kelainan sistemik pada mata

59
KELAINAN SISTEMIK PADA MATA REFERAT Oleh: Harvir Singh Sidhu 1301-1214-2011 BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN-UNIVERSITAS PADJADJARAN

Upload: veersidhu

Post on 26-Jan-2016

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Kelainan Sistemik Pada Mata

TRANSCRIPT

Page 1: Kelainan Sistemik Pada Mata

KELAINAN SISTEMIK PADA MATA

REFERAT

Oleh:

Harvir Singh Sidhu

1301-1214-2011

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN-UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT MATA CICENDO

BANDUNG

2015

Page 2: Kelainan Sistemik Pada Mata

BAB I

Mata

1.1 Anatomi, Refleks Cahaya & Fisiologi Neurovisual

1.1.1 Anatomi bola mata

Yang termasuk media refraksi antara lain kornea, pupil, lensa, dan

vitreous. Media refraksi targetnya di retina sentral (macula). Gangguan media

refraksi menyebabkan visus turun (baik mendadak aupun perlahan).

Bagian berpigmen pada mata: uvea bagian iris, warna yang tampak

tergantung pada pigmen di lapisan anterior iris (banyak pigmen = coklat, sedikit

pigmen = biru, tidak ada pigmen = merah / pada albino).

1

Page 3: Kelainan Sistemik Pada Mata

1.1.2 Anatomi orbita

Orbita tersusun atas enam tulang tengkorak:

a) Os frontalis (fossa orbitalis) di superior.

b) Os sphenoidalis di posterior.

c) Os ethmoidalis di posterior.

d) Os lacrimalis di medial.

e) Os maxillaris (fossa orbitalis) di inferomedial.

f) Os zygomaticus di inferior.

1.1.3 Fisiologi

Stimulus cahaya diterima oleh N.opticus (N.II) ipsilateral dari pupil.

Selanjutnya sinyal tersebut diteruskan ke chiasma optic dan terjadi persilangan

sebagian serabut N.opticus dari kedua sisi. ke nucleus geniculatum medial,

colliculus superior, dan akhirnya ke nuclei Edinger-Westphal yang bersinaps

langsung dengan N.oculomotorius (N.III). Serabut ini bersifat parasimpatis dan

berhubungan langsung dengan ganglion siliaris; yang memberi efek parasimpatis

pada mata berupa konstriksi pupil.

2

Page 4: Kelainan Sistemik Pada Mata

BAB II

Kelainan Sistemik pada Mata

2.1 Kelainan Endokrin

2.1.1 Penyakit Graves

Penyakit Graves adalah gangguan sistem kekebalan tubuh yang

mengakibatkan kelebihan produksi hormon tiroid (hipertiroidisme). Jika sejumlah

gangguan dapat mengakibatkan hipertiroidisme, maka penyakit Graves adalah

penyebab hipertiroidisme yang paling umum.

Karena hormon tiroid memengaruhi sejumlah sistem tubuh yang berbeda,

tanda dan gejala yang berhubungan dengan penyakit Graves bisa sangat luas dan

berpengaruh signifikan terhadap keseluruhan kondisi tubuh anda.

Penyakit Graves jarang mengancam jiwa. Meskipun penyakit ini dapat

menyerang siapa saja, penyakit Graves lebih sering terjadi pada perempuan dan

orang-orang yang berusia di bawah 40 tahun. Tujuan pengobatan difokuskan

untuk menghambat produksi hormon tiroid dan mengurangi tingkat keparahan

gejala.

2.1.1.1 Gejala

Tanda-tanda umum dan gejala penyakit Graves meliputi:

Kecemasan

Iritabilitas

Sulit tidur

3

Page 5: Kelainan Sistemik Pada Mata

Kelelahan

Detak jantung yang cepat atau tidak teratur

Tremor (yang cenderung halus) pada tangan atau jari

Peningkatan keringat atau kulit lembab dan hangat

Sensitivitas terhadap panas

Kehilangan berat badan, meskipun kebiasaan makan tetap normal

Pembesaran kelenjar tiroid (gondok)

Perubahan dalam siklus menstruasi

Disfungsi ereksi atau libido menjadi berkurang

Sering buang air besar atau diare

Mata melotot (ophthalmopathy Graves )

Kulit yang tebal dan merah biasanya pada tulang kering atau bagian atas

kaki (dermopathy Graves)

2.1.1.2 Penyebab & Faktor Risiko

Penyakit Graves disebabkan oleh terjadi disfungsi pada sistem kekebalan

tubuh yang bertugas melawan penyakit. Salah satu respon sistem kekebalan tubuh

yang normal adalah produksi antibodi yang dirancang untuk melawan virus,

bakteri tertentu atau zat asing lainnya. Pada penyakit Graves - untuk alasan yang

tidak dipahami dengan baik - tubuh menghasilkan antibodi untuk melawan protein

tertentu pada permukaan sel-sel dalam tiroid, yakni kelenjar hormon yang

diproduksi di bagian leher.

Biasanya, fungsi tiroid diatur oleh hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar

kecil di dasar otak (kelenjar pituitari). Antibodi yang terkait dengan penyakit

4

Page 6: Kelainan Sistemik Pada Mata

Graves – yakni antibody thyrotropin reseptor (Trab) - pada dasarnya dapat meniru

tindakan hormon pituitari. Oleh karena itu, Trab mengesampingkan regulasi

normal dari tiroid dan menghasilkan kelebihan hormon tiroid (hipertiroidisme).

Hasil dari hipertiroidisme

Hormon tiroid mempengaruhi sejumlah fungsi tubuh, termasuk:

Metabolisme, proses pengolahan nutrisi untuk memproduksi energi bagi

sel-sel tubuh

Jantung dan fungsi sistem saraf

Suhu tubuh

Kekuatan otot

Siklus menstruasi Akibatnya, dampak dari penyakit Graves 'mungkin

meluas dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.

Penyebab Ophthalmopathy Graves

Penyebab pasti dari ophthalmopathy Graves juga tidak dipahami dengan

baik. Namun, nampaknya antibodi yang sama yang dapat menyebabkan disfungsi

tiroid mungkin juga memiliki "daya tarik" untuk merusak jaringan sekitar mata.

Aktifitas antibodi ini memicu peradangan serta aktivitas sistem kekebalan tubuh

lainnya yang menghasilkan tanda-tanda dan gejala ophthalmopathy Graves.

Ophthalmopathy Graves sering muncul pada saat yang bersamaan dengan

hipertiroid, atau bisa juga muncul beberapa bulan kemudian. Akan tetapi tanda-

tanda dan gejala ophthalmopathy dapat muncul beberapa tahun sebelumnya atau

tepat sebelum terjadinya hipertiroidisme. Ophthalmopathy Graves juga dapat

muncul tanpa adanya (tanpa disertai) hipertiroidisme.

5

Page 7: Kelainan Sistemik Pada Mata

Faktor Risiko

Meskipun setiap orang dapat mengembangkan penyakit Graves, sejumlah faktor

dapat meningkatkan risiko penyakitini. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain:

Sejarah keluarga. Karena riwayat keluarga penyakit Graves merupakan

faktor risiko yang diketahui, terdapat kemungkinan adanya satu gen atau

sekelompok gen yang dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap

gangguan tersebut.

Gender. Perempuan lebih mungkin mengembangkan penyakit Graves

dibandingkan pria.

Usia. Penyakit Graves biasanya berkembang pada orang yang berusia

lebih muda dari 40 tahun.

Gangguan autoimun lain. Orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh

lainnya, seperti diabetes tipe 1 atau rheumatoid arthritis, memiliki

peningkatan risiko.

Stres emosional atau fisik. Peristiwa kehidupan yang penuh stres atau

penyakit dapat menjadi pemicu timbulnya penyakit Graves pada orang-

orang yang rentan secara genetik.

Kehamilan. Kehamilan atau persalinan yang baru terjadi dapat

meningkatkan risiko gangguan, khususnya di kalangan wanita yang rentan

secara genetik.

Merokok. Merokok, selain dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh,

juga meningkatkan risiko penyakit Graves. Tingkat risiko ini terkait

dengan jumlah rokok yang dihisap setiap hari - semakin besar jumlahnya,

6

Page 8: Kelainan Sistemik Pada Mata

semakin besar pula risikonya. Perokok yang memiliki penyakit Graves

juga memiliki peningkatan risiko penyakit Graves ophthalmopathy.

2.1.1.3 Komplikasi

Komplikasi dari penyakit Graves dapat berupa:

Komplikasi Kehamilan. Kemungkinan komplikasi dari penyakit Graves

selama kehamilan di antaranya kelahiran prematur, disfungsi tiroid janin,

pertumbuhan janin yang lemah dan preeklamsia. Preeklamsia adalah suatu

kondisi ibu yang mengakibatkan tekanan darah tinggi dan kenaikan jumlah

protein dalam urin.

Gangguan hati. Jika tidak diobati, penyakit Graves dapat menyebabkan

gangguan detak jantung, perubahan struktur serta fungsi otot-otot jantung,

dan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang mencukupi

bagi tubuh (gagal jantung kongestif).

Badai Thyroid. Sebuah komplikasi yang jarang terjadi, tetapi mengancam

jiwa adalah penyakit Graves badai tiroid, juga dikenal sebagai

hipertiroidisme akselerasi atau krisis tirotoksik. Penyakit ini lebih

mungkin terjadi ketika hipertiroidisme yang parah tidak diobati atau tidak

mendapatkan pengobatan yang memadai. Kenaikan hormone tiroid secara

tiba-tiba dan drastis dapat menghasilkan sejumlah efek, termasuk

demam,banyak berkeringat, kebingungan, delirium, kelemahan yang

parah, tremor, detak jantung tidak teratur, tekanan darah rendah yang

parah, hingga koma. Penyakit badai tiroid memerlukan perawatan darurat.

7

Page 9: Kelainan Sistemik Pada Mata

Tulang rapuh. Hipertiroidisme yang tidak diobati dapat menyebabkan

tulang yang lemah dan rapuh (osteoporosis). Kekuatan tulang anda

(sebagiannya) tergantung pada jumlah kalsium dan mineral lain yang

dikandungnya. Terlalu banyak hormon tiroid dapat mengganggu

kemampuan tubuh untuk memasukkan kalsium ke dalam tulang anda.

2.1.1.4 Pengobatan dan Manajemen

Tujuan pengobatan untuk penyakit Graves adalah untuk menghambat

produksi hormon tiroid dan untuk memblokir efek dari hormon ini pada tubuh.

Beberapa pengobatan yang dapat dilakukan adalah:

Terapi Radioaktif Yodium

Pada proses terapi ini, anda mengonsumsi yodium radioaktif, atau

radioiodine, melalui mulut. Karena tiroid memerlukan yodium untuk

menghasilkan hormon, maka diperlukan radioiod, yang berfungsi untuk merusak

sel-sel tiroid yang terlalu aktif. Hal ini menyebabkan kelenjar tiroid anda

menyusut, dan masalah anda akan berkurang secara bertahap, biasanya selama

beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Terapi radioiodine dapat meningkatkan risiko gejala baru atau gejala yang

memburuk dari ophthalmopathy Graves. Efek samping ini biasanya cenderung

ringan dan bersifat sementara, tetapi terapi ini mungkin tidak dianjurkan jika anda

memiliki masalah mata yang parah.

Efek samping lain mungkin termasuk nyeri di leher dan peningkatan

hormon tiroid sementara waktu. Pria mungkin mengalami penurunan sementara

kadar testosteron. Terapi radioiodine tidak digunakan untuk mengobati wanita

8

Page 10: Kelainan Sistemik Pada Mata

hamil atau menyusui. Radioiod yang tidak masuk ke dalam kelenjar tiroid akan

diekskresikan dalam urin dan air liur anda. Karena pengobatan ini menyebabkan

aktivitas tiroid menjadi menurun, anda mungkin akan memerlukan pengobatan

kemudian untuk memasok tubuh anda dengan jumlah normal hormon tiroid.

Obat anti-tiroid

Obat anti-tiroid obat bekerja dengan memengaruhi penggunaan yodium

oleh tiroid untuk menghasilkan hormon. Obat resep anti-tiroid meliputi

propylthiouracil dan methimazole (Tapazole). Ketika kedua obat tersebut

digunakan secara tersendiri (tidak dikombinasikan), maka kekambuhan

hipertiroidisme dapat terjadi di lain waktu. Menggunakan obat ini selama lebih

dari satu tahun dapat menghasilkan penyembuhan jangka panjang yang lebih baik.

Obat anti-tiroid juga dapat digunakan sebelum atau setelah terapi radioiodine

sebagai pengobatan tambahan.

Efek samping dari kedua obat ini diantaranya ruam, nyeri sendi, kegagalan

hati atau penurunan sel darah putih yang berfungsi melawan penyakit.

Methimazole tidak digunakan untuk mengobati wanita hamil karena terdapat

risiko cacat lahir pada bayi. Oleh karena itu, propylthiouracil adalah obat anti-

tiroid yang lebih cocok digunakan oleh wanita hamil.

Beta blockers

Obat-obat ini tidak menghambat produksi hormon tiroid, tetapi mereka

memblokir efek dari hormon pada tubuh. Mereka dapat memberikan bantuan yang

cukup cepat terhadap masalah denyut jantung yang tidak teratur, tremor,

9

Page 11: Kelainan Sistemik Pada Mata

kecemasan atau lekas marah, intoleransi panas, berkeringat, diare dan kelemahan

otot.

Beta blockers di antaranya:

Propranolol (Inderal)

Atenolol (Tenormin)

Metoprolol

Nadolol (Corgard)

Beta blockers tidak diresepkan untuk penderita asma, karena obat tersebut

dapat memicu serangan asma. Obat ini juga dapat mempersulit perawatan

diabetes. Penghentian obat secara tiba-tiba dapat menyebabkan masalah jantung

yang serius.

Operasi

Jika terapi lain tidak dapat dilaksanakan atau belum efektif, anda mungkin

memerlukan pembedahan untuk mengangkat tiroid anda (tiroidektomi). Setelah

operasi, anda mungkin akan membutuhkan pengobatan untuk memasok tubuh

anda dengan jumlah normal dari hormon tiroid.

Risiko operasi di antaranya potensi kerusakan pita suara dan kerusakan

kelenjar paratiroid, yakni kelenjar kecil yang letaknya berdekatan dengan kelenjar

tiroid. Kelenjar paratiroid menghasilkan hormon yang mengontrol tingkat kalsium

dalam darah. Komplikasi operasi jarang terjadi jika ditangani oleh seorang ahli

bedah berpengalaman dalam operasi tiroid.

Mengobati ophthalmopathy Graves

10

Page 12: Kelainan Sistemik Pada Mata

Gejala ringan ophthalmopathy Graves dapat diatasi dengan menggunakan obat air

mata buatan yang digunakan pada siang hari, dan gel pelumas pada malam hari.

Langkah ini dapat membuat mata anda merasa lebih baik jika anda

memiliki ophthalmopathy Graves.

Terapkan kompres dingin pada mata anda. Penambahan zat pelembab

dapat menenangkan mata anda.

Pakailah kacamata hitam. Ketika mata anda menonjol, mereka lebih rentan

terhadap sinar ultraviolet dan lebih sensitif terhadap cahaya terang.

Mengenakan kacamata hitam yang juga membungkus sekitar sisi kepala

anda akan mengurangi iritasi mata.

Gunakan obat tetes mata (pelumas). Obat tetes mata dapat meredakan

sensasi kering dan gatal pada permukaan mata anda. Sebuah gel berbasis

parafin seperti Lacri-Lube, dapat diterapkan pada malam hari.

Tinggikan bagian kepala tempat tidur anda. Menjaga kepala anda lebih

tinggi dari bagian tubuh lain dpat mengurangi akumulasi cairan di kepala

dan dapat meringankan tekanan pada mata anda.

11

Page 13: Kelainan Sistemik Pada Mata

2.1.2 Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika

pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau

dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon

kerja insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang berfungsi untuk

meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah atau

hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali

mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada

sel saraf dan pembuluh darah.

2.1.2.1 Jenis-jenis DM

a. Diabetes Melitus Tipe I

DM tipe I merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses autoimun

yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel beta pankreas. Keadaan ini akan

mengakibatkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang dibutuhkan tubuh

untuk meregulasi kadar gula darah. Defisiensi insulin yang terjadi akan

mengakibatkan peningkatan kadar gula dalam darah atau hiperglikemia.

Hiperglikemia yang terjadi ditandai dengan terdapatnya sejumlah glukosa dalam

urin (glukosuria). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk

menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar.

12

Page 14: Kelainan Sistemik Pada Mata

Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini

akan disertai pengeluaran sejumlah cairan dan elektrolit (diuresis osmotik).

Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien DM tipe I akan

mengalami peningkatan frekuensi berkemih (poliuria) dan timbul rasa haus yang

cukup sering (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolisme

protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Penurunan berat

badan ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah simpanan kalori sehingga

akan menambah selera makan (polifagia).

b. Diabetes Tipe II

DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon

kerja insulin secara efektif. Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu,

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan

mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah

insulin yang disekresikan. Pada pasien DM, keadaan ini terjadi karena sekresi

insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah akan dipertahankan pada

tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak

mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa

akan meningkat.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM

tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk

mencegah pemecahan lemak dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolik

tidak terjadi pada DM tipe II.

13

Page 15: Kelainan Sistemik Pada Mata

c. Diabetes Gestasional

DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia.

Faktor resiko DM gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria.

DM tipe ini dijumpai pada 2 – 5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan

kembali normal setelah melahirkan, namun resiko ibu untuk mendapatkan DM

tipe II di kemudian hari cukup besar.

d. Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya

DM tipe ini sering juga disebut dengan istilah diabetes sekunder, di mana

keadaan ini timbul sebagai akibat adanya penyakit lain yang mengganggu

produksi insulin dan mempengaruhi kerja insulin. Penyebab diabetes semacam ini

antara lain : radang pada pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis,

penggunaan hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat antihipertensi atau

antikolesterol, malnutrisi, dan infeksi.

2.1.2.2 Gejala-gejala DM

a. Gejala Akut DM

Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah

ini adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya

variasi gejala lain, antara lain :

- Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia,

polidipsia, poliuria dan peningkatan berat badan.

14

Page 16: Kelainan Sistemik Pada Mata

- Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala

yang disebabkan oleh kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia

dan poliuria dengan beberapa keluhan lainnya seperti nafsu

makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih, penurunan

berat badan yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan

jika tidak segera diatasi akan mengakibatkan koma yang disebut

dengan istilah koma diabetes. Koma diabetes adalah koma pada

pasien DM akibat kadar gula darah yang melebihi 600 mg/dl.

b. Gejala Kronik DM

Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru

akan menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM.

Gejala kronik yang sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah,

mudah mengantuk, mata mengabur, gigi mudah patah, kemampuan seksual

menurun, dan lain-lain.

2.1.2.3 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetaes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang akan diderita

seumur hidup, sehingga progesifitas penyakit ini akan terus berjalan dan pada

suatu saat akan menimbulkan komplikasi. Penyakit DM biasanya berjalan lambat

dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan

kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.

a. Komplikasi Akut DM

15

Page 17: Kelainan Sistemik Pada Mata

Ada tiga komplikasi akut DM yang penting dan berhubungan dengan gangguan

keseimbangan kadar gula darah jangka pendek.

Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi jika kadar gula darah turun hingga 60 mg/dl. Keluhan dan

gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung sejauh mana glukosa darah turun.

Keluhan pada hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu

keluhan akibat otak tidak mendapat kalori yang cukup sehingga

mengganggu fungsi intelektual dan keluhan akibat efek samping hormon lain

yang berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah.

Ketoasidosis Diabetes

Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi

dan kadar insulin yang rendah, maka tubuh tidak dapat menggunakan

glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak

sebagai sumber energi alternatif. Pemecahan lemak tersebut kemudian

menghasilkan badan-badan keton dalam darah atau disebut dengan ketosis.

Ketosis inilah yang menyebakan derajat keasaman darah menurun atau disebut

dengan istilah asidosis. Kedua hal ini lantas disebut dengan istilah ketoasidosis.

Adapun gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien ketoasidosis

diabetes adalah kadar gula darah > 240 mg/dl, terdapat keton pada urin, dehidrasi

karena terlalu sering berkemih, mual, muntah, sakit perut, sesak napas, napas

berbau aseton, dan kesadaran menurun hingga koma.

Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)

Sindrom HHNK merupakan keadaan yang didominasi oleh

hiperosmolaritas dan hiperglikemia serta diikuti oleh perubahan tingkat kesadaran.

16

Page 18: Kelainan Sistemik Pada Mata

Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif.

Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi

kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik,

cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya

glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaaan hipernatremia dan peningkatan

osmolaritas. Salah satu perbedaan utama antar HHNK dan ketoasidosis diabetes

adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada HHNK. Perbedaan jumlah

insulin yang terdapat pada masing-masing keadaan ini dianggap penyebab parsial

perbedaan di atas.

Gambaran klinis sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi, dehidrasi berat,

takikardi, dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi.

b. Komplikasi Kronis DM

Komplikasi Makrovaskular

Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada pasien

DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit

pembuluh darah perifer. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien DM tipe

II yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, dan atau kegemukan.

Komplikasi ini timbul akibat aterosklerosis dan tersumbatnya pembuluh-

pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.

Komplikasi makrovaskular atau makroangiopati tidak spesifik pada diabetes,

namun pada DM timbul lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi

epidemiologi menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular

dan diabetes meningkat 4 -5 kali dibandingkan pada orang normal. Komplikasi

17

Page 19: Kelainan Sistemik Pada Mata

makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula

darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa angka kematian

akibat hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular,

di mana peninggian kadar insulin menyebabkan resiko kardiovaskular semakin

tinggi pula. Kadar insulin puasa > 15 mU/ml akan meningkatkan resiko mortalitas

kardiovaskular sebanyak 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor

aterogenik dan diduga berperan penting dalam menyebabkan timbulnya

komplikasi makrovaskular.

Komplikasi Neuropati

Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Dalam

jangka waktu yang cukup lama, kadar glukosa dalam darah akan merusak dinding

pembuluh darah kapiler yang berhubungan langsung ke saraf. Akibatnya, saraf

tidak dapat mengirimkan pesan secara efektif. Keluhan yang timbul bervariasi,

yaitu nyeri pada kaki dan tangan, gangguan pencernaan, gangguan dalam

mengkontrol BAB dan BAK, dan lain-lain (Tandra, 2007). Manifestasi klinisnya

dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses terjadinya

komplikasi neuropati biasanya progresif, di mana terjadi degenerasi serabut-

serabut saraf dengan gejala nyeri, yang sering terserang adalah saraf tungkai atau

lengan.

Komplikasi Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular merupakan komplikasi unik yang hanya terjadi

pada DM. Penyakit mikrovaskular diabetes atau sering juga disebut dengan istilah

mikroangiopati ditandai oleh penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada

dua tempat di mana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius yaitu mata dan

18

Page 20: Kelainan Sistemik Pada Mata

ginjal. Kelainan patologis pada mata, atau dikenal dengan istilah retinopati

diabetes, disebabkan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di

retina. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah kecil di retina ini dapat

menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan pasien DM, bahkan dapat menjadi

penyebab utama kebutaan.

2.1.2.4 Retinopati Diabetes

Mekanisme perkembangan mikroangiopati berkaitan dengan perubahan-

perubahan yang terjadi pada ultrastruktur, biokimia, dan proses hemostatis.

Termasuk ke dalamnya penipisan lapisan membran kapiler. Beberapa studi

menunjukkan bahwa hiperglikemia kronik memiliki kontribusi dalam

menyebabkan terjadinya retinopati diabetes.

Retinopati diabetes adalah penyakit mata yang sering terjadi pada

penderita DM. Retinopati diabetik biasanya berkembang menjadi beberapa

tingkatan pada kebanyakan penderita diabetes tipe I dan sejumlah penderita DM

tipe II.

Retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan yang utama pada

kelompok usia kerja di Inggris dan di banyak negara berkembang lainnya.

Peningkatan jumlah pasien DM di dunia akan mendorong retinopati diabetes

sebagai penyebab kebutaan terbesar.

Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada penderita DM yang tergolong

19

Page 21: Kelainan Sistemik Pada Mata

”insulin-dependent” dibandingkan mereka yang “non-insulin dependent”.

Walaupun demikian, mengingat jumlah penderita yang tergolong ke dalam non-

insulin dependent jauh lebih banyak, yaitu mencapai sembilan kali lebih banyak,

maka jumlah non-insulin dependent yang mengalami retinopati akan lebih

banyak.

Skema 1. Patofisiologi Retinopati Diabetes

Ada tiga stadium utama pada retinopati diabetes yaitu :

a. Retinopati Nonproliferatif

Retinopati nonprliferatif merupakan stadium awal dari proses penyakit ini.

Selama menderita DM, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil

pada mata melemah sehingga dapat menimbulkan tonjolan kecil

20

Page 22: Kelainan Sistemik Pada Mata

(mikroaneurisme). Tonjolan ini sangat mudah pecah dan mengalirkan cairan dan

sejumlah protein ke dalam retina sehingga menimbulkan bercak berwarna abu-abu

atau putih. Endapan lemak protein yang berawarna putih kekuningan juga

terbentuk pada retina. Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan

kecuali cairan dan protein dari pembuluh darah yang rusak dapat menyebabkan

pembengkakan pada pusat retina (makula). Keadaan ini disebut edema makula,

yang dapat memperparah penglihatan seseorang (Medicastore).

b. Retinopati Praproliferatif

Keadaan ini merupakan lanjutan dari retinopati nonproliferatif dan

merupakan pencetus terjadinya retinopati proliferatif yang cukup serius. Bukti

epidemiologi menunjukkan bahwa 10 % - 50 % pasien DM dengan retinopati

akan menderita retinopati proliferatif dalam jangka waktu 1 tahun. Perubahan

visual yang terjadi pada stadium ini juga disebabakan oleh edema makula.

c. Retinopati Proliferatif

Retinopati proliferatif diawali dengan terdapatnya pertumbuhan abnormal

pembuluh darah baru pada permukaan retina sebagai bentuk kompensasi iskemia

yang terjadi pada retina. Pembuluh darah yang abnormal ini mudah pecah

sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada pertengahan bola mata, atau sering

disebut dengan istilah perdarahan vitreus, yang dapat menghalangi penglihatan.

Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus ini adalah terbentuknya jaringan parut

fibrosa yang disebabakan oleh reabsorpsi darah ke dalam korpus vitreus. Jaringan

parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi pelepasan retina, atau disebut

dengan istilah ablasio retina, dan akhirnya dapat mengakibatkan kebutaan.

21

Page 23: Kelainan Sistemik Pada Mata

2.1.2.5 Faktor Resiko Terjadinya Retinopati Diabetik

a. Lama Menderita DM

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini menjadi indikator

dalam mendeteksi adanya retinopati diabetes. Pasien dengan DM tipe I umumnya

akan menunjukkan adanya retinopati diabetes setelah didiagnosis menderita DM

selama 20 tahun (50 %).

b. Kadar Gula Darah

Kadar gula darah juga merupakan faktor resiko yang memiliki

peranan penting dalam perkembangan retinopati diabetes.

c. Pubertas

d. Tipe DM

e. Nefropati

f. Hipertensi

g. Kehamilan

h. Faktor Genetik

2.1.2.6 Penatalaksanaan Retinopati Diabetik

Deteksi awal retinopati diabetik dapat membantu mencegah terjadinya

kehilangan penglihatan. Mereka yang menderita DM harus memeriksakan mata

pada seorang dokter mata (oftalmologis) setiap tahun, bahkan bila mereka tidak

memiliki keluhan pada mata sekalipun. Asosiasi Diabetes Amerika (ADA)

menyarankan pemeriksaan setahun sekali mulai dalam 3-5 tahun setelah

didiagnosa menderita DM tipe I dan segera setelah didiagnosa menderita DM tipe

II.

22

Page 24: Kelainan Sistemik Pada Mata

Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol kadar gula

darah yang baik, sedangkan pada kelainan yang sudah lanjut hampir tidak dapat

diperbaiki hanya dengan kontrol kadar gula darah karena akan memperburuk

keadaan jika dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.

Pengobatan lanjutan yang dapat diberikan yaitu penatalaksanaan diabetes

yang baik, mencegah faktor-faktor resiko seperti hipertensi, dan pengobatan

fotokoagulasi khususnya pada mereka dengan retinopati diabetik lanjut.

Diperkenalkannya fotokoagulasi untuk retinopati diabetik sangat mendorong

untuk mencegah kebutaan.

23

Page 25: Kelainan Sistemik Pada Mata

2.2 Kelainan kardio–vaskuler

2.2.1 Retinopati Hipertensi

Retinopati hipertensi adalah kelainan atau perubahan vaskularisasi retina

pada penderita hipertensi. Hipertensi arteri sistemik merupakan tekanan diastolik

> 90 mmHg dan tekanan sistolik > 140 mmHg. Jika kelainan dari hipertensi

tersebut menimbulkan komplikasi pada retina maka terjadi retinopati hipertensi.

2.2.1.1 Klasifikasi Retinopati Hipertensi

Klasifikasi retinopati hipertensi pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh

Keith Wagener Barker. Klasifikasi dan modifikasi yang dibuat didasarkan pada

hubungan antara temuan klinis dan prognosis yaitu tediri atas empat kelompok

retinopati hipertensi.

Tabel 1 . Klasifikasi Keith-Wagener-Barker (1939)

Stadium Karakteristik

Stadium I Penyempitan ringan, sklerosis dan hipertensi ringan, asimptomatis.

Dalam periode 8 tahun : 4 % meninggal

Stadium II Penyempitan definitif, konstriksi fokal, sklerosis, dan nicking

arteriovenous

Dalam periode 8 tahun : 20 % meninggal

Stadium III Retinopati (cotton-wool spot, arteriosclerosis, hemoragik)

Dalam periode 8 tahun : 80 % meninggal

Stadium IV Edema neuroretinal termasuk papiledema

Dalam periode 8 tahun : 98 % meninggal

24

Page 26: Kelainan Sistemik Pada Mata

Tabel 2. Klasifikasi Scheie (1953)

Stadium Karakteristik

Stadium I Penciutan setempat pada pembuluh darah kecil

Stadium II Penciutan pembuluh darah arteri menyeluruh, dengan kadang-kadang

penciutan setempat sampai seperti benang, pembuluh darah arteri

tegang, embentuk cabang keras

Stadium III Lanjutan stadium II, dengan eksudasi cotton, dengan perdarahan yang

terjadi akibat diastol di atas 120 mmHg, kadang-kadang terdapat

keluhan berkurangnya penglihatan

Stadium IV Seperti stadium III dengan edema papil dengan eksudat star figure,

disertai keluhan penglihatan menurun dengan tekanan diastol kira-kira

150 mmHg

Tabel 3. Modifikasi klasifikasi Scheie

Stadium Karakteristik

Stadium 0 Tidak ada perubahan

Stadium I Penyempitan arteriolar yang hampir tidak terdeteksi

Stadium II Penyempitan yang jelas dengan kelainan fokal

Stadium III Stadium II + perdarahan retina dan/atau eksudat

Stadium IV Stadium III + papiledema

25

Page 27: Kelainan Sistemik Pada Mata

Tabel 4. Klasifikasi Retinopati Hipertensi tergantung dari berat ringannya tanda –

tanda yang terlihat pada retina

Retinopati Deskripsi Asosiasi sistemik

Mild Satu atau lebih dari tanda

berikut : Penyempitan

arteioler menyeluruh atau

fokal, AV nicking, dinding

arterioler lebih padat (silver-

wire)

Asosiasi ringan dengan penyakit

stroke, penyakit jantung koroner dan

mortalitas kardiovaskuler

Moderate Retinopati mild dengan satu

atau lebih tanda berikut :

Perdarahan retina (blot, dot

atau flame-shape),

mikroaneurisma, cotton-

wool, hard exudates

Asosiasi berat dengan penyakit

stroke, gagal jantung, disfungsi renal

dan mortalitas kardiovaskuler

Accelerated Tanda-tanda retinopati

moderate dengan edema papil

dan dapat disertai dengan

kebutaan

Asosiasi berat dengan mortalitas dan

gagal ginjal

2.2.1.2 Patofisiologi Retinopati Hipertensi

Peningkatan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasokonstriksi

arteriol. Vasokonstriksi terjadi karena adanya proses autoregulasi pada pembuluh

darah. Hasil penelitian wallow diketahui sel-sel perisit yang ada didinding

pembuluh darah yang berperan pada proses vasokonstriksi. Vasokontriksi

26

Page 28: Kelainan Sistemik Pada Mata

biasanya terjadi secara merata (difus) di seluruh pembuluh darah retina, tetapi bisa

juga ditemukan pada sebagian pembuluh darah (segmental). Hipertensi yang

berlangsung lama atau kronik akan menyebabkan terjadinya perubahan dinding

pembuluh darah (arteriosklerosis dan aterosklerosis).

Arteriosklerosis adalah perubahan yang terjadi pada arteriol. Dinding

arteriol secara histologik terlihat menebal, karena pada tunika media terjadi

hipertrofi jaringan otot. Tunika intima mengalami proses hialinisasi, dan endotel

kapiler mengalami proses hipertofi, sehingga membentuk jaringan konsentrik

yang berlapis-lapis seperti kulit bawang (union skin). Proses yang terjadi diatas

menyebabkan lumen pembuluh darah menjadi kecil.

Arteriosklerosis akan menyebabkan gangguan pada persilangan arteri

dengan vena (arteriovenous crossing). Dinding arteri yang kaku akan menekan

dinding vena yang lebih lembut. Dalam keadaan normal tidak terjadi penekanan

dan elevasi pada persilangan arteri dan vena. Penekanan pada vena oleh arteri

yang sklerosis dapat terjadi dalam beberapa tahap, vena yang berada di bawah

arteri tidak terlihat karena arteri yang sklerosis maka vena seolah terputus dan

akan muncul lagi secara perlahan setelah melewati persilangan arteri

(arteriovenous nicking). Hal ini dikenal dengan nama Gunn’s phenomenon.

Bentuknya bervariasi tergantung dari beratnya sklerosis, bila sklerosis lebih berat

menyebabkan vena menjadi defleksi pada daerah persilangan, yang terlihat seperti

huruf S atau Z (salus sign). Pada keadaan tertentu vena berada di atas arteri,

sehingga akan terlihat elevasi vena di atas arteri. Tahap selanjutnya akan terjadi

stenosis vena di bagian distal persilangan karena proses sklerosis arteri yang berat.

27

Page 29: Kelainan Sistemik Pada Mata

Lumen vena yang menyempit karena penekanan oleh arteri yang sklerosis,

menyebabkan aliran darah menjadi lebih cepat, dapat menimbulkan proliferasi

endotel dan kadang-kadang terbentuk trombus. Trombus menyebabkan

tersumbatnya aliran darah, sehingga akan menyebabkan timbulnya tanda-tanda

oklusi vena retina sentral. Dalam keadaan normal dinding arteriol tidak terlihat,

yang terlihat adalah sel-sel darah merah di dalam lumen. Bertambahnya ketebalan

dinding arteriol karena proses arterioseklerosis maka terjadi perubahan refleks

cahaya arteriol. Pantulan cahaya dari permukaan dinding arteriol yang konveks

terlihat seperti garis tipis yang mengkilat di tengah kolom darah (refleks cahaya

normal). Pada pembuluh darah yang menebal, pantulan refleks cahaya normal

hilang dan cahaya terlihat lebih luas dan buram. Hal ini dianggap sebagai tanda

awal terjadinya arteriosklerosis.

Pada funduskopi akan terlihat sebagian pembuluh darah seperti tembaga

(copper wire), karena meningkatnya ketebalan dinding dan lumen berkurang

kemudian terjadi perubahan pada refleks cahaya arteriol. Bila proses sklerosis

berlanjut, dinding arteri semakin menebal dan lumen mengecil yang akhirnya

hampir tidak terlihat sehingga waktu penyinaran hanya berbentuk garis putih saja,

yang dikenal sebagai refleks kawat perak (silver wire reflex).

Perdarahan akan terjadi bila hipertensi berlangsung lama dan tidak

terkontrol. Proses yang kronik ini akan menyebabkan kerusak inner blood barrier,

sehingga terjadi ekstravasasi plasam dan sel darah merah ke retina (hard

exudates). Perdarahan biasanya terjadi pada lapisan serabut saraf retina,

distribusinya mengikuti alur serabut saraf, sehingga terlihat seperti lidah api

28

Page 30: Kelainan Sistemik Pada Mata

(flame shape). Kerusakan ditingkat kapiler maka perdarahan terjadi pada lapisan

inti dalam atau pleksiform dalam, bentuknya lebih bulat (blot like appearance).

Iskemik fokal atau area non perfusi yang terjadi pada lapisan serabut saraf

retina, maka serabut saraf akan berdegenerasi menjadi bengkak dan secara

histologi tampak seperti suatu kelompok cystoid bodies. Kelainan ini dikenal

dengan cotton wool spot (soft exudates), yang pada pemeriksaan funduskopi

terlihat sebagai area putih keabuan seperti kapas dengan batas yang tidak tegas.

Papil edema disebabkan oleh adanya iskemia didaerah papil yang akan

menyebabkan hambatan aliran axoplasma, sehingga terjadi pembengkakan axon

di papil nervus optikus.

Ateroskelrosis adalah proses sklerosis yang terjadi pada pembuluh darah

retina yang lebih besar. Pada ateroskelrosis sering ditemukan fibrosis dan

kalsifikasi pada tunika intima. Pada keadaan hipertensi accelerated terjadi

pembentukan plak yang besar di intra lumen yang akan menyumbat pembuluh

darah besar sehingga akan timbul komplikasi dalam bentuk oklusi cabang retina

sentralis (BRAO) atau arteri retina sentralis (CRAO).

2.2.1.3 Gejala Klinik

Retinopati hipertensi merupakan penyakit yang berjalan secara kronis

sehingga gejala penyakit awal sering tidak dirasakan. Penderita retinopati

hipertensi biasanya akan mengeluhkan sakit kepala dan nyeri pada mata.

Penurunan penglihatan atau penglihatan kabur hanya terjadi pada stadium III atau

stadium IV oleh karena perubahan vaskularisasi akibat hipertensi seperti

perdarahan, cotton wool spot, telah mengenai makula.

29

Page 31: Kelainan Sistemik Pada Mata

2.2.1.4 Diagnosis

Diagnosis retinopati hipertensi ditegakkan berdasarkan pada anamnesis (riwayat

hipertensi), pemeriksaan fisik (tekanan darah), pemeriksaan oftalmologi

(funduskopi), dan pemeriksaan penunjang dengan angiografi fluorosens. Pada

anamnesis penglihatan yang menurun merupakan keluhan utama yang sering

diungkapkan oleh pasien. Pasien mengeluhkan buram dan seperti berbayang

apabila melihat sesuatu. Penglihatan biasanya turun secara perlahan sehingga

tidak disadari. Pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan diastol > 90 mmHg

dan tekanan sistol > 140 mmHg , sudah mulai terjadi perubahan pada pembuluh

darah retina.

Pemeriksaan tajam penglihatan dan funduskopi adalah pemeriksaan

oftalmologi paling mendasar untuk menegakkan diagnosis retinopti hipertensi.

Melalui pemeriksaan funduskopi, dapat ditemukan berbagai kelainan retina pada

pasien retinopati hipertensi. Hasil pemeriksaan dengan oftlamoskop, sebagai

berikut:

Funduskopi pada penderita hipertensi

30

Page 32: Kelainan Sistemik Pada Mata

Mild Hypertensive Retinopathy

Ket : A. Nicking AV (panah putih) dan penyempitan arteriol lokal (panah hitam) .

B. Terlihat AV nicking (panah hitam) dan gambaran copper wiring pada arteriol

(panah putih).

Moderate Hypertensive Retinopathy

Ket : A. AV nicking (panah putih) dan cotton wool spot (panah hitam).

B. Perdarahan retina (panah hitam) dan gambaran cotton wool spot (panah putih)

31

Page 33: Kelainan Sistemik Pada Mata

Funduskopi sesuai stadium retinopati hipertensi

Pemeriksaaan penunjang yang dilakukan setelah pemeriksaan funduskopi

adalah angiografi fluoresein. Kontras berupa bahan fluoresein dimasukkan melalui

vena di lengan. Ketika kontras sudah mencapai pembuluh darah retina, gambaran

pembuluh darah tersebut difoto dengan kamera khusus yang menggunakan sinar

biru. Pemeriksaan ini dapat menentukan dengan tepat lokasi terjadinya

neovaskularisasi dan kebocoran kapiler retina.

32

Page 34: Kelainan Sistemik Pada Mata

Perbandingan foto retina dengan angiografi fluorosein

Pemeriksaan laboratorium juga penting untuk menyingkirkan penyebab

lain retinopati selain dari hipertensi. Untuk pemeriksaan laboratorium terutama

diperiksa kadar gula darah, lemak darah dan fungsi ginjal.

2.2.1.5 Komplikasi

Komplikasi dari retinopati hipertensi yaitu berupa oklusi arteri retina

sentralis (CRAO), oklusi arteri retina cabang (BRAO), oklusi vena retina cabang

(BRVO).

Penyebab dari oklusi arteri retina paling umum akibat adanya emboli.

Arteri oftalmika merupakan cabang pertama dari arteri karotis interna. Embolus

bisa berasal dari jantung atau arteri karotis yang secara jelas mengarah langsung

ke mata. Emboli dari jantung terdiri dari empat tipe, antara lain emboli

terkalsifikasi dari katup aorta atau mitral, vegetasi dari endokarditis bakterial,

trombus yang berasal dari jantung bagian kiri, dan materi miksomatosa akibat

miksoma atrial.

33

Page 35: Kelainan Sistemik Pada Mata

Penyakit arteri karotis juga dapat menjadi sumber emboli. Emboli retina dari arteri

karotis terdiri dari tiga tipe yaitu emboli kolesterol (plak Hollenhorst), emboli

fibrinoplatelet, dan emboli terkalsifikasi.

Gambaran klinis dari oklusi arteri retina dapat berupa oklusi arteri retina

sentral, dan oklusi arteri retina cabang.

CRAO (oklusi arteri retina sentral) biasanya diakibatkan oleh ateroma,

meskipun hal ini dapat disebabkan akibat emboli terkalsifikasi. Keluhan yang

dialami pasien biasanya bersifat akut dan hilangnya lapang pandang. Tanda-tanda

yang dapat ditemukan berupa pupil Marcus Gunn atau amaurotik, retina tampak

putih akibat pembengkakan dan terdapat cherry-red spot. Dengan pemeriksaan

angiografi menunjukkan penundaan pengisian arteri dan karena terdapat edema

retina maka fluoresensi ke bagian koroid tertutupi.

BRAO (oklusi arteri retina cabang) paling sering diakibatkan oleh karena

emboli. Pasien dapat mengeluh hilangnya lapang pandang secara melintang atau

sektoral dan terjadi mendadak. Tanda yang dapat ditemukan berupa retina menjadi

putih di area yang dialiri arteri, pembengkakan berkabut perlahan menjernih,

tetapi bagian dalam retina menjadi atrofi dan berhubungan dengan hilangnya

lapang pandang sektoral yang permanen, dan pada beberapa kasus juga dapat

ditemukan rekanalisasi arteriol yang tersumbat. Pada fluoresensi angiografi

menunjukkan area yang terlibat menunjukkan gambaran tidak adanya perfusi.

BRVO (oklusi vena retina cabang) akut tidak terlihat pada gambaran

funduskopi, dalam beberapa waktu dapat menimbulkan edema yang bersifat putih

pada retina akibat infark pada pembuluh darah retina. Seiring waktu, vena yang

tersumbat akan mengalami rekanalisasi sehingga kembali terjadi reperfusi dan

34

Page 36: Kelainan Sistemik Pada Mata

berkurangnya edema. Namun, tetap terjadi kerusakan yang permanen terhadap

pembuluh darah. Oklusi yang terjadi merupakan akibat dari emboli.

2.2.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan retinopati hipertensi bertujuan untuk membatasi

kerusakan yang sudah terjadi serta menghindari terjadinya komplikasi, Mengobati

faktor primer adalah sangat penting jika ditemukan perubahan pada fundus akibat

retinopati arterial. Tekanan darah harus diturunkan dibawah 140/90 mmHg. Jika

telah terjadi perubahan pada fundus akibat arteriosklerosis, maka kelainan klinis

yang terjadi tidak dapat diobati lagi tetapi dapat dicegah progresivitasnya.

Beberapa studi eksperimental dan percobaan klinik menunjukan bahwa

tanda-tanda retinopati hipertensi dapat berkurang dengan mengontrol kadar

tekanan darah. Penggunaan obat ACEI (Angiotensin Converting Enzyme

Inhibitor) terbukti dapat mengurangi penebalan dinding arteri akibat hipertrofi.

Tabel 5. Obat hipertensi oral yang dipakai di Indonesia

Obat Dosis Efek Lama

kerja

Perhatian khusus

Nifedipin (Ca

antagonis)

5-10 mg 5-15 menit 4-6 jam Gangguan koroner

Kaptopril (ACE

inhibitor)

12,5-2,5

mg

15-30

menit

6-8 jam Stenosis arteri renalis

Klonidin (alfa-2

agonis

adrenergik)

75-150

mg

30-60

menit

8-16 jam Mulut kering,

mengantuk

Propanolol (beta 10-40 15-30 3-6 jam Bronkokonstriksi, blok

35

Page 37: Kelainan Sistemik Pada Mata

blocker) mg menit jantung

Perubahan pola dan gaya hidup juga harus dilakukan. Kontrol berat badan

dan diturunkan jika sudah melewati standar berat badan seharusnya. Konsumsi

makanan dengan kadar lemak jenuh harus dikurangi sementara intake lemak tak

jenuh dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi alkohol dan garam perlu

dibatasi dan olahraga yang teratur.

Pengawasan oleh dokter mata dilakukan untuk mengevaluasi progresivitas

retinopati hipertensi dan komplikasinya. Komplikasi yang dapat terjadi seperti

oklusi arteri retina sentralis dan oklusi cabang vena retina merupakan perburukan

dari retinopati hipertensi yang tidak terkontrol secara baik. Jika sudah terjadi

eksudat di makula, KWB stadium III, dan sudah terjadi komplikasi maka

fotokoagulasi laser dapat dipertimbangkan.

Fotokoagulasi laser merupakan salah satu terapi dalam penanganan

komplikasi tersebut. Terapi laser retina terbukti memperbaiki oksigenasi retina

bagian dalam. Fotokoagulasi pada fotoreseptor mengurangi konsumsi oksigen di

bagian luar retina dan menyebabkan oksigen lebih mudah berdifusi dari koroid ke

bagian dalam retina, sehingga meningkatkan tekanan oksigen dan mengurangi

hipoksia. Peningkatan tekanan oksigen di bagian dalam retina mengakibatkan

mekanisme autoregulasi berupa vasokonstriksi dan peningkatan tekanan arteriol,

sehingga menurunkan tekanan hidrostatik di kapiler dan venula. Menurut hukum

Starling, hal ini akan menurunkan aliran cairan dari kompartemen intravaskular ke

dalam jaringan dan menurunkan edema jaringan, bila berasumsi tekanan onkotik

konstan. Penurunan tekanan hidrostatik pada saat yang bersamaan menyebabkan

venula konstriksi dan memendek menurut hukum Laplace dan studi Kylstra dkk.

36

Page 38: Kelainan Sistemik Pada Mata

2.2.1.7 Prognosis

Prognosis tergantung kepada kontrol tekanan darah. Kerusakan

penglihatan yang serius biasanya tidak terjadi sebagai dampak langsung dari

proses hipertensi kecuali terdapat oklusi vena atau arteri lokal. Namun, pada

beberapa kasus, komplikasi tetap tidak dapat di hindari walaupun dengan kontrol

tekanan darah yang baik.

Keith Wagener Barker menentukan 5 year survival rate berdasarkan tidak

diberikan terapi medikamentosa yaitu antara lain grade I : 4%, grade II : 20%,

grade III : 80% , grade IV : 98%.

37

Page 39: Kelainan Sistemik Pada Mata

Daftar Pustaka

1. Marieb EN & Hoehn K. Human Anatomy & Physiology 7th

edition. Pearson Education Inc, 2007.

2. Riordan-Eva P & Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General

ophthalmology, 17th edition. New York: McGraw-Hill, 2007.

3. Yanoff M & Duker JS (eds). Yanoff & Duker Ophthalmology 3rd

edition. Philadelphia: Mosby, An Imprint of Elsevier, 2008

4. Vaughan & Ashburry et al. Oftalmologi Umum edisi 17. Alih bahasa :

dr. Brahm U. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2009

5. “The prevalence of and factors associated with diabetic retinopathy in

the Australian population”. Tapp RJ1, Shaw JE, Harper CA, de Courten

MP, Balkau B, McCarty DJ, Taylor HR, Welborn TA, Zimmet PZ;

AusDiab Study Group, 2012.

6. Basic and Clinical Science Course. Retina and Vitreus Section 12. The

Foundation of The American Academy of Ophtalmology ; 2002

7. Wong TY, et al. The prevalence and Risk Factors of Retinal

Microvascular Abnormalities in Older Persons. The Cardiovascular

Health Study. 2003; 658-666.

8. Hughes BM, Moinfar N, Pakainis VA, Law SK, Charles S, Brown LL et

al, editors. Hypertension. [Online]. 2007 Jan 4 [cited 2008 May 21]: [7

screens]. Available from:

URL:http://www.emedicine.com/oph/topic488.htm

9. Vaughan DG, Asbury T, Riodan-Eva P. Oftalmologi Umum 14th

ed.Penerbit Widya Merdeka. Jakarta ; 2000

10. Wong YT, McIntosh R, editors. Hypertensive retinopathy signs as risk

indicators of cardiovascular morbidity and mortality. British Medical

Bulletin 2005;73 and 74;57-70. [Online]. 2005 July 13 [cited 2008 May

21]: [14 screens]. Available from:

URL:http://bmb.oxforsjournals.org/cgi/reprint/73-74/1/57

38