mahkamah syariah (kartul)

Upload: dewa-saru

Post on 09-Jul-2015

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

STUDI KRITIS TERHADAP PEMBERLAKUAN SYARIAT ISLAM SEBAGAI HUKUM MATERIIL DAN PEMBENTUKAN MAHKAMAH SYARIAH SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN KHUSUS DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Makalah Dibuat sebagai Bentuk Psrtisiapasi dalam Kegiatan Pemilihan Peneliti Remaja VI Tahun 2007 yang Diselenggarakan oleh LIPI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 Pasal 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syariyah NAD yang merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional. Mahkamah Syariah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam. 1 Kewenangan Mahkamah Syariyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Qanun PNAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun. 2 Mahkamah Syariah tersebut terdiri dari: 1. Makamah Syariah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama; 2. Mahkamah Syariah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota Provinsi, yaitu di Banda Aceh.Indonesia, Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara RI No. 114, Tambahan Lembaran Negara RI No.4132, Pasal 1 butir 7. 2 Lihat Penjelasan Umum UU PNAD. Asas lex specialis derogaat lex generalis mempunyai arti bahwa peraturan yang khusus mengenyampingkan yang umum. Perlu dipikirkan kembali sejauh mana atau batasan-batasan dari suatu qanun sehingga dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan lain.1

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

2

Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. 3 UU PNAD ternyata menyisakan banyak pekerjaan rumah dalam pembenahan sistem peradilan di Aceh berkaitan dengan formulasi hokum Islam yang dalam hal ini adalah hokum pidana Islam yang menjadi wilayah Mahkamah Syariah dalam wewenang yang telah diberikan oleh undang-undang tersebut. Beberapa permasalahan tersebut antara lain dalam hal: 1. Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi di PNAD menyatakan bahwa, Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syariah adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar. 4 Permasalahan hukum materiil dan kewenangan ini perlu mendapat penegasan lebih lanjut, agar dapat membedakan dengan kewenangan yang dimiliki badan peradilan lain. 2. Pengaturan lebih lanjut Mahkamah Syariah dalam qanun dapat

menimbulkan permasalahan berkaitan dengan hukum acara yang berlaku. 3. Kesiapan membentuk Mahkamah Syariah dalam kerangka membentuk formulasi hukum pidana Islam. Pasca pemberian otonomi khusus kepada PNAD saat ini mengharuskan adanya pembenahan-pembenahan lembaga peradilan yang sesuai dengan UU PNAD. Sementara itu,pemberlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam juga memberikan beberapa pertanyaan mendasar ketika beberapa fenomena mencuat di permukaan, salah satu fenomena yang sangat terkenal adalah usulan untuk memberlakukan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam di parlemen disinyalir hanya sebagai satu bentuk usaha untuk mempromosikan partai masingIndonesia, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 A. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariyah dan Mahkamah Syariyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pasal 3 ayat (1).4 3

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

3

masing, mengingat ketika usulan itu digulirkan, masa-masa tersebut adalah masamasa pemilu sehingga banyak partai termasuk PDS pun menyetujui adanya pemberlakuan syariat Islam di NAD tersebut. Beberapa fenomena di atas menjadi hal yang menarik penulis untuk lebih jauh meneliti tentang fenomena pemberlakuan syariat Islam di Aceh beserta Pembentukan Mahkamah Syariah sebagai wadahnya.

B. Rumusan Masalah Dari uraian tersebut di muka, dapat disimpulkan permasalahanpermasalahan yang berkembang, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang penerapan hukum syariat Islam yang diterapkan secara struktural di Nanggroe Aceh Darussalam dan fenomena pemberlakuan syariat Islam di NAD serta bagaimana implementasinya dalam kerangka hukum positif? 2. Bagaimanakah kompetensi Mahkamah syariah sebagai lembaga peradilan khusus yang terbentuk sebagai wadah sekaligus penyelenggara dari formulasi hukum pidana Islam?

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui latar belakang penerapan hukum syariat Islam yang diterapkan secara struktural di Nanggroe Aceh Darussalam dan fenomena pemberlakuan syariat Islam di NAD serta bagaimana implementasinya dalam kerangka hukum positif, sehingga nantinya akan dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam rangka pemberlakuan hukum pidana Islam tersebut. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kompetensi Mahkamah Syariah sebagai lembaga peradilan khusus yang terbentuk sebagai wadah sekaligus penyelenggara dari formulasi hukum pidana Islam untuk selanjutanya dapat

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

4

dievaluasi kekurangan dan kelebihan dalam implementasi hukum pidana Islam yang telah terbentuk.

D. Manfaat Penelitian Pelaksanaan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi beberapa pihak yang terkait. D.1. Manfaat Akademis 1. Sebagai kontribusi positif bagi para akademisi khusunya penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang wacana formalisasi hukum pidana Islam, khususnya dengan pembentukan Mahkamah Syariah yang diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). 2. Pengetahuan terhadap mekanisme dan pembagian serta kejelasan terhadap konsep yang dibangun dalam Mahkamah Syariah diharapkan dapat memberikan suatu legal spirit bagi akademisi dalam memberikan sumbangan terhadap kemajuan bidang hukum nasional. 3. Penelitian ini diharapkan akan membawa perkembangan terhadap dunia ilmu pengetahuan (intelektual) khususnya dalam bidang hukum. Karena dengan penelitian ini, akan semakin menambah referensi pengetahuan. 4. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi stimulant bagi akademisi yang lain, sehingga diharapkan nantinya akan lebih berkembang mengenai tulisan-tulisan yang membahas lebih lanjut mengenai fenomena

formalisasi hukum Islam. D.2. Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah PNAD dalam penyusunan peraturan daerah (qanun) khususnya dalam bidang hukum pidana yang ditangani oleh Mahkamah Syariah. 2. Penelitian ini diharapkan memberikan solusi atau paling tidak memberikan satu masukan wacana tentang fenomena dan perkembangan yang terjadi dalam wacana memformalisasikan hukum Islam.

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

5

3. Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan bagi masyarakat tentang seputar problematika penerapan Mahkamah Syariah di PNAD sebagai wujud dari usaha formalisasi hukum pidana Islam.

E. Studi Pustaka Permasalahan mengenai penegakan syariat Islam di Indonesia, khususnya di Aceh memang sudah menjadi wacana yang sangat menggema di telinga. Paling tidak spirit untuk menuju ke arah sebuah perubahan dalam pemberlakuan syariat Islam sudah melekat dalam diri masyarakat setempat. Mengenai hal ini, Topo Santoso dalam bukunya mengungkapkan beberapa deskripsi seputar pemberlakuan syariat Islam di beberapa daerah, termasuk wilayah. 5 Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa bagi umat Islam tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa menjalankan syariat Islam adalah bagian dari menjalankan din (agama) secara kaffah. Kalau kini banyak terungkap keinginan untuk menegakkan syariat Islam di beberapa tempat kelahirannya bukan tanda euphoria demokrasi serta kebebasan. Hal itu lahir karena kesadaran umat Islam terhadap hukum Barat yang berasal dari akal pemikiran manusia dengan syariat Islam yang bersumber dari rujukan hidup yang valid, yaitu Al Quran dan As Sunnah. Maka, hukum Islam dipandang paling sesuai dengan rasa keadilan. Syraiat Islam dipandang paling bisa memenuhi lima kebutuhan dasar mausia (maqashidusy-syariah al khamsah 6 ), yakni melindungi din (agama), jiwa harta akal dan keturunan. 7 Hal ini pula yang dipandang sebagai hukum yang komprehensif dalam kaitannya dengan mendapatkan keadilan. Salah satu hal yang menjadi alasan menjadikan hukum yang berdasarkan syariat Islam menjadi komprehensif adalah kedudukan hukum ini yang diposisikan sama dan seimbang antara aspek vertical dan horizontal. Di satu sisi hukum Islam selalu mempertimbangkan aspekTopo Santoso. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Gema Insani Press, hal; 85 6 Maqashidusy-syariah al khamsah merupakan satu prinsip dalam kebutuhan manusia, sehingga dalam hukum Islam hal ini menjadi perimbangan dalam setiap membuat peraturan hukum baru, baik melalui ijtihad dan sebagainya. Hal ini juga karena hukum-hukum Islam yang telah terkodifikasi dari zaman dahulu seperti Al Quran dan As Sunnah kalau dicek ualng semuanya akan berorientasi kepada lima kebutuhan mendasar manusia. Oleh karena itu, hal ini menjadi mutlak ketika akan membuat satu pemikiran atau konsep baru dalam hukum Islam. 7 ibid5

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

6

ketuhanan dalam mengambil setiap keputusan di samping juga memperhatikan aspek keadilan. Hal ini yang tidak dimiliki oleh sistem hukum yang dibuat oleh tangan manusia dimana hukum yang dibuat hanya mengatur aspek hubungan sesama manusia atau yang lain tanpa memberikan ruang bagi refleksi ketuhanan dalam setiap keputusan yang diambil. Hal seperi inilah yang membuat legal spirit dalam menetapkan hukum Islam yang semula hanya berupa perintah abstrak dalam Al Quran untuk diformulasikan ke dalam sebuah aturan resmi dalam kehidupan manusia lengkap dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Dalam buku lain 8 disebutkan, bahwa secara garis besar sistem hukum di dunia dibagi menjadi tiga kelompok,diantaranya adalah, 1) sistem-sistem yang masih mengakui syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih meneparkannya secara utuh. 2) system-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantikannya dengan hukum yang sama sekali sekuler, dan 3) system yang mengkompromikan dua system tersebut. 9 Pemberlakuan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam dapat kita lihat dari kacamata system hukum sebagaimana yang tertulis dalam paragraph di atasnya. Bisa dikatakan bahwa Aceh adalah kategori golongan yang mengakui system syariah sebagai hukum asasinya dan selalu memprioritaskannya dalam segala aspek apapun. Hal ini mungkin benar kalau kita melihat dari kacamata pemberlakuan syariat Islam dalam ruang lingkup satu wilayah saya, yaitu Aceh. Tetapi kalau kita melihat dari perspektif nasional, maka kita akan memperoleh kesimpulan bahwa dalam Negara Indonesia ini adalah termasuk system Negara yang ke tiga dimana mengakuis syariah dan system hukum nasional berlaku bersama-sama dalam satu Negara. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah mungkin memberlakukan syariat Islam di Negara yang notabene tidak berideologi Islam atau di Negara yang tidak memberlakukan hukum Islam. Sebuah pertanyaan yang memelukan analisis yang mendalam untuk bisa memecahkan permasalahan mengenai pemberlakuan hukum Islam.

Amir Muallim dan Yusdani. 2001. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, hal; 8 9 J.N.D. Anderson. 1975. Islamic Law in the Modern World. New York: New York University press. Hal; 82-83

8

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

7

Merujuk pada buku Muhammad Qutb, Islam the Misunderstood Religion Islam Agama yang disalahpahami tampak jelas bahwa hukum Islam juga menjadi hukum yang disalahpahami. Ada beberapa isu yang menjadi sasaran kesalahpahaman orang terhadap hukum Islam. Banyak contoh yang sering dianggap sebagai kesalahpahaman oleh banyak orang. Misalnya, perbudakan, poligamai, pajak bagi kafir dzimmi dan lain-lain. Selain itu, kesalahpahaman dan serangan-serangan kerap ditujukan terhadap hukum pidana Islam, bahkan ini disuarakan lebih kencang lagi. 10 Beberapa kesalahpahaman tersebut memang disebabkan Karena

masyarakat belum benar-benr menguasai secara dalam makna dan kandungan yang terdapat dalam hukum Islam, terutama hukum pidana Islam. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum pidana Islam di Negara Arab mampu menekan angka kejahatan sampai pada titik yang sangat rendah. Bahkan Freda adler memasukkan Negara ini ke dalam sepuluh Negara dengan predikat Negara-negara terkecil angka kejahatannya di banding dengan Negara-negara lain di dunia. 11 Di masa kejahatan telah menjadi momok yang menakutkan, hukum Pidana Islam terbukti menjadi terapi. Dalam catatan beberapa bulan seteleh berdirinya kerajaan Arab Saudi yang menegakkan syariat Islam, perampokan yang memenuhi jalan-jalan di tengah padang pasir dapat dibersihkan total. Dalam kurun waktu 25 tahun tercatat hanya enam belas kali pelaksanaan hukuman potong tangan. Orang juga dapat melihat tempat-tempat penukaran uang di kota Mekah yang hanya ditutup dengan kain ketika ditinggal shalat oleh pemilinya. 12 Hukum pidana Islam memenuhi syarat sebuah hukum pidana modern. Hukum ini juga mengenal asas-asas atau prinsip-prinsip hukum pidana, baik yang sudah dikenal hukum barat maupun belum. Seperti asas lagalitas, asas tidak berlaku surut dan lain-lain. Satu hal yang jelas yaitu hukum pidana Islam berbeda

Topo Santoso. Op. Cit. Hal; 88 Freda Adler, Mueller dan William. 1991. Criminology. New York: Mc Graw Hill, hal; 170-171 12 Mukhlas Hasyim. 2001. Aspek Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana Islam disampaikan pada diskusi Menyibak Aspek Perlindungan HAM dalam Hukum Pidana Islam fakultas Hukum Universitas Islam Indoensia, 15 Mei 200.11

10

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

8

dengan hukum Barat yang tidak mengakui aspek agama. Hukum ini justru erat kaitannya dengan agama sebagai jalan hidup manusia. 13 Masih terdapat beberapa kelebihan dan keunggulan hukum pidana Islam, sehingga dengan kelebihan tersebut menjadikan banyak kalangan orang tertarik untuk memformulasikannya ke dalam sebuah aruran yang resmi dalam sebuah tata peraturan yang berlaku dalam suatu sistem pemerintahan.

F. Landasan teori Membuat hukum pidana Islam masuk sebagai satu formulasi dalam sebuah peraturan Negara memang menimbulkan beberapa pertanyaan, apalagi ketika penerapan hukum pidana Islam tersebut diterapkan di Negara yang tidak memberlakukan sistem hukum pidana Islam seperti Indonesia. Dalam kerangka membicarakan kedudukan hukum pidana Islam sebagai cabang dari hukum Islam dalam sistem hukum nasional, pada tahun 1950 dalam konferensi kementrian kehakiman di Salatiga, Prof. Hazairin telah mengemukakan pandangan beliau mengenai masalah hubungan hukum agama (Islam) dengan hukum adat. Kata Hazairin (dikutip): Hukum agama masih terselip di dalam hukum adat yang memberikan tempat dan persandaran baginya, tetapi sekarang kita lihat hukum agama itu bersiap hendak membongkar dirinya dari ikatan adat itu. Arti istimewanya hukum agama itu ialah bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai bagian dari perkara imannya 14 Dari pernyataan di atas, Hazairin hendak mengatakan agar berlakunya hukum Islam untuk orang Islam Indonesia tidak disandarkan pada hukum adat, tetapi pada penunjukkan peraturan perundang-undangan sendiri. Sama halnya dengan dengan berlakunya hukum adat di Indonesia berdasarkan sokongan

Hukum barat memang mengenal aspek agama ini, tapi hanya sebagai objek yang dilindungi oleh hukum, misalnya larangan mengganggu orang yang sedang beribadah, larangan menodai tempat ibadah dan kitab suci, dan sebagainya. Jadi hukum barat tidak mengenal agama sebagai rujukan dalam penentuan norma-normanya. 14 Konferensi pers kementrian kehakiman tahun 1950

13

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

9

peraturan perundang-undangan. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Muhammad Daud Ali dalam Buku Hukum Islam. 15 Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kini, di Indonesia (1) hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum adat, (2) Republik Indonesia dapat mengatur sesuatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam, (3) kedudukan hukum Islam dalam system hukum nasional Indonesia adalah sederajat dengan hukum adat dan hukum Barat, karena itu (4) hukum Islam menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat, bukan hukum barat dan lainnya yang tumbun dan berkembang dalam Negara Republik Indonesia. 16 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka jelaslah bahwa formulasi hukum Islam dalam hal ini hukum pidana Islam yang dilakukan dan diserahakan pelaksanaanya kepada Mahkamah Syariah berada dalam posisi legal, karena dalam UU No. 18 tahun 2001dinyatakan bahwa Pemerintah daerah Aceh diberikan wewenang untuk membuat suatu peraturan berdasarkan sistemnya sendiri. Hal ini juga menunjukkan bahwa undang-undang ini merupakan delegasi terhadap pemerintahan istimewa Aceh yang menggunakan dasar hukum Islam dalam menentukan ketentuan pidana.

G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan objek kajian penelitian berupa pustaka-pustaka yang ada, baik berupa buku-buku yang bersangkutan, majalah, dan peraturan-peraturan yang mempunyai korelasi terhadap pembahasan masalah, sehingga penelitian ini juga bersifat penelitian pustaka (library research). Di samping hal itu juga beberapa informasai yang diperoleh dari berbagai sumber media, baik surat kabar maupun

Muhammad Daud Ali. 2002. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal; 235-236 16 Ibid

15

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

10

media elektronik yang kesemuanya itu diterapkan dengan interpretasi yang diterapkan dalam metode analisis data

G.2. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian yang dilaksanakan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data litereir atau library research (studi pustaka). Karena itu, bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: pertama, bahan primer meliputi keseluruhan peraturan perundang-undangan antara lain UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman; UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Keppres No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi di PNAD, dan UU No 11 Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat Qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Kedua,. bahan sekunder yang bersifat primer, yaitu bahan-bahan pustaka, seperti buku-buku yang berisikan pendapat para pakar atau praktisi atau hal-hal yang berkaitan erat dengan permasalahan yang sedang dikaji. Ketiga, bahan-bahan sekunder berupa bahan yang diperoleh dari artikel, jurnal, dan internet yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang menjadi obyek kajian penelitian. Bahan-bahan tersebut dimaksudkan sebagai pendukung dalam menyusun ketajaman analisis.

G.3. Teknik Pendekatan Karya tulis ini merupakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yaitu sebuah penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistik. Penelitian kualitatif bukan hanya menggambarkan variabelvariabel tunggal melainkan dapat mengungkap hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. 17 Berkenaan dengan itu, maka dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pendekatan filosofis serta pendekatan perundang-undangan (statute approach).

M. Sayuthi Ali. 2002, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal: 57

17

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

11

Suatu penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundangundangan (statute approach), karena yang akan dianalisis adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 18 Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan akan lebih fokus dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mempunyai implikasi hukum serta kebijakan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, dalam penulisan ini kecuali mengerjakan inventarisasi terhadap bahan primer dalam wujud perundang-undangan, untuk kemudian mengorganisasikannya ke dalam suatu koleksi yang memudahkan penelusurannya kembali. Kajian doktrinal dalam ranah hukum positif ini juga meliputi usahausaha untuk untuk mengoleksi bahan-bahan hukum lain yang sekalipun tak terbilang primer akan tetapi dibilangkan ke dalam bahan hukum sekunder bernilai juga penting untuk pengembangan hukum dan ilmu hukum. Dalam maknanya yang formal, bahan-bahan hukum yang sekunder ini memang bukan hukum yang berlaku. Akan tetapi dalam makananya yang materiil bahan-bahan sekunder itu merupakan bahan yang sangat urgen dalam pengembangan ilmu hukum. 19

G.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analisys (analisis isi). Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis tentang kedudukan mahkamah syariah dalam hukum positif Indonesia dan implementasinya terhadap kehidupan masyarakat NAD.

G.5. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, maka penulisan karya tulis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang munculnya masalah yang akan dijawab, rumusan masalah yang merupakan permasalahan yang menjadi18

Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Surabaya: Bayu Media, hal; 302-303 19 Burhan Ashsofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal: 41.

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

12

acuan dalam pembahasan ini, tujuan dan manfaat penelitian yang merupakan arah penelitian yang dilakukan, serta menjelaskan tentang kaijan atau telaah pustaka sebagai pembanding dan pembeda dengan penelitian sebelumnya, landasan teori sebagai gambaran alur yang melandasi argumen-argumen dalam penulisan karya tulis ini. Di samping itu dalam bab ini berisi tentang metode penelitian yang menggambarkan tentang cara kerja secara sistematisdalam penulisan karya tulis ini. Dalam bab ini terurai secara jelas bagaimana langakh dan arah yang akan dituju dari penulisan ini. Bab II berisi analisis permasalahan yang telah dipertimbangkan dari berbagai macam aspek yang semua paparan tersebut bertujuan untuk menjawab rumusan masalah. Di dalamnya terdapat paparan tentang latar belakang diterapkannya syariat Islam di Aceh, kedudukan mahkamah konstitusi,dan bagaimana produk hukumnya dalam mengatasi permasalahan yang berkembang di masyarakat. Bab III penutup, berisi kesimpulan dari pembahasan tentang rumusan masalah yang diajukan dengan dilengkapi saran sebagai bahan rekomendasi dari hasil penelitian penulis.

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

13

BAB II ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Latar Belakang Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Dasar Hukum Materiil di NAD Pasca tsunami, Aceh telah menjadi kota internasional. Ribuan relawan kemanusiaan, pekerja organisasi nonpemerintah, maupun staf sejumlah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa berdatangan ke Aceh. yang dikhawatirkan pun terjadi, nilai yang terbawa dalam internasionalisasi itu berbenturan dengan sendi syariat Islam yang menjadi salah satu keistimewaan Serambi Mekkah ini. Yang datang membawa bantuan dinilai turut membawa pengaruh buruk terhadap masyarakat Aceh. Salah satu kasus terakhir terjadi akhir Juli lalu, ketika Guesseppe Baluschii (30), warga Italia yang bekerja di salah satu lembaga internasional, ditangkap oleh polisi syariah Islam wilayah Bireuen. Guesseppe kedapatan tengah berhubungan intim dengan War (27), perempuan dari Pidie. Sang perempuan dijerat dengan kanun (peraturan daerah) mengenai syariat Islam, sementara Guesseppe yang nonMuslim tidak. Kalaupun Guesseppe diproses lanjut, itu terjadi karena yang bersangkutan membawa ganja dan untuknya berlaku ketentuan hukum umum. Secara sosiologis, ada yang menilai tidak adil jika pelanggaran yang dilakukan bersama-sama tidak diadili di lembaga peradilan yang sama.

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

14

Apapun, terungkapnya perbuatan mesum itu sontak menimbulkan kehebohan. Khotbah-khotbah Jumat di sejumlah masjid berisi kecaman atas keberadaan Guesseppe yang dituding merusak perempuan Aceh. War, yang pernah belajar di pesantren, mengakui bahwa perbuatan itu dilakukan berdasarkan suka sama suka. Fenomena itu menunjukkan, pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar kanun syariat Islam secara terbuka di hadapan masyarakat ternyata tidak cukup membuat jera. Bahkan, kasus pemerkosaan juga banyak ditemui di Aceh. Tidak mengherankan jika Syarifah Rahmatillah dari Mitra Sejati Perempuan Indonesia menilai syariat Islam di Aceh belum efektif melindungi pemerkosaan yang marak di Aceh akhir-akhir ini. Aktivis perempuan ini khawatir bahwa suatu saat masyarakat tak malu lagi dengan hukuman cambuk sehingga hukuman ini tak memberi efek jera. Kita harus berbesar hati, proses penerapan syariat Islam di Aceh harus dikaji ulang, Usul tersebut tentu bukan hal yang mudah. Keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya bukan hal yang baru kemarin sore diperjuangkan. Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 mengenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang ahwal alsyakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, perwalian, nafkah, pengasuhan anak, dan harta bersama), muamalah (masalah tata cara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan kanun (peraturan daerah). Dasar tersebut di atas diperkuat dengan undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001, telah memperkuat jaminan hukum terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang

Keistimewaan Aceh dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu pelaksanaan Syariat Islam sebagai hokum materiil yang digunakan di Aceh, mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam,

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

15

mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan Ulama dalam penerapan kebijakan daerah. 20 Semangat spiritualitas dalam menegakan hukum Islam (syariat Islam Di Aceh juga tidak terlepas dari teori-teori eksistensi hukum yang sudah diberlakukan sejak zaman penjajah belanda, yaitu teori Receptio In complexu yang pada waktu itu dikeluarkan oleh snouck hurgronje yang mengatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing, bagi orang Islam berlaku hukum agama Islam, demikian juga yang lain. 21 Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain juga dijamin untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Islam memang agama mayoritas di Aceh, tetapi Aceh pun memiliki keragaman agama. Misalnya, di daerah Aceh Tenggara yang berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara syariat Islam ini sulit diterapkan. Keragaman itu pula yang menjadi dasar perdebatan alot saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh. Aceh yang beragam, Aceh yang semakin terbuka tentu membawa konsekuensi tersendiri. Pelaksanaan syariat Islam sebagai hokum materiil rawan menimbulkan gesekan atau bahkan bakal meminggirkan keragaman. Bisa-bisa akan muncul citra Aceh sebagai daerah tertutup. Stan McGahey, konsultan pariwisata dari USAID untuk pemulihan Aceh, mengatakan, potensi wisata Aceh yang luar biasa, terutama Sabang, bisa menjadi tidak tergarap jika syariat Islam dibenturkan dengan kepariwisataan. Oleh karena itu, McGahey mengusulkan dibuatnya zona khusus di Sabang. Alternatif lain adalah Aceh harus mengembangkan wisata khusus mengingat adanya syariat Islam. Tsunami bisa menjadi potensi wisata alternatif. Banyak wisatawan yang tertarik untuk melihat bekas tsunami dan melihat proses rekonstruksi. Aceh sebaiknya tidak hanya mengembangkan wisata yang mengandalkan Sabang saja, kata McGahey. 22

BAPPEDA D.I. ACEH. 2006. Pemerintahan. Aceh: BABBEDA. Suparman Ustman. 2001. Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hal. 111. 22 www.kompas.com. 14 Agustus 2006. Syariat Ketat di Serambi yang Terbuka?21

20

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

16

UU No 11 Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat Qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Bahkan khusus untuk pidana (jinayah) yang sudah mengalami unifikasi, sanksi yang diatur dalam kanun boleh berbeda dengan batasan untuk peraturan daerah umum lainnya. Selain itu, ada ketentuan bahwa kanun syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung. Yang juga kerap terlontar di permukaan, Qanun syariat Islam belum banyak yang mengatur permasalahan riil yang menyangkut masyarakat banyak. Qanun yang paling populer masih berkutat soal judi, minuman keras, dan khalwat. Permasalahan riil yang dihadapi masyarakat, seperti korupsi, tidak pernah terjangkau oleh ketentuan syariat. Lumrah jika kemudian sebagian kalangan menilai dengan sebelah mata atas pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Jadi memang masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Penerapan hokum materiil yang melandaskan pada syariat Islam di Aceh dibebani tuntutan untuk benar-benar menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin yang penerapannya membuahkan kehidupan ekonomi-sosial yang lebih baik. Harus pula terlihat bahwa pemberlakuan syariat Islam bukan hal yang kontraproduktif bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya karena kini Serambi Mekkah menjadi tempat yang makin terbuka. 23 Di samping hal tersebut, munculnya pemberlakuan syariat Islam di propinsi Aceh dapat ditinjau dari segi sumber kekuasaan. Menurut Al Baqillani, Al Baghdadi dan Al Mawardi serta Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan peraturan yang bertujuan untuk masyarakat luas maka seharusnya lebih digunakan teori kontrak sosial (sosial contract). Artinya sumber kekuasaan bagi mereka berasal dari masyarakat luas. Karena gagasan mereka tentang proses terbentuknya Negara adalah atas kehendak manusia sebagi makhluk sosial dan makhluk politik. Tetapi perlu diingat juga bahwa dalam mencapai hal tersebut, dalam kenyataannya sangat diperlukan peran serta dari manusia yang disebut imam atau pemimpin.24

Ibid. 16 Agustus 2006 Suyuti Pulungan. 2002. Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal: 26524

23

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

17

Melihat teori tersebut, maka dapat dilihat bahwa penerapan dan pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan salah satu bentuk kontrak sosial yang diciptkan dari keinginan masyarakat luas yang kemudian didukung dan dikembangkan dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan atas syariat Islam sebagai imam yang mengendalikan pelaksanaan tersebut.

B. Pemberlakuan Syariat Islam Aceh Sebagai Hukum Materiil Merupakan Kristalisasi Kepentingan Politik Sebagaimana sifat manusia yang tidak terlepas dari kesalahan dan kelapaan maka dalam pelaksanaan otonomi khusus di NAD juga terdapat beberapa kelemahan dan kelebihan dalam Pemberlakuan Hukum Materiil di NAD, sehingga hal ini menjadi koreksi bagi pemerintah dalam mempertahankan eksistaensi tentang pemberlakuan hukum materiil di NAD. Beberapa kelemahan dan kelebihan tersebut secara lengakapnya dapat dilihat pada paragraf berikut ini. Dalam isu perdebatan rancangan undang-undang pemerintahan aceh (RUU PA), pendukung Piagam Jakarta menang, dan konstitusi Indonesia pun terancam. Hal ini disebabkan, tidak satupun fraksi di DPR yang punya opsi agar syariat Islam hanya berlaku bagi warga Muslim ataupun bukan Muslim yang percaya pada syariat sebagai hukum positif yang harus dilaksanakan negara. PDI Perjuangan yang sangat mengedepankan pluralisme paham dan praktek keagamaan Islam pun tidak memilih kemungkinan ini. Partai Damai Sejahtera yang dikenal sebagai Partai Kristen pun berpandangan kurang lebih sama bahwa syariat Islam berlaku di Aceh bagi yang beragama Islam. Sementara PKS berpandangan bahwa syariat Islam berlaku bagi siapapun yang berada di Aceh. Pandangan PKS ini tidak mengejutkan. Sikap Golkar, PD, PKB, PAN, dan PPP berada di tengah antara sikap PDS dan PKS dengan derajat perbedaan tertentu. Kalau digunakan kerangka Piagam Jakarta di mana semua yang beragama Islam wajib menjalankan syariat Islam, maka aspirasi yang sedang berkembang dalam pembahasan RUU Pemerintah Aceh ini adalah aspirasi Piagam Jakarta. Apa yang terjadi di parlemen adalah gambaran terjadinya konsensus untuk menerima Piagam Jakarta. Bahkan PKS bersuara lebih mundur dibanding Piagam Jakarta untuk kasus Aceh ini.

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

18

Tiga pelajaran dapat dipetik dari aspirasi yang berkembang di parlemen syariat ini. Pertama, semua elite politik pada dasarnya berperilaku oportunis, termasuk untuk masalah yang mendasar sekalipun. PDS ataupun PDI Perjuangan yang seharusnya menentang penerapan syariat Islam di dalam NKRI, termasuk di Aceh, ternyata menerima keharusan pemberlakuan syariat Islam di Aceh bagi yang beragama Islam. Oportunisme ini bersumber dari persepsi bahwa rakyat Aceh memang menghendaki diatur oleh syariat. Menolak aspirasi ini akan membuat partai tidak populer. Tidak ada lagi kekuatan politik yang betul-betul konsisten dengan konstitusi kita. Ini kemunduran luar biasa dalam kehidupan berbangsa. Kedua, bila secara politik dimungkinkan, konstitusi kita (UU Dasar dan Pancasila) yang inklusif dalam soal kehidupan kegamaan kemungkinan besar diubah menjadi konstitusi Islam yang eksklusif. Kalau PKS menjadi partai besar dan menguasai parlemen sangat mungkin UUD dan Pancasila dihapus, dan Indonesia dirubah menjadi negara Islam seperti yang pernah diperjuangkan oleh Darul Islam tahun 50-an dulu. Hubungan Islam dan negara-bangsa nampaknya belum selesai di negeri ini. UUD dan Pancasila sebagai konstitusi kita dalam bernegara sekarang nampaknya bukan kesepakatan final bangsa. Penghapusan terhadapnya akan terjadi bila kekuatan politik memungkinkan. Misalnya bila PKS menjadi kekuatan mayoritas di parlemen. Ketiga, negara Islam dapat dibangun dengan prosedur demokrasi. Dalam sejarah tidak ada negara Islam, yakni kehidupan warga di dalamnya diatur dengan hukum Islam, yang dibangun secara demokratis. Semuanya dengan perang atau revolusi. Pemerintahan Aceh yang akan memberlakukan hukum Islam itu adalah kasus baru. Ia dibangun oleh anggota parlemen yang merupakan hasil pemilu demokratis 2004. Demokrasi memang dapat melumpuhkan nilai-nilai demokrasi yang fundamental seperti paham negara sekuler dan pluralisme internal kehidupan keagamaan bila jatuh di tangan wakil-wakil rakyat yang miskin nilai-nilai demokrasi tersebut. Demokrasi kita ternyata masih miskin kaum demokrat.

C. Mengurai Kelemahan dan Kelebihan Penerapan Syariat Islam NAD

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

19

Pemberlakuan syariat Islam di Aceh mempunyai kelemahan yang tidak bisa dihindarkan, diantaranya adalah kedudukan wanita dan laki-laki yang dalam hukum positif nasional Indonesia dianggap sebagai subyek hukum yang sama rata dalam kedudukannya, tetapi dalam penerapan hukum Islam di Aceh, kedudukan mereka menjadi berbeda. Melihat hal demikian, maka tidak sesuai antara tujuan awal pemberlakuan syariat Islam yang nasionlais. Dengan demikian,

penerpan hukum yang antara kaum laki-laki dan perempuan pun juga berbeda. Penerapan pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam di Aceh tidak mampu memberikan hukuman bagi semua manusia yang sedang bermukim di daerah tersebut. Seperti contohnya, antara orang asli aceh dan orang asing, maka yang berlaku hukum Islam hanya bagi orang Aceh sedangkan hukuman bagi orang non Aceh tidak diberlakukan hukum Islam. Seperti contohnya, kasus antara Wardiana (orang Aceh) dan Guessepe (non Aceh). Dalam kasusnya mereka berbuat zina dan menyepi serta meminum khamr. Dalam Qanun Pemerintahan Aceh, perbuatan mereka berua telah melanggar Qanun 14 tentang khalwat. Lalu soal minuman keras dan ganja, dijerat dengan Qonun 13.Tapi hukum syariah hanya diberlakukan bagi Wardiana, sementara untuk Gueseppe, akan dijerat dengan Undang-Undang Anti Narkotika nomor 22 tahun 1997. Hukum syariah tak bisa menyentuhnya karena hanya mengatur mereka yang muslim dan WNI di Aceh. 25 Untuk menghukum perbuatan setiap pelanggaran yang terjadi di propinsi Aceh, semuanya mengguankan dasar atas Qanun. Hal ini berlandasrkan UndangUndang Keistimewaan Aceh nomor 44 tahun 1999 dan Undang-Undang Otonomi Daerah nomor 18 tahun 2001. Sedangkan stok Qanun yang terdapat dalam pemerintahan Aceh masih sangat terbatas. Selama ini Qanun yang ada dalam pemerintahan Aceh adalah 1). Qanun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, 2). Qonun 12 soal judi atau maisir, 3) Qanun 13 tentang khamar atau minuman keras, 4) serta Qonun 14 tentang khalwat atau menyepi degan lawan jenis. 26 Hal ini juga merupakan satu kelemahan dalam pemerintahan Aceh dimana Qanun yang ada

25

www.indosiar.com. Daspriani Y Zamzani. 21 Agustus 2006. Cinta Terlarang di Negeri Ibid.

Syariat.26

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

20

belum cukup untuk mengatur semua pebuatan yang ada di Aceh, mengingat perbuatan tersebut sangat kompeks sedangkan Qanun sangat terbatas. Tetapi salah satu hal posif adalah setidaknya keempat Qanun tersebut telah dapat dipakai untuk mengubah prilaku warga Aceh, dari perbuatan yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, seperti perjudian, mabuk-mabukan minuman keras sampai praktek pelacuran dan perzinaan. Hukuman cambuk sebagai upaya penjeraan kepada para pelanggarnya-pun telah pula diterapkan untuk dijadikan pelajaran. Oleh karena itu, satu hal yang bisa kita ambil pelajaran dari kekurangan dalam penerapan dan pemberlakuan syariat Islam di Proponsi Aceh secara garis besar adalah 1) kadang penerannya dihalangi oleh peraturan-peraturan umum pemerintah Indonesia. 2) terkadang terdapat kasus hukum yang tidak diatur oleh hukum itu sendiri, misalnya kasus cyber crime dll. 3). Pemberlakuan hukum yang masih ironi antara orang Aceh dan non Aceh yang tidak sama, artinya terhadap orang asing tidak diberalakukan hukum syariat Islam sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang Aceh. 4) Qanun syariat Islam belum banyak yang mengatur permasalahan riil yang menyangkut masyarakat banyak. 5) Qanun hanya memuat kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masyarakat dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan tanpa mencantumkan hak-hak yang mereka terima. Sedangkan dalam teori siyasah harus terdapat hubungan timbale balik antara pemerintahnya dan rakyat. 27 Terjadi miss communication antara pemerintah pusat dalam hal ini jaksa agung dengan pemerintah daerah, jaksa agung mengatakan bahwa syariat Islam hanya berlaku untuk hukum sipil sedangkan hukum pidana menganut pda ketentuan nasional, tetapi fakta menunukkan bahwa dalam pelaksanaan hukum pidana juga menggunakan keputusan daerah, artinya dengan menggunakan Qanun tersendiri. 28 Sedangkan secara structural dalam sebuah system hukum nasional, pemberlakuan hukum pidana Islam yang dituangkan ke dalam sebuah lembaga yang disebut Mahkamah Syariah, terdapat beberapa hal yang membutuhkan pembaharuan dalam system. Diantara hal-hal tersebut adalah keberadaan hukum27

Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang. www.compas.com. 8 Mei 2001. PKB Tak Permasalahkan Syariat Islam di Aceh.

Hal: 50.28

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

21

materiil Aceh yang tidak dilengkapi dengan hukum formil maupun hukum eksekutoriil. Selama ini kita baru mendengar bahwa hanya baru hukum materiil yang diberlakukan, yaitu berupa qanun-qanun. Namun untuk mekanisme eksekusi dan cara-cara pelaksanaan peradilan belum tercover dalam pelaksanaan hukum syariah di NAD. Di samping hal tersebut, penyesuaian lembaga peradilan yang harus mengikuti system dalam syariat Islam belum juga terealisasi dalam pemberlakuan hukum pidana Islam di NAD. Misalnya, kita belum menemukan lembaga kejaksaan dalam Islam yang diterapkan di Aceh, dan polisi dengan polisi syariah yang mempunyai tugas yang belum dinyatakan secara jelas batas-batas perkara yang harus ditanganinya. Hal ini juga yang menimbulkan satu kelemahan dalam pelaksanaan hukum syariat Islam di NAD. Lembaga tingkat kasasi untuk Mahkamah Syariah juga belum terbentuk dalam sistem peradilan Indonesia. Dalam menangani kasus, Mahkamah Syariah secara lembaga telah memiliki Mahkamah Syariah tingkat Kota dan Mahkamah Syariah tingkat Pripinsi. Tetapi permasalahannya adalah, ketika ada suatu kasus yang sampai kepada tingkat kasasi. Di sini mengalami kesulitan mengingat di Indonesia belum ada MA untuk Mahkamah Syariah, dan juga tidak tepat kalau kasus yang datang dari Mahkamah Syariah ditangani oleh Mahkamah Agung walaupun MA berhak menerima segala kasus dari lembaga peradilan mana saja. Tetapi yang perlu diperhaikan adalah system hukum acara yang dipakai oleh Mahkamah Syariah berbeda dengan Sistem hukum nasional. Bukan hanya kekurangan saja yang ada pada Mahkamah Syariah, tetapi juga terdapat beberapa kelebihan, secara garis besar dapat ditarik pernyataan bahwa kelebihan dalam pemberlakuan syariat Islam di Aceh adalah sebagai berikut: 1. Penerapannya didukung oleh masyarakat sendiri sehingga status hukumnya penuh. 2. hukum yang diterapkan berdasarkan Al Quran yang mana tidak diragukan lagi kebenarannya 3. tidak ada kasus yang tidak diimbangi dengan asas keadilan

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

22

4. bila ada kasus hukum, maka dapat melaukan ijtihad sesuai dengan syariat yang berlaku 5. terdapat asas keadilan, sehingga pemberlakuannya dapat

dipertanggungjawabkan karena terdapat kaitan langsung dengan hubungan veretikal dengan Allah SWT.

D. Kompetensi atau Kewenangan Mahkamah Syariah di NAD Sebagai Badan Peradilan Khusus Berbasis Hukum Islam Tugas pokok pengadilan yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Wewenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili itulah yang disebut dengan kompetensi pengadilan. Dalam teori, kompetensi pengadilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu Kompetensi Absolut (Absolute Competentie) dan Kompetensi Relatif (relative competentie). 29 Kompetensi Absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara didasarkan atas tingkatan pengadilan dan ruang lingkup badanbadan peradilan berdasarkan jenis perkara yang terjadi. Di Indonesia ada tiga tingkat pengadilan, yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. 30 Pengdilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang berwenang memeriksa dan memutus segala perkara perdata dan pidana yang terlebih dahulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan-pengadilan yang dihapuskan (pasal 5 ayat 3a UU Dar. 1/1951). Dalam pasal 55 UU no. 2 tahun 1986 disebutkn bahwa pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. 31 Jika UU no. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Aceh ditinjau berdasarkan hasil amandemen ke empat UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman 32 , maka Mahkamah Syariah berada dalam kerangka kekuasaanLihat Rusli Muhammad. 2004. Dalam Modul Kuliah Hukum Acara Pidana di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hal. 108. 30 Ibid. 31 Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hal. 75. 32 Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.29

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

23

kehakiman sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 bab Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, yaitu perdilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. 33 Pembagian ke empat lingkungan badan peradilan tersebut tetap dipertahankan sejak dari berlakunya UU no. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman hingga kini, padahal UU tentang Pokok-pokok Kehakiman sudah mengalami perubahan selama dua kali sejak berlakunya UU no. 14 tahun 1970. Perubahan pertama yaitu dengan dikeluarkannya UU no. 35 tahun 1999 tentang perubahan terhadap UU no. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yng kemudian dirubah lagi dengan UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku hingga saat ini. 34 Jika Mahkamah Syariah yang diberlakukan di NAD dikaitkan dengan UU no. 4 tahun 2004, maka berarti Mahkmah Syariah masuk ke dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang empat tersebut. Dalam pasal 15 UU no. 4 tahun 2004 Mahkamah Syariah merupakan Pengadilan Khusus yang dibentuk berdasarkan undang-undang tepatnya pasal 1 (7) UU no. 18 tahun 2001. Kalau dilihat dari hukum materiil yang terdapat dalam Mahkamah Syariah, maka hukum materiil yang mengatur mengenai kewenangan Peradilan Agama merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan yang mengatur mengenai kewenangan Peradilan Umum merupakan Peradilan Khusus dalam lingkungan Pengadilan Umum. 35 Memang dalam pasal 10 (1) UU no. 4 tahun 2004 memungkinkan adanya pengkhususan dalam masing-masing lingkungan peradilan, baik dalam

lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Umum, Peradilan Militer, ataupunAmandemen ke empat UUD 1945 pasal 24. Pasal 2 UU no. 4 tahun 2004 tentang kekusaan kehakiman, Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 35 Pasal 15 UU no. 4 tahun 2004. (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undangundang. (2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.34 33

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

24

Peradilan Tata Usaha Negara. Misalnya saja Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu lintas, Pengadilan Anak dan lain-lain. Biarpun sama-sama merupakan Peradilan Khusus, tetapi Mahkamah Syariah yang ada di Aceh memiliki perbedaan. Perbedaannya yaitu, jika Peradilan Khusus, seperti Peradilan Lalu lintas dan Peradilan Anak terbatas pada lingkungan Peradilan Umum saja. Sedangkan Mahkamah Syariah berada dalam dua lingkungan peradilan, yaitu Perdilan Agama dan Peradilan Umum. Oleh karena itu Mahkamah syariah bisa dibilang merupakan jenis Peradilan khusus yang unik. Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat dalam UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta Wakaf dan Shodaqoh sekarang wewenangnya diperluas lagi setelah diundangkannya UU no. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sehingga wewenangnya meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syari'ah. Sedangkan Peradilan Umum sebagaimana yang diatur dalam UU. No 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Jika mau dimintakan banding, maka dapat dimintakan kepada Pengadilan Tinggi masing-masing badan peradilan. Sementara jika mau mengajukan kasasi maka dapat dijukan kepada Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi di Indonesia yang berwenang: a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan c. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. 36

36

Pasal 11 UU no. 4 tahun 2004.

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

25

Kalau kita lihat dari wewenang Peradilan Agama maupun Peradilan Umum di atas, nampak bahwa Mahkamah Syariah memiliki wewenang yang meliputi dua lingkungan peradilan tersebut sekaligus dengan tingkatan yang sama pula. Mahkamah Syariah Kabupaten atau kota memiliki wewenang yang sama dengan pengadilan negeri. Sedangkan Mahkamah Syariah Provinsi memiliki wewenang yang sama dengan Pengadilan Tinggi. Sesuai dengan UU no. 4 tahun 2004, untuk peradilan tingkat kasasi tetap menjadi wewenang Mahkamah Agung karena semua badan peradilan berada di bawah mahkamah Agung. Hingga saat ini baru ada empat qanun 37 yang disahkan, yaitu qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, qanun 12 tentang judi atau maisir, qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, serta qanun 14 tentang khalwat, larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrimnya. Tentu aturan itu masih sangat kurang jika digunakan sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat. Disahkannya qonun tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Syariah merupakan Peradilan Khusus dalam lingkungan peradilan umum. Dengan kata lain Mahakmah Syariah selain memiliki wewenang dalam lingkungn Perdilan Agama, juga memiliki wewenang sebagaimana yang dimiliki oleh Peradilan Umum. Kewenangan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum itulah yang menjadi Kompetensi Absolut dari Mahkamah Syariah sebagai peradilan khusus yang diberlakukan sebagai implementasi dari otonomi khusus yang diberikan kepada NAD sekaligus bentuk formulasi sistem hukum pidana Islam. Sedangkan untuk kompetensi relatif, dapat dilihat bahwa ada bebera hal yang mengalami penyimpangan, diantaranya yaitu penyimpangan asas territorial yang dikemukakan oleh Imam SyafiI, Hanafi dan hambali yang memberikan teori bahwa pemberlakuan hukum Islam tetap berlaku bagi orang asing yang melakukan tindak pidana di wilayah Islam. 38 Oleh karena itu, pada dasarnya perbuatan zina yang dilakukan oleh Guessepe dan war seperti yang telah digambarkan di atas dalam teori hukum pidana Islam tetap dapat dikenakan hukuman pidana, karena tindak pidana tersebut dilakukan di daerah yang37 38

Aturan pelaksanaan undang-undang di Aceh. Lihat Abdul Kholiq. 2006. Modul Kuliah Fiqh Jinayat

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

26

menerapkan hukum pidana Islam. Konsep ini yang sampai sekarang masih bertentangan dengan konsep UU No. 18 tahun 2001 yang hanya memberlakukan hukuman pidana Islam bagi penduduk asli saja, sedangkan warga asing diserahkan kepada hukum Negara, sangat ironis.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisis di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Latar belakang diberlakukanya syariat Islam di NAD diantaranya adalah karena keinginan sebagian besar masyarakat karena didasari oleh teori reception incomplexu dan juga karena predikat Aceh sebagai serambi Mekah, sehingga menjadi semangat spiritual. Semangat tersebut kemudian didukung oleh UU No 11 Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat Qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Hal ini senada dengan teori yang dikemukakan oleh Al Baqillani, Al Baghdadi dan Al Mawardi serta Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan peraturan yang bertujuan untuk masyarakat luas maka seharusnya lebih digunakan teori kontrak sosial (sosial contract). Artinya sumber kekuasaan bagi mereka berasal dari masyarakat luas. Tetapi dalam implementasinya banyak kelebihan dan kekurangan. Diantaranya belum lengkapnya lembaga peradilan Syariah dam lembaga tingkat kasasi untuk peradilan syraiah serta belum terbentuknya hukum materiil dan eksekutoriilnya. Dan kelebihannya antara lain, Penerapannya didukung oleh masyarakat sendiri sehingga status

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

27

hukumnya penuh dan hukum yang diterapkan berdasarkan Al Quran yang mana tidak diragukan lagi kebenarannya bagi pemeluknya. 2. Berdasarkan pada UU no. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Syariah merupakan Peradilan Khusus yang dibentuk berdasarkan UU no. 18 tahun 2001. Berdasarkan muatan hukum materiilnya, maka Mahkamah Syariah termasuk dalam lingkungan peradilan Agama dan Peradilan Umum. Oleh karena itu Mahkamah Syariah memiliki kompetensi atau wewenang mutlak untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama dan Peradilan Umum.

B. Saran Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut, sekiranya perlu mendapat respon dari berbagai kalangan, oleh karena itu pada kesempatan kali ini saran yang bisa penulis sampaikan adalah sebagi berikut. 1. Perlu dibentuk lembaga peradilan yang mewadahi tingkat kasasi khusus untuk perkara-perkara yang berasal dari Mahkamah Syariah. Kalaupun hal itu tidak memungkinkan maka perlu dibentuk sub bagian dari Mahkamah Agung yang menangani khusus mengenai perkara-perkara yang berasal dari Mahkamah Syariah 2. Hendaknya hukum acara atau hukum formilnya direalisasikan untuk menyusun kelengkapan dalam beracara untuk beberapa perkara atau permasalahan yang bermacam-macam. 3. Bagi lembaga pemerintah atau badan pelaksana otonomi khusus yang berlaku di Aceh, konsistensi hukum yang berlaku hendaknya tetap menjadi prioritas utama di samping keadilan yang juga harus menjadi bahan yang penting untuk ditegakkan. Penulis melihat adanya ketidakadilan pemberlakuan hukum yang berlaku di Aceh. 4. Perlu ada kepastian hukum mengenai batasan-batasan dan wewenang yang akan ditangani oleh lembaga peradilan syariah. Misalnya dalam bentuk undang-undang yang mengatur dan membedakan antara wilayah kerja polisi Negara dan polisi syariah.

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam

28

Studi Kritis Terhadap Pemberlakuan Syariat Islam Sebagai Hukum Materiil Dan Pembentukan Mahkamah Syariah Sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam