kasus plasenta increta anggun & udtiek.docx
DESCRIPTION
placenta incretaTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Postpartum Hemorrhage, Plasenta Increta
Diajukan untuk
Memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat
menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kebidanan dan Kandungan
RSUD Kota Semarang
Disusun oleh:
Anggun Rahayu Pratiwi 01.208.5599
Udtiek Muncar Previa 01.209.6039
Pembimbing:
dr.Jati, Sp. OG
BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
RSUD KOTA SEMARANG
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kebidanan dan
Kandungan RSUD Kota Semarang periode
Nama/NIM : Anggun Rahayu Pratiwi / 01.208.5599
Udtiek Muncar Previa / 01.209.6039
Judul : Laporan Kasus Pasien dengan Postpartum hemorrhage, Plasenta
Increta
Bagian : Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Kepaniteraan Klinik : RSUD Kota Semarang
Pembimbing : dr. Jati, Sp. OG
Semarang, Januari 2014
Telah diajukan dan disahkan oleh
Pembimbing,
dr. Jati, Sp. OG
STATUS ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. I
Usia : 32 Th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : DS.Tabet Limbangan, Kendal, Jawa Tengah
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pendidikan : D3
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal masuk : 5 Januari 2014
Bangsal : Srikandi
No. CM : 27.63.18
Nama Suami : Tn. A
Usia : 31 Th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : DS.Tabet Limbangan, Kendal, Jawa Tengah
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Menikah
II. Anamnesis
Data diambil dari autoanamnesa dengan pasien, alloanmnesa dengan
suami pasien dan menurut catatan medis yang diambil pada tanggal 5 Januari
2014.
1. Keluhan Utama :
Pasien P4A0 usia 32 tahun datang ke IGD RSUD Kota Semarang dengan
keluhan keluar darah dari jalan lahir setelah melahirkan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien P4A0 usia 32 tahun datang ke IGD RSUD Kota Semarang sebagai
rujukan dari Puskesmas Mranggen III dengan keluhan plasenta belum lahir
> 30 menit setelah melahirkan anak yang keempat pada pukul 16.45 WIB,
keluar darah dari jalan lahir, darah banyak dan berwarna merah segar,
gumpalan (+). Pasien melahirkan spontan pukul 16.45 WIB bayi laki-laki
di tolong oleh bidan puskesmas. Saat di IGD pada pukul 19.30 pasien
dilakukan pemeriksaan oleh bidan IGD dan didapatkan adanya sisa
plasenta dan perdarahan yang banyak. Robekan jalan lahir (-). Pasien
mengeluh mulas dan badan sangat lemas.
3. Riwayat Kehamilan :
HPHT: 01-04-2013
Pasien tidak menstruasi sejak bulan Mei 2013, 3 minggu setelah terlambat
haid pasien melakukan tes kehamilan dengan tes pack kehamilan dan
hasilnya positif. Pasien kemudian kemudian memeriksakan diri ke bidan
dan oleh bidan dinyatakan hamil.
Riwayat ANC :
Selama hamil pasien sudah 7 kali melakukan pemeriksaan kehamilan di
bidan. Oleh bidan diberi tablet penambah darah dan multivitamin. Serta
diberi informasi bahwa ibu diminta menjaga kehamilannya dengan istirahat
cukup, hindari kelelahan dan makan makanan yang bergizi dilengkapi
konsumsi multivitamin serta tablet penambah darah yang sudah diberikan.
Sudah mendapatkan imunisasi Tetanus Toksoid sebanyak 1x.
4. Riwayat Obstetri :
Tahun
Kelahiran
Penolong
Persalina
n
Usia
Kehamilan
Cara
Persalinan
Jenis
Kelamin
BB
Bayi
(gr)
Keadaan
Anak
Sekarang
G1 2004 Bidan Aterm Spontan Perempua
n
3200 Sehat
G2 2007 Bidan Aterm Spontan Perempua
n
4000 Sehat
G3 2010 Bidan Aterm Spontan Perempua
n
3200 Sehat
G4 2014 Bidan Aterm Spontan Laki-laki 3400 Sehat
5. Riwayat Menstruasi :
- Menarche : 13 tahun
- Siklus haid : 28 hari
- Lama haid : 7 hari
- Dismenore : (-)
6. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat penyakit paru : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat alergi obat & makanan : disangkal
7. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat penyakit paru : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
8. Riwayat KB :
Pasien menggunakan KB yaitu pil KB selama satu tahun ( 2011-2012)
9. Riwayat Gizi :
Nafsu makan pasien baik, mual (-), muntah (-). Pasien makan 3x sehari
namun dengan porsi sedikit.
10. Riwayat Perkawinan :
Pasien menikah pertama kali dengan suami yang sekarang. Usia pertama
kali menikah yaitu 23 tahun. Usia pernikahan kurang lebih 9 tahun
11. Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir adalah
D3. Suami pasien bekerja swasta dengan pendidikan terakhir adalah SMP.
Pasien tinggal bersama suami, ibu pasien, dan ke empat anaknya. Kesan
ekonomi kurang sehingga biaya pengobatan di rumah sakit ditanggung oleh
Jamkesmas.
III. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 5 Januari 2014, pukul 19.45 WIB di IGD RSUD Kota
Semarang.
Status present
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Somnolent ( E4M5V4)
Vital Sign :
Tekanan darah: 90/40 mmHg
Nadi : 110 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,50 C
Status Gizi : BB :60 Kg, TB:155cm 60 / (1,64) 2 = 22,3 (baik)
Status internus
- Kepala : Mesocephale
- Mata : Conjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-)
- Hidung : Discharge (-), septum deviasi (-), nafas cuping hidung
(-)
- Telinga : Discharge (-), bentuk normal
- Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-)
- Tenggorokan : Faring hiperemesis (-), pembesaran tonsil (-)
- Leher : Trakhea teraba di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar
- KGB : retroaurikuler, submandibula, cervikal, supraclavivula,
inguinal tidak teraba membesar
- Payudara : Simetris, areola mammae tidak retraksi, tidak tampak
hiperpigmentasi pada kedua aerola mammae, tidak teraba massa, tanda
radang (-/-), nyeri tekan (-/-), ASI +/+
- Paru :
Inspeksi : Retraksi (-), bentuk simetris pada saat statis & dinamis
Palpasi : Vocal fremitus kanan kiri sama kuat
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki (-/-) wheezing (-/-)
- Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba, pada ICS V linea
midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas kiri : ICS V, 2 cm medial linea midclavicula sinistra
Batas kanan : ICS II, linea parasternalis sinistra
Batas atas : ICS IV, linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen :
Inspeksi : membuncit, striae gravidarum (+)
Palpasi : Teraba TFU setinggi pusat, nyeri tekan (+)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Peristaltik (+), normal
- Ekstremitas :
Superior Inferior
Oedem
Akral dingin
Reflek fisiologis
Reflek patologis
-/-
+/+
+/+
-/-
-/-
+/+
+/+
-/-
Status Ginekologi
1. Fl/fx : -/ +
2. V.u.v : dbn
3. Cut : lembek
4. portio : sebesar ibu jari kaki orang dewasa
5. OUE : terbuka
6. AP/CD : dbn
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratoirum Darah
Pre Operasi :
5 Januari 2014
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 7,0 g/dl 11-16
Hematokrit 20,60 % 42-52
Leukosit 37,9 Ribu/uL 4,8-10,0
Trombosit 269 Ribu/uL 150-400
Golongan Darah O
Masa Perdarahan /BT 02min 30 sec 1 – 3
Kualitatif HbsAg 09min 20sec 5-15
V. Resume
Pasien P4A0 usia 32 tahun datang ke IGD RSUD Kota Semarang sebagai
rujukan dari Puskesmas Mranggen III dengan keluhan plasenta belum lahir
> 30 menit setelah melahirkan anak yang keempat pada pukul 16.45 WIB,
keluar darah dari jalan lahir, darah banyak dan berwarna merah segar,
gumpalan (+). Pasien melahirkan spontan pukul 16.45 WIB bayi laki-laki
di tolong oleh bidan puskesmas. Saat di IGD pada pukul 19.30 pasien
dilakukan pemeriksaan oleh bidan IGD dan didapatkan adanya sisa
plasenta dan perdarahan yang banyak. Pasien mengeluh mulas dan badan
sangat lemas.
Status present
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis ( E4M6V5)
Vital Sign :
Tekanan darah: 90/40 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Status Gizi : BB :60 Kg, TB:155cm 60 / (1,60) 2 = 23 (baik)
Status internus :
• Mata : Conjungtiva anemis + / +
• Abdomen : Nyeri tekan regio umbilicalis dan regio supra pubis
• Ekstermitas : Akral dingin + +
+ +
Status Ginekologi
- Genitalia :
Fl/fx : -/ +
V.u.v : dbn
Cut : lembek
portio : sebesar ibu jari kaki
OUE : terbuka
AP/CD : dbn
VI. DIAGNOSA
Pasien P4A0 usia 32 tahun
Postpartum hemorrhage
Plasenta Restan
Presyok
Anemia
VII. RENCANA TERAPI
Informed Consent
A,B,C,D,E
Pengawasan: KU, Vital sign, Hb, PPV
Pengeluaran plasenta dengan manual plasenta
Usaha Transfuse WB 2 kolf
Rencana histrektomi diagnostik dan terapeutik tanggal 5 Januari
Konsul anestesi dan penyakit dalam untuk toleransi operasi
Medikamentosa :
- Infuse 2 jalur RL guyur, RL 20 tpm
- Inj Kalnex 3x500 mg
- Inj metergin 1 amp
- Oksitosin 2 amp drip
VIII. RENCANA EDUKASI
-Memberitahukan keluarga pasien tentang kondisi pasien
IX. PROGNOSA
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
HISTEREKTOMI TOTAL ( 5 Januari 2014)
Explorasi : uterus seperti umur kehamilan 4 – 5 bulan, warna pucat,
Kontraksi lemah
Adnexa normal
- Kenali vasa adneks ka / ki , lalu di klem- Kenali arteri uterina ka / ki , lalu di klem- Kenali lig. Rotundum klem potongikat- Kenali ovarii propia tuba vasa klem potong ikat- Kenali arteri uterina klem potongikat- Buka plica vesicouterina supravaginal- Jahit tunggal jelujur dengan montem 1 evaluasi perdarahan- Jahit dinding abdomen (plica vesicouterina peritoneum fascia
transversalismusculus rectus abdominis fascia scarpa subkutis kutis)
POST OPERASI
DIAGNOSIS
P4Ao U32 th
Postpartum hemorrhage
Plasenta increta
Anemia
Pemeriksaan Laboratorium
6 Januari 2014
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 8,8 g/dl 11-16
Hematokrit 25,20 % 42-52
Leukosit 29,6 Ribu/uL 4,8-10,0
Trombosit 130 Ribu/uL 150-400
Golongan Darah O
8 Januari 2014
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 8,4 g/dl 11-16
Hematokrit 24,30 % 42-52
Leukosit 18,7 Ribu/uL 4,8-10,0
Trombosit 185 Ribu/uL 150-400
Luka basah, darah -, nanah -, nyeri +
Golongan Darah O
RENCANA TERAPI POST OP
Pengawasan KU, Tanda-tanda vital, Hb, PPV Transfusi dengan Whole Blood 4 kolf, PRC 3 kolf (sampai Hb
mencapai ≥10 g/dl) Medikamentosa :
o Inj. Cefotaxime 2 x 1 o Inj. Tramadol 3 x 150 mgo Inj. Kalnex 3 x 500 mgo Inj. AL.F 3 x 1 amp
FOLLOW UP SETELAH PROGRAM HISTEREKTOMI
6 Januari 2014
Keluhan : nyeri bekas operasi
Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital :
o Tekanan darah : 110 / 70 mmHg
o Nadi : 68 x/menit
o Pernapasan : 20 x/menit
o Suhu : 36.6º C
Status internus :
o Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
o Thorax : C/P dbn
o Abdomen : mendatar, supel, bising usus normal, nyerti tekan (+)
Status Lokalis : Regio Suprapubis
o Ekstremitas : Edema (-/-)/(-/-)
o BAB/BAK : -/+ DC (06.00-07.30) = 100 cc
Luka basah, darah -, nanah -, nyeri +
o Flatus : -
Status Obstetri :
o TFU : Tidak teraba
o CUT : Tidak teraba
o PPV : darah (+)
o ASI : - / -
o Mobile : -
Ass/ P4AoU32th
Post histrektomi H+1 (a/i plasenta increta, anemia, syok)
Anemia
Advice dr. Jati, SpOG:
o Cek Hb
o Terapi lanjutkan
7 Januari 2014
Keluhan : lemas, nyeri bekas operasi
Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital :
o Tekanan darah : 120 / 70 mmHg
o Nadi : 88 x/menit
o Pernapasan : 20 x/menit
o Suhu : 37º C
Status internus :
o Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
o Thorax : C/P dbn
o Abdomen : mendatar, supel, bising usus normal, nyerti tekan (+)
Status Lokalis : Regio Suprapubis
Luka basah, darah -, nanah -, nyeri +
o Ekstremitas : Edema (-/-)/(-/-)
o BAB/BAK : -/+ DC
o Flatus : -
Status Obstetri :
o TFU : Tidak teraba
o CUT : Tidak teraba
o PPV : darah (-)
o ASI : - / -
o Mobile : -
Ass/ P4AoU32th
Post histrektomi H+2 (a/i plasenta increta, anemia, syok)
Advice dr. Jati, SpOG:
o Cek Hb
o Terapi lanjutkan
8 Januari 2014
Keluhan : lemas, pusing, nyeri bekas operasi
Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis
Tanda vital :
o Tekanan darah : 130 / 70 mmHg
o Nadi : 88 x/menit
o Pernapasan : 24 x/menit
o Suhu : 36,9º C
Status internus :
o Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
o Thorax : C/P dbn
o Abdomen : mendatar, supel, bising usus normal, nyerti tekan (+)
Status Lokalis : Regio Suprapubis
o Ekstremitas : Edema (-/-)/(-/-)
o BAB/BAK : -/+ DC
o Flatus : +
Status Obstetri :
o TFU : Tidak teraba
o CUT : Tidak teraba
o PPV : darah (-)
o ASI : - / -
o Mobile : -
Ass/ P4AoU32th
Post histrektomi H+3 (a/i plasenta increta, anemia, syok)
Advice dr. Jati, SpOG:
o Transfusi PRC II Kolf
o Terapi lanjutkan
8 Januari 2014
Keluhan : lemas, nyeri bekas operasi
Keadaan umum : tampak sakit ringan, compos mentis
Tanda vital :
o Tekanan darah : 130 / 70 mmHg
o Nadi : 80 x/menit
o Pernapasan : 20 x/menit
o Suhu : 37,3º C
Status internus :
o Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
o Thorax : C/P dbn
o Abdomen : mendatar, supel, bising usus normal, nyerti tekan (+)
Status Lokalis : Regio Suprapubis
Luka basah, darah -, nanah -, nyeri +
o Ekstremitas : Edema (-/-)/(-/-)
o BAB/BAK : -/+ DC
o Flatus : -
Status Obstetri :
o TFU : Tidak teraba
o CUT : Tidak teraba
o PPV : darah (-)
o ASI : - / -
o Mobile : -
Ass/ P4AoU32th
Post histrektomi H+4 (a/i plasenta increta, anemia, syok)
Anemia
Advice dr. Jati, SpOG : -
Memberitahu tujuan terapi yang diberikan dan tindakan (manual plasenta)
yang akan dilakukan
Memberitahu untuk kontrol setelah keluar dari rumah sakit
Kondisi pasien saat sudah diperbolehkan pulang :
TINJAUAN PUSTAKA
PERDARAHAN POSTPARTUM
2.1 Perdarahan Postpartum
2.1.1 Pengertian Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 cc atau lebih setelah kala
III selesai (setelah plasenta lahir).53
Fase dalam persalinan dimulai dari kala I yaitu serviks membuka kurang dari 4 cm
sampai penurunan kepala dimulai, kemudian kala II dimana serviks sudah membuka lengkap
sampai 10 cm atau kepala janin sudah tampak, kemudian dilanjutkan dengan kala III
persalinan yang dimulai dengan lahirnya bayi dan berakhir dengan pengeluaran plasenta.
Perdarahan postpartum terjadi setelah kala III persalinan selesai.42
Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan sehingga dalam waktu singkat wanita jatuh ke dalam syok, ataupun merupakan
perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus dan ini juga berbahaya karena
akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan
juga jatuh dalam syok.33
2.1.2 Penyebab Perdarahan Postpartum
Penyebab perdarahan Postpartum antara lain :
1. Atonia uteri 50% - 60%
2. Retensio plasenta 16% - 17%
3. Sisa plasenta 23% - 24%
4. Laserasi jalan lahir 4% - 5%
5. Kelainan darah 0,5% - 0,8%.33
Untuk lebih mudahnya penyebab perdarahan postpartum disebabkan 4 T yaitu: 2
Tone - atonia uteri
Trauma - trauma uteri, servik, atau vagina
Tissue - retensio plasenta atau bekuan darah
Thrombin - Koagulopati
Tonus
Atonia uteri dan kegagalan kontraksi dan relaksasi miometrium dapat mengakibatkan
perdarahan yang cepat dan massif dan hipovolemik syok. Uterus yang terlalu meregang
baik absolute maupun relative, adalah factor resiko mayor untuk atonia uteri. Uterus yang
terlalu teregang dapat diakibatkan oleh gestasi multifetal, makrosomia, polihidramnion
atau abnormalitas janin ( misalnya hidrosefalus berat); suatu struktur uteri yang abnormal;
atau gangguan persalinan plasenta atau distensi dengan perdarahan sebelum plasenta
dilahirkan.
Kontraksi miometrium yang buruk dapat diakibatkan karena kelelahan akibat
persalinan yang lama atau percepatan persalinan, khususnya jika distimulasi. Dapat juga
merupakan hasil dari inhibisi kontraksi oleh obat seperti anestesi halogen, nitrat, AINS,
MgSO4, beta-simpatomimetik, dan nifedipin. Penyebab lain plasenta letak rendah, toksin
bakteri, hipoksia, dan hipotermia.
Tissue / Jaringan
Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan terlepasnya plasenta. Pelepasan plasenta
yang lengkap mengakibatkan retraksi yang berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah yang
optimal.
Retensi plasenta lebih sering bila plasenta suksenturiata atau lobus aksesoris. Setelah
plasenta dilahirkan dan dijumpai perdarahan minimal, plasenta harus diperiksa apakah
plasenta lengkap dan tidak ada bagian yang terlepas.
Plasenta memiliki kecenderungan untuk menjadi retensi pada kondisi kehamilan
preterm yang ekstrim (khususnya < 24 minggu), dan perdarahan yang hebat dapat terjadi.
Ini harus dijadikan pertimbangan pada persalinan pada awal kehamilan, baik mereka
spontan ataupun diinduksi. Penelitian terakhir menganjurkan penggunaan misoprostol
pada terminasi kehamilan trimester kedua mengurangi risiko terjadinya retensio plasenta
dibandingkan dengan penggunaan prostaglandin intrauterine atau saline hipertonik.
Sebuah percobaan melaporkan retensio plasenta membutuhkan dilatasi dan kuretase dari
3.4 % misoprostol oral dibandingkan dengan 22.4 % yang menggunakan prostaglandin
intra-amnion (Marquette, 2005).
Kegagalan pelepasan menyeluruh dari plasenta terjadi pada plasenta akreta dan
variannya. Pada kondisi ini plasenta lebih masuk dan lebih lengket. Perdarahan signifikan
yang terjadi dari tempat perlekatan dan pelepasan yang normal menandakan adanya akreta
sebagian. Akreta lengkap dimana seluruh permukaan plasenta melekat abnormal, atau
masuk lebih dalam (plasenta inkreta atau perkreta), muungkin tidak menyebabkan
perdarahan masif secara langsung, tapi dapat mengakibatkan adanya usaha yang lebih
agresif untuk melepaskan plasenta. Kondisi seperti ini harus dipertimbangkan jika
plasenta terimplantasi pada jaringan parut di uterus sebelumya, khususnya jika
dihubungkan dengan plasenta previa.
Semua pasien dengan plasenta previa harus diinformasikan risiko terjadinya
perdarahan post partum yang berat, termasuk kemungkinan dibutuhkannya transfuse dan
histerektomi. Darah mungkin dapat menahan uterus dan mencegah terjadinya kontraksi
yang efektif.
Akhirnya, darah yang tertinggal dapat mengakibatnya distensi uterus dan menghambat
kontraksi yang efektif.
Trauma
Kerusakan traktus genitalis dapat terjadi spontan atau karena manipulasi yang
digunakan pada saat persalinan. Persalinan secara section caesaria mengakibatkan
kehilangan darah dua kali lebih banyak dari pada persalinan per vaginam. Insisi pada
segmen bawah yang memiliki kontraksi buruk sembuh dengan baik tergantung jahitan,
vasospasme, dan pembekuan untuk hemostasis.
Ruptur uteri lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat s.c sebelumnya. Semua
uterus yang pernah menjalani s.c mengakibatkan gangguan dinding uterus memiliki risiko
terjadinya rupture pada kehamilan berikutnya.
Trauma dapat terjadi pada persalinan yang lama dan sulit, khususnya jika pasien
memiliki CPD relative atau absolute dan uterus telah distimulasi dengan oksitosin atau
prostaglandin. Pengontrolan tekanan intrauterin dapat mengurangi risiko terjadinya
trauma. Trauma juga dapat terjadi pada manipulasi janin intra maupun ekstra uterin.
Risiko yang paling besar mungkin dihubungkan dengan versi internal dan ekstraksi pada
kembar kedua; bagaimanapun, ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat versi eksternal.
Akhirnya, trauma mengakibatkan usaha untuk mengeluarkan retensi plasenta secara
manual atau dengan menggunakan instrument. Uterus harus selalu berada dalam kendali
dengan cara meletakkan tangan di atas abdomen pada prosedur tersebut. Injeksi
salin/oksitosin intravena umbilical dapat mengurangi kebutuhan teknik pengeluaran yang
lebih invasif.
Laserasi servikal sering dihubungkan dengan persalinan menggunakan forceps dan
serviks harus diinspeksi pada persalinan tersebut. Persalinan per vaginam dengan bantuan
(forceps atau vakum) tidak boleh dilakukan tanpa adanya pembukaan lengkap. Laserasi
servikal dapat terjadi secara spontan. Pada kasus ini, ibu sering tidak dapat menahan untuk
tidak mengedan sebelum terjadi dilatasi penuh dari serviks. Terkadang eksplorasi manual
atau instrumentasi dari uterus dapat mengakibatkan kerusakan serviks. Sangat jarang,
serviks sengaja diinsisi pada posisi jam 2 dan/atau jam 10 untuk mengeluarkan kepala
bayi yang terjebak pada persalinan sungsang (insisi Dührssen).
Laserasi dinding vagina sering dijumpai pada persalinan pervaginam operatif, tetapi
hal ini terjadi secara spontan, khususnya jika tangan janin bersamaan dengan kepala.
Laserasi dapat terjadi pada saat manipulasi pada distosia bahu. Trauma vagina letak
rendah terjadi baik secara spontan maupun karena episiotomi.
Trombosis
Pada awal periode postpartum, gangguan koagulasi dan platelet biasanya tidak selalu
mengakibatkan perdarahan yang massif, hal ini dikarenakan adanya kontraksi uterus yang
mencegah terjadinya perdarahan (Baskett,1999). Fibrin pada plasenta dan bekuan darah
pada pembuluh darah berperan pada awal masa postpartum, gangguan padahal ini dapat
menyebabkan perdarahan postpartum tipe lambat atau eksaserbasi perdarahan karena
sebab lain terutama paling sering disebabkan trauma.
Abnormalitas dapat terjadi sebelumnya atau didapat. Trombositopenia dapat
berhubungan dengan penyakit lain yang menyertai, seperti ITP atau HELLP sindrom
(hemolisis, peningkatan enzim hati, dan penurunan platelet), abruptio plasenta, DIC, atau
sepsis. Kebanyakan hal ini terjadi bersamaan meskipun tidak didiagnosa sebelumnya.
PATOFISIOLOGI2
Dalam masa kehamilan, volume darah ibu meningkat kurang lebih 50% (dari 4 L
menjadi 6 L). Volume plasma meningkat melebihi jumlah total sel darah merah, yang
mengakibatkan penurunan konsentrasi hemoglobin dan hematokrit. Peningkatan volume
darah digunakan untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta dan persiapan
terhadap hilangnya darah saat persalinan (Cunningham, 2001).
Diperkirakan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 mL/menit, yang berarti 10-15%
dari curah jantung. Kebanyakan dari aliran ini melewati plasenta yang memiliki resistensi
yang rendah. Pembuluh darah uterus menyuplai sisi plasenta melewati serat miometrium.
Ketika serat ini berkontraksi pada saat persalinan, terjadi retraksi miometrium. Retraksi
merupakan karakteristik yang unik pada otot uterus untuk melakukan hal tersebut serat
memendek mengikuti tiap kontraksi. Pembuluh darah terjepit pada proses kontraksi ini, dan
normalnya perdarahan akan terhenti. Hal ini merupakan ’ligasi hidup’ atau ’jahitan fisiologis’
dari uterus (Baskett,1999).
Atonia uteri adalah kegagalan otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan
beretraksi. Hal ini merupakan penyebab penting dari Perdarahan post partum dan biasanya
terjadi segera setelah bayi dilahirkan hingga 4 jam setelah persalinan. Trauma traktus genitalia
(uterus, serviks, vagina, labia, klitoris) pada persalinan mengakibatkan perdarahan yang lebih
banyak dibandingkan pada wanita yang tidak hamil karena adanya peningkatan suplai darah
terhadap jaringan ini. Trauma khususnya berhubungan dengan persalinan, baik persalinan
pervaginam maupun persalinan sesar
2.1.3 Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu32:
1. Perdarahan Postpartum Primer
yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran.
Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta,
sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder
yaitu perdarahan pascapersalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran.
Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang
tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
2.1.4 Gejala Klinik Perdarahan Postpartum
Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total
tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah
sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi
lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat,
tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain.53
Anamnesis
Selain menanyakan hal umum tentang periode perinatal, tanyakan tentang episode
perdarahan postpartum sebelumnya, riwayat seksio sesaria, paritas, dan riwayat fetus
gandaatau polihidramnion.
Tentukan jika pasien atau keluarganya memiliki riwayat gangguan koagulasi atau
perdarahan massif dengan prosedur operasi atau menstruasi.
Dapatkan informasi mengenai pengobatan, dengan pengobatan hipertensi (calcium-
channel blocker) atau penyakit jantung ( missal digoxin, warfarin). Informasi ini penting
jika koagulopati dan pasien memerlukan transfusi.
Tentukan jika plasenta sudah dilahirkan.
Pemeriksaan Fisik
Pada seorang wanita dengan perdarahan masif, secara simultan memerlukan
pemeriksaan fisik dan resusitasi. Fokuskan pemeriksaan pada pencarian penyebab perdarahan.
Pasien dapat tidak memiliki perubahan hemodinamik tertentu pada awal syok akibat
perdarahan fisiologik maternal hipervolemia. Perdarahan postpartum selalu perlu disadari saat
gangguan hemodinamik terjadi tanpa adanya perdarahan massif.
Palpasi bimanual uterus terasa lunak, atonia, atau pembesaran uterus, dengan suatu
akumulasi darah yang banyak. Palpasi juga dapat merasakan adanya hematom dalam
perineum atau pelvis.
Selama penghisapan, inspeksi servik dan vagina dalam penerangan yang cukup dapat
melihat adanya robekan jaringan.
Periksa adanya jaringan plasenta yang hilang, yang menandakan adanya kemungkinan
retensio plasenta.
Tabel 2. Perdarahan Post Partum
Kehilangan
Darah
Tekanan Darah
(Sistolik)
Tanda dan Gejala Derajat Syok
500-1000 mL
(10-15%)
Normal Palpitasi, Takikardi, Gelisah Terkompensasi
1000-1500 mL
(15-25%)
Menurun ringan
(80-100 mm Hg)
Lemah, Takikardi, Berkeringat Ringan
1500-2000 mL
(25-35%)
menurun sedang
(70-80 mm Hg)
Sangat lemah, Pucat, oliguria Sedang
2000-3000 mL
(35-50%)
Sangat turun
(50-70 mm Hg)
Kolaps, Sesak nafas, Anuria Berat
Pendeteksian dan pendiagnosisan yang cepat dari kasus perdarahan postpartum sangat
penting untuk keberhasilan penatalaksanaan. Resusitasi dan pencarian penyebab harus
dilaksanakan dengan cepat sebelum terjadi sekuele dari hipovolemia yang berat.
2.1.5 Diagnosis Perdarahan Postpartum
Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini :
Tabel 2.1 Diagnosis Perdarahan Postpartum
No.
Gejala dan tanda yang selalu ada
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
Diagnosis kemungkinan
1. -Uterus tidak berkontraksi dan lembek -Perdarahan segera setelah anak lahir (Perdarahan Pascapersalinan Primer atau P3)
- Syok - Atonia Uteri
2. - Perdarahan segera (P3) -Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir (P3) - Uterus kontraksi baik - Plasenta lengkap
- Pucat - Lemah - Menggigil
- Robekan jalan lahir
3. -Plasenta belum lahir setelah 30 menit - Perdarahan segera (P3) - Uterus kontraksi baik
-Tali pusat putus akibat traksi berlebihan -Inversio uteri akibat tarikan -Perdarahan lanjutan
- Retensio Plasenta
4. - Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap - Perdarahan segera (P3)
-Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang
-Tertinggalnya sebagian plasenta
5. - Uterus tidak teraba -Lumen vagina terisi massa -Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir) - Perdarahan segera (P3) - Nyeri sedikit atau berat
- Syok neurogenik -Pucat dan limbung
- Inversio uteri
No.
Gejala dan tanda yang selalu ada
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada
Diagnosis kemungkinan
6. - Sub-involusi uterus - Nyeri tekan perut bawah - Perdarahan lebih dari 24 jam setelah persalinan. Perdarahan sekunder atau P2S. - Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi)
- Anemia - Demam
- Perdarahan terlambat - Endometritis atau sisa plasenta (terinfeksi atau tidak)
7. - Perdarahan segera (P3) (Perdarahan intraabdominal dan atau vaginum) - Nyeri perut berat
- Syok - Nyeri tekan perut - Denyut nadi ibu cepat
- Robekan dinding uterus (ruptura uteri)
2.2 Perdarahan Postpartum Primer
2.2.1 Pengertian Perdarahan Postpartum Primer
Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam
pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.32
2.2.2 Penyebab Perdarahan Postpartum Primer
a. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan
sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu
menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya
perdarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada
bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan.
Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting
dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan
tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut
mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk
angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot
berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk
berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan.
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :
1. Partus lama
2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar,
hidramnion atau janin besar
3. Multiparitas
4. Anestesi yang dalam
5. Anestesi lumbal
Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan
plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.53
b. Sisa Plasenta
Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara
efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan postpartum yang terjadi
segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta
segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang
hilang, uterus harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan.42
c. Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan
dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina.42
Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan
vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.
Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya.
Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah
perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina,
serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan
robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau pecahnya pembuluh darah vena.
Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan
pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan
dihentikan dengan melakukan ligasi.32
d. Inversio Uteri
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat
secara mendadak atau terjadi perlahan.32
Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah
dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba
dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah
kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali
pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio
uteri dibagi dalam beberapa tingkat53:
1. Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut
2. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina
3. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina.
Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan
itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa
menyebabkan syok.
e. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin
lahir. Hal tersebut disebabkan53:
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian
plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya.
2.3 Beberapa Faktor yang Memengaruhi Perdarahan Postpartum Primer
2.3.1 Umur
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pasca persalinan yang dapat mengakibatkan
kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang
wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi
reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi
normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pasca persalinan terutama
perdarahan akan lebih besar.
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan
persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada
usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi
pada usia 20-29 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun.53
2.3.2 Pendidikan
Menurut Depkes RI (2002), pendidikan yang dijalani seseorang memiliki pengaruh
pada peningkatan kemampuan berfikir, dimana seseorang yang berpendidikan lebih tinggi
akan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional, umumnya terbuka untuk menerima
perubahan atau hal baru dibandingkan dengan individu yang berpendidikan lebih rendah.
Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia yang lebih
tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan mencari pelayanan
antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan mencari pertolongan dukun bila
hamil atau bersalin dan juga dapat memilih makanan yang bergizi.
2.3.3 Paritas
Paritas merupakan faktor risiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer.
Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi
persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadi selama
kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin sering wanita mengalami kehamilan dan
melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus semakin lemah sehingga besar risiko komplikasi
kehamilan.32
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi
(lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Lebih
tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan
asuhan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau
dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak
direncanakan.53
2.3.4 Jarak Antar Kelahiran
Jarak antar kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai terjadinya
kelahiran berikutnya. Jarak antar kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi kehamilan.Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh
ibu kembali seperti kondisi sebelumnya.
Bila jarak antar kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan
kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai
karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
2.3.5 Riwayat Persalinan Buruk Sebelumnya
Riwayat persalinan di masa lampau sangat berhubungan dengan hasil kehamilan dan
persalinan berikutnya. Bila riwayat persalinan yang lalu buruk petugas harus waspada
terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan berlangsung. Riwayat persalinan
buruk ini dapat berupa abortus, kematian janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea,
persalinan sulit atau lama, janin besar, infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum
dan postpartum.
2.3.6 Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) anemia pada ibu hamil adalah kondisi
dengan kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 11,0 gr%.
Volume darah ibu hamil bertambah lebih kurang sampai 50% yang menyebabkan
konsentrasi sel darah merah mengalami penurunan. Bertambahnya sel darah merah masih
kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah.
Perbandingan tersebut adalah plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Keadaan ini
tidak normal bila konsentrasi turun terlalu rendah yang menyebabkan hemoglobin sampai <11
gr%. Meningkatnya volume darah berarti meningkatkan pula jumlah zat besi yang dibutuhkan
untuk memproduksi sel-sel darah merah sehingga tubuh dapat menormalkan konsentrasi
hemoglobin sebagai protein pengankut oksigen.53
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi
komplikasi kehamilan serta persalinan. Anemia juga menyebabkan peningkatan risiko
perdarahan pasca persalinan. Rasa cepat lelah pada penderita anemia disebabkan metabolisme
energi oleh otot tidak berjalan secara sempurna karena kekurangan oksigen. Selama hamil
diperlukan lebih banyak zat besi untuk menghasilkan sel darah merah karena ibu harus
memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan saat bersalin ibu membutuhkan
hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-otot uterus dapat berkontraksi dengan baik.
Pemeriksaan dan pengawasan hemoglobin dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sahli. Hasil pemeriksaan dengan alat sahli dapat digolongkan sebagai berikut (Manuaba,
1998) :
1. Hb > 11,0 gr% disebut tidak anemia
2. Hb 9,0 gr% - 10,9 gr% disebut anemia ringan
3. Hb 7,0 gr% - 8,9 gr% disebut anemia sedang
4. Hb < 6,9 gr% disebut anemia berat
Pemeriksaan darah dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu pada trimester
I dan trimester III.
2.4 Pengaruh Paritas terhadap Perdarahan Postpartum Primer
Paritas atau para adalah wanita yang pernah melahirkan bayi (Manuaba, 1998).
Paritas adalah keadaan seorang wanita sehubungan dengan kelahiran anak yang dapat hidup.
Menurut Prawirohardjo (2002), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan
grandemultipara.
1. Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak yang cukup besar untuk hidup di
dunia luar.
2. Multipara
Multipara adalah wanita yang telah melahirkan anak lebih dari satu kali.
3. Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya
mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan.
Kematian maternal lebih banyak terjadi dalam 24 jam pertama postpartum yang
sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Sebab yang paling umum dari
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pascapersalinan atau yang biasa disebut
perdarahan postpartum primer adalah kegagalan rahim untuk berkontraksi sebagaimana
mestinya setelah melahirkan, plasenta yang tertinggal dan uterus yang turun atau inversi. Dari
beberapa sebab perdarahan tersebut, salah satu faktor pemicunya adalah paritas.
Pada paritas yang rendah (paritas 1), menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam
menghadapi persalinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang
terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas. Pada paritas tinggi (lebih dari 3), fungsi
reproduksi mengalami penurunan, otot uterus terlalu regang dan kurang dapat berkontraksi
dengan baik sehingga kemungkinan terjadi perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.32
2.5 Manajemen Perdarahan Post Partum
2.5.1 Manajemen Standar
2.5.1.1 Masase Uterus;
2.5.1.2 Manual Plasenta
2.5.1.3 Kompresi Uterus Bimanual
2.5.1.4 Pemberian Uterotonika
2.5.2 Manajemen Bedah
2.5.2.1 Tampon Uterus Internal;
2.5.2.2 Pelvic Pressure Pack;
2.5.2.3 Embolisasi;
2.5.2.4 Jahitan Compression;
2.5.2.5 Ligasi Arteri Iliaka Interna (Hipogastrika);
2.5.2.6 Histerektomi Peripartum.
2.5 Manajemen Standar
2.5.1 Masase Uterus
Masase uterus dilakukan dengan membuat gerakan meremas yang lembut berulang-
ulang dengan satu tangan pada perut bagian bawah untuk merangsang uterus berkontraksi.
Hal ini diyakini bahwa gerakan berulang seperti ini akan merangsang produksi prostaglandin
dan menyebabkan kontraksi uterus dan mengurangi kehilangan darah, meskipun hal ini akan
mengakibatkan ketidaknyaman atau bahkan menyakitkan 14. Secara keseluruhan, masase
uterus tampaknya memiliki beberapa keuntungan dari segi kehilangan darah ibu 14.
2.5.1.2. Manual Plasenta
Plasenta manual adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding
uterus dan mengeluarjannya dari cavum uteri secara manual.Plasenta manual dilaksanakan
stelah dilaksanakan manajemen aktif kala III, dimana setelah 30 menit terlampaui dan telah
diberikan oksitosin 10 unit untuk kedua kalinya plasenta tidak lahir, dengn catatan ada tanda –
tanda perdarahan.Hal ini biasanya dilakukan di bawah anestesi atau lebih jarang, di bawah
sedasi dan analgesia. Tangan dimasukkan melalui vagina ke dalam rongga rahim dan plasenta
terlepas dari dinding rahim dan kemudian diambil secara manual. Jika plasenta tidak dapat
dipisahkan dengan mudah dari permukaan uterus, mungkin ada plasenta akreta.
2.5.1.3. Kompresi Uterus Bimanual
Kompresi Bimanual Eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua
belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar, bila perdarahan
berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila
belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal
Kompresi Bimanual Internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam
vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan
berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap
terjadi , coba kompresi aorta abdominalis
Kompresi Aorta Abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut,
genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu
badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau
sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan
perdarahan yang terjadi
2.5.1.4 Pemberian Uterotonika
Oksitosin
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya
umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan
kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara im atau iv, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus
dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU
intramiometrikal. Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea
dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan 13.
Dengan menggunakan terapi uterotonika yang sesuai dan tepat waktu, mayoritas
wanita dengan atonia uterus dapat menghindari intervensi bedah. Stimulasi kontraksi uterus
biasanya dicapai dengan pemijatan uterus bimanual dan injeksi oksitosin (baik secara
intramuskuler atau intravena), dengan atau tanpa ergometrine. oksitosin melibatkan stimulasi
dari segmen uterus bagian atas untuk kontraksi secara ritmik. Karena oksitosin mempunyai
half-life dalam plasma pendek (rata-rata 3 menit), infus intravena secara kontinu diperlukan
untuk menjaga uterus berkontraksi . Dosis biasa adalah 20 IU dalam 500 ml larutan kristaloid,
dengan tingkat dosis disesuaikan dengan respon (250 ml / jam). Ketika diberikan secara
intravena, puncak konsentrasi dicapai setelah 30 menit. Sebaliknya, jika diberikan secara
intramuskular mempunyai onset yang lebih lambat (3-7 menit) tetapi efek klinis berlangsung
lama (hingga 60 menit) 15.
Methyl Ergometrine
Berbeda dengan oksitosin, ergometrine menyebabkan kontraksi tonik yang terus
menerus melalui stimulasi reseptor α-adrenergik miometrium terhadap kedua segmen bagian
atas dan bawah uterus dengan demikian dirangsang untuk berkontraksi secara tetanik.
Suntikan intramuskular dosis standar 0,25 mg dalam permulaan aksi 2-5 menit.
Metabolismenya melalui rute hepar dan half-life nyadalam plasma adalah 30 menit.
Meskipun demikian, dampak klinis dari ergometrine berlangsung selama sekitar 3 jam.
Respon oksitosin segera dan ergometrine lebih berkelanjutan 15.
Misoprostol
Misoprostol adalah suatu analog sintetik prostaglandin E1 yang mengikat secara
selektif untuk reseptor prostanoid EP-2/EP-3 miometrium, sehingga meningkatkan
kontraktilitas uterus. Hal ini dimetabolisme melalui jalur hepar. Ini dapat diberikan secara
oral, sublingual, vagina, dubur atau melalui penempatan intrauterin langsung. pemberian
melalui rektal terkait dengan tindakan awal, tingkat puncak yang lebih rendah dan profil efek
samping yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan rute oral atau sublingual.
Misoprostol oral sebagai agent profilaksis untuk partus kala III menunjukkan kurang efektif
untuk mencegah perdarahan postpartum dibandingkan pemberian oksitosin parenteral.
Namun, karena kenyataan bahwa interval waktu Misoprostol lebih lama yang diperlukan
untuk mencapai kadar puncak serum dapat membuatnya menjadi agen lebih cocok untuk
perdarahan uterus yang berkepanjangan, dan dalam perannya sebagai terapi bukan agen
profilaksis 15.
2.5.2 Manajemen Bedah
2.5.2.1 Tampon Uterus Internal
Asal-usul dari kata tampon tampaknya datang dari kata Prancis, yang membawa
konotasi plug, atau sumbatan yang dimasukkan ke luka terbuka atau rongga tubuh untuk
menghentikan aliran darah 16.
Pada perdarahan postpartum, dengan memasukkan beberapa jenis tampon uterus untuk
menghentikan aliran darah. Biasanya dalam bentuk satu bungkus kasa atau balon kateter.
prosedur internal uterin tamponadetelah digunakan dengan sukses secara tersendiri atau
dalam kombinasi dengan Brace jahitan untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan
postpartum .
Prinsip Tampon Uterin
Prinsip tampon uterin dalam menghentikan perdarahan dengan membuat tekanan intrauterin.
Ini bisa dicapai dengan dua cara:
1. Dengan masuknya balon yang mengakibatkan distensi dalam rongga uterus dan
menempati seluruh ruang, sehingga menciptakan tekanan intrauterin yang lebih besar
dari pada tekanan arteri sistemik. Dengan tidak adanya lecet, aliran darah ke dalam uterus
akan berhenti saat tekanan di balon tampon lebih besar daripada tekanan arteri sistemik;
2. Dengan penyisipan dari uterine pack yang terdiri dari gulungan kasa yang dikemas
dimasukkan ke dalam uterus dengan demikian tekanan kapiler langsung pada perdarahan
pembuluh vena atau permukaan dari dalam uterus, sehingga dapat menghentikan
perdarahan uterus 16.
Tindakan Ini harus dilakukan di ruang operasi dengan anestesi dan staf keperawatan serta
persiapan transfusi darah. Wanita itu ditempatkan dalam Davies Lloyd atau posisi lithotomy
dengan kateter. Pemeriksaan dilakukan dibawah pembiusan. kemudian prosedur tampon
dicoba. Uterotonika dan hemostatik disarankan sebagai terapi tambahan dan dapat diberikan
secara simultan 16.
2.5.2.2 Pelvic Pressure Pack
Ketika farmakologis dan intervensi bedah gagal untuk memperbaiki perdarahan
postpartum, histerektomi menjadi pilihan terakhir. pelvic pressure pack pasca-bedah adalah
konsep lama dan salah satu yang telah digunakan untuk mengontrol perdarahan dari berbagai
sumber, termasuk trauma liver, pra-eclampsia induced rupture hepar, kanker dubur, dan
pembedahan kanker ginekologik. Pada tahun 1926, Logothetopoulos menjelaskan pengelolaan
perdarahan panggul post histerektomi yang tidak terkendali. Teknik ini kemudian disebut
jamur, parasut, payung, tekanan panggul, atau packLogothetopoulos 17.
Singkatnya, pelvic pressure pack berasal dari bahan-bahan medis yang umum tersedia
dan sederhana dan dalam hal kontrol perdarahan berhasil dicapai sebagian besar kasus. Jika
pelvic pressure pack gagal untuk mengendalikan perdarahan, intervensi medis, bedah dan
radiologi akan diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. pelvic pressure pack akan
sangat berguna di negara berkembang di mana kemampuan pembedahan dan teknologi,
seperti embolisasi arteri selektif tidak tersedia. Pada kebanyakan kasus, pelvic pressure pack
akan mampu menghantarkan pasien yang kritis ke pemulihan pasca operasi, di mana
pemulihan hemodinamik, temperatur, hematologi, dan hemostasis asam-basa dapat dicapai 17.
2.5.2.3 Embolisasi
Ketika perlakuan standar perdarahan postpartum tidak berhasil, maka, percutaneous
transcatheter arterial embolization (selanjutnya disebut embolisasi) dapat dipilih. Tujuan
utama dari embolisasi adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dari uterus atau jalan lahir
dan untuk mencegah perdarahan berulang. Apabila hal ini tidak mungkin, usaha terakhir
adalah untuk menutup jalan arteri iliaka internal sementara untuk membantu intervensi bedah
berikutnya18.
Ketika embolisasi berhasil, di sisi lain, pasien bisa cepat sembuh tanpa menjalani
operasi tambahan. Embolisasi tidak hanya menyelamatkan kehidupan pasien, tetapi juga
uterus dan organ adnexa, sehingga mempertahankan kesuburan. Prosedur ini juga bermanfaat
pada pasien yang tidak dapat menerima transfusi karena alasan agama atau lainnya Di rumah
sakit yang mana embolisasi tersedia, merupakan prosedur pilihan untuk perdarahan
postpartum sebelum intervensi bedah 18.
2.5.2.4 Jahitan Kompresi
2.5.2.4.1 Jahitan kompresi B-Lynch
Manajemen bedah pada perdarahan postpartum termasuk ligasi dari arteri uterina,
ligasi iliaka interna, dan akhirnya abdominal histerektomi total atau subtotal10. Selain itu ada
sebuah prosedur manajemen alternatif bedah konservatif yang dikenal dengan teknik jahitan
kompresi dan terbukti efektif untuk mengontrol perdarahan postpartum. Prosedur ini pertama
kali dilakukan dan dijelaskan pada tahun 1997 oleh Mr. Christopher B-Lynch, seorang
konsultan obstetri, ahli bedah ginekologi , anggota dari the Royal College of Obstetricians
and Gynaecologists of the UK, dan anggota dari the Royal College of Surgeons of Edinburgh,
bermarkas di Milton Keynes General Hospital National Health Service (NHS) Trust (Oxford
Deanery, UK), selama menangani pasien dengan perdarahan postpartum, pasien ini menolak
untuk dilakukan histerektomi 17.
Prinsip
Jahitan ditujukan untuk menimbulkan kompresi vertikal berkelanjutan pada sistim vaskuler.
Pada kasus perdarahan postpartum karena plasenta previa, jahitan kompresi segmen
transversal lebih efektif 10.
Bahan
Berbagai bahan jahitan telah dicoba, termasuk vicryl (polyglactin 910), dexon
(polyglycolic asam), PDS (polydioxanone), prolene (monofilamen polypropylene) dan nilon.
Diyakini bahwa jahitan yang ideal adalah jahitan yang kuat, berbahan monofilamen (untuk
meminimalkan kemungkinan terjadinya trauma pada jaringan yang lemah pada atonia uteri),
cepat diserap, dan dipasang pada jarum melengkung yang besar untuk kemudahan
penempatan jahitan. Bahan tidak diserap atau perlahan-lahan diserap oleh usus dapat
mengakibatkan proses inflamasi, sehingga jahitannya menjadi longgar, dan juga dapat
merangsang pembentukan adhesi. Idealnya, perlu jahitan untuk mempertahankan daya regang
selama 48-72 jam, dan kemudian diserap dengan cepat. Atas dasar ini, monocryl
(polyglecaprone 25) telah dinyatakan oleh Price dan B-Lynch sebagai bahan yang paling yang
sesuai untuk jahitan B-Lynch 21,22.
Dua mekanisme utama penyerapan pada benang yang diserap. Bahan benang yang
berasal dari biologis seperti usus secara bertahap dicerna oleh enzim jaringan sedangkan
bahan benang yang dibuat dari polimer sintetis akan dipecah melalui hidrolisis (air masuk ke
benang yang menyebabkan rusaknya rantai polimer) didalam cairan jaringan. Di stadium
pertama proses absorbsi kekuatan benang berangsur berkurang (beberapa minggu), kemudian
pada stadium kedua terdapat hilangnya materi benang 53.
Teknik Prosedur Jahitan B-Lynch
1. Posisi ahli bedah berdiri di sebelah kanan pasien, dianggap ahli bedah tidak kidal.
2. Laparatomi sangat penting untuk melihat keadaan uterus.
Melakukan Insisi transversal segmen bawah rahim atau Pembukaan kembali jahitan seksio
sesaria pada segmen bawah rahim untuk memeriksa rongga uterus apakah ada sisa
plasenta dan untuk membersihkannya 10.
3. Sebelum prosedur jahitan B-lynch dimulai, penting melakukan uji efektifitas penggunaan
dari teknik jahitan B-lynch.
Pasien dalam posisi Lloyd davies atau semi litotomi (kaki katak), seorang asisten berdiri
diantara kaki pasien dan secara berkala melakukan pembersihan vagina untuk menentukan
adanya perdarahan dan lainnya. Uterus kemudian di eksteriorkan dan dilakukan kompresi
bimanual (jika sudah dilakukan seksio sesarea sebelumnya, lokasi tersebut ditekan
kembali), seluruh uterus kemudian dikompresi dengan meletakkan satu tangan dengan
ujung jari berada pada serviks dibagian posterior dan tangan lainnya tepat dibawah
bladder dibagian anteriornya. Jika perdarahan berhenti dengan melakukan kompresi
tersebut, maka ada peluang baik untuk dilakukan aplikasi jahitan B-lynch yang akan
bekerja dan menghentikan perdarahan 10.
Jika kriteria dari uji penggunaan jahitan B-lynch sudah didapatkan, uterus tetap dalam
keadaan eksteriorasi hingga aplikasinya lengkap. Asisten senior mengambil alih dalam
melakukan kompresi dan mempertahankannya dengan dua tangan selama dilakukannya
jahitan oleh ahli bedah yang memimpin.
1. Jahitan pertama dilakukan 3 cm di bawah insisi histerotomi / seksio sesaria pada sisi kiri
pasien dan dirajut sepanjang rongga uterus untuk menutup 3 cm diatas tepi insisi kira-kira
4 cm dari batas lateral uterus (gambar 1a(i);
2. Jahitan kemudian dilakukan pada bagian atas uterus dan bagian belakangnya. Saat lokasi
jahitan tepat difundus, penjahitan harus dilakukan kurang lebih vertikal dan berada sekitar
4 cm dari kornu, tidak ada kecenderungan terjadinya pergeseran kearah lateral menuju
broad ligamen karena uterus telah dikompresi dan jahitan melekat, sehingga memastikan
bahwa penutupan jahitan yang tepat telah dicapai dan dipertahankan (gambar 1a);
3. Pada bagian belakang uterus dimana penjahitan dilakukan sepanjang dinding uterus.
Tepatnya pada bidang horizontal pada tingkat insisi uterus dari perlekatan / insersi
ligament uterosakral (gambar 1b);
4. Saat jarum menembus sisi rongga uterus dari dinding posterior, lalu diarahkan ke dinding
posterior, sehingga jahitan berada diatas fundus dan pada sisi kanan anterior uterus. Jarum
dimasukkan kembali ke rongga uterus seperti yang dilakukan pada sisi kiri, yaitu 3 cm
diatas insisi atas dan 4 cm dari sisi lateral uterus melalui tepi atas insisi, menuju rongga
uterus dan keluar lagi sepanjang 3 cm dibawah tepi bawah insisi (gambar 1a (ii));
5. Asisten mempertahankan kompresi saat benang jahitan dilekatkan dari sudut yang berbeda
untuk memastikan tekanan yang seragam dan tidak bergeser. Kedua ujung jahitan
dilakukan “double throw knot” untuk keamanan dalam mempertahankan tekanan;
6. Tekanan pada kedua ujung benang dapat dijaga selama proses penutupan segmen bawah
rahim yang diinsisi atau simpul diikat terlebih dahulu diikuti dengan penutupan segmen
bawah rahim (gambar 2c) jika ini dipilih, hal ini sangat penting untuk memperhatikan
sudut insisi histerotomi dan posisi jahitan sebelum simpul ini diikat untuk memastikan
bahwa segmen terbawah telah tertutup dan sudut insisi tertutup rapat. Kedua prosedur ini
sama baiknya. Sangat penting untuk mengidentifikasi sudut insisi uterus untuk
meyakinkan tidak ada titik perdarahan.
7. Pasca aplikasi dan penutupan histerotomi. Pada tahapan ini dapat terjadi efek maksimum
dari tekanan jahitan, dalam kurun waktu 24-48 jam. Karena uterus mengkerut pada
minggu pertama setelah persalinan pervaginam / seksio sesarea, jahitan mulai kehilangan
kontraksinya ,akan tetapi proses hemostasis telah terjadi. Tidak ada alasan untuk menunda
penutupan dinding abdomen setelah aplikasi jahitan. Asisten berdiri diantara kedua
◄Gambar 1 :
a – c Prosedur Teknik B-Lynch 10
tungkai dan melakukan pembersihan pada vagina dan meyakinkan bahwa perdarahan
telah terkontrol.
Aplikasi Setelah Persalinan Normal Vagina.
Jika laparatomi diperlukan sebagai manajemen dari perdarahan atonia postpartum,
histerotomi sangat penting untuk melakukan aplikasi jahitan B-lynch. Histerotomi dilakukan
untuk mengeksplorasi rongga uterin, mengeluarkan produk-produk konsepsi , mengevakuasi
blood clot yang besar dan mendiagnosa plasentasi abnormal, kerusakan dan perdarahan.
Teknik penjahitan B-lynch dengan modifikasinya, tanpa histerotomi akan mengakibatkan
perdarahan postpartum sekunder oleh karena itu memastikan bahwa rongga uterus benar-
benar kosong. Kemudian histerotomi bisa juga untuk menunjukkan bahwa penjahitan yang
benar dari jahitan tersebut akan memberi efek kompresi maksimum, selama dan setelah
penjahitan, dengan memakai teknik B-lynch , ini juga untuk menghindari obliterasi servikal /
rongga uterus yang bias menyebabkan penumpukan bekuan darah, debris infeksi, pyometra,
sepsis dan kematian. Penjahitan untuk plasentasi abnormal 22,24,25,26. Jahitan B-lynch bisa
bermanfaat pada kasus plasenta akreta, perkreta, dan inkreta. Kompresi jahitan transversal ke
anterior bawah atau Kompartemen posterior atau keduanya, dilakukan untuk mengontrol
perdarahan. Jika ini tidak berhasil longitudinal brace jahitan component bisa dilakuan untuk
memicu proses hemostasis 26.
Seluruh uterus dikompresi dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan menggunakan
benang yang dapat diserap , mengikat pada anterior dan posterior segmen bawah uterus
sehingga integritas dan hemostasis dipelihara, sebagaimana dibuktikan oleh laparoskopi,
histerosalpingografi, USS dan MRI dan visualisasi langsung uterus pada saat operasi sesarea
elektif berikutnya 27,28. Rongga yang tetap terbuka ini untuk aliran darah tetap terjaga .
Pyometra, yang telah dilaporkan dalam satu kasus setelah jahitan Teknik Square dimana
teknik ini menghilangkan rongga uterus 25. Kejadian ini belum ada laporan pada pasien yang
menggunakan teknik jahitan B-Lynch. Salah satu pengamatan yang paling penting untuk
komplikasi jahitan B-Lynch adalah involusi cepat dari uterus selama minggu pertama pasca
persalinan. Fisiologis ini mencegah proses ketegangan berlebihan dari jahitan ke uterus.
Jahitan kompresi uterus tepat untuk perdarahan postpartum primer dan sekunder pada
atonia uteri, DIC, plasenta akreta, inkreta dan previa. Tindakan ini tidak direkomendasikan
pada perdarahan postpartum primer dan sekunder tanpa terlebih dahulu menggunakan
langkah-langkah medis yang telah direkomendasikan. Memang dianjurkan sebelum
dilakukan pembedahan lebih radikal. Landasan pengelolaan pada perdarahan postpartum
dengan teknik ini adalah diagnosis dini sebelum pasien menjadi terancam. Teknik jahitan B-
Lynch memperoleh kepercayaan diseluruh dunia sebagai alternatif histerektomi dalam
pengelolaan perdarahan postpartum sebagaimana ditunjukkan dalam literatur internasional.
Prosedur ini lebih cepat dan sederhana dari pada histerektomi atau ligasi iliaka internal 29.
Keuntungan Teknik Jahitan B-Lynch
1. Aplikasi sederhana;
2. Life saving;
3. Relatif aman;
4. Mempertahankan uterus dan fertilitas;
5. Hemostasis dapat dinilai segera setelah aplikasi;
6. Daya regang berkurang dalam 48 jam, sehingga menghindari adanya kerusakan
permanen pada uterus;
7. Uterus yang terbuka memungkinkan mengeksplorasi rongga uterus untuk mengeluarkan
produk-produk yang tertinggal dan memungkinkan penjahitan langsung dibawah
visualisasi operator.
2.5.2.4.2 Jahitan U
Beberapa prosedur melibatkan kompresi dengan jahitan seperti penahanuntuk
mempertahankan uterus setelah perdarahan dengan atonia 11,15,23,45 , juga dengan kombinasi
dengan intrauterine balon kateter 46. Yang lain menjelaskan beberapa jahitan persegi dan
jahitan vertikal kedalam segmen bawah rahim dikombinasikan dengan jahitan penetrasi
miring pada korpus atau beberapa jahitan vertikal 24,47,48,49.
Gambar 2 teknik Jahitan U
Aplikasi jahitan U
Benang Vicryl 0 Yang dapat diserap dan sebuah jarum XLH melengkung digunakan
secara manual untuk menjahit. Untuk melakukan jahitan tunggal U, jarum disisipkan di
dinding ventral uterus, dilanjutkan melalui dinding posterior dan kemudian kembali ke ventral
dinding tempat benang itu bergabung dengan simpul ganda (Gambar 2a dan b). Sementara
ahli bedah yang memimpin mengikat jahitan, yang lain membantu dilakukannya kompresi
uterus bimanual. Jumlah jahitan yang dibutuhkan tergantung pada ukuran uterus dan
banyaknya perdarahan. Secara umum, memakai 6-16 jahitan U pada barisan horizontal
sepanjang uterus (Gambar 2), mulai dari fundus dan berakhir di serviks. Jadi, kira-kira 2-4 cm
jaringan dipadatkan dalam setiap jahitan. Antibiotik diberikan pada semua kasus. Ini
dilanjutkan pasca operasi selama 5 hari 50.
2.5.2.4.3 Metode Jahitan Haemostatic Multiple Square (Cho)
Teknik ini diperkenalkan oleh Cho JI pada tahun2000 24.Tujuan dari teknik ini adalah
untuk mendekati dinding uterusanterior dan posterior sehingga tidak ada ruang sisa pada
rongga uterus. Demikian juga perdarahan dari endometrium karena atonia uteri atau plasenta
bed terkontrol karena tekanan 22.
Teknik ini dilakukan di tempat yang banyak perdarahan pada seluruh dinding uterus,
dari lapisan serosa dinding anterior ke dinding posterior, melalui rongga uterus, teknik jahitan
ini berbentuk angka 7 atau angka 8 dengan menggunakan jarum bedah lurus, benang chromic
atraumatic nomor 1. beberapa jahitan kemudian dimasukkan sehingga tidak ada ruang sisa
pada rongga uterus. Jika perdarahan disebabkan oleh atonia uterus, empat sampai lima jahitan
persegi ditempatkan secara merata seluruh uterus dari fundus ke segmen yang lebih rendah.
Jika perdarahan itu karena plasenta akreta, dengan sumber perdarahan dari tempat plasenta,
jahitan difokuskan pada dua sampai tiga tempat sumber perdarahan yang banyak. Dengan
menjahit beberapa daerah dengan metode ini, perdarahan dapat dikendalikan dengan menekan
dinding uterus anterior dan posterior. Jika perdarahan terjadi di segmen bawah uterus karena
plasenta previa, hemostasis dilakukan pada beberapa tempat dengan jahitan persegi
disisipkan setelah mendorong kandung kemih ke bawah 22. Namun teknik ini dapat
menyebabkan risiko pada rongga uterus dengan perkembangan selanjutnya menjadi
pyometra 25. Teknik ini juga kurang berhasil dibandingkan dengn teknik jahitan B-Lynch 51.
2.5.2.4.4 Modifikasi Teknik B-Lynch Oleh Hayman
Modifikasi teknik B-Lynch oleh Hayman (2002) 23, memiliki keunggulan, teknik yang
sederhana dan cepat, untuk melakukannya tidak memerlukan uterus dibuka. Menggunakan
jarum lurus Dexon nomor 2, jahitan dilakukan tusukan pada seluruh dinding uterus , di atas
refleksi kandung kemih, dari dinding anterior (3 cm di bawah dan 2 cm medial tepi bawah
rongga uterus) ke posterior dinding uterus
Gambar 3 Teknik Hayman Gambar 4 Teknik Cho multiple
square
2.4.2.5 Ligasi Arteri Iliaka Interna (Hipogastrika)
Sejumlah publikasi menyatakan ligasi arteri iliaka internal tersebut telah digunakan oleh ahli
bedah dengan berbagai spesialisasi di seluruh dunia.
Indikasi Ligasi Arteri Iliaka Internal
Pencegahan, indikasi ligasi arteri iliaka internal untuk tindakan pencegahan meliputi
perdarahan post aborsi, perdarahan postpartum, atonia uteri sebelum histerektomi, solusio
plasenta dengan atonia uterus, kehamilan abdominal dengan pelvis implantasi plasenta,
plasenta akreta dengan perdarahan keras, dan sebelum total atau subtotal histerektomi ketika
semua langkah yang konservatif telah gagal 19.
Pasien yang juga dianggap beresiko tinggi untuk perdarahan postpartum berulang,
plasenta previa atau mempunyai faktor-faktor risiko yang penting mungkin menjadi kandidat
untuk ligasi profilaksis iliaka internal. penilaian klinis sangat penting dan jika ligasi
profilaksis dianggap jalan terbaik, maka tidak boleh ditunda 19. Tindakan ligasi diperlukan
pada keadaan:
1. Sebelum atau setelah histerektomi untuk perdarahan postpartum;
2. Apabila terjadi perdarahan yang signifikan dari bagian bawah ligamentum latum ;
3. Apabila ada perdarahan yang banyak dari dinding samping pelvis;
4. Jika ada perdarahan berlebihan dari sudut vagina;
5. Dimana terjadi perdarahan yang difus tanpa identifikasi yang jelas dari vascular bed;
6. Ketika ada indikasi tambahan termasuk atonia uteri dimana metode konvensional telah
gagal;
7. Luka yang luas pada servix yang terjadi setelah persalinan;
8. Bila ada luka tembakan pada perut bagian bawah;
9. Dalam hal fraktur panggul dan perdarahan intraperitoneal.
Dalam keadaan seperti itu, histerektomi sendiri mungkin tidak memadai untuk
mengontrol perdarahan. ligasi arteri iliaka internal, unilateral atau bilateral, menjadi perlu dan
tidak boleh ditunda dalam situasi yang membahayakan jiwa 19.
Ligasi Arteri Uterina
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-
90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi
batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan seksio sesarea, ligasi dilakukan 2-3 cm
dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang
besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan
jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular
ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina
dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk
menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak
efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah
ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada
segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih
terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian 13.
Ligasi arteri Iliaka Interna
Identifikasi bifurkasio arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya
harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah
peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan
menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari
trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus
dilakukan sebelum dan sesudah ligasi risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang
dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini operator harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien 13.
2.5.2.6 Histerektomi Peripartum
Histerektomi emergensi peripartum adalah pilihan terakhir yang diambil bila terjadi
maternal morbiditas yang berat dan juga near miss mortality. Kajian data selama 25 tahun
terakhir menunjukkan insiden yang bervariasi, dari satu kejadian per 3313 persalinan sampai
satu kejadian per 6978 persalinan. Di Negara berkembang kejadiannya mencapai satu per
2000 persalinan 20.
Angka mortalitas maternal yang dihubungkan dengan histerektomi emergensi berkisar
0 - 30%, dengan angka kejadian yang tertinggi pada daerah dengan sarana rumah sakit dan
pelayanan kesehatan yang minimal. Namun demikian, sekalipun pada Negara dengan angka
mortalitas yang rendah, angka morbiditasnya dapat tetap tinggi akibat perdarahan, transfusi
darah, disseminated intravascular coagulation, infeksi dan potensi cedera pada saluran kemih
bagian bawah. Perdarahan obstetri, seperti pada plasenta previa dan/atau plasenta akreta,
sudah seharusnya kasus-kasus seperti ini dirujuk ke fasilitas dengan peralatan dan personel
yang mampu memberikan pilihan histerektomi 20.
JENIS-JENIS HISTEREKTOMI
Histerektomi parsial (subtotal). Pada histerektomi jenis ini, rahimn diangkat, tetapi
mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena
kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan leher
rahim) secara rutin.
Histerektomi total. Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim diangkat secara
keseluruhan.
Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral. Histerektomi ini mengangkat uterus,
mulut rahim, kedua tuba falopii, dan kedua ovarium. Pengangkatan ovarium
menyebabkan keadaan penderita seperti menopause meskipun usianya masih muda.
Histerektomi radikal, histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan
kelenjar limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada beberapa jenis
kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa penderita.
Histerektomi dapat dilakukan melalui 3 macam cara, yaitu abdominal, vaginal dan
laparoskopik. Pilihan ini bergantung pada jenis histerektomi yang akan dilakukan, jenis
penyakit yang mendasari, dan berbagai pertimbangan lainnya. Histerektomi abdominal tetap
merupakan pilihan jika uterus tidak dapat dikeluarkan dengan metode lain. Histerektomi
vaginal awalnya hanya dilakukan untuk prolaps uteri tetapi saat ini juga dikerjakan pada
kelainan menstruasi dengan ukuran uterus yang relatif normal. Histerektomi vaginal memiliki
resiko invasive yang lebih rendah dibandingkan histerektomi abdominal. Pada histerektomi
laparoskopik, ada bagian operasi yang dilakukan secara laparoskopi (garry, 1998)
KOMPLIKASI
a. Hemoragik
Keadaan hilangnya cairan dari pembuluh darah yang biasanya terjadi dengan cepat dan
dalam jumlah yang banyak. Keadaan ini diklasifikasikan dalam sejumlah cara yaitu,
berdasarkan tipe pembuluh darah arterial, venus atau kapiler, berdasarkan waktu sejak
dilakukan pembedahan atau terjadi cidera primer, dalam waktu 24 jam ketika tekanan
darah naik reaksioner, sekitar 7-10 hari sesudah kejadian dengan disertai sepsis sekunder,
perdarahan bisa interna dan eksterna.
b. Thrombosis vena
Komplikasi hosterektomi radikal yang lebih jarang terjadi tetapi membahayakan jiwa
adalah thrombosis vena dalam dengan emboli paru-paru, insiden emboli paru-paru
mungkin dapat dikurangi dengan penggunaan ambulasi dini, bersama-sama dengan
heparin subkutan profilaksis dosis rendah pada saat pembedahan dan sebelum mobilisasi
sesudah pembedahan yang memadai.
1. Infeksi
Infeksi oleh karena adanya mikroorganisme pathogen, antitoksinnya didalam darah
atau jaringan lain membentuk pus.
2. Pembentukan fistula
Saluran abnormal yang menghubungkan 2 organ atau menghubungkan 1 organ
dengan bagian luar. Komplikasi yang paling berbahaya dari histerektomi radikal
adalah fistula atau striktura ureter. Keadaan ini sekarang telah jarang terjadi, karena
ahli bedah menghindari pelepasan ureter yang luas dari peritoneum parietal, yang
dulu bisa dilakukan. Drainase penyedotan pada ruang retroperineal juga digunakan
secara umum yang membantu meminimalkan infeksi.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Radiologi
USG dapat membantu menemukan abnormalitas dalam kavum uteri dan adanya
hematom.
Angiografi dapat digunakan pada kemungkinan embolisasi dari pembuluh darah.
2. Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai masaa di rongga pelvis serta
menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter
3. Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa disertai dengan
infertilitas.
4. Laparoskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis
5. Laboratorium, darah lengkap, urine lengkap, gula darah, tes fungsi hati, ureum, kreatinin
darah.
Darah Lengkap
o Untuk memeriksa kadar Hb dan hematokrit
o Perhatikan adanya trombositopenia
PT dan aPTT diperiksa untuk menentukan adanya gangguan koagulasi.
6. Tes kehamilan
7. D/K (dilatasi dan kuretase) pada penderita yang disertai perdarahan untuk menyingkirkan
kemungkinan patologi pada rahim (hyperplasia atau adenokarsinoma endometrium).
PENATALAKSANAAN
Setelah plasenta lahir perlu ditentukan apakah uterus berkontraksi dengan baik, atau
adakah perdarahan karena atonia uteri.
Pada kasus dengan faktor predisposisi atonia uteri, setelah bayi lahir disuntikkan
synthetic oxytocin 10 UI IM. Apabila dalam 30 menit plasenta belum lahir dilakukan
pengeluaran plasenta secara manual. Tetapi bila terjadi perdarahan banyak meskipun belum
sampai 30 menit plasenta juga harus segera dilahirkan.
Setelah plasenta lahir disuntikkan uterotonika methyl ergometrin maleat 0,2 mg IV
sekaligus dilakukan pemijatan pada corpus uteri. Apabila kontraksi uterus tetap jelek dan
perdarahan terus terjadi, maka dipasang infus synthetic oxytosin 10 UI, pasang dower
catheter, berikan oxygen dan teruskan pemijatan uterus. Cari penyebab dari perdarahan post
partum apakah hipotonia uteri, robekan jalan lahir, sisa placenta ataukah gangguan
pembekuan darah. Therapy sesuai penyebab yang ditemukan.Tabel 4. Penggunaan Obat Oksitosik9
Oxytocin Ergometrine/ Methyl-ergometrine
15-methyl Prostaglandin F2α
Dose and route IV: Infuse 20 units in 1 L IV
fluids at 60 drops per
minute
IM: 10 units
IM or IV (slowly): 0.2 mg IM: 0.25 mg
Continuing dose
IV: Infuse 20 units in 1 L IV
fluids at 40 drops per
minute
Repeat 0.2 mg IM after 15
minutes
If required, give 0.2 mg IM or
IV (slowly) every 4 hours
0.25 mg every 15
minutes
Maximum dose Not more than 3 L of IV
fluids containing oxytocin
5 doses (Total 1.0 mg) 8 doses (Total 2 mg)
Precautions/Contrain-dications
Do not give as an IV bolus Pre-eclampsia, hypertension,
heart disease
Asthma
Pada kasus dengan perdarahan pasca persalinan dengan kontraksi uterus baik, maka
segera dilakukan inspekulo untuk melihat robekan serviks atau vagina. Bila ditemukan segera
lakukan penjahitan/ hemostasis. Pada gangguan pembekuan darah : transfusi darah segar/
plasma segar/ fibrinogen.
Managemen Perdarahan Postpartum
PPH
Asses Maternal ABC’sMaternal Resuscitation
Massage Uterus Bleeding Stopped
Placenta In Manually removeExplore UterusMassage Uterus
Oxytocin 20 U/l crystalloid Bleeding StoppedCross-match ≥2 units
Bimanual Compression Bleeding Stopped
Uterus Still Atonik Inspect for and repair Vaginal/ Cervical trauma
Consider/treat Coagulopathy
Hemabate 0,25 mg IM/IU Bleeding Stopped+/-
Ergonovine 0,25 mg IM
Skema 1. Manajemen Perdarahan Postpartum
RETENSIO PLASENTA
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir setengah jam setelah janin
lahir. Hal tersebut disebabkan53:
1. Plasenta belum lepas dari dinding uterus
2. Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan.
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan, tapi bila sebagian
plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan dan ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus disebabkan :
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu : kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan
plasenta (plasenta adhesiva)
2. Kelainan dari plasenta , yaitu :
Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua
sampai endometrium (plasenta akreta)
Plasenta merekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus sampai
di bawah peritoneum (plasenta perkreta).
Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab villi korialis menembus desidua
sampai miometrium (plasenta inkreta)
3. Kesalahan manajemen kala III persalinan : manipulasi dari uterus yang tidak perlu
sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik,
pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi
(pembentukan constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta).
DIAGNOSIS dan MANAGEMEN8
Perdarahan Sebelum lahirnya plasenta
Perdarahan dalam kala III persalinan biasanya disebabkan karena retensio plasenta.
Meskipun demikian pasien juga dapat berdarah karena adanya robekan jaan lahir. Ketika
terjadi perdarahan dan plasenta masih didalam uterus hal pertama yang dilakukan adalah
berusaha untuk mengeluarkan plasentadengan tarikan ringan dengan penekanan pada uterus
dengan menekan abdomen. Bila berhasil, uterus harus tetap ditekan dan diberikan oksitosin
intravena. Kompresi bimanual harus tetap dilakukan hingga uterus berkontraksi dengan baik.
Gambar 1. Kompresi Bimanual
Retensio Plasenta karena kontraksi serviks
Retensio plasenta karena kontraksi serviks hampir selalu terjadi pada persalinan
preterm. Serviks akan menutup hingga hanya terbuka 2 jari. Pada situasi ini tidak dianjurkan
untuk melakukan pengeluaran plasenta dengan tarikan pada tali plasenta, tekanan pada
abdomen maupun pemberian oksitosin. Hal yang lebih baik dilakukan adalah dengan
memberikan nitrogliserin untuk merelaksasi serviks sehingga dapat dilakukan manual
plasenta.
Nitrogliserin merupakan vasodilator kuat, hipotensor dan relaksan otot miometrium.
Pemberian dosis rendah intra vena membuat relaksasi uterus tanpa mempengaruhi tekanan
darah. Meskipun demikian, obat ini sebaiknya tidak digunakan pada pasien syok dan tekanan
darah rendah. Sebelum memasukkan nitrogliserin sebaikknya diberikan cairan intravena
berupa kristaloid sebanyak 500-1000 cc, Kemudian 500 micro gram intravena. Kurang lebih
60-120 detik setelah nitrogliserin dimasukkan, serviks akan relaksasi sehingga tangan
operator dapat masuk kedalam kavum uteri.
Retensio Plasenta karena Perlekatan plasenta yang abnormal10
Terdapat beberapa derajat kuatnya perlekatan plasenta ke dinding uterus. Pada
kebanyakan kasus plasenta dapat lepas dari dinding uterus tanpa kesulitan. Pada beberapa
kasus plasenta melekat erat pada dinding uterus sehingga plasenta sulit lepas dari dinding
uterus sehingga memerlukan tindakan berupa manual plasenta dan perdarahan menjadi sangat
banyak. Kondisi ini disebut plasenta akreta dan kebanyakan berakhir dengan histerektomi.
Plasenta akreta menunjukkan angka kematian 4 kali lebih tinggi dari plasenta yang dapat lahir
normal yang merupakan indikasi histerektomi.
Pada plasenta akreta, perlekatan villi plasenta langsung pada miometrium, yang
mengakibatkan pelepasan yang tidak sempurna pada saat persalinan. Komplikasi yang
signifikan dari plasenta akreta adalah perdarahan post partum. Berdasarkan penelitian oleh
Resnik, angka kejadian plasenta akreta meningkat dan dokter diharapkan waspada akan
kondisi ini, terutama pada wanita yang memiliki riwayat seksio sesaria sebelumnya atau
berbagai penyebab parut pada uterus.
Perdarahan setelah Plasenta lahir
Perdarahan setelah plasenta lahir biasanya disebabkan atonia uteri. Tidak jarang juga
disebabkan karena adanya sisa plasenta, robekan jalan lahir, inversi uteri, ruptur uteri dan juga
gangguan sitem koagulasi.
Hal pertama yang dilakukan pada perdarahan setelah plasenta lahir adalah penekanan
bimanual vaginal dan abdominal, hal ini dapat mengurangi perdarahan. Kemudian dipasang
satu atau dua infus dan diberikan infu oksitosin (30 IU dalam 1000 cc RL)
Bila penekanan uterus dan infus oksitosin tidak berhasil, pasien diperiksa dengan USG
untuk memeriksa sisa jaringan yang masih tertinggal atau dengan tangan memeriksa adanya
robekan uterus.
PENATALAKSANAAN1,5
Inspeksi plasenta segera setelah bayi lahir. jika ada plasenta yang hilang, uterus harus
dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan khususnya jika kita menghadapi perdarahan
post partum lanjut.
Jika plasenta belum lahir, harus diusahakan mengeluarkannya. Dapat dicoba dulu
parasat Crede, tetapi saat ini tidak digunakan lagi karena memungkinkan terjadinya inversio
uteri. Tekanan yang keras akan menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras
dengan kemungkinan syok. Cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara
Brandt, yaitu salah satu tangan penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain
diletakkan pada dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan
terletak dipermukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim.
Dengan melakukan penekanan kearah atas belakang, maka badan rahim terangkat. Apabila
plasenta telah lepas maka tali pusat tidak tertarik keatas. Kemudian tekanan diatas simfisis
diarahkan kebawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali
pusat untuk membantu megeluarkan plasenta. Tetapi kita tidak dapat mencegah plasenta tidak
dapat dilahirkan seluruhnya melainkan sebagian masih harus dikeluarkan dengan tangan.
Pengeluaran plasenta dengan tangan kini dianggap cara yang paling baik. Tehnik ini kita
kenal sebagai plasenta manual.
Indikasi Plasenta manual
Perdarahan pada kala III persalinan kurang lebih 500 cc
Retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir
Setelah persalinan yang sulit seperti forceps, vakum, perforasi dilakukan eksplorasi
jalan lahir.
Tali pusat putus
Tehnik Plasenta Manual3
Sebelum dikerjakan penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum
penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus Ringer Laktat. Operator berdiri atau duduk
dihadapan vulva, lakukan desinfeksi pada genitalia eksterna begitu pula tangan dan lengan
bawah si penolong (setelah menggunakan sarung tangan). Kemudian labia dibeberkan dan
tangan kanan masuk secara obstetris ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri.
Tangan dalam sekarang menyusun tali pusat yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten.
Setelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan pergi ke pinggir plasenta dan
sedapat-dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas. Kemudian dengan sisi tangan sebelah
kelingking, plasenta dilepaskan ialah antara bagian plasenta yang sudah terlepas dengan
dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim.
Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan
ditarik keluar.
PENANGANAN RETENSIO PLASENTA6
Skema 2. Penanganan Retensio Plasenta
DAFTAR PUSTAKA
1. Abd Rabbo SA. 1994. Step-wise uterine devascularization: a novel technique for management of uncontrollable postpartum haemorrhage with the preservation of the uterus. American Journal of Obstetrics and Gynaecology 171:694 – 700
2. Anderson J, Etches D, Smith D. Postpartum haemorrhage. In Damos JR, Eisinger SH, eds. Advanced Life Support in Obstetrics (ALSO)provider course manual. Kansas: American Academy of Family Physicians, 2000:1–15
3. Basket TF. 2003. Emergency obstetric hysterectomy. BJOG:An International Journal of Obstetrics and Gynaecology 23(4),353 – 355.
4. Bhal K, Bhal N, Mulik V, Shankar L. The uterine compression jahitan–a valuable approach to control major haemorrhage at lower segmentsesareaean section.J Obstet Gynaecol 2005;25:10-14.
5. B-Lynch C, Coker A, Lawal AH, Abu J, Cowen MJ. 1997. The BLynch surgical technique for the control of massive postpartum haemorrhage: An alternative to hysterectomy? Five cases reported. British Journal of Obstetrics and Gynaecology 104:372 – 375.
6. B-Lynch C, Cowen M.J. A new non-radical surgical treatment of massive post partum hemorrhage. Contemp Rev Obstet Gynaecol 1997; March:19–24 C. B-Lynch
7. B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum Hemorrhage 1st
Published. Sapiens Publishing,UK. 287-988. B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum Hemorrhage 1st
Published. Sapiens Publishing,UK. 256-61.9. B-Lynch C, Keith L.G., Lalonde A.B., Karoshi M (2006) Postpartum Hemorrhage 1st
Published. Sapiens Publishing,UK..10. Chaudhary P1, Sharma S2, Yadav R3, Dhaubhadel P4 B-Lynch Brace jahitan for
conservative surgical management for placenta increta.Kathmandu University Medical Journal (2003) Vol. 2, No. 2, Issue 6, 149-151
11. Cho JH, Jun HS, Lee CN. Hemostatic suturing technique for uterine bleeding during cesarean delivery. Obstet Gynecol 2000;96: 129–31
12. Dacus JV, Busowski MT, Busowski JD, Smilthson S, Masters K and Sibai BM. 2000. Surgical treatment of uterine atony employing the B-Lynch technique. Journal of Maternal-Fetal Medicine 9(3):194 – 196.
13. Danso D, Reginald P. 2002. Combined B-lynch jahitan with intrauterine balloon catheter triumphs over massive postpartum haemorrhage. BJOG:An International Journal of Obstetrics and Gynaecology 109(8):963.
14. David, L. Dunn “ The Wound Closure Manual”. Ethicon, inc a Johnson & Johnson company15. Depkes RI, Dirjen Binkesmas. Prinsip Pengelolaan Program KIA. Dalam: Pedoman
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). 2004. Hal. 1-11.16. El-Hammamy E, B-Lynch C. A worldwide review of the uses of the uterine compression
jahitan techniques as alternative tohysterectomy in the management of severe post-partum haemorrhage. J Obstet Gynaecol 2005;25:143–9
17. Engelsen IB, Albrechtsen S, Iversen OE. Peripartum hysterectomy-incidence and maternal morbidity. Acta Obstet Gynecol Scand 2001;80:409–412.
18. Ferguson JE, Bourgeois FJ, Underwood PB. 2000. B-Lynch jahitan for postpartum haemorrhage. Obstetrics and Gynecology 95(6 Pt 2):1020 – 1022.
19. Francois K, Ortiz J, Harris C, Foley MR, Elliott JP. Is peripartum hysterectomy more common in multiple gestations? Obstet Gynecol 2005;105:1369–1372.
20. Grotegut CA, Larsen FW, Jones MR, Livingston E. Erosion of a B-Lynch jahitan through the uterine wall: a case report. J Reprod Med 2004; 49: 849-52.
21. Gupta Anjali, Nanda Smriti, Dahiya Pushpa, Chauhan Meennakshi, Sangwan Krishna Placenta percreta causing spontaneous uterine rupture in late pregnancy: conservative surgical management. Australian and New Zealand journal of Obstetrics and gynaecology August 2003 Vol –43 issue 4 p-334
22. Hackethal1,*, D. Brueggmann1, F. Oehmke1, H.-R. Tinneberg1, M.T. Zygmunt2 and K. Muenstedt1 Uterine compression U-jahitans in primary postpartum hemorrhage after Cesarean section: fertility preservation with a simple and effective techniqueHum. Reprod. Advance Access published November 17, 2007
23. Hayman RG, Arulkumaran S, Steer PJ. Uterine compression jahitans: surgical management of post partum hemorrhage. Obstet Gynecol 2002; 99:502–6
24. Hebisch G, Huch A. 2002. Vaginal uterine artery ligation avoids high blood loss and puerperal hysterectomy in postpartum hemorrhage. Obstetrics and Gynecology 2002; 100(3): 574 – 578.
25. Hofmeyr GJ, Abdel-Aleem H, Abdel-Aleem MA,2008.”Uterine massage for preventing postpartum haemorrhage(Review)” In : The Cochrane Library, Issue 3
26. Hwu YM, Chen CP, Chen HS, Su TH. Parallel vertical compression jahitans: a technique to control bleeding from placenta praevia or akreta during sesareaean section. Br J Obstet Gynaecol 2005;112:1420–1423.
27. Joshi MV, Shrivastava M. Partial ischaemic necrosis of the uterus following a uterine brace compression jahitan. BJOG 2004; 111:279-80.
28. Kalu E, Wayne C, Croucher C, Findley I, Manyonda I. 2002. Triplet pregnancy in a Jehovah’s Witness: recombinant human erythroietin and iron supplementation for minimising the risks of excessive blood loss. BJOG:An International Journal of Obstetrics and Gynaecology 109:723 – 725.
29. Koh E, Devendra K, Tan L K B-Lynch jahitan for the treatment of uterine atony Singapore Med J 2009; 50(7) : 693
30. Maier RC. 1993. Control of postpartum haemorrhage with uterine packing. American Journal of Obstetrics and Gynecology 169:317 – 321.
31. Majhar S B , Yasmin S, Guljar S. ( 2003) Management of massive postpartum hemorrhage by “B-Lynch” brace jahitan. J Coll physicians Surg. Pak. 2003 Jan; 13(1): 51-2
32. Manuaba, IBG, 1998. Ilmu Kebidanan : Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. EGC. Jakarta.
33. Mochtar, R, 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Edisi 2. EGC. Jakarta.
34. Nelson GS, Birch C. Compression jahitans for uterine atony and hemorrhage following Sesareaean delivery. Int J Gynecol Obstet 2006;92:248–250.
35. Nelson WL, O’Brien JM. The uterine sandwich for persistent uterine atony: combining the B-Lynch compression jahitan and an intrauterine Bakriballoon. Am J Obstet Gynecol 2007;196:e9–e10.
36. O’Leary JA. 1986. Stop of haemorrhage with uterine artery ligation. Contemporary Obestetrics and Gynaecology 28:13 – 16
37. Ochoa M, Allaire AD, Stitely ML. Pyometra after hemostatic square jahitan technique. Obstet Gynecol 2002;99:506–9
38. Ouahba J, Piketty M, Huel C, Azarian M, Feraud O, Luton D, Sibony O, Oury JF. Uterine compression jahitans for postpartum bleeding with uterine atony. Br J Obstet Gynaecol 2007;114:619–622.
39. Pal M, Biswas A K , Bhattacharya SM. (2003) B-Lynch Brace suturing in primary postpartum haemorrhage during sesareaean section. J Obst. Gynaecol Res.2003 Oct;29(5): 317-20
40. Prendiville W, Elbourne D. Care during the third stage of labour. In: ChalmersI, Enkin M, Keirse MJNC (ed). Effective Care in Pregnancy and Childbirth.Oxford: Oxford University Press, 1998, 1145–1169.
41. Prendiville WJ, Elbourne D, McDonald S. Active versus expectant management in the third stage of labour. Cochrane Database of Systematic Reviews 2000, Issue 3. Art No: CD000007. DOI: 10.1002/ 14651858.CD000007.
42. Saiffuddin, A.B, dkk, 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan aternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Jakarta.
43. Saifudin AB. Issues in training for essential maternal healthcare in Indonesia. Medical Journal of IndonesiaVol 6 No. 3, 1997: 140 – 148.
44. Schuurmans, et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention and Management of postpartum Haemorrhage, No. 88, April 2000.
45. Shakila Yasmin ( 2003) “ B-Lynch brace jahitan as an alternative to hysterectomy for severe PPH. Pakistan J Med Res Sep 2003 ; 42(3) : 146-148
46. Smith KL, Baskett TF. 2003. Uterine compression jahitans as an alternative to hysterectomy for severe postpartum haemorrhage. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada. 2003;25(3): 197 – 200.
47. Tjalma WAA, Jacquemyn Y. A uterus-saving procedure for postpartum haemorrhage. Int J Gynaecol Obstet 2004;86:396–397.
48. Tsitpakidis C, Lalonde A, Danso D, B-Lynch C. Long term anatomical and clinical observations of the effects of the B-Lynch uterine compression jahitan for the management of post partum hemorrhage – ten years on. J Obstet Gynaecol 2006; in press
49. UNFPA, SAFE Research study and impacts. Maternal mortality update2004, delivery into good hands. New York, UNFPA; 2004.
50. WHO, 2007. The State of Maternal Mortality in The World. http://www.who.int51. WHO. Maternal mortality in 2000. Department of Reproductive Health andResearch WHO,
2003.52. Wingprawat S, Chittacharoen A, Suthutvoravut S. Risk factors for emergency peripartum
Sesareaean hysterectomy. Int J Gynaecol Obstet 2005;90: 136 –137.53. Winknjosastro, H, 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Gramedia. Jakarta.54. Wohlmuth CT, Gumbs J, Quebral-Ivie J. B-Lynch jahitan: a case series. Int J Fertil
Womens Med 2005; 50:164-73.