliskan dalam skenario. Buffer didefinisikan sebagai kelebihan dari

aturan minimum yang diterapkan oleh otoritas keuangan. Hasil dari stress testing

itu ditentukan oleh berbagai hal. Skenario stress yang extreme but plausible akan

memberikan kondisi stress yang cukup beralasan sehingga dapat menguji

ketahanan institusi keuangan dengan systemic event yang cukup severe atau parah,

tetapi cukup didukung oleh kejadian pada masa lalu. Ketersediaan data dan

perancangan model untuk mengukur reaksi institusi keuangan terhadap systemic

event akan menentukan objektivitas dari hasil stress test. Ada kalanya bias dari

hasil dapat terjadi sebagai akibat data yang tersedia kurang panjang secara historis

dan kurang granular/terperinci; atau model yang dipergunakan kurang memadai.

Praktik stress test ini sudah mulai direkomendasikan sebagai kegiatan yang wajib

dilakukan oleh institusi keuangan untuk memastikan kecukupan buffer modal dan

likuiditasnya.

Page 30: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

30

IV. PENUTUP

Upaya mitigasi risiko sistemik tidak dapat dilakukan hanya dengan

menggunakan single indicator atau 1 (satu) metode pengukuran. Diperlukan

serangkaian alat ukur risiko sistemik yang komprehensif. Sebagai otoritas yang

memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, BI terus berupaya

mengembangkan indikator, metode, dan tools mitigasi risiko sistemik sehingga

diharapkan mampu menciptakan pengawasan yang efisien dan pengembangan

instrumen kebijakan yang tepat guna mendukung tercapainya stabilitas sistem

keuangan. Dalam hal ini, KPRS dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan

dalam identifikasi alat ukur risiko sistemik yang ada saat ini. Guna melengkapi

penyusunan KPRS, ke depan perlu dilakukan beberapa penelitian terkait, terutama

penelitian yang berkaitan dengan pengembangan beberapa metode pengukuran

risiko sistemik yang belum dimiliki BI saat ini.

Objektivitas dari hasil pengukuran risiko sistemik sangat ditentukan oleh

indikator dan metodologi yang dipergunakan. Kekeliruan dalam penggunaan data

dan metodologi dapat memberikan masukan (input) yang salah pada upaya mitigasi

risiko, preskripsi kebijakan makroprudensial, atau kebijakan untuk penanganan

krisis. Kesamaan persepsi mengenai indikator dan metodologi mana yang harus

dipergunakan untuk mengukur risiko tertentu dalam sistem keuangan pada suatu

fase tertentu perlu diperoleh agar tidak ada lagi perbedaan pendapat dalam

menentukan kondisi stabilitas sistem keuangan. Hal itu menjadi sangat penting,

terutama jika sistem keuangan berada dalam kondisi stress serta memerlukan

penanganan yang akurat dan cepat.

Page 31: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

31

DAFTAR PUSTAKA

Abel, Andrew., and Bernanke, Ben., 2001, “Macroeconomics, 4th Edition”, Addison Wesley Longman Inc.

Acharya, V., L. Pedersen, T. Philippon, and M. Richardson, 2010, “Measuring Systemic Risk”, Working Paper , New York Univertsity.

Bank Indonesia, 2015, “Kajian Stabilitas Keuangan No. 25”.

Bank of Canada, 2014, “Financial System Review”, pp. 1-2, June

Basel Committee on Banking Supervision, 2011, “Global Systemically Important Banks: Assessment Methodology and the Additional Loss Absorbency

Requirement”, Bank for International Settlements.

___________, 2012, “ Model and Tools for Macroprudential Analysis,” BIS Working Paper No. 12, Bank for International Settlements.

Baumohl, B., 2013, “The Secrets of Economic Indicators: Hidden Clues to Future Economic Trends and Investment Opportunities”, Pearson Education, Inc.

Bernanke, Ben., 2013, “Monitoring the Financial System,” speech at the 49th Annual Conference on Bank Structure and Competition, Board of Governors of the Federal Reserve System, May.

Billio, M., M. Getmansky, A. W. Lo, and L. Pelizzon, 2010, “Econometric Measures of Systemic Risk in the Finance and Insurance Sectors”, NBER Working Paper 16223, NBER.

Blancher, N., S. Mitra, H. Morsy., A. Otani., T. Severo., and L. Valderma., 2013, “Systemic Risk Monitoring(“SysMo”) Toolkit – A User Guide”, IMF Working Paper No. 13/168, July.

Boss, M., Krenn, G., Puhr, C., and Summer, M., 2006, “Systemic Risk Monitor: A Model for Systemic Risk Analysis and Stress Testing of Banking Systems”, Financial Stability Report 11, Oesterreichische Nationalbank, pp. 83-95, June.

Burrows, O., Learmonth, D., and McKeown, J., 2012, “RAMSI: a top-down stress-testing model”, Financial Stability Paper No. 17, Bank of England, September.

Caballero, R. J., 2009, “The ‘Other’ Imbalance and the Financial Crisis”, MIT Department of Economics Working Paper No. 09-32, Massachusetts Institute of Technology.

Cicilia, A. H., 2013, “Analisis Dampak Sistemik di Indonesia”, Internal Working Paper, Bank Indonesia.

Cicilia, A. H., Derianto, Elis., Agusman., Rulina, Ita., 2015, “ A Framework of Systemic Impact Analysis”, Bank Indonesia, forthcoming.

Drehmann, M., Claudio B., Kostas, T., 2012, “Characterising the Financial Cycle: Don’t Lose Sight of the Medium Term!” BIS Working Paper No. 380, Bank for International Settlements, June.

European Central Bank (ECB), 2010, “Financial Networks and Financial Stability”, Financial Stability Reviews, pp. 138-146, June.

Page 32: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

32

Gadanecz, B., and Jayaram, K., 2009, “Measure of Financial Stability – a Review”, IFC Bulletin No 31. pp. 365-380, July.

Gauthier, C., and Souissi, M., 2012, “Understanding Systemic Risk in the Banking Sector: A MacroFinancial Risk Assessment Framework”, Bank of Canada Review, Financial Stability Department, Bank of Canada, pp.29-38.

Group of Ten, 2001, “Report on Consolidation in the Financial Sector”, International Monetary Fund, January.

Gunadi, I., Aditya, A.T., dan Cicilia, A. H., 2013, “Penggunaan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) dalam Pelaksanaan Surveilans Makroprudensial”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.

______________, 2015, “Penyempurnaan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK)”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.

Gunadi, I., Cicilia, A.H., Sagita, R., dan Tevy, C., 2014, “Identifikasi Transmisi Risiko Sistemik dalam Sistem Keuangan Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.

Harun, Cicilia, and Sagita Rachmanira, 2013, “Kerangka Kebijakan Makroprudensial Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia

____________, 2015, “Revisit Kerangka Kebijakan Makroprudensial Indonesia”, Working Paper Bank Indonesia, Departemen Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia.

Jong, H.L., Ji, H. B., Sejin, Y., and Dongkyu, C., 2013, “Systemic Risk Assessment Model for Macroprudential Policy”, Macroprudential Analysis Department, Bank of Korea.

Kapadia, S., M. Drehmann, J. Elliott, and G. Sterne, 2009, “Liquidity Risk, Cash Flow Constraints, and Systemic Feedbacks”, Working Paper, Bank of England.

Mishkin, F. S., 2007, “Systemic Risk and the International Lender of Last Resort”, Working Paper, Board of Governors of the Federal Reserve, Speech delivered at the Tenth Annual International Banking Conference, Federal Reserve Bank of Chicago, September 28th.

Organization for Economics Co-Operation and Development, 2008, “Handbook on Constructing Composite Indicators: Methodology and User Guide”, OECD and JRC European Comission.

Rosengren, E.S., 2010, “Asset Bubble and Systemic Risk”, The Global Interdependence Center’s Conference on Financial Interdependence in the World’s Post-Crisis Capital Market, Philadelphia

Wolken, Tony, 2013, “Measuring Systemic Risk: the role of Macro-prudential

Indicators”, Bulletin Vol. 76 No. 4, Reserve Bank of New Zealand, December.

Page 33: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

33

APPENDIX

METODE PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK NEGARA LAIN

A. Risk Assessment Model of Systemic Institutions (RAMSI)

RAMSI merupakan metode pengukuran risiko sistemik yang dikembangkan

oleh BoE. RAMSI merupakan sebuah top-down model yang dirancang untuk

mengases risiko solvensi dan likuiditas yang dihadapi oleh bank dengan cara

melakukan proyeksi keuntungan bagi setiap bank. Hal itu dapat dicapai dengan

menggunakan persamaan yang memetakan proyeksi variabel makroekonomi dan

keuangan, seperti GDP dan suku bunga ke dalam profil keuntungan bank. Pada

tahap pertama, data income statement dan neraca keuangan bank serta proyeksi

variabel makrofinansial dimasukan ke dalam RAMSI untuk menghasilkan proyeksi

dari setiap komponen dalam income statement. Selanjutnya, dari proyeksi income

statement dapat dihitung keuntungan sebelum pajak yang merupakan penjumlahan

dari pendapatan net suku bunga, trading income, dan pendapatan lainnya dikurangi

dengan kerugian kredit dan biaya operasional. Selanjutnya, keuntungan sebelum

pajak dikurangi dividen dan pajak akan menghasilkan laba ditahan. Perhitungan

laba ditahan dibagi dengan ATMR akan menghasilkan proyeksi dari CAR yang sering

kali dipandang sebagai kemampuan bank untuk menyerap kerugian. Pada tahap

ini, feedback di dalam dan antarbank dapat terlihat seperti contohnya: jika

fundamental bank seperti keuntungan dan solvabilitas diproyeksikan memburuk,

bank akan mengalami kenaikan biaya pendanaan dalam RAMSI. Salah satu bentuk

contagion dapat terjadi ketika bank menderita kerugian sehingga CAR-nya berada

jauh di bawah suatu nilai threshold dan menimbulkan kerugian bagi bank lain

melalui eksposur counterparty credit dan asset fire sale. Pada tahap tidak ada bank

yang gagal, terdapat beberapa opsi yang dilakukan oleh bank berdasarkan proyeksi

CAR seperti meningkatkan jumlah ATMR atau mencapai target CAR tertentu

sehingga akan meningkatkan ATMR pada waktu kemudian. Dengan adanya

pengambilan sebuah opsi, akan dihasilkan neraca keuangan yang baru. Neraca

keuangan yang baru dapat digunakan sebagai masukan untuk melakukan

perhitungan RAMSI dari tahap awal lagi.

Page 34: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

34

Sumber: Burrows et. al. (2012)

Gambar 1. Overview RAMSI

B. Systemic Risk Model (SRM)

SRM merupakan sebuah model yang digunakan untuk mengukur risiko

sistemik pada sistem perbankan Austria dengan menggabungkan teknik standar

dari quantitative market dan manajemen risiko kredit dengan model networking dari

sebuah sistem perbankan. SRM menggambarkan kondisi dari sistem perbankan

Austria sebagai sistem dari portofolio. Setiap portofolio mempresentasikan sebuah

bank dan terdiri atas 3 kumpulan, yaitu (i) kumpulan sekuritas seperti saham dan

surat berharga (market risk losses box); (ii) kumpulan kredit korporasi dan rumah

tangga (noninterbank credit risk losses box); (iii) kumpulan interbank (interbank

network model box). Setiap portofolio akan diproyeksikan satu triwulanan ke depan

dan SRM bertujuan untuk mengetahui distribusi dari selisih nilai portfolio sekarang

dengan nilai portofolio proyeksi. Proyeksi nilai portofolio didapatkan melalui nilai

faktor risiko yang mempengaruhi nilai portofolio seperti harga pasar (indeks saham,

suku bunga, dan nilai tukar) dan variabel makrofinansial yang berdampak pada

kualitas portofolio kredit.

Faktor risiko tersebut digunakan untuk membangun skenario yang

selanjutnya akan ditranslasikan ke dalam keuntungan dan kerugian portofolio dari

bank melalui 2 (dua) tahap. Pada tahap pertama, akan dianalisis dampak dari

Page 35: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

35

skenario pada nilai dari posisi pasar dan kredit noninterbank. Pada tahap kedua,

posisi tersebut akan digabungkan dengan model networking. Pada dasarnya model

networking bekerja untuk melihat apakah bank dapat tetap memenuhi kewajiban

interbank-nya dan kemudian diberikan nilai portofolionya. Distribusi dari faktor

risiko akan menghasilkan beberapa skenario dan beberapa skenario tersebut akan

diterapkan pada sistem portofolio sehingga menghasilkan distribusi dari selisih nilai

portofolio. Melalui distribusi selisih nilai portfolio, dapat dihasilkan pemetaan

probabilitas dari masalah selama satu triwulan ke depan.

Sumber: Boss et. al. (2006)

Gambar 2. Overview SRM

C. Macro Financial Risk Assessment Framework (MFRAF)

MFRAF merupakan sebuah stress test model yang menggabungkan risiko

solvabilitas, likuiditas, dan spillover yang dihadapi bank dengan tujuan untuk

melihat efek dari risiko tersebut terhadap modal agregat perbankan Kanada. MFRAF

terdiri atas tiga modul yang saling independen dan yang mewakili 3 risiko yang

dihadapi oleh bank. Pada tahap pertama, bank akan mengalami kerugian akibat

Page 36: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

36

dari shock pada kondisi makroekonomi. Kerugian itu terjadi akibat penurunan

kualitas kredit sejak terjadinya peningkatan ekspektasi gagal bayar seiring dengan

memburuknya kondisi makroekonomi. Pada tahap kedua, terjadi risiko pendanaan

likuiditas yang disebabkan oleh penurunan roll-over deposit oleh nasabah akibat

peningkatan ekspektasi risiko solvabilitas bank. Selanjutnya, pada tahap terakhir,

kegagalan atau stress pada satu bank akibat risiko solvabilitas maupun risiko

pendanaan likuiditas dapat menyebabkan spillover pada bank lain melalui eksposur

interbank. MFRAF memiliki dua aplikasi, yaitu (i) efek risiko pendanaan likuiditas

dan efek spillover pada kerugian agregat dan (ii) trade off antara modal dan

likuiditas.

Sumber: Gauthier dan Souissi M. (2012)

Gambar 3. Overview MFRAF

D. Systemic Risk Assessment Model for Macroprudential Policy (SAMP)

SAMP merupakan sebuah kerangka yang didesain untuk menghasilkan

indikator risiko sistemik yang dapat merefleksikan first round impact akibat dari

faktor risiko makro dan second round effect dari amplifikasi dan propagasi risiko

Page 37: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

37

melalui hubungan antarbank dan macro-financial selama beberapa periode. SAMP

dikembangkan oleh BoK dan terdiri dari atas enam modul berikut.

1. Macro risk factor module

Macro risk factor module merupakan modul yang digunakan untuk

mengestimasi distribusi probabilitas bersama (joint probability distribution) dari

faktor risiko makro yang memiliki dampak siginifikan pada laba rugi bank.

2. Bank profit and loss module

Bank profit and loss module merupkan modul yang digunakan untuk

mengukur dampak faktor risiko makro pada laba rugi bank melalui (i) kerugian

akibat risiko kredit; (ii) kerugian akibat risiko pasar; (iii) pendapatan melalui

suku bunga; dan (iv) pendapatan selain melalui suku bunga. Modul ini juga

digunakan untuk menghitung perubahan rasio modal menurut aturan BASEL

yang terkena imbas dari faktor risiko makro.

3. Default contagion module

Default contagion module merupakan modul yang didesain untuk

mengestimasi efek dari ronde kedua akibat bank yang gagal. Untuk menangkap

penyebaran kerugian bank melalui eksposur interbank, digunakan sebuah model

network berbasis data neraca. Selain itu, terdapat model untuk harga pasar dari

aset likuid dan feedback default rate dari aset ilikuid, yaitu kerugian akibat fire

sale dan credit crunch akan diukur.

4. Funding liquidity contagion module

Funding liquidity contagion module merupakan modul yang digunakan

untuk menangkap interaksi antarrisiko bank gagal dan risiko pendanaan

likuiditas. Modul ini mengestimasi penarikan likuiditas, kekurangan likuiditas,

dan penambahan biaya pendanaan. Untuk menangkap efek dari contagion dari

risiko pendanaan likuiditas, akan digunakan sebuah model network yang

menggabungkan struktur maturitas dari aset dan liabilitas. Kerugian akibat

gagal bayar akan menyebar dari debitur kepada kreditur, tetapi liquidity

contagion disebarkan pada arah yang berbeda, yaitu dari kreditur kepada

debitur.

5. Multi-period module

Multiperiod module merupakan modul yang digunakan untuk mengiterasi

keempat modul sebelumnya (menggunakan data triwulanan) untuk

Page 38: KERANGKA PENGUKURAN RISIKO SISTEMIK

38

menghasilkan kerugian bank selama satu tahun. Pada setiap interasi, neraca

akan diperbaharui secara dinamik untuk merefleksikan hasil dari estimasi

triwulanan.

6. Systemic risk measurement module

Systemic risk measurement module merupakan modul terakhir yang

digunakan untuk menghasilkan bermacam-macam indikator risiko sistemik

yang dapat menilai probabilitas dari krisis sistemik yang menggunakan distribusi

kerugian agregat dari sistem perbankan. Modifikasi indikator risiko mikro,

seperti value at risk, expected shortfall, dan probability of default dilakukan untuk

menghasilkan indikator risiko sistemik.

Sumber: Jong et. al. (2013)

Gambar 4. Overview SAMP