kementerian pendidikan nasional direktorat...
TRANSCRIPT
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALDIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI NONFORMAL DAN INFORMAL
BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMALDAN INFORMAL(BPPNFI) REGIONAL VII MATARAM
TAHUN 2011
ISSN : 2085-9368
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANIMELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN(Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok) Dr. Safuri, M.Pd (Dosen STKIP Siliwangi Bandung)
WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKANIN FORMAL DAN NON FORMAL Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)
MENGEMAS SENI TRADISIONAL NTB UNTUK MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL Dr. Kadri, M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Regional VII Mataram)
PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL(STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG) I Wayan Sudiadnyana, S.Pd (Pamong Belajar SKB Klungkung)
Edisi 7
ISSN : 2085-9368
Pengarah Rony Gunarso, M.M.Pd.
Pimpinan Redaksi/Penanggung JawabKhairuddin, SH.
Redaktur PelaksanaAhmad Bawazir, SH.
Haryanto, M.PdDr. Kadri, M.Si
Penyunting/Editor H. Rusli Nursalam
H. Abdul Muis
Desain Grafis dan FotografiDoni Erfan
Rieza Bayu Putra, ST
SekretariatDewi Amalia, ST, MMAhmad Hari Tamrin
Indah Septia Perdana, SE
Pengarah Rony Gunarso, M.M.Pd.
Pimpinan Redaksi/Penanggung JawabKhairuddin, SH.
Redaktur PelaksanaAhmad Bawazir, SH.
Haryanto, M.PdDr. Kadri, M.Si
Penyunting/Editor H. Rusli Nursalam
H. Abdul Muis
Desain Grafis dan FotografiDoni Erfan
Rieza Bayu Putra, ST
SekretariatDewi Amalia, ST, MMAhmad Hari Tamrin
Indah Septia Perdana, SE
Alamat RedaksiJln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871
Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]
Websitewww.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi7
Alamat RedaksiJln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871
Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]
Websitewww.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi7
Edisi 7
Jurnal
PENGANTAR
Suatu kebahagiaan tak ternilai bagi seluruh tim jurnal Aksa Sriti ketika telah merampungkan seluruh proses
penerbitan jurnal ini, mulai dari upaya permintaan tulisan, pengeditan, penerbitan, hingga pendistribusian jurnal ini
sehingga sampai di tangan pembaca. Kebahagian itu cukup beralasan di tengah kesibukan para kru jurnal
menyelesaikan beragam tugas lainnya. Ternyata kami masih bisa mempertahankan eksistensi jurnal yang telah
dirintis lebih dari tiga tahun silam ini. Sebagai wujud konsistensi pengelola jurnal untuk mempertahankan karakter jurnal Aksa Sriti sebagai jurnal
berhaluan Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI), kami sedapat mungkin berikhtiar
maksimal untuk memuat seluruh tulisan yang terkait dengan bidang PAUDNI dengan beragam variasi tema di
dalamnya. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini antara lain merupakan hasil penelitian dan pengkajian yang
dilakukan oleh pamong belajar yang ada di wilayah BPPNFI Regional VII, seperti tulisan I Wayan Sudiadayana dari
SKB Klungkung tentang “Pelatihan Pendidikan PAUD dengan Pendekatan Kontekstual” dengan setting kasus di
SKB nya sendiri.
Tulisan Dr. Safuri, M.Pd, tentang hasil pengamatannya tentang praktek pemberdayaan perempuan tani melalui
penguatan program pembelajaran, juga telah memberi warna pendidikan nonformal dan informal dari isi jurnal ini.
Masih terkait dengan bidang PAUDNI, dua dari empat tulisan dalam jurnal ini mengupas eksistensi dan peran
kesenian tradisional dalam pendidikan nonformal dan informal. Hal ini secara eksplisit diuraikan oleh Anak Agung
Ngurah Sumatri dalam tulisannya berjudul “Wayang sebagai media pendidikan informal dan nonformal” dan dalam
tulisan tentang “Optimalisasi peran kesenian tradisonal NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial” dari
Dr. Kadri, M.Si.
Jurnal ini telah memadukan antara ulasan hasil studi atau pengembangan dengan pokok-pokok pikiran (artikel
populer) terkait dengan pengembangan PAUDNI ke depan, baik dari pamong maupun dari kalangan akademisi,
dengan harapan semoga menjadi catatan berharga bagi setiap pembaca sehingga komitmen untuk terus
mengembangkan PAUDNI makin terus terjaga dan selalu ditingkatkan. Selamat membaca...
Mataram, Juni 2011 Pimpinan Redaksi/Penanggungjawab
H. Khairuddin, SH.
ii
J u r n a l A k s a S r i t iEdisi 7
DAFTAR ISI
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANIMELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN(Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok) hal 1 - 11Dr. Safuri, M.Pd (Dosen STKIP Siliwangi Bandung)
WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKANIN FORMAL DAN NON FORMAL hal 12- 26Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)
OPTIMALISASI PERAN KESENIAN TRADISIONAL NTB SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL hal 27 - 35Dr. Kadri, M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Regional VII Mataram)
PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL(STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG) hal 36 - 50I Wayan Sudiadnyana, S.Pd (Pamong Belajar SKB Klungkung)
iii
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
1
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANI
MELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN
(Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok)
Oleh
Dr. Safuri, M.Pd
(Dosen STKIP Siliwangi Bandung)
Abstrak : Kondisi factual Perempuan tani di Nusa Tenggara Barat dan di Indonesia
pada umumnya adalah suatu kelompok masyarakat yang selama ini masih tergolong
terbelakang dan rentan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara
ekonomi pendidikan, politik, budaya maupun sosial.
Melalui Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa dengan dukungan UNESCO
sejak Oktober 1999 yang telah melakukan upaya pemberdayaan perempuan tani
melalui penguatan jaringan pembelajaran yang ada di masyarakat. Sebagai lokasi
kegiatan program ini dilaksanakan di dusun Ketapang Orong desa Gegerung dan di
dusun Montong Tangar desa Batu Kumbung. Kriteria penempatan program
perempuan tani di dua desa tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan,
antara lain : (1) tingkat buta hurufnya tinggi, (2) tingkat pendapatannya rendah, (3)
belum ada aliran listrik, (4) relatif terbelakang kehidupan sosial budayanya dan (5)
tersedia sumber daya alam yang dapat dikembangkan bagi kegiatan usaha ekonomi
produktif.
Melalui program ini telah dirasakan manfaatnya mengikuti kegiatan belajar,
antara lain mulai berani mengunjungi sarana kesahatan, dapat memahami
pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan anggota keluarga serta
lingkungan sekitarnya, memiliki keterampilan dalam membuat beberapa obat-obatan
tradisional, mengenal makanan yang memiliki kandungan gizi yang diperlukan bagi
tubuh, suami perempuan tani sudah mulai membantu kegiatan rumah tangga,
walaupun demikian perempuan tani masih merasakan kesulitan dalam memasarkan
produk yang dihasilkannya.
Kata kunci : perempuan, pemberdayaan, jaringan, pembelajaran,
Pendahuluan
Perempuan tani di Nusa Tenggara Barat dan di Indonesia pada umumnya
adalah suatu kelompok masyarakat yang selama ini masih tergolong terbelakang dan
rentan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara ekonomi, pendidikan,
politik, budaya maupun sosial. Mencermati kondisi faktual tersebut salah satu
lembaga swadaya masyarakat yaitu Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa dengan
dukungan UNESCO sejak Oktober 1999 telah melakukan upaya pemberdayaan
perempuan tani melalui penguatan jaringan pembelajaran yang ada di masyarakat.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
2
Sebagai lokasi kegiatan program ini dilaksanakan di dusun Ketapang Orong desa
Gegerung dan di dusun Montong Tangar desa Batu Kumbung.
Tulisan ini merupakan hasil survey yang pernah dilakukan penulis untuk
memperoleh informasi secara komprehensif mengenai perkembangan dan dampak
program pemberdayaan perempuan tani melalui penguatan jaringan pembelajaran
yang dilaksanakan KSU ANNISA.
Gambaran Umum Lokasi Survey
KSU adalah sebuah Koperasi perempuan yang beranggotakan perempuan
golongan ekonomi menengah kebawah yang memiliki kegiatan usaha produktif
maupun yang ingin melakukan usaha produktif yang berlandaskan kesetaraan dan
kesejajaran gender untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka
memerangi kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
KSU Annisa dirintis tahun 1984, saat itu terdapat tiga kelompok swadaya
masyarakat (KSM) yang terdiri dari 53 orang perempuan yang berada di kelurahan
Karang Baru kec Mataran Kota Mataram. Kelompok ini keberadaannya cukup
diminati, pada saat dilakukan survey anggotanya 325 orang yang tergabung
kedalam 18 kelompok dan tersebar pada 3 kecamatan (Ampenan, Mataram, dan
Cakranegara). KSU Annisa menjadi badan hukum sejak 18 Maret 1989 (Badan
Hukum No.790a/BH/XXII).
Jumlah anggota KSU Annisa tidak kurang dari 1.500 orang, yang tergabung
dalam 100 kelompok dan diantaranya termasuk 31 kelompok Pendidikan Fungsional
yang tersebar di 15 Desa yang meliputi 9 Kecamatan. Selain itu KSU Annisa juga
telah mendampingi 13 kelompok belajar pendidikan Fungsional dan 4 kelompok pra
koperasi dan 1 koperasi binaan Plan International pada 4 desa di Lombok Timur,
serta menghubungkan 242 kelompok lainnya dengan 7 BPR yang ada di Kota
Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah. Adapun jumlah asset yang dikelola
berasal dari modal sendiri maupun dari simpanan anggota.
Visi yang diusung KSU Annisa adalah tercapainya kesetaraan dan
kesejahteraan hidup bagi penduduk wanita miskin di NTB. Adapun misinya adalah:
1) Membentuk sebuah Koperasi Wanita yang kuat, mandiri dan berlandaskan pada
kesetaraan dan kesejajaran gender di Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat.
2) Menumbuhkan dan mengkritisi kesadaran masyarakat tentang manfaat dan
pentingnya keberadaan Koperasi sebagai wadah pengembangan ekonomi yang
memperhatikan nilai-nilai keterbukaan, demokrasi dan rasa saling tolong
menolong.
3) Memfasilitasi beberapa koperasi dan LSM yang ada di NTB agar pengembangan
ekonomi yang dilakukan berperspektif gender dan pengembangan program yang
terintegrasi.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
3
Bidang kegiatan KSU Annisa mencakup: (a) usaha (simpan pinjam dan
perdagangan), (b) pengembangan masyarakat (pendidikan, latihan pendampingan,
konsultasi usaha, study banding, magang dan dialog terbuka), (c) mendampingi
kelompok binaan LSM lainnya dalam pengembangan koperasi dan pendidikan
fungsional dan (d) advokasi melalui kerjasama dengan LSM-LSM lain dan pihak
lainnya yang terkait.
Kerjasama yang telah dilakukan KSU Annisa dalam mengembangkan
programnya antara lain adalah dengan AWID Forum (1996), YASPPUK (1997),
ALTRABAKU (1996), APIK (1996), KOALISI PEREMPUAN (1998), INKOWAN
(1995), UNESCO (1999), Diknas, BPKB dan SKB. Aktivitas usaha anggota KSU
Annisa tergolong pada kegiatan pertanian, perdagangan dan jasa. Misalnya
agribisnis, peternakan, perikanan, warung makan, sayuran, bakso, kios, perbengkelan
dan jasa jahit.
Program pemberdayaan perempuan tani yang dilaksanakan KSU ANNISA
kerjasama dengan UNESCO dilaksanakan di desa Batu Kumbung dan Gegerung
Kecamatan Lingsar. Berikut ini dipaparkan profil kedua desa lokasi program.
1) Desa Batu Kumbung
Desa Batu Kumbung memiliki tujuh dusun, sedangkan yang dijadikan lokasi
program adalah dusun Montong Tangar, tepatnya di Sesaot dan Pekarangan. Jumlah
penduduk Desa Batu Kumbung adalah 6036 orang, yang terdiri dari laki-laki 2904
orang dan perempuan 3132 orang. Tingkat pendidikan penduduk desa dapat
digambarkan sebagai berikut. Pada saat dilakukan survey penduduk yang belum
sekolah 785 orang, usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 1126 orang, tidak tamat SD
890 orang, tamat SD 2190 orang, tamat SLTP 97, tamat SLTA 421 orang dan PT 29
orang. Mata pencaharian pokok penduduk adalah sebagai petani 3226 orang, buruh
tani 3478 orang, peternak 2716 orang, pengrajin 70 orang, pedagang 46 orang. Data
ini masih perlu dilacak lebih lanjut karena data yang diperoleh tim diperoleh dari
data sekunder.
Hasil pertanian dari desa Batu Kumbung yang berupa buah-buahan misalnya
rambutan, manggis dan pisang. Perkebunan tembakau juga terdapat di desa ini
dengan luas 3,5 ha yang memproduksi 10 ton/ha atau 35 ton dari luas lahan yang ada.
Sedangkan peternakan yang ada terdiri dari: sapi 973 ekor, babi 90 ekor, ayam 3860
ekor, kuda 19 ekor, dan kambing 80 ekor. Lahan perikanan yang ada kurang lebih
75 ha dengan rata-rata produksi 1 ton/ha. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan
mujair, lele dan karper.
Potensi alam lain yang terdapat di desa adalah pasir dan batu apung.
Sementara itu potensi air diperoleh dari air irigasi 4,30 M2/detik, mata air 2,10
M2/detik, sumber air minum dari mata air 5 unit (130 KK), sumur gali 73 umit (176
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
4
KK), sumur pompa 20 unit (136 KK), hidran umum17 unit (513 KK), pipa 2 unit
(533 KK) dan sungai 5 unit (130 KK), dan sungai 5 aliran.
2) Desa Gegerung
Jumlah penduduk Gegerung adalah 4221 orang dengan 1159 kepala keluarga.
Jumlah penduduk laki-laki adalah 2020 orang dan perempuan 2201 orang. Pada saat
awal diluncurkan program pemberdayaan perempuan tani ini tidak ada satupun dari
penduduk desa yang pernah mengenyam pendidikan pada tingkat perguruan tinggi.
Sementara yang tamat SLTA berjumlah 1 (satu) orang dan SLTP 10 (sepuluh) orang
dan tamat SD berjumlah 200 orang dan sisanya yang hampir mendekati 500 (lima
ratus) jiwa perempuan dan laki-laki dewasa adalah tidak tamat SD dan tidak pernah
mengenyam pendidikan sama sekali. Sebagian besar dari mereka adalah kaum
perempuan . Fakta ini menunjukkan bahwa di dusun Ketapang Orong kaum laki-laki
jauh mendapat prioritas dalam hal pendidikan dibandingkan perempuan. Pada sisi
lain tergambar juga betapa rendahnya perhatian para orang tua terhadap masalah-
masalah pendidikan putra-putri mereka.
Mata pencaharian sebagian besar penduduk di dusun ini adalah sebagai petani
dimana ada 56 orang adalah petani yang memiliki lahan sendiri, 21 orang petani
penggarap, 53 orang buruh tani, 15 orang peternak, 50 orang pengrajin, 19 orang
pedagang dan 10 orang tukang dengan rata-rata pendapatan per hari berkisar antara
Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,-.
Kondisi masyarakat yang demikian terbelakang diperparah lagi dengan tidak
adanya sumber air bersih. Masyarakat kebanyakan menggantungkan kebutuhan akan
air untuk kebutuhan MCK (Mandi Cuci Kakus) mereka dari 3 (tiga) kali yang
melintasi dusun ini, didusun ini hanya ada 11 buah WC atau jamban pribadi. Karena
dusun Ketapang Orong ini berada pada daerah dataran tinggi maka masyarakat
mendapat kesulitan untuk membangun sumur galian untuk mendapatkan air bersih.
Dusun ini hanya memiliki 3 (tiga) buah sumur galian. Pada beberapa waktu yang
lalu masyarakat dusun memiliki pipa air yang dialirkan dari sumber 3 (tiga) mata air
yang berada di dalam hutan ditempat yang lebih tinggi namun karena musim hujan
yang datang beberapa bulan terakhir membuat beberapa pipa yang dibangun
masyarakat menjadi tersumbat dan ada beberapa saluran pipa yang putus.
Masyarakat di dusun Ketapang Orong masih terpola pada nilai-nilai
patrilineal (patriakhat) yang kental dimana laki-laki lebih memainkan peran dalam
hubungan antara keluarga dengan kelembagaan masyarakat yang ada ini
menyebabkan rendahnya peran perempuan dalam hal keterlibatan mereka pada
organisasi masyarakat yang ada. Perempuan lebih banyak terlibat dalam urusan
domestik rumah tangga dan hanya keluar sesekali waktu pada kegiatan posyandu.
Didusun ini hampir tidak ditemukan adanya kelompok-kelompok atau organisasi
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
5
perempan walaupun hanya untuk sekedar arisan. Hal yang sangat memperihatinkan
di dusun ini adalah masih tingginya angka perceraian dan angka perkawinan pada
usia muda. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap rendahnya perhatian para orang
tua terhadap anak-anak mereka.
Dari beberapa sisi keterbelakangan di atas, ada beberapa catatan yang
menggembirakan khususnya pada tatanan nilai sosial, ekonomi dan budaya yang
masih kuat di pertahankan oleh masyarakat di dusun. Hal ini dapat dikatakan
sebagai kearifan-kearifan lokal, diantaranya ngadas, besiru, banjar dan nyakapang.
Ngadas adalah sebuah sistem bagi hasil yang khususnya ditujukan pada usaha-usaha
peternakan. Sistem bagi hasil dialamatkan kepada sang pemilik dan individu yang
menawarkan diri untuk memelihara ternak seperti sapi dan kambing.
Besiru adalah suatu bentuk kerjasama yang memiliki lingkup yang lebih luas
yaitu suatu upaya saling bantu antara satu individu dengan individu lainnya dengan
menggunakan patokan waktu sebagai standar pembayaran atas bantuan tenaga yang
sebelumnya diberikan oleh individu lainnya. Begae/bederep adalah suatu bentuk
pengupahan atas suatu jasa atau tenaga yang diberikan oleh individu dengan
memberikan sejumlah tertentu dari hasil panen yang telah dilakukan misalnya untuk
panen kelapa para pemanjat kelapa mendapat porsi tertentu dari jumlah hasil kelapa
panjatan yang mereka lakukan. Banjar adalah bentuk kekerabatan yang masih kuat
di dusun ini khususnya pada saat masyarakat mengadakan acara-acara tertentu atau
menghadapi kematian, perkawinan, dan acara-acara keagamaan lainnya. Nyakapang
adalah bentuk kerjasama antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap lahan
dengan kontribusi masing-masing dan adanya kesepakatan dimuka yang dibuat untuk
sistem bagi hasil atas suatu usaha pengolahan lahan untuk jangka waktu tertentu.
Semua bentuk kearifan-kearifan lokal tidak selalu dilihat dari segi ekonomi
walaupun sesungguhnya kental sebagai usaha ekonomi, tetapi lebih kental sebagai
kegiatan usaha yang disemangati kekeluargaan. Pada kenyataannya ternyata sistem
ini sangat kuat dalam membangun kekerabatan dan keakraban antara satu individu
dengan individu yang lain. Pada sisi sosial budaya masyarakat di dusun ini memiliki
khasanah cerita-cerita dan lagu-lagu rakyat yang sering di dendangkan manakala
menemani anak-anak mereka tidur. Ini adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara
turun temurun dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Potensi alam yang ada di desa adalah lahan yang diperuntukan untuk pekarangan
seluas 166,180 ha, perkebunan 13,00 ha, persawahan seluas 82,06 ha, ladang atau
tegalan seluas 8,00 ha, hutan seluas 18,00 ha dan lahan untuk keperluan yang lain-
lainnya seluas 11,95 ha.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
6
Program Pemberdayaan Perempuan Tani
Program pemberdayaan perempuan tani melalui penguataan jaringan
pembelajaran di Desa Gegerung dan Batu Kumbung telah dirintis KSU Annisa sejak
tahun 1999. Saat itu yang menjadi sasaran program adalah 30 orang di dusun
Ketapang Orong Desa Gegerung dan 20 orang di dusun Pekarangan dan Sesaot Desa
Batu Kumbung. Sebagai program rintisan pihak KSU meemukan sejumlah kendala,
diantaranya pengkondisian warga belajar, masyarakat/keluarga dari warga belajar,
tokoh-tokoh masyarakat, penyiapan motivator/fasilitator dan kader.
Kriteria penempatan program perempuan tani di dua desa tersebut didasarkan
atas beberapa pertimbangan, antara lain : (1) tingkat buta hurufnya tinggi, (2) tingkat
pendapatannya rendah, (3) belum ada aliran listrik, (4) relatif terbelakang kehidupan
sosial budayanya dan (5) tersedia sumber daya alam yang dapat dikembangkan bagi
kegiatan usaha ekonomi produktif.
Proses partisipatif telah dilakukan KSU Annisa dalam kaitan menganalisis
situasi dan kebutuhan belajar. Aspek-aspek kebutuhan belajar yang teridentifikasi
antara lain yang berkenaan dengan: (1) baca tulis dan hitung, (2) pendidikan agama,
(3) gender, (4) kesehatan, (5) lingkungan, (6) keterampilan produktif , dan (7) kehidupan
keluarga.
Materi pembelajaran yang dibelajarkan bagi warga belajar di dusun
Pekarangan dan Sesaot (Montong Tangar Batu Kumbung) antara lain yang
berkenaan pendidikan agama misalnya rukun Islam, cara bersuci, nama-nama 25
nabi, syarat syah puasa, hadas besar dan kecil serta salawat Nabi. Yang berkenaan
dengan gender antara lain kekerasan terhadap perempuan, hak anak terhadap orang
tua, kewajiban orangtua terhadap anak dan tugas suami-istri. Yang berkenaan dengan
calistung antara lain membaca koran, membaca buku cerita, cara membuat surat, cara
mengirim surat, menghitung dagangan, perkalian, ekonomi rumah tangga,
menghitung rugi laba, membuat buku kas, nama-nama bulan Masehi, hari besar
nasional dan cara menggunakan telepon. Yang berkenaan dengan bidang kesehatan
misalnya tentang kebersihan pribadi, kesehatan keluarga dan lingkungan, berobat ke
Puskesmas dan Rumah Sakit. Sedangkan keterampilan ekonomi produktif yang
diajarkan misalnya membuat roti kukus, membuat naga sari pepaya, cake singkong,
kacang telur dan membuat telur asin.
Pada dusun Ketapang Orong desa Gegerung, materi yang dibelajarkan pada
bidang agama misalnya doa bangun dan akan tidur, doa keluar masuk wc, cara
berwudhu/ praktek, rukun Islam, syarat syah sembahyang dan shalawat nabi. Materi
tentang gender misalnya tentang kekerasan terhadap istri dan kewajiban orangtua
terhadap anak. Keterampilan produktif yang dibelajarkan misalnya cara menanam
seledri, praktek membuat kripik talas, membuat dodol nangka, membuat telur asin
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
7
dan membuat putu ayu. Pengetahuan umum yang dibelajarnya misalnya hari besar
nasional dan nama-nama bulan. Calistung yang dibelajarkan misalnya cara membuat
cara membuat dan mengirim surat, membaca buku cerita, latihan membaca resep
dokter, membaca koran, mengisi buku kas, menghitung belanja dan pendapatan,
ekonomi rumah tangga (penghasilan dan pengeluaran), menghitung hutang,
menghitung rugi laba. Bidang kesehatan yang dibelajarkan misalnya praktek meramu
obat tradisional, berobat ke Puskesmas dan rumah sakit, merawat kehamilan,
kebersihan pribadi/sehari-hari dan kebersihan lingkungan.
Secara umum penyelenggaraan program dilakukan dengan tiga tahapan,
yaitu: (1) tahap pertama disebut dengan tahap penumbuhan berlangsung antara 6
bulan s.d 1 tahun akan tetapi tergantung pada tingkat kemampuan dasar membaca,
menulis, berhitung, bahasa Indonesia dan perkembangan tingkat pengetahuan
lainnya; (2) tahap pengembangan 6-1 tahun dan (3) tahap pemandirian (penyapihan),
tahapan ini untuk mempersiapkan warga belajar menuju kemandirian baik dari sisi
membaca, menulis, berhitung, pengetahuan bahasa Indonesia dan perkembangan
tingkat kesadaran kesehatan peserta dan kewirausahaan.
Proses penyelenggaraan program dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut: (1) need assesment yaitu menggali kebutuhan belajar masyarakat, potensi
pembelajaran yang ada (Calon Kader, tempat-tempat belajar, dll) need assesment ini
dilakukan secara partisipatif oleh motivator KSU ANNISA bersama-sama
masyarakat calon kelompok sasaran; (2) analisis kebutuhan; (3) penyiapan program
pembelajaran; (4) pelatihan bagi para Kader selama satu minggu; (5) pelaksanaan
program materi belajar dikelompokan terdiri dari kelompok materi keaksaraan
(baca, tulis, hitung dan bahasa Indonesia), upaya peningkatan ekonomi dan praktek
keterampilan, kesehatan (kesehatan diri, keluarga dan lingkungan), gender; agama
(6) pemantauan dilakukan oleh motivator (KSU ANNISA) kepada Kader dan warga
belajar pemantauan yang dilakukan oleh motivator KSU Annisa frekwensinya
ditentukan oleh tahapan pembelajaran dengan kata lain setiap tahapan (penumbuhan,
pengembangan dan penyapihan) frekwensinya tidak sama tetapi pemantauan
minimal dilakukan satu bulan sekali, (7) tugas motivator (KSU ANNISA) dalam
penyelenggaraan program adalah pengkoordinasian kader, menjadi fasilitator dalam
pelatihan bagi kader, melakukan need assesment, analisis kebutuhan, penyiapan
program dan bahan belajar, pelaksanaan program, pemantauan, evaluasi dan
pelaporan; (8) tugas kader: mengajar, penyiapan bahan mengajar (membuat
inventaris materi), pembinaan terhadap warga belajar, menyusun laporan bulanan
baik yang terkait dengan pembelajaran maupun keuangan dilakukan setiap satu bulan
sekali, dalam persiapan program terlibat dalam hal; melakukan need assesment,
analisis kebutuhan, penyiapan program dan bahan belajar.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
8
Evaluasi penyelenggaraan program yang dilakukan adalah: (1) proses
evaluasi dilakukan sebulan sekali baik untuk materi membaca, menulis, berhitung;
(2) evaluasi tahunan, setiap kegiatan evaluasi selalu menggunakan instrumen berupa
soal, panduan wawancara dan observasi, hasilnya untuk memilah warga belajar
sehingga pada setiap penyelenggaraan memiliki kelompok warga belajar dengan
tingkatan/ kelas A, B dan C.
Proses Pemeberdayaan Perempuan Tani
Kelembagaan KSU Annisa telah melakukan upaya-upaya yang strategis
dalam melakukan program perempuan tani. Tidak hanya karena mengemban visi dan
misi bagi peningkatan keberdayaan perempuan tani, melainkan juga kebutuhan
faktual di lapangan pada dua desa yang dijadikan pilot project .
Pengurus dan tenaga lapangan pada KSU Annisa telah dimobilisasi untuk
melaksanakan program ini. Beberapa kader telah dilahirkan untuk mendukung
operasional program. Bahkan patut dicontoh upaya KSU Annisa untuk membangun
jaringan dan lembaga donor lain selain UNESCO untuk keberhasilan program Multi-
channel Learning. Lembaga tersebut misalnya UNICEF, LIPI, Diknas dan Puskat.
Tidak dapat disangkal bahwa dengan jumlah sasaran program yang tadinya
terbatas (10 orang) perkelompok, setelah masyarakat melihat langsung manfaat
mengikuti kegiatan pembelajaran di kelompok, jumlah warga belajar terus
bertambah. Dipihak lain kondisi ini merupakan parameter keberhasilan program,
tetapi justru pihak KSU Annisa dan fasilitator/motivator menjadi agak kewalahan
dalam memberikan pelayanan pembelajaran. Pelayanan pembelajaran menjadi lebih
kearah kuantifikasi, jumlah peserta yang makin besar, sementara warga belajar yang
lama menjadi agak jenuh belajar. Karena orientasi belajarnya lebih menekankan pada
keaksaraan sedangkan pada upaya peningkatan keterampilan usaha maupun
peningkatan pendapatan menjadi kurang dikembangkan.
KSU Annisa telah berupaya memberikan wawasan gender, kehidupan
ekonomi, khsusnya melalui wadah koperasi, kesehatan, pendidikan dan kehidupan
rumah tangga. Hal ini menjadi catatan positif dari kegiatan pemberdayaan
perempuan tani. Penyadaran gender yang dilakukan kepada perempuan tani sebagi
warga belajar antara lain berkenaan dengan akses dalam berorganisasi,
keterlibatannya dalam kegiatan sosial, mendapatkan informasi, melakukan
komunikasi dan lain-lain. Kasus kawin cerai relatif masih sangat tinggi khususnya di
dusun Kerapang Orong sebagai akibat dari budaya patriarkhi dan penafsiran agama
yang keliru, khususnya pada bagian yang membenarkan laki-laki untuk boleh
mempunyai istri lebih dari satu. Disamping itu tingkat pendidikan perempuan relatif
lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
9
Tingkat pendapatan masyarakat yang tergolong sangat rendah dengan rata-
rata pendapatan perkapita Rp. 3.000,- s.d. Rp. 5.000,- membuat kehidupan warga
berada dalam ketidakberdayaan. Terbatasnya akses kepemilikan lahan baik lahan
ladang maupun sawah dan terbatasnya sarana prasarana ekonomi serta kondisi
topografi daerah yang berbulit-bukit khususnya di dusun Ketapang Orong tidak
menguntungkan bagi tanaman semusim seperti padi dan palawija sehingga
masyarakat hanya bergantung pada tanaman menahun yang berakibat pada
terbatasnya penghasilan masyarakat untuk jangka waktu yang panjang.
Masalah yang berkenaan dengan bidang kesehatan antara lain masih
tingginya angka penderita penyakit menular seperti muntaber dan penyakit kulit.
Sarana dan prasarana kesehatan yang terbatas, seperti kurangnya sarana MCK
(Mandi Cuci Kakus), tidak adanya petugas kesehatan atau dukun terlatih. Masalah
lainya adalah Masyarakat masih mempercayai mitos tentang tehnik pengobatan dan
penyembuhan penyakit yang dipraktekan para dukun serta keterampilan dalam hal
perawatan kehamilan dan pemeliharaan bayi bagi masyarakat desa masih sangat
kurang.
Perhatian para orang tua terhadap pendidikan putra-putri relatif kurang.
Sebagian besar masyarakat terutama kaum perempuan hanya tamat SD, tidak tamat
SD dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali. Dipihak lain masih
kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di kedua desa tersebut. Selain itu sarana
prasarana pendidikan informal seperti tempat mengaji, mushola atau langgar juga
masih terbatas.
Rata-rata masyarakat baik laki-laki maupun perempuan mempunyai
keterampilan yang masih sangat rendah khususnya keterampilan yang dibutuhkan
untuk mengolah sumber daya alam yang ada. Di pihak lain tidak tersedianya wadah
dan tempat belajar yang memungkinkan bagi terasahnya keterampilan
masyarakat.Juga didukung oleh kemampuan tulis baca masyarakat yang masih
terbatas.
Walaupun program pemberdayaan perempuan tani ini sudah dilaksanakan
masih dijumpai usia perkawinan dibawah usia 18 tahun. Perangkat desa dan unsur
yang terlibat dalam proses perkawinan juga belum menjalankan peraturan dan tata
cara perkawinan secara optimal. Tingginya angka perceraian khususnya di Dusun
Ketapang orong antara lain disebabkan oleh system sosial yang tidak memberikan
sanksi khusus bagi mereka yang melakukan perceraian. Bagi para istri yang di
ceraikan kurang mendapatkan pembagaian harta gonogeni. Para suami yang
melakukan perceraian tidak di kenakan sangsi untuk membayar mut‟ah bagi
pelaksanaan perceraian.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
10
Dampak Program
Dampak program pemberdayaan perempuan tani jika dilihat dari peningkatan
kecakapan keaksaraan terdapat perkembangan secara signifikan, baik dilihat dari
kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap warga belajar sehigga secara
keseluruhan warga belajar yang tadinya berada pada kelas C (kategori warga belajar
yang tidak bisa baca, tulis dan hitung) meningkat menjadi kelas B (kategori warga
belajar yang sudah mulai bisa baca, tulis dan hitung) dan A (kategori warga belajar
yang sudah cakap baca, tulis dan hitung). Pada saat dilakukan survey masih
ditemukan warga belajar yang baru bergabung kurang dari 6 bulan sehingga masih
berada pada kelas C.
Kecakapan warga belajar terhadap akses pelayanan kesehatan, mereka pada
umumnya sudah berani meminta pelayanan yang memadai dari puskesmas,
posyandu, ada penataan kesehatan lingkungan keluarga dan perawatan kebersihan
diri dan anggota keluarga. Kesadaran agama nampak meningkat dengan indikator
mulai menjalankan perintah agama. Demikian pula kesadaran tentang kesetaraan
gender dan keterlibatannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan nampak
dirasakan oleh warga desa.
Pada kegiatan produksi, warga belajar telah memiliki sejumlah keterampilan
pembuatan makanan jajanan, berkebun, berdagang dan kerajinan. Demikian pula
kesadaran gotong royong meningkat.
Simpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil survey antara lain adalah
keberdayaan perempuan tani yang menjadi subyek pemberdayaan pada umumnya
merasakan manfaatnya mengikuti kegiatan belajar, mulai berani mengunjungi sarana
kesahatan, seperti Posyandu, Polindes dan Puskesmas, dapat memahami pentingnya
menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan anggota keluarga serta lingkungan
sekitarnya, telah memiliki keterampilan dalam membuat beberapa obat-obatan
tradisional, mengenal makanan yang memiliki kandungan gizi yang diperlukan bagi
tubuh, suami perempuan tani sudah mulai membantu kegiatan rumah tangga, seperti
mengambil air untuk keperluan masak dan minum serta merawat anak, sebagian dari
warga belajar telah mulai memanfaatkan bantuan pinjaman modal dari KSU Annisa
untuk belajar bisnis kecil-kecilan, misalnya membuka warung dan membuat
kue/jajanan, dalam melakukan keiatan usaha, walaupun demikian perempuan tani
masih merasakan kesulitan dalam memasarkan produk yang dihasilkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif., S. (1998). Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan. Jakarta : CIDES.
Borg, W.R. and Gall,M.D.(1983). Educational Research : An Introduction. New
York : Longman.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
11
Chamber, R.(1987). Pembangunan Desa : Mulai dari Belakang. Terjemahan Pepep
Sudrajat . Jakarta : LP3ES.
Cross,K.P.(1984). Adult As Learner. San Francisco : Jossey-Bass Publishers.
Davies , I.K. (1986). Pengelolaan Belajar (terjemahan). Jakarta : CV.Rajawali.
Havelock,G.R.(1975). The Change Agent’s Guide to Innovation in Education.
New Jersey : Educational Technology Publications.
Juliantara,D.ed. (2000). Menggeser Pembangunan, Memperkuat Rakyat. Yogyakarta
Manuwoto,S. (1996). Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan : Kasus Profil
Propinsi Riau.Jakarta : PT. Grasindo
eville, B. et al. (1994). Qualitative Research in Adult Education. Underdale SA :
University of South Australia.
Porter, D.B.and Hernacki.M. (1999). Quantum Learning. Bandung : Kaifa.
Russell,B.(1993). Pendidikan dan Tatanan Sosial (terjemahan) . Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
Sarman,M.dan Sajogyo. (2000). Masalah Penanggulangan Kemiskinan : Refleksi
Dari Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Puspa Swara.
Sumodiningrat,G. (1999). Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Suwarsono dan So,A.Y.(1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia.
Jakarta : LP3ES.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
12
WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN
IN FORMAL DAN NON FORMAL
Oleh
Anak Agung Ngurah Sumantri
(Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)
Abstraksi : Suatu media yang pernah pada masa lalu dipakai sebagai media
pendidikan tentu bukanlah tabu kalau dimanfaatkan kembali sebagai media belajar
masa kini dengan inovasi dan kreasi disesuaikan dengan kondisi pada masa kini.
Tentunya media ini lebih dapat dikendalikan karena pengendalinya adalah seorang
dalang yang secara fisik langsung berhadapan dengan sasaran didik. Wayang salah
satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak
karya budaya lainnya. Ajaran moral yang terkandung dalam wayang merupakan
kristalisasi sistem budaya yang pernah berlaku dalam perjalanan sejarah kehidupan
masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai moral menurut agama Hindu, Budha, Islam,
dan juga pada peradaban Barat, semuanya diserap, kemudian diolah dan diromabak
oleh para dalang dan diungkapkan berdasarkan kedewasaan jiwanya dengan
menggunakan bahasa sastra yang menjadi kaidah seni pedalangan.
Kata kunci : Media, Wayang, Seni, Moral.
Latar belakang.
Era globalisasi pada masa kini disertai dengan kemajuan teknologi terutama
teknologi informasi (IT) seperti internet sangatlah luar biasa. Setiap orang dengan
mudah memperoleh segala informasi dalam hitungan detik dalam sekali klik pada
suatu tempat dan suatu wujud benda canggih yang bernama komputer. Apapun yang
merupakan keduniawian apalagi buatan manusia termasuk kemajuan teknologi selalu
diiringi dampak positif di satu sisi dan juga dampak negatif disisi lainnya. Ibaratkan
mata uang antara sisi satu dan lainnya tak dapat dipisahkan. Berbagai informasi
tersebut untuk menambah wawasan juga merupakan proses pendidikan baik formal,
informal maupun nonformal. Sayangnya pemanfaat teknologi saat ini terutama IT
sebagai media belajar pengetahuan tidak disertai suatu teknologi apakah itu suatu
bentuk aplikasi yang bersifat memproteksi materi-materi atau sumber belajar yang
bersifat negatif dan mempengaruhi moral para user dalam konteks ini adalah sasaran
didik tentunya.
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan menawarkan suatu alternatif media
pendidikan yang nampaknya sudah ditinggalkan oleh generasi kini sebagai media
pendidikan. Padahal dalam sejarahnya, media ini pernah menjadi sebuah media
pendidikan terutama sebelum dikenalnya pendidikan formal seperti sekarang ini
yakni pada masa Hindu-Budha dan juga masa penyebaran agama Islam terutama di
Pulau Jawa oleh para Walisongo.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
13
Suatu media yang pernah pada masa lalu dipakai sebagai media pendidikan
tentu bukanlah tabu kalau dimanfaatkan kembali sebagai media belajar masa kini
dengan inovasi dan kreasi disesuaikan dengan kondisi pada masa kini. Tentunya
media ini lebih dapat dikendalikan karena pengendalinya adalah seorang dalang yang
secara fisik langsung berhadapan dengan sasaran didik. Sehingga ada timbal balik
saling mengawasi dan mengingantkan agar tidak keluar dari rel materi yang sarat
dengan pesan moral dan sopan santun tata krama. Beda halnya jika media informasi
elektronik-digital yang online dimana si penyumbang materi dari identitas ada yang
misterius bahkan sebagian besar tidak dikenal karena nickname sehingga mereka
dapat sesuka hatinya menyebarkan informasi yang secara moral tidak
bertanggungjawab.
Tulisan ini hanyalah sumbangan pemikiran dan ide dari penulis sebagai peneliti
yang berharap banyak dapat menggugah para pendidik, institusi pendidik, serta
mereka yang perduli dengan dunia pendidikan terutama tentunya produk pendidikan
yang berkualitas dan yang lebih penting pendidikan moral yang akhir-akhir ini kian
memprihatinkan.
Media Belajar dalam Pendidikan Informal dan Nonformal
Kata media berasal dari bahasa latin yaitu jamak dari kata medium yang
secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau
pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, 2002: 6) .
Secara umum media pembelajaran dalam pendidikan disebut media, yaitu berbagai
jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk berpikir,
menurut Gagne (dalam Sadiman, 2002: 6). Sedangkan menurut Brigs (dalam
Sadiman, 2002: 6) media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta
merangsang siswa untuk belajar. Jadi, media merupakan segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim dan penerima sehingga dapat
merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian sedemikian rupa sehingga proses
belajar terjadi (Sadiman, 2002: 6).
Menurut Latuheru (dalam Hamdani, 2005: menyatakan bahwa media
pembelajaran adalah bahan, alat atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan
siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diberikan, maka media pembelajaran
merupakan segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat
merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian siswa sehingga proses interaksi
komunikasi edukasi antara guru (atau pembuat media) dan siswa dapat berlangsung
secara tepat guna dan berdayaguna.
Wayang Kulit dan Asal Usulnya
Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
14
peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga
seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman,
juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman
filsafat, serta hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan
budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-
abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang
populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu
Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak
mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah
asli Indonesia.
Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis
masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa
dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan
seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi
khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para
budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat
bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar
jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.
Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche
Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan
keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang
dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah
Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama,
pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di
Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-
ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di
antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes,
Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat
kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya
orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng,
Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain.
Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa
(Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang
berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka
antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian
besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah
India.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
15
Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat
bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari
negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada
zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika
kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi
bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X.
Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis
pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan
dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki.
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana
dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan
kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu
Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab
Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India,
adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini
dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).
Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak
zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu
antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang
maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir.
Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979),
memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500
tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-
Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof.
K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya
bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang
menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan
wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-
gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran
wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron,
todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa
itu diduga belum ada.
Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan
Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab
Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang
leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang
yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan
Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa
ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah
para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
16
Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi
pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah
wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan
lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang
Kulit.
Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada
Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat
penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang
berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di
Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang
sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu
masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari
cerita pakem.
Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa
Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda,
dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana
benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan
benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.
Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh
semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan
anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga
biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di
wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.
Wayang Sebagai Warisan Budaya
Apabila wayang akan difungsikan sebagai sarana pendidikan, baik informal
maupun nonformal, kita perlu memahami dan menyadari benar bahwa wayang
memang memiliki keunggulan tertentu. Wayang sarat dengan nilai-nilai moral yang
dapat dijadikan acuan sikap dan perilaku serta sebagai tuntunan hidup dunia akhirat.
Wayang adalah karya seni yang diciptakan oleh para empu dengan landasan
pengabdian jiwa secara total. Wayang mengandung berbagai cabang seni yang
terpadu dalam bentuk seni pertunjukan, meliputi seni drama, seni sastra, seni
gerak/tari, seni karawitan, seni kriya dll. Bagi para empu karya seni secara lahiriah
merupakan tujuan berkarya, sedangkan secara rohaniah berkarya merupakan wahana
untuk mendekatkan jiwanya dengan Sang Maha Pencipta, karena keindahan yang
sempurna hanya ada pada-Nya. Dengan sikap demikian itulah dimungkinkan
terciptanya berbagai bentuk karya seni yang adiluhung dan dikenal sebagai seni
klasik.
Betapapun dewasa ini telah berkembang kreativitas di bidang seni pedalangan
dikalangan para seniman muda, namun masih banyak unsur karya seni klasik yang
tetap bertahan. Antara lain perangkat wayang kulitnya, tata panggungnya, gending-
gending karawitan sulukan. Antara lain perangkat wayang kulitnya, tata
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
17
panggungnya, gending-gending karawitan sulukan, dodogan dan keprakan, janturan,
bahasa pedalangannya dll. Tetap dilestarikan dengan mengalami penggarapan baru
menurut citarasa seniman yang mengolahnya. Sejauh para seniman generasi muda
masih bersikap menghargai seni pedalangan klasik wayang akan tetap dapat
mengemban fungsinya sebagai tontonan dan tuntunan. Sebaliknya kalau dalam
pengembangan kreativitasnya semata-mata hanya bertujuan komersial untuk
memenuhi selera penonton yang kurang apresiatif terhadap karya seni adiluhung
maka fungsi utama wayang sebagai sarana penserahan jiwa akan terkikis. Dan
pergelaran wayangpun lalu menjadi sarana hiburan murahan sebagai pelengkap acara
hura-hura semata-mata.
Dewasa ini meskipun wayang sudah banyak mengalami perombakan yang
justru mendatangkan mutu seninya, namun masih belum terlambat untuk dijadikan
sarana pendidikan, dengan mengutamakan kandungan nilai-nilai moral dalam bentuk
sanggit garapan yang bisa mempesona dan menyentuh rasa para penontonnya. Pada
hakekatnya nilai moral itu bersifat universal dan abadi, hanya cara pengungkapannya
dapat beranekaragam.
Wayang Sebagai Ajaran Moral
Ajaran moral yang terkandung dalam wayang merupakan kristalisasi sistem
budaya yang pernah berlaku dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat
pendukungnya. Nilai-nilai moral menurut agama Hindu, Budha, Islam, dan juga pada
peradaban Barat, semuanya diserap, kemudian diolah dan diromabak oleh para
dalang dan diungkapkan berdasarkan kedewasaan jiwanya dengan menggunakan
bahasa sastra yang menjadi kaidah seni pedalangan. Sedemikian seksama dan
indahnya pengungkapan gubahan itu sampai tidak dapat dikenali lagi darimana
sumbernya. Apabila pengungkapan ajaran moral dalam pergelaran wayang itu
menggunakan bahasa Bali misalnya, maka bagi penonton masyarakat Bali tidak lagi
jelas sumbernya, apakah dari ajaran Hindu, Budha, Islam atau dari sumber peradaban
Barat karena semuanya sudah luluh menjadi satu sistem nilai budaya. Nilai-nilai
kebenaran, keadilan, kejujuran, kesetiakawanan, kesucian, keikhlasan berkorban,
kepahlawanan dll, dalam pergelaran wayang diungkapkan sebagai nilai universal.
Itulah sebabnya pergelaran wayang purwa yang paling populer di kalangan
masyarakat Bali dapat dinikmati oleh semua golongan dan lapisan masyarakat tanpa
membedakan agama, suku, kedudukan sosial dll.
Dalam pergelaran wayang banyak ajaran moral yang diungkapkan oleh para
dalang yang bersumber dari karya sastra yang pada hakikatnya pada masa silam
adalah implementasi dari ajaran Agama Hindu. Memang sejak jaman dahulu antara
para dalang dengan para sastrawan atau pujangga telah terjalin pengaruh secara
timbal balik. Banyak sastrawan yang mengembangkan karya sastranya dari sumber
cerita wayang atau lakon yang dipergelarkan oleh dalang. Sebaliknya dalang juga
banyak yang menyanggit cerita atau lakon yang dipergelarkan dengan memanfaatkan
sumber dari karya para sastrawan atau pujangga.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
18
Baik dalang maupun sastrawan tentu mendambakan agar karyanya dapat
dinikmati oleh khalayak penonton atau pembacanya. Selain kedua karya seni itu
dapat memberikan rasa kepuasan dalam menikmati keindahannya, juga dapat
menjadi sarana pencerahan jiwa. Dalam kitab kakawin Arjunawiwaha karya Mpu
Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga abad ke-11 sang pujangga pada
bagian akhir gubahannya mengungkapkan harapannya agar setelah selesai membaca
karyanya, si pembaca diharapkan menjadi jernih hatinya, bagaikan kesucian hati
seorang pendeta. Demikian pula sehabis menonton pergelaran wayang semalam
suntuk, si penonton diharapkan mengalami pencerahan jiwa bagi pengembangan
kepribadiannya berkat ajaran moral yang dijalin rapi dan lembut dalam garapan
sanggit sang dalang, sehingga penonton tidak merasa digurui sama sekali. Nilai
moral yang terjalin dalam sanggit cerita, sehingga penonton tidak merasa digurui
sama sekali. Nilai moral yang terjalin dalam sanggit cerita ki dalang akan menjadi
bahan renungan bagi para penonton dan merupakan kenikmatan tersendiri.
Dengan demikian pergelaran wayang benar-benar bisa menjadi tuntunan
hidup. Disinilah letaknya fungsi wayang sebagai sarana pendidikan moral yang
universal sifatnya. Semakin teballah keyakinan kita bahwa wayang sebagai warisan
budaya leluhur memang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai karya seni
adiluhung.
Peran Wayang Sebagai Media Pendidikan Informal dan Nonformal
Wayang telah tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat kita
selama berabad-abad. Tradisi wayang diwariskan dari generasi kepada generasi
penerusnya secara lisan, dalam format pendidikan informal dan nonformal.
Lembaga pendidikan yang bersifat formal dalam bentuk pengajaran di sekolah
dengan kurikulum dan sistem pengukuran kecakapan, baru ada pada jaman
pemerintah kolonial Belanda yaitu dengan sekolah-sekolah mulai dari sekolah
rakyat sampai pada lembaga perguruan tinggi, dan selanjutnya setelah kita merdeka
pendidikan formal tetap dilestarikan dan dikembangkan sampai sekarang. Seni
pedalanganpun juga diajarkan di lembaga pendidikan seni.
Di jaman kebudayaan etnis Bali masih homogen dan masyarakat. Tiap
keluarga Bali hampir dapat dikatakan semua menjadi pendukung budaya wayang.
Anak-anak sejak kecil gemar melihat pergelaran wayang, dan biasanya memilih
duduk di samping kotak di sisi dalang sampai tidur-tidur. Dan sekali-sekali
terbangun jika adegan yang ditampilkan merupakan tontonan yang menarik
minatnya. Anak-anak, terutama yang laki-laki ada yang punya koleksi wayang
mainan, terbuat dari kertas karton. Sesekali dia mencoba mendalang dengan wayang
mainannya itu, menirukan dalang yang sering disaksikan pada pergelaran wayang
sebenarnya. Begitulah anak-anak belajar mendalang dengan caranya sendiri sebagai
bentuk pengajaran yang sifatnya informal.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
19
Di dalam rumah sering dijumpai gambar tokoh-tokoh wayang tertentu yang
menjadi favoritnya sebagai hiasan dinding. Bagi anak-anak situasi rumah yang
terhias dengan tokoh-tokoh wayang itu lalu menjadikan mereka akrab dengan
wayang. Mereka juga bisa memahami cerita dalang dalam bahasa Bali meskipun
gaya bahasanya termasuk gaya klasik yang khusus untuk pergelaran wayang. Dalam
hal tatakrama di lingkungan keluarga juga terpelihara dengan baik sehingga anak-
anak dengan sendirinya mudah menentukan sikap, perilaku dan tutur bahasanya
sebagai kaidah-kaidah yang berlaku dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
Lingkungan keluarga sebagai lembaga sosiaslisasi pendidikan moral secara
nonformal bagi anak-anak di masa lampau cukup kuat dan efektif.
Di lingkungan sekolah ada guru yang memanfaatkan cerita wayang sebagai
pendidikan budi pekerti dengan pengantar bahasa daerah. Di lingkungan
keluargapun orang tua yang menggemari wayang sering menuturkan cerita wayang
kepada anak-anaknya dalam rangka pembentukan watak dengan contoh teladan
yang baik-baik dari dunia pewayangan. Kesamaan pola pendidikan di sekolah dan di
rumah itu memudahkan anak didik untuk mengikuti kaidah sosial dan nilai-nilai
kehidupan yang berlaku di masyarakat yang menjadi lingkungannya. Bahkan
dimanapun warga masyarakat itu berada, sejauh masih di lingkungan budaya etnis,
akan dijumpai pola perilaku dan adat sopan santun yang homogen. Wayang sebagai
sarana pendidikan nonformal sering tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan
masyarakat sendiri. Dalang disuatu daerah yang tergolong laris biasanya memiliki
perangkat wayang dan gamelan. Para tetangga yang menaruh minat untuk belajar
mendalang atau menabuh gamelan datang ke rumahnya pada waktu senggang di
malam hari sebagai selingan setelah bekarja berat pada siang harinya. Bagi anak-
anak biasanya hari latihan ditetapkan pada hari minggu atau hari libur, agar tidak
terganggu pejalarannya. Bila sang dalang mempunyai anak laki-laki seorang atau
lebih, biasanya sejak kecil sudah tertanam bakatnya untuk mengikuti jejak ayahnya
menjadi dalang. Kesempatan belajar mendalang bagi para anak dalang cukup
longgar dengan bantuan dan bimbingan para nayaga kelompok ayahnya yang
memiliki pengetahuan mendalang yang cukup memadai. Proses belajar mendalang
bagi nak-anak dalang biasanya berlangsung dengan lancar, karena didukung oleh
sarana dan kondisi lingkungannya.
Wayang Sebagai Sarana Pendidikan Yang Efektif
Kita menyadari benar betapa berat tugas para dalang dewasa ini sebagai tokoh
pendidik masyarakat (masayarakat Informal dan NonFormal). Banyak kendala yang
dialami ketika mempergelarkan wayang. Berbagai reaksi yang bernada
mencemoohkan dari penonton sering dirasakan mengganggu konsentrasi
pergelarannya. Sewaktu mendalang dengan gaya klasik untuk menampilkan seni
adiluhung sering dianggap oleh kalangan generasi muda kurang dinamis, kuno, dan
kurang mengikuti perkembangan modern serta selera penonton remaja sebagai
tuntunan jaman. Penonton wayang telah dimanjakan oleh kesenian pop dan hiburan
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
20
murahan, yang hanya mengutamakan kegembiraan sesaat dan kepuasan lahiriah,
tanpa ada kedalaman nilai-nilai yang sebenarnya dapat meningkatkan kedewasaan
kepribadiannya.
Pergelaran wayangpun lalu dijadikan ajang penampilan hiburan nyanyi dan
lawak, bahkan tidak jarang dengan menampilkan penari yang bergoyang pinggul
untuk merangsang birahi penonton. Sangat sulit bagi dalang untuk mempertahankan
keadiluhungan seni pedalangan, bahkan sebaliknya banyak yang terpaksa
“memenuhi pesan sponsor” dengan melayani selera yang menaggap dan masyarakat
penonton setempat dan pergelaran wayang menjadi arena pesta hura-hura tanpa ada
bobot seni dan ungkapan nilai-nilai luhur. Jika tidak dapat memenuhi selera yang
menanggap maka akan tersumbat atau terkurangilah pendapatan atau
matapencariannya yang pokok sebagai seorang dalang.
Untunglah bahwa pada dewasa ini masih ada sejumlah dalang yang
berpendirian kuat untuk tetap memahami kaidah-kaidah seni pedalangan sebagai seni
klasik. Di lain pihak juga banyak kelompok masyarakat yang lama-lama bosan
dengan pergelaran wayang yang hanya merupakan pesta hura-hura tanpa bobot seni
pewayangan. Mereka kembali mendambakan pergelaran klasik dan ingin
mendengarkan ajaran-ajaran yang sarat dengan nilai-nilai moral yang tersanggit
dalam cerita wayang yang dipergelarkan dalang.
Ternyata dambaan para pecinta wayang pada pergelaran klasik dapat terpenuhi
oleh sejumlah dalang yang sependirian dengan para pecinta wayang tadi. Dalang
dapat bersikap tegas untuk mempertahankan keadiluhungan wayang dan mencegah
berbagai unsur negatif yang timbul dari selera murahan sebagian penonton. Kalau
sikap tegas ini dipertahankan terus, masyarakat penontonpun akan terbina kembali
untuk menikmati pergelaran wayang gaya klasik. Pergelaran wayang dapat
memenuhi fungsinya sebagai tontonan dan sekaligus tuntunan hidup yang
bermartabat bagi masyarakat. Selanjutnya wayang tetap diharapkan oleh
penggemarnya sebagai karya seni adiluhung. Akan sangat disayangkan apabila seni
klasik itu sampai rusak oleh unsur-unsur hiburan yang tidak bermutu dan yang
sebenarnya berada di luar seni pedalangan.
Ada lagi jenis pergelaran wayang yang sudah memasyarakat sejak lama dan
masih tetap marak sampai sekarang yaitu yang disebut “pakeliran padat”. Waktu
pergelaran tidak perlu semalam suntuk, cukup membutuhkan waktu sekitar satu atau
dua jam saja. Meskipun singkat waktunya tetapi dapat menampilkan satu lakon utuh
yang menuntut penonton untuk mengikutinya dengan cermat. Terlewat sedikit saja
bagian dari pakeliran padat penonton akan ketinggalan alur ceritanya. Bukan saja
pertunjukan wayangnya yang digarap padat tetapi juga semua garapan yang
mendukungnya, meliputi suluk, janturan, narasi, dialog dan juga gending-gending
karawitan yang mengiringinya. Dengan demikian pakeliran padat tidak mungkin
dipergelarkan tanpa persiapan yang matang dan memerlukan latihan berkali-kali
untuk menjaga kekompakan semua komponen yang tercakup di dalam pakeliran
padat tersebut.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
21
Dengan kepadatan garapan yang dipusatkan pada cerita atau lakon secara
ensensial itu tidak ada lagi waktu untuk diisi dengan materi lain yang berada di luar
konteks pakeliran padat. Jadi benar-benar dituntut bentuk garapan seni yang bermutu
dan muatan pesan yang benar-benar berbobot. Dalam pakeliran padat juga
dimungkinkan garapan baru dengan menggunakan unsur-unsur teknologi modern,
namun tetap perlu dijaga keserasiannya dengan unsur-unsur klasik. Kaidah-kaidah
konvensional pergelaran gaya klasik dalam pakeliran padat dapat digarap agak bebas
namun tidak menyimpang dari tuntutan mutu seni pedalangannya.
Pertunjukkan wayang Ceng Blong adalah salah satu contoh pakeliran padat
yang unsur-unsurnya banyak yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konvensional
wayang klasik, namun ternyata dapat mempesona penonton dari kalangan generasi
muda yang tidak akrab lagi dengan pergelaran wayang. Tatacahaya yang marak dan
bervariasi menggunakan system penatacahaya modern dan serta sound system
berbasis teknologi canggih menghidupkan suasana adegan yang sedang ditampilkan
menjadi daya pesona bagi penonton. Sisipan kumpulan sinden dan tak jaran
berkolaborasi dengan penari serta pelawak yang dijalin sebagai pengisi alur cerita,
berseling dengan adegan wayang kulitnya, merupakan penyegaran baru bagi pentas
wayang. Apalagi dalangnya menyisipkan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa
yang actual sehingga dapat lebih komunikatif dengan penonton generasi muda yang
tidak lagi memahami bahasa sansekerta. Juga bagi penonton yang non-Bali pakeliran
wayang joblar dapat mejembatani minatnya dengan dunia pewayangan.
Ditinjau dari pihak penyelenggaraan pergelaran juga jauh lebih ringan
dibandingkan dengan penyelenggaraan wayang semalam suntuk. Pesan moral yang
disampaikan lebih terpusat dan efektif. Sayangnya gaya pakeliran padat ini masih
sangat jarang dijumpai dalam kegiatan berkesenian di kalangan masyarakat. Selama
ini penonton umum masih lebih senang menyaksikan pergelaran wayang semalam
suntuk dengan selingan hiburan ringan bergaya hura-hura.
Sebenarnya bila dikaji lebih seksama banyak jenis pergelaran wayang klasik,
baik wayang kulit, wayang beber, ataupun wayang orang, yang cukup berpotensi
untuk diaktualisasikan dengan garapan baru yang sesuai dengan masyarakat masa
kini yang sudah tergolong modern. Hanya untuk memperoleh hasil yang memadai
kiranya diperlukan seniman-seniman kreatif yang berpandangan luas dan matang
dalam berolah seni penuh jiwa inovatif. Itu semua sangat dimungkinkan untuk
dilaksanakan. Siapa menduga bahwa gending “Puspawarna” yang klasik Bali dapat
digarap dalam proyek Megalitikum Quantum, bukan saja untuk konsumsi bangsa
sendiri tetapi juga oleh pecinta musik di seluruh dunia, bahkan untuk konsumsi ruang
angkasa luar.
Dalam memenuhi tugas dalang sebagai pendidik masyarakat dalang perlu
memiliki kepekaan terhadap berbagai unsur yang menjadi kendalanya. Di samping
itu dalang juga harus pandai memanfaatkan faktor-faktor yang dapat menunjang
upayanya agar tugas pendidikan moral masyarakat dapat terpenuhi dengan baik.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
22
Tugas yang mulia ini tentunya tidak hanya berlaku bagi dalang wayang kulit
tradisional Bali saja, tetapi juga bagi semua dalang untuk semua jenis pertunjukan
wayang yang ada di Indonesia.
Peran Dalang Sama Seperti Guru
Anak-anak lain yang bukan keluarga dalang ada juga yang berminat menjadi
dalang. Maka yang ditempuh adalah sistem “nyantrik”. Ia tinggal di rumah dalang
yang dipilih sebagai guru pembimbingnya. Ia diperlakukan sebagai anggota keluarga
dan pembantu pekerjaan rumah tangga gurunya. Kemanapaun gurunya pergi bersama
rombongan untuk memenuhi tanggapan, si cantrik selalu ikut dan membantu
mengangkut wayang dan gamelan. Di tempat pergelaran ia juga membantu menata
panggung lengkap dengan gamelannya. Pada setiap kesempatan seperti itu si cantrik
sempat menekuni gaya pedalangan gurunya. Di rumah ia dengan tekun berlatih
sendiri meningkatkan ketrampilan mendalang, dan biasanya dibantu oleh orang
dewasa yang sudah bisa mendalang, sehingga proses pembelajaran mendalang
berlangsung lebih lancar.
Setelah agak mahir biasanya si cantrik diberi kesempatan oleh gurunya untuk
mempergelarkan wayang pada siang hari, atau jika pada waktu malam ketika sedang
ada tanggapan bagi gurunya, ia biasa disuruh tampil di panggung, namun sebatas
pada bagian awal, sampai seberapa jauh kemampuan yang dicapai. Dan bila sang
guru selanjutnya menilai bahwa anak didiknya sudah cukup mahir maka lalu
diijinkan untuk mandiri dan menerima tanggapan serta tampil sebagai dalang
profesional.
Banyak warga masyarakat tergolong kaya dan menjadi penggemar berat pada
seni pedalangan. Untuk menyalurkan kecintaannya pada seni pedalangan lalu
memberi seperangkat wayang dan gamelan. Selanjutnya mendirikan sanggar dengan
peserta didik yang terdiri dari warga lingkungan, pada usia anak-anak dan juga
dewasa. Jika di lingkungannya ada yang ternyata sudah bisa mendalang walaupun
belum mahir benar dilibatkan sebagai pengurus sanggar. Cukup banyak sanggar-
sanggar yang dikelola dengan baik. Terbukti dari banyaknya peserta didik yang
mengikuti latihan mendalang, dan biasanya ada beberapa di antaranya yang memiliki
bakat sehingga proses pembelajarannya juga menjadi lebih cepat.
Ada sanggar yang memberikan kesempatan kepada anggotanya dengan Cuma-
Cuma karena semua keperluan sudah dipenuhi oleh pemilik sanggar. Apabila kalau
anak-anak yang menjadi peserta didik sanggar tidak mampu membayar iuran karena
orang tuanya berpenghasilan rendah. Asalkan para peserta didik mau belajar dengan
tekun dan bergairah untuk nantinya bisa berhasil memiliki ketrampilan mendalang
meskipun tidak sampai menjadi dalang professional.
Bagaimanapun kondisi sanggar dalam hal pembeayaan, asal saja telah
disiapkan perlengkapan latihan berupa wayang dan gamelan, berikut pelatihan
pedalangan dan tenaga karawitan yang biasanya terdiri dari warga kampung di
lingkungan tsb. proses pembelajaran akan bisa berlangsung dengan baik.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
23
Pada umumnya sanggar mengutamakan ketrampilan dan kemahiran
mendalang dengan cara menirukan segala gerak dan yang diucapkan gurunya sebisa-
bisanya. Namun ada pula yang berlatih sendiri dengan menyimak pergelaran wayang
yang sempat disaksikan. Untuk memperlancar proses belajarnya tidak jarang peserta
didik yang menggunakan kaset rekaman pergelaran wayang kulit dari tokoh dalang
kondang. Dengan cara inipun hasilnya cukup lumayan, namun masih harus mendapat
bimbingan langsung dari sang guru, terutama dalam hal sabetan wayang “caking
pakeliran” yang memerlukan contoh dari pelatihannya, kecuali jika ada alat audio
visual berupa video yang sangat membantu melihat ketrampilam. Aspek-aspek lain
seperti filsafat wayang, filsafat seni, bahasan nilai-nilai dan ajaran moral, dll
biasanya, tidak menjadi perhatian sanggar walaupun aneka pengetahuan tsb sangat
menunjang kemahiran seorang calon dalang.
Materi yang diajarkan pada tiap sanggar secara garis besarnya ada
keseragaman, dan biasanya ada buku tuntunan pedalangan tertentu yang dipilih
sebagai patokan pengajaran. Dalam berbagai hal tiap sanggar mempunyai kekhasan
yang tidak dijumpai di sanggar lain. Sampai sekarang memang tiap sanggar bebas
mengatur sistem pengajarannya sendiri.
Pelajaran Mendalang Sebagai Program Ekstrakurikuler
Beberapa sekolah menyelenggarakan pelajaran mendalang sebagai program
ekstrakurikuler dan merupakan pendidikan dalam format informal. Di antara peserta
didik ada yang berhasil mencapai taraf kemahiran tertentu, namun biasanya masih
harus dibantu dengan kegiatan pembelajaran di luar sekolah di bawah bimbingan
pelatihan pedalangan dalam format informal. Dengan kemahiran tertentu itu peserta
didik dalang sudah bisa diberi kesempatan untuk menggelarkan wayang dalam
durasi waktu yang pendek dan materi pergelaran yang dikemas ringkas, disesuaikan
dengan tingkat usianya. Biasanya peserta didik-peserta didik lainnya juga ikut
terpacu untuk lebih giat belajar sampai taraf seperti yang dicapai oleh temannya
yang sudah berhasil tadi.
Kendala yang dialami oleh sanggar-sanggar biasanya masalah kurang
disiplinnya para peserta didik berlatih, dan banyak yang tidak mencapai tahap
kemahiran, lalu meninggalkan sanggar karena tidak memiliki waktu longgar untuk
berlatih, atau mungkin sudah merasa jenuh sebelum mencapai taraf kemahiran
tertentu. Mungkin karena lambannya pelaksanaan latihan, materi yang diajarkan
kurang bervariasi. Atau peserta didiknya terlalu banyak, sehingga untuk
mendapatkan giliran maju di depan kelir terlalu lama menunggu. Dalam hal ini
pengurus sanggar perlu peka terhadap sikap dan perhatian tiap peserta didiknya
sehingga rasa kejenuhan peserta didik dapat teratasi.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
24
Pertunjukan Wayang Sebagai Media Syiar Ajaran Moral dan Budi Pekerti
Salah satu tujuan tulisan ini adalah mengembalikan konsep pertunjukan
wayang sebagai bagian dari seni syiar akan nilai-nilai ajaran budi pekerti yang
merupakan bagian integral dari pelajaran tentang moral, etika dan estetika yang
diharapkan akan menciptakan nuansa pergaulan masyarakat yang lebih baik di
masa-masa mendatang. Mengingat tujuan tersebut dapat dibayangkan betapa
beratnya tugas dan fungsi dalang dewasa ini untuk menunjang pendidikan moral
masyarakat melalui jalur nonformal karena parahnya krisis yang dialami oleh
masyarakat kita sekarang.
Krisis terberat yang melanda kehidupan masyarakat kita dewasa ini adalah
krisis moral. Orang tua banyak yang menyatakan kecemasannya terhadap akhlak
para remaja yang sudah tidak mengindahkan sopan santun pergaulan, kurang
menghargai dan menghormati orang tua. Tatakrama yang berlaku di lingkungan
keluarga di masa lampau sudah terabaikan oleh anak-anak remaja masa kini. Di
kalangan para pelajar sering terjadi tawuran antar sekolah sehingga sangat
mengganggu pelajaran teman-temannya yang tidak ikuta terlibat dalam tawuran itu.
Di luar sekolah sering terjadi kerusuhan yang sangat mengganggu ketenangan
dan ketenteraman hidup masyarakat, bahkan sering terjadi peristiwa yang
membayangkan dan menelan korban jiwa. Perampokan, pembunuhan, penjarahan
dan penodongan di tempat-tempat ramai semuanya menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan para remaja pada khususnya. Setiap hari kriminalitas
ditayangkan lewat siaran televisi yang menunjukkan secara nyata betapa parahnya
krisis moral yang dialami oleh masyarakat kita dewasa ini.
Semakin terasa beratnya beban para orang tua dan para guru selaku pendidik
lewat jalur informal dan nonformal. Juga para dalang yang mengembangkan tugas
untuk menyebarkan ajaran yang mengandung nilai-nilai moral lewat jalur
nonformal, sungguh bukan pekerjaan yang ringan.
Ada berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya kritis moral.
Masyarakat kita yang semula hidup dalam lingkungan budaya agraris dengan
cepatnya berubah berkembang menuju ke masyarakat yang berpola budaya industri.
Hampir semua lapangan kerja menjadi lahan untuk bekerja secara ekonomis, artinya
tiap kerja menuntut imbalan upah yang sesuai dengan besarnya jasa yang diberikan.
Namun dalam kenyataannya imbalan jasa yang diterima oleh para pekerja itu jauh di
bawah kewajiban, sehingga tidak cukup untuk menjamin kehidupan keluarganya
yang layak. Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin semakin besar. Hal
ini mengakibatkan meningkatkan kriminalitas yang sangat mengganggu
ketentraman sosial.
Karena setiap pekerjaan dinilai dengan uang maka kegiatan sosial yang
semula didasarkan pada kerukunan warga dengan semangat bergotongroyong
sedikit demi sedikit menjadi terkikis. Sikap dan sifat warga masyarakat lalu menjadi
sangat individualistis. Orang baru mau bekerja bila ada imbalan upah. Akibatnya
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
25
makin suburlah sikap materialistis dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan sampai
melanda jaringan kehidupan di lingkungan keluarga.
Masyarakat di masa lampau hubungan kekerabatan masih luas, bahkan
kerabat yang jauhpun masih dirasakan erat kaitannya, dan saling tolong menolong
bila ada anggota keluarga yang memerlukan bantuan. Tetapi sekarang sikap
demikian sangat jarang dijumpai dalam lingkungan keluarga. Dan biasanya yang
disebut keluarga hanyalah terbatas pada keluarga inti saja, yaitu orang tua dengan
anak-anaknya. Di luar itu dianggap tidak menjadi tanggung Balibnya, dan masing-
masing keluarga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga intinya
sendiri. Lebih-lebih dengan sulitnya mencari nafkah pada masa sekarang
menyebabkan hubungan kekeluargaan di luar keluarga inti semakin renggang.
Anjuran para tokoh masyarakat dan tokoh agama setiap berdharma wacana
agar kerukunan keluarga wajib senantiasa dibina kiranya sudah tidak lagi
menyentuh hati untuk melaksanakannya. Juga para dalang yang ikut serta dalam
mengakrabkan hubungan silaturahmi antar anggota kerabat hanya terbatas ketika
ada pergelaran wayang dimana anggota keluarga bisa saling bertemu, namun
sesudah pulang ke rumah masing-masing lepaslah ikatannya dan kembali dengan
urusan keluarganya sendiri.
Simpulan
Pada masa Hindu-Budha atau Pra Islam sampai ke masa Islam di Indonesia,
media wayang memeliki peranan yang strategis dan efektif sebagai media
pembelajaran. Di masa-masa yang silam wayang adalah pertunjukan yang sangat
menarik dan sangat diminati serta selalu dinanti-nanti pertunjukannya oleh
masyarakat. Dan dalam pertunjukkan inilah diselipi ajaran-ajaran moral serta tata
karma sopan santun yang disarikan dari ajaran Agama masa itu. Bahkan pada masa
penyebaran agama Islam, para Walisongo dalam menyebarkan ajaran agama Islam di
Jawa memanfaatkan media wayang ini sebagai media syiar penyebaran ajaran
Agamanya. Oleh karena itu peranan wayang sebagai media untuk menyampaikan
materi pelajaran dalam proses belajar mengajar di lembaga informal dan nonformal
sangatlah menarik, tentu disertai kreatifitas dalam penyampaian ki dalang sebagai
guru serta selalu berinovasi dalam pertunjukkan agar sesuai dengan zaman sekarang
sehingga pertunjukkan wayang sebagai media pendidikan tidak membosankan dan
semakin menarik. Memang jika kurang hati-hati pertunjuukan wayang yang
dikreasikan serta diinovasikan dapat menjadi blunder karena justru bukan pesan
pendidikannya yang baik (bermoral penuh tata karma sopan santun) yang ditonjolkan
tapi justru terjebak pada sisi hiburannya yang lebih diutamakan. Bahkan dieksploitasi
sehingga tanpa sadar justru berdampak pada pengaruh negative bagi sasaran
didiknya.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
26
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Murtiyoso, 2004.”Pertumbuhan & Perkembangan Seni Pertunjukan
Wayang Surakarta. Citra Etnika.
Bambang Murtiyoso, “Fungsi dan Peran pagelaran Wayang Purwa bagi Pendidikan
Budi Pekerti”, makalah dipaparkan pada Seminar Laku BudayaII, tanggal
2 dan 3 Februari. 2005.
Geertz, Clifford, 1960. “The Religion of Java”. Chicago and London: The University
of Chicago Press.
Hazim Amir, 1991. “ Nilai-nilai Etis dalam Wayang”. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan.
Holt, Clair 1954.” Art in Indonesia. Community and Change. Ithaca.
Kanthi Waluyo, 1994. “ Peranan Dalang dalam Menyampaikan Pesan
Pembangunan”. Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Dep. Penerangan RI.
Mulder, Niels, 1984. “Kepribadian Bali dan Pembangunan Nasional”. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Sal Murgiyanto, 2003.” Mencermati Seni Pertunjukan I Perpektif Kebudayaan,
Ritual, Hukum”. Surakarta.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
27
OPTIMALISASI PERAN KESENIAN TRADISIONAL NTB SEBAGAI
MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL
Oleh:
Dr. Kadri, M.Si
(Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Reg.VII Mataram)
ABSTRAK: Eksistensi seni tradisional sering kali tereduksi oleh kehadiran
beragam jenis seni modern yang akhir-akhir ini “membius” selera generasi muda.
Fenomena inilah yang antaralain terjadi dengan beberapa jenis seni tradisional di
provinsi Nusa Tenggara Barat. Padahal banyak nilai-nilai bermakna yang bisa
dimanfaatkan dari seni tradisional tersebut bagi media komunikasi dan pendidikan
sosial. Diperlukan upaya pembinaan dan sosialisasi maksimal agar seni tradisional
menjadi hiburan pilihan publik sehingga keberadaanya dapat dimanfaatkan sebagai
media komunikasi dan pendidikan sosial, dengan cara memasukkan pesan
pendidikan di dalamnya. Hal ini dapat dijadikan oleh instansi pemerintah dan
lembaga pendidikan nonformal dan informal untuk menyebarluaskan informasi dan
menyampaikan materi pelajarannya. Dengan demikian, publik tidak hanya disuguhi
aspek hiburan semata, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai yang informatif dan
edukatif. Lebih dari itu, upaya pemanfaatan seni tradisional NTB sebagai media
komunikasi dan pendidikan sosial juga dapat dijadikan sebagai upaya pelestaraian
seni tradisional dari “cengkraman” seni kontemporer.
Kata Kunci: Seni Tradisional NTB, Media Komunikasi, Pendidikan Sosial
Latar Belakang
Keragaman seni dan budaya merupakan salah satu karakter bangsa Indonesia
yang membedakannya dengan negara lain. Keragaman ini sekaligus menjadi
kekayaan bangsa yang tak ternilai, untuk dilestarikan dan diwariskan kepada
generasi-generasi berikutnya. Sungguh banyak nilai dan pelajaran yang dapat
diambil dari setiap seni dan budaya tradisional untuk dijadikan sebagai referensi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun ekspektasi ideal tersebut di atas harus berhadapan dengan
kecenderungan memudarnya seni dan budaya tradisional di setiap daerah. Seni dan
budaya tradisional yang selama ini menjadi kebanggaan, kini tidak banyak lagi
dikenal oleh generasi muda. Pada saat bersamaan mereka (generasi muda) tidak bisa
melepaskan diri dari „serangan‟ budaya global yang terus menerpa. Sehingga tidak
heran bila anak-anak lebih banyak mengenal nilai dan budaya asing ketimbang seni
dan budaya sendiri. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan pewarisan seni-budaya
tradisional menjadi tugas yang tidak mudah di tengah semakin terbukannya akses
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
28
masyarakat untuk mempelajari seni dan budaya asing lewat kecanggihan teknologi
informasi dan komunikasi.
Memang, upaya pelestarian dan penanaman kencintaan public (terutama
generasi muda) terhadap seni dan budaya tradisional menjadi tugas awal yang mesti
direalisasikan, sebelum berbicara tentang pemanfaatan seni tradisional sebagai media
komunikasi sosial. Selama ini seni dan budaya tradisional masih dimaknai sebatas
karya seni pemuas naluri estetika setiap orang, sehingga belum banyak yang berpikir
pemanfaatan hal tersebut sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan
social baik oleh pemerintah kepada publik secara vertical maupun secara horizontal
di antara masyarakat.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang didiami oleh tiga etnik mayoritas
(Sasak, Samawa, dan Mbojo) serta etnik-etnik lainnya, memiliki seni dan budaya
tradisional yang beragam. Di sisi lain, karakter geografis NTB yang kepulauan dan
terdiri dari wilayah yang masih jauh dari pusat ibu kota provinsi dan kabupaten,
mengharuskan pemerintah daerah untuk menggunakan media komunikasi yang
beragam, di antaranya menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial.
Eksistensi Seni Tradisional di tengah Media Modern
Tidak mudah untuk mempertahankan eksistensi seni tradisional di tengah
membanjirnya seni dan budaya global. Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya
perhatian pemerintah untuk melestarikan seni dan budaya tradisional setiap daerah,
meskipun belakangan mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah, bersamaan
dengan giatnya kampanye pariwisata di provinsi dan kabupaten yang ada di NTB.
Namun harus diakui bahwa eksistensi seni dan budaya tradisional di NTB
mengalami „reduksi‟. Beberapa seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi
produk dan pernah dihidupkan oleh rakyat Bumi Gora, saat ini sangat susah
ditemukan. Budaya Gantao (sejenis permainan bela diri pencak silat yang melibatkan
dua orang lelaki Bima dengan memperagakan adegan saling serang menggunakan
kaki dan tangan untuk saling banting. Permainan ini diiringi dengan alunan musik
tradisional Mbojo) yang pernah semarak di Bima (suku Mbojo) misalnya kini sangat
jarang lagi dipentaskan dalam setiap pesta budaya di Bima. Generasi muda pun tidak
lagi menjadikan seni tradisional ini sebagai karya dan seni yang disenangi.
Prosesi pernikahan dengan adat Mbojo pun sudah mulai disederhanakan dan
mengikuti prosesi budaya modern. Satu-satunya yang masih tertinggal adalah gaung
penganten yang menggunakan adat Mbojo. Belum lagi kita berbicara tentang cagar
dan bangunan budaya, yang baru mendapat perhatian beberapa tahun terakhir.
Rumah-rumah tradisional Bima seperti rumah panggung bukan lagi menjadi
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
29
kebanggaan. Pada puluhan tahun silam, rumah panggung masih menjadi kebanggaan,
dan bahkan menjadi mahar favorit yang disediakan oleh penganten pria. Kini
keluarga baru sudah senang dengan rumah-rumah berarsitek modern. Bahkan orang
tua pun tengah melakukan upaya ‟pemudaran‟ rumah panggung untuk diganti dengan
rumah modern.
Kecenderungan yang tidak terlalu beda juga terjadi di Sumbawa (suku
Samawa), dan juga di komunitas Sasak. Rumah adat yang berjenis rumah panggung
dan kayu bukan lagi menjadi rumah favorit. Dalam konteks seni tradisional juga
mengalami reduksi peminat. Seni tradisional Sasak seperti Teater Cepung dan
Teater Cupak Gerantang misalnya saat ini tidak lagi menjadi seni teater yang masif
digandrungi.
Banyak faktor yang menyebabkan fenomena pereduksian seni budaya
tradisional terjadi. Salah satunya adalah pengaruh kehidupan global yang dimotori
oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pengaruh ini terutama
melanda generasi muda. Kemudahan mengakses informasi berkontribusi bagi
entengnya mereka (generasi muda) untuk mengkonsumsi seni budaya apa saja
dengan dukungan visualisasi dan audio mutakhir.
Belum lagi kita berbicara tentang wajah televisi dan media massa kita
(Indonesia). Sebagian besar acara dan isi tayangan media massa kita cenderung
hedonis, dengan mempraktekkan dan mengajarkan gaya hidup bergelimang
kemewahan dengan asesoris modern yang jauh dari identitas tradisional. Sangat
susah ditemukan acara atau tayangan media massa tentang seni tradisional daerah
tertentu.
Pemanfaatan seni dan budaya tradisional yang minim tidak hanya dilakukan
oleh rakyat atau media massa, tetapi juga oleh pemerintah. Dalam beberapa
kebijakannya, pemerintah belum optimal mengupayakan pelestarian dan
pengembangan seni tradisional. Sebagai contoh, belum banyak setiap pemerintah
daerah yang ada di NTB mengadakan atraksi dan kompetisi seni dan budaya
tradisional di tingkat pelajar. Kota Mataram mungkin dapat dikecualikan dalam
generalisasi ini, meskipun apa yang dilakukan pemerintah kota Mataram belum
maksimal.
Di samping itu, pemerintah juga belum bisa mengoptimalkan eksistensi seni
dan budaya tradisional sebagai media komunikasi sosial. Pemerintah daerah lebih
senang menggunakan media modern seperti televisi, radio, surat kabar, dan baliho
sebagai sarana kampanye program atau kampanye publik (public campaign). Selama
ini sangat susat terlihat (untuk mengatakan tidak pernah) seni tradisional
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
30
dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan penyampai informasi pembangunan dan
sosial lainnya dari pemerintah.
Ketika pemerintah menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi
sosial tentu akan memberikan keuntungan ganda, yakni melestarikan seni budaya
tradisional sekaligus membantu kesuksesan program yang dilaksanakan. Di samping
itu, pemerintah juga harus memanfaatkan amanah Undang-Undang Nomor 32 tahun
2002 tentang Penyiaran, yang antara lain menganjurkan untuk mengakomodir
sepuluh porsen (10% porsen) siaran berkonten lokal bagi televisi berjaringan
nasional, dengan cara mendorong pegiat media dan penyiaran yang ada di NTB
untuk menyiapkan paket seni buya tradisional untuk ditayangkan di media nasional.
Momentum ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah yang baik untuk
mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni dan budaya tradisional setiap daerah,
sekaligus untuk mengimbangi serangan budaya global yang kian mengancam.
Kita masih memiliki harapan karena proses reduksi seni budaya tradisional
tidak berlangsung secara radikal (tidak menjadi gerakkan anti budaya tradisional
secara massal). Ini berarti kita masih memiliki sisa-sisa ruang dan waktu untuk
merevitalisasi seni tradisional di benak publik. Secara pelan tapi pasti setiap
kalangan (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat pada umumnya) harus
membangun tekad yang sama untuk menjadikan seni dan budaya tradisional sebagai
media komunikasi sosial sekaligus sebagai perekat ikatan sosial di antara warga se-
etnik dan se-bangsa. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka sedahsat apapun serangan
informasi dan media global, tidak akan mampu menggoyahkan kecintaan anak
bangsa terhadap seni dan budayanya sendiri.
Efektifitas Komunikasi dan Pendidikan Melalui Seni Tradisional
Salah satu ukuran efektif dan tidaknya komunikasi adalah ketika apa yang
dimaksudkan oleh pengirim pesan, sama dengan apa yang dipahami oleh penerima
pesan. Di samping itu, faktor media yang digunakan juga turut berkontribusi
menciptakan komunikasi yang efektif. Ketepatan memilih media komunikasi dan
kelihaian mengemas tampilan media yang telah dipilih merupakan kunci keefektifan
komunikasi yang dilakukan.
Komunikasi dalam konteks ini harus dimaknai secara luas, yang tidak hanya
sebatas komunikasi verbal tetapi juga yang nonverbal. Dengan pemaknaan yang luas
seperti ini, maka dalam konteks seni dan budaya tradisional, komunikasi tidak hanya
dimaknai dalam konteks seni pertujukan dan nyayian serta musik yang berbasis
verbal, tetapi juga menyangkut seni dan budaya yang berdimensi nonverbal. Oleh
karena itu, segala produk dan wujud seni mesti dimaknai sebagai bentuk pesan yang
memiliki makna tersendiri.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
31
Suatu pesan akan diterima dengan baik antara lain ketika pesan tersebut
memenuhi empat unsur, yakni; (1) pesan tersebut mendapat perhatian (Attention)
sasaran pesan; (2) menarik perhatian (interest) yang menerimanya; (3) berkeinginan
(desire) untuk menerimannya; (4) diambil keputusan (decide) untuk menerimannya;
dan (5) dilaksanakan (action) sesuai dengan isi pesan.
Apabila mengikuti alur komunikasi atau proses transfer pesan seperti di atas,
maka prasyarat awal yang harus dilakukan dalam rangka menjadikan seni tradisional
sebagai media komunikasi yang efektif (komunikatif) adalah bagaimana menjadikan
atau mengemas seni tradisional sebagai suatu karya seni yang diperhatikan atau
diminati oleh masyarakat agar mereka tertarik. Upaya ini penting ketika hendak
menyelipkan pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial dan
pembangunan yang akan melibatkan partisipasi publik untuk mensukseskannya.
Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan seni tradisional
sebagai suatu kebutuhan setiap individu. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka
proses transfer pesan sosial lewat seni tradisional menjadi relatif mudah. Dalam
asumsi dasar teori uses and gratifications (Lihat, Effendy, 2000) dikatakan bahwa
penggunaan media yang dilakukan oleh seseorang bergantung kebutuhan dan
ketertarikannya terhadap suatu pesan yang ditawarkan. Ketika seni tradisional telah
diminati masyarakat dan dikemas secara menarik, tentu saja hal tersebut akan
membuat seni tradisional dapat dengan mudah berperan sebagai media komunikasi
sosial yang menjadi pilihan publik.
Oleh beberapa pakar komunikasi, pada umumnya tradisi komunikasi orang
Indonesia menggunakan jenis komunikasi konteks tinggi, yakni cara berkomunikasi
yang berbelit-belit, berputar-putar atau gaya komunikasi yang tidak simpel dan tidak
langsung pada point dan sasaran utama. Kebanyakan orang Indonesia senang dengan
gaya bertutur melalui proses panjang menuju sasaran. Tradisi komunikasi seperti ini
lebih relevan dengan karakter seni tradisional yang ada (khususnya di NTB). Teater-
teater tradisional seperti teater Cepung, Teater Cupak Gerantang (yang berasal dari
suku Sasak), atau Teater Sakeco dan musik berpantun ”Bakelong” (yang berasal dari
suku Samawa) merupakan bentuk seni tradisional yang berkarakter dialogis dengan
durasi waktu yang relatif lama. Esensi pesan yang terkandung di dalamnya pun tidak
bisa diperoleh secara instan.
Seni tradisional merupakan ikatan emosional yang dapat dijadikan sebagai
perekat komunikasi sosial di antara masyarakat. Ikatan emosional atas persamaan
sosial dan budaya menjadi faktor penting dalam kesuksesan komunikasi manusia.
Salah satu prinsip komunikasi disebutkan bahwa ”semakin mirip latar belakang
sosial budaya semakin efektiflah komunikasi” (Mulyana, 2002). Prinsip komunikasi
ini semakin mempertegas bahwa komunikasi yang efektif tidak terlepas dari adanya
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
32
kesamaan nilai sosial dan budaya. Seni tradisional merupakan salah satu ikon
kesamaan yang bisa menyatukan setiap perbedaan personal. Ketika ikon ini dapat
dikemas dengan sebaik-baiknya menjadi media komunikasi sosial, maka proses
transfer pesan lewat seni tradisional menjadi lebih efektif.
Kesamaan sosial dan budaya bukan hanya dalam konteks kesamaan nilai dan
seni yang dimiliki tetapi juga kesamaan latarbelakang etnik dan suku dari setiap
peserta (orang yang terlibat dalam) komunikasi. Artinya, ketika orang yang ber-etnik
sama membicarakan persoalan yang sama lewat media komunikasi yang sama, maka
ada jaminan bahwa komunikasi tersebut akan berlangsung secara efektif, dan akan
menghasilkan sesuatu yang lebih kontributif. Upaya yang sama juga bisa dilakukan
untuk menjadikan media seni tradisonal sebagai media pendidikan sosial. Artinya
saat mengkomunikasi media tradisional, dapat diselipi dengan pesan-pesan
pendidikan. Bhkan menurut penulis, cara ini lebih efektif untuk memberikan
pelajaran sosial kepada masyarakat.
Menjadikan Seni Tradisional NTB sebagai Media Komunikasi dan Pendidikan
Sosial
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa langkah awal yang
harus dilakukan untuk menjadian seni tradisional NTB sebagai media komunikasi
sosial yang efektif adalah dengan menjadikan hal tersebut sebagai hiburan atau karya
seni yang digandrungi publik. Membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk
merevitalisasi eksistensi seni tradisional di tengah tantangan global yang multi
bentuk.
Dibutuhkan kemasan yang serius dengan dukungan maksimal dari semua
kalangan untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni tradisional agar
mendapat tempat di hati rakyat. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana
menanamkan kencintaan terhadap seni dan budaya tradisional sejak usia dini. Usia
dini merupakan waktu yang tepat untuk penanaman nilai dan tradisi tertentu dengan
harapan akan membekas dan turut mewarnai aktivitasnya di masa yang akan datang.
Penanaman nilai dan kecintaan terhadap seni tradisional dapat dilakukan
lewat berbagai cara. Dua di antaranya adalah lewat pendidikan nonformal dan
formal. Setiap momen apapun harus dimanfaatkan untuk mensosialisasikan seni
tradisional. Hal yang sama dapat dilakukan di pendidikan formal dengan cara
mereformasi kebijakan dan kurikulum Pendidikan SD sampai SMA.
Kurikulum tentang seni dan budaya tradisional harus mendapat perhatian
maksimal sebagai langkah akademik untuk menanamkan nilai dan kearifan lokal
pada diri setiap anak. Permainan-permainan anak di PAUD dan TK harus
direkonstruksi. Selama ini, anak kita banyak disuguhi dengan permainan modern
yang tidak jelas asal usulnya, nyanyian-nyanyian yang tidak terlalu mendidik dan
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
33
minim muatan lokal. Saatnya alat permainan edukatif (APE) lebih banyak
menyuguhkan permainan dari bahan lokal dan bermuatan nilai lokal. Event-event
seni budaya tradisional harus terus digalakkan di setiap jenjang pendidikan dasar dan
menengah, agar anak cinta produk lokal, karya sendiri, dan seni serta budaya
tradisional.
Komitmen yang tinggi untuk menjadikan seni tradisional NTB sebagai media
komunikasi sosial tidak cukup sampai penanaman kesadaran mencintainya. Proses
penanaman kecintaan ini harus terus berjalan (tanpa terikat dengan waktu dan ruang),
sambil mengambil upaya serius untuk mengemas seni tradisional yang ada agar
menjadi produk atau karya yang diminati. Untuk kebutuhan optimalisasi
performance seperti inilah, diperlukan identifikasi menyeluruh terhadap karya dan
jenis seni tradisional yang ada.
Proses identifikasi ini penting terutama untuk menentukan strategi
pemanfaatan seni tradisional yang ada secara tepat dan efesien sehingga bermanfaat
bagi pemenuhan kebutuhan yang diinginkan. Bendasarkan identifikasi sederhana
terhadap seni tradisional di NTB, maka dapat dibagi dua jenis seni tradisional dalam
konteks penggunaannya sebagai media komunikasi sosial, yakni:
Pertama, seni tradisional yang dapat dijadikan sebagai media penghimpun
massa. Yang dimaksud dengan kategori seni tradisional yang pertama ini adalah
semua seni tradisional yang yang tidak berkarakter penyampai pesan secara
langsung. Pada umumnya yang termasuk dalam kategori ini adalah karya seni non
drama/teater, seperti musik tradisional, pergelaran pertunjukan tradisional, dan
berbagai tari tradisional di provinsi NTB.
Seni tradisional berkarakter seperti ini sangat berpotensi untuk
mengumpulkan massa yang lebih banyak, apalagi bila dikemas dan dimodifikasi
semenarik mungkin. Momen berkumpulnya massa itulah yang dapat dimanfaatkan
oleh siapapun untuk menyelipkan agenda-agenda tambahan terutama dalam
menyampaikan pesan tertentu sesuai kebutuhan.
Di samping itu, dalam pergelaran seni tari juga dapat dimodifikasi sehingga
dapat lebih komunikatif, dalam artian tidak hanya pesan nonverbal lewat gerakan
anggota badan tetapi juga bisa dengan membuat improvisasi musik pengiring dengan
lagu-lagu sarat pesan tertentu. Dalam seni tradisional Bima seperti ”Biola” misalnya
dapat diselipkan irama lagu perpantun yang mengandung pesan-pesan sosial tertentu.
Selama ini dalam penghamatan saya, lirik lagu biola di Bima lebih banyak
didominasi oleh lirik asmara dan percintaan. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini
membutuhkan sentuhan ide dan tangan kreatif seniman di setiap daerah, tanpa
menghilangkan nilai historis dari setiap karya seni yang ada.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
34
Kedua, seni tradisional yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai
media komunikasi sosial. Seni tradisional dalam kategori kedua ini adalah semua
seni tradisional yang berbasis drama dan teater, seperti:
a. Teater Cepung. Teater ini merupakan teater klasik yang berasal dari etnik
Sasak, yang muncul tidak lama setelah penulisan lontar ”Tutur Monyeh oleh
Jero Mihran, yakni sekitar tahun 1850-an. Peran teater cepung di tengah
masyarakat Sasak menyangkut berbagai aspek seperti politik, ekonomi,
sosial, dan agama, karena lontar Tutur Monyeh sebagai sumber teater Cepung
yang berisi tentang nilai, yaitu pendidikan moral, kritik sosial, ritual, dan
sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Sasak (Alfarisi, 2010).
b. Teater Sakeco. Teater ini adalah karya seni tradisional yang berasal dari
suku Samawa, berisi tentang dialog komedi berpantun yang diiringi dengan
alat musik tradisional seperti gendang dan rebana
Kedua jenis teater di atas merupaka dua karya seni berbasis drama/teater yang
dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial. Alur cerita
yang ada dalam teater tersebut sangat mungkin untuk dimodifikasi dan diselipi
dengan pesan-pesan tertentu yang penuh makna. Namun lagi-lagi, eksistensi kedua
teater tersebut akan lebih bermakna sebagai media yang komunikatif ketika
keduanya telah digandrungi oleh masyarakat. Sayang hingga saat ini, keberadaan
keduanya tidak seperti saat awal keberadaannya.
Karakter wilayah NTB dengan tingkat konflik sosial yang relatif masih
tinggi, sangat tepat untuk menjadikan seni tradisional seperti teater dan drama
sebagai media komunikasinya. Sebagai bentuk apresiasi seni, teater dan drama
memiliki posisi strategis dan dapat berperan sebagai forum penghilang ketegangan
dan pencair perbedaan, apalagi aktor yang terlibat dalam teater itu adalah seluruh
representasi masyarakat yang ada.
Saya sangat tertarik dengan upaya yang dilakukan oleh sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dari Eropa yang merekrut beberapa pelajar di wilayah
konflik di NTB untuk diajarkan atau dilatih drama bertema perdamaian/persamaan
yang akan dipentaskan di depan saudara dan orang tua mereka. LSM ternama
tersebut sadar benar bahwa karya seni seperti drama dan teater menjadi wadah yang
efektif untuk menyampaikan pesan bermakna.
Simpulan
Gambaran panjang lebar di atas semakin mempertegas betapa pentingnya seni
tradisional daerah NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial. Atas dasar
kesadaran itulah dibutuhkan upaya serius semua kalangan untuk mengidentifikasi
dan memodifikasi kemasan seni tradisional agar dapat dimanfaatkan sebagai media
yang komunikatif dalam menyampaikan pesan sosial tertentu dalam kerangka
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
35
pendidikan masyarakat. Sosialisasi dan penanaman kesadaran berbudaya dan
mencintai seni tradisional sendiri merupakan langkah awal yang baik menuju
efektifitasnya pemanfaatan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi dan
pendidikan sosial. Lebih dari itu, pemerintah daerah harus memberi apresiasi
(dukungan) yang serius untuk menyediakan fasilitas seni dan budaya sebagai wadah
dan ruang ekspresi publik sekaligus sebagai benteng pelestarian budaya lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi, Salman, 2010, Teater Cepung Lombok (Kajian Tekstual Seni Pertunjukan).
Tesis. Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Effendy, Onong Uchjana, 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:
Citra Aditya Bhakti
Mulyana, Deddy, 2002. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
36
PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
(STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG)
Oleh
I Wayan Sudiadnyana,S.Pd
(Pamong Belajar SKB Klungkung)
Abstraksi : Semakin masyarakat berkembang maju, maka kebutuhan akan
pendidikan akan semakin meningkat dan bervariasi. Pengembangan program jalur
Non formal dan Informal tentunya perlu terus diupayakan guna memenuhi
kebutuhan masyarakat akan pendidikan.
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam
hubungan yang erat dengan pengalaman siswa sesungguhnya. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transper pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam mendukung pendekatan kontektual
Pendidik dituntut untuk banyak membaca dan mencermati masalah aktual di
masyarakat, di sisi lain, pendidik juga terus berusaha mengenali pesertanya, baik
dari segi budaya, keluarga, social, adat dan pekerjaan dan lingkungan di mana
peserta tinggal, dengan siapa ia bergaul.
Kata Kunci : Pembelajaran, Kontekstual, Hubungan, Pengalaman
Latar Belakang
Pemberdayaan masyarakat (Empowerment of Community) sebagai sebuah
proses dalam rangka memberikan daya atau dengan kata lain mendayagunakan
seseorang, kelompok atau lembaga telah banyak dilakukan baik sebagai upaya yang
disusun secara terprogram sebagai program nasional maupun yang secara alamiah
dikembangkan sendiri oleh masyarakat di daerah. Sebagai sebuah proses transfomasi
serta interaksi dari berbagai pihak baik secara perorangan maupun antar kelompok
diharapkan dapat memberikan suatu dampak yang dapat saling menguntungkan,
menumbuhkan, meningkatkan, memperkuat yang pada akhirnya dapat menambah
nilai daya secara potensial baik secara pribadi, kelompok maupun lembaga yang
dapat diarahkan sebagai sebuah energi dalam upaya pencapaian tujuan.
Semakin masyarakat berkembang maju, maka kebutuhan akan pendidikan
akan semakin meningkat dan bervariasi. Menurut Kuntoro (2001) pendidikan bukan
saja bertujuan untuk mempersiapkan anak dan pemuda memasuki dunia kerja,
pendidikan juga dibutuhkan masyarakat dewasa untuk peningkatan pengembangan
diri atau kwalitas hidup yang dilakukan secara simultan dengan aktifitas kerja dalam
kehidupannya. Dalam kondisi seperti ini aktivitas pendidikan atau belajar dituntut
untuk berjalan seumur hidup.
Urgennya masalah pemberdayaan masyarakat merupakan hal mendasar
yang melatar belakangi konsep misi bangsa Indonesia seperti yang sudah tercantum
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
37
dalam GBHN (2004) menyebutkan bahwa “pemberdayaan masyarakat dan seluruh
ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, koperasi dengan
mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar
yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan”.
Pada akhirnya misi tersebut memunculkan ranting pemikiran yang berwadah pada
wujud sebuah kebijakan yang akan dilaksanakan dalam mewujudkan misi tersebut
yakni dengan upaya Memberdayakan masyarakat dengan mempersiapkan program
pemberdayaan bagi masyarakat melalui berbagai program yang bervariasi.
Pendidikan non formal dan Informal sebagai salah satu cabang utama dari
sistim pedidikan yang dilaksanakan di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar
dan bertanggung jawab dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Tentunya
pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata namun juga merupakan
tanggung jawab masyarakat dan keluarga, sehingga guna menyikapi hal tersebut di
atas maka perlu sinergisme antara ketiga komponen tersebut yaitu pemerintah,
masyarakat, dan keluarga.
Pengembangan program jalur Non formal dan Informal tentunya perlu terus
diupayakan guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, sebab dengan
tingginya jumlah penduduk yang membutuhkan pendidikan di jalur ini tentunya akan
berbanding lurus dengan kuantitas program yang dibutuhkan, artinya masih
diperlukan banyak pengembangan program pendidikan non formal sehingga dapat
menyentuh kebutuhan masyarakat banyak. Sesuai dengan pendapat yang
disampaiakan oleh Watson dan Katz (1991) bahwa program belajar harus menjawab
kebutuhan belajar masyarakat sehingga mereka merupakan bagian yang lebih besar.
Disinilah peran pendidik Paud menjadi sangat penting karena fungsinya sebagai
pelaksanan pembelajaran yang langsung berhubungan pada peserta didik Pendidik
Paud yang memiliki kompetensi baik sangat dimungkinkan dapat membawa
perjalanan program menjadi lebih baik pula serta sebaliknya, sehingga upaya
meningkatkan kompetensi Pendidik Paud sebagai pelaksana pembelajaran
dilapangan perlu mendapat perhatian untuk terus ditingkatkan kwalitasnya.
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) sesuai dengan SK Mendikbud No.
023/0/1997 Merupakan Unit Pelaksana Teknis Kegiatan Belajar Pendidikan Luar
Sekolah, Pemuda dan Olahraga, mempunyai tugas melakukan pembuatan
percontohan dan pengendalian mutu pelaksanaan program berdasarkan kebijakan
teknis Ditjen Pendidikan Luar Sekolah.
Pendidik Paud adalah tenaga kependidikan yang menjadi pelaksana,
pembelajaran dan ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut yang berhadapat langsug
dengan anak-anak. Pada kenyataannya tidak sedikit hambatan, tangtangan dan
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
38
kendala yang dialaminya, baik yang diakibatkan oleh keterbatasan pengalaman,
Rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya disiplin kerja maupun sitem lainnya.
Permasalahan ini belum sepenuhnya mendapatkan penanganan yang sungguh-
sungguh, sehingga berpengaruh terhadap kinerja Pendidik Paud itu sendiri maupun
Tenaga Kependidikan secara keseluruhan.
Selama ini UPT SKB Klungkung telah melaksanakan berbagai upaya
dengan meningkatkan PTK PAUD salah satunya melalui pelatihan, namun SKB
Klungkung belum memiliki pola pelatihan yang efektif dalam meningkatkan kwalitas
PTK PAUD. Pendekatan kontekstual dipilih dalam pelatihan ini karena dalam
kegiatan pembelajaran/pelatihan penatar (narasumber) akan dibantu untuk
mengaitkan materi yang dipelajari (content) dengan situasi dunia nyata (context)
yang mendorong mendorong peserta penataran (Pendidik PAUD) membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya selama menjadi pendidik PAUD
dengan penerapannya dalam mengemban tugas sebagai pendidik PAUD (Suastra,
2009; Depdiknas, 2002). Dengan demikian, diharapkan hasil yang dicapai dalam
kegiatan pelatihan akan lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Terkait dengan
hal tersebut, tulisan ini dalam upaya mencari solusi pemecahan masalah tersebut.
Hakekat pendekatan kontekstual
Pendekatan kontekstual atau disebut juga contekstual teacing learning(CTL)
merupakan suatu konsepsi pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi
(Coenten) yang diajarkan dengan situasi dunia nyata (Contekt) dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan
tenaga kerja (Blenchad, 2001; Deddikbud 2002). Pembelajaran kontekstual adalah
pembelajaran yang menmungkinkan siswa-siswa TK sampai SMU untuk
menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik
mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat
memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang
disimmulasikan (University Of Washington, 2001).
Jadi, pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam
hubungan yang erat dengan pengalaman siswa sesungguhnya. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transper pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam kontes itu, siswa perlu mengerti apa
makna belajar, apa mamfaatnya, dalam setatus apa mereka, dan bagaimana
mencapainya. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang
memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang
bermamfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu mereka
memerlukan guru sebagai pengarah dan pembingbing (Depdikbud, 2002 : 2).
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
39
Dalam Kelas Kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Maksudnya, Guru lebih banyak berusan dengan setrategi daripada
member informasi. Tugas guru mengelola kelas ssebuah tim yng bekerja bersama
untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (Siswa). Sesuatu
(Pengetahuan dan Keterampilan) datang dari “Menemukan sendiri” bukan dari “Apa
kata guru”. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola pendekan kontekstual.
Komponen-komponen CTL
The Washington Statte For Contextual Teacing and Learning (2002) telah
mengidentifikasi tujuh komponen utama sebagai landasan pembelajaran kontekstual
yaitu: Kontruktivisme (Contruktivism), menemukan (Inqiuiry), bertanya
(Questioning), masyarakat belajar (Learning Commonity), pemodelan (Modeling),
Repleksi (Replection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessement).
Kontrusktivisme merupakan landasan berpikir (Filosofis) pedekatan CTL,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan skemata yang telah ada sebelumnya
(Bodner dalam Suastra, 2009). Ini berarti bahwa manusia membangun pengetahuan
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Sempit)
dan tidak sekoyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat pakta-pakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu melalui proses asimilasi dan akomodasi, dan
member imakna melalui pengalaman nyata.
Menemukan (Inquiry) adalah sesuatu kegiatan menyelidikan secara
sistematis dengan tujuan menemukan dan menjelaskan hubungan antara objek dan
peristiwa. Hal ini dicirikan dengan penggunaan urutan proses yang dapat diulangi,
redufsi objetk peneitiann kedalam sekala dan bentuknya yang sederhana, dan
menggunakan kerangka logika untuk menjelaskan dan ramalan. Operasional inkuiri
meliputi observasi (observing), bertanya (questioning), mengajukan dugaan
(hiphotesis), pengumpulan data (data ghetering), dan penyimpulan (conclusion), dan
mengkomonikasikan (communicating) (Trowbridge & Bybee dalam Suastra, 2009).
Lebih lanjut Amien (1987; 126-127) menyatakan inkuiri adalah suatu perluasa proses
discovery yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa .
Bertanya (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu
bermula dari bertanya. Kenapa memanaskan air di pegunungan lebih cepat mendidih
bila dibandingkan didekat pantai?, Bertanya merupakan setrategi utama yang
berbasis CTL (Depdikbud, 2002). Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai
kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kekampuan berpikir
siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam
melaksanakan pembelajaran berbasis inquiry, yaitu menggali informasi,
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
40
mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada
aspek yang belum diketahuinya.
Masyarakat Belajar (Learning Community). Konsep masyarakat belajar
(learning community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari
kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar
kelompok dan antar yang tahu ke yan belum tahu. Di ruang kelas, di sekitar kelas
atau orang yang ada diluar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar (Johnson
dalam Suastra, 2009). Blanchard (2001) mengatakan bahwa belajar dapat terjadi
apabila proses komunikasi dua arah.
Pemodelan (Modeling). Dalam sebuah pembelajaran baik itu pembelajaran
pengetahuan atau keterampilan tertentu ada model yang bisa ditiru. Model ini bisa
berupa cara mengoprasikan suatu alat, mendemonstrasikan karya baik yang berupa
tulisan ataupun benda, cara membuat makanan atau peralatan dan sebagaianya.
Menurut Bandura (dalam Kardi, 2000), belajar yang dialami manusia sebagian besar
diperoleh dari suatu pemodelan, yaitu meniru perilaku dari pengalaman (keberhasilan
dan kegagalan) orang lain.
Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan hal penting dalam pembelajaran
dengan pendakatan CTL. REfleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilkuksn dimasitas,
atau yang lalu, dan apa yang perlu dilakukan berikutnya. Refleksi merupaka respon
terhadap kejadian,atau aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima (Nurhadi,
2002). Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung. Kalau begitu cara saya
tentu salah, semestinya cara lain saya gunakan” Pengetahuan yang bermakna
diproleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diprluas melalui konteks
pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demisedikit.
Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Assessmen adalah
proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan
belajar siswa. Dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL. Gambaran
perkembangan belajar perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru
mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar. Oleh karena
gambaran tentang kemajuan itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka
assessmen tidak saja dilakukan pada akhir pembelajaran, tetapi dilakukan bersama
secara berintegrasi dari kegiatan pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses,
sehingga data yang dikumpulkan harus diproleh dari kegiatan nyata (Authentic)
yang dikerjakan siswa selama melakukan proses pembelajaran.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
41
Pelatihan PTK PAUD dengan pendekatan kontekstual
Dalam pengembangan pendidikan Nonformal dan Informal harus melihat
aspek yang lebih setrategis dan bersifat pondamental dan structural tanpa
mengabaikan social cultural masyarakat, Arah pengembangan pendidikan Nonformal
dan Informal harus mengikuti langkah-langkah yang setrategis, intergratif dan
berkesinambungan, berdasarkan setrategi dan prioritas yang dapat ditentukan.
Menurut “Syaiful Imran, ada enam pentahapan dalam pembelajaran
kontektual di tingkat Pelatihan yaitu: Pertama, mengkaji materi pelajaran yang akan
diajarkan kepada Peserta yaitu dengan memilah-milah materi yang tekstual dan
materi yang dapat diakitkan dengan hal-hal aktual. Kedua, mengkaji konteks
kehidupan peserta sehari-hari secara cermat sebagai salah satu upaya untuk
memahami konteks kehidupan peserta sehari-hari. Ketiga, memilih materi pelajaran
yang dapat dikaitkan dengan kontek kehidupan peserta. Keempat, menyusun
persiapan proses belajar dan mengajar yang telah memasukkan konteks ke dalam
materi yang akan diajarkan. Kelima, melaksanakan proses belajar mengajar
kontektual yaitu mendorong peserta untuk selalu mengaitkan materi yang dipelajari
dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Keenam,
melakukan penilaian otentik terhadap apa yang telah dipelajari oleh peserta. Hasilnya
dapat digunakan sebagai masukan, perbaikan/ penyempurnaan persiapan dan
pelaksanaan proses belajar dan mengajar yang akan datang.
Perlu juga disadari bahwa pelaksanaan pendekatan kontektual tidak sama
untuk tiap Lembaga, namun yang pasti Pendidik dituntut aktif menginternalisasikan,
menghayati, memahami, konteks actual dalam proses belajar mengajar. Jadi tidak
ada satu resep atau seragam dalam, pelaksanaan pembelajaran kontektual, tetapi
pendekatan kontektual cenderung mengakomodasi kemajemukan dan perbedaan
sesuai kekhususan yang ada pada peserta tersebut.
Dalam mendukung pendekatan kontektual Pendidik dituntut untuk banyak
membaca dan mencermati masalah aktual di masyarakat, di sisi lain, pendidik juga
terus berusaha mengenali pesertanya, baik dari segi budaya, keluarga, social, adat
dan pekerjaan dan lingkungan di mana peserta tinggal, dengan siapa ia bergaul. Hal
ini, perlu dilakukan agar pendidik mampu menginternalisasikan bahan pelajaran dan
proses pembelajaran dengan konteks yang actual dan dekat dengan kehidupan
keseharian peserta.
Menurut Chaedar Alwasilah, ada tujuh strategi yang perlu diperhatikan dalam
pendekatan kontektual, yaitu: pengajaran berbasis problem, menggunakan konteks
beragam, mempertimbangkan kebhinekaan peserta, memberdayakan peserta untuk
belajar sendiri, belajar melalui kolaborasi, menggunakan penilaian autentik,
mengejar standar ting; Dari tujuh setrategi diatas kita bahas hanya tiga setrategi
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
42
saja yaitu. Pertama, pengajaran hendaknya berbasis permasalahan, merancang
pembelajaran bersifat problem solving, sehingga peserta tertantang untuk
memecahkan problem tersebut, peserta diajak untuk berfikir kritis, pemecahan ini
akan mengajak peserta masuk ke dunianya sendiri, ia menyelami makna dan
pengalaman yang iia lakukan sendiri. Kedua, menggunakan konteks bermacam-
macam dan bervariasi. Makna jangan dibatasi pada satu sisi, atau satu titik pandang
saja, sebab makna dapat dipandang dari berbagai sisi. Adanya cara pandang yang
beragam akan menambah khazanah pemikiran Peserta makin kaya dan beragam.
Ketiga, menyadari keragaman yang ada pada peserta. Adanya berbagai keragaman
dan perbedaan hendaknya menjadi rahmat yang akan mendukung terjadinya
pembelajaran yang mengkayakan imajinasi, daya kreatifdandaya kritis peseta.
Namun dalam pengembangan pendidikan Nonformal dan Informal yang menjadi
dasar yang perlu dibangun yaitu nilai-nilai yang positif setiap individu manajemen
dan aspek kelembagaan yang lainnya.
Prinsip Penyelenggaraan Pelatihan Pendidik PAUD dengan pendekatan
kontekstual.
1) Kontruktivisme
Sebelum pelatihan, dilakukan penggalian pengetahuan/ keterampilan awal
peserta. Hal ini bisa dilakukan dengan cara bertanya atau menanyakan kepada
peserta pelatihan, tujuannya adalah untuk menetapkan masalah yang akan
dipecahkan atau menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam pembahasan materi itu.
Contoh: “Saya ingin tahu apa isi kotak itu?” Membayangkan serta mengantisipasi
kegiatan yang akan dilakukan. Contoh: “Jika aku menarik bangku kedekat kotak,
saya akan tahu isi kotak itu”. Mengekpresikan minat peserta terhadap sesuatu. Hal ini
dianggap penting karena ketika peserta berminat akan sesuatu mereka akan tampak
lebih bersemangat dan memungkinkan terciptanya pembelajaran yang efektif.
Dengan cara ini peserta diharapkan menemukan sendiri apa yang akan dibahasnya.
2) Menilai
Dalam pelatihan Pendidik PAUD diajarkan menemukan sendiri pola dasar-
dasar pembelajaran PAUD. Ini bisa dilakukan dengan pengumpulan berbagai data
yang bisa memberikan gambaran, perkembangan dengan cara yang nyata dilakukan:
(1) selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) Dilakukan bisa
formatif maupun sumatif, (3) bisa diukur kemampuan keterampilan anak/performent,
(4) bisa dilakukan berkesinambungan, (5) terintegrasi, (6) bisa digunakan sebagai
umpan balik.
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
43
3) Bertanya
Pelatihan dilakukan dengan kegiatan tanya-jawab. Ini bisa dengan proses
pembelajaran yang kreatif dan inovatif juga dapat dilakukan oleh pendidik melalui
kegiatan-kegiatan yang menarik, untuk membangkitkan rasa ingin tahu peserta
pelatihan, memotivasi untuk berfikir kritis dan menemukan hal-hal baru, yang
diarahkan pada pengembangan konsep kecakapan hidup didasarkan atas pembiasaan-
pembiasaan yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan diri untuk
disiplin. Yang paling menentuka keberhasilan pembelajaran adalah: lingkungan
pembelajaran harus diciptakan sedemikian menarik dan menyenangkan sehingga
peserta pelatihan selalu betah. Dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru
untuk mendorong, membimbing dan termasuk menilai siswa dalam berpikir.
4) Masyarakat Belajar
Dalam kegiatan pelatihan dapat digunakan kegiatan kelompok (kooperatif)
dengan bermain seraya belajar atau belajar seraya bermain. Bermain merupakan
pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/pelatihan pada paserta.
Sehingga ada upaya-upaya pendidikan yang dilakukan oleh pendidik/guru dalam
dalam melaksanakan pembelajaran pada saat situasi yang menyenangkan, namun
juga diperlukan strategi, metode, materi/bahan, dan media yang menarik serta mudah
diikuti dan pada intinya hasil pembelajaran di dapat dari kerja sama antar
peserta/teman.
5) Modeling
Tutor Paud yang terbaik dijadikan model dalam pelatihan. Karena ini
merupaka media dan sumber belajar, merupakan faktor yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan pembelajaran. Media atau sumber belajar yang dipilih harus
sesuai denga kegiatan dan dapat memberikan pengalaman yang cocok bagi peserta
pelatihan. Guru juga harus memutuskan bagai mana media dan sumber belajar
disediakan dan bagaimana kegiatan diorganisasikan. Apakah peserta dapat
menggunakan
media dan sumber belajar tersebut secra individual, kelompok atau klasikal. Hal
lain yang perlu dipertimbangkan sejauh mana sumber-sumber dapat memberi
dukungan terhadap proses belajar anak/peserta didik. Dengan menampilkan model
media dan sumber belajar lainnya, peserta dapat melakukan eksplorasi, observasi
dan memungkinkan peserta dapat melibatkan seluruh kemampuannya. Dengan
pendekatan seperti ini peserta pelatihan menjadi bergairah.
6) Refleksi
Pada akhir sesen pelatihan guru Paud diajak melakukan refleksi/perenungan
tercapainya pembelajarnya, Yang diperlukan cara berpikir apa yang baru dipelajari
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
44
atau berpikir kebelakang apa yang sudah dipelajari. Dengan cara ini peserta pelatihan
tidak gampang melupakan isi materi yang telah kita sampaikan.
7) Penilaian sebenarnya
Dalam proses penilaian peserta dinilai kerjanya dengan observasi
menggunakan pedoman penilaian. Ada bebrapa prinsip pelaksanaan penilaian
pendidikan anak usia dini antara lain :
a. Penilaian harus dikaitkan dengan kurikulum
b. Hasil penilaian harus dimamfaatkan untuk kepentingan anak.
c. Penilaian harus mencakup seluruh aspek perkembangan anak (fisik, social,
emosional,kognitif, bahasa).
d. Penilaian melibatkan observasi yang teratur dan priodik dari anak dalam berbagai
keadaan yang menggambarkan tingkah laku anak setiap saat.
e. Penilaian didasarkan pada prosudur yang menggambarkan kegiatan anak secara
khusus.
f. Penilaian harus mendorong anak untuk berpartisipasi dalam menolong dirinya.
g. Penilain harus alami dan wajar.
Implementasi Kegiatan Pelatihan dengan Pendekatan Kontektual di SKB
Klungkung
Implemntasi dari kegiatan pelatihan pendidik paud dengan pendekatan
kontektual dapat disampaikan dalam suatu program yang mempunyai keunggulan
dalam pelaksanaannya, dan menghasilkan dampak positif terhadap sasaran
pelaksanaan program khususnya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini
(PAUD). Keunggulannya, dapat dilihat dari adnya pola atau setrategi yang kreatif
dan inovatif, yang dipergunakan oleh guru/pendidik untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan sebelumnya. Mengingat program Paud yang terdiri dari Taman
Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain (KB) dan Taman Penitipan Anak (TPA)
yang terintegrasi dengan berbgai layanan pendidikan anak usia dini yang telah ada
dimasyarakan, karena pola pembelajarannya yakni “dari, oleh dan untuk” anak, maka
pola yang diberikan dalam pelatihan pendidik/guru paud adalah menggunakan
pendekatan kontektual. Dengan adanya keunggulan tersebut, maka pelatihan itu,
bisa/ memungkinkan untuk dijadikan sebuah rele mode/ contoh ideal, bagi
penyelenggara program kursus lainnya. Berikut dijelaskan beberapa unsur yang ada
dalam pelatihan:
a. Peserta didik
Peserta didik pelatihan dengan pendekatan kontektual ini adalah guru-guru
Paud se Kekabupaten Klungkung berjumlah 40 orang. Sedangkan perekruitmen
peserta melalui identifikasi kebutuhan belajar, mengingat pelatihan ini berbasis pada
kebutuhan anak, sehingga guru yang dipanggil untuk mengikuti pelatihan adalah dari
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
45
masing-masing perwakilan Kelompok Bermain percontohan dan Taman Kanak-
Kanak Percontohan yang berada di Kabupaten Klungkung berjumlah 40 lembaga.
Dengan terlebih dahulu Pamong Belajar SKB Klungkung mengadakan koordinasi
dengan menyelenggarakan pertemua bersama Forum Paud, Himpaudi, Lembaga-
lembaga paud percontohan mengundangnya ke SKB Klungkung untuk
membicarakan langkah-langkah pengembangan pendidikan anak usia dini kedepan,
dan model pembelajaran yang bagaimana digunakan untuk menumbuh kembangkan
otak anak, sehingga anak menjadi mandiri.
b. Pendidik/Narasumber
Pendidik/Narasumber pada pelatihan Pendidik Paud dengan pendekatan
kontektual ini adalah orang yang memiliki :
1. Kopetensi sebagai pendidik/Narasumber dibidang keterampilan (vokasi) tertentu
yang akan dibelajarkan pada pendidik/guru Paud
2. Berpengalaman memberikan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan
kontektual
3. Berpengalaman dalam memperdayakan pendidik/guru paud sesuai dengan local
genius.
c. Kurikulum dan bahan ajar
Kurikulum Program Pelatihan pendidik/guru Paud dengan pendekatan
Kontektuan ini memuat : a) materi pokok yang berkaitan dengan pengembangan
keterampilan (vokasi) berbasis potensi dan kearipan local (APE muatan local); b)
Materi penunjang yang berkaitan dengan kemandirian meliputi : membangun dan
meningkatkan prilaku, pola pikir dan sikap mendidik anak, serta manajemen
pengelolaan kelas.
d. Sarana dan prasarana belajar
Sarana dan prasarana yang digunakan minimal memenuhi peryaratan teknis
yang diperlukan sesuai dengan jenis pelatihan vokasi tertentu dalam proses
pembelajaran, antara lain:
1. Ruang pembelajaran;
2. Ruang praktek dan peralatan praktek sesuai dengan bidang pebelajaran yang
akan dikembangkan ( pembuatan APE);
3. Bahan baku pembauatan APE yang ada disekitar /lingkungan belajar (vahan
limbah)
e. Strategi pembelajaran
1. Identifikasi potensi local dan sumber daya pendukung
2. Penelusuran minat,bakat, dan kemampuan dasar peserta didik
3. Metodologi pembelajaran:
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
46
a. Teori diikuti dengan praktek ( Focus Group Discussion)
b. Teori dan prektek dilakukan bersamaan (learning by doing)
c. Teori, peraktek dilanjutkan dengan peninjauan lapangan
4. Evaluasi hasil belajar
5. Pendampingan atau pembinaan komonikasi tiap satu bulan
f. Biaya
Dalam penyelenggaraan pelatihan biaya amat dibutuhkan, kalau tidak ada
biaya kegiatan tidak akan bisa terlaksana. Namun semua ini bisa dilakukan asalkan
dari semua pihak sama-sama berkepentingan. Contohnya: dengan urunan bersama
seperti yang penuis sudah pernah lakukan di Nusa Penida, bekerja sama dengan
Koperasi Srinadi Klungkung tujuannya meringankan peserta dalam mengeluarkan
dana namun peserta dapat mengikuti pelatiahan dengan nyaman dan hasil baik.
g. Evaluasi
Evaluasi hasil pembelajaran pelatihan sangat penting dilakukan dengan
segera, tujuannya untuk mengetahui sejauhmana materi bisa diserap oleh peserta
didik atau, pelatihan yang diselenggarakan bisa berlajan dengan baik?. Hal ini
diperlukan sebagai alat ukur untuk menyelenggarakan pelatihan berikutnya.
Mengingat Program PAUD di Kabupaten Klungkung dilaksanakan di masing-masing
Banjar dan Sekolah yang sesuai dengan potensi dan kondisi Desa di masing-masing
kecamatan. Sedangkan PAUD yang dibina oleh UPT SKB Klungkung Terdiri dari :
Paud Kelompok Bermain (KB), Satuan Paud Sejenis (SPS), Taman Penitipan Anak
(TPA)
Langkah-langkah Kegiatan Pelatihan
Pelatihan Pendidik PAUD dengan pendekatan kontekstual yang dilaksankan
di UPT SKB Klungkung mengikuti tahapan sebagai berikut.
1) Kegiatan Awal.
Kegiatan prelatihan selalu diawali dengan kegiatan doa bersama untuk memohon
keselamatan bersama dalam pelatihan. Selanjutnya dilakukan penggalian
pengetahuan atau keterampilan awal peserta dengan mengajukan berbagai
pertanyaan. Dalam hal ini tutor tidak membenarkan atau menyalahkan jawaban
atau keterampilan awalnya.
2) Kegiatan Inti
Kegiatan ini meliputi berbagai kegiataan yang dilakukan oleh peserta yang
difasilitasi oleh tutor. Pesertalah yang aktif bertanya, menjawab, mensimulasikan,
sebagai model, dan merangkum hasil pelatihan, sedangkan tutor berperan sebagai
fasilitator kegiatan (bukan menceramahi atau menggurui peserta). Kegiatan
tersebut meliputi:
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
47
a. Penyajian materi pokok oleh narasumber melalui penayangan slide/power
point
b. Narasumberr mengajukan permasalahan yang kontekstual dengan tugas-tugas
Guru PAUD untuk didiskusikan dalam kelompok kecil (3-5 orang).
c. Setiap kelompok menyajikan hasil diskusi dan mensimulasikan hasil
diskusinya di depan kelas. Kelompok lainnya memberikan tanggapan atau
komentar. Kelompok lainnya diberi ksempatan yang sama untuk menyajikan
atau mensi,mulasikan hasil diskusinya. Tutor memandu kegiatan diskusi.
d. Diskusi kelas dilakukan setelah diskusi masing-masing kelompok selesai untuk
memantapkan pemahaman atau keterampilan peserta. Setelah diskusi
dilakukan, peserta diajak merayakan keberhasilan sambil bernyanyi bersama-
sama.
e. Assesment (penilaian) dilakukan selama proses pembelajaran.
3) Kegiatan Penutup
a. Peserta diajak melaksanakan refleksi terhadap apayang telah dipelajari.
b. Peserta merangkum hasil kegiatan.
c. Pada akhir sesi pembelajaran dilakukan doa bersama atas keberhasilan
menyelesaikan kegiatan dengan lancar.
Metode Penilaian (Assesment)
Kegiatan penilaian tujuannya untuk mendapatkan imformasi secara benar,
berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan dan
perkembagan anak didik. Penilaian dalam program ini menggunakan prinsip-prinsip
seperti; (1) Menyeluruh, penilaian mencakup aspek proses dan hasil
pengembangan yang secara bertahap mengambarkan perubahan prilaku; (2)
Berkesinambungan, penilaian dilakukan secara berencana, bertahapa dan terus
menerus untuk memproleh gabaran menyluruh terhadap hasil pelatihan;
(3) Obyektif, penilaian dilakukan seobyektif mungkin dengan memperhatikan
perbedaan dan keunikan perkembangan anak, dimana tidak selalu memberikan
penafsiran yang sama terhadap gejala yang sama; (4) Mendidik, hasil penilaian
digunakan untuk membina dan memberikan dorongan kepada anak didik dalam
meningkatkan kemampuannya sehingga anak dapat megembangkan „rasa berhasil“
nya; (5) Kebermaknaan, hasil penilaian harus bermakna, bagi guru,pamong
belajar, orang tua, anak didik dan pihak lain yang memerlukan.
Untuk melakukan penilaian dilakukan dengan beberapa cara, yakni; (a)
Penagamatan, yaitu suatu cara untuk megetahui perkembangan dan sikap anak
yang dilakukan dengan mengamati sikap anak yang dilakukan dengan wengamati
tingkah laku anak dalam kehidupan se hari-hari; (b) Pencatatan anekdot, yaitu
sekumpulan catatan tentang sikap dan prilaku anak dalam situai tertentu. Hal-hal
yang dicatat meliputi seluruh aktivitas anak yang bersifat positif dan negatif; dan (c)
Portofolio, yaitu penilaian berdasarkan kumpulan hasil kerja anak yang dapat
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
48
menggambarkan sejauh mana keterampilan anak berkembang. Seluruh hasil
penilaian itu akan dilaporkan berupa “laporan perkembangan anak” dalam bentuk
deskripsi/uraian singkat tentang perkembangan anak yang telah dicapai pada setiap
pertemuan yang dilaporkan kepada orang tua secara berkalah.
Hasil Pelatihan
Berdasarkan hasil penilaian kegiatan pelatihan Guru PAUD yang
menggunakan pendekatan kontektual diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 1: Penilaian Proses untuk Peserta ( n = 40 orang)
No Aspek Frekuensi
Baik
Frekuensi
Cukup
Frekuensi
Kurang
1 Kemampuan membimbing 35 5 0
2 Kemampuan bekerjasama 38 2 0
3 Kemampuan memotivasi 35 5 0
4 Kemampuan menyampaikan
pendapat
31 9 0
5 Kemampuan bertanya 30 10 0
6 Penguasaan materi dan
keterampilan
34 6 0
Selama pelaksanaan pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontektual
dilakukan pengamatan secara teratur terhadap aktivitas pembelajaran peserta
pelatihan. Hasil dari pemantauan aktivitas kegiatan ditemukan data seperti pada
Tabel 3.1 di atas. Hasil memperlihatkan bahwa sebanyak 35 orang ( 35/40 x 100% =
88%) kemampuan membimbing peserta didik berkemampuan baik dan 5 orang (5/40
x 100% = 12%) berkemampuan cukup. Kemampuan bekerja sama peserta didik
sebanyak 38 orang (38/40 x 100% = 95%) berkemampuan baik dan 2 orang (2/40 x
100% = 5%) berkemampuan cukup. Kemampuan Memotivasi peserta didik 35
orang ( 35/40 x 100% = 88%) kemampuan baik dan 5 orang ( 5/40 x 100% = 12%)
berkemampuan cukup. Kemampuan menyampaikan pendapat sebanyak 31 orang
(31/40 x 100% = 78%) berkemampuan baik dan 9 orang (9/40 x 100% = 22%)
berkemampuan cukup. Kemampuan bertanya 30 orang ( 30/40 x 100% = 75%)
kemampuan baik dan 10 orang ( 10/40 x 100% = 25%) berkemampuan cukup.
Kemampuan menguasai materi dan keterampilan sebanyak 34 orang (34/40 x 100%
= 85%) berkemampuan baik dan 6 orang (6/40 x 100% = 15%) berkemampuan
cukup.
Deskripsi Respon Peserta Setelah Pelatihan
Setelah pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontektual yang
diselenggarakan di UPT SKB Klungkung, peserta pelatihan memberikan respon
sebagai berikut:
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
49
Tabel. 2: Respon Peserta Terhadap Pelatihan dengan pendekatan kontekstual
No
Pertanyaan
Yang
menjawaban
Ya Tidak
1 Apakah anda senang dengan pelatihan ini ? 38 2
2 Apakah medel pelatihan membuat anda
lebih menguasai pembelajaran?
37 3
3 Apakah model pelatihan PTK PAUD
Berbasis Kontekstual ini perlu dilanjutkan?
40 -
Dengan penyebaran angket yang direspon oleh peserta pelatihan untuk
memberikan tanggapan terhadap pelatihan PAUD dengan pendekatan kontekstual
ini, maka pelatihan ini dikatakan berhasil baik. Hal ini bisa dililahat dari prosentase
jawaban peserta terhadap pertanyaan yang diberikan yang mengacu pada hasil
Selama pelaksanaan pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontektual dilakukan
pengamatan secara teratur terhadap aktivitas pembelajaran peserta pelatihan. Hasil
dari pemantauan aktivitas kegiatan ditemukan data seperti pada Tabel 3.1 dan Tabel
3.2 di atas. Hasil memperlihatkan bahwa sebanyak 38 orang ( 38/40 x 100% = 95%)
peserta menjawab (ya) dan 2 orang (2/40 x 100% = 5%) pesert didik menjawab
tidak, atas pertanyaan yang diajukan “Apakah anda senang dengan pelatihan ini?”
sedangkan peserta yang menjawab soal no. 2 sebanyak 37 orang (37/40 x 100% =
93%) menjawab Ya, 3 orang (3/40 x 100% = 8%) menjawab tidak atas pertanyaan
“Apakah medel pelatihan membuat anda lebih menguasai pembelajaran?” dan yang
paling mengejutkan adalah pertanyaan no.3.” Apakah model pelatihan Guru PAUD
dengan pendekatan Kontekstual ini perlu dilanjutkan?” peserta yang memberikan
jawaban (ya) sebanyak 40 orang (40/40 x 100% = 100%) yang menjawab tidak 0%.
Berdasarkan hasil angket inilah penulis berani mengatakan bahwa “ Pelatihan Guru
PAUD dengan pendekatan kontekstual di UPT SKB Klungkung”, dapat dikatakan
berhasil dengan baik dan selanjutnya bisa dijadikan contoh oleh penyelenggara
kursus lainnya.
Simpulan
Proses pelatilan Guru PAUD dengan pendekatan kontekstuan di UPT SKB
Klungkung dapat berjalan dengan baik dan lancer. Di samping itu, hasil pelatihan
Guru PAUD dengan pendekatan kontektual di UPT SKB klungkung baik. Hal ini
terbukti dari 35 orang mampu membimbing, 38 orang mampu bekerjasama, 35
orang mampu memotivasi, 31 orang mampu menyampaikan pendapat, 31 orang mau
bertanya jawab, dan 34 orang mampu menguasai materi dan keterampilan.
Respon dari peserta pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontekstual
positif di mana sebagian besar atau 38 orang menyatakan senang mengikuti, 37
Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram
50
orang menyatakan mudah menguasai isi pelatihan, dan 40 orang (100%)
menyarankan untuk melanjutkan model ini untuk pelatihan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, M. 1987. Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Menggunakan
Meode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Proyek P2LPTK Dikti.
Chaedar Alwasilah. 2009. Setrategi pendekatan kontekstual. Medicom.id
Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Acuan menu pembelajaran pada anak
dini usia (Menu pembelajaran generic.
Masitoh,dkk, 2008. Setrategi Pembelajaran TK. Jakarta: Universitas terbuka
Munandar S.C. Utami, 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak
Sekolah: Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua.Jakarta:
PT.Gramedia Widi Sarana Indonesia
Suastra I W, 2009. Pembelajaran Sain Terkini : Mendekatkan Siswa dengan
Lingkungan Alamiah dan Sosial Budayanya. Singaraja : Undiksha
Press
Sudrajat, Akhmad,2008. Pembelajaran Kontekstual. Wordpress.Com :
Depdiknas
Syaiful Imran. 2009. Tahapan pembelajaran Kontekstual,Medikom
Watson dan Katz, 1991.Menjawab Kebutuhan belajar masyarakat,Depdiknas
Wiranataputra, dkk: 2007.Belajar merupakan suatu proses yang kompleks,
Depdiknas
Jln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]
www.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi7Website
Jln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]/bppnfi7
“TERWUJUDNYA PUSAT INOVASI, PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PROGRAM PNFI BERBASIS KEUNGGULANKOMPERATIF DAN KEARIFAN LOKAL 2014"
V I S I