strategi kebijakan pendidikan nonformal dalam mereduksi pengangguran
DESCRIPTION
STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin, MM Fenomena Pengangguran Hingga kini bangsa Indonesia masih dililit persoalan pengangguran yang luar biasa. Menurut Laporan Biro Pusat Statistik (2010), 7,41% atau 8.595.600 orang dari angkatan kerja pada tahun 2010 (Februari) sebanyak 116.000.000 orang merupakan pengangguran terbuka. Menurut Edwards (dalam Sumarsono, 2009: 260), penganguran terbuka adalah mereka yang benarbenar tidak bekerja, baikTRANSCRIPT
STRATEGI KEBIJAKAN PENDIDIKAN NONFORMALDALAM MEREDUKSI PENGANGGURAN
Oleh: Dr. H. Moh. Alifuddin, MM
Fenomena Pengangguran
Hingga kini bangsa Indonesia masih dililit persoalan pengangguran yang
luar biasa. Menurut Laporan Biro Pusat Statistik (2010), 7,41% atau 8.595.600
orang dari angkatan kerja pada tahun 2010 (Februari) sebanyak 116.000.000
orang merupakan pengangguran terbuka. Menurut Edwards (dalam
Sumarsono, 2009: 260), penganguran terbuka adalah mereka yang benar-
benar tidak bekerja, baik secara sukarela maupun paksaan. Selain itu, dalam
waktu yang sama, juga terdapat pengangguran dengan kategori setengah
pengangguran sebanyak 32,8 juta orang. Kategori pengangguran jenis ini
adalah para pekerja yang jumlah jam kerjanya lebih sedikit dari yang
sebenarnya mereka inginkan (Edwards, dalam Sumarsono, 2009: 260).
Untuk tingkat pengangguran terbuka (TPT), selama periode 2008-2010,
rinciannya tampak pada tabel berikut:
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Periode 2008–2010
(persen)
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
2008 2009 2010
Februari Agustus Februari Agustus Februari
SD ke Bawah 4,70 4,57 4,51 3,78 3,71Sekolah Menengah Pertama
10,05 9,39 9,38 8,37 7,55
Sekolah Menengah Atas
13,69 14,31 12,36 14,50 11,90
Sekolah Menengah Kejuruan
14,80 17,26 15,69 14,59 13,81
Diploma I/II/III 16,35 11,21 15,38 13,66 15,71Universitas 14,25 12,59 12,94 13,08 14,24
Total 8,46 8,39 8,14 7,87 7,41
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah kembali (2010).Dari data pada tabel tersebut terlihat bahwa TPT mengalami gejolak
fluktuatif dari tahun ke tahun. Dalam hitungan semester, kondisi dapat berubah
secara ekstrim. Untuk pengangguran terbuka yang tamat Sekolah Menengah
Kejuruan misalnya, pada bulan Februari 2008 persentasenya 14,80% dan
enam bulan kemudian (Agustus) mengalami lonjakan drastis menjadi 17,26%.
Sebaliknya untuk penganggguran terbuka yang tamat Diploma I/II/III, pada
bulan Februari 2008 persentasenya 16,35% dan enam bulan kemudian
(Agustus) mengalami penurunan serius menjadi 11,21%, namun enam bulan
berikutnya (Februarti 2009) bergejolak naik lagi menjadi 15,38%. Fenomena ini
mengisyaratkan adanya tingkat turn over di dunia kerja yang sangat tinggi,
yang antara lain dapat disebabkan oleh keterampilan kerja tidak memadai, yang
mengakibatkan para pekerja gagal membangun kinerjanya sendiri dan juga
tidak mampu memberikan kontribusi positif pada kinerja organisanya (tempat
bekerja).
Pertanyaan kritis
Fenomena pengangguran yang disertai tingkat turn over yang tinggi
tersebut setidaknya menyodorkan satu pertanyaan kritis: mengapa angkatan
kerja kita tidak memiliki keterampilan yang memadai sehingga membuat
mereka menganggur atau mengalami turn over ketika sudah bekerja?
Teori
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya penting untuk disinggung
beberapa teori yang relevan dengan persoalan tersebut, antara lain teori
pengangguran, kebijakan pendidikan nonformal, dan strategi.
Pengangguran
Istilah pengangguran (umployed) dapat diartikan sebagai lawan kata
employed (bekerja). Namun, yang disebut pengangguran masih ada
persyaratan lain, yaitu ia harus aktif mencari pekerjaan, sehingga lebih layak
dikategorikan sebagai pencari kerja (Arfida, 2003: 134). Sedangkan menurut
Sumarsono (2009: 259), pengangguran adalah suatu keadaan di mana
seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak memiliki
pekerjaan dan secara aktif sedang mencari kerja.
Dilihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran dapat dibagi menjadi:
1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh suatu
hambatan yang menyebabkan proses bertemunya penawaran dan
permintaan tenaga kerja menjadi tidak lancar, atau pengangguran yang
timbul akibat dari perubahan di dalam syarat-syarat kerja, yang terjadi
seiring dengan dinamika atau perkembangan ekonomi yang terjadi.
2. Pengangguran struktural, yakni pengangguran yang terjadi sebagai akibat
adanya perubahan di dalam struktur pasar tenaga kerja yang menyebabkan
terjadinya ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan tenaga kerja.
3. Pengangguran alamiah, yaitu pengangguran yang terjadi pada kesempatan
kerja penuh atau tingkat pengangguran dimana inflasi yang diharapkan
sama dengan tingkat inflasi aktual.
4. Pengangguran konjungtur atau siklis, yakni pengangguran yang terjadi
akibat merosotnya kegiatan ekonomi atau karena terlampau kecilnya
permintaan efektif agregat di dalam perekonomian daripada penawaran
agregat (Arfida, 2003: 134-135; Sumarsono, 2009: 259-260).
Di negara sedang berkembang pada umumnya pengangguran yang
terjadi adalah:
1. Pengangguran terselubung (disguised unemployment), yang terjadi akibat di
dalam perekonomian adanya kelebihan tenaga kerja sehingga sering
disebut pengangguran tak ketara.
2. Pengangguran musiman (season unemployment), yaitu pengangguran yang
terjadi pada waktu-waktu tertentu pada satu tahun.
3. Setengah pengangguran (under unemployment), yaitu pengangguran yang
terjadi akibat kelebihan penduduk di sektor-sektor tertentu pada negara
sedang berkembang sehingga banyak penduduknya yang kurang mendapat
pekerjaan dan bekerja di waktu-waktu tertentu seperti harian, mingguan
atau musiman (Sumarsono (2009: 259). Menurut Hansen (dalam Arfida,
2003: 134), terdapat tiga penyebab terjadinya setengah pengangguran
yaitu: kurangnya jam kerja, rendahnya pendapatan, dan ketidakcocokan
antara pekerjaan dan keterampilan pekerjaan
Sedangkan Edwards (dalam Sumarsono, 2009: 260) membedakan jenis
pengangguran, khususnya di negara sedang berkembang, sebagai berikut:
1. Pengangguran terbuka (open unemployment), yaitu mereka yang benar-
benar tidak bekerja baik secara sukarela maupun paksaan.
2. Setengah pengangguran (underemployment), yaitu para pekerja yang
jumlah jam kerjanya lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan.
3. Mereka yang nampak aktif bekerja tetapi sebenarnya kurang produktif,
adalah mereka yang tergolong dalam pengangguran terselubung, namun
bekerja di bawah standar produktivitas optimal.
4. Mereka yang memang tidak mampu bekerja secara penuh karena cacat
atau sebagainya yang sebenarnya mereka ingin bekerja tetapi hasrat
terbentur pada kondisi tubuh yang tidak memungkinkan.
5. Mereka yang tidak produktif, yaitu mereka yang sesungguhnya memiliki
kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang produktif akan
tetapi mereka tidak memiliki sumber daya komplemen yang memadai untuk
menghasilkan output yang mereka miliki hanya tenaga, sehingga meskipun
mereka sudah bekerja keras hasilnya tetap saja tidak memadai.
Menurut Sumarsono (2009: 260), pengangguran dapat memberikan dua
dampak pokok. Pertama, dampak pengangguran terhadap perekonomian:
masyarakat tidak dapat memaksimalkan pendapatan nasional yang sebenarnya
dicapai lebih rendah dari pada pendapatan nasional potensial, pendapatan
pajak (tax revenue) pemerintah berkurang, dan tidak menggalakkan
pertumbuhan ekonomi. Kedua, dampak pengangguran terhadap individu dan
masyarakat: kehilangan mata pencaharian dan pendapatan, kehilangan
keterampilan, ketidakstabilan politik, dan timbulnya penyakit sosial di
masyarakat.
Persoalan pengangguran tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan
pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.
Pengangguran terjadi antara lain karena kegagalan sistem pendidikan formal
dalam memberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia
kerja. Di pihak lain, pengangguran juga mungkin terjadi karena kebijakan
pendidikan nonformal yang diagendakan untuk menyangga atau menutupi
kekurangan pendidikan formal tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, kiranya
penting untuk melihat sekilas tentang teori kebijakan dan kebijakan pendidikan
nonformal di Indonesia.
Kebijakan Pendidikan Nonformal (PNF)
Tentang kebijakan, Dunn (2000: 51-52) menjelaskan bahwa secara
etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani,
Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis
(negara kota) dan pur (kota) yang dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi
politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris policy, yang berarti
menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.
Bagi Mintzberg (dalam Scott & Davis, 2007: 319), kebijakan merujuk
pada: (a) rencana – cara bertindak yang sengaja ditetapkan; (b) permainan –
manuver yang dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain; (c) pola –
kumpulan tindakan yang konsisten, apakah bertujuan atau tidak; (d) posisi –
lokasi atau wadah yang menunjuk bidang tindakan; dan (e) perspektif – cara
memandang dunia.
Sedangkan menurut Schermerhorn, Hunt dan Osborn (2005: 390),
kebijakan merupakan pedoman bertindak yang menguraikan sasaran penting
dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan. Hal yang
hampir sama dikemukakan oleh Ansoff (dalam Rollinson, Edwards & Broadfield,
1998: 432-433) bahwa kebijakan dapat digambarkan sebagai pedoman
atau prinsip yang mengarahkan pembuatan keputusan masadepan jika dan
ketika unsur-unsur tertentu muncul. Selain itu kebijakan mungkin juga
menunjukkan standard tingkah laku yang dimaksudkan, yang akan
mengakibatkan orang-orang mengambil tindakan dengan cara tertentu;
misalnya beberapa bank menganut kebijakan untuk tidak melakukan investasi
pada proyek-proyek yang tidak tepat atau proyek yang melanggar secara
moral.
Selain itu, Lasswell dan Kaplan (dalam Mullins, 2005: 71) juga
memberikan definisi tentang kebijakan sebagai sesuatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah (a projected program of
goal, value and practices). Kemudian Anderson (dalam Winarno, 2002: 16)
menyatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai
maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam
mengatasi suatu masalah atau persoalan.
Dari batasan, pengertian atau definisi tersebut dapat disarikan bahwa
kebijakan merefleksikan pedoman bertindak yang menguraikan sasaran penting
dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan serta
menunjukkan standar tingkah laku yang mengakibatkan orang-orang
mengambil tindakan dengan cara tertentu.
Dalam konteks kehidupan bernegara, Easton (dalam Islamy, 2000: 19)
mengemukakan bahwa kebijakan negara atau pemerintah sebagai pengalokasi
nilai-nilai secara sah kepada seluruh warga masyarakat,“ The authoritative
allocation of values for the whole society”. Karena itu, kebijakan pemerintah
seyogyanya bersifat obyektif dan tersusun dengan baik. Publik mempunyai
kepentingan yang sangat besar atas dampak kebijakan yang secara langsung
maupun tidak langsung akan menyentuh masyarakat.
Terkait dengan hal itu, maka kebijakan hendaklah memperhatikan hal-
hal berikut: (1) memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian; (2) bersifat
konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling bertentangan dalam
sebuah organisasi; (3) harus sesuai dengan keadaan yang berkembang; (4)
harus membantu pencapaian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-fakta
yang obyektif; dan (5) harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal (Winardi,
1990: 120).
Dalam usaha memenuhi keinginan, harapan dan kebutuhan masyarakat,
Indonesia menerbitkan beberapa kebijakan tentang pendidikan nonformal,
antara lain:
1. UU Sistem Pendidikan Nasional
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang. Dalam UU Sisdiknas pasal 26 ayat (1)
ditegaskan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pada ayat selanjutnya dijelaskan
bahwa pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta
didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Ada beberapa macam pendidikan nonformal yang dapat
diselenggarakan. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 26 ayat (3) bahwa
pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan
kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
Pendidikan nonformal yang diselenggarakan dapat berupa lembaga
kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Khususnya untuk kursus dan pelatihan, diselenggarakan bagi masyarakat
yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan
sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha
mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan (Hamid, 2003: 13-143).
2. Permendiknas No. 49 tahun 2007
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 49
tahun 2007 mengatur tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan
Pendidikan Nonformal. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa tujuan
satuan pendidikan nonformal meliputi: (1) Menggambarkan pencapaian
tingkat mutu yang seharusnya dicapai dalam program pembelajaran; (2)
Mengacu pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional serta relevan
dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat; (3) Diputuskan oleh
pengelola dan/atau penyelenggara pendidikan nonformal dengan
memperhatikan masukan dari berbagai pihak; dan (4) Disosialisasikan
kepada segenap pihak yang berkepentingan (Hamid, 2003: 4).
Dengan merujuk pada tujuan tersebut, maka Permendiknas No. 49
tahun 2007 pada dasarnya memberikan pedoman bagi para penyelenggara
pendidikan nonformal tentang target-target yang yang harus dicapai oleh
pengelola pendidikan nonformal. Target-target yang akan dicapai harus
merujuk pada tujuan pendidikan nasional. Dalam proses
penyelenggaraannya pengelola diberikan otonomi yang cukup luas namun
harus tetap memperhatikan peraturan-peraturan terkait.
Dalam Permendiknas No. 49 tahun 2007 antara lain dibahas tentang
perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja, pengawasan dan
evaluasi, dan sistem informasi manajemen.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1991
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 tahun 1991 tentang
Pendidikan Luar Sekolah antara lain dijabarkan beberapa butir penting.
Pada bagian awal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan
luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik
dilembagakan maupun tidak. Ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh
pendidikan luar sekolah. Pertama, melayani warga belajar supaya dapat
tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna
meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. Kedua, membina warga
belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang
diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau
melanjutkan ke tingkat dan/atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga,
memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam
jalur pendidikan sekolah.
Dalam PP Nomor 73 tahun 1991 juga disebutkan bahwa ada lima
jenis pendidikan luar sekolah. Pertama, pendidikan umum, yaitu pendidikan
yang mengutamakan perluasan dan peningkatan keterampilan dan sikap
warga belajar dalam bidang tertentu. Kedua, pendidikan keagamaan,
merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran
agama yang bersangkutan. Ketiga, pendidikan jabatan kerja, yaitu
pendidikan yang berusaha meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan
sikap warga belajar untuk memenuhi persyaratan pekerjaan tertentu pada
satuan kerja yang bersangkutan. Keempat, pendidikan kedinasan, yakni
pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan
tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Departemen atau
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Kelima, pendidikan kejuruan,
adalah pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat bekerja
dalam bidang tertentu.
Persyaratan untuk menyelenggarakan pendidikan luar sekolah
ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.
Penyelenggara pendidikan luar sekolah dapat terdiri atas Pemerintah,
badan, kelompok atau perorangan yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan jenis pendidikan luar sekolah yang diselenggarakannya.
Masyarakat dapat menyelenggarakan semua jenis pendidikan luar sekolah
kecuali pendidikan kedinasan.
Pendidikan luar sekolah dapat berupa lembaga kursus. Kursus
diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bekal untuk
mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau melanjutkan ke
tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
4. Pokok-pokok Kebijakan Pendidikan Nonformal
Dalam Pokok-pokok Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nonformal
juga disebutkan bahwa kelembagaan kursus dan kursus para-profesi yang
berorientasi pada peningkatan kecakapan hidup (PKH) yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan masyarakat serta pelayanan yang semakin
meluas, adil dan merata, khususnya bagi penduduk miskin dan penganggur
terdidik, dapat bekerja dan/atau berusaha secara produktif, mandiri, dan
profesional (Suryadi, 2007: 9-11).
Sejalan dengan hal itu, maka pembangunan pendidikan non-formal
antara lain bertujuan agar: terwujud kelembagaan kursus dan pelaksanaan
kursus para profesi yang bermutu dan berorientasi kecakapan hidup (PKH),
khususnya bagi penduduk penganggur usia produktif untuk dapat bekerja
dan atau berusaha secara produktif, mandiri, dan profesional (Suryadi,
2007: 11-12).
Dalam kebijakan ini ditegaskan bahwa penyelenggaraan kursus
diorientasikan pada upaya peningkatan kecakapan hidup yang bermutu dan
relevan dengan kebutuhan masyarakat.
5. Renstra
Dalam Renstra Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah 2005-
2009 antara lain dinyatakan bahwa program kursus dan pendidikan
kecakapan hidup (PKH); target yang harus dicapai adalah membelajarkan
penduduk dewasa yang menganggur, miskin, dan/atau tidak terampil
sebanyak 1,5 juta orang (Suryadi, 2007: 15-19).
Setiap kebijakan memiliki misi, tujuan dan sasaran strategis, sehingga
dalam formulasi dan implementasi juga harus dilakukan secara strategis pula.
Strategi
Terkait dengan strategi, dalam buku The Big Book Of Business
Quotations sebagaimana dikutip Barney dan Hesterly (2008: 4) dinyatakan
bahwa strategi adalah “theory about how to gain competitive advantage.” Ini
berarti bahwa strategi adalah teori tentang bagaimana memperoleh keunggulan
kompetitif atau bersaing.
Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Demsetz (dalam
Barney & Hesterly, 2008: 5) bahwa: “strategy is theory of how to achieve high
levels of performance in the markets and industries within which it is operating.”
Definisi ini berarti bahwa strategi adalah teori bagaimana mencapai kinerja
tingkat tinggi di pasar dan industri dimana perusahaan tersebut beroperasi di
dalamnya.
Sedangkan Johnson dan Scholes (dalam John dan Allen, 2001: 176)
mengemukakan bahwa strategi adalah arah dan lingkup dari sebuah organisasi
yang berlangsung jangka panjang; secara ideal sumber-sumber yang
digunakan cocok dengan perubahan lingkungan. Sementara itu, Quinn (dalam
Grant, 2005: 21) menyatakan bahwa strategi adalah pola atau perencanaan
yang mengintegrasikan tujuan, kebijakan dan urutan tindakan utama organisasi
menjadi satu kesatuan secara terpadu.
Porter (dalam Rangkuti, 2005: 3-4) menjelaskan bahwa strategi
merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing.
Kemudian bagi Hamel dan Prahalad, strategi merupakan tindakan yang bersifat
incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus dan dilakukan
berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan pelanggan di masa
depan.
Formulasi strategi yang baik membantu pimpinan dan mengalokasikan
sumber daya organisasi yang unik dan sehat berdasarkan atas kompetensi
relatif dan kekurangan-kekurangan internal, mengantisipasi perubahan
lingkungan, dan pergerakan yang tidak menentu oleh kecerdikan lawan.
Suatu organisasi dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi
ancaman eksternal dan merebut peluang yang ada. Proses analisa,
perumusan, dan evaluasi strategi-strategi itu disebut perencanaan strategis.
Tujuan utama perencanaan strategis adalah agar organisasi dapat melihat
secara obyektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga dapat
mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Dalam hal ini dapat dibedakan
secara jelas, fungsi manajemen, konsumen, dan pesaing. Jadi perencanaan
strategis penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan memiliki
produk/jasa yang sesuai dengan keinginan konsumen dengan dukungan yang
optimal dari sumber daya yang ada (Rangkuti, 2005:2-3).
Berdasarkan uraian tentang strategi di atas terlihat bahwa tujuan akhir
dari perumusan dan implementasi strategi yang dilakukan oleh organisasi
adalah untuk memperoleh kemenangan di kancah persaingan melalui upaya-
upaya yang dapat mendorong tercapainya tingkat kinerja yang optimum.
Analisis: Urgensi Kebijakan yang Futuristik
Pengangguran yang terjadi di Indonesia jelas merefleksikan
ketidakmampuan sistem pendidikan formal dalam menyiapkan tenaga kerja
yang siap karya (kerja) atau sesuai dengan kebutuan aktual (kontemporer)
dunia kerja. Kesiapkaryaan tersebut terkait erat dengan penguasaan atas
pengetahuan dan keterampilan oleh tenaga kerja sebagai alumni lembaga
pendidikan formal. Fakta membuktikan bahwa kenyataannya banyak tenaga
kerja yang nota benne alumni lembaga pendidikan formal dari berbagai jenjang
tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan sesuai yang dipersyaratkan oleh
dunia kerja.
Fakta tersebut ditangkap secara sempurna oleh Pemerintah sebagai
penyelenggara negara yang bertanggung jawab atas pelayanan publik,
sehingga kemudian muncul kebijakan mengenai pendidikan nonformal dalam
berbagai level, dari UU, PP, Permen, sampai Renstra. Pendidikan nonformal
sudah diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tetapi belum
didukung oleh Peraturan Pemerintah (PP) yang relevan sebagai bentuk
operasionalisasinya. Amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas yang menyatakan
bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” hingga kini belum diakomodir oleh
Pemerintah. Ketentuan-ketentuan mengenai pendidikan nonformal justru
muncul pada tingkat peraturan perundangan-undangan di bawah PP, yakni
Permendiknas No. 49 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
oleh Satuan Pendidikan Nonformal. Dalam Permendiknas ini penyelenggaraan
pendidikan nonformal diatur secara panjang lebar.
Di pihak lain, dalam PP Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Sekolah antara lain disebutkan bahwa pendidikan luar sekolah dapat berupa
lembaga kursus. Kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan
bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau
melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sejalan
dengan itu, kebijakan mengenai pendidikan nonformal muncul dalam Renstra
Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah 2005-2009 yang antara lain
menyinggung soal program kursus dan pendidikan kecakapan hidup (PKH),
yang merupakan area pendidikan nonformal.
Mencermati beberapa produk perundang-undangan tentang pendidikan
nonformal tersebut tampak bahwa Pemerintah belum atau kurang menunjukkan
keseriusannya terhadap pendidikan nonformal, setidaknya bila dilihat dari
keengganannya memenuhi amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas yang
menyatakan bahwa “Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan
nonformal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.” Setelah lebih dari
enam tahun diundangkan, amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas belum juga
dipenuhi oleh pemerintah. Dalam waktu yang sama, Pemerintah lebih suka
membiarkan pendidikan nonformal diatur secara overlaping dalam PP dan
Renstra tentang Pendidikan Luar Sekolah yang tidak merujuk pada UU
Sisdiknas yang baru (UU No. 20/2003). Hal ini, sekali lagi, menunjukkan
kekuranggseriusan Pemerintrah dalam menuntaskan persoalan kebijakan
pendidikan nonformal.
Kondisi tersebut mencerminkan kekurangcermatan strategi Pemerintah
dalam mengeluarkan kebijakan tentang pendidikan nonformal, terutama apabila
strategi dimaknai sebagai pola yang mengintegrasikan tujuan, kebijakan dan
urutan tindakan utama organisasi menjadi satu kesatuan secara terpadu, atau
alat untuk mencapai keunggulan bersaing. Seharusnya, sebelum mengeluarkan
Permen tentang Pendidikan Nonformal, terlebih dahulu menerbitkan PP,
sehingga hirarki peraturan perundang-undangan tentang pendidikan nonformal
terjamin dan menjadi lebih jelas. Dengan kejelasan ini, implementasi kebijakan
pendidikan nonformal juga akan menjadi lebih mudah dan aplikatif, dalam arti
tidak membingungkan para penyelenggara pendidikan nonformal.
Lebih dari itu, dalam PP tentang Pendidikan Nonformal juga
dimungkinkan lahirnya pasal-pasal yang memuat kebijakan-kebijakan
pendidikan nonformal yang futuristik, yaitu kebijakan yang dapat mengantisipasi
kebutuhan tenaga kerja di masa depan. Tidak seperti sekarang, kebanyakan
penyelenggara pendidikan nonformal berorientasi pada masa lalu, dengan
membuka bidang kekhususan yang sudah jenuh, sehingga tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan aktual/kontemporer.
Kebijakan pendidikan nonformal yang futuristik jelas memerlukan usaha
yang tidak mudah, karena bukan sekedar bicara soal trend pekerjaan, tetapi
lebih dari itu bicara soal proyeksi pekerjaan di masa depan. Ini jelas
memerlukan riset dan kajian secara mendalam. Pekerjaan ini merupakan
proyek besar yang kurang/tidak mungkin dilakukan oleh penyelenggara
pendidikan nonformal, sehingga lebih layak dilakukan oleh Pemerintah.
Kalau kebijakan pendidikan nonformal yang futuristik dapat diupayakan
dan implementasinya ditunjang pula oleh Pemerintah tampaknya usaha
lembaga pendidikan nonformal menciptakan tenaga kerja plus (pengetahuan
dan keterampilan khusus) tidak akan muspra, karena sesuai dengan kebutuhan
peradaban dunia kerja masa depan. Ini berarti juga bahwa angka
pengangguran di masa depan direduksi.
Rekomendasi
Sejalan dengan itu, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
sebagai rekomendasi. Pertama, Pemerintah segera mengeluarkan PP tentang
Pendidikan Nonformal sebagai amanat pasal 6 ayat (7) UU Sisdiknas. Kedua,
dalam PP tersebut antara lain dimasukkan diktum mengenai kebijakan
pendidikan nonformal yang futuristik, yaitu kebijakan yang dapat mengantisipasi
kebutuhan tenaga kerja dengan keterampilan khusus sesuai spesifikasi
kebutuhan dunia kerja di masa depan, dimana Pemerintah sebagai penyokong
utama dan fasilitator bagi implementasi kebijakan ini. Ketiga, Pemerintah
merevisi atau mencabut PP yang tidak sehaluan, overlaping atau apalagi
bertentangan dengan PP tentang Pendidikan Nonformal.
Referensi
Arfida BR., Ekonomi Sumber Daya Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Barney, Jay B. and William S. Hesterly, Strategic Management and Competitive Advantage: Concepts and Cases, New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2008.
Dunn, N. William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra Wibawa dkk, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Grant, Robert M, Contemporary Strategy Analysis, Malden, MA: Blackwell Publishing, 2005.
Hamid, Dedi. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Asokadikta, 2003.
Islamy, M. Irfan. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
John, Robin and Michael Allen, Global Business Strategy, London: Thomson, 2001.
Mullins, Laurie J. Management and Organisational Behaviour, Essex: Prentice Hall, 2005.
Muslikh, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2007 tentang Standar pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Nonformal, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2007.
Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2005
Rollinson, Derek, David Edwards, & Aysen Broadfield, Organisational Behavior and Analysis, Essex: Pearson Edu. Limited, 1998.
Schermerhorn, John R., Jr., James G. Hunt and Richard N. Osborn, Organizational Behavior, Danvers: John Wiley & Sons., Inc., 2005.
Scott, Richard W. & Gerald F. Davis, Organizations and Organizing, New Jersey: Pearson Education, 2007.
Sumarsono, Sonny. Teori Kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia, yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Suryadi, Ace. Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nonformal Tahun 2007.
Winardi, J. Perilaku Organisasi, Bandung: Tarsito, 1990.
Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.