kartul sejarah

35
DAFTAR ISI Kata Pengantar Abstraksi BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………. 2 1.2 Tujuan penelitian……………………………………………………… 2 1.3 Manfaat Penelitian……………………………………………………….3 1.4 Rumusan Masalah……………………………………………………... 3 1.5 Ruang lingkup………………………………………………………….. 3 1.6 Hipotesis…………………………………………………………………3 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perkawinan adat Bali…………………………………………………….4 2.2 Sahnya perkawinan………………………………………………………5 2.3 Pentingnya keturunan……………………………………………………7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat pengumpulan data……………………………………10 3.2 Jenis data…………………………………………………………………10 3.3 Metode pengumpulan data……………………………………………….10

Upload: dephe-paramita-okadevi

Post on 09-Apr-2016

237 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

SMA Sejarah

TRANSCRIPT

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Abstraksi

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………. 2

1.2 Tujuan penelitian……………………………………………………… 2

1.3 Manfaat Penelitian……………………………………………………….3

1.4 Rumusan Masalah……………………………………………………... 3

1.5 Ruang lingkup………………………………………………………….. 3

1.6 Hipotesis…………………………………………………………………3

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Perkawinan adat Bali…………………………………………………….4

2.2 Sahnya perkawinan………………………………………………………5

2.3 Pentingnya keturunan……………………………………………………7

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan tempat pengumpulan data……………………………………10

3.2 Jenis data…………………………………………………………………10

3.3 Metode pengumpulan data……………………………………………….10

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan………………………………………………………………11

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan……………………………………………………………….17

5.2 Saran………………………………………………………………………17

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu fase penting hidup manusia dalam bermasyarakat adalah perkawinan.

Dikatakan penting karena, perkawinan dapat mengubah status hukum seseorang. Semula

dianggap “belum dewasa” dengan dilangsungkannya perkawinan, dapat menjadi “dewasa” atau

yang semula dianggap anak muda (deha) dengan perkawinan akan menjadi suami istri (alaki-

rabi), dengan berbagai konsekuensi yuridis dan sosiologis yang menyertainya.

Dengan demikian pentingnya perkawinan itu sehingga baru dapat dilangsungkan

setelah berbagai persyaratan yang ditentukan dalam hukum Negara (dalam hal ini UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan) maupun hukum adat (dalam hal ini hokum adat Bali), dipenuhi

oleh calon pengantin, baik dalam hubungan dengan bentuk perkawinan maupun tata cara

melangsungkannya. Apabila persyaratan yang ditentukan tidak dipenuhi, akan muncul masalah

seperti : perkawinan tidak diakui oleh masyarakatnya, pekawinan dapat dibatalkan atau batal

demi hukum.

Dalam hubungan dengan tata cara melangsungkan perkawinan, hukum adat Bali

mengenal dua cara, yaitu : (1) Perkawinan yang dilangsungkan dengan cara memadik

(meminang) dan (2) perkawinan yang dilangsungkan dengan cara ngerorod (lari bersama).

Bentuk perkawinan yang umum dilaksanakan, yaitu (1) perkawinan biasa dan (2) perkawinan

nyentana.

Dalam perkawinan biasa, si gadis meninggalkan rumahnya dan diajak ke rumah

keluarga pengantin laki-laki. Hal ini sesuai dengan system kekerabatan yang dianut di Bali, yaitu

patrilenial (kebapaan). Sesuai namanya perkawinan biasa, perkawinan ini dilaksanakan dalam

suasana biasa. Dalam arti, seorang laki-laki berasal dari satu keluarga yang terdiri dari beberapa

orang anak laki-laki dan perempuan, melangsungkan perkawinan dengan seorang gadis yang

berasal dari satu keluarga yang juuga terdiri dari anak laki-laki dan perempuan.

Kalau terjadi hal yang sebaliknya, satu keluarga terdiri dari beberapa anak

perempuan, maka salah satu seorang anak perempuannya, akan “dikukuhkan” statusnya menjadi

“laki-laki”. Anak perempuan yang berstatus laki-laki inidikenal dengan sebutan sentana rajeg.

Kalau seorang sentana rajeg melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang berasal

dari satu keluarga yang terdiri dari beberapa orang anak laki-laki, dia tidak meninggalkan

rumahnya dan ikut suaminya, melainkan suaminyalah yang ikut istrinya dan berstatus seperti

perempuan (predana) di rumah istrinya. Perkawinan ini dikenal denganh perkawinan nyentana.

Sesudah pilihan bentuk perkawinan dan cara melangsungkan perkawinan

ditentukan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara perkawinan sesuain agama Hindu

dan hukum adat Bali dan penyelesaian administrasi perkawinan sesuai dengan ketentuan UU

Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan untuk mendapatkan akte perkawinan, sebagai bukti

otentik bahwa perkawinan telah dilangsungkan sesuai aturan yang berlaku.

Sejalan dengan kemajuan program Keluarga Berencana (KB) yang diperkenalkan

sejak awal tahun 1970-an, banyak pasangan suami istri yang hanya dikaruniai satu orang anak

saja, laki-laki atau perempuan. Apabila anak perempuan satu-satunya ini, bermaksud

melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki yang juga berasal dari keluarga yang hanya

memiliki satu anak laki-laki, muncul pertanyaan, bentuk perkawinan mana yang harus mereka

pilih?

Memilih perkawinan biasa, keluarga perempuan pasti keberatan, karena keluarga

ini akan ditinggalkan oleh satu-satunya anak perempuan yang dimiliki. Kalau memilih

perkawinan nyentana, keluarga laki-laki pasti juga tidak akan setuju, karena keluarga keluarga

ini akan ditinggalkan oleh satu-satunya anak laki-laki yang dimiliki. Bagaimana permasalahan

semacam ini harus diselesaikan?

Berdasarkan sejumlah kasus yang ditemui dapat diketahui bahwa permasalahan di

atas diselesaikan dengan melangsungkan pada gelahang atau perkawinan negen ayah. Dalam hal

ini pasangan suami istri tidak melangsungkan perkawinan nyentana, melainkan memilih bentuk

“perkawinan alternatif” diluar dua bentuk perkawinan yang secara tradisional dikenal dalam

hukum adat Bali.

Bentuk perkawinan pada gelahang memang belum lazim dikenal dalam masyarakat

adat Bali atau umat Hindu. Walaupun demikian, dalam kenyataannya sejumlah keluarga telah

melangsungkan perkawinan pada gelahang. Itulah antara lain yang melatarbelakangi

diadakannya penelitian pendahuluan (preliminary research) ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah keadaan perkawinan pada gelahang di Bali?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan dipilihnya perkawinan pada gelahang?

3. Bagaimanakah proses dilangsungkannya perkawinan pada gelahang?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui keadaan perkawinan

pada gelahang yang dilangsungkan di Bali, dalam arti jumlah pasangan suami istri yang memilih

melangsungkan perkawinan pada gelahang. (2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang

menyebabkan calon pengantin dan keluarganya memilih bentuk perkawinan pada gelahang. (3)

Untuk mengetahui proses pelaksanaan perkawinan pada gelahang, mulai dari tata cara

melangsungkan perkawinan, pelaksanaan upacara perkawinan dan penyelesaian administrasi

perkawinannya.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian atau penulisan karya tulis ini diharapkan dapat member manfaat

bagi warga masyarakat maupun siapa saja yang nantinyan membacakarya tulis ini. Kemudian

dengan ditemukannya sejumlah keluarga yang telah melangsungkan perkawinan pada gelahang

di beberapa desa pakraman di Bali, diharapkan dapat membuka cakrawala baru dikalangan

masyarakat, bahwa masih terbuka peluang untuk melangsungkan perkawinan pada gelahang,

terutama bagi keluarga yang dikaruniai seorang anak laki-laki, bermaksud melangsungkan

perkawinan dengan pasangannya yang kebetulan juga adalah anak perempuan tunggal dalam

keluarganya.

1.5 Metode Penelitian

Sifat Penelitian.

Penelitian bersifat emperik (field research) bertujuan untuk mengeksplorasi pelaksanaan

perkawinan pada gelahang di Bali.

Jenis Data.

Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data kuantitatif. Berbentuk satuan angka,

digunakan sebagai pendukung dari teori terkait pada gelahang yang dapat dikumpulkan.

TEGUH

2.5   Sahnya Perkawinan

Sah atau tidaknya perkawinan di Bali dapat dilihat dari sudut hukum adat Bali dan

hukum nasional.  Menurut kuna dresta (adat kebiasaan di masa lalu) di Bali, syarat sahnya

sebuah perkawinan antara lain :

1.      Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan atas dilangsungkannya perkawinan

2.      Disaksikan oleh keluarga laki-laki dan prajuru banjar atau desa dimana perkawinan

tersebut dilangsungkan

3.       Ada upacara byakaonan yang dilaksanakan sesuai dengan agama Hindu

Demikian pula halnya dengan perceeraian. Perceraian dilakukan dengan sangat

sederhana, di hadapan prajuru banjar atau desa pakraman, kemudian hasilnya diumumkan dalam

rapat banjar atau desa pakraman dan perceraian pun dianggap selesai dan sah.

Ketentuan mengenai batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan, rasa

saling mencintai antara calon pengantin, persetujuan istri pertama untuk perkawinan kedua

kalinya dan penyelesaian administrasi perkawinan (akte perkawinan), semuanya serba tidak

jelas. Begitu juga dengan perceraian. Perkawinan dan perceraian dilakukan semta-mata hanya

tergantung dari keinginan laki-laki dan keluarganya. Terlebih bagi kalangan bangsawan.

Perkawinan dan perceraian akan berjalan seperti apa kata mereka.

Kuna dresta ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

Perubahan paling mendasar terjadi setelah berlakunya UU No. 1/1974 tentang perkawinan.

Kalau sebelum berlakunya undang-undang perkawinan hampir tidak ada pasangan suami-istri

yang memiliki akte perkawinan, sesudah undang-undang perkawinan berlaku, terlebih pada

zaman sekarang, hampir tidak ada pasangan suami-istri yang telah kawin, tidak memiliki akte

perkawinan.

Meskipun demikian, tidak berarti undang-undang perkawinan 100 % berjalan

efektif di Bali. Ada pula beberapa ketentuannya yang sampai sekarang berjalan kurang efektif.

Seperti ketentuan mengenai “pendaftaran pada pejabat yang berwenang, sebelum melangsungkan

perkawinan”. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 menentukan bahwa “Perkawinan dikatakan sah

bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Ayat (2)

menentukan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Dalam hubungan dengan catatan perkawinan, pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1975 menentukan “Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat perkawinan akan dilangsungkan” (ayat

1). “Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja

sebelum perkawinan dilangsungkan” (ayat 2).

Secara empiris (khususnya di Bali), ketentuan “tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”,  sampai sekarang belum berjalan efektif,

disebabkan adanya tradisi perkawinan ngerorod (kawin lari bersama). Dalam hubungan dengan

ketentuan “Perkawinan dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya”,  bagi umat Hindu, perkawinan dianggap sah setelah melaksanakan upacara

agama sesuai dengan ajaran agama Hindu. Diungkapkan I Gusti Ketut Kaler (1983), perkawinan

dianggap sah, apabila dalam pelaksanaannya memenuhi tri upasaksi (tiga kesaksian), yang

terdiri dari :

1.       Bhuta saksi, bersaksi kepada bhutakala dengan menggunakan upacara tertentu sesuai

ajaran Hindu.

2.       Manusa saksi, disaksikan keluarga dan masyarakat yang ditandai dengan

kehadiran prajuru atau perangkat pimpinan desa pakraman dan suara kulkul atau bunyi

kentongan.

3.       Dewa saksi, bersaksi kepada Tuhan, dengan menggunakan upacara tertentu sesuai ajaran

Hindu.

Akte perkawinan dan pencatatan perkawinan baru dikenal setelah berlakunya

undang-undang perkawinan (1974). Akte perkawinan dan pencatatan perkawinan menjadi

semakin penting  karena selain digunakan untuk memenuhi tuntutan undang-undang perkawinan,

juga untuk memudahkan dalam pembuktian bahwa telah terjadi perkawinan dan pembuatan akte

kelahiran bagi anak-anak yang dilahirkan.

Akte perkawinan bagi pasangan suami-istri yang memilih bentuuk

perkawinan biasa, dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan dan format akte perkawinan yang

berlaku secara nasional. Akte perkawinan bagi pasangan suami-istri yang memilih bentuk

perkawinan nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte perkawinan yang

berlaku secara nasional, dengan tambahan catatan yang menerangkan bahwa “pihak istri yang

berkedudukan sebagai purusa”. Akte perkawinan untuk bentuk pada gelahang, sampai sekarang

belum terdapat kesamaan persepsi di kalangan pejabat yang berwenang mengeluarkan akte

perkawinan.

 

2.6   Pentingnya Keturunan

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa

perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan dalam pandangan agama Hindu, selain makardi

rahayu kayang riwekas (membentuk keluarga yang bahagia dan kekal), juga untuk mendapatkan

keturunan, untuk meneruskan tanggung jawab orang tua dan leluhurnya. Tanggung jawab yang

dimaksud terdiri dari tanggung jawab terhadap parhyangan, Tanggung jawab pawongan, dan

tanggung jawabpalemahan.

                Berdasarkan sistem kekeluargaann patrilineal yang dianut, keturunan mengikuti

garis kapurusa. Artinya dalam hal memilih bentuk perkawinan biasa keturunan mengikuti garis

ayah, sementara dalam hal memilih bentuk perkawinan nyentana, keturunan mengikuti garis ibu

karena dalam hal ini si ibu yang berkedudukan sebagai purusa. Selain itu sesuai dengan sistem

kekeluargaan patrilineal, adanya keturunan laki-laki sangatlah penting karena terkait dengan

tanggung jawab yang harus diteruskan , baik berupa swadharma (kewajiban)

dan swadikara (hak-hak) seseorang dalam keluarga dan masyarakat (desa pakraman / banjar).

Anak kandung laki-laki (pratisentana lanang) sebagai pelanjut keturunan ini disebut

juga sentana.

                Kewajiban (swadharma) yang harus diteruskan meliputi kewajiban berkaitan dengan

aktivitas keagamaan sesuai ajaran agama Hindu dan tempat suci (parhyangan), baik dalam

keluarga maupun masyarakat, kewajiban (swadharma) yang berkaitan dengan aktivitas

kemanusiaan (pawongan), dan kewajiban (swadharma) yang berkaitan dengan aktivitas

pemeliharaan lingkungan alam (palemahan), baik untuk kepentingan keluarga maupun

masyarakat.

                Hak-hak (swadikara) seseorang dalam keluarga dan masyarakat (desa pakraman /

banjar) berhubungan dengan penerusan harta kekayaan keluarga dan leluhur serta pemanfaaatan

fasilitas milik desa, tempat suci dan kuburan (setra). Harta kekayaan keluarga dapat

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu harta tetamian (warisan leluhur atau dikenal pula dengan

istilah harta pusaka), harta gunakaya (harta bersama yang didapat selama perkawinan) dan

harta tetadtadan (harta bawaan yang diperoleh sebelum perkawinan, baik berupa hasil karya

sendiri atausekaya maupun berupa pemberian atau jiwadana).

                Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hartabenda perkawinan meliputi :

1.       Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan

berlangsung (pasal 35 ayat (1)).

2.       Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing

sebagai hadiah ata warisan (pasal 35 ayat (2)).

                Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kedudukan anak atau keturunan

sangat penting, berkaitan dengan penerusan tanggung jawab orang tua dan leluhur, baik berupa

kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara). Itu sebabnya keluarga yang menghadapai

tanda-tandakaputungan (tidak mempunyai keturunan), akan mengusahakan berbagai cara yang

sah menurut hukum adat Bali, untuk mengatasi masalah tersebut.

                Bagi pasangan suami istri yang sama sekali tidak mempunyai keturunan (nenten

maduwe pianak), akan mengatasinya dengan cara mengangkat anak (ngangkat sentana).

Seseorang yang diangkat anak, dikenal puladengan istilah sentana paperasan, karenan

pengangkatan anak baru dianggap sah menurut hukum adat Bali, setelah dilaksanakan upacara

paperasan sesuai dengan agama Hindu. Bagi pasangan suami istri yang hanya dikaruniai anak

perempuan saja, akan mengusahakan salah seorang anak perempuannya menjadi sentana

rajeg (anak perempuan yang ditingkatkan statusnya menjadi pelanjut keturunan) dan berusaha

menemukan laki-laki yang bersedia melangsungkan perkawinan nyentana (kawin ceburin) bagi

anak perempuan tersebut. Apabila dalam keadaan tertentu tidak ada laki-laki yang bersedia

melangsungkan perkawinan nyentana, karena kebetulan laki-laki itu adalah anak tunggal dalam

keluarganya atau karena sebab lain, maka untuk menghindari kaputungan atau camput(tidak

mempunyai keturunan yang berarti tidaqk ada yang meneruskan tanggung jawab orang tua dan

leluhurnya), maka atas kesepakatan calon pengantin dan keluarga masing-masing, diusahakan

dengan melangsungkan perkawinan pada gelahang.

                

BAB III

PERKAWINAN PADA GELAHANG DI BALI

 

 

3.1 Keadaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali

Pada bab II telah diuraikan bahwa kedudukan anak atau keturunan sangat penting

keberadaannya dalam satu keluarga, karena terkait dengan penerusan tanggung jawab orang tuan

dan leluhur, baik berupa kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara). Itu sebabnya

keluarga yang menghadapi tanda-tanda tidek memiliki keturunan akan mengusahankan berbagai

cara yang sah menurut hukum adat Bali, untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya dengan

mengangkat anak, mengukuhkan salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg atau

dengan melangsungkan perkawinan pada gelahang.

Selain itu juga telah diuraikan bahwa bentuk perkawinan berbeda dengan cara

melangsungkan perkawinan. Perkawinan pada gelahangyang menjadi objek penelitian ini, bukan

cara melangsungkan perkawinan, melainkan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang

relatif jarang dilaksanakan di Bali, karena bentuk perkawinan ini hanya dilaksanakan manakala

calon pasangan suami iatri tidak mungkin melangsungkan perkawinan biasa atau

perkawinan nyentana.

Belum sepenuhnya warga masyarakat di Bali memahami perbedaan antara

perkawinan yang dilangsungkan dengan cara memadik, bentuk perkawinan nyentana dan bentuk

perkawinan pada gelahang.

Ada beberapa orang yang menganggap bahwa perkawinan yang dilangsungkan

dengan cara meminang (memadik) sama dengan perkawinan pada gelahang. Hal ini didasarkan

atas kenyataan bahwa perkawinan itu dilangsungkan secara baik-baik dengan

semangat duwenang sareng atau pada gelahang yang secara harfiah berarti “milik bersama’.

Sejatinya tidak demikian adanya. Memadik (meminang) menunjuk kepada salah

satu cara melangsungkan perkawinan menurut hukum adat Bali disamping cara ngerorod (lari

bersama), sedangkan perkawinan nyentana dan perkawinan pada gelaang menunjuk pada bentuk

perkawinan.

Yang sering terjadi adalah bentuk perkawinan nyentana yang dianggap bentuk

perkawinan pada gelahang. Hal ini disebabkan antara lain karena umumnya masyarakat belum

memahami perbedaan antara tanggung jawab moral dan tanggung jawab yuridis pasangan

pengantin terhadap keluarganya, apa pun bentuknya dan bagaimanapun cara melangsungkannya,

tidak menghapuskan hubungan moral dan hubungan kekeluargaan (pasidikaran), di antara orang

yang melangsungkan perkawinan dengan  keluarganya. Secara moral mereka tetap bertanggung

jawab atas keluarganya, tetapi secara yuridis (hukum) mungkin masih bertanggung jawab atau

bisa jadi tidak lagi bertanggung jawab , tergantung dari bentuk perkawinan yang dipilih.

Dalam hal ini, perkawinan nyentana, secara yuridis pihak laki-laki tidak lagi

bertanggung jawab terhadap keluarga asalnya, tetapi secara moral dia tetap bertanggung jawab

terhadap keluarganya (saudara dan orang tua di rumah asalnya), sepanjang hal itu dilakukan

tanpa merugikan pihak keluarga istrinya. Sementara itu di rumah istrinya, dia memiliki tanggung

jawab moral dan tanggung jawab yuridis untuk melanjutkan segala kewajiban (swadharma) yang

secara tradisional dijalani oleh keluarga istrinya. Tanggung jawab serupa juga diteruskan oleh

anak-anaknya yang dilahirkan kemudian.

 3.2 Faktor Penyebab Perkawinan pada Gelahang

Pada awalnya tim peneliti berpendapat bahwa kesepakatan memilih bentuk

perkawinan pada gelahang oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya, disebabkan

karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal dirumahnya masing-masing,

sehingga tidak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa atau bentuk perkawinan nyentana.

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dapat diketahui bahwa dipilihnya bentuk

perkawinan pada gelahang, tidak semata-mata karena calon pengantin adalah anak tunggal, tetapi

dapat juga terjadi karena sebab lain, seperti tergambar dalam beberapa contoh di bawah ini.

Di antara beberapa pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada

gelahang, hanya satu pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan karena terlahir

sebagai anak tunggal di rumahnya masing-masing, yaitu pasangan A. A. Manik Kencana Putri

dengan A. A. Ketut Kuminasa, keduanya beralamat di Desa Adat Peguyangan, Denpasar, yang

melangsungkan perkawinan pada gelahang pada hari Kamis, 17 Mei 2001.

Beberapa pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang

karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang

ditinggalkan oleh orang tuanya, adalah pasangan I Wayan Peges, dari Banjar Tengah,

Selumbung, Manggis, Karangasem dengan Ni Wayan Karya, beralamat di Banjar Delodan,

Selumbung, Karangasem, yang diperkirakan telah dilangsungkan sebelum tahun 1945.

Berdasarkan penjelasan salah seorang cucunya yang bernama Ni Wayan Sudarya

diketahui bahwa perkawinan ini dipilih karena di Desa Selumbung khususnya dan di

Karangasem pada umumnya, memang tidak dikenal adanya bentuk perkawinan nyentana. Kalau

bentuk perkawinan itu lazim dikenal, besar kemungkinan keluarga ini akan memilih bentuk

perkawinan nyentana, karena keluarga ini dikaruniai tiga orang putrid, yaitu Ni Wayan Kesir, Ni

Wayan Karya, Ni Nengah Mersin.

Hal serupa juga dialami oleh seorang pria dari Penatih, Denpasar yang

melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita dari dengan seorang perempuan dari

Batubulan, Gianyar, sekitar tahun 1967, dan I Nyoman Nada, BA. Laki-laki pensiunan PNS ini

lahir di Banjar Sedahan, Gulingan, Mengwi, 16-2-1945, melangsungkan perkawinan pada

gelahang dengan Ni Nyoman Pasti, Banjar Mawang Kaja, Ubud, Gianyar, yang melangsungkan

perkawinan pada tanggal 25 Juni 1969.

Sebenarnya, I Nyoman Nada, BA lahir tiga bersaudara, dua di antaranya perempuan

dan keduanya sudah melangsungkan perkawinan ke luar (kawin biasa), Ni Nyoman Pasti lahir

tiga bersaudara, satu laki dan satu perempuan. Saudaranya yang laki, telah diangkat anak oleh

keluarganya yang lain. Pengangkatan anak ini dilangsungkan karena ada kepercayaan setiap

kelahiran anak laki-laki kemungkinan akan meninggal ketika masih muda, sementara saudaranya

yang perempuan telah melangsungkan perkawinan keluar (kawin biasa). Tinggalah Ni Nyoman

Pasti sebagai anak ketiga yang diharapkan dapat melanjutkan tanggung jawab keluarganya.

Karena tidak memungkinkan memilih perkawinan biasa dan juga perkawinan nyentana, maka

dipilihlah bentuk perkawinan pada gelahang.

Hal yang sama juga dialami pasangan suami istri Drs. I Wayan Kayun dengan Dra.

Ni Wayan Sutiani, keduanya berasal dari Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar. Sutiani terlahir

tiga bersaudara, ketiganya perempuan, tetapi yang pertama telah kawin ke luar dan yang kedua

tidak melangsungkan perkawinan. Sementara itu suaminya Drs. I Wayan Kayun sebenarnya

mempunyai 4 orang saudara laki-laki, tetapi karena alas an tertentu, yang bersangkutan tidak

bersedia melangsungkan perkawinan nyentana. Memilih bentuk perkawinan biasa juga tidak

mungkin karena Sutiani menyatakan keberatan. Maka dari itu pasangan calon pengantin dan

keluarganya sepakat memilih bentuk perkawinan pada gelahang, yang dilangsungkan pada

tanggal 2 Juli 1988.

Pasangan lainnya adalah Ni Made Lely Nawaksari, beralamat di Jalan Wijaya

Kusuma, Lingkungan Banjar Kerta Buana, Denpasar yang melangsungkan perkawinan pada

gelahang dengan I Ketut Sukarta, beralamat di Desa Selumbung, Manggis, Karangasem, pada

tanggal 27 Desember 1990.

Ni Made Lely Nawaksari, terlahir tiga bersaudara, ketiganya perempuan dan dua di

antaranya telah kawin kwe luar, sehingga yang tinggal di rumahnya hanya Ni Made Lely

Nawaksari. Sementara itu I Ketut Sukarta, walaupun memiliki saudara laki-laki di rumahnya,

tetap saja tidak mungkin diajak kawin nyentana oleh Ni Made Lely Nawaksari, karena di

Karangasem memang tidak dikenal tradisi bentuk perkawinan nyentana. Maka dari itu, pasangan

pengantin dan keluarganya memilih bentuk perkawinan pada gelahang, yang dilangsungkan pada

tanggal 27 Desember 1990.

Dengan alasan yang mirip uraian di atas, perkawinan pada gelahang juga

dilangsungkan pasangan I Wayan Tusti Adnyana, S.Sn, Banjar Babahan Penebel, Tabanan

dengan Ni Wayan Rupmini, Banjar Anyar Perean, Tabanan, pada tahun 1990.

Dalam hal ini, Ni Wayan Rupmini, terlahir sebagai anak tunggal, sedangkan

suaminya lahir tiga bersaudara, dua laki dan satu perempuan. Kesepakatan melangsungkan

perkawinan pada gelahang yang dipilih oleh pasangan pengantin beserta keluarga karena adik

kandung I Wayan Tusti Adnyana, S.Sn, yang bernama Ni Nyoman Supiani telah melangsungkan

perkawinan ke luar, sedangkan adiknya yang bernama Ketut Rustuana, ada dalam keadaan sakit-

sakitan. Di lain pihak kedua orang tuanya sudah berstatus nyada (pensiun) sebagai warga desa

pakraman.

Perkawinan yang dilangsungkan pada tahun 2002 oleh pasangan I Made Suastika,

Banjar Kukup Perean, Tabanan dengan Ni Wayan Suweni, Banjar Tuka Perean, Tabanan, juga

bukan karena keduanya merupakan anak tunggal. Suweni adalah anak tunggal, sedangkan I

Made Suastika mempunyai seorang kakak perempuan, tetapi sudah melangsungkan perkawinan

keluar, sehingga menjadi seperti anak tunggal pula di rumahnya.

Pasangan suami istri lainnya yang juga melangsungkan perkawinan pada gelahang

karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang

ditinggalkan oleh orang tuanya adalah pasangan I Ketut Sumerta, beralamat di Banjar Apuh,

Lodtunduh, Ubud, Gianyar dengan Putu Ari Krisna Dewi, beralamat di Banjar Negari,

Singapadu Tengah, Sukawati, Gianyar, yang melangsungkan perkawinan pada gelahang pada

tanggal 8 Agustus 2008.

Putu Ari Krisna Dewi (pengantin perempuan) terlahir dua bersaudara, tetapi

adiknya (seorang wanita) masih duduk dibangku Sekolah Dasar, yang 16 tahun lebih muda dari

Krisna Dewi. Sementara itu I Ketut Sumerta (pengantin laki) juga memiliki seorang kakak,

bernama I Nyoman Karma, bahkan telah melangsungkan perkawinan, tetapi sampai sekarang

belum membuahkan keturunan, sesudah melangsungkan perkawinan relative lama.

Berdasarkan beberapa contoh pasangan suami istri yang melangsungkan

perkawinan pada gelahang seperti dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa faktor utama yang

melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya sepakat melangsungkan perkawinan pada

gelahang adalah (1) adanya kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan

leluhurnya, baik yang berwujud tanggung jawab atau kewajiban (swadharma) maupun hak

(swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan dan (2) adanya kesepakatan di antara

calon pengantin beserta keluarganya, untuk melangsungkan perkawinan pada gelahang.

Munculnya kekhawatiran bahwa warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan

leluhurnya tidak ada yang mengurus dan meneruskan, didasarkan atas dua hal. Pertama, calon

pasangan suami istri adalah anak tunggal di rumahnya masing-masing. Kedua, adanya keyakinan

bahwa saudaranya yang lain, tidak mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang

ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu seperti: sakit yang tidak mungkin

disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan atau karena sudah melangsungkan perkawinan biasa

(kawin keluar).

3.3 Proses Melangsungkan Perkawinan pada Gelahang

Cara Melangsungkan Perkawinan

Pada Bab II sudah dijelaskan bahwa ada dua cara melangsungkan perkawinan yang

lazim dilaksanakan berdasarkan hukum adat Bali, yaitu (1) perkawinan dengan cara memadik

(meminang) dan (2) perkawinan dengan cara ngerorod (lari bersama). Berdasarkan data yang

berhasil dikumpulkan dapat diketahui semua (28) perkawinan pada gelahang yang ditemui dalam

penelitian ini, dilangsungkan dengan cara memadik (meminang).

Tata cara melangsungkan pepadikan maupun pihak yang terlibat dalam memadi,

hampir sama dengan proses pepadikan dalam perkawinan biasa atau perkawinan nyentana,

dengan beberapa pembicaraan tambahan berupa kesepakatan tambahan terkait dengan

pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan di

kemudian hari.

Persamaanya antara lain dilaksanakan sesuai tata cara yang sudah lazim berjalan

seperti dihadiri oleh kedua calon mempelai beserta keluarganya dan perangkat pimpinan

(prajuru) adat dan dinas pada masing-masing banjar adat atau desa adat, serta ada upacara

tertentu pada tempat meminang (memadik) sesuai dengan ajaran agama Hindu. Pembicaraan

dimulai dari kedua calon pengantin, dilanjutkan dengan melibatkan orang tua kedua belah pihak

dan terakhir melibatkan keluarga yang lebih luas serta disaksikan oleh prajuru (perangkat

pimpinan) banjar atau desa pekraman masing-masing. Materi pembicaraan tambahan mengenai

pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan

dikemudian hari, dapat dijelaskan sebagai berikut.

Upacara Perkawinan

Telah dijelaskan pada Bab II bahwa dalam hal melangsungkan berkawinan biasa,

keluarga dari laki-laki relatif lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga perempuan, karena

upacaranya dilangsungkan di tempat kediaman pengantin laki-laki. Sebaliknya dalam

melangsungkan perkawinan nyentana, keluarga perempuan relatif lebih sibuk karena berbagai

hal yang harus disiapkan dan dilaksanakan terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan di

tempat kediaman perempuan, menjadi tanggung jawab keluarga perempuan, sementara keluarga

laki-laki hanya bersikap nodia atau mengikuti rangkaian upacara sesuai tata urutan

penyelenggaraan upacara perkawinan menurut agama Hindu dan hokum adat Bali.

Dalam hal melangsungkan perkawinan pada gelahang, kesibukan tampak di kedua

belah pihak, baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Hal ini disebabkan karena

semua pasangan pengantin yang memilih bentuk perkawinan pada gelahang sepakat

melangsungkan upacara perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat. Di tempat kediaman

suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang sama. Soal di tempat mana dilaksanakan

lebih dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan kedua belah pihak beserta keluarganya. Ada yang

melangsungkan upacara ditempat kediaman suami lebih dulu,kemudian dilanjutkan dengan

upacara yang sama di tempat kediaman istri, atau sebaliknya, di tempat kediaman istri lebih pada

pagi hari, kemudian pada sore hari atau pada hari yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang

sama ditempat kediaman suami. Kecuali perkawinan yang dilangsungkan pasangan I Wayan

Tusti Adnyana, S.Sn, Banjar Babahan Penebel, Tabanan dengan Ni Wayan Rupmini, Banjar

Anyar Perean, Tabanan, pada tahun 1999. Upacara pertama dilaksanakan di rumah istri, dan tiga

minggu kemudian, barulah dilaksanakan di rumah suami.

Semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang, tidak

melanjutkan dengan melaksanakan upacara mapejati di tempat pemujaan keluarga (sanggah).

Selain itu, semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang, juga

merumuskan kesepakatan keluarga mengenai masa depan kehidupan pasangan suami istri ini,

pada waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang (memadik). Mengenai bentuk dan

substansi pokok kesepakatan keluarga yang dimaksud, tampak seperti diuraikan di bawah ini.

Kesepakatan Keluarga

Adanya kesepakatan calon pengantin dan keluarganya bahwa mereka akan

melangsungkan perkawinan pada gelahang, merupakan salah satu unsur penting dapat

dilangsungkannya perkawinan yang dimaksud. Rintisan ke arah tercapainya kesepakatan

biasanya telah dimulai secara informal oleh orang tua masing-masing, semasa calon pengantin

masih berstatus pacaran (magelanan). Apabila ada peluang dianggap terbuka, barulah dilanjutkan

dengan pembicaraan yang lebih formal, pada waktu pembicaraan antar orang tua kedua belah

pihak. Kesepakatan yang didapat pada waktu pembicaraan informal ini diteruskan dalam

pertemuan formal, yaitu pada waktu melangsungkan pepadikan ( peminangan). Disaksikan

keluarga yang lebih luas dan perangkat pimpinan (prajuru) banjar atau desa pekraman. Prosesnya

seperti itu sehingga beralasan semua perkawinan pada gelahang yang menjadi obyek penelitian,

dilangsungkan dengan cara memadik (meminang) dan tidak ada yang dilangsungkan dengan cara

ngerorod (lari bersama).

Lebih dari itu, kesepakatan keluarga mengenai bentuk perkawinan pada gelahang

yang dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung jawab (swadharma) para pihak di kemudian

hari terhadap keluarga dan orang tua masing-masing, serta keberadaan anak-anak (keturunan)

yang dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara lisan dengan disaksikan oleh prajuru adat

dan keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa keluarga saja yang membuat kesepakatan

yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau pernyataan tertulis.

Setiap pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang,

mempunyai cara tersendiri dalam merumuskan dan mengungkapkan kesepakatan tentang

konsekuensi yang menyertai pelaksanaan perkawinan tersebut. Bagaimana cara mengemukakan

atau merumuskan, pada prinsipnya kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak, baik lisan

maupun tertulis, mengandung substansi yang sama bahwa perkawinan pada gelahang

dilangsungkan dengna maksud agar keluarga kedua belah pihak memiliki keturunan (anak cucu),

yang nantinya diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh

kedua orang tua kedua belah pihak, baik yang berwujud tanggung jawab (swadharma) maupun

berupa hak (swadikara), dalam hubungan dengan perhyangan, paawongan dan palemahan dalam

keluarga dan masyarakat, seperti telah diuraikan pada Bab II.

Mereka yang melangsungkan perkawinan pada gelahang dengan kesepakatan lisan,

antara lain pasangan suami istri I Wayan Peges, dari Banjar Tengah, Selumbung, Manggis,

Karangasem dengan Ni Wayan Karya, berlamat di Banjar Delodan, Selumbung, Karangasem

(sebelum 1945), pasangan suami istri yang berasal dari Penatih Denpasar, yang melangsungkan

perkawinan pada gelahang sekitar tahun 1967, pasangan suami istri I Nyoman Nada, BA, Banjar

Sedahan, Gulingan, Mengwi dengan Ni Nyoman Pasti Banjar Mawang Kaja, Ubud, Gianyar,

yang melangsungkan perkawinan pada tanggal 25 Juni 1969, pasangan Drs. I Wayan Kayun

dengan Dra. Ni Wayan Sutiani, keduanya berasal dari Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar,

yang melangsungkan perkawinan pada tanggal 2 Juli 1988 dan pasangan suami istri Ni Made

Lely Nawaksari dengan I Ketut Sukarta, yang melangsungkan perkawinan pada gelahang pada

tanggal 27 Desember 1990, pasangan I Wayan Tusti Adnyana, S.Sn, dengan Ni Wayan Rupmini,

yang melangsungkan perkawinan pada tahun 1999, dan pasangan suami istri A. A. Manik

Kencana Putri denganA. A. Ketut Kuminasa, beralamat di Jl. Gajah Sura No. 7, Desa Adat

Peguyangan, Denpasar, yang melangsungkan perkawinan pada hari Kamis, 17 Mei 2001.

Khusus untuk perkawinan A. A. Manik Kencana Putri dengan A. A. Ketut

Kuminasa, isi kesepakatan atau perjanjian lisan antara keluarga kedua belah pihak, seperti

dituturkan oleh A. A. Manik Kencana Putri, adalah sebagai berikut.

Pengantin laki-laki mempunyai tanggung jawab penuh terhadap keluarga laki-laki.

Sementara itu pengantin perempuan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap keluarga

perempuan. Demikian pula halnya dengan hak yang mereka dapatkan. Kedua belah pihak (suami

dan istri) mempunyai hak penuh di rumahnya masing-masing. Mengenai garis keturunan

disepakati bahwa status garis keturunan (anak) pertama mengikuti garis keturunan ayah/bapak.

Pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang diawali

dengan menyiapkan kesepakatan atau pernyataan tertulis adalah pasangan I Made Suastika

dengan Ni Wayan Suweni (2002) dan pasangan I Ketut Sumerta dengan Putu Ari Krisna Dewi

(2008).

Perkawinan yang dilangsungkan antara pasangan I Made Suastika, Banjar Kukub

Perean, Tabanan dengan Ni Wayan Suweni, Banjar Tuka Perean, Tabanan, diawali dengan

merumuskan kesepakatan tertulis antara orang tua kedua belah pihak, disaksikan Kepala

Dusun/Banjar, Keliahan Adat dan diketahui Perbekel setempat, yang dibuat di atas kertas

bersegel Rp 6000, pada tanggal 11 Novemper 2002. Selain itu, surat ini juga disertai surat

pernyataan dari saudara kandung orang tua mempelai laki-laki (I Made Suastika).

Surat kesepakatan yang berjudul “Surat Perjanjian Kawin dengan Perjanjian

Mepanak Bareng”, dibuat oleh orang tua kedua mempelai. Isi surat tersebut antara lain sebagai

berikut.

“……bahwa sesuai dengan azas yang dimaksud pada angka 1 di atas, untuk

menghindari ceput dikenal kemudian hari, kami Pihak Pertama dan Pihak Kedua mufakat

melangsungkan perkawinan kedua mempelai pada hari Senin, tanggal 11 November 2002, dalam

status “Kawin dengan Perjanjian Mepanak Bareng……..”. (Lihat lampiran 15).

Isi “Surat Perjanjian Kawin dengan Perjanjian Mepanak Bareng” tersebut antara

lain:

1. Bahwa kedua mempelai mempunyai hak dan/atau menjadi ahli waris baik

di pihak “purusa” maupun di pihak “predana”.

2. Bahwa bilamana dari perkawinan tersebut memperoleh keturunan lebih

dari seseorang, maka anak-anak yang dilahirkan itu sebagian dapat keturunan/ahli waris dipihak

“purusa” (bapak) dan sebagian lagi dapat melanjutkan keturunandi pihak “predana” (ibu).

3. Bahwa apabila dari perkawinan tersebut hanya melahirkan seorang anak

baik perempuan maupun laki-laki, maka anak tersebut menjadi ahli waris di pihak “purusa”,

sedangkan untuk meneruskan keturunan di pahak “purusa” dan di pihak “predana”.

4. Bahwa apabila dari perkawinan itu sama sekali tidak mempunyai

keturunan, kedua mempelai diperkenankan mengangkat/memeras anak lebih dari seorang untuk

melanjutkan keturunan di pihak “purusa” dan di pihak “predana”.

5. Bahwa segala ayah-ayahan adan dan lain sebagainya yang timbul sebagian

akibat dari perkawinan tersebut akan dipikul secara bersama-sama oleh kedua mempelai (lihat

lampiran 15).

Surat di atas juga disertai surat pernyataan dari saudara kandung orang tua

mempelai laki-laki yang bernama I Ketut Mudia, yang terdiri dari I Nyoman Widia, I Nyoman

Merek dan I Kayun, dibuat di atas kertas bersegel Rp 6000 dan pada tanggal yang sama (11

November 2002). Isi pernyataan tersebut pada intinya mengemukakan bahwa “kami tidak

keberadaan dan setuju anaknya I Ketut Mudia yang bernama I Made Suastika, umur 28 tahun,

pekerjaan tiada, agama Hindu, beralamat di Dusun Banjar Kukub, Desa Perean Tengah,

Kecamatan Baturiti, Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan, kawin dengan seorang gadis yang

bernama Ni Wayan Suweni, umur 25 tahun, pekerjaan tiada, agama Hindu, berlamat di

Dusu/Banjar Tuka, Perean Tengah, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan,

pada hari Senin Umanis, tanggal 11 November 2002, dalam status “Kawin dengan Perjanjian

Mepanak Bareng”, tertangal 11 November 2002 (lihat lampiran 15).

Surat kesepakatan tertulis juga dibuat oleh pasangan I Ketut Sumerta, beralamat di

Banjar Apuh, Lodtunduh, Ubud, Gianyar dengan Putu Ari Krisna Dewi, beralamat di Banjar

Negari, Singapadu Tengah, Sukawati, Gianyar, yang melangsungkan perkawinan pada gelahang

pada tanggal 8 Agustus 2008. Secara singkat isi surat pernyataan kedua mempelai, seperti di

bawah ini.

Karena masalah situasidan kondisiyang ada pada tingkat “keluarga masing-masing

Pihak I (Pertama) dan Pihak II (Kedua) maka pihak keluarga mengambil beberapa kebijakan dan

kesepakatan yang ditempuh keluarga Pihak I (Pertama) dan Pihak II (Kedua) sebagai berikut:

1. Hak dan kewajiban masing-masing banjar/desa pakraman didapat dan

dipenuhi oleh Pihak I (Pertama) dan Pihak II (Kedua).

2. Bila dikemudian hari ada 1 anak (satu) yang berhak memilih status atau

tempat tingal setelah dewasa adalah anak itu sendiri.

3. Bila ada anak dua atau lebih yang berhak mengatur atau kebijakan adalah

orang tua atau Pihak I (Pertama) dan Pihak II (Kedua).

4. Hal-hal yang belum tercantum dalam Surat Pernyataan ini dapat

dibicarakan di kemudian hari sesuai dengan kesepakatan keluarga Pihak I (Pertama) dan Pihak II

(Kedua)(lihat juga lampiran 3 dan 4).

Surat pernyataan dibuat tanggal 8 Agustus 2008, ditandatangani oleh kedua belah

pihak, disaksikan keluarga masing-masing dan diketahui kelihan dinas dan kelihan adat masing-

masing banjar. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal ini adalah I Ketut Sumerta dan Pihak II adalah

Putu Ary Krisna Dewi.

Memperhatikan beberapa kesepakatan yang telah dikemukakan diatas dapat

diketahui bahwa kesepakatan keluarga mengenai bentuk perkawinan pada gelahang yang dipilih,

pada umumnya disampaikan secara lisan dengan disaksikan oleh prajuru adat dan keluarga besar

masing-masing, pada waktu melangsungkan acara memadik (meminang). Hanya beberapa

keluarga saja yang membuat kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau

pernyataan tertulis, dengan format dan substansi yang berbeda satu dengan yang lainnya.

3.4 Adminsitrasi Perkawinan

Perubahan cukup signifikan dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan

perceraian di Bali, terjadi setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Perubahan terutama tampak pada persyaratan perkawinan dan perceraian serta penyelesaian

adminsitrasi atau akte perkawinan dan akte perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai.

Walaupun pada awal berlakunya, ketentuan ini tidak berjalan efektif, tetapi sekarang ini hampir

tidak ada pasangan suami istri yang telah kawin, tidak memiliki akte perkawinan. Demikian pula

halnya dengan akte perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai.

Sudah di jelaskan pada Bab II bahwa akte perkawinan bagi pasangan suami istri

yang memilih bentuk perkawinan biasa, dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan dan format

akte perkawinan yang berlaku secara nasional (lihat lampiran 14).

Akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang memilih bentuk perkawinan

nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte perkawinan yang berlaku secara

nasional, dengan tambahan catatan yang menerangkan bahwa “pihak istri yang berkedudukan

sebagai purusa” (lihat lampiran 8 dan 9).

Akte perkawinan untuk bentuk perkawinan pada gelahang, sampai sekarang belum

ada kesamaan persepsi, sehingga belum seragam. Hal itu dapat diketahui dari beberapa akte

perkawinan pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pada gelahang, yang

dilangsungkan sebelum maupun sesudah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

seperti beberapa contoh berikut.

Surat keterangan kawin yang dikeluarkan oleh Perbekel Desa Mengwi, Nomor

20/73, tanggal 27 Januari 1973, yang menerangkan telah berlangsung perkawinan antara I

Nyoman Nada, B.A dengan Ni Nyoman Pasti tanggal 25 Juni 1969, menerangkan bahwa

“…..Dalam perkawinan ini Pihak Pertama dinyatakan berkedudukan sebagai Purusa”. (Lihat

lampiran 11). Dimaksud Pihak Pertama dalam hal ini adalah I Nyoman Nada, B.A. Padahal

dalam kenyataanya pasangan suami istri ini, melangsungkan perkawinan pada gelahang,

sebagaimana disepakati pada waktu meminang (memadik).

Keputusan Kepala Jawatan Agama Hindu dan Budha Prop. Bali Nomor

32/DHB/SK/I-f, tanggal 1 November 1973, tentang Surat Kawin atas nama pasangan suami istri

I Wayan Alit Antara (27) dan Sri Ambarsih (21), yang melangsungkan perkawinan pada tanggal

24 September 1973, menyatakan bahwa “…..dalam perkawinan ini Pihak Pertama/Kedua

berkedudukan Purusa” (Lihat lampiran 1).

Kutipan akte perkawinan Nomor 130/MG/1990, tanggal 31 Desember 1990,

tentang perkawinan antara I Ketut Sukarta dengan Ni Made Lely Nawaksari, yang dikeluarkan

oleh Kantor Catatan Sipil Kabupaten Karangasem, menyebutkan bahwa “I Ketut Sukarta dan Ni

Made Lely Nawaksari, dengan status sama-sama hak purusa”. Selain itu, untuk lebih

menegaskan status masing-masing, juga dibuat surat pernyataan atas nama I Ketut Sukarta dan

Ni Made Lely Nawaksari, pada tanggal 18 April 1991, yang menyatakan bahwa pasangan

pengantin ini “dengan status sama-sama hak purusa”, disaksikan oleh kedua orang tua mempelai

laki (I Ketut Danti dan Ni Wayan Sutia) dan orang tua mempelai wanita (Drs. I Made Madia dan

Ni Luh Putu Sulandri), dan diketahui oleh Kelian Adat serta Perbekel Desa Selumbung (lihat

lampiran 2).

Sementara itu, pasangan I Ketut Sumerta, beralamat di Banjar Apuh, Lodtunduh,

Ubud, Gianyar yang melangsungkan perkawinan pada gelahang dengan Putu Ari Krisna Dewi,

beralamat di Banjar Negari, Singapadu Tengah, Sukawati, Gianyar, pada gelahang pada tanggal

8 Agustus 2008, sampai sekarang belum mempunyai akte perkawinan, karena belum adanya

persepsi yang sama mengenai tata cara menyelesaikan administrasi akte perkawinan bagi bentuk

perkawinan pada gelahang yang dilangsungkan.

Tim peneliti berpendapat, walaupun format akte perkawinannya belum jelas atau

belum seragam, tidak berarti bahwa perkwinan pada gelahang yang telah dilangsungkan atas

dasar kesepakatan pasangan pengantin dan keluarganya serta dilaksanakan sesuai tata cara

melangsungkan perkawinan menurut hokum adat Bali dan agama Hindu, dapat dianggap tidak

pernah ada atau tidak sah. Bila demikian adanya, hal ini akan berpengaruh buruk terhadap

keberadaan bangunan rumah tangga perkawinan pada gelahang yang telah berjalan harmonis,

hanya karena belum adanya persepsi yang sama mengenai format akte perkawinannya.

Pendapat ini dikuatkan dengan amar putusan Pengadilan Negeri Denpasar, Nomor

237/DPT.G/ 208/PN.Dps, tanggal 4 November 2008, yang menyatakan “……bahwa Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tidak memungkinkan keberadaan perkawinan negen bareng