kementerian pendidikan nasional direktorat...

55
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI NONFORMAL DAN INFORMAL BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMALDAN INFORMAL (BPPNFI) REGIONAL VII MATARAM TAHUN 2011 ISSN : 2085-9368 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANI MELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN (Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok) Dr. Safuri, M.Pd (Dosen STKIP Siliwangi Bandung) WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN IN FORMAL DAN NON FORMAL Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar) MENGEMAS SENI TRADISIONAL NTB UNTUK MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL Dr. Kadri, M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Regional VII Mataram) PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG) I Wayan Sudiadnyana, S.Pd (Pamong Belajar SKB Klungkung) Edisi 7

Upload: hoangnga

Post on 22-Feb-2018

258 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALDIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI NONFORMAL DAN INFORMAL

BALAI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NONFORMALDAN INFORMAL(BPPNFI) REGIONAL VII MATARAM

TAHUN 2011

ISSN : 2085-9368

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANIMELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN(Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok) Dr. Safuri, M.Pd (Dosen STKIP Siliwangi Bandung)

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKANIN FORMAL DAN NON FORMAL Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)

MENGEMAS SENI TRADISIONAL NTB UNTUK MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL Dr. Kadri, M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Regional VII Mataram)

PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL(STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG) I Wayan Sudiadnyana, S.Pd (Pamong Belajar SKB Klungkung)

Edisi 7

Page 2: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

ISSN : 2085-9368

Pengarah Rony Gunarso, M.M.Pd.

Pimpinan Redaksi/Penanggung JawabKhairuddin, SH.

Redaktur PelaksanaAhmad Bawazir, SH.

Haryanto, M.PdDr. Kadri, M.Si

Penyunting/Editor H. Rusli Nursalam

H. Abdul Muis

Desain Grafis dan FotografiDoni Erfan

Rieza Bayu Putra, ST

SekretariatDewi Amalia, ST, MMAhmad Hari Tamrin

Indah Septia Perdana, SE

Pengarah Rony Gunarso, M.M.Pd.

Pimpinan Redaksi/Penanggung JawabKhairuddin, SH.

Redaktur PelaksanaAhmad Bawazir, SH.

Haryanto, M.PdDr. Kadri, M.Si

Penyunting/Editor H. Rusli Nursalam

H. Abdul Muis

Desain Grafis dan FotografiDoni Erfan

Rieza Bayu Putra, ST

SekretariatDewi Amalia, ST, MMAhmad Hari Tamrin

Indah Septia Perdana, SE

Alamat RedaksiJln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871

Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]

Websitewww.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi7

Alamat RedaksiJln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871

Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]

Websitewww.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi7

Edisi 7

Jurnal

Page 3: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

PENGANTAR

Suatu kebahagiaan tak ternilai bagi seluruh tim jurnal Aksa Sriti ketika telah merampungkan seluruh proses

penerbitan jurnal ini, mulai dari upaya permintaan tulisan, pengeditan, penerbitan, hingga pendistribusian jurnal ini

sehingga sampai di tangan pembaca. Kebahagian itu cukup beralasan di tengah kesibukan para kru jurnal

menyelesaikan beragam tugas lainnya. Ternyata kami masih bisa mempertahankan eksistensi jurnal yang telah

dirintis lebih dari tiga tahun silam ini. Sebagai wujud konsistensi pengelola jurnal untuk mempertahankan karakter jurnal Aksa Sriti sebagai jurnal

berhaluan Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI), kami sedapat mungkin berikhtiar

maksimal untuk memuat seluruh tulisan yang terkait dengan bidang PAUDNI dengan beragam variasi tema di

dalamnya. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini antara lain merupakan hasil penelitian dan pengkajian yang

dilakukan oleh pamong belajar yang ada di wilayah BPPNFI Regional VII, seperti tulisan I Wayan Sudiadayana dari

SKB Klungkung tentang “Pelatihan Pendidikan PAUD dengan Pendekatan Kontekstual” dengan setting kasus di

SKB nya sendiri.

Tulisan Dr. Safuri, M.Pd, tentang hasil pengamatannya tentang praktek pemberdayaan perempuan tani melalui

penguatan program pembelajaran, juga telah memberi warna pendidikan nonformal dan informal dari isi jurnal ini.

Masih terkait dengan bidang PAUDNI, dua dari empat tulisan dalam jurnal ini mengupas eksistensi dan peran

kesenian tradisional dalam pendidikan nonformal dan informal. Hal ini secara eksplisit diuraikan oleh Anak Agung

Ngurah Sumatri dalam tulisannya berjudul “Wayang sebagai media pendidikan informal dan nonformal” dan dalam

tulisan tentang “Optimalisasi peran kesenian tradisonal NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial” dari

Dr. Kadri, M.Si.

Jurnal ini telah memadukan antara ulasan hasil studi atau pengembangan dengan pokok-pokok pikiran (artikel

populer) terkait dengan pengembangan PAUDNI ke depan, baik dari pamong maupun dari kalangan akademisi,

dengan harapan semoga menjadi catatan berharga bagi setiap pembaca sehingga komitmen untuk terus

mengembangkan PAUDNI makin terus terjaga dan selalu ditingkatkan. Selamat membaca...

Mataram, Juni 2011 Pimpinan Redaksi/Penanggungjawab

H. Khairuddin, SH.

ii

Page 4: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

J u r n a l A k s a S r i t iEdisi 7

DAFTAR ISI

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANIMELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN(Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok) hal 1 - 11Dr. Safuri, M.Pd (Dosen STKIP Siliwangi Bandung)

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKANIN FORMAL DAN NON FORMAL hal 12- 26Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)

OPTIMALISASI PERAN KESENIAN TRADISIONAL NTB SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL hal 27 - 35Dr. Kadri, M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Regional VII Mataram)

PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL(STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG) hal 36 - 50I Wayan Sudiadnyana, S.Pd (Pamong Belajar SKB Klungkung)

iii

Page 5: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

1

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANI

MELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN

(Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok)

Oleh

Dr. Safuri, M.Pd

(Dosen STKIP Siliwangi Bandung)

Abstrak : Kondisi factual Perempuan tani di Nusa Tenggara Barat dan di Indonesia

pada umumnya adalah suatu kelompok masyarakat yang selama ini masih tergolong

terbelakang dan rentan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara

ekonomi pendidikan, politik, budaya maupun sosial.

Melalui Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa dengan dukungan UNESCO

sejak Oktober 1999 yang telah melakukan upaya pemberdayaan perempuan tani

melalui penguatan jaringan pembelajaran yang ada di masyarakat. Sebagai lokasi

kegiatan program ini dilaksanakan di dusun Ketapang Orong desa Gegerung dan di

dusun Montong Tangar desa Batu Kumbung. Kriteria penempatan program

perempuan tani di dua desa tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan,

antara lain : (1) tingkat buta hurufnya tinggi, (2) tingkat pendapatannya rendah, (3)

belum ada aliran listrik, (4) relatif terbelakang kehidupan sosial budayanya dan (5)

tersedia sumber daya alam yang dapat dikembangkan bagi kegiatan usaha ekonomi

produktif.

Melalui program ini telah dirasakan manfaatnya mengikuti kegiatan belajar,

antara lain mulai berani mengunjungi sarana kesahatan, dapat memahami

pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan anggota keluarga serta

lingkungan sekitarnya, memiliki keterampilan dalam membuat beberapa obat-obatan

tradisional, mengenal makanan yang memiliki kandungan gizi yang diperlukan bagi

tubuh, suami perempuan tani sudah mulai membantu kegiatan rumah tangga,

walaupun demikian perempuan tani masih merasakan kesulitan dalam memasarkan

produk yang dihasilkannya.

Kata kunci : perempuan, pemberdayaan, jaringan, pembelajaran,

Pendahuluan

Perempuan tani di Nusa Tenggara Barat dan di Indonesia pada umumnya

adalah suatu kelompok masyarakat yang selama ini masih tergolong terbelakang dan

rentan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara ekonomi, pendidikan,

politik, budaya maupun sosial. Mencermati kondisi faktual tersebut salah satu

lembaga swadaya masyarakat yaitu Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa dengan

dukungan UNESCO sejak Oktober 1999 telah melakukan upaya pemberdayaan

perempuan tani melalui penguatan jaringan pembelajaran yang ada di masyarakat.

Page 6: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

2

Sebagai lokasi kegiatan program ini dilaksanakan di dusun Ketapang Orong desa

Gegerung dan di dusun Montong Tangar desa Batu Kumbung.

Tulisan ini merupakan hasil survey yang pernah dilakukan penulis untuk

memperoleh informasi secara komprehensif mengenai perkembangan dan dampak

program pemberdayaan perempuan tani melalui penguatan jaringan pembelajaran

yang dilaksanakan KSU ANNISA.

Gambaran Umum Lokasi Survey

KSU adalah sebuah Koperasi perempuan yang beranggotakan perempuan

golongan ekonomi menengah kebawah yang memiliki kegiatan usaha produktif

maupun yang ingin melakukan usaha produktif yang berlandaskan kesetaraan dan

kesejajaran gender untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka

memerangi kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Barat.

KSU Annisa dirintis tahun 1984, saat itu terdapat tiga kelompok swadaya

masyarakat (KSM) yang terdiri dari 53 orang perempuan yang berada di kelurahan

Karang Baru kec Mataran Kota Mataram. Kelompok ini keberadaannya cukup

diminati, pada saat dilakukan survey anggotanya 325 orang yang tergabung

kedalam 18 kelompok dan tersebar pada 3 kecamatan (Ampenan, Mataram, dan

Cakranegara). KSU Annisa menjadi badan hukum sejak 18 Maret 1989 (Badan

Hukum No.790a/BH/XXII).

Jumlah anggota KSU Annisa tidak kurang dari 1.500 orang, yang tergabung

dalam 100 kelompok dan diantaranya termasuk 31 kelompok Pendidikan Fungsional

yang tersebar di 15 Desa yang meliputi 9 Kecamatan. Selain itu KSU Annisa juga

telah mendampingi 13 kelompok belajar pendidikan Fungsional dan 4 kelompok pra

koperasi dan 1 koperasi binaan Plan International pada 4 desa di Lombok Timur,

serta menghubungkan 242 kelompok lainnya dengan 7 BPR yang ada di Kota

Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah. Adapun jumlah asset yang dikelola

berasal dari modal sendiri maupun dari simpanan anggota.

Visi yang diusung KSU Annisa adalah tercapainya kesetaraan dan

kesejahteraan hidup bagi penduduk wanita miskin di NTB. Adapun misinya adalah:

1) Membentuk sebuah Koperasi Wanita yang kuat, mandiri dan berlandaskan pada

kesetaraan dan kesejajaran gender di Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat.

2) Menumbuhkan dan mengkritisi kesadaran masyarakat tentang manfaat dan

pentingnya keberadaan Koperasi sebagai wadah pengembangan ekonomi yang

memperhatikan nilai-nilai keterbukaan, demokrasi dan rasa saling tolong

menolong.

3) Memfasilitasi beberapa koperasi dan LSM yang ada di NTB agar pengembangan

ekonomi yang dilakukan berperspektif gender dan pengembangan program yang

terintegrasi.

Page 7: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

3

Bidang kegiatan KSU Annisa mencakup: (a) usaha (simpan pinjam dan

perdagangan), (b) pengembangan masyarakat (pendidikan, latihan pendampingan,

konsultasi usaha, study banding, magang dan dialog terbuka), (c) mendampingi

kelompok binaan LSM lainnya dalam pengembangan koperasi dan pendidikan

fungsional dan (d) advokasi melalui kerjasama dengan LSM-LSM lain dan pihak

lainnya yang terkait.

Kerjasama yang telah dilakukan KSU Annisa dalam mengembangkan

programnya antara lain adalah dengan AWID Forum (1996), YASPPUK (1997),

ALTRABAKU (1996), APIK (1996), KOALISI PEREMPUAN (1998), INKOWAN

(1995), UNESCO (1999), Diknas, BPKB dan SKB. Aktivitas usaha anggota KSU

Annisa tergolong pada kegiatan pertanian, perdagangan dan jasa. Misalnya

agribisnis, peternakan, perikanan, warung makan, sayuran, bakso, kios, perbengkelan

dan jasa jahit.

Program pemberdayaan perempuan tani yang dilaksanakan KSU ANNISA

kerjasama dengan UNESCO dilaksanakan di desa Batu Kumbung dan Gegerung

Kecamatan Lingsar. Berikut ini dipaparkan profil kedua desa lokasi program.

1) Desa Batu Kumbung

Desa Batu Kumbung memiliki tujuh dusun, sedangkan yang dijadikan lokasi

program adalah dusun Montong Tangar, tepatnya di Sesaot dan Pekarangan. Jumlah

penduduk Desa Batu Kumbung adalah 6036 orang, yang terdiri dari laki-laki 2904

orang dan perempuan 3132 orang. Tingkat pendidikan penduduk desa dapat

digambarkan sebagai berikut. Pada saat dilakukan survey penduduk yang belum

sekolah 785 orang, usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 1126 orang, tidak tamat SD

890 orang, tamat SD 2190 orang, tamat SLTP 97, tamat SLTA 421 orang dan PT 29

orang. Mata pencaharian pokok penduduk adalah sebagai petani 3226 orang, buruh

tani 3478 orang, peternak 2716 orang, pengrajin 70 orang, pedagang 46 orang. Data

ini masih perlu dilacak lebih lanjut karena data yang diperoleh tim diperoleh dari

data sekunder.

Hasil pertanian dari desa Batu Kumbung yang berupa buah-buahan misalnya

rambutan, manggis dan pisang. Perkebunan tembakau juga terdapat di desa ini

dengan luas 3,5 ha yang memproduksi 10 ton/ha atau 35 ton dari luas lahan yang ada.

Sedangkan peternakan yang ada terdiri dari: sapi 973 ekor, babi 90 ekor, ayam 3860

ekor, kuda 19 ekor, dan kambing 80 ekor. Lahan perikanan yang ada kurang lebih

75 ha dengan rata-rata produksi 1 ton/ha. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan

mujair, lele dan karper.

Potensi alam lain yang terdapat di desa adalah pasir dan batu apung.

Sementara itu potensi air diperoleh dari air irigasi 4,30 M2/detik, mata air 2,10

M2/detik, sumber air minum dari mata air 5 unit (130 KK), sumur gali 73 umit (176

Page 8: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

4

KK), sumur pompa 20 unit (136 KK), hidran umum17 unit (513 KK), pipa 2 unit

(533 KK) dan sungai 5 unit (130 KK), dan sungai 5 aliran.

2) Desa Gegerung

Jumlah penduduk Gegerung adalah 4221 orang dengan 1159 kepala keluarga.

Jumlah penduduk laki-laki adalah 2020 orang dan perempuan 2201 orang. Pada saat

awal diluncurkan program pemberdayaan perempuan tani ini tidak ada satupun dari

penduduk desa yang pernah mengenyam pendidikan pada tingkat perguruan tinggi.

Sementara yang tamat SLTA berjumlah 1 (satu) orang dan SLTP 10 (sepuluh) orang

dan tamat SD berjumlah 200 orang dan sisanya yang hampir mendekati 500 (lima

ratus) jiwa perempuan dan laki-laki dewasa adalah tidak tamat SD dan tidak pernah

mengenyam pendidikan sama sekali. Sebagian besar dari mereka adalah kaum

perempuan . Fakta ini menunjukkan bahwa di dusun Ketapang Orong kaum laki-laki

jauh mendapat prioritas dalam hal pendidikan dibandingkan perempuan. Pada sisi

lain tergambar juga betapa rendahnya perhatian para orang tua terhadap masalah-

masalah pendidikan putra-putri mereka.

Mata pencaharian sebagian besar penduduk di dusun ini adalah sebagai petani

dimana ada 56 orang adalah petani yang memiliki lahan sendiri, 21 orang petani

penggarap, 53 orang buruh tani, 15 orang peternak, 50 orang pengrajin, 19 orang

pedagang dan 10 orang tukang dengan rata-rata pendapatan per hari berkisar antara

Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,-.

Kondisi masyarakat yang demikian terbelakang diperparah lagi dengan tidak

adanya sumber air bersih. Masyarakat kebanyakan menggantungkan kebutuhan akan

air untuk kebutuhan MCK (Mandi Cuci Kakus) mereka dari 3 (tiga) kali yang

melintasi dusun ini, didusun ini hanya ada 11 buah WC atau jamban pribadi. Karena

dusun Ketapang Orong ini berada pada daerah dataran tinggi maka masyarakat

mendapat kesulitan untuk membangun sumur galian untuk mendapatkan air bersih.

Dusun ini hanya memiliki 3 (tiga) buah sumur galian. Pada beberapa waktu yang

lalu masyarakat dusun memiliki pipa air yang dialirkan dari sumber 3 (tiga) mata air

yang berada di dalam hutan ditempat yang lebih tinggi namun karena musim hujan

yang datang beberapa bulan terakhir membuat beberapa pipa yang dibangun

masyarakat menjadi tersumbat dan ada beberapa saluran pipa yang putus.

Masyarakat di dusun Ketapang Orong masih terpola pada nilai-nilai

patrilineal (patriakhat) yang kental dimana laki-laki lebih memainkan peran dalam

hubungan antara keluarga dengan kelembagaan masyarakat yang ada ini

menyebabkan rendahnya peran perempuan dalam hal keterlibatan mereka pada

organisasi masyarakat yang ada. Perempuan lebih banyak terlibat dalam urusan

domestik rumah tangga dan hanya keluar sesekali waktu pada kegiatan posyandu.

Didusun ini hampir tidak ditemukan adanya kelompok-kelompok atau organisasi

Page 9: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

5

perempan walaupun hanya untuk sekedar arisan. Hal yang sangat memperihatinkan

di dusun ini adalah masih tingginya angka perceraian dan angka perkawinan pada

usia muda. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap rendahnya perhatian para orang

tua terhadap anak-anak mereka.

Dari beberapa sisi keterbelakangan di atas, ada beberapa catatan yang

menggembirakan khususnya pada tatanan nilai sosial, ekonomi dan budaya yang

masih kuat di pertahankan oleh masyarakat di dusun. Hal ini dapat dikatakan

sebagai kearifan-kearifan lokal, diantaranya ngadas, besiru, banjar dan nyakapang.

Ngadas adalah sebuah sistem bagi hasil yang khususnya ditujukan pada usaha-usaha

peternakan. Sistem bagi hasil dialamatkan kepada sang pemilik dan individu yang

menawarkan diri untuk memelihara ternak seperti sapi dan kambing.

Besiru adalah suatu bentuk kerjasama yang memiliki lingkup yang lebih luas

yaitu suatu upaya saling bantu antara satu individu dengan individu lainnya dengan

menggunakan patokan waktu sebagai standar pembayaran atas bantuan tenaga yang

sebelumnya diberikan oleh individu lainnya. Begae/bederep adalah suatu bentuk

pengupahan atas suatu jasa atau tenaga yang diberikan oleh individu dengan

memberikan sejumlah tertentu dari hasil panen yang telah dilakukan misalnya untuk

panen kelapa para pemanjat kelapa mendapat porsi tertentu dari jumlah hasil kelapa

panjatan yang mereka lakukan. Banjar adalah bentuk kekerabatan yang masih kuat

di dusun ini khususnya pada saat masyarakat mengadakan acara-acara tertentu atau

menghadapi kematian, perkawinan, dan acara-acara keagamaan lainnya. Nyakapang

adalah bentuk kerjasama antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap lahan

dengan kontribusi masing-masing dan adanya kesepakatan dimuka yang dibuat untuk

sistem bagi hasil atas suatu usaha pengolahan lahan untuk jangka waktu tertentu.

Semua bentuk kearifan-kearifan lokal tidak selalu dilihat dari segi ekonomi

walaupun sesungguhnya kental sebagai usaha ekonomi, tetapi lebih kental sebagai

kegiatan usaha yang disemangati kekeluargaan. Pada kenyataannya ternyata sistem

ini sangat kuat dalam membangun kekerabatan dan keakraban antara satu individu

dengan individu yang lain. Pada sisi sosial budaya masyarakat di dusun ini memiliki

khasanah cerita-cerita dan lagu-lagu rakyat yang sering di dendangkan manakala

menemani anak-anak mereka tidur. Ini adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara

turun temurun dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Potensi alam yang ada di desa adalah lahan yang diperuntukan untuk pekarangan

seluas 166,180 ha, perkebunan 13,00 ha, persawahan seluas 82,06 ha, ladang atau

tegalan seluas 8,00 ha, hutan seluas 18,00 ha dan lahan untuk keperluan yang lain-

lainnya seluas 11,95 ha.

Page 10: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

6

Program Pemberdayaan Perempuan Tani

Program pemberdayaan perempuan tani melalui penguataan jaringan

pembelajaran di Desa Gegerung dan Batu Kumbung telah dirintis KSU Annisa sejak

tahun 1999. Saat itu yang menjadi sasaran program adalah 30 orang di dusun

Ketapang Orong Desa Gegerung dan 20 orang di dusun Pekarangan dan Sesaot Desa

Batu Kumbung. Sebagai program rintisan pihak KSU meemukan sejumlah kendala,

diantaranya pengkondisian warga belajar, masyarakat/keluarga dari warga belajar,

tokoh-tokoh masyarakat, penyiapan motivator/fasilitator dan kader.

Kriteria penempatan program perempuan tani di dua desa tersebut didasarkan

atas beberapa pertimbangan, antara lain : (1) tingkat buta hurufnya tinggi, (2) tingkat

pendapatannya rendah, (3) belum ada aliran listrik, (4) relatif terbelakang kehidupan

sosial budayanya dan (5) tersedia sumber daya alam yang dapat dikembangkan bagi

kegiatan usaha ekonomi produktif.

Proses partisipatif telah dilakukan KSU Annisa dalam kaitan menganalisis

situasi dan kebutuhan belajar. Aspek-aspek kebutuhan belajar yang teridentifikasi

antara lain yang berkenaan dengan: (1) baca tulis dan hitung, (2) pendidikan agama,

(3) gender, (4) kesehatan, (5) lingkungan, (6) keterampilan produktif , dan (7) kehidupan

keluarga.

Materi pembelajaran yang dibelajarkan bagi warga belajar di dusun

Pekarangan dan Sesaot (Montong Tangar Batu Kumbung) antara lain yang

berkenaan pendidikan agama misalnya rukun Islam, cara bersuci, nama-nama 25

nabi, syarat syah puasa, hadas besar dan kecil serta salawat Nabi. Yang berkenaan

dengan gender antara lain kekerasan terhadap perempuan, hak anak terhadap orang

tua, kewajiban orangtua terhadap anak dan tugas suami-istri. Yang berkenaan dengan

calistung antara lain membaca koran, membaca buku cerita, cara membuat surat, cara

mengirim surat, menghitung dagangan, perkalian, ekonomi rumah tangga,

menghitung rugi laba, membuat buku kas, nama-nama bulan Masehi, hari besar

nasional dan cara menggunakan telepon. Yang berkenaan dengan bidang kesehatan

misalnya tentang kebersihan pribadi, kesehatan keluarga dan lingkungan, berobat ke

Puskesmas dan Rumah Sakit. Sedangkan keterampilan ekonomi produktif yang

diajarkan misalnya membuat roti kukus, membuat naga sari pepaya, cake singkong,

kacang telur dan membuat telur asin.

Pada dusun Ketapang Orong desa Gegerung, materi yang dibelajarkan pada

bidang agama misalnya doa bangun dan akan tidur, doa keluar masuk wc, cara

berwudhu/ praktek, rukun Islam, syarat syah sembahyang dan shalawat nabi. Materi

tentang gender misalnya tentang kekerasan terhadap istri dan kewajiban orangtua

terhadap anak. Keterampilan produktif yang dibelajarkan misalnya cara menanam

seledri, praktek membuat kripik talas, membuat dodol nangka, membuat telur asin

Page 11: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

7

dan membuat putu ayu. Pengetahuan umum yang dibelajarnya misalnya hari besar

nasional dan nama-nama bulan. Calistung yang dibelajarkan misalnya cara membuat

cara membuat dan mengirim surat, membaca buku cerita, latihan membaca resep

dokter, membaca koran, mengisi buku kas, menghitung belanja dan pendapatan,

ekonomi rumah tangga (penghasilan dan pengeluaran), menghitung hutang,

menghitung rugi laba. Bidang kesehatan yang dibelajarkan misalnya praktek meramu

obat tradisional, berobat ke Puskesmas dan rumah sakit, merawat kehamilan,

kebersihan pribadi/sehari-hari dan kebersihan lingkungan.

Secara umum penyelenggaraan program dilakukan dengan tiga tahapan,

yaitu: (1) tahap pertama disebut dengan tahap penumbuhan berlangsung antara 6

bulan s.d 1 tahun akan tetapi tergantung pada tingkat kemampuan dasar membaca,

menulis, berhitung, bahasa Indonesia dan perkembangan tingkat pengetahuan

lainnya; (2) tahap pengembangan 6-1 tahun dan (3) tahap pemandirian (penyapihan),

tahapan ini untuk mempersiapkan warga belajar menuju kemandirian baik dari sisi

membaca, menulis, berhitung, pengetahuan bahasa Indonesia dan perkembangan

tingkat kesadaran kesehatan peserta dan kewirausahaan.

Proses penyelenggaraan program dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut: (1) need assesment yaitu menggali kebutuhan belajar masyarakat, potensi

pembelajaran yang ada (Calon Kader, tempat-tempat belajar, dll) need assesment ini

dilakukan secara partisipatif oleh motivator KSU ANNISA bersama-sama

masyarakat calon kelompok sasaran; (2) analisis kebutuhan; (3) penyiapan program

pembelajaran; (4) pelatihan bagi para Kader selama satu minggu; (5) pelaksanaan

program materi belajar dikelompokan terdiri dari kelompok materi keaksaraan

(baca, tulis, hitung dan bahasa Indonesia), upaya peningkatan ekonomi dan praktek

keterampilan, kesehatan (kesehatan diri, keluarga dan lingkungan), gender; agama

(6) pemantauan dilakukan oleh motivator (KSU ANNISA) kepada Kader dan warga

belajar pemantauan yang dilakukan oleh motivator KSU Annisa frekwensinya

ditentukan oleh tahapan pembelajaran dengan kata lain setiap tahapan (penumbuhan,

pengembangan dan penyapihan) frekwensinya tidak sama tetapi pemantauan

minimal dilakukan satu bulan sekali, (7) tugas motivator (KSU ANNISA) dalam

penyelenggaraan program adalah pengkoordinasian kader, menjadi fasilitator dalam

pelatihan bagi kader, melakukan need assesment, analisis kebutuhan, penyiapan

program dan bahan belajar, pelaksanaan program, pemantauan, evaluasi dan

pelaporan; (8) tugas kader: mengajar, penyiapan bahan mengajar (membuat

inventaris materi), pembinaan terhadap warga belajar, menyusun laporan bulanan

baik yang terkait dengan pembelajaran maupun keuangan dilakukan setiap satu bulan

sekali, dalam persiapan program terlibat dalam hal; melakukan need assesment,

analisis kebutuhan, penyiapan program dan bahan belajar.

Page 12: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

8

Evaluasi penyelenggaraan program yang dilakukan adalah: (1) proses

evaluasi dilakukan sebulan sekali baik untuk materi membaca, menulis, berhitung;

(2) evaluasi tahunan, setiap kegiatan evaluasi selalu menggunakan instrumen berupa

soal, panduan wawancara dan observasi, hasilnya untuk memilah warga belajar

sehingga pada setiap penyelenggaraan memiliki kelompok warga belajar dengan

tingkatan/ kelas A, B dan C.

Proses Pemeberdayaan Perempuan Tani

Kelembagaan KSU Annisa telah melakukan upaya-upaya yang strategis

dalam melakukan program perempuan tani. Tidak hanya karena mengemban visi dan

misi bagi peningkatan keberdayaan perempuan tani, melainkan juga kebutuhan

faktual di lapangan pada dua desa yang dijadikan pilot project .

Pengurus dan tenaga lapangan pada KSU Annisa telah dimobilisasi untuk

melaksanakan program ini. Beberapa kader telah dilahirkan untuk mendukung

operasional program. Bahkan patut dicontoh upaya KSU Annisa untuk membangun

jaringan dan lembaga donor lain selain UNESCO untuk keberhasilan program Multi-

channel Learning. Lembaga tersebut misalnya UNICEF, LIPI, Diknas dan Puskat.

Tidak dapat disangkal bahwa dengan jumlah sasaran program yang tadinya

terbatas (10 orang) perkelompok, setelah masyarakat melihat langsung manfaat

mengikuti kegiatan pembelajaran di kelompok, jumlah warga belajar terus

bertambah. Dipihak lain kondisi ini merupakan parameter keberhasilan program,

tetapi justru pihak KSU Annisa dan fasilitator/motivator menjadi agak kewalahan

dalam memberikan pelayanan pembelajaran. Pelayanan pembelajaran menjadi lebih

kearah kuantifikasi, jumlah peserta yang makin besar, sementara warga belajar yang

lama menjadi agak jenuh belajar. Karena orientasi belajarnya lebih menekankan pada

keaksaraan sedangkan pada upaya peningkatan keterampilan usaha maupun

peningkatan pendapatan menjadi kurang dikembangkan.

KSU Annisa telah berupaya memberikan wawasan gender, kehidupan

ekonomi, khsusnya melalui wadah koperasi, kesehatan, pendidikan dan kehidupan

rumah tangga. Hal ini menjadi catatan positif dari kegiatan pemberdayaan

perempuan tani. Penyadaran gender yang dilakukan kepada perempuan tani sebagi

warga belajar antara lain berkenaan dengan akses dalam berorganisasi,

keterlibatannya dalam kegiatan sosial, mendapatkan informasi, melakukan

komunikasi dan lain-lain. Kasus kawin cerai relatif masih sangat tinggi khususnya di

dusun Kerapang Orong sebagai akibat dari budaya patriarkhi dan penafsiran agama

yang keliru, khususnya pada bagian yang membenarkan laki-laki untuk boleh

mempunyai istri lebih dari satu. Disamping itu tingkat pendidikan perempuan relatif

lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Page 13: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

9

Tingkat pendapatan masyarakat yang tergolong sangat rendah dengan rata-

rata pendapatan perkapita Rp. 3.000,- s.d. Rp. 5.000,- membuat kehidupan warga

berada dalam ketidakberdayaan. Terbatasnya akses kepemilikan lahan baik lahan

ladang maupun sawah dan terbatasnya sarana prasarana ekonomi serta kondisi

topografi daerah yang berbulit-bukit khususnya di dusun Ketapang Orong tidak

menguntungkan bagi tanaman semusim seperti padi dan palawija sehingga

masyarakat hanya bergantung pada tanaman menahun yang berakibat pada

terbatasnya penghasilan masyarakat untuk jangka waktu yang panjang.

Masalah yang berkenaan dengan bidang kesehatan antara lain masih

tingginya angka penderita penyakit menular seperti muntaber dan penyakit kulit.

Sarana dan prasarana kesehatan yang terbatas, seperti kurangnya sarana MCK

(Mandi Cuci Kakus), tidak adanya petugas kesehatan atau dukun terlatih. Masalah

lainya adalah Masyarakat masih mempercayai mitos tentang tehnik pengobatan dan

penyembuhan penyakit yang dipraktekan para dukun serta keterampilan dalam hal

perawatan kehamilan dan pemeliharaan bayi bagi masyarakat desa masih sangat

kurang.

Perhatian para orang tua terhadap pendidikan putra-putri relatif kurang.

Sebagian besar masyarakat terutama kaum perempuan hanya tamat SD, tidak tamat

SD dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali. Dipihak lain masih

kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di kedua desa tersebut. Selain itu sarana

prasarana pendidikan informal seperti tempat mengaji, mushola atau langgar juga

masih terbatas.

Rata-rata masyarakat baik laki-laki maupun perempuan mempunyai

keterampilan yang masih sangat rendah khususnya keterampilan yang dibutuhkan

untuk mengolah sumber daya alam yang ada. Di pihak lain tidak tersedianya wadah

dan tempat belajar yang memungkinkan bagi terasahnya keterampilan

masyarakat.Juga didukung oleh kemampuan tulis baca masyarakat yang masih

terbatas.

Walaupun program pemberdayaan perempuan tani ini sudah dilaksanakan

masih dijumpai usia perkawinan dibawah usia 18 tahun. Perangkat desa dan unsur

yang terlibat dalam proses perkawinan juga belum menjalankan peraturan dan tata

cara perkawinan secara optimal. Tingginya angka perceraian khususnya di Dusun

Ketapang orong antara lain disebabkan oleh system sosial yang tidak memberikan

sanksi khusus bagi mereka yang melakukan perceraian. Bagi para istri yang di

ceraikan kurang mendapatkan pembagaian harta gonogeni. Para suami yang

melakukan perceraian tidak di kenakan sangsi untuk membayar mut‟ah bagi

pelaksanaan perceraian.

Page 14: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

10

Dampak Program

Dampak program pemberdayaan perempuan tani jika dilihat dari peningkatan

kecakapan keaksaraan terdapat perkembangan secara signifikan, baik dilihat dari

kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap warga belajar sehigga secara

keseluruhan warga belajar yang tadinya berada pada kelas C (kategori warga belajar

yang tidak bisa baca, tulis dan hitung) meningkat menjadi kelas B (kategori warga

belajar yang sudah mulai bisa baca, tulis dan hitung) dan A (kategori warga belajar

yang sudah cakap baca, tulis dan hitung). Pada saat dilakukan survey masih

ditemukan warga belajar yang baru bergabung kurang dari 6 bulan sehingga masih

berada pada kelas C.

Kecakapan warga belajar terhadap akses pelayanan kesehatan, mereka pada

umumnya sudah berani meminta pelayanan yang memadai dari puskesmas,

posyandu, ada penataan kesehatan lingkungan keluarga dan perawatan kebersihan

diri dan anggota keluarga. Kesadaran agama nampak meningkat dengan indikator

mulai menjalankan perintah agama. Demikian pula kesadaran tentang kesetaraan

gender dan keterlibatannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan nampak

dirasakan oleh warga desa.

Pada kegiatan produksi, warga belajar telah memiliki sejumlah keterampilan

pembuatan makanan jajanan, berkebun, berdagang dan kerajinan. Demikian pula

kesadaran gotong royong meningkat.

Simpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil survey antara lain adalah

keberdayaan perempuan tani yang menjadi subyek pemberdayaan pada umumnya

merasakan manfaatnya mengikuti kegiatan belajar, mulai berani mengunjungi sarana

kesahatan, seperti Posyandu, Polindes dan Puskesmas, dapat memahami pentingnya

menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan anggota keluarga serta lingkungan

sekitarnya, telah memiliki keterampilan dalam membuat beberapa obat-obatan

tradisional, mengenal makanan yang memiliki kandungan gizi yang diperlukan bagi

tubuh, suami perempuan tani sudah mulai membantu kegiatan rumah tangga, seperti

mengambil air untuk keperluan masak dan minum serta merawat anak, sebagian dari

warga belajar telah mulai memanfaatkan bantuan pinjaman modal dari KSU Annisa

untuk belajar bisnis kecil-kecilan, misalnya membuka warung dan membuat

kue/jajanan, dalam melakukan keiatan usaha, walaupun demikian perempuan tani

masih merasakan kesulitan dalam memasarkan produk yang dihasilkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Arif., S. (1998). Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan. Jakarta : CIDES.

Borg, W.R. and Gall,M.D.(1983). Educational Research : An Introduction. New

York : Longman.

Page 15: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

11

Chamber, R.(1987). Pembangunan Desa : Mulai dari Belakang. Terjemahan Pepep

Sudrajat . Jakarta : LP3ES.

Cross,K.P.(1984). Adult As Learner. San Francisco : Jossey-Bass Publishers.

Davies , I.K. (1986). Pengelolaan Belajar (terjemahan). Jakarta : CV.Rajawali.

Havelock,G.R.(1975). The Change Agent’s Guide to Innovation in Education.

New Jersey : Educational Technology Publications.

Juliantara,D.ed. (2000). Menggeser Pembangunan, Memperkuat Rakyat. Yogyakarta

Manuwoto,S. (1996). Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan : Kasus Profil

Propinsi Riau.Jakarta : PT. Grasindo

eville, B. et al. (1994). Qualitative Research in Adult Education. Underdale SA :

University of South Australia.

Porter, D.B.and Hernacki.M. (1999). Quantum Learning. Bandung : Kaifa.

Russell,B.(1993). Pendidikan dan Tatanan Sosial (terjemahan) . Jakarta : Yayasan

Obor Indonesia.

Sarman,M.dan Sajogyo. (2000). Masalah Penanggulangan Kemiskinan : Refleksi

Dari Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Puspa Swara.

Sumodiningrat,G. (1999). Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta : PT

Gramedia Pustaka Utama.

Suwarsono dan So,A.Y.(1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia.

Jakarta : LP3ES.

Page 16: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

12

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN

IN FORMAL DAN NON FORMAL

Oleh

Anak Agung Ngurah Sumantri

(Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)

Abstraksi : Suatu media yang pernah pada masa lalu dipakai sebagai media

pendidikan tentu bukanlah tabu kalau dimanfaatkan kembali sebagai media belajar

masa kini dengan inovasi dan kreasi disesuaikan dengan kondisi pada masa kini.

Tentunya media ini lebih dapat dikendalikan karena pengendalinya adalah seorang

dalang yang secara fisik langsung berhadapan dengan sasaran didik. Wayang salah

satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak

karya budaya lainnya. Ajaran moral yang terkandung dalam wayang merupakan

kristalisasi sistem budaya yang pernah berlaku dalam perjalanan sejarah kehidupan

masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai moral menurut agama Hindu, Budha, Islam,

dan juga pada peradaban Barat, semuanya diserap, kemudian diolah dan diromabak

oleh para dalang dan diungkapkan berdasarkan kedewasaan jiwanya dengan

menggunakan bahasa sastra yang menjadi kaidah seni pedalangan.

Kata kunci : Media, Wayang, Seni, Moral.

Latar belakang.

Era globalisasi pada masa kini disertai dengan kemajuan teknologi terutama

teknologi informasi (IT) seperti internet sangatlah luar biasa. Setiap orang dengan

mudah memperoleh segala informasi dalam hitungan detik dalam sekali klik pada

suatu tempat dan suatu wujud benda canggih yang bernama komputer. Apapun yang

merupakan keduniawian apalagi buatan manusia termasuk kemajuan teknologi selalu

diiringi dampak positif di satu sisi dan juga dampak negatif disisi lainnya. Ibaratkan

mata uang antara sisi satu dan lainnya tak dapat dipisahkan. Berbagai informasi

tersebut untuk menambah wawasan juga merupakan proses pendidikan baik formal,

informal maupun nonformal. Sayangnya pemanfaat teknologi saat ini terutama IT

sebagai media belajar pengetahuan tidak disertai suatu teknologi apakah itu suatu

bentuk aplikasi yang bersifat memproteksi materi-materi atau sumber belajar yang

bersifat negatif dan mempengaruhi moral para user dalam konteks ini adalah sasaran

didik tentunya.

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan menawarkan suatu alternatif media

pendidikan yang nampaknya sudah ditinggalkan oleh generasi kini sebagai media

pendidikan. Padahal dalam sejarahnya, media ini pernah menjadi sebuah media

pendidikan terutama sebelum dikenalnya pendidikan formal seperti sekarang ini

yakni pada masa Hindu-Budha dan juga masa penyebaran agama Islam terutama di

Pulau Jawa oleh para Walisongo.

Page 17: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

13

Suatu media yang pernah pada masa lalu dipakai sebagai media pendidikan

tentu bukanlah tabu kalau dimanfaatkan kembali sebagai media belajar masa kini

dengan inovasi dan kreasi disesuaikan dengan kondisi pada masa kini. Tentunya

media ini lebih dapat dikendalikan karena pengendalinya adalah seorang dalang yang

secara fisik langsung berhadapan dengan sasaran didik. Sehingga ada timbal balik

saling mengawasi dan mengingantkan agar tidak keluar dari rel materi yang sarat

dengan pesan moral dan sopan santun tata krama. Beda halnya jika media informasi

elektronik-digital yang online dimana si penyumbang materi dari identitas ada yang

misterius bahkan sebagian besar tidak dikenal karena nickname sehingga mereka

dapat sesuka hatinya menyebarkan informasi yang secara moral tidak

bertanggungjawab.

Tulisan ini hanyalah sumbangan pemikiran dan ide dari penulis sebagai peneliti

yang berharap banyak dapat menggugah para pendidik, institusi pendidik, serta

mereka yang perduli dengan dunia pendidikan terutama tentunya produk pendidikan

yang berkualitas dan yang lebih penting pendidikan moral yang akhir-akhir ini kian

memprihatinkan.

Media Belajar dalam Pendidikan Informal dan Nonformal

Kata media berasal dari bahasa latin yaitu jamak dari kata medium yang

secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau

pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, 2002: 6) .

Secara umum media pembelajaran dalam pendidikan disebut media, yaitu berbagai

jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk berpikir,

menurut Gagne (dalam Sadiman, 2002: 6). Sedangkan menurut Brigs (dalam

Sadiman, 2002: 6) media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta

merangsang siswa untuk belajar. Jadi, media merupakan segala sesuatu yang dapat

digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim dan penerima sehingga dapat

merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian sedemikian rupa sehingga proses

belajar terjadi (Sadiman, 2002: 6).

Menurut Latuheru (dalam Hamdani, 2005: menyatakan bahwa media

pembelajaran adalah bahan, alat atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar

mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan

siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna.

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diberikan, maka media pembelajaran

merupakan segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat

merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian siswa sehingga proses interaksi

komunikasi edukasi antara guru (atau pembuat media) dan siswa dapat berlangsung

secara tepat guna dan berdayaguna.

Wayang Kulit dan Asal Usulnya

Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling

menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni

Page 18: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

14

peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga

seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman,

juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman

filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan

budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-

abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang

populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu

Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak

mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah

asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis

masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa

dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan

seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi

khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para

budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat

bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar

jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche

Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan

keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang

dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat

bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah

Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama,

pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di

Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-

ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di

antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes,

Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat

kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya

orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng,

Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain.

Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa

(Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang

berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka

antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian

besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah

India.

Page 19: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

15

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat

bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari

negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada

zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika

kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi

bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X.

Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis

pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan

dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana

dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan

kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu

Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab

Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India,

adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini

dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak

zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu

antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang

maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir.

Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979),

memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500

tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-

Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof.

K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya

bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang

menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan

wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-

gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran

wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron,

todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa

itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan

Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab

Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang

leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang

yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan

Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa

ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah

para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Page 20: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

16

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi

pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah

wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan

lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang

Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada

Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat

penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang

berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di

Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang

sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu

masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari

cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa

Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda,

dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana

benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan

benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh

semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan

anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga

biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di

wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

Wayang Sebagai Warisan Budaya

Apabila wayang akan difungsikan sebagai sarana pendidikan, baik informal

maupun nonformal, kita perlu memahami dan menyadari benar bahwa wayang

memang memiliki keunggulan tertentu. Wayang sarat dengan nilai-nilai moral yang

dapat dijadikan acuan sikap dan perilaku serta sebagai tuntunan hidup dunia akhirat.

Wayang adalah karya seni yang diciptakan oleh para empu dengan landasan

pengabdian jiwa secara total. Wayang mengandung berbagai cabang seni yang

terpadu dalam bentuk seni pertunjukan, meliputi seni drama, seni sastra, seni

gerak/tari, seni karawitan, seni kriya dll. Bagi para empu karya seni secara lahiriah

merupakan tujuan berkarya, sedangkan secara rohaniah berkarya merupakan wahana

untuk mendekatkan jiwanya dengan Sang Maha Pencipta, karena keindahan yang

sempurna hanya ada pada-Nya. Dengan sikap demikian itulah dimungkinkan

terciptanya berbagai bentuk karya seni yang adiluhung dan dikenal sebagai seni

klasik.

Betapapun dewasa ini telah berkembang kreativitas di bidang seni pedalangan

dikalangan para seniman muda, namun masih banyak unsur karya seni klasik yang

tetap bertahan. Antara lain perangkat wayang kulitnya, tata panggungnya, gending-

gending karawitan sulukan. Antara lain perangkat wayang kulitnya, tata

Page 21: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

17

panggungnya, gending-gending karawitan sulukan, dodogan dan keprakan, janturan,

bahasa pedalangannya dll. Tetap dilestarikan dengan mengalami penggarapan baru

menurut citarasa seniman yang mengolahnya. Sejauh para seniman generasi muda

masih bersikap menghargai seni pedalangan klasik wayang akan tetap dapat

mengemban fungsinya sebagai tontonan dan tuntunan. Sebaliknya kalau dalam

pengembangan kreativitasnya semata-mata hanya bertujuan komersial untuk

memenuhi selera penonton yang kurang apresiatif terhadap karya seni adiluhung

maka fungsi utama wayang sebagai sarana penserahan jiwa akan terkikis. Dan

pergelaran wayangpun lalu menjadi sarana hiburan murahan sebagai pelengkap acara

hura-hura semata-mata.

Dewasa ini meskipun wayang sudah banyak mengalami perombakan yang

justru mendatangkan mutu seninya, namun masih belum terlambat untuk dijadikan

sarana pendidikan, dengan mengutamakan kandungan nilai-nilai moral dalam bentuk

sanggit garapan yang bisa mempesona dan menyentuh rasa para penontonnya. Pada

hakekatnya nilai moral itu bersifat universal dan abadi, hanya cara pengungkapannya

dapat beranekaragam.

Wayang Sebagai Ajaran Moral

Ajaran moral yang terkandung dalam wayang merupakan kristalisasi sistem

budaya yang pernah berlaku dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat

pendukungnya. Nilai-nilai moral menurut agama Hindu, Budha, Islam, dan juga pada

peradaban Barat, semuanya diserap, kemudian diolah dan diromabak oleh para

dalang dan diungkapkan berdasarkan kedewasaan jiwanya dengan menggunakan

bahasa sastra yang menjadi kaidah seni pedalangan. Sedemikian seksama dan

indahnya pengungkapan gubahan itu sampai tidak dapat dikenali lagi darimana

sumbernya. Apabila pengungkapan ajaran moral dalam pergelaran wayang itu

menggunakan bahasa Bali misalnya, maka bagi penonton masyarakat Bali tidak lagi

jelas sumbernya, apakah dari ajaran Hindu, Budha, Islam atau dari sumber peradaban

Barat karena semuanya sudah luluh menjadi satu sistem nilai budaya. Nilai-nilai

kebenaran, keadilan, kejujuran, kesetiakawanan, kesucian, keikhlasan berkorban,

kepahlawanan dll, dalam pergelaran wayang diungkapkan sebagai nilai universal.

Itulah sebabnya pergelaran wayang purwa yang paling populer di kalangan

masyarakat Bali dapat dinikmati oleh semua golongan dan lapisan masyarakat tanpa

membedakan agama, suku, kedudukan sosial dll.

Dalam pergelaran wayang banyak ajaran moral yang diungkapkan oleh para

dalang yang bersumber dari karya sastra yang pada hakikatnya pada masa silam

adalah implementasi dari ajaran Agama Hindu. Memang sejak jaman dahulu antara

para dalang dengan para sastrawan atau pujangga telah terjalin pengaruh secara

timbal balik. Banyak sastrawan yang mengembangkan karya sastranya dari sumber

cerita wayang atau lakon yang dipergelarkan oleh dalang. Sebaliknya dalang juga

banyak yang menyanggit cerita atau lakon yang dipergelarkan dengan memanfaatkan

sumber dari karya para sastrawan atau pujangga.

Page 22: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

18

Baik dalang maupun sastrawan tentu mendambakan agar karyanya dapat

dinikmati oleh khalayak penonton atau pembacanya. Selain kedua karya seni itu

dapat memberikan rasa kepuasan dalam menikmati keindahannya, juga dapat

menjadi sarana pencerahan jiwa. Dalam kitab kakawin Arjunawiwaha karya Mpu

Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga abad ke-11 sang pujangga pada

bagian akhir gubahannya mengungkapkan harapannya agar setelah selesai membaca

karyanya, si pembaca diharapkan menjadi jernih hatinya, bagaikan kesucian hati

seorang pendeta. Demikian pula sehabis menonton pergelaran wayang semalam

suntuk, si penonton diharapkan mengalami pencerahan jiwa bagi pengembangan

kepribadiannya berkat ajaran moral yang dijalin rapi dan lembut dalam garapan

sanggit sang dalang, sehingga penonton tidak merasa digurui sama sekali. Nilai

moral yang terjalin dalam sanggit cerita, sehingga penonton tidak merasa digurui

sama sekali. Nilai moral yang terjalin dalam sanggit cerita ki dalang akan menjadi

bahan renungan bagi para penonton dan merupakan kenikmatan tersendiri.

Dengan demikian pergelaran wayang benar-benar bisa menjadi tuntunan

hidup. Disinilah letaknya fungsi wayang sebagai sarana pendidikan moral yang

universal sifatnya. Semakin teballah keyakinan kita bahwa wayang sebagai warisan

budaya leluhur memang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai karya seni

adiluhung.

Peran Wayang Sebagai Media Pendidikan Informal dan Nonformal

Wayang telah tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat kita

selama berabad-abad. Tradisi wayang diwariskan dari generasi kepada generasi

penerusnya secara lisan, dalam format pendidikan informal dan nonformal.

Lembaga pendidikan yang bersifat formal dalam bentuk pengajaran di sekolah

dengan kurikulum dan sistem pengukuran kecakapan, baru ada pada jaman

pemerintah kolonial Belanda yaitu dengan sekolah-sekolah mulai dari sekolah

rakyat sampai pada lembaga perguruan tinggi, dan selanjutnya setelah kita merdeka

pendidikan formal tetap dilestarikan dan dikembangkan sampai sekarang. Seni

pedalanganpun juga diajarkan di lembaga pendidikan seni.

Di jaman kebudayaan etnis Bali masih homogen dan masyarakat. Tiap

keluarga Bali hampir dapat dikatakan semua menjadi pendukung budaya wayang.

Anak-anak sejak kecil gemar melihat pergelaran wayang, dan biasanya memilih

duduk di samping kotak di sisi dalang sampai tidur-tidur. Dan sekali-sekali

terbangun jika adegan yang ditampilkan merupakan tontonan yang menarik

minatnya. Anak-anak, terutama yang laki-laki ada yang punya koleksi wayang

mainan, terbuat dari kertas karton. Sesekali dia mencoba mendalang dengan wayang

mainannya itu, menirukan dalang yang sering disaksikan pada pergelaran wayang

sebenarnya. Begitulah anak-anak belajar mendalang dengan caranya sendiri sebagai

bentuk pengajaran yang sifatnya informal.

Page 23: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

19

Di dalam rumah sering dijumpai gambar tokoh-tokoh wayang tertentu yang

menjadi favoritnya sebagai hiasan dinding. Bagi anak-anak situasi rumah yang

terhias dengan tokoh-tokoh wayang itu lalu menjadikan mereka akrab dengan

wayang. Mereka juga bisa memahami cerita dalang dalam bahasa Bali meskipun

gaya bahasanya termasuk gaya klasik yang khusus untuk pergelaran wayang. Dalam

hal tatakrama di lingkungan keluarga juga terpelihara dengan baik sehingga anak-

anak dengan sendirinya mudah menentukan sikap, perilaku dan tutur bahasanya

sebagai kaidah-kaidah yang berlaku dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.

Lingkungan keluarga sebagai lembaga sosiaslisasi pendidikan moral secara

nonformal bagi anak-anak di masa lampau cukup kuat dan efektif.

Di lingkungan sekolah ada guru yang memanfaatkan cerita wayang sebagai

pendidikan budi pekerti dengan pengantar bahasa daerah. Di lingkungan

keluargapun orang tua yang menggemari wayang sering menuturkan cerita wayang

kepada anak-anaknya dalam rangka pembentukan watak dengan contoh teladan

yang baik-baik dari dunia pewayangan. Kesamaan pola pendidikan di sekolah dan di

rumah itu memudahkan anak didik untuk mengikuti kaidah sosial dan nilai-nilai

kehidupan yang berlaku di masyarakat yang menjadi lingkungannya. Bahkan

dimanapun warga masyarakat itu berada, sejauh masih di lingkungan budaya etnis,

akan dijumpai pola perilaku dan adat sopan santun yang homogen. Wayang sebagai

sarana pendidikan nonformal sering tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan

masyarakat sendiri. Dalang disuatu daerah yang tergolong laris biasanya memiliki

perangkat wayang dan gamelan. Para tetangga yang menaruh minat untuk belajar

mendalang atau menabuh gamelan datang ke rumahnya pada waktu senggang di

malam hari sebagai selingan setelah bekarja berat pada siang harinya. Bagi anak-

anak biasanya hari latihan ditetapkan pada hari minggu atau hari libur, agar tidak

terganggu pejalarannya. Bila sang dalang mempunyai anak laki-laki seorang atau

lebih, biasanya sejak kecil sudah tertanam bakatnya untuk mengikuti jejak ayahnya

menjadi dalang. Kesempatan belajar mendalang bagi para anak dalang cukup

longgar dengan bantuan dan bimbingan para nayaga kelompok ayahnya yang

memiliki pengetahuan mendalang yang cukup memadai. Proses belajar mendalang

bagi nak-anak dalang biasanya berlangsung dengan lancar, karena didukung oleh

sarana dan kondisi lingkungannya.

Wayang Sebagai Sarana Pendidikan Yang Efektif

Kita menyadari benar betapa berat tugas para dalang dewasa ini sebagai tokoh

pendidik masyarakat (masayarakat Informal dan NonFormal). Banyak kendala yang

dialami ketika mempergelarkan wayang. Berbagai reaksi yang bernada

mencemoohkan dari penonton sering dirasakan mengganggu konsentrasi

pergelarannya. Sewaktu mendalang dengan gaya klasik untuk menampilkan seni

adiluhung sering dianggap oleh kalangan generasi muda kurang dinamis, kuno, dan

kurang mengikuti perkembangan modern serta selera penonton remaja sebagai

tuntunan jaman. Penonton wayang telah dimanjakan oleh kesenian pop dan hiburan

Page 24: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

20

murahan, yang hanya mengutamakan kegembiraan sesaat dan kepuasan lahiriah,

tanpa ada kedalaman nilai-nilai yang sebenarnya dapat meningkatkan kedewasaan

kepribadiannya.

Pergelaran wayangpun lalu dijadikan ajang penampilan hiburan nyanyi dan

lawak, bahkan tidak jarang dengan menampilkan penari yang bergoyang pinggul

untuk merangsang birahi penonton. Sangat sulit bagi dalang untuk mempertahankan

keadiluhungan seni pedalangan, bahkan sebaliknya banyak yang terpaksa

“memenuhi pesan sponsor” dengan melayani selera yang menaggap dan masyarakat

penonton setempat dan pergelaran wayang menjadi arena pesta hura-hura tanpa ada

bobot seni dan ungkapan nilai-nilai luhur. Jika tidak dapat memenuhi selera yang

menanggap maka akan tersumbat atau terkurangilah pendapatan atau

matapencariannya yang pokok sebagai seorang dalang.

Untunglah bahwa pada dewasa ini masih ada sejumlah dalang yang

berpendirian kuat untuk tetap memahami kaidah-kaidah seni pedalangan sebagai seni

klasik. Di lain pihak juga banyak kelompok masyarakat yang lama-lama bosan

dengan pergelaran wayang yang hanya merupakan pesta hura-hura tanpa bobot seni

pewayangan. Mereka kembali mendambakan pergelaran klasik dan ingin

mendengarkan ajaran-ajaran yang sarat dengan nilai-nilai moral yang tersanggit

dalam cerita wayang yang dipergelarkan dalang.

Ternyata dambaan para pecinta wayang pada pergelaran klasik dapat terpenuhi

oleh sejumlah dalang yang sependirian dengan para pecinta wayang tadi. Dalang

dapat bersikap tegas untuk mempertahankan keadiluhungan wayang dan mencegah

berbagai unsur negatif yang timbul dari selera murahan sebagian penonton. Kalau

sikap tegas ini dipertahankan terus, masyarakat penontonpun akan terbina kembali

untuk menikmati pergelaran wayang gaya klasik. Pergelaran wayang dapat

memenuhi fungsinya sebagai tontonan dan sekaligus tuntunan hidup yang

bermartabat bagi masyarakat. Selanjutnya wayang tetap diharapkan oleh

penggemarnya sebagai karya seni adiluhung. Akan sangat disayangkan apabila seni

klasik itu sampai rusak oleh unsur-unsur hiburan yang tidak bermutu dan yang

sebenarnya berada di luar seni pedalangan.

Ada lagi jenis pergelaran wayang yang sudah memasyarakat sejak lama dan

masih tetap marak sampai sekarang yaitu yang disebut “pakeliran padat”. Waktu

pergelaran tidak perlu semalam suntuk, cukup membutuhkan waktu sekitar satu atau

dua jam saja. Meskipun singkat waktunya tetapi dapat menampilkan satu lakon utuh

yang menuntut penonton untuk mengikutinya dengan cermat. Terlewat sedikit saja

bagian dari pakeliran padat penonton akan ketinggalan alur ceritanya. Bukan saja

pertunjukan wayangnya yang digarap padat tetapi juga semua garapan yang

mendukungnya, meliputi suluk, janturan, narasi, dialog dan juga gending-gending

karawitan yang mengiringinya. Dengan demikian pakeliran padat tidak mungkin

dipergelarkan tanpa persiapan yang matang dan memerlukan latihan berkali-kali

untuk menjaga kekompakan semua komponen yang tercakup di dalam pakeliran

padat tersebut.

Page 25: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

21

Dengan kepadatan garapan yang dipusatkan pada cerita atau lakon secara

ensensial itu tidak ada lagi waktu untuk diisi dengan materi lain yang berada di luar

konteks pakeliran padat. Jadi benar-benar dituntut bentuk garapan seni yang bermutu

dan muatan pesan yang benar-benar berbobot. Dalam pakeliran padat juga

dimungkinkan garapan baru dengan menggunakan unsur-unsur teknologi modern,

namun tetap perlu dijaga keserasiannya dengan unsur-unsur klasik. Kaidah-kaidah

konvensional pergelaran gaya klasik dalam pakeliran padat dapat digarap agak bebas

namun tidak menyimpang dari tuntutan mutu seni pedalangannya.

Pertunjukkan wayang Ceng Blong adalah salah satu contoh pakeliran padat

yang unsur-unsurnya banyak yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konvensional

wayang klasik, namun ternyata dapat mempesona penonton dari kalangan generasi

muda yang tidak akrab lagi dengan pergelaran wayang. Tatacahaya yang marak dan

bervariasi menggunakan system penatacahaya modern dan serta sound system

berbasis teknologi canggih menghidupkan suasana adegan yang sedang ditampilkan

menjadi daya pesona bagi penonton. Sisipan kumpulan sinden dan tak jaran

berkolaborasi dengan penari serta pelawak yang dijalin sebagai pengisi alur cerita,

berseling dengan adegan wayang kulitnya, merupakan penyegaran baru bagi pentas

wayang. Apalagi dalangnya menyisipkan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa

yang actual sehingga dapat lebih komunikatif dengan penonton generasi muda yang

tidak lagi memahami bahasa sansekerta. Juga bagi penonton yang non-Bali pakeliran

wayang joblar dapat mejembatani minatnya dengan dunia pewayangan.

Ditinjau dari pihak penyelenggaraan pergelaran juga jauh lebih ringan

dibandingkan dengan penyelenggaraan wayang semalam suntuk. Pesan moral yang

disampaikan lebih terpusat dan efektif. Sayangnya gaya pakeliran padat ini masih

sangat jarang dijumpai dalam kegiatan berkesenian di kalangan masyarakat. Selama

ini penonton umum masih lebih senang menyaksikan pergelaran wayang semalam

suntuk dengan selingan hiburan ringan bergaya hura-hura.

Sebenarnya bila dikaji lebih seksama banyak jenis pergelaran wayang klasik,

baik wayang kulit, wayang beber, ataupun wayang orang, yang cukup berpotensi

untuk diaktualisasikan dengan garapan baru yang sesuai dengan masyarakat masa

kini yang sudah tergolong modern. Hanya untuk memperoleh hasil yang memadai

kiranya diperlukan seniman-seniman kreatif yang berpandangan luas dan matang

dalam berolah seni penuh jiwa inovatif. Itu semua sangat dimungkinkan untuk

dilaksanakan. Siapa menduga bahwa gending “Puspawarna” yang klasik Bali dapat

digarap dalam proyek Megalitikum Quantum, bukan saja untuk konsumsi bangsa

sendiri tetapi juga oleh pecinta musik di seluruh dunia, bahkan untuk konsumsi ruang

angkasa luar.

Dalam memenuhi tugas dalang sebagai pendidik masyarakat dalang perlu

memiliki kepekaan terhadap berbagai unsur yang menjadi kendalanya. Di samping

itu dalang juga harus pandai memanfaatkan faktor-faktor yang dapat menunjang

upayanya agar tugas pendidikan moral masyarakat dapat terpenuhi dengan baik.

Page 26: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

22

Tugas yang mulia ini tentunya tidak hanya berlaku bagi dalang wayang kulit

tradisional Bali saja, tetapi juga bagi semua dalang untuk semua jenis pertunjukan

wayang yang ada di Indonesia.

Peran Dalang Sama Seperti Guru

Anak-anak lain yang bukan keluarga dalang ada juga yang berminat menjadi

dalang. Maka yang ditempuh adalah sistem “nyantrik”. Ia tinggal di rumah dalang

yang dipilih sebagai guru pembimbingnya. Ia diperlakukan sebagai anggota keluarga

dan pembantu pekerjaan rumah tangga gurunya. Kemanapaun gurunya pergi bersama

rombongan untuk memenuhi tanggapan, si cantrik selalu ikut dan membantu

mengangkut wayang dan gamelan. Di tempat pergelaran ia juga membantu menata

panggung lengkap dengan gamelannya. Pada setiap kesempatan seperti itu si cantrik

sempat menekuni gaya pedalangan gurunya. Di rumah ia dengan tekun berlatih

sendiri meningkatkan ketrampilan mendalang, dan biasanya dibantu oleh orang

dewasa yang sudah bisa mendalang, sehingga proses pembelajaran mendalang

berlangsung lebih lancar.

Setelah agak mahir biasanya si cantrik diberi kesempatan oleh gurunya untuk

mempergelarkan wayang pada siang hari, atau jika pada waktu malam ketika sedang

ada tanggapan bagi gurunya, ia biasa disuruh tampil di panggung, namun sebatas

pada bagian awal, sampai seberapa jauh kemampuan yang dicapai. Dan bila sang

guru selanjutnya menilai bahwa anak didiknya sudah cukup mahir maka lalu

diijinkan untuk mandiri dan menerima tanggapan serta tampil sebagai dalang

profesional.

Banyak warga masyarakat tergolong kaya dan menjadi penggemar berat pada

seni pedalangan. Untuk menyalurkan kecintaannya pada seni pedalangan lalu

memberi seperangkat wayang dan gamelan. Selanjutnya mendirikan sanggar dengan

peserta didik yang terdiri dari warga lingkungan, pada usia anak-anak dan juga

dewasa. Jika di lingkungannya ada yang ternyata sudah bisa mendalang walaupun

belum mahir benar dilibatkan sebagai pengurus sanggar. Cukup banyak sanggar-

sanggar yang dikelola dengan baik. Terbukti dari banyaknya peserta didik yang

mengikuti latihan mendalang, dan biasanya ada beberapa di antaranya yang memiliki

bakat sehingga proses pembelajarannya juga menjadi lebih cepat.

Ada sanggar yang memberikan kesempatan kepada anggotanya dengan Cuma-

Cuma karena semua keperluan sudah dipenuhi oleh pemilik sanggar. Apabila kalau

anak-anak yang menjadi peserta didik sanggar tidak mampu membayar iuran karena

orang tuanya berpenghasilan rendah. Asalkan para peserta didik mau belajar dengan

tekun dan bergairah untuk nantinya bisa berhasil memiliki ketrampilan mendalang

meskipun tidak sampai menjadi dalang professional.

Bagaimanapun kondisi sanggar dalam hal pembeayaan, asal saja telah

disiapkan perlengkapan latihan berupa wayang dan gamelan, berikut pelatihan

pedalangan dan tenaga karawitan yang biasanya terdiri dari warga kampung di

lingkungan tsb. proses pembelajaran akan bisa berlangsung dengan baik.

Page 27: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

23

Pada umumnya sanggar mengutamakan ketrampilan dan kemahiran

mendalang dengan cara menirukan segala gerak dan yang diucapkan gurunya sebisa-

bisanya. Namun ada pula yang berlatih sendiri dengan menyimak pergelaran wayang

yang sempat disaksikan. Untuk memperlancar proses belajarnya tidak jarang peserta

didik yang menggunakan kaset rekaman pergelaran wayang kulit dari tokoh dalang

kondang. Dengan cara inipun hasilnya cukup lumayan, namun masih harus mendapat

bimbingan langsung dari sang guru, terutama dalam hal sabetan wayang “caking

pakeliran” yang memerlukan contoh dari pelatihannya, kecuali jika ada alat audio

visual berupa video yang sangat membantu melihat ketrampilam. Aspek-aspek lain

seperti filsafat wayang, filsafat seni, bahasan nilai-nilai dan ajaran moral, dll

biasanya, tidak menjadi perhatian sanggar walaupun aneka pengetahuan tsb sangat

menunjang kemahiran seorang calon dalang.

Materi yang diajarkan pada tiap sanggar secara garis besarnya ada

keseragaman, dan biasanya ada buku tuntunan pedalangan tertentu yang dipilih

sebagai patokan pengajaran. Dalam berbagai hal tiap sanggar mempunyai kekhasan

yang tidak dijumpai di sanggar lain. Sampai sekarang memang tiap sanggar bebas

mengatur sistem pengajarannya sendiri.

Pelajaran Mendalang Sebagai Program Ekstrakurikuler

Beberapa sekolah menyelenggarakan pelajaran mendalang sebagai program

ekstrakurikuler dan merupakan pendidikan dalam format informal. Di antara peserta

didik ada yang berhasil mencapai taraf kemahiran tertentu, namun biasanya masih

harus dibantu dengan kegiatan pembelajaran di luar sekolah di bawah bimbingan

pelatihan pedalangan dalam format informal. Dengan kemahiran tertentu itu peserta

didik dalang sudah bisa diberi kesempatan untuk menggelarkan wayang dalam

durasi waktu yang pendek dan materi pergelaran yang dikemas ringkas, disesuaikan

dengan tingkat usianya. Biasanya peserta didik-peserta didik lainnya juga ikut

terpacu untuk lebih giat belajar sampai taraf seperti yang dicapai oleh temannya

yang sudah berhasil tadi.

Kendala yang dialami oleh sanggar-sanggar biasanya masalah kurang

disiplinnya para peserta didik berlatih, dan banyak yang tidak mencapai tahap

kemahiran, lalu meninggalkan sanggar karena tidak memiliki waktu longgar untuk

berlatih, atau mungkin sudah merasa jenuh sebelum mencapai taraf kemahiran

tertentu. Mungkin karena lambannya pelaksanaan latihan, materi yang diajarkan

kurang bervariasi. Atau peserta didiknya terlalu banyak, sehingga untuk

mendapatkan giliran maju di depan kelir terlalu lama menunggu. Dalam hal ini

pengurus sanggar perlu peka terhadap sikap dan perhatian tiap peserta didiknya

sehingga rasa kejenuhan peserta didik dapat teratasi.

Page 28: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

24

Pertunjukan Wayang Sebagai Media Syiar Ajaran Moral dan Budi Pekerti

Salah satu tujuan tulisan ini adalah mengembalikan konsep pertunjukan

wayang sebagai bagian dari seni syiar akan nilai-nilai ajaran budi pekerti yang

merupakan bagian integral dari pelajaran tentang moral, etika dan estetika yang

diharapkan akan menciptakan nuansa pergaulan masyarakat yang lebih baik di

masa-masa mendatang. Mengingat tujuan tersebut dapat dibayangkan betapa

beratnya tugas dan fungsi dalang dewasa ini untuk menunjang pendidikan moral

masyarakat melalui jalur nonformal karena parahnya krisis yang dialami oleh

masyarakat kita sekarang.

Krisis terberat yang melanda kehidupan masyarakat kita dewasa ini adalah

krisis moral. Orang tua banyak yang menyatakan kecemasannya terhadap akhlak

para remaja yang sudah tidak mengindahkan sopan santun pergaulan, kurang

menghargai dan menghormati orang tua. Tatakrama yang berlaku di lingkungan

keluarga di masa lampau sudah terabaikan oleh anak-anak remaja masa kini. Di

kalangan para pelajar sering terjadi tawuran antar sekolah sehingga sangat

mengganggu pelajaran teman-temannya yang tidak ikuta terlibat dalam tawuran itu.

Di luar sekolah sering terjadi kerusuhan yang sangat mengganggu ketenangan

dan ketenteraman hidup masyarakat, bahkan sering terjadi peristiwa yang

membayangkan dan menelan korban jiwa. Perampokan, pembunuhan, penjarahan

dan penodongan di tempat-tempat ramai semuanya menimbulkan dampak negatif

terhadap kehidupan para remaja pada khususnya. Setiap hari kriminalitas

ditayangkan lewat siaran televisi yang menunjukkan secara nyata betapa parahnya

krisis moral yang dialami oleh masyarakat kita dewasa ini.

Semakin terasa beratnya beban para orang tua dan para guru selaku pendidik

lewat jalur informal dan nonformal. Juga para dalang yang mengembangkan tugas

untuk menyebarkan ajaran yang mengandung nilai-nilai moral lewat jalur

nonformal, sungguh bukan pekerjaan yang ringan.

Ada berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya kritis moral.

Masyarakat kita yang semula hidup dalam lingkungan budaya agraris dengan

cepatnya berubah berkembang menuju ke masyarakat yang berpola budaya industri.

Hampir semua lapangan kerja menjadi lahan untuk bekerja secara ekonomis, artinya

tiap kerja menuntut imbalan upah yang sesuai dengan besarnya jasa yang diberikan.

Namun dalam kenyataannya imbalan jasa yang diterima oleh para pekerja itu jauh di

bawah kewajiban, sehingga tidak cukup untuk menjamin kehidupan keluarganya

yang layak. Jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin semakin besar. Hal

ini mengakibatkan meningkatkan kriminalitas yang sangat mengganggu

ketentraman sosial.

Karena setiap pekerjaan dinilai dengan uang maka kegiatan sosial yang

semula didasarkan pada kerukunan warga dengan semangat bergotongroyong

sedikit demi sedikit menjadi terkikis. Sikap dan sifat warga masyarakat lalu menjadi

sangat individualistis. Orang baru mau bekerja bila ada imbalan upah. Akibatnya

Page 29: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

25

makin suburlah sikap materialistis dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan sampai

melanda jaringan kehidupan di lingkungan keluarga.

Masyarakat di masa lampau hubungan kekerabatan masih luas, bahkan

kerabat yang jauhpun masih dirasakan erat kaitannya, dan saling tolong menolong

bila ada anggota keluarga yang memerlukan bantuan. Tetapi sekarang sikap

demikian sangat jarang dijumpai dalam lingkungan keluarga. Dan biasanya yang

disebut keluarga hanyalah terbatas pada keluarga inti saja, yaitu orang tua dengan

anak-anaknya. Di luar itu dianggap tidak menjadi tanggung Balibnya, dan masing-

masing keluarga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga intinya

sendiri. Lebih-lebih dengan sulitnya mencari nafkah pada masa sekarang

menyebabkan hubungan kekeluargaan di luar keluarga inti semakin renggang.

Anjuran para tokoh masyarakat dan tokoh agama setiap berdharma wacana

agar kerukunan keluarga wajib senantiasa dibina kiranya sudah tidak lagi

menyentuh hati untuk melaksanakannya. Juga para dalang yang ikut serta dalam

mengakrabkan hubungan silaturahmi antar anggota kerabat hanya terbatas ketika

ada pergelaran wayang dimana anggota keluarga bisa saling bertemu, namun

sesudah pulang ke rumah masing-masing lepaslah ikatannya dan kembali dengan

urusan keluarganya sendiri.

Simpulan

Pada masa Hindu-Budha atau Pra Islam sampai ke masa Islam di Indonesia,

media wayang memeliki peranan yang strategis dan efektif sebagai media

pembelajaran. Di masa-masa yang silam wayang adalah pertunjukan yang sangat

menarik dan sangat diminati serta selalu dinanti-nanti pertunjukannya oleh

masyarakat. Dan dalam pertunjukkan inilah diselipi ajaran-ajaran moral serta tata

karma sopan santun yang disarikan dari ajaran Agama masa itu. Bahkan pada masa

penyebaran agama Islam, para Walisongo dalam menyebarkan ajaran agama Islam di

Jawa memanfaatkan media wayang ini sebagai media syiar penyebaran ajaran

Agamanya. Oleh karena itu peranan wayang sebagai media untuk menyampaikan

materi pelajaran dalam proses belajar mengajar di lembaga informal dan nonformal

sangatlah menarik, tentu disertai kreatifitas dalam penyampaian ki dalang sebagai

guru serta selalu berinovasi dalam pertunjukkan agar sesuai dengan zaman sekarang

sehingga pertunjukkan wayang sebagai media pendidikan tidak membosankan dan

semakin menarik. Memang jika kurang hati-hati pertunjuukan wayang yang

dikreasikan serta diinovasikan dapat menjadi blunder karena justru bukan pesan

pendidikannya yang baik (bermoral penuh tata karma sopan santun) yang ditonjolkan

tapi justru terjebak pada sisi hiburannya yang lebih diutamakan. Bahkan dieksploitasi

sehingga tanpa sadar justru berdampak pada pengaruh negative bagi sasaran

didiknya.

Page 30: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

26

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Murtiyoso, 2004.”Pertumbuhan & Perkembangan Seni Pertunjukan

Wayang Surakarta. Citra Etnika.

Bambang Murtiyoso, “Fungsi dan Peran pagelaran Wayang Purwa bagi Pendidikan

Budi Pekerti”, makalah dipaparkan pada Seminar Laku BudayaII, tanggal

2 dan 3 Februari. 2005.

Geertz, Clifford, 1960. “The Religion of Java”. Chicago and London: The University

of Chicago Press.

Hazim Amir, 1991. “ Nilai-nilai Etis dalam Wayang”. Jakarta. Pustaka Sinar

Harapan.

Holt, Clair 1954.” Art in Indonesia. Community and Change. Ithaca.

Kanthi Waluyo, 1994. “ Peranan Dalang dalam Menyampaikan Pesan

Pembangunan”. Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Dep. Penerangan RI.

Mulder, Niels, 1984. “Kepribadian Bali dan Pembangunan Nasional”. Yogyakarta:

Gajahmada University Press.

Sal Murgiyanto, 2003.” Mencermati Seni Pertunjukan I Perpektif Kebudayaan,

Ritual, Hukum”. Surakarta.

Page 31: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

27

OPTIMALISASI PERAN KESENIAN TRADISIONAL NTB SEBAGAI

MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL

Oleh:

Dr. Kadri, M.Si

(Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Reg.VII Mataram)

ABSTRAK: Eksistensi seni tradisional sering kali tereduksi oleh kehadiran

beragam jenis seni modern yang akhir-akhir ini “membius” selera generasi muda.

Fenomena inilah yang antaralain terjadi dengan beberapa jenis seni tradisional di

provinsi Nusa Tenggara Barat. Padahal banyak nilai-nilai bermakna yang bisa

dimanfaatkan dari seni tradisional tersebut bagi media komunikasi dan pendidikan

sosial. Diperlukan upaya pembinaan dan sosialisasi maksimal agar seni tradisional

menjadi hiburan pilihan publik sehingga keberadaanya dapat dimanfaatkan sebagai

media komunikasi dan pendidikan sosial, dengan cara memasukkan pesan

pendidikan di dalamnya. Hal ini dapat dijadikan oleh instansi pemerintah dan

lembaga pendidikan nonformal dan informal untuk menyebarluaskan informasi dan

menyampaikan materi pelajarannya. Dengan demikian, publik tidak hanya disuguhi

aspek hiburan semata, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai yang informatif dan

edukatif. Lebih dari itu, upaya pemanfaatan seni tradisional NTB sebagai media

komunikasi dan pendidikan sosial juga dapat dijadikan sebagai upaya pelestaraian

seni tradisional dari “cengkraman” seni kontemporer.

Kata Kunci: Seni Tradisional NTB, Media Komunikasi, Pendidikan Sosial

Latar Belakang

Keragaman seni dan budaya merupakan salah satu karakter bangsa Indonesia

yang membedakannya dengan negara lain. Keragaman ini sekaligus menjadi

kekayaan bangsa yang tak ternilai, untuk dilestarikan dan diwariskan kepada

generasi-generasi berikutnya. Sungguh banyak nilai dan pelajaran yang dapat

diambil dari setiap seni dan budaya tradisional untuk dijadikan sebagai referensi

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun ekspektasi ideal tersebut di atas harus berhadapan dengan

kecenderungan memudarnya seni dan budaya tradisional di setiap daerah. Seni dan

budaya tradisional yang selama ini menjadi kebanggaan, kini tidak banyak lagi

dikenal oleh generasi muda. Pada saat bersamaan mereka (generasi muda) tidak bisa

melepaskan diri dari „serangan‟ budaya global yang terus menerpa. Sehingga tidak

heran bila anak-anak lebih banyak mengenal nilai dan budaya asing ketimbang seni

dan budaya sendiri. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan pewarisan seni-budaya

tradisional menjadi tugas yang tidak mudah di tengah semakin terbukannya akses

Page 32: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

28

masyarakat untuk mempelajari seni dan budaya asing lewat kecanggihan teknologi

informasi dan komunikasi.

Memang, upaya pelestarian dan penanaman kencintaan public (terutama

generasi muda) terhadap seni dan budaya tradisional menjadi tugas awal yang mesti

direalisasikan, sebelum berbicara tentang pemanfaatan seni tradisional sebagai media

komunikasi sosial. Selama ini seni dan budaya tradisional masih dimaknai sebatas

karya seni pemuas naluri estetika setiap orang, sehingga belum banyak yang berpikir

pemanfaatan hal tersebut sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan

social baik oleh pemerintah kepada publik secara vertical maupun secara horizontal

di antara masyarakat.

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang didiami oleh tiga etnik mayoritas

(Sasak, Samawa, dan Mbojo) serta etnik-etnik lainnya, memiliki seni dan budaya

tradisional yang beragam. Di sisi lain, karakter geografis NTB yang kepulauan dan

terdiri dari wilayah yang masih jauh dari pusat ibu kota provinsi dan kabupaten,

mengharuskan pemerintah daerah untuk menggunakan media komunikasi yang

beragam, di antaranya menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial.

Eksistensi Seni Tradisional di tengah Media Modern

Tidak mudah untuk mempertahankan eksistensi seni tradisional di tengah

membanjirnya seni dan budaya global. Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya

perhatian pemerintah untuk melestarikan seni dan budaya tradisional setiap daerah,

meskipun belakangan mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah, bersamaan

dengan giatnya kampanye pariwisata di provinsi dan kabupaten yang ada di NTB.

Namun harus diakui bahwa eksistensi seni dan budaya tradisional di NTB

mengalami „reduksi‟. Beberapa seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi

produk dan pernah dihidupkan oleh rakyat Bumi Gora, saat ini sangat susah

ditemukan. Budaya Gantao (sejenis permainan bela diri pencak silat yang melibatkan

dua orang lelaki Bima dengan memperagakan adegan saling serang menggunakan

kaki dan tangan untuk saling banting. Permainan ini diiringi dengan alunan musik

tradisional Mbojo) yang pernah semarak di Bima (suku Mbojo) misalnya kini sangat

jarang lagi dipentaskan dalam setiap pesta budaya di Bima. Generasi muda pun tidak

lagi menjadikan seni tradisional ini sebagai karya dan seni yang disenangi.

Prosesi pernikahan dengan adat Mbojo pun sudah mulai disederhanakan dan

mengikuti prosesi budaya modern. Satu-satunya yang masih tertinggal adalah gaung

penganten yang menggunakan adat Mbojo. Belum lagi kita berbicara tentang cagar

dan bangunan budaya, yang baru mendapat perhatian beberapa tahun terakhir.

Rumah-rumah tradisional Bima seperti rumah panggung bukan lagi menjadi

Page 33: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

29

kebanggaan. Pada puluhan tahun silam, rumah panggung masih menjadi kebanggaan,

dan bahkan menjadi mahar favorit yang disediakan oleh penganten pria. Kini

keluarga baru sudah senang dengan rumah-rumah berarsitek modern. Bahkan orang

tua pun tengah melakukan upaya ‟pemudaran‟ rumah panggung untuk diganti dengan

rumah modern.

Kecenderungan yang tidak terlalu beda juga terjadi di Sumbawa (suku

Samawa), dan juga di komunitas Sasak. Rumah adat yang berjenis rumah panggung

dan kayu bukan lagi menjadi rumah favorit. Dalam konteks seni tradisional juga

mengalami reduksi peminat. Seni tradisional Sasak seperti Teater Cepung dan

Teater Cupak Gerantang misalnya saat ini tidak lagi menjadi seni teater yang masif

digandrungi.

Banyak faktor yang menyebabkan fenomena pereduksian seni budaya

tradisional terjadi. Salah satunya adalah pengaruh kehidupan global yang dimotori

oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pengaruh ini terutama

melanda generasi muda. Kemudahan mengakses informasi berkontribusi bagi

entengnya mereka (generasi muda) untuk mengkonsumsi seni budaya apa saja

dengan dukungan visualisasi dan audio mutakhir.

Belum lagi kita berbicara tentang wajah televisi dan media massa kita

(Indonesia). Sebagian besar acara dan isi tayangan media massa kita cenderung

hedonis, dengan mempraktekkan dan mengajarkan gaya hidup bergelimang

kemewahan dengan asesoris modern yang jauh dari identitas tradisional. Sangat

susah ditemukan acara atau tayangan media massa tentang seni tradisional daerah

tertentu.

Pemanfaatan seni dan budaya tradisional yang minim tidak hanya dilakukan

oleh rakyat atau media massa, tetapi juga oleh pemerintah. Dalam beberapa

kebijakannya, pemerintah belum optimal mengupayakan pelestarian dan

pengembangan seni tradisional. Sebagai contoh, belum banyak setiap pemerintah

daerah yang ada di NTB mengadakan atraksi dan kompetisi seni dan budaya

tradisional di tingkat pelajar. Kota Mataram mungkin dapat dikecualikan dalam

generalisasi ini, meskipun apa yang dilakukan pemerintah kota Mataram belum

maksimal.

Di samping itu, pemerintah juga belum bisa mengoptimalkan eksistensi seni

dan budaya tradisional sebagai media komunikasi sosial. Pemerintah daerah lebih

senang menggunakan media modern seperti televisi, radio, surat kabar, dan baliho

sebagai sarana kampanye program atau kampanye publik (public campaign). Selama

ini sangat susat terlihat (untuk mengatakan tidak pernah) seni tradisional

Page 34: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

30

dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan penyampai informasi pembangunan dan

sosial lainnya dari pemerintah.

Ketika pemerintah menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi

sosial tentu akan memberikan keuntungan ganda, yakni melestarikan seni budaya

tradisional sekaligus membantu kesuksesan program yang dilaksanakan. Di samping

itu, pemerintah juga harus memanfaatkan amanah Undang-Undang Nomor 32 tahun

2002 tentang Penyiaran, yang antara lain menganjurkan untuk mengakomodir

sepuluh porsen (10% porsen) siaran berkonten lokal bagi televisi berjaringan

nasional, dengan cara mendorong pegiat media dan penyiaran yang ada di NTB

untuk menyiapkan paket seni buya tradisional untuk ditayangkan di media nasional.

Momentum ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah yang baik untuk

mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni dan budaya tradisional setiap daerah,

sekaligus untuk mengimbangi serangan budaya global yang kian mengancam.

Kita masih memiliki harapan karena proses reduksi seni budaya tradisional

tidak berlangsung secara radikal (tidak menjadi gerakkan anti budaya tradisional

secara massal). Ini berarti kita masih memiliki sisa-sisa ruang dan waktu untuk

merevitalisasi seni tradisional di benak publik. Secara pelan tapi pasti setiap

kalangan (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat pada umumnya) harus

membangun tekad yang sama untuk menjadikan seni dan budaya tradisional sebagai

media komunikasi sosial sekaligus sebagai perekat ikatan sosial di antara warga se-

etnik dan se-bangsa. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka sedahsat apapun serangan

informasi dan media global, tidak akan mampu menggoyahkan kecintaan anak

bangsa terhadap seni dan budayanya sendiri.

Efektifitas Komunikasi dan Pendidikan Melalui Seni Tradisional

Salah satu ukuran efektif dan tidaknya komunikasi adalah ketika apa yang

dimaksudkan oleh pengirim pesan, sama dengan apa yang dipahami oleh penerima

pesan. Di samping itu, faktor media yang digunakan juga turut berkontribusi

menciptakan komunikasi yang efektif. Ketepatan memilih media komunikasi dan

kelihaian mengemas tampilan media yang telah dipilih merupakan kunci keefektifan

komunikasi yang dilakukan.

Komunikasi dalam konteks ini harus dimaknai secara luas, yang tidak hanya

sebatas komunikasi verbal tetapi juga yang nonverbal. Dengan pemaknaan yang luas

seperti ini, maka dalam konteks seni dan budaya tradisional, komunikasi tidak hanya

dimaknai dalam konteks seni pertujukan dan nyayian serta musik yang berbasis

verbal, tetapi juga menyangkut seni dan budaya yang berdimensi nonverbal. Oleh

karena itu, segala produk dan wujud seni mesti dimaknai sebagai bentuk pesan yang

memiliki makna tersendiri.

Page 35: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

31

Suatu pesan akan diterima dengan baik antara lain ketika pesan tersebut

memenuhi empat unsur, yakni; (1) pesan tersebut mendapat perhatian (Attention)

sasaran pesan; (2) menarik perhatian (interest) yang menerimanya; (3) berkeinginan

(desire) untuk menerimannya; (4) diambil keputusan (decide) untuk menerimannya;

dan (5) dilaksanakan (action) sesuai dengan isi pesan.

Apabila mengikuti alur komunikasi atau proses transfer pesan seperti di atas,

maka prasyarat awal yang harus dilakukan dalam rangka menjadikan seni tradisional

sebagai media komunikasi yang efektif (komunikatif) adalah bagaimana menjadikan

atau mengemas seni tradisional sebagai suatu karya seni yang diperhatikan atau

diminati oleh masyarakat agar mereka tertarik. Upaya ini penting ketika hendak

menyelipkan pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial dan

pembangunan yang akan melibatkan partisipasi publik untuk mensukseskannya.

Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan seni tradisional

sebagai suatu kebutuhan setiap individu. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka

proses transfer pesan sosial lewat seni tradisional menjadi relatif mudah. Dalam

asumsi dasar teori uses and gratifications (Lihat, Effendy, 2000) dikatakan bahwa

penggunaan media yang dilakukan oleh seseorang bergantung kebutuhan dan

ketertarikannya terhadap suatu pesan yang ditawarkan. Ketika seni tradisional telah

diminati masyarakat dan dikemas secara menarik, tentu saja hal tersebut akan

membuat seni tradisional dapat dengan mudah berperan sebagai media komunikasi

sosial yang menjadi pilihan publik.

Oleh beberapa pakar komunikasi, pada umumnya tradisi komunikasi orang

Indonesia menggunakan jenis komunikasi konteks tinggi, yakni cara berkomunikasi

yang berbelit-belit, berputar-putar atau gaya komunikasi yang tidak simpel dan tidak

langsung pada point dan sasaran utama. Kebanyakan orang Indonesia senang dengan

gaya bertutur melalui proses panjang menuju sasaran. Tradisi komunikasi seperti ini

lebih relevan dengan karakter seni tradisional yang ada (khususnya di NTB). Teater-

teater tradisional seperti teater Cepung, Teater Cupak Gerantang (yang berasal dari

suku Sasak), atau Teater Sakeco dan musik berpantun ”Bakelong” (yang berasal dari

suku Samawa) merupakan bentuk seni tradisional yang berkarakter dialogis dengan

durasi waktu yang relatif lama. Esensi pesan yang terkandung di dalamnya pun tidak

bisa diperoleh secara instan.

Seni tradisional merupakan ikatan emosional yang dapat dijadikan sebagai

perekat komunikasi sosial di antara masyarakat. Ikatan emosional atas persamaan

sosial dan budaya menjadi faktor penting dalam kesuksesan komunikasi manusia.

Salah satu prinsip komunikasi disebutkan bahwa ”semakin mirip latar belakang

sosial budaya semakin efektiflah komunikasi” (Mulyana, 2002). Prinsip komunikasi

ini semakin mempertegas bahwa komunikasi yang efektif tidak terlepas dari adanya

Page 36: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

32

kesamaan nilai sosial dan budaya. Seni tradisional merupakan salah satu ikon

kesamaan yang bisa menyatukan setiap perbedaan personal. Ketika ikon ini dapat

dikemas dengan sebaik-baiknya menjadi media komunikasi sosial, maka proses

transfer pesan lewat seni tradisional menjadi lebih efektif.

Kesamaan sosial dan budaya bukan hanya dalam konteks kesamaan nilai dan

seni yang dimiliki tetapi juga kesamaan latarbelakang etnik dan suku dari setiap

peserta (orang yang terlibat dalam) komunikasi. Artinya, ketika orang yang ber-etnik

sama membicarakan persoalan yang sama lewat media komunikasi yang sama, maka

ada jaminan bahwa komunikasi tersebut akan berlangsung secara efektif, dan akan

menghasilkan sesuatu yang lebih kontributif. Upaya yang sama juga bisa dilakukan

untuk menjadikan media seni tradisonal sebagai media pendidikan sosial. Artinya

saat mengkomunikasi media tradisional, dapat diselipi dengan pesan-pesan

pendidikan. Bhkan menurut penulis, cara ini lebih efektif untuk memberikan

pelajaran sosial kepada masyarakat.

Menjadikan Seni Tradisional NTB sebagai Media Komunikasi dan Pendidikan

Sosial

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa langkah awal yang

harus dilakukan untuk menjadian seni tradisional NTB sebagai media komunikasi

sosial yang efektif adalah dengan menjadikan hal tersebut sebagai hiburan atau karya

seni yang digandrungi publik. Membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk

merevitalisasi eksistensi seni tradisional di tengah tantangan global yang multi

bentuk.

Dibutuhkan kemasan yang serius dengan dukungan maksimal dari semua

kalangan untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni tradisional agar

mendapat tempat di hati rakyat. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana

menanamkan kencintaan terhadap seni dan budaya tradisional sejak usia dini. Usia

dini merupakan waktu yang tepat untuk penanaman nilai dan tradisi tertentu dengan

harapan akan membekas dan turut mewarnai aktivitasnya di masa yang akan datang.

Penanaman nilai dan kecintaan terhadap seni tradisional dapat dilakukan

lewat berbagai cara. Dua di antaranya adalah lewat pendidikan nonformal dan

formal. Setiap momen apapun harus dimanfaatkan untuk mensosialisasikan seni

tradisional. Hal yang sama dapat dilakukan di pendidikan formal dengan cara

mereformasi kebijakan dan kurikulum Pendidikan SD sampai SMA.

Kurikulum tentang seni dan budaya tradisional harus mendapat perhatian

maksimal sebagai langkah akademik untuk menanamkan nilai dan kearifan lokal

pada diri setiap anak. Permainan-permainan anak di PAUD dan TK harus

direkonstruksi. Selama ini, anak kita banyak disuguhi dengan permainan modern

yang tidak jelas asal usulnya, nyanyian-nyanyian yang tidak terlalu mendidik dan

Page 37: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

33

minim muatan lokal. Saatnya alat permainan edukatif (APE) lebih banyak

menyuguhkan permainan dari bahan lokal dan bermuatan nilai lokal. Event-event

seni budaya tradisional harus terus digalakkan di setiap jenjang pendidikan dasar dan

menengah, agar anak cinta produk lokal, karya sendiri, dan seni serta budaya

tradisional.

Komitmen yang tinggi untuk menjadikan seni tradisional NTB sebagai media

komunikasi sosial tidak cukup sampai penanaman kesadaran mencintainya. Proses

penanaman kecintaan ini harus terus berjalan (tanpa terikat dengan waktu dan ruang),

sambil mengambil upaya serius untuk mengemas seni tradisional yang ada agar

menjadi produk atau karya yang diminati. Untuk kebutuhan optimalisasi

performance seperti inilah, diperlukan identifikasi menyeluruh terhadap karya dan

jenis seni tradisional yang ada.

Proses identifikasi ini penting terutama untuk menentukan strategi

pemanfaatan seni tradisional yang ada secara tepat dan efesien sehingga bermanfaat

bagi pemenuhan kebutuhan yang diinginkan. Bendasarkan identifikasi sederhana

terhadap seni tradisional di NTB, maka dapat dibagi dua jenis seni tradisional dalam

konteks penggunaannya sebagai media komunikasi sosial, yakni:

Pertama, seni tradisional yang dapat dijadikan sebagai media penghimpun

massa. Yang dimaksud dengan kategori seni tradisional yang pertama ini adalah

semua seni tradisional yang yang tidak berkarakter penyampai pesan secara

langsung. Pada umumnya yang termasuk dalam kategori ini adalah karya seni non

drama/teater, seperti musik tradisional, pergelaran pertunjukan tradisional, dan

berbagai tari tradisional di provinsi NTB.

Seni tradisional berkarakter seperti ini sangat berpotensi untuk

mengumpulkan massa yang lebih banyak, apalagi bila dikemas dan dimodifikasi

semenarik mungkin. Momen berkumpulnya massa itulah yang dapat dimanfaatkan

oleh siapapun untuk menyelipkan agenda-agenda tambahan terutama dalam

menyampaikan pesan tertentu sesuai kebutuhan.

Di samping itu, dalam pergelaran seni tari juga dapat dimodifikasi sehingga

dapat lebih komunikatif, dalam artian tidak hanya pesan nonverbal lewat gerakan

anggota badan tetapi juga bisa dengan membuat improvisasi musik pengiring dengan

lagu-lagu sarat pesan tertentu. Dalam seni tradisional Bima seperti ”Biola” misalnya

dapat diselipkan irama lagu perpantun yang mengandung pesan-pesan sosial tertentu.

Selama ini dalam penghamatan saya, lirik lagu biola di Bima lebih banyak

didominasi oleh lirik asmara dan percintaan. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini

membutuhkan sentuhan ide dan tangan kreatif seniman di setiap daerah, tanpa

menghilangkan nilai historis dari setiap karya seni yang ada.

Page 38: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

34

Kedua, seni tradisional yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai

media komunikasi sosial. Seni tradisional dalam kategori kedua ini adalah semua

seni tradisional yang berbasis drama dan teater, seperti:

a. Teater Cepung. Teater ini merupakan teater klasik yang berasal dari etnik

Sasak, yang muncul tidak lama setelah penulisan lontar ”Tutur Monyeh oleh

Jero Mihran, yakni sekitar tahun 1850-an. Peran teater cepung di tengah

masyarakat Sasak menyangkut berbagai aspek seperti politik, ekonomi,

sosial, dan agama, karena lontar Tutur Monyeh sebagai sumber teater Cepung

yang berisi tentang nilai, yaitu pendidikan moral, kritik sosial, ritual, dan

sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Sasak (Alfarisi, 2010).

b. Teater Sakeco. Teater ini adalah karya seni tradisional yang berasal dari

suku Samawa, berisi tentang dialog komedi berpantun yang diiringi dengan

alat musik tradisional seperti gendang dan rebana

Kedua jenis teater di atas merupaka dua karya seni berbasis drama/teater yang

dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial. Alur cerita

yang ada dalam teater tersebut sangat mungkin untuk dimodifikasi dan diselipi

dengan pesan-pesan tertentu yang penuh makna. Namun lagi-lagi, eksistensi kedua

teater tersebut akan lebih bermakna sebagai media yang komunikatif ketika

keduanya telah digandrungi oleh masyarakat. Sayang hingga saat ini, keberadaan

keduanya tidak seperti saat awal keberadaannya.

Karakter wilayah NTB dengan tingkat konflik sosial yang relatif masih

tinggi, sangat tepat untuk menjadikan seni tradisional seperti teater dan drama

sebagai media komunikasinya. Sebagai bentuk apresiasi seni, teater dan drama

memiliki posisi strategis dan dapat berperan sebagai forum penghilang ketegangan

dan pencair perbedaan, apalagi aktor yang terlibat dalam teater itu adalah seluruh

representasi masyarakat yang ada.

Saya sangat tertarik dengan upaya yang dilakukan oleh sebuah Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) dari Eropa yang merekrut beberapa pelajar di wilayah

konflik di NTB untuk diajarkan atau dilatih drama bertema perdamaian/persamaan

yang akan dipentaskan di depan saudara dan orang tua mereka. LSM ternama

tersebut sadar benar bahwa karya seni seperti drama dan teater menjadi wadah yang

efektif untuk menyampaikan pesan bermakna.

Simpulan

Gambaran panjang lebar di atas semakin mempertegas betapa pentingnya seni

tradisional daerah NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial. Atas dasar

kesadaran itulah dibutuhkan upaya serius semua kalangan untuk mengidentifikasi

dan memodifikasi kemasan seni tradisional agar dapat dimanfaatkan sebagai media

yang komunikatif dalam menyampaikan pesan sosial tertentu dalam kerangka

Page 39: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

35

pendidikan masyarakat. Sosialisasi dan penanaman kesadaran berbudaya dan

mencintai seni tradisional sendiri merupakan langkah awal yang baik menuju

efektifitasnya pemanfaatan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi dan

pendidikan sosial. Lebih dari itu, pemerintah daerah harus memberi apresiasi

(dukungan) yang serius untuk menyediakan fasilitas seni dan budaya sebagai wadah

dan ruang ekspresi publik sekaligus sebagai benteng pelestarian budaya lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Alfarisi, Salman, 2010, Teater Cepung Lombok (Kajian Tekstual Seni Pertunjukan).

Tesis. Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Effendy, Onong Uchjana, 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:

Citra Aditya Bhakti

Mulyana, Deddy, 2002. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda

Page 40: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

36

PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL

(STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG)

Oleh

I Wayan Sudiadnyana,S.Pd

(Pamong Belajar SKB Klungkung)

Abstraksi : Semakin masyarakat berkembang maju, maka kebutuhan akan

pendidikan akan semakin meningkat dan bervariasi. Pengembangan program jalur

Non formal dan Informal tentunya perlu terus diupayakan guna memenuhi

kebutuhan masyarakat akan pendidikan.

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam

hubungan yang erat dengan pengalaman siswa sesungguhnya. Proses pembelajaran

berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan

transper pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam mendukung pendekatan kontektual

Pendidik dituntut untuk banyak membaca dan mencermati masalah aktual di

masyarakat, di sisi lain, pendidik juga terus berusaha mengenali pesertanya, baik

dari segi budaya, keluarga, social, adat dan pekerjaan dan lingkungan di mana

peserta tinggal, dengan siapa ia bergaul.

Kata Kunci : Pembelajaran, Kontekstual, Hubungan, Pengalaman

Latar Belakang

Pemberdayaan masyarakat (Empowerment of Community) sebagai sebuah

proses dalam rangka memberikan daya atau dengan kata lain mendayagunakan

seseorang, kelompok atau lembaga telah banyak dilakukan baik sebagai upaya yang

disusun secara terprogram sebagai program nasional maupun yang secara alamiah

dikembangkan sendiri oleh masyarakat di daerah. Sebagai sebuah proses transfomasi

serta interaksi dari berbagai pihak baik secara perorangan maupun antar kelompok

diharapkan dapat memberikan suatu dampak yang dapat saling menguntungkan,

menumbuhkan, meningkatkan, memperkuat yang pada akhirnya dapat menambah

nilai daya secara potensial baik secara pribadi, kelompok maupun lembaga yang

dapat diarahkan sebagai sebuah energi dalam upaya pencapaian tujuan.

Semakin masyarakat berkembang maju, maka kebutuhan akan pendidikan

akan semakin meningkat dan bervariasi. Menurut Kuntoro (2001) pendidikan bukan

saja bertujuan untuk mempersiapkan anak dan pemuda memasuki dunia kerja,

pendidikan juga dibutuhkan masyarakat dewasa untuk peningkatan pengembangan

diri atau kwalitas hidup yang dilakukan secara simultan dengan aktifitas kerja dalam

kehidupannya. Dalam kondisi seperti ini aktivitas pendidikan atau belajar dituntut

untuk berjalan seumur hidup.

Urgennya masalah pemberdayaan masyarakat merupakan hal mendasar

yang melatar belakangi konsep misi bangsa Indonesia seperti yang sudah tercantum

Page 41: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

37

dalam GBHN (2004) menyebutkan bahwa “pemberdayaan masyarakat dan seluruh

ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, koperasi dengan

mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar

yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang

produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan”.

Pada akhirnya misi tersebut memunculkan ranting pemikiran yang berwadah pada

wujud sebuah kebijakan yang akan dilaksanakan dalam mewujudkan misi tersebut

yakni dengan upaya Memberdayakan masyarakat dengan mempersiapkan program

pemberdayaan bagi masyarakat melalui berbagai program yang bervariasi.

Pendidikan non formal dan Informal sebagai salah satu cabang utama dari

sistim pedidikan yang dilaksanakan di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar

dan bertanggung jawab dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Tentunya

pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata namun juga merupakan

tanggung jawab masyarakat dan keluarga, sehingga guna menyikapi hal tersebut di

atas maka perlu sinergisme antara ketiga komponen tersebut yaitu pemerintah,

masyarakat, dan keluarga.

Pengembangan program jalur Non formal dan Informal tentunya perlu terus

diupayakan guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan, sebab dengan

tingginya jumlah penduduk yang membutuhkan pendidikan di jalur ini tentunya akan

berbanding lurus dengan kuantitas program yang dibutuhkan, artinya masih

diperlukan banyak pengembangan program pendidikan non formal sehingga dapat

menyentuh kebutuhan masyarakat banyak. Sesuai dengan pendapat yang

disampaiakan oleh Watson dan Katz (1991) bahwa program belajar harus menjawab

kebutuhan belajar masyarakat sehingga mereka merupakan bagian yang lebih besar.

Disinilah peran pendidik Paud menjadi sangat penting karena fungsinya sebagai

pelaksanan pembelajaran yang langsung berhubungan pada peserta didik Pendidik

Paud yang memiliki kompetensi baik sangat dimungkinkan dapat membawa

perjalanan program menjadi lebih baik pula serta sebaliknya, sehingga upaya

meningkatkan kompetensi Pendidik Paud sebagai pelaksana pembelajaran

dilapangan perlu mendapat perhatian untuk terus ditingkatkan kwalitasnya.

Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) sesuai dengan SK Mendikbud No.

023/0/1997 Merupakan Unit Pelaksana Teknis Kegiatan Belajar Pendidikan Luar

Sekolah, Pemuda dan Olahraga, mempunyai tugas melakukan pembuatan

percontohan dan pengendalian mutu pelaksanaan program berdasarkan kebijakan

teknis Ditjen Pendidikan Luar Sekolah.

Pendidik Paud adalah tenaga kependidikan yang menjadi pelaksana,

pembelajaran dan ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut yang berhadapat langsug

dengan anak-anak. Pada kenyataannya tidak sedikit hambatan, tangtangan dan

Page 42: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

38

kendala yang dialaminya, baik yang diakibatkan oleh keterbatasan pengalaman,

Rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya disiplin kerja maupun sitem lainnya.

Permasalahan ini belum sepenuhnya mendapatkan penanganan yang sungguh-

sungguh, sehingga berpengaruh terhadap kinerja Pendidik Paud itu sendiri maupun

Tenaga Kependidikan secara keseluruhan.

Selama ini UPT SKB Klungkung telah melaksanakan berbagai upaya

dengan meningkatkan PTK PAUD salah satunya melalui pelatihan, namun SKB

Klungkung belum memiliki pola pelatihan yang efektif dalam meningkatkan kwalitas

PTK PAUD. Pendekatan kontekstual dipilih dalam pelatihan ini karena dalam

kegiatan pembelajaran/pelatihan penatar (narasumber) akan dibantu untuk

mengaitkan materi yang dipelajari (content) dengan situasi dunia nyata (context)

yang mendorong mendorong peserta penataran (Pendidik PAUD) membuat

hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya selama menjadi pendidik PAUD

dengan penerapannya dalam mengemban tugas sebagai pendidik PAUD (Suastra,

2009; Depdiknas, 2002). Dengan demikian, diharapkan hasil yang dicapai dalam

kegiatan pelatihan akan lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Terkait dengan

hal tersebut, tulisan ini dalam upaya mencari solusi pemecahan masalah tersebut.

Hakekat pendekatan kontekstual

Pendekatan kontekstual atau disebut juga contekstual teacing learning(CTL)

merupakan suatu konsepsi pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi

(Coenten) yang diajarkan dengan situasi dunia nyata (Contekt) dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiikinya dengan penerapannya

dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan

tenaga kerja (Blenchad, 2001; Deddikbud 2002). Pembelajaran kontekstual adalah

pembelajaran yang menmungkinkan siswa-siswa TK sampai SMU untuk

menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik

mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat

memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang

disimmulasikan (University Of Washington, 2001).

Jadi, pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam

hubungan yang erat dengan pengalaman siswa sesungguhnya. Proses pembelajaran

berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan

transper pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam kontes itu, siswa perlu mengerti apa

makna belajar, apa mamfaatnya, dalam setatus apa mereka, dan bagaimana

mencapainya. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang

memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang

bermamfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu mereka

memerlukan guru sebagai pengarah dan pembingbing (Depdikbud, 2002 : 2).

Page 43: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

39

Dalam Kelas Kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai

tujuannya. Maksudnya, Guru lebih banyak berusan dengan setrategi daripada

member informasi. Tugas guru mengelola kelas ssebuah tim yng bekerja bersama

untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (Siswa). Sesuatu

(Pengetahuan dan Keterampilan) datang dari “Menemukan sendiri” bukan dari “Apa

kata guru”. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola pendekan kontekstual.

Komponen-komponen CTL

The Washington Statte For Contextual Teacing and Learning (2002) telah

mengidentifikasi tujuh komponen utama sebagai landasan pembelajaran kontekstual

yaitu: Kontruktivisme (Contruktivism), menemukan (Inqiuiry), bertanya

(Questioning), masyarakat belajar (Learning Commonity), pemodelan (Modeling),

Repleksi (Replection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessement).

Kontrusktivisme merupakan landasan berpikir (Filosofis) pedekatan CTL,

yaitu bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan skemata yang telah ada sebelumnya

(Bodner dalam Suastra, 2009). Ini berarti bahwa manusia membangun pengetahuan

sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Sempit)

dan tidak sekoyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat pakta-pakta,

konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus

mengkonstruksi pengetahuan itu melalui proses asimilasi dan akomodasi, dan

member imakna melalui pengalaman nyata.

Menemukan (Inquiry) adalah sesuatu kegiatan menyelidikan secara

sistematis dengan tujuan menemukan dan menjelaskan hubungan antara objek dan

peristiwa. Hal ini dicirikan dengan penggunaan urutan proses yang dapat diulangi,

redufsi objetk peneitiann kedalam sekala dan bentuknya yang sederhana, dan

menggunakan kerangka logika untuk menjelaskan dan ramalan. Operasional inkuiri

meliputi observasi (observing), bertanya (questioning), mengajukan dugaan

(hiphotesis), pengumpulan data (data ghetering), dan penyimpulan (conclusion), dan

mengkomonikasikan (communicating) (Trowbridge & Bybee dalam Suastra, 2009).

Lebih lanjut Amien (1987; 126-127) menyatakan inkuiri adalah suatu perluasa proses

discovery yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa .

Bertanya (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu

bermula dari bertanya. Kenapa memanaskan air di pegunungan lebih cepat mendidih

bila dibandingkan didekat pantai?, Bertanya merupakan setrategi utama yang

berbasis CTL (Depdikbud, 2002). Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai

kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kekampuan berpikir

siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam

melaksanakan pembelajaran berbasis inquiry, yaitu menggali informasi,

Page 44: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

40

mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan perhatian pada

aspek yang belum diketahuinya.

Masyarakat Belajar (Learning Community). Konsep masyarakat belajar

(learning community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari

kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar

kelompok dan antar yang tahu ke yan belum tahu. Di ruang kelas, di sekitar kelas

atau orang yang ada diluar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar (Johnson

dalam Suastra, 2009). Blanchard (2001) mengatakan bahwa belajar dapat terjadi

apabila proses komunikasi dua arah.

Pemodelan (Modeling). Dalam sebuah pembelajaran baik itu pembelajaran

pengetahuan atau keterampilan tertentu ada model yang bisa ditiru. Model ini bisa

berupa cara mengoprasikan suatu alat, mendemonstrasikan karya baik yang berupa

tulisan ataupun benda, cara membuat makanan atau peralatan dan sebagaianya.

Menurut Bandura (dalam Kardi, 2000), belajar yang dialami manusia sebagian besar

diperoleh dari suatu pemodelan, yaitu meniru perilaku dari pengalaman (keberhasilan

dan kegagalan) orang lain.

Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan hal penting dalam pembelajaran

dengan pendakatan CTL. REfleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru

dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilkuksn dimasitas,

atau yang lalu, dan apa yang perlu dilakukan berikutnya. Refleksi merupaka respon

terhadap kejadian,atau aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima (Nurhadi,

2002). Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung. Kalau begitu cara saya

tentu salah, semestinya cara lain saya gunakan” Pengetahuan yang bermakna

diproleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diprluas melalui konteks

pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demisedikit.

Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). Assessmen adalah

proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan

belajar siswa. Dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL. Gambaran

perkembangan belajar perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa

mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru

mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar. Oleh karena

gambaran tentang kemajuan itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka

assessmen tidak saja dilakukan pada akhir pembelajaran, tetapi dilakukan bersama

secara berintegrasi dari kegiatan pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses,

sehingga data yang dikumpulkan harus diproleh dari kegiatan nyata (Authentic)

yang dikerjakan siswa selama melakukan proses pembelajaran.

Page 45: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

41

Pelatihan PTK PAUD dengan pendekatan kontekstual

Dalam pengembangan pendidikan Nonformal dan Informal harus melihat

aspek yang lebih setrategis dan bersifat pondamental dan structural tanpa

mengabaikan social cultural masyarakat, Arah pengembangan pendidikan Nonformal

dan Informal harus mengikuti langkah-langkah yang setrategis, intergratif dan

berkesinambungan, berdasarkan setrategi dan prioritas yang dapat ditentukan.

Menurut “Syaiful Imran, ada enam pentahapan dalam pembelajaran

kontektual di tingkat Pelatihan yaitu: Pertama, mengkaji materi pelajaran yang akan

diajarkan kepada Peserta yaitu dengan memilah-milah materi yang tekstual dan

materi yang dapat diakitkan dengan hal-hal aktual. Kedua, mengkaji konteks

kehidupan peserta sehari-hari secara cermat sebagai salah satu upaya untuk

memahami konteks kehidupan peserta sehari-hari. Ketiga, memilih materi pelajaran

yang dapat dikaitkan dengan kontek kehidupan peserta. Keempat, menyusun

persiapan proses belajar dan mengajar yang telah memasukkan konteks ke dalam

materi yang akan diajarkan. Kelima, melaksanakan proses belajar mengajar

kontektual yaitu mendorong peserta untuk selalu mengaitkan materi yang dipelajari

dengan pengetahuan/pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Keenam,

melakukan penilaian otentik terhadap apa yang telah dipelajari oleh peserta. Hasilnya

dapat digunakan sebagai masukan, perbaikan/ penyempurnaan persiapan dan

pelaksanaan proses belajar dan mengajar yang akan datang.

Perlu juga disadari bahwa pelaksanaan pendekatan kontektual tidak sama

untuk tiap Lembaga, namun yang pasti Pendidik dituntut aktif menginternalisasikan,

menghayati, memahami, konteks actual dalam proses belajar mengajar. Jadi tidak

ada satu resep atau seragam dalam, pelaksanaan pembelajaran kontektual, tetapi

pendekatan kontektual cenderung mengakomodasi kemajemukan dan perbedaan

sesuai kekhususan yang ada pada peserta tersebut.

Dalam mendukung pendekatan kontektual Pendidik dituntut untuk banyak

membaca dan mencermati masalah aktual di masyarakat, di sisi lain, pendidik juga

terus berusaha mengenali pesertanya, baik dari segi budaya, keluarga, social, adat

dan pekerjaan dan lingkungan di mana peserta tinggal, dengan siapa ia bergaul. Hal

ini, perlu dilakukan agar pendidik mampu menginternalisasikan bahan pelajaran dan

proses pembelajaran dengan konteks yang actual dan dekat dengan kehidupan

keseharian peserta.

Menurut Chaedar Alwasilah, ada tujuh strategi yang perlu diperhatikan dalam

pendekatan kontektual, yaitu: pengajaran berbasis problem, menggunakan konteks

beragam, mempertimbangkan kebhinekaan peserta, memberdayakan peserta untuk

belajar sendiri, belajar melalui kolaborasi, menggunakan penilaian autentik,

mengejar standar ting; Dari tujuh setrategi diatas kita bahas hanya tiga setrategi

Page 46: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

42

saja yaitu. Pertama, pengajaran hendaknya berbasis permasalahan, merancang

pembelajaran bersifat problem solving, sehingga peserta tertantang untuk

memecahkan problem tersebut, peserta diajak untuk berfikir kritis, pemecahan ini

akan mengajak peserta masuk ke dunianya sendiri, ia menyelami makna dan

pengalaman yang iia lakukan sendiri. Kedua, menggunakan konteks bermacam-

macam dan bervariasi. Makna jangan dibatasi pada satu sisi, atau satu titik pandang

saja, sebab makna dapat dipandang dari berbagai sisi. Adanya cara pandang yang

beragam akan menambah khazanah pemikiran Peserta makin kaya dan beragam.

Ketiga, menyadari keragaman yang ada pada peserta. Adanya berbagai keragaman

dan perbedaan hendaknya menjadi rahmat yang akan mendukung terjadinya

pembelajaran yang mengkayakan imajinasi, daya kreatifdandaya kritis peseta.

Namun dalam pengembangan pendidikan Nonformal dan Informal yang menjadi

dasar yang perlu dibangun yaitu nilai-nilai yang positif setiap individu manajemen

dan aspek kelembagaan yang lainnya.

Prinsip Penyelenggaraan Pelatihan Pendidik PAUD dengan pendekatan

kontekstual.

1) Kontruktivisme

Sebelum pelatihan, dilakukan penggalian pengetahuan/ keterampilan awal

peserta. Hal ini bisa dilakukan dengan cara bertanya atau menanyakan kepada

peserta pelatihan, tujuannya adalah untuk menetapkan masalah yang akan

dipecahkan atau menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam pembahasan materi itu.

Contoh: “Saya ingin tahu apa isi kotak itu?” Membayangkan serta mengantisipasi

kegiatan yang akan dilakukan. Contoh: “Jika aku menarik bangku kedekat kotak,

saya akan tahu isi kotak itu”. Mengekpresikan minat peserta terhadap sesuatu. Hal ini

dianggap penting karena ketika peserta berminat akan sesuatu mereka akan tampak

lebih bersemangat dan memungkinkan terciptanya pembelajaran yang efektif.

Dengan cara ini peserta diharapkan menemukan sendiri apa yang akan dibahasnya.

2) Menilai

Dalam pelatihan Pendidik PAUD diajarkan menemukan sendiri pola dasar-

dasar pembelajaran PAUD. Ini bisa dilakukan dengan pengumpulan berbagai data

yang bisa memberikan gambaran, perkembangan dengan cara yang nyata dilakukan:

(1) selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (2) Dilakukan bisa

formatif maupun sumatif, (3) bisa diukur kemampuan keterampilan anak/performent,

(4) bisa dilakukan berkesinambungan, (5) terintegrasi, (6) bisa digunakan sebagai

umpan balik.

Page 47: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

43

3) Bertanya

Pelatihan dilakukan dengan kegiatan tanya-jawab. Ini bisa dengan proses

pembelajaran yang kreatif dan inovatif juga dapat dilakukan oleh pendidik melalui

kegiatan-kegiatan yang menarik, untuk membangkitkan rasa ingin tahu peserta

pelatihan, memotivasi untuk berfikir kritis dan menemukan hal-hal baru, yang

diarahkan pada pengembangan konsep kecakapan hidup didasarkan atas pembiasaan-

pembiasaan yang memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan diri untuk

disiplin. Yang paling menentuka keberhasilan pembelajaran adalah: lingkungan

pembelajaran harus diciptakan sedemikian menarik dan menyenangkan sehingga

peserta pelatihan selalu betah. Dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru

untuk mendorong, membimbing dan termasuk menilai siswa dalam berpikir.

4) Masyarakat Belajar

Dalam kegiatan pelatihan dapat digunakan kegiatan kelompok (kooperatif)

dengan bermain seraya belajar atau belajar seraya bermain. Bermain merupakan

pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/pelatihan pada paserta.

Sehingga ada upaya-upaya pendidikan yang dilakukan oleh pendidik/guru dalam

dalam melaksanakan pembelajaran pada saat situasi yang menyenangkan, namun

juga diperlukan strategi, metode, materi/bahan, dan media yang menarik serta mudah

diikuti dan pada intinya hasil pembelajaran di dapat dari kerja sama antar

peserta/teman.

5) Modeling

Tutor Paud yang terbaik dijadikan model dalam pelatihan. Karena ini

merupaka media dan sumber belajar, merupakan faktor yang harus dipertimbangkan

dalam perencanaan pembelajaran. Media atau sumber belajar yang dipilih harus

sesuai denga kegiatan dan dapat memberikan pengalaman yang cocok bagi peserta

pelatihan. Guru juga harus memutuskan bagai mana media dan sumber belajar

disediakan dan bagaimana kegiatan diorganisasikan. Apakah peserta dapat

menggunakan

media dan sumber belajar tersebut secra individual, kelompok atau klasikal. Hal

lain yang perlu dipertimbangkan sejauh mana sumber-sumber dapat memberi

dukungan terhadap proses belajar anak/peserta didik. Dengan menampilkan model

media dan sumber belajar lainnya, peserta dapat melakukan eksplorasi, observasi

dan memungkinkan peserta dapat melibatkan seluruh kemampuannya. Dengan

pendekatan seperti ini peserta pelatihan menjadi bergairah.

6) Refleksi

Pada akhir sesen pelatihan guru Paud diajak melakukan refleksi/perenungan

tercapainya pembelajarnya, Yang diperlukan cara berpikir apa yang baru dipelajari

Page 48: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

44

atau berpikir kebelakang apa yang sudah dipelajari. Dengan cara ini peserta pelatihan

tidak gampang melupakan isi materi yang telah kita sampaikan.

7) Penilaian sebenarnya

Dalam proses penilaian peserta dinilai kerjanya dengan observasi

menggunakan pedoman penilaian. Ada bebrapa prinsip pelaksanaan penilaian

pendidikan anak usia dini antara lain :

a. Penilaian harus dikaitkan dengan kurikulum

b. Hasil penilaian harus dimamfaatkan untuk kepentingan anak.

c. Penilaian harus mencakup seluruh aspek perkembangan anak (fisik, social,

emosional,kognitif, bahasa).

d. Penilaian melibatkan observasi yang teratur dan priodik dari anak dalam berbagai

keadaan yang menggambarkan tingkah laku anak setiap saat.

e. Penilaian didasarkan pada prosudur yang menggambarkan kegiatan anak secara

khusus.

f. Penilaian harus mendorong anak untuk berpartisipasi dalam menolong dirinya.

g. Penilain harus alami dan wajar.

Implementasi Kegiatan Pelatihan dengan Pendekatan Kontektual di SKB

Klungkung

Implemntasi dari kegiatan pelatihan pendidik paud dengan pendekatan

kontektual dapat disampaikan dalam suatu program yang mempunyai keunggulan

dalam pelaksanaannya, dan menghasilkan dampak positif terhadap sasaran

pelaksanaan program khususnya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini

(PAUD). Keunggulannya, dapat dilihat dari adnya pola atau setrategi yang kreatif

dan inovatif, yang dipergunakan oleh guru/pendidik untuk mencapai tujuan yang

telah ditentukan sebelumnya. Mengingat program Paud yang terdiri dari Taman

Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain (KB) dan Taman Penitipan Anak (TPA)

yang terintegrasi dengan berbgai layanan pendidikan anak usia dini yang telah ada

dimasyarakan, karena pola pembelajarannya yakni “dari, oleh dan untuk” anak, maka

pola yang diberikan dalam pelatihan pendidik/guru paud adalah menggunakan

pendekatan kontektual. Dengan adanya keunggulan tersebut, maka pelatihan itu,

bisa/ memungkinkan untuk dijadikan sebuah rele mode/ contoh ideal, bagi

penyelenggara program kursus lainnya. Berikut dijelaskan beberapa unsur yang ada

dalam pelatihan:

a. Peserta didik

Peserta didik pelatihan dengan pendekatan kontektual ini adalah guru-guru

Paud se Kekabupaten Klungkung berjumlah 40 orang. Sedangkan perekruitmen

peserta melalui identifikasi kebutuhan belajar, mengingat pelatihan ini berbasis pada

kebutuhan anak, sehingga guru yang dipanggil untuk mengikuti pelatihan adalah dari

Page 49: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

45

masing-masing perwakilan Kelompok Bermain percontohan dan Taman Kanak-

Kanak Percontohan yang berada di Kabupaten Klungkung berjumlah 40 lembaga.

Dengan terlebih dahulu Pamong Belajar SKB Klungkung mengadakan koordinasi

dengan menyelenggarakan pertemua bersama Forum Paud, Himpaudi, Lembaga-

lembaga paud percontohan mengundangnya ke SKB Klungkung untuk

membicarakan langkah-langkah pengembangan pendidikan anak usia dini kedepan,

dan model pembelajaran yang bagaimana digunakan untuk menumbuh kembangkan

otak anak, sehingga anak menjadi mandiri.

b. Pendidik/Narasumber

Pendidik/Narasumber pada pelatihan Pendidik Paud dengan pendekatan

kontektual ini adalah orang yang memiliki :

1. Kopetensi sebagai pendidik/Narasumber dibidang keterampilan (vokasi) tertentu

yang akan dibelajarkan pada pendidik/guru Paud

2. Berpengalaman memberikan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan

kontektual

3. Berpengalaman dalam memperdayakan pendidik/guru paud sesuai dengan local

genius.

c. Kurikulum dan bahan ajar

Kurikulum Program Pelatihan pendidik/guru Paud dengan pendekatan

Kontektuan ini memuat : a) materi pokok yang berkaitan dengan pengembangan

keterampilan (vokasi) berbasis potensi dan kearipan local (APE muatan local); b)

Materi penunjang yang berkaitan dengan kemandirian meliputi : membangun dan

meningkatkan prilaku, pola pikir dan sikap mendidik anak, serta manajemen

pengelolaan kelas.

d. Sarana dan prasarana belajar

Sarana dan prasarana yang digunakan minimal memenuhi peryaratan teknis

yang diperlukan sesuai dengan jenis pelatihan vokasi tertentu dalam proses

pembelajaran, antara lain:

1. Ruang pembelajaran;

2. Ruang praktek dan peralatan praktek sesuai dengan bidang pebelajaran yang

akan dikembangkan ( pembuatan APE);

3. Bahan baku pembauatan APE yang ada disekitar /lingkungan belajar (vahan

limbah)

e. Strategi pembelajaran

1. Identifikasi potensi local dan sumber daya pendukung

2. Penelusuran minat,bakat, dan kemampuan dasar peserta didik

3. Metodologi pembelajaran:

Page 50: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

46

a. Teori diikuti dengan praktek ( Focus Group Discussion)

b. Teori dan prektek dilakukan bersamaan (learning by doing)

c. Teori, peraktek dilanjutkan dengan peninjauan lapangan

4. Evaluasi hasil belajar

5. Pendampingan atau pembinaan komonikasi tiap satu bulan

f. Biaya

Dalam penyelenggaraan pelatihan biaya amat dibutuhkan, kalau tidak ada

biaya kegiatan tidak akan bisa terlaksana. Namun semua ini bisa dilakukan asalkan

dari semua pihak sama-sama berkepentingan. Contohnya: dengan urunan bersama

seperti yang penuis sudah pernah lakukan di Nusa Penida, bekerja sama dengan

Koperasi Srinadi Klungkung tujuannya meringankan peserta dalam mengeluarkan

dana namun peserta dapat mengikuti pelatiahan dengan nyaman dan hasil baik.

g. Evaluasi

Evaluasi hasil pembelajaran pelatihan sangat penting dilakukan dengan

segera, tujuannya untuk mengetahui sejauhmana materi bisa diserap oleh peserta

didik atau, pelatihan yang diselenggarakan bisa berlajan dengan baik?. Hal ini

diperlukan sebagai alat ukur untuk menyelenggarakan pelatihan berikutnya.

Mengingat Program PAUD di Kabupaten Klungkung dilaksanakan di masing-masing

Banjar dan Sekolah yang sesuai dengan potensi dan kondisi Desa di masing-masing

kecamatan. Sedangkan PAUD yang dibina oleh UPT SKB Klungkung Terdiri dari :

Paud Kelompok Bermain (KB), Satuan Paud Sejenis (SPS), Taman Penitipan Anak

(TPA)

Langkah-langkah Kegiatan Pelatihan

Pelatihan Pendidik PAUD dengan pendekatan kontekstual yang dilaksankan

di UPT SKB Klungkung mengikuti tahapan sebagai berikut.

1) Kegiatan Awal.

Kegiatan prelatihan selalu diawali dengan kegiatan doa bersama untuk memohon

keselamatan bersama dalam pelatihan. Selanjutnya dilakukan penggalian

pengetahuan atau keterampilan awal peserta dengan mengajukan berbagai

pertanyaan. Dalam hal ini tutor tidak membenarkan atau menyalahkan jawaban

atau keterampilan awalnya.

2) Kegiatan Inti

Kegiatan ini meliputi berbagai kegiataan yang dilakukan oleh peserta yang

difasilitasi oleh tutor. Pesertalah yang aktif bertanya, menjawab, mensimulasikan,

sebagai model, dan merangkum hasil pelatihan, sedangkan tutor berperan sebagai

fasilitator kegiatan (bukan menceramahi atau menggurui peserta). Kegiatan

tersebut meliputi:

Page 51: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

47

a. Penyajian materi pokok oleh narasumber melalui penayangan slide/power

point

b. Narasumberr mengajukan permasalahan yang kontekstual dengan tugas-tugas

Guru PAUD untuk didiskusikan dalam kelompok kecil (3-5 orang).

c. Setiap kelompok menyajikan hasil diskusi dan mensimulasikan hasil

diskusinya di depan kelas. Kelompok lainnya memberikan tanggapan atau

komentar. Kelompok lainnya diberi ksempatan yang sama untuk menyajikan

atau mensi,mulasikan hasil diskusinya. Tutor memandu kegiatan diskusi.

d. Diskusi kelas dilakukan setelah diskusi masing-masing kelompok selesai untuk

memantapkan pemahaman atau keterampilan peserta. Setelah diskusi

dilakukan, peserta diajak merayakan keberhasilan sambil bernyanyi bersama-

sama.

e. Assesment (penilaian) dilakukan selama proses pembelajaran.

3) Kegiatan Penutup

a. Peserta diajak melaksanakan refleksi terhadap apayang telah dipelajari.

b. Peserta merangkum hasil kegiatan.

c. Pada akhir sesi pembelajaran dilakukan doa bersama atas keberhasilan

menyelesaikan kegiatan dengan lancar.

Metode Penilaian (Assesment)

Kegiatan penilaian tujuannya untuk mendapatkan imformasi secara benar,

berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan dan

perkembagan anak didik. Penilaian dalam program ini menggunakan prinsip-prinsip

seperti; (1) Menyeluruh, penilaian mencakup aspek proses dan hasil

pengembangan yang secara bertahap mengambarkan perubahan prilaku; (2)

Berkesinambungan, penilaian dilakukan secara berencana, bertahapa dan terus

menerus untuk memproleh gabaran menyluruh terhadap hasil pelatihan;

(3) Obyektif, penilaian dilakukan seobyektif mungkin dengan memperhatikan

perbedaan dan keunikan perkembangan anak, dimana tidak selalu memberikan

penafsiran yang sama terhadap gejala yang sama; (4) Mendidik, hasil penilaian

digunakan untuk membina dan memberikan dorongan kepada anak didik dalam

meningkatkan kemampuannya sehingga anak dapat megembangkan „rasa berhasil“

nya; (5) Kebermaknaan, hasil penilaian harus bermakna, bagi guru,pamong

belajar, orang tua, anak didik dan pihak lain yang memerlukan.

Untuk melakukan penilaian dilakukan dengan beberapa cara, yakni; (a)

Penagamatan, yaitu suatu cara untuk megetahui perkembangan dan sikap anak

yang dilakukan dengan mengamati sikap anak yang dilakukan dengan wengamati

tingkah laku anak dalam kehidupan se hari-hari; (b) Pencatatan anekdot, yaitu

sekumpulan catatan tentang sikap dan prilaku anak dalam situai tertentu. Hal-hal

yang dicatat meliputi seluruh aktivitas anak yang bersifat positif dan negatif; dan (c)

Portofolio, yaitu penilaian berdasarkan kumpulan hasil kerja anak yang dapat

Page 52: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

48

menggambarkan sejauh mana keterampilan anak berkembang. Seluruh hasil

penilaian itu akan dilaporkan berupa “laporan perkembangan anak” dalam bentuk

deskripsi/uraian singkat tentang perkembangan anak yang telah dicapai pada setiap

pertemuan yang dilaporkan kepada orang tua secara berkalah.

Hasil Pelatihan

Berdasarkan hasil penilaian kegiatan pelatihan Guru PAUD yang

menggunakan pendekatan kontektual diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 1: Penilaian Proses untuk Peserta ( n = 40 orang)

No Aspek Frekuensi

Baik

Frekuensi

Cukup

Frekuensi

Kurang

1 Kemampuan membimbing 35 5 0

2 Kemampuan bekerjasama 38 2 0

3 Kemampuan memotivasi 35 5 0

4 Kemampuan menyampaikan

pendapat

31 9 0

5 Kemampuan bertanya 30 10 0

6 Penguasaan materi dan

keterampilan

34 6 0

Selama pelaksanaan pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontektual

dilakukan pengamatan secara teratur terhadap aktivitas pembelajaran peserta

pelatihan. Hasil dari pemantauan aktivitas kegiatan ditemukan data seperti pada

Tabel 3.1 di atas. Hasil memperlihatkan bahwa sebanyak 35 orang ( 35/40 x 100% =

88%) kemampuan membimbing peserta didik berkemampuan baik dan 5 orang (5/40

x 100% = 12%) berkemampuan cukup. Kemampuan bekerja sama peserta didik

sebanyak 38 orang (38/40 x 100% = 95%) berkemampuan baik dan 2 orang (2/40 x

100% = 5%) berkemampuan cukup. Kemampuan Memotivasi peserta didik 35

orang ( 35/40 x 100% = 88%) kemampuan baik dan 5 orang ( 5/40 x 100% = 12%)

berkemampuan cukup. Kemampuan menyampaikan pendapat sebanyak 31 orang

(31/40 x 100% = 78%) berkemampuan baik dan 9 orang (9/40 x 100% = 22%)

berkemampuan cukup. Kemampuan bertanya 30 orang ( 30/40 x 100% = 75%)

kemampuan baik dan 10 orang ( 10/40 x 100% = 25%) berkemampuan cukup.

Kemampuan menguasai materi dan keterampilan sebanyak 34 orang (34/40 x 100%

= 85%) berkemampuan baik dan 6 orang (6/40 x 100% = 15%) berkemampuan

cukup.

Deskripsi Respon Peserta Setelah Pelatihan

Setelah pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontektual yang

diselenggarakan di UPT SKB Klungkung, peserta pelatihan memberikan respon

sebagai berikut:

Page 53: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

49

Tabel. 2: Respon Peserta Terhadap Pelatihan dengan pendekatan kontekstual

No

Pertanyaan

Yang

menjawaban

Ya Tidak

1 Apakah anda senang dengan pelatihan ini ? 38 2

2 Apakah medel pelatihan membuat anda

lebih menguasai pembelajaran?

37 3

3 Apakah model pelatihan PTK PAUD

Berbasis Kontekstual ini perlu dilanjutkan?

40 -

Dengan penyebaran angket yang direspon oleh peserta pelatihan untuk

memberikan tanggapan terhadap pelatihan PAUD dengan pendekatan kontekstual

ini, maka pelatihan ini dikatakan berhasil baik. Hal ini bisa dililahat dari prosentase

jawaban peserta terhadap pertanyaan yang diberikan yang mengacu pada hasil

Selama pelaksanaan pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontektual dilakukan

pengamatan secara teratur terhadap aktivitas pembelajaran peserta pelatihan. Hasil

dari pemantauan aktivitas kegiatan ditemukan data seperti pada Tabel 3.1 dan Tabel

3.2 di atas. Hasil memperlihatkan bahwa sebanyak 38 orang ( 38/40 x 100% = 95%)

peserta menjawab (ya) dan 2 orang (2/40 x 100% = 5%) pesert didik menjawab

tidak, atas pertanyaan yang diajukan “Apakah anda senang dengan pelatihan ini?”

sedangkan peserta yang menjawab soal no. 2 sebanyak 37 orang (37/40 x 100% =

93%) menjawab Ya, 3 orang (3/40 x 100% = 8%) menjawab tidak atas pertanyaan

“Apakah medel pelatihan membuat anda lebih menguasai pembelajaran?” dan yang

paling mengejutkan adalah pertanyaan no.3.” Apakah model pelatihan Guru PAUD

dengan pendekatan Kontekstual ini perlu dilanjutkan?” peserta yang memberikan

jawaban (ya) sebanyak 40 orang (40/40 x 100% = 100%) yang menjawab tidak 0%.

Berdasarkan hasil angket inilah penulis berani mengatakan bahwa “ Pelatihan Guru

PAUD dengan pendekatan kontekstual di UPT SKB Klungkung”, dapat dikatakan

berhasil dengan baik dan selanjutnya bisa dijadikan contoh oleh penyelenggara

kursus lainnya.

Simpulan

Proses pelatilan Guru PAUD dengan pendekatan kontekstuan di UPT SKB

Klungkung dapat berjalan dengan baik dan lancer. Di samping itu, hasil pelatihan

Guru PAUD dengan pendekatan kontektual di UPT SKB klungkung baik. Hal ini

terbukti dari 35 orang mampu membimbing, 38 orang mampu bekerjasama, 35

orang mampu memotivasi, 31 orang mampu menyampaikan pendapat, 31 orang mau

bertanya jawab, dan 34 orang mampu menguasai materi dan keterampilan.

Respon dari peserta pelatihan Guru PAUD dengan pendekatan kontekstual

positif di mana sebagian besar atau 38 orang menyatakan senang mengikuti, 37

Page 54: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jurnal BPPNFI Regional VII Mataram

50

orang menyatakan mudah menguasai isi pelatihan, dan 40 orang (100%)

menyarankan untuk melanjutkan model ini untuk pelatihan di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, M. 1987. Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Menggunakan

Meode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Proyek P2LPTK Dikti.

Chaedar Alwasilah. 2009. Setrategi pendekatan kontekstual. Medicom.id

Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Acuan menu pembelajaran pada anak

dini usia (Menu pembelajaran generic.

Masitoh,dkk, 2008. Setrategi Pembelajaran TK. Jakarta: Universitas terbuka

Munandar S.C. Utami, 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak

Sekolah: Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua.Jakarta:

PT.Gramedia Widi Sarana Indonesia

Suastra I W, 2009. Pembelajaran Sain Terkini : Mendekatkan Siswa dengan

Lingkungan Alamiah dan Sosial Budayanya. Singaraja : Undiksha

Press

Sudrajat, Akhmad,2008. Pembelajaran Kontekstual. Wordpress.Com :

Depdiknas

Syaiful Imran. 2009. Tahapan pembelajaran Kontekstual,Medikom

Watson dan Katz, 1991.Menjawab Kebutuhan belajar masyarakat,Depdiknas

Wiranataputra, dkk: 2007.Belajar merupakan suatu proses yang kompleks,

Depdiknas

Page 55: KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT …pauddikmasntb.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2017/04/jurnal... · direktorat jenderal pendidikan anak usia dini nonformal dan informal

Jln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]

www.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi7Website

Jln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871Kode Pos 83116 Mataram, email:[email protected]/bppnfi7

“TERWUJUDNYA PUSAT INOVASI, PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PROGRAM PNFI BERBASIS KEUNGGULANKOMPERATIF DAN KEARIFAN LOKAL 2014"

V I S I