kependudukan fix
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK KEPENDUDUKAN
KOTA SURAKARTA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ekonomi Kependudukan
Dosen Pengampu Drs. Sutomo, MS
Disusun oleh :
Deary Chriesna S. F0108007Rifki Nurul Nikmawati F0108019Adhib Eka Pambudi F0108027Artiasa Winastri F0108039Devi Anggraini F0108047Mas Faryansyah F0108085Melati Sekar K. F0108087Hesti Destiani F0108097Alexander Robert F0108135Arif Darmawan F0108138
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNANFAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET2011
Page | 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Prioritas pembangunan yang dituangkan dalam program pembangunan Nasional
salah satunya adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan
pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan system ekonomi kerakyatan.
Berbagai kebijakan dan strategi telah ditempuh untuk menvapai tujuan pembangunan
khususnya di bidang ekonomi serta sesuai dengan kondisi dan sumber daya alam yang
tersedia di kota Surakarta.
Suksesnya proses pembangunan mempunyai korelasi yang positif dengan kualitas
dan efektivitas Sumber Daya Manusia (SDM). Profil SDM merupakan suatu informasi
masukan untuk mengevaluasi pembangunan ekonomi sebelumnya dan merencanakan tahapan
pembangunan selanjutnya. Tersedianya informasi data ketenagakerjaan yang cukup rinci
dengan ruang lingkup yang cukup luas diupayakan oleh Badan Pusat Statistik dan Dinas
Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Surakarta yang diperoleh melalui survey
angkatan kerja nasional (Sakernas) dan data-data yang dihimpun oleh Dinas Sosial, Tenaga
Kerja, dan Transmigrasi kota Surakarta.
Survey-survei tersebut menghasilkan data yang merupakan bahan masukan yang
sangat penting untuk perencanaan dan evaluasi program pengembangan SDM serta ketenaga
kerjaan. Pergerakan dan data sector tenaga kerja dapat dipantau oleh pengambil kebijakan.
B. TUJUAN
Tujuan dalam makalah ini mengacu pada hasil publikasi surakarta dalam angka yaitu
bertujuan untuk melihat profil Ketenagakerjaan di Kota Surakarta tahun 2009. Profil ini
mencakup jumlah angkatan kerja, tingkat partisipasi angkatan kerja, tingkat pengangguran,
sector lapangan usaha, status pekerjaan, jenis pekerjaan dan pekerja anak. Selain itu data-data
sekunder dari Disnakertrans juga disampaikan untuk melihat bagaimana partisipasi aktif
setiap pencari kerja dan kebutuhan tentang tenaga kerja.
Page | 2
PEMBAHASAN
PROFIL KEPENDUDUKAN KOTA SURAKARTA
Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di wilayah Jawa Tengah. Dengan
mengusung slogan “Solo The Spirit of Java” bukan sesuatu yang berlebihan, karena kota ini
mampu menjadi trendsetter bagi kota/kabupaten lainnya terutama di sekitar kota Solo, dalam
bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Walaupun Kota Surakarta hanya terdiri dari 5 (lima)
kecamatan saja, kota ini menyimpan potensi yang luar biasa. Berdasarkan hasil sementara
sensus penduduk 2010, jumlah penduduk di Kota Surakarta mencapai 500.642 jiwa, dimana
jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki yakni 257.279 jiwa
perempuan dan 243.363 jiwa laki-laki. Dengan luas wilayah 44.04 km2 membuat tingkat
kepadatan penduduk di Kota Surakarta sangat tinggi, bahkan tertinggi di Jawa Tengah yaitu
sebesar 11.137 jiwa/km2.
Adapun kecamatan yang paling tinggi kepadatannya adalah kecamatan Pasar Kliwon
dengan tingkat kepadatan sebesar 15.383 jiwa/km2, sedangkan terendah 10.002 jiwa/km2 pada
kecamatan Laweyan. Dengan kondisi demikian PR (Pekerjaan Rumah) yang besar bagi
pemerintah kota Surakarta untuk menyediakan sarana dan prasarana yang baik untuk
masyarakat Kota Surakarta. Belum lagi dengan adanya keberadaan kaum commuters yang
jumlahnya tidak kalah dengan penduduk Kota Surakarta sendiri.
Secara umum penduduk laki-laki di Kota Surakarta lebih sedikit dibandingkan
penduduk perempuan, salah satunya dapat dilihat dari Sex Ratio Kota Surakarta. Berdasarkan
sensus penduduk, terhitung Sex Ratio Kota Surakarta sebesar 94.28 yang berarti setiap 100
orang penduduk perempuan terdapat 94 penduduk laki-laki. Kecamatan Serengan merupakan
kecamatan yang memiliki sex ratio terkecil yakni 92.29 sedangkan Kecamatan Pasar Kliwon
memiliki sex ratio tertinggi yakni 96.58.
Usia muda dan produktif, merupakan penduduk yang menghuni Kota Surakarta. Usia
20 sampai 24 ahun merupakan jumlah terbanyak. Kota Solo yang merupakan magnet bagi
dunia pendidikan dan bisnis ternyata telah mendorong terjadinya pemupukan pada daerah
tersebut. Berbagai sarana perekonomian menyebabkan penduduk dari luar kota ikut bersaing
dan menghuni di Kota Solo. Demikian pula dalam hal pendidikan. Adanya berbagai macam
perguruan tinggi mendorong orang di luar kota untuk tinggal di kota bengawan ini.
Page | 3
Piramid penduduk memperlihatkan bahwa daerah perkotaan seperti kota Solo akan
menggelembung di usia produktif (15-64 tahun). Hal itu sesuai dengan hasi survey angkatan
kerja tahun 2009 yang menunjukkan fenomena tersebut. Selain itu, ternyata Kota Solo juga
nyaman dihuni oleh manula. Ternyata terdapat 6.129 orang yang usianya diatas 80 tahun,
jauh melebihi angka harapan hidup Kota Surakarta yang mencapai 72.07 tahun. Potensi SDM
yang didominasi kaum muda merupakan asset yang sangat potensial dalam pengembangan
sosial ekonomi di Kota ini. Demikian juga permasalahan yang timbul akan semakin
kompleks, sehingga dapat diantisipasi masalah tersebut kepemudaan sejak dini.
Terkait dengan kegiatan ekonomi, penduduk usia kerja terbagi dalam dua kategori
yaitu penduduk usia kerja yang masuk dalam kategori angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja. Dari sebanyak 432.800 penduduk usia kerja, 65.02 % merupakan penduduk angkatan
kerja sedangkan 34.98 % adalah penduduk bukan angkatan kerja. Analisis penduduk yang
bekerja di sektor ekonomi sangat penting karena memiliki nilai strategis bagi pemerintah,
utamanya membantu pemerintah dalam menentukan fokus kebijakan ketenagakerjaan.
Pergeseran distribusi penduduk bekerja dari sektor satu ke yang lainnya dapat dilihat secara
nyata. Sehingga dapat ditentukan arah mana kebijakan ketenagakerjaan yang akan diambil.
Sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi merupakan sektor usaha yang
paling dominan dalam penyerapan tenaga kerja yaitu 43.13 % diikuti oleh sektor jasa
kemasyarakatan, sosial, dan perorangan 24.23 % dan sektor industri 17.05 %. Sektor
perdagangan mendominasi perekonomian dari sisi tenaga kerja di Kota Bengawan ini.
Infrastruktur sangat menunjang, seperti jumlah pusat-pusat perbelanjaan, baik yang modern
seperti mall dan swalayan maupun pasar tradisional yang terus dibangun untuk
mempermudah sarana transaksi. Dilihat dari gender, ternyata kaum perempuan adalah tenaga
kerja dominan do sektor perdagangan ini yaitu sebanyak 48.98 %.
Gambar 1. Diagram Jumlah Penduduk Surakarta
sumber : BPS
Page | 4
Jumlah Penduduk Kota
Banjarsari
Jebres
Laweyan
Serengan
Pasar Kliwon
Tabel 1. Tabel Jumlah Penduduk Surakarta
KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN PENDUDUK
LAWEYAN 41.192 44.403 86.315
SARENGAN 21.246 22.874 44.120
PASAR KLIWON 36.653 37.492 74.145
JEBRES 66.848 71.776 138.624
BANJARSARI 76.704 80.734 157.438
KOTA SURAKARTA 243.363 257.279 500.642
sumber : BPS
Tabel 2. Penduduk Usia 16 Ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Di Kota Surakarta Tahun 2009
Lapangan Usaha Jenis Kelamin JumlahLaki-laki Perempuan
Berusaha sendiri 32,195(23,16)
23,917(22,24)
56,112(22,76)
Berusaha dibantu pekerja tidak tetap/tidak dibayar
20,176(14,52)
12,593(11,71)
32,769(13,29)
Berusaha dibantu pekerja tetap/dibayar
9,573(6,89)
5,307(4,94)
14,880(6,04)
Buruh/karyawan/pegawai 64,590(46,47)
47,746(44,40)
112,336(45,57)
Pekerja Bebas Pertanian 237(0,17)
-(0,00)
237(0,10)
Pekerja Bebas Non Pertanian 6,380(4,69)
3,861(3,69)
10.241(4,15)
Pekerja tidak dibayar 6,080(4,37)
14,113(13,12)
20,193(8.19)
Jumlah 138,994(100,00)
107,537(100,00)
246,531(100,00)
Sumber : BPS Kota Surakarta (Sakernas)
Gambar 2. Diagram Jumlah Penduduk Menurut Status Pekerjaan Surakarta
Berdasarkan status pekerjaannya penduduk yang bekerja terbagi dalam 7 (tujuh)
kelompok status pekerjaan seperti pada tabel diatas. Melalui analisis distribusi status
pekerjaan, dapat mengetahui banyak hal, diantaranya seberapa besar jiwa kewirausahaan dan Page | 5
Bekerja Menurut Status PekerjaanBerusaha dibantu pekerja tidak tetap
Berusaha dibantu pekerja tetap
Buruh/karyawan/pegawai
Pekerja bebas pertania
Pekerja bebas non pertania
Pekerja tidak dibayar
kemandirian dari penduduk kota Surakarta. Dimana semakin tinggi presentase penduduk
yang berstatus berusaha baik sendiri maupun dibantu buruh dibayar atau tidak dibayar maka
makin tinggi jiwa kewirausahaan penduduk. Ada gambaran yang cukup menggembirakan
pada tahun 2009. Jiwa kewirusahaan penduduk kota Surakarta cukup tinggi, bhakan hampir
imbang dengan penduduk yang menjadi buruh/pekerja dibayar.
Terlihat bahwa 42,05 % penduduk yang bekerja dengan status berusaha (berusaha
sendiri, dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar,dibantu buruh tetap/dibayar) hampir
mendekati penduduk bekerja dengan status buruh/karyawan/pekerja dibayar yaitu sebesar
45,52 %. Keadaan ini berarti banyak, diantaranya kurang memadainya lapangan kerja yang
ada padahal mereka harus memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga dalam keterpaksaan
mereka malah bisa berusaha. Hal ini didukung dengan tingginya presentasi berusaha sendiri
non profesional yaitu sebesar 22,52 %.
Penduduk miskin merupakan salah satu masalah sosial yang harus segera
diselesaikan. Berbagai program pemerintah telah dilaksanakan, akan tetapi permasalahan
penduduk miskin semakin kompleks. Kawasan perkotaan, penduduk miskin tidak hanya
diukur dari tidak tersedianya pangan bagi penduduk juga masalah sandang dan papan.
Masalah pemukiman yang illegal juga menjadi perhatian yang serius untuk daerah perkotaan.
Tahun 2006, dimana pada saat itu terjadi gejolak harga minyak, jumlah penduduk miskin
naik sekitar 2%.
Terjadi pergeseran konsumsi pada penduduk. Konsumsi bahan bakar dan efek
karanbolnya menjadi hampir dua kali lipat. Keadaan ini menyebabkan konsumsi diluar itu
menjadi tersedot, sehingga berpengaruh pada jumlah penduduk miskin. Tahun 2008 secara
presentase dan agregat penduduk miskin di Surakarta merupakan yang tertinggi selama tujuh
tahun terakhir. Tercatat presentase penduduk miskin sebesar 16,13% dengan jumpah
penduduk miskin 83.400 orang.
Tabel 3. Penduduk Miskin di Surakarta
Tahun Penduduk (000) Prosentase %
Page | 6
2002 64,40 14,23
2003 72,80 15,00
2004 69,50 13,72
2005 69,10 13,34
2006 77,60 15,21
2007 69,80 13,64
2008 83,40 16,13
Sumber : BPS Surakarta
Gambar 3. Jumlah Penduduk Miskin Surakarta
Sumber : BPS Surakarta
Garis kemiskinan yang merupakan batas pengeluaran perkapita penduduk dalam
sebulan merupakan batas dimana penduduk dikatakan miskin atau tidak. Jika pengeluaran
perkapita kurang dari garis kemiskinan yang ditetapkan, maka penduduk tersebut dikatakan
miskin atau sebaliknya dikatakan tidak miskin jika pengeluarannya diatas garis kemiskinan.
Setiap tahun garis kemiskinan meningkat sesuai konsumsi masyarakat.
Tabel 4. Garis Kemiskinan Kota Surakarta
Page | 7
Sumber : BPS Surakarta
Gambar 4. Jumlah Penduduk Miskin Surakarta
Sumber : BPS Surakarta
Garis kemiskinan di kota Surakarta tercatat 236,751. Seorang dikatakan miskin jika
pendapatannya dibawah garis kemiskinan tersebut. Angka tersebut sudah dua kali lipat jika
dibanding garis kemiskinan tahun 2002. Kota Surakarta secara keseluruhan pendapatan
perkapitanya tahun 2009 mencapai Rp.14.665.886,47 selama setahun yang berarti setiap
bulanya mencapai Rp.1.222.157,21. Sangat jauh jika dibandingkan garis kemiskinan. Tahun
2008 pendapatan perkapitanya mencapai Rp.1.101.702,76, juga jauh diatas garis kemiskinan.
Page | 8
Tahun Garis Kemiskinan (Rp)2002 108,7712003 131,0842004 154,7492005 169,9562006 183,7662007 196,9592008 236,751
0
50
100
150
200
250
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Garis kemiskinan (Rp)
Garis kemiskinan (Rp)
Keadaan ini menandakan bahwa pemerataan pendapatan kota Surakarta masih timpang.
Jurang si kaya dan si miskin sudah jauh.
Dengan garis kemiskinan Rp.236.751 saja masih terdapat 16,13% dibawah garis
kemiskinan tersebut. Jurang pemisah ini diharapkan dengan penanganan yang tepat dapat
diperkecil, sehingga pemerataan penduduk semakin merata. Adanya pemerataan penduduk
ini mengakibatkat konflik sosial yang mungkin timbul dari status sosial ini dapat diatasi.
Sebaliknya, jika pemerataan tidak semakin mendekat malah semakin jauh, konflik sosial
gampang sekali tersulut.
Tabel 5. Perbandingan Penduduk Miskin Se-Eks Karisidenan Surakarta tahun 2009
Kabupaten/Kota Penduduk (000) Perubahan %
Boyolali 148.24 -6.39
Klaten 220.18 -9.42
Sukoharjo 94.45 -4.68
Wonogiri 184.88 -8.05
Karanganyar 118.79 -5.68
Sragen 167.30 -5.54
Surakarta 77.97 -6.46
Sumber : BPS Surakarta
Gambar 6. Perbandingan Penduduk Miskin Karisidenan Surakarta
Page | 9
0100200300
Perbandingan Penduduk Miskin (000)
Sumber : BPS Surakarta
Selama tahun 2009, seluruh daerah di eks-karisidenan Surakarta terjadi penurunan
jumlah penduduk miskin. Presentase penurunan sebesar -9,42%. Kabupaten Klaten
merupakan daerah yang jumlah penduduknya terbesar yaitu sebesar 220.180 orang. Selain
masih banyak daerah pedesaan, jumlah penduduk Klaten yang besar juga mengakibatkan
penduduk miskinnya bertambah. Penurunan presentase penduduk miskin terkecil di
Kabupaten Sukoharjo yang turun sebesar -4,68%. Kota Surakarta mempunyai jumlah
penduduk miskin terkecil yaitu hanya 77.970 orang. Selain majunya daerah perkotaan juga
dikarenakan jumlah penduduk Surakarta juga lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain
yang hanya berjumlah sekitar 500.000 orang.
Pengentasan kemiskinan menjadi kebijakan yang terus dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakannya antara lain Bantuan Langsung Tunai, BOS (Bantuan Operasional Sekolah),
PNPM (program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), Subsidi listrik, BBM juga masih terus
dilaksanakan. Hal ini yang mampu menekan angka kemiskinan. Program-program rakyat
sebaiknya tetap terus dilaksanakan, sealin tentunya penyediaan tenaga kerja yang memadai.
Tabel 6. Perbandingan Garis KemiskinanSe-Eks Karisidenan Surakarta tahun 2009
Kabupaten/Kota Penduduk (000) Perubahan %
Boyolali 195,54 -6.39
Klaten 241,61 -9.42
Sukoharjo 211,93 -4.68
Wonogiri 182,08 -8.05
Karanganyar 202,50 -5.68
Sragen 192,53 -5.54
Surakarta 286,16 -6.46
Sumber : BPS Surakarta
Gambar 7. Perbandingan Garis Kemiskinan Karisidenan Surakarta
Page | 100
100200300400
Perbandingan Garis Kemiskin (000)
Sumber : BPS Surakarta
Garis kemiskinan yang merupakan batas pengeluaran konsumsi terendah perkapita
perbulan untuk Kota Surakarta tertinggi, tidak hanya di eks-karisidenan Surakarta tetapi juga
di Jawa Tengah. Garis kemiskinan Surakarta sebesar Rp.286.160. sedangkan garis
kemiskinan di Wonogiri terendah dengan Rp.182.080. kabupaten Klaten menepati urutan
kedua, diikuti oleh Sukoharjo dan Karanganyar yang semuanya mempunyai nilai garis
kemiskinan diatas 200 ribu. Hal ini bisa diakibatkan karena kedekatan daerah-daerah itu
dengan daerah perkotaan seperti jogja dan Solo.
Kedekatan daerah tersebut akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Biaya
hidup di daerah perkotaan juga mendorong besarnya nilai konsumsi tersebut. Selain harga
yang lebih tinggi, pola konsumsi masyarakat perkotaan juga cukup bervariasi, tidak hanya
kebutuhan pangan saja. Kebutuhan non makanan juga cukup tinggi, misalnya transportasi,
pendidikan, kesehatan, jasa-jasa. Hal ini berbeda dengan daerah pedesaan yang cenderung
hanya bahan makanan, karena untuk sebagian daerah yang penting hanya ‘makan’, kebutuhan
laninnya bisa ditunda atau tidak dikonsumsi. Pola konsumsi ini juga dipengaruhi oleh
pendapatan, dalam arti saling ketertaitan antara pendapatan dan konsumsi.
Tabel 7. Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008-2009
Kabupaten/Kota IPM Peringkat Nasional Peringkat Propinsi
2008 2009 2008 2009 2008 2009
Boyolali 69,99 70,44 258 263 26 26
Klaten 72,93 73,41 123 122 10 9
Sukoharjo 73,01 73,29 118 128 9 10
Wonogiri 70,47 71,04 237 232 22 22
Karanganyar 72,21 72,55 150 158 12 13
Sragen 69,57 70,11 287 289 28 28
Surakarta 77,16 77,49 18 17 1 1
Sumber : BPS Surakarta
Page | 11
Gambar 8. IPM di Eks Karisidenan Surakarta
Sumber : BPS Surakarta
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah sebuah indeks yang mengukur keadaan
sosial ekonomi masyarakat di suatu wilayah. IPM adalah membandingkan nilai ukur suatu
indikator di suatu daerah dengan daerah lain di wilayah Indonesia. Indikator sosial atau
keadaan sosial yang diukur dalam perhitungan IPM adalah lamanya sekolah. Seseorang
bersekolah makin lama akan menandakan kualitas pendidikan. Lamanya sekolah menandakan
tingginya tingakat pendidikan yang nantinya akan berdampak pada pola hidup dan konsumsi
masyarakat berbeda dengan pendidikan yang berbeda pula. Pola hidup kaum yang
berpendidikan akan menggunakan pemikiran untuk menjalani kehidupannya. Harapan hidup
juga indikator sosial yang diperhitungkan dalam perhitungan IPM. Harapan hidup ini akan
menandakan seberapa lama seseorang akan hidup yang berarti kualitas kesehatan penduduk
mempengaruhi usia seseorang.
Sedangkan konsumsi atau pengeluaran perkapita masyarakat menandakan tingkat
ekonomi masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengeluaran menandakan tingkat pendapatan
juga semakin tinggi. Keadaan ini disebabkan pola perekonomian yang semakin tinggi dan
semakin padat sehingga pengeluaran perkapita ini dipakai sebagai indicator perekonomian
untuk penghitungan Indeks Pembangunan Manusia. Nilai-nilai Maksimum dan Minimum
dari komponen-komponen IPM adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Komponen-Komponen IPM
Komponen IPM Nilai Maksimum
Nilai Minimum
Keterangan
Angka Harapan Hidup
Angka Melek Huruf
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
Kemampuan Daya Beli
85
100
15
732.720
25
0
0
360.000b)
Standar UNDP
Standar UNDP
Standar UNDP
Standar UNDP
Page | 12
Sumber : BPS Surakarta
Rata-rata Lama sekolah menggunakan combined gross enrolment ratio sedangkan Kemampuan daya beli
menggunakan PDB perkapita yangtelah disesuaikan
Kota Surakarta mempunya nilai IPM yang paling tinggi yaitu 77,49 dan yang
terendah adalah Kabupaten Sragen 70,11. Secara nasional Surakarta menempati urutan ke 17
dan Sragen 289, jika diperbandingkan peringkatnya sangat jauh. Sedangkan untuk se-Jawa
Tengah Surakarta menempati peringkat satu dan Sragen peringkat 28. Lengkapnya sarana dan
prasarana di daerah perkotaan menghasilkan nilai IPM di daerah perkotaan menjadi tinggi.
Banyaknya sekolah untuk sarana pendidikan, fasilitas kesehatan yang komplit, serta daya
tarik perekonomian akan meningkatkan pendapatan. Fasilitas-fasilitas ini akan menghasilkan
kualitas penduduk yang bagus.
Secara keseluruhan seluruh nilai IPM di wilayah eks-karesidenan Surakarta terjadi
kenaikan, hal ini seiring dengan gencarnya kampanye pendidikan dan kesehatan.
Terpenuhinya kebutuhan tersebut akan meningkatkan lamanya sekolah dan tingkat harapan
hidup akan bertambah. Sedangkan perekonomian semakin meningkat seiring dengan laju
pertumbuhan ekonomi. Pendapatan penduduk akan bertambah sehingga berkorelasi dengan
meningkatnya konsumsi masyarakat yangpada akhirnya meningkatkan nilai IPM.
Tingkat harapan hidup tertinggi se eks-karisedanan Surakarta adalah Kabupaten
Sragen, 72,37 tahun. Artinya rata-rata usia seseorang mencapai 72,37 tahun hidup di dunia.
Boleh dikatakan Kabupaten Sragen merupakan daerah yang paling nyaman untuk dihuni.
Keadaan lingkungan dan pola hidup masyarakat mempengaruhi tingginya nilai usia harapan
hidup seseorang. Sedangkan terendah adalah Kabupaten Sukoharjo dengan 70,17 tahun.
Seluruh daerah mencapai lebih dari 70 tahun.
Tabel 10. Angka Harapan Hidup dan Pengeluaran Perkapita
Kabupaten/Kota
Angka Harapan Hidup
(Tahun)
Pengeluran Perkapita
Disesuaikan (Ribuan)
2008 2009 2008 2009
Boyolali
Klaten
Sukoharjo
70.24
71.15
70.11
70.3
71.33
70.17
626.14
641.86
643.38
629.49
643.92
644.6
Page | 13
Wonogiri
Karanganyar
Sragen
Surakarta
72.14
72.05
72.18
71.98
72.21
72.13
72.37
72.07
639.55
645.79
626.26
646.45
644.6
647.87
627.15
648.23
Sumber : BPS Surakarta
Jawa Tengah usia harapan hidupnya mencapai 71,25 tahun yang berarti terdapat 2
daerah yaitu Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo yang usia harapan hidupnya lebih
rendah dari Jawa Tengah. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat menurut Hendrik Blum,
dapat diukur dari tingkat mortalitas dan morbiditas penduduk yang dipengaruhi oleh 45 %
faktor-faktor lingkungan, 30 % faktor perilaku kesehatan, 20 % faktor pelayanan kesehatan,
dan 5 % faktor kependudukan/keturunan. Faktor-faktor tersebut harus dapat diseimbangkan
untuk memperoleh derajat kesehatan yang tinggi sehingga akan meningkatkan usia harapan
hidup seseorang di suatu wilayah.
Pengeluaran perkapita perbulan di Kota Surakarta menunjukkan yang tertinggi yaitu
Rp. 648.230,- sedangkan pengeluaran untuk Kabupaten Sragen terendah dengan Rp.
627.150,-. Perekonomian Kota Surakarta merupakan yang tertinggi dikarenakan karena
aktivitas perekonomian di kota ini sangat tinggi. Banyaknya pusat-pusat perdagangan baik
pasar tradisional maupun modern mendorong pengeluaran konsumtif masyarakat akan
mudah tersedot. Fenomena lain tentang perekonomian Surakarta adalah sebagai barometer
atau tolak ukur segala kegiatan ekonomi di eks Karisidenan Surakarta. Setiap hari khususnya
siang hari banyak penduduk di sekitar Solo seperti Sukoharjo, Karanganyar Sragen, Klaten
mencari nafkah di Solo.
Gambar 9. Angka Harapan Hidup Se Eks Karisidenan Surakarta
Sumber : BPS Surakarta
Tabel 11. Angka Partisipasi Sekolah
Page | 14
Umur 2007 2008 2009
7 – 12
13 – 15
16 – 18
19 - 24
99.18
88.98
81.16
35.85
98.99
89.58
81.90
36.10
99.50
94.00
74.34
26.62
Sumber : BPS Surakarta
Angka partisipasi sekolah yaitu angka yang menjelaskan banyaknya penduduk usia
sekolah pada masing-masing kelompok usia sekolah yang sedang/masih sekolah dibagi
dengan usia sekolah pada masing-masing kelompok usia sekolah. Surakarta untuk penduduk
usia SD sampai SLTP (7-12 dan 13-15 tahun) cukup tinggi mencapai 99,50 person dan 94
persen. Ini menandakan wajib belajar Sembilan tahun di Kota Surakarta sudah hampir
terpenuhi 100 persen. Usia perguruan tinggi (19-24 tahun) juga cukup tinggi yaitu mencapai
26,62 persen.
Tabel 12. Angka Partisipasi Kasar Sekolah
Umur 2007 2008 2009SD
SLTPSLTA
Perguruan Tinggi
110.2590.5587.6836.98
112.12104.1782.7634.66
104.4697.0081.4233.46
Sumber : BPS Surakarta
Sedangkan angka partisipasi kasar merupakan penduduk usia sekolah pada usia
sekolah sebenarnya dibagi dengan penduduk usia sekolah. Terlihat bahwa Sekolah Dasar,
angka pertisipasi kasar sekolah mencapai 104,46 persen. Hal ini mempunyai arti bahwa yang
sekolah pada jenjang Sekolah Dasar melebihi penduduk usia 7 – 12 tahun yang ada di Kora
Surakarta. Kemungkinannya adalah banyak anak yang usianya dibawah tujuh tahun atau
diatas 12 tahun yang masih sekolah di tingkat SD.
Tabel 13. Angka Partisipasi Murni Sekolah
Umur 2007 2008 2009SD
SLTPSLTA
Perguruan Tinggi
93.4470.0868.1232.08
93.4368.7552.5927.08
91.0978.0066.3726.24
Sumber : BPS Surakarta
Page | 15
Gambar 9. APM dan APK Surakarta 2009
Sumber : BPS Surakarta
Angka partisipasi Murni Sekolah adalah banyaknya anak yang sekolah sesuai umur
dan jenjang pendidikannya. Usia SD tercatat sebesar 91.09 persen. Sedangkan usia SLTP
tercatat 78,00 persen. Banyaknya jumlah sekolah baik SD, SLTP, SLTA maupun Perguruan
Tinggi ikut mendorong angka partisipasi sekolah di Kota Bengawan. Angka-angka diatas
belum termasuk penduduk di luar Kota Surakarta yang sedang menuntut ilmu di Kota
Surakarta. Jika penduduk yang tinggal di luar kota tercatat sebagai anak sekolah di Kota Solo,
bisa dipastikan bahwa anak-anak yang sedang sekolah cukup besar. Potensi ini bisa digali
lebih dalam, bahwa Kota Surakarta bisa dikatakan sebagai kota pendidikan. Hal itu juga
dikukuhkan bahwa Kota Surakarta sebagai Kota Vokasi, dikarenakan banyaknya sekolah
ketrampilan seperti SMK di Kota Surakarta.
Pendidikan yang ada merupakan sarana menggali Sumber Daya Manusia yang
berkualitas. SDM ini merupakan potensi yang sangat besar untuk meningkatkan
perekonomian yang berbasis pendidikan tinggi. SDM Surakarta jika dikelola dan
didayagunakan, maka akan menjadi kekuatan SDM yang sangat besar. Potensi yang besar ini
juga dapat menjadi hambatan dan ancaman, hal ini bisa terjadi jika sarana dan prasarana
pendidikan yang ada, ternyata tidak dinikmati oleh penduduk Kota Surakarta. Artinya sarana
pendidikan yang ada, siswa atau mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan berasal dari
daerah lain. Jika hal ini terjadi maka, penduduk Kota Surakarta menjadi penonton atau
menjadi masyarakat yang berpendidikan rendah. Pemangku kebijakan hendaknya terus
mengoptimalkan penduduk dalam kota supaya dapat bersekolah setinggi-tingginya
memanfaatkan banyaknya sekolah yang ada di Kota Bengawan.
Tabel 14. Prosentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Di Surakarta Tahun 2009
Pendidikan 2007 2008 2009
Page | 16
Tidak/Belum Pernah Sekolah Tidak Punya Ijasah SDSD/MISMPSMU/MASMKDI/DIIDIIIDIV/S1 dan S2/S3
6.244.9518.6621.8824.0910.161.564.687.80
2.996.0317.5920.9826.4410.921.214.898.97
4.665.4317.4120.3726.3911.391.424.258.68
Sumber : BPS Surakarta
Prosentase penduduk bemsia 15 tahun keatas menurut pendidikan yang ditamatkan
dapat dilihat pada table diatas. Selama tiga tahun terakhir, komposisi penduduk menurut
pendidikan yang ditamatkan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pendidikan SMP
dan SMU/MA masih diatas 20 persen. Kualitas SDM salah satunya dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan keterampilan. Di Kota Surakarta lulusan tertinggi masih didominasi oleh
lulusan SMU/MA sebesar 26,39 persen. SMK sebesar 11,39 persen, sehingga tingkat SLTA
sebanyak 37,78 persen. Penduduk menurut pendidikan diatas SLTA sudah mencapai 14,35,
sedangkan lulusan DIV/S1 dan S2/S3 mencapai 8,68 persen. Banyaknya sekolah tinggi di
Surakarta diharapkan dapat terus meningkatkan jumlah lulusan pendidikan diatas SLTA bagi
penduduk Kota Surakarta.
Penduduk dengan tamatan dibawah Sekolah Dasar, Tidak/Beium pernah sekolah dan
tidak punya ijasah SD, masih cukup besaryaitu sebesar 10.09 persen. Terdiri dari tidak/belum
pernah sekolah 4,66 persen dan Tidak Punya Ijasah SD 5,43 persen. Angka tersebut masih
didominasi oleh penduduk usia lanjut (diatas 50 tahun), sehingga program pengentasan buta
huruf difokuskan pada usia-usia lanjut. Meskipun demikian perlu menjadi perhatian bagi
penduduk-penduduk usia produktif tetapi belum dapat membaca dan menulis.
Sekolah-sekolah yang ada juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengentasan
buta huruf, meskipun usia penduduk yang mengalami buta huruf adalah bukan usia sekolah.
Dengan kerjasama yang baik antara sekolah, pemerintah, LSM dan masyarakat itu sendiri
diharapkan dapat meningkatkan program anak dapat sekolah setinggi-tingginya. Biaya
pendidikan tinggi yang melambung tinggi akhir-akhir ini, tidak berarti mematikan penduduk
yang ingin menggapai cita-dta bersekolah tinggi.
Tabel 15. Rata-Rata Lama Sekolah Surakarta
Page | 17
Sumber : BPS Surakarta
Kualitas pendidikan penduduk di suatu wilayah dapat dilihat dari sseorang
mengenyam pendidikan formal/ semakin lama seseorang sekolah semakin banyak mengeyam
pendidikan. Rata-rata lamanya sekolah penduduk di Kota Surakarta mencapai 8,92 tahun
mendekati angka wajib belajar 9 tahun. Hal ini juga perlu diperhatikan, apakah karena
penduduk usia muda atau usia muda yang lamanya sekolah kurang dari 9 tahun. Lamanya
sekolah untuk laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Agaknya masih ada perbedaan gender
dalam bersekolah untuk laki-laki dan perempuan. Perbandingan dengan Propindi Jawa
Tengah, angka di Surakarta jauh lebih tinggi. Di Jawa Tengah tercatat rata-rata lamanya
sekolah 6,32 tahun. Kabupaten atau kota di Jawa Tengah yang masih banyak wilayah
pedesaan agaknya ikut mendorong wajib belajar 9 tahun belum dapat terlealisir. Kalangan
dunia pedidikan perlu kerja keras untuk mencapai target wajib belajar.
Tabel 15. Rata-Rata Lama Sekolah Jawa Tengah
Sumber : BPS Surakarta
Wilayah Eks-Karisidenan Surakarta, Kota Solo merupakan masyarakat yang
mengenyam pendidikan terlama. Penduduk Kota Surakarta rata-rata selama lebih dari 10
tahun mengenyam pendidikan atau bersekolah. Tahun 2010 tercatat selama 10,32 tahun
penduduk bersekolah. Lamanya bersekolah juga mengakibatkan persentaase angak melek
huruf sebesar 96,67 persen. Sedangkan untuk daerah lainnya masih dibawah sembilan tahun
Page | 18
Jenis Kelamin 2007 2008 2009Laki-lakiPerempuanLaki-laki+PerempuanJawa Tengah Laki=Perempuan
9.248.098.636.20
9.438.699.046.09
9.338.558.926.32
Kabupaten/ Kota
Rata-rata Lamanya Sekolah
(Tahun)
Angka Melek Huruf (Persen)
2008 2009 2008 2009Boyolali
Klaten
Sukoharjo
Wonogiri
Karanganyar
Sragen
Surakarta
7.10
7.75
8.15
6.10
7.05
6.50
10.12
7.29
7.93
8.36
6.29
7.17
6.88
10.32
85.96
89.28
90.36
82.03
84.76
81.15
96.66
85.97
89.7
90.38
82.14
84.96
81.54
96.67
lamanya sekolah. Wajib belajar 9 tahun sudah dapat direalisasikan. Daerah di luar Solo masih
belum dapat menjangkau wajib belajar 9 tahun. Sukoharjo yang cukup tinggi yaitu 8,36 tahun
dengan angka melek huruf 90,38 persen. Bahkan daerah lain rata-rata lamanya sekolah masih
dibawah angka 8 tahun. Cukup kerja keras daerah seperti Wonogiri, Sragen, Karanganyar,
Boyolali dan Klaten untuk memenuhi wajib belajar. Banyaknya sekolah dan besarnya
pendidikan sangat mempengaruhi masyarakat untuk bersekolah. Kesadaran masyarakat akan
pentingnya sekolah juga harus tetap disosialisasikan supaya minat bersekolah tetap tinggi.
Pendidikan gratis harus benar-benar menjangkau masyarakat golongan rendah.
Tabel 15. Jumlah Tenaga Medis Persalinan
Sumber : BPS Surakarta
Masyarakat perkotaan sangat erat kaitannya dengan sarana dan prasaranan yang lebih
modern. Sarana kesehatan misalnya jauh lebih banyak dan lebih berkualitas dibandingkan
dengan pedesaan. Sarana kesehatan sudah menjadi kebutuhan yang pokok. Kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesehatan sudah tinggi di daerah perkotaan. Kelahiran yang
merupakan perjuangan hidup dan mati si ibu dan si bayi sudah menjadi perhatian yang sangat
tinggi. Proses penolong kelahiran di Kota Surakarta sudah hamper seratus persen
menggunakan sarana dan tenaga medis, baik dengan bidan maupun dokter. Tercatat di tahun
2009 penolong proses kelahiran oleh tenaga bidan sebesar 59,15 persen sedangkan oleh
dokter juga sangat tinggi sebesar 40,85 persen. Keadaan ini berbeda dengan keadaan di Jawa
Tengah secara keseluruhan.
Di Jawa Tengah penolong proses kelahiran oleh dokter hanya 16,25 persen.
Keberadaan dokter kandungan di Jawa Tengah juga bisa mempengaruhi tingkat kelahiran
dengan pertolongan dokter. Bidan desa di Jawa Tengah agaknya sudah mulai tersebar ke
berbagai pelosok daerah di Jawa Tengah. Hal ini dibuktikan denga pertolongan bidan desa
dalam proses kelahiran sebesar 67,86 persen. Kesadaran masyarakat akan keberadaan bidan
Page | 19
Jenis Kelamin 2007 2008 2009SurakartaDokterBidan
Jawa TengahDokterBidan
45.3553.49
16.0464.43
37.5862.42
17.4867.34
40.8559.15
16.2567.86
desa sudah cukup tinggi. Bidang kesehatan untuk penolong proses kelahiran di Jawa Tengah
sudah cukup baik, apalagi untuk daerah perkotaan sepeti Kota Surakarta. Sarana dan
prasarana kesehatan sudah semakin maju baik secara kuantitas maupun kualitas.
Tabel 16. Perbandingan Tingkat Lama Pemberian ASI Kepada Bayi Karisidenan Surakarta dengan Jawa Tengah
Su mber : BPS Surakarta
Rata-rata pemberian Air Susu Ibu untuk balita, Kota Surakarta merupakan paling
singkat dalam pemberian ASI, yaitu 13,57 bulan. Lebih sedikit lamanya dibanding dengan
Jawa Tengah selama 17,25 bulan. Keadaan ini sesuai dengan daerah perkotaan yang
cenderung adanya pergeseran budaya menyusui karena berbagai factor. Pekerjaan misalnya,
ibi-ibu yang mempunyai balita tetapi juga bekerja akan mengalihkan minum ASI ke susu
formula. Ketersediaan susu formula yang banyak yang banyak beredar di pusat-pusat
perbelanja mendorong beralihnya balita dari minum ASI ke susu formula. Sedangkan daerah
pedesaan cenderung lebih lama dalam pemberiaan ASI.
Kabupaten Sragen rata-rata pemberian ASI paling lama di eks-karisidenan Surakarta,
yaitu selam 16,85 bulan urutan kedua yaitu Kabupaten Wonogiri selam 16,01 bulan.
Kabupaten Klaten, Sukoharjo dan Karanganyar yang daerahnya sudah mulai berkembang kea
rah perkotaan dan juga berbatasan langsung dengan Kota Surakarta, rata-rata lamanya
pemberian ASI mencapai sekitar 14 bulan. Secara keseluruhan semua kabupaten/kota di eks
karisidenan Surakarta lebih pendek lamanya menyusui jika dibandingkan dengan Jawa
Tengah. Kesadaran pemberian ASI yang merupakan air susu yang sangat berguna dan
bervitamin serta dapat memperat ikatan ibu dan anak, perlu disosialisakan lagi di wilayah
Page | 20
Kabupaten/ Kota 2007 2008 2009BoyolaliKlatenSukoharjoWonogiriKaranganyar Sragen
16.5514.8213.7817.2217.2617.75
16.6515.4715.2116.9616.6317.32
15.6114.2414.0216.0114.1516.85
Surakarta 13.20 13.96 13.57Jawa Tengah 17.39 17.47 17.25
eks-karisidenan Surakarta. Dengan sosialisasi yang baik, maka pemberian ASI oleh ibu aka
lebih lama lagi sampai 24 bulan dimana kualitas ASI sudah tidak bagus lagi.
Tabel 17. Status Kepemilikan Rumah di Surakarta
Sumber : BPS Surakarta
Berdasarkan status kepemilikan rumah, di Kota Surakarta, rumah yang ditempat
tinggali merupakan rumah dengan status milik sendiri, yaitu sebesar 82,34 persen. Sarana
rumah di daerah pekotaan merupakan permasalahan tersendiri. Adanya kantong-kantong
kemiskinan akibat adanya rumah yang tak layak huni sangat mewarnai kehidupan daerah
perkotaan. Meskipun sudah menjadi milik sendiri, bagi kaum pinggiran, keadaan rumah
biasanya hanya seadanya saja, yang terpenting bagi kaum seperti itu adalah mempertahankan
hidup dan mencari nafkah. Keadaan ini juga terdapat di Kota Surakarta. Masalah lain yang
timbul adalah lahan yang ditempati adalah lahan illegal, seperti bantaran sungai, banataran rel
kereta api serta tanah-tanah Negara atau lahan kosong yang sebenarnya bukan milik sendiri.
Banjir, merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari penataan hunian yang
tidak teratur. Relokasi merupakan salah satu cara untuk memindahkan hunian liar disekitar
daerah aliran sungaike tempat yang semestinya. Langkah-langkah ini sudah diambil
Pemerintah Kota Surakarta dalam mengatasi banjir. Beberapa lahan-lahan sengketa juga
sudah mulai diselesaikan seperti hunian yang menjadi milik orang lain. Mediasi-mediasi
sudah dilakukan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan. Sarana perumahan dan bangunan
yang didirikan tidak sesuai dengan tata ruang kota juga merupakan permasalahan serius jika
tidak ditangani sejak dini akan menjadi dampak yang buruk. Kajian-kajian AMDAL, Analisis
Dampak Lingkungan, harus benar-benar menjadi dasar dibangunnya gedung-gedung
perkantoran, apartemen, perumahan dan yang lainnya. Antisipasi ini harus segera dilakukan
Page | 21
Kabupaten/ Kota 2007 2008 2009Milik SendiriDinasMilik SaudaraLainnya
81.871.4115.311.41
82.881.2714.900.95
82.343.5913.910.16
mengingat luas Kota Surakarta sangat sempit yaitu 44,04 Km2, dan didaerah aliran
sungaiserta didataran rendah.
Tabel 17. Jumlah Konsumsi Masyarakat Surakarta Berdasarkan Jenisnya
Sumber : BPS Surakarta
Pengeluaran konsumsi penduduk per rumahtangga di Kota Surakarta mencapai
783.801 rupiah, menurut hasil survey social ekonomi nasional tahun 2009. terbanyak adalah
untuk konsumsi makanan dan minuman jadi, hamper 33,96 persen. Angka ini menandakan
bahwa masyarakat Surakarta cenderung masyarakat yang praktis, yaitu langsung membeli
makanan jadi. Daerah perkotaan seperti Surakarta merupakan daerah yang hamper disetiap
jengkal tanahnya terdpat usaha makanan atau warung makan, rumah makan. Setiap malam
juga terdapat sejenis warung ‘HIK’ yang hampi sepajang malam tetap buka, bahkan sampai
pagi. Kota yang tak pernah tidur sudah layak disandang oleh Kota Solo.
Banyak diantara penduduk Kota Solo yang keluar malam, sambil menikmati suasan
malam di Kota Bengawan, dan menikmati makanan dan minuman jadi. Hal ini yang
mendorong konsumsi di sector tersebut cukup tinggi. Konsumsi makanan tertinggi kedua
Page | 22
Jenis Konsumsi 2007 2009Padi-padianUmbi-umbianIkanDagingTelur dan SusuSayu-sayuranKacang-kacanganBuah-buahanMinyak dan LemakBahan MinumanBumbu-bumbuanKonsumsi lainnyaMakanan dan Minuman JadiTembakau dan Sirih
106,0231,93118,46926,01750,86955,75127,98024,47420,58625,00711,64118,640199,39558,633
107,3362,99230,28042,68267,50749,52234,50733,45121,06828,60013,63419,054266,20166,967
Jumlah 645,416 783,801
pada sekotr padi-padian yang mencapai 107.336 ribu. Padi-padian yang merupakan makanan
pokok menyebabkan konsumsi ini cukup tinggi. Sedangkan terendah adalah konsumsi umbi-
umbian, yang merupakan bahan makanan untuk masyarakat pedesaan, sehingga di
perkotaan konsumsi ini sangat sedikit.
KESIMPULAN
Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di wilayah Jawa Tengah.
Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk 2010, jumlah penduduk di Kota Surakarta
mencapai 500.642 jiwa, dimana jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk
laki-laki yakni 257.279 jiwa perempuan dan 243.363 jiwa laki-laki. Dengan luas wilayah
44.04 km2 membuat tingkat kepadatan penduduk di Kota Surakarta sangat tinggi, bahkan
tertinggi di Jawa Tengah yaitu sebesar 11.137 jiwa/km2.
Dilihat dari segmentasi, usia muda dan produktif, merupakan segmentasi penduduk
yang menghuni Kota Surakarta. Usia 20 sampai 24 ahun merupakan jumlah terbanyak. Kota
Solo yang merupakan magnet bagi dunia pendidikan dan bisnis ternyata telah mendorong
terjadinya pemupukan pada daerah tersebut. Sedangkan dilihat dari fenomena kemiskinan
dapat diukur melalui garis kemiskinan. Garis kemiskinan yang merupakan batas pengeluaran
perkapita penduduk dalam sebulan merupakan batas dimana penduduk dikatakan miskin atau
tidak. Garis kemiskinan di kota Surakarta tercatat 236,751. Seorang dikatakan miskin jika
pendapatannya dibawah garis kemiskinan tersebut. Kota Surakarta secara keseluruhan
pendapatan perkapitanya tahun 2009 mencapai Rp.14.665.886,47 selama setahun yang berarti
setiap bulanya mencapai Rp.1.222.157,21.
Indikator selanjutnya yang bisa menunjukkan keberhasilan daerah adalah IPM. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) adalah sebuah indeks yang mengukur keadaan sosial ekonomi
masyarakat di suatu wilayah. IPM adalah membandingkan nilai ukur suatu indikator di suatu
daerah dengan daerah lain di wilayah Indonesia. Kota Surakarta mempunya nilai IPM yang
paling tinggi yaitu 77,49 dan yang terendah adalah Kabupaten Sragen 70,11. Secara nasional
Surakarta menempati urutan ke 17 dan Sragen 289, jika diperbandingkan peringkatnya sangat
jauh. Sedangkan untuk se-Jawa Tengah Surakarta menempati peringkat satu dan Sragen
peringkat 28.
Page | 23
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun.2010.Surakarta Dalam Angka 2010.BPS:Surakarta.
Page | 24