karidio lapkas aft editting
DESCRIPTION
kardio lapkasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut estimasi WHO, sekitar 50% dari 12 juta penduduk dunia meninggal
akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Faktor prognosis pasien PJK dapat
diubah dan dikendalikan, dan memungkinkan untuk mencegah kematian akibat PJK.
Di Amerika Serikat sebanyak 1,7 juta kasus penyakit jantung koroner didiagnosa pada
tahun 2001. Yang menjadi peringkat pertama adalah angina pektoris tidak stabil,
sebanyak 87% dari 29,7/10.000 kasus pada tahun 1988 menjadi 3,9/10.000 kasus pada
tahun 2001.
Penyakit kardiovaskuler (PKV) terutama Penyakit Jantung koroner merupakan
penyakit revalen dan menjadi pembunuh utama dinegara-negara industri. Di Indonesia
PKV pada survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRT) 1972 menunjukkan
PKV menduduki urutan ke-l1, 1986 menduduki muffin ke-3, dan SKRT 1992
merupakan.
Penyebab kematian pertama untuk usia di atas 40 tahun. Etiologi
aterosklerosis adalah multifaktorial tetapi ada berbagai keadaan yang erat kaitannya
dengan aterosklerosis yaitu faktor genetik/riwayat keluarga dan penyakit jantung
koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, usia, kelamin pria, kebiasaan
merokok, dislipidemia, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, kurang aktifitas fisik dan
menopause. Salah satu faktor resiko aterosklerosis utama adalah Dislipidemia. Di
Indonesia prevalensi dislipidemia semakin meningkat.
Dari hasil survei Departemen Kesehatan RI terungkap bahwa prevalensi PJK
di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat dan diikuti meningkatnya jumlah
kematian. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992 persentase penderita
PJK di Indonesia adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4%.
Sebelumnya prevalensi PJK menempati urutan ke-9 penyakit yang
membahayakan serta menempati urutan ke-4 sebagai penyebab kematian. Tapi
delapan tahun kemudian (tahun 1980) prevalensi PJK menempati urutan ke-6, serta
urutan ke-3 sebagai penyebab kematian. Bahkan sekarang (tahun 2000-an) sudah
dapat dipastikan bahwa penyebab kematian terbesar di Indonesia bergeser dari
penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskuler (antara lain PJK) dan degeneratif.
3
1.2 Tujuan
Laporan kasus ini ditulis untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik
senior di Departemen Kardiologi dan Vaskular R.S. H. Adam Malik Medan, Fakultas
Kedokteran USU.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Jantung Koroner
Definisi
Penyakit jantung koroner atau juga disebut sebagai Coronary Artery Disease
(CAD) adalah satu penyempitan atau penyumbatan arteri dan pembuluh darah yang
membekalkan oksigen dan nutrisi ke jantung. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis
yaitu satu akumulasi bahan lemak pada lapisan bagian dalam dari arteri. Hasil dari
penyumbatan tersebut membatasi aliran darah ke jantung. Ketika aliran darah
terputus, hasilnya adalah serangan jantung. Sedangkan definisi menurut penyakit
arteri koroner ditandai oleh adanya aterosklerosis dalam arteri koroner epikardial.
Plak aterosklerotik merupakan tanda dari aterosklerosis yang menyempit lumen arteri
koroner dan merusak aliran darah miokard antegrade. Pengurangan dalam aliran darah
arteri koroner mungkin dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik yang terjadi
dengan aktivitas atau ketika istirahat dan mencapai puncaknya pada infark miokard
dan tergantung pada beratnya obstruksi serta kecepatan dan perkembangannya.
5
Epidemiologi
Menurut ‘American Heart Association’ dan publikasi Asosiasi Stroke Amerika
tahun 2006 menunjukkan statistik pada penyakit jantung dan stroke, penyakit
kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat pada
pria dan wanita dari setiap kelompok etnis. Sekitar 13 juta orang memiliki riwayat
penyakit arteri koroner dan 7.2 juta orang menderita infark miokard. Hampir 2500
orang Amerika meninggal karena penyakit kardiovaskuler setiap hari, rata-rata satu
kematian setiap 35 detik. Hasil survei yang dilakukan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia menyatakan prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia dari
tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan sekarang sejak tahun 2000an dapat
dipastikan kecendrungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dari penyakit
infeksi ke penyakit kardiovaskuler ( antara lain penyakit jantung koroner ) dan
degeneratif. Manifestasi klinik penyakit jantung koroner yang klasik adalah angina
pektoris.
Etiologi
Penyakit jantung koroner disebabkan oleh masalah pada arteri koroner yang
membuat jantung tidak mendapat oksigen yang cukup dan darah yang cukup dengan
6
nutrisi. Penyebab yang paling umum sejauh ini adalah aterosklerosis. Kurangnya
darah yang secukupnya disebut sebagai iskemia sehingga kadang-kadang disebut juga
sebagai penyakit jantung iskemik. Penyebab penyakit jantung koroner berhubungan
dengan beberapa faktor risiko. Berikut adalah yang paling umum yaitu :
Genetik
Kadar kolestrol yang tinggi. Kadar kolestrol yang tinggi dalam darah di atas kadar
yang normal yang biasanya melibatkan kadar tinggi dari lipoprotein yang
berkepadatan rendah ( LDL) dan rendahnya kadar dari lipoprotein berkepadatan
tinggi (HDL).
Penyalahgunaan tembakau. Hal ini bukan hanya berhubungan dengan merokok
bentuk tembakau seperti rokok, cerutu atau pipa tetapi juga tembakau kunyah.
Obesitas.
Tekanan darah yang tinggi ( hipertensi )
Penyakit diabetes
Kurangnya olahraga yang teratur
Diet yang berlemak tinggi
Stres
Tipe kepribadian A ( tidak sabar, agresif dan kompetitif )
Patofisiologi
Fase penyakit jantung koroner dapat diketahui berdasarkan hubungan antara
gejala klinis dengan patologi endothelium yang dapat dilihat secara angioskopi. Pada
permulaan penyakit akan tampak lapisan lemak pada permukaan pembuluh darah.
Bila lesi melebar akan menyebabkan obstruksi parsial oleh plak yang permukaannya
licin. Bila plak bertambah besar aliran koroner akan berkurang dan menyebabkan
kumpulan platelet pada tempat tersebut. Kumpulan platelet tersebut akan
mengakibatkan lepasnya vasokonstrikstor koroner secara periodic dari aliran darah
dan menyebabkan angina yang laju (accelerated angina) yaitu bentuk peralihan dari
angina stabil ke angina tak stabil. Bila emboli yang lepas cukup besar akan
menyebabkan kematian yang mendadak.
Kumpulan platelet yang menempel dapat membentuk thrombus kecil. Bila
thrombus cukup besar dan menyebabkan obstruksi total akan menjadi infark miokard.
Setelah terjadi infark, thrombus akan lisis oleh proses endogen. Ulserasi endothelium
7
menyembuh dalam beberapa minggu. Proses penyembuhan kadang-kadang tidak
seluruhnya sempurna, seringkali thrombus yang tersisa membentuk sumbatan dalam
pembuluh darah sehingga timbul kembali angina stabil. Plak tersebut dapat rupture
kembali, dan seterusnya.
Jadi mekanise pencetus yang mengubah status seorang penderita dengan gejala
klinis stabil menjadi gawat seperti infark miokard akut sangat berhubungan erat
dengan pathogenesis aterosklerosis, agregasi platelet, thrombosis intra koroner serta
vasosspasme koroner. Maka bagi penderita penyakit koroner dengan aliran darah
koroner terganggu, penanganan utamanya adalah revaskularisasi dan reperfusi, baik
secara mekanik maupun medikamentosa.
Klasifikasi
a. Angina Pektoris Stabil
Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul akibat iskemia
miokardium. Angina pektoris memiliki karakteristik nyeri yang khusus, yaitu:
1. Lokasi nyeri biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya dengan
penjalaran ke leher, bahu kiri sampai ke lengan dan jari-jari, atau punggung dan
pundak kiri.
2. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih atau
berat, rasa desakan yang kuat dari dalam atau bawah diafragma, seperti diremas-
remas atau dada mau pecah dan pada keadaan yang berat dapat disertai keringat
dingin dan sesak napas serta perasaan takut. Nyeri berhubungan dengan aktivitas,
hilang dengan istirahat, tetapi tudak berhubungan dengan gerakan pernapasan
atau perubahan posisi. Nyeri dapat dicetuskan oleh stres fisik maupun emosional.
3. Nyeri yang pertama sekali timbul dapat dialami selama beberapa menit sampai
kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit maka harus dipertimbangkan
sebagai angina pektoris tak stabil. Nyeri dapat hilang dengan pemberian
nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri
dialami tidak terus-menerus, tetapi hilang timbul dengan intensitas yang makin
bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol.
8
Berdasarkan Canadian Cardiovascular Society (CCS), derajat beratnya nyeri
dada dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kelas I: Apabila aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2
lantai, dan lain-lain tidak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan saat
melakukan latihan yang berat, berjalan cepat atau terburu-buru saat kerja dan
bepergian.
2. Kelas II: Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul saat melakukan
aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari
1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angin, dan lain-lain.
3. Kelas III: Pembatasan aktivitas sehari-hari yang lebih nyata, AP timbul saat
berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.
4. Kelas IV: AP dapat timbul waktu istirahat. Hampir semua aktivitas dapat
menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu, dan lain-lain.
Nyeri dada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap
disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal. Nyeri yang tidak memenuhi kriteria
iskemik secara lengkap sehingga meragukan untuk diagnosa disebut angina atipik.
Untuk menentukan angina yang tipikal atau bukan perlu dilakukan anamnesis yang
teliti, terutama untuk menemukan faktor resiko penyakit jantung koroner, seperti
hipertensi, DM, riwayat keluarga, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan AP stabil biasanya tidak dijumpai
adanya kelainan. Adanya aritmia, gallop, murmur, split S2 paradoksal dapat
ditemukan pada beberapa pasien yang sedang mengalami nyeri dada, dan menghilang
saat nyeri dada berhenti. Penemuan adanya aterosklerosis seperti aneurisma
abdominal, nadi dorsum pedis atau tibialis posterior tidak teraba, penyakit valvular
akibat sklerosis, hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, ataupun kelainan fundus mata
dapat membantu diagnosa.
Pemeriksaan penunjang seperti pemriksaan laboratorium dapat diperlukan,
sperti Hb, Ht, trombosit, dan untuk memeriksa faktor resiko penyakit jantung koroner
seperti kadar gula darah dan profil lipid. Beberapa penanda inflamasi akut seperti
enzim jantung CK/CKMB, CRP, troponin T/I diperlukan pada pasien nyeri dada yang
seperti angina pektoris tak stabil.
9
Untuk memastikan adanya iskemia miokardium sebagai penyebab nyeri dada
dapat diperlukan beberapa pemeriksaan seperti:
1. EKG Waktu Istirahat
Pemeriksaan ini dilakukan apabila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dad
adalah non kardiak. Kelainan EKG yang khas adalah perbuhan segmen ST dan
gelombang T yang sesuai dengan iskemia miokardium yaitu depresi ST-T 1mm
atau lebih. Perubahan lain ke arah faktor resiko seperti LVH, Q abnormal,
ataupun aritmia dapat berarti untuk diagnostik.
2. Foto Toraks
Dari foto toraks dapat dilihat adanya kalsifikasi koroner atau katup jantung,
perikarditis, penyakit jantung katup, tanda-tanda komplikasi seperti gagal
jantung, ataupun tanda kelainan paru sebagai penyebab nyeri dada.
3. EKG saat Aktivitas/Latihan
Pada pasien yang sangat dicurigai misalnya ditemukan adanya bundle branch
block (BBB) dan ST depresi ringan, pemeriksaan ini penting dilakukan. Tetapi
pemeriksaan ini dikontraindikasikan pada miokard infark yang kurang dari 2 hari,
aritmia berat dengan hemodinamik yang terganggu, gagal jantung, perikarditis,
dan lain-lain. Treadmill exercise test memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar
68% ± 16% dan 77% ± 17%.
4. Ekokardiografi
Pada ekokardiografi, dapat ditentukan luasnya iskemia apabila dilakukan pada
saat serangan berlangsung. Fungsi miokardium segmental dapat dianalisis untuk
pasien dengan AP stabil kronis atau pernah mengalami infark jantung
sebelumnya. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat pada pasien dengan murmur
sistolik untuk melihat adanya aorta stenosis yang signifikan ataupun
kardiomiopati hipertrofik.
5. Angiografi Koroner
Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien yang tetap dalam APS kelas III-IV
meskipun telah mendapat terapi yang maksimal, atau pasien dengan resiko tinggi
tanpa mempertimbangkan beratnya angina, serta pasien yang pulih dari serangan
aritmia ventrikel yang berat yang telah teratasi. Pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri ( Ejection Fraction < 45%) walaupun dengan AP kelas I-II juga memerlukan
10
pemeriksaan angiografi koroner. Prognosa pasien berdasarkan jumlah pembuluh
darah yang stenosis juga dapat ditentukan.
Tujuan pengobatan terutama untuk mencegah kematian dan terjadinya
serangan jantung, serta mengontrol serangan angina untuk memperbaiki kualitas
hidup. Penatalaksaan APS terdiri dari pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis.
Pengobatan farmakologis untuk APS yaitu:
1. Aspirin
2. Penyekat beta, seperti bisoprolol.
3. ACE-inhibitor, terutama bila pasien menderita hipertensi atau disfungsi ventrikel
kiri.
4. Pemakaian obat-obatan untuk menurunkan LDL, dengan target LDL<100 mg/dL
menggunakan obat golongan statin.
5. Nitrogliserin sublungual/semprot untuk mebontrol angina.
6. Antagonis Ca atau nitrat jangka panjang dan kombinasinya untuk tambahan
penyekat beta apabila ada kontraindikasi terhadap golongan penyekat beta.
7. Klopidogrel untuk pengganti aspirin pada pasien dengan kontraindikasi mutlak.
8. Antagonis Ca nondihidropiridin long acting sebagai pengganti penyekat beta.
Sedangkan penatalaksanaan farmakologis terutama berupa perubahan gaya
hidup seperti penurunan berat badan dan peningkatan latihan pada sindrom metabolik
atau obesitas, berhenti merokok, penyesuaian diet atau pola makan, atau olahraga
teratur.
Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti
intervensi koroner dengan balon atau pemasangan stent dan operasi CABG. Tindakan
tersebut harus mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta mengurangi resiko
serangan jantung akut. Keadaan yang memerlukan reperfusi miokardium pada APS
antara lain: CABG pada stenosis LM (Left Main), CABG pada lesi 3 pembuluh dan
disfungsi ventrikel kiri, PCI pada pasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD,
CABG pada pasien dengan 1-2 lesi pembuluh yang pulih dari aritmia ventrikel yang
berat, dan lain-lain.
b. Sindrom Koroner Akut
1. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina Pectoris / UAP)
Yang termasuk dalam kategori UAP apabila terdapat tanda-tanda seperti :
11
- Peningkatan pola pada pasien yang mengalami riwayat angina stabil yang
telah kronik dengan peningkatan frekuensi, durasi, serta intensitas iskemik.
- Angina terjadi pada saat istirahat tanpa adanya pencetus atau timbul pada
aktivitas yang minimal.
- Onset baru angina berat pada pasien yang tidak memiliki symptom penyakit
arteri koroner sebelumnya. Pasien dengan APTS yang progresif dapat
berlanjut dan menyebabkan nekrosis otot jantung.
Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual, muntah, serta keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada kelainan yang khas. Pada
gambaran EKG biasanya dijumpai abnormal segmen ST (St-depresi atau gelombang
T inverse), akan tetapi tidak dijumpai kenaikan enzim jantung, seperti troponin T atau
I maupun CKMB.
Rupture plak aterosklerosis dianggap sebagai penyebab terpenting UAP,
sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh darah koroner yang
sebelumnya mengalami penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari
inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik. Plak yang tidak
stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel
makrofag. Keretakan plak timbul pada dinding yang paling lemah karena adanya
enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding
plak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus tidak sampai 100%
menutup pembuluh darah maka akan terjadi UAP.
Untuk penatalaksanaan UAP, akan kita bahas bersama dengan
penatalaksanaan NSTEMI karena kedua keadaan ini memiliki kemiripan patofisiologi
dan gambaran klinis.
2. Infark Miokard Tanpa ST-Elevasi ( Non ST-Elevation Myocardial Infarction /
NSTEMI)
UAP dan NSTEMI diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard
berupa peningkatan biomarker jantung.
12
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis
akut pada arteri koroner diawali dengan adanya rupture plak yang tidak stabil.
Nyeri dada yang dirasakan pada pasien NSTEMI tidak jauh berbeda dengan
klinis nyeri dada UAP. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal dengan ciri seperti
diikat, perasaan terbakar, ditimpa beban berat, nyeri tumpul, atau rasa penuh.
Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada telah diketahui dengan baik, gejala
tidak khas seperti dispnoe, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium,
bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok pasien berusia lebih dari 65 tahun.
Pada gambaran EKG dapat dijumpai depresi segmen ST dan/atau gelombang
T invers. Kelainan ini bersifat transient, terjadi hanya selama durasi nyeri dada pada
UAP, atau bias juga persisten pada pasien-pasien NSTEMI.
Petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK)
MB dan Cardiac Specific Troponin T atau I dan dilakukan secara serial. Peningkatan
nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung
(infark miokard). CKMB meningkat setelah 3 jam jika ada infark dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. cTn T atau cTn I
meningkat setelah 2 jam bila ada infark dan mencapai puncak dalm 10-24 jam. cTn T
masih dapat dideteksi setalh 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Tatalaksana awal NSTEMI di unit emergensi :
- Oksigen 4L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
- Aspirin 160 mg (dikunyah)
- Nitrat diberikan 5 mg SL (dapat diulang 3 kali) lalu drip jika masih nyeri
- Morfin i.v. bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat
Penatalaksanaan sebaiknya terkait dengan faktor risiko. Pendekatan untuk
stratifikasi risiko pada UAP/NSTEMI digunakan Thrombolysis In Myocardial
(TIMI) Risk Score, yaitu :
- Usia ≥ 65 tahun
- ≥ 3 faktor risiko PJK
- Stenosis sebelumnya ≥ 50%
- Pengguna ASA dalam 7 hari terakhir
- Kejadian angina ≤ 24 jam
13
- Peningkatan biomarker jantung
- Deviasi segmen ST
Masing-masing poin memiliki skor 1. Penilaian: risiko rendah (0-2); risiko
sedang (3-4); risiko tinggi (5-7).
Tatalaksana lanjut berdasarkan stratifikasi risiko sesuai indikasi dan
kontraindikasi sebagai berikut :
I. Risiko Tinggi/Sedang:
a. Anti iskemik
i. Beta-blocker diberi pada pasien tanpa kontraindikasi, khususnya pasien
dengan hipertensi dan takikardi.
ii. Nitrat iv atau oral efektif mengatasi nyeri dada akut.
iii. Calcium-channel blocker dipakai untuk mengurangi gejala pada pasien
yang telah menerima nitrat dan beta blocker; bermanfaat pada pasien yang
kontraindikasi beta-blocker dan pada pasien angina vasospastik.
b. Anti platelet oral
i. Aspirin diberi pada semua pasien SKA, dosis awal 160-325mg, dan
selanjutnya 75-100mg per hari untuk jangka panjang.
ii. Pada semua pasien, clopidogrel diberi dengan dosis loading 300mg per
oral, selanjutnya 75mg per hari. Clopidogrel dapat diberi hingga 12 bulan
kecuali terjadi komplikasi perdarahan yang berlebihan.
iii. Pasien yang kontraindikasi aspirin, clopidogrel diberikan sebagai
pengganti.
iv. Pasien yang direncanakan menjalani prosedur invasif (PCI), clopidogrel
diberi dengan dosis loading 600mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet
yang lebih cepat dan optimal.
14
v. Pasien yang menerima pengobatan awal dengan tirofiban sebelum
angiografi, dilanjutkan selama dan sesudah PCI.
c. Anti koagulan/antitrombin
i. Anti koagulan diberi pada semua pasien selain anti platelet.
ii. Sejumlah antikoagulan tersedia seperti UFH, LMWH (enoxaparin),
fondaparinux. Pemilihan antikoagulan berdasarkan risiko iskemia dan
perdarahan serta strategi awal yang akan dilakukan (invasif urgensi, invasif
dini, atau terapi konservatif).
d. Revaskularisasi koroner
i. Angiografi koroner dini (<72 jam) diikuti oleh revaskularisasi (PCI atau
bedah pintas koroner) direkomendasikan pada pasien risiko sedang dan
tinggi.
ii. Angiografi koroner urgensi (<24jam) direkomendasikan pada pasien dengan
angina refrakter atau berulang yang disertai peubahan segmen ST, gagal
jantung, aritmia yang mengancam hidup, atau hemodinamik tidak stabil.
e. Terapi tambahan: ACEI atau ARB dan statin.
II. Risiko Rendah
a. Aspirin.
b. Beta-blocker.
c. Dapat dipulangkan setelah observasi di IGD.
d. Pertimbangkan untuk uji latih jantung (treadmill), ekokardiografi.
3. Infark Miokard Dengan ST-Elevasi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) terjadi apabila aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
15
ruptur, atau ulserasi dan didukung oleh kondisi lokal yang dan sistemik yang memicu
trombogenesis. Pada STEMI, plak koroner terdiri dari fibrin rich red thrombus yang
cenderung ruptur karena mempunyai fibrous cap tipis dan inti kaya akan lipid. Pada
lokasi plak yang ruptur tersebut, berbagai agonis seperti kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin memicu aktivasi trombosit. Terpaparnya tissue factor pada sel endotel yang
rusak akan mengaktivasi kaskade koagulasi sehingga terbentuk trombus yang
menyebabkan oklusi pada pembuluh darah yang terlibat. Selain aterosklerosis, oklusi
arteri koroner juga dapat disebabkan oleh emboli koroner, spasme koroner, atau
penyakit inflamasi sistemik.
Diagnosis STEMI dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran
EKG. Pemeriksaan enzim jantung dapat memperkuat diagnosis. Tetapi terapi
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim jantung. Pada
anamnesis, keluhan nyeri dada harus dibedakan antara kardiak dan non kardiak. Nyeri
dada yang tipikal merupakan tanda kardinal pada pasien dengan IMA seperti lokasi
nyeri, sifat nyeri, penjalaran, nyeri berkurang dengan istirahat atau nitrat, dan gejala
sistemik yang menyertai nyeri dada. Faktor pencetus juga harus ditelusuri pada
anamnesis, yang biasanya berupa aktivitas berlebihan ataupun stres emosional.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai ekstremitas pucat disertai keringat
dingin. Akibat adanya hiperaktivitas saraf simpatis dapat pula dijumpai takikardia dan
hiperaktivitas saraf parasimpatis menyebabkan bradikardia dan hipotensi. Pasien
biasanya dalam kondisi cemas dan gelisah. Pada auskultasi dapat dijumpai S4 dan S3
Gallop, penurunan bunyi jantung satu ataupun murmur yang bersifat sementara karena
disfungsi katup mitral.
Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau
pasien yang dicurigai STEMI. EKG 12 sandapan harus dilakukan segera dalam 10
menit pertama kedatangan di IGD. Gambaran elevasi ST sangat berguna untuk
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan reperfusi. EKG serial
dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG secara kontinu harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Sebagian besar pasien
dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q
pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q, dan sebagian
kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q.
Tatalaksana IMA dengan ST elevasi terdiri atas tatalaksana awal dan
tatalaksana lanjutan. Tatalaksana awal berupa:
16
Oksigen 2-4 L/menit untuk mencapai SaO2>95%. Pada semua pasien STEMI
tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen dalam 6 jam pertama.
Aspirin 160-325mg dikunyah. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi bukkal dosis
160-325mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-160mg.
Nitrat diberikan 5mg sublingual dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit. Selain mengurangi nyeri dada, nitrat juga dapat menurunkan kebutuhan
oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan secara
intravena. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan TD sistolik <90mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada
EKG, TVJ meningkat, paru bersih, dan hipotensi).
Morfin 5-10mg iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat. Pemberian morfin dapat
diulang dengan interval 5-15 menit samapi dosis total 20mg.
Sedangkan tatalaksana lanjutan atau terapi reperfusi terdiri dari:
Terapi Fibrinolitik
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit
sejak masuk. Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri
koroner. Terdapar beberapa macam obat fibrinolitik, antara lain: tissue
plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), dan reteplase
(rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi
plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Kontraindikasi fibrinolitik
antara lain:
a. Riwayat perdarahan intrakranial kapanpun.
b. Lesi struktural serebrovaskular (contoh: arterio venous malformation).
c. Tumor intrakranial (primer maupun metastase).
d. Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3jam terakhir.
e. Dugaan diseksi aorta.
f. Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir.
g. Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi).
Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
17
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa
didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer
lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebuh
baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok
kardiogenik, dan resiko perdarahan meningkat.
PCI primer direkomendasikan pada keadaan:
a. Presentasi >3jam
b. Tersedia fasilitas PCI
c. Terdapat kontraindikasi fibrinolitik
d. Resiko tinggi (CHF, Killip kelas=3)
e. Diagnosis STEMI masih diragukan
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA, yaitu
dengan menggunakan Killip Score dan TIMI Score, seperti dalam tabel di bawah ini;
Klasifikasi KILLIP pada infark miokard akut
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung
kongestif
6%
II +S3 dan/atau ronki basah 17%
III Edema paru 30-40%
IV Syok kardiogenik 60-80%
Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot) Skor Risiko/Mortalitas 30 hari
Usia 65-74 tahun (2poin) 0 (0,8)
Usia >75 tahun (3poin) 1 (1,8)
DM/hipertensi atau angina (1poin) 2 (2,2)
TDS <100mmHg (3poin) 3 (4,4)
Frekuensi jantung >100mmHg (2poin) 4 (7,3)
Klasifikasi KILLIP II-IV (2poin) 5 (12,4)
Berat <67kg (1 poin) 6 (16,1)
18
Elevasi ST anterior/LBBB (1poin) 7 (23,4)
Waktu ke reperfusi <4jam (1poin) 8 (26,8)
Skor risiko=total poin (0-14) >8 (35,9)
2.2 Gagal Jantung
Definisi
Ketidakmampuan jantung untuk memenuhi tuntutan metabolik tubuh atau
kegagalan jantung untuk memompa darah dengan efisiensi normal. Ketika ini terjadi,
jantung tidak mampu suplai aliran darah yang cukup ke organ lain seperti otak, hati
dan ginjal.
Etiologi
Gagal jantung merupakan hasil dari beberapa penyakit kardiovaskuler. Dalam
hal etiologi dapat dikelompokkan berdasarkan penyebabnya :
a. Akibat gangguan kontraktilitas
- Infark Miokard
- Chronic Overload Volume ( regurgutasi mitral, regurgitasi aorta)
b. Akibat peningkatan afterload
- Stenosis Aorta
- Hipertensi yang tidak terkontrol
c. Akibat gangguan relaksasi ventrikel
- Hipertropi ventrikel kiri
- Hypertrophy cardiomyopathy
d. Akibat obstruksi dari pengisian ventrikel kiri
- stenosis mitral
- dll
Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan New York Heart Association (NYHA):
19
Kelas I : pasien tanpa pembatasan kegiatan, mereka tidak menderita gejala dari
aktivitas biasa.
Kelas II : pasien dengan pembatasan kegiatan ringan; mereka merasa nyaman
dengan istirahat.
Kelas III : pasien dengan keterbatasan aktivitas, mereka hanya merasa nyaman
beristirahat.
Kelas IV : pasien yang harus beristirahat lengkap, terbatas pada tempat tidur atau
kursi; setiap aktivitas fisik membawa pada ketidaknyamanan dan
gejala muncul saat istirahat.
Selain itu, gagal jantung dapat dibagi lagi menjadi disfungsi sistolik dan
diastolik. Disfungsi sistolik ditandai oleh dilatasi ventrikel kiri dengan kontraktilitas
terganggu, sedangkan disfungsi diastolik terjadi pada ventrikel kiri normal atau utuh
dengan kemampuan terganggu untuk relaksasi dan menerima serta mengeluarkan
darah.
Patogenesis
Gagal jantung paling sering mencerminkan adanya kelainan fungsi
kontraktilotas ventrikel ( disfungsi sistolik), atau gangguan relaksasi ventrikel
(disfungsi diastolik).
Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokard mengalami gangguan yang bisa
disebabkan oleh kerusakan miosit seperti pada infark miokard, kardiomiopati dilatasi
atau keadaan –keadaan dengan kelebihan beban volum yang kronik. Sebagai akibat
gangguan kontraktilitas, isi sekuncup ventrikel berkurang dan timbullah gejala
penurunan curah jantung. Pengosongan ventrikel yang tidak sempurna selanjutnya
menyebabkan peningkatan volume diastolik. Pada gagal jantung kiri, kenaikan
tekanan diastolik diteruskan secara retrograde ke atrium kiri kemudian ke vena dan
kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru apabila cukup tinggi (melebihi
20 mmHg), bisa menyebabkan transudasi cairan ke interstisium paru dan
menyebabkan keluhan kongesti paru. Bila ventrikel kanan gagal, kenaikan tekanan
diatolik diteruskan ke atrium kanan, selanjutnya timbul bendungan pada vena sistemik
dan tanda-tanda gagal jantung kanan.
Pada disfungsi diastolik, kira-kira 1/3 dari pasien dengan gagal jantung
memiliki fungsi kontraktilitas ventrikel yang normal. Banyak dari penderita ini yang
menunjukkan kelainan fungsi diastolik, berupa gangguan relaksasi diastolik dini
20
( yaitu suatu proses yang aktif dan bergantung pada energi), peningkatan kekakuan
dinding ventrikel, ataupun keduanya. Contohnya iskemik miokard akut yang dapat
menghambat sementara hantaran energi dan dapat menghambat relaksasi diastolik.
Juga pada kardiomiopati restriktif ataupun hipertropi ventrikel kiri yang dapat
menyebabkan dinding ventrikel menjadi kaku secara kronik. Pasien dengan disfungsi
sistolik sering memperlihatkan tanda- tanda bendungan yang dikarenakan peningkatan
tekanan diastolik diteruskan retrograd ke vena pulmonalis dan sistemik.
Dalam hal ini diketahui beberapa mekanisme kompensasi pada gagal jantung.
Mencakup, mekanisme Frank-Starling, pertumbuhan hipertropi ventrikel, dan aktifitas
neurohormonal.
Gagal jantung akibat penurunan kontraktilitas ventrikel kiri menyebabkan
pada setiap beban awal, stroke volume menurun dibandingkan dengan normal dan
setiap kenaikan stroke volume pada gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir
diastolik lebih tinggi berbanding normal. Penurunan stroke volume mengakibatkan
pengosongan ruang yang tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi, sehingga
volume darah dalam ventrikel semasa diastol lebih tinggi dibandingkan normal. Hal
ini merupakan mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal atau volume akhir
diastolik merangsang stroke volume yang lebih besar pada kontraksi berikutnya dan
membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar yang disebut dengan
mekanisme Frank-Starling.
Pada gagal jantung, terjadi peningkatan stres pada dinding ventrikel, baik
akibat dilatasi atau beban akhir yang tinggi. Peninggian stress terhadap dinding
ventrikel yang terus menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan
kenaikan massa ventrikel. Peningkatan ketebalan dinding ventrikel adalah suatu
mekanisme kompensasi yang berfungsi untuk mengurangi stress dinding, dan
peningkatan massa serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.
Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi yang
mencakup sistem saraf adrenergik, sistem renin angiotensin, peningkatan produksi
hormone antidiuretik yang merupakan jawaban terhadap penurunan cardiac output.
Semua mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh
sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan tekanan darah. Selanjutnya, semua
ini menyebabkan retensi garam dan air, yang pada awalnya bermanfaat meningkatkan
volume intravaskuler dan beban awal ventrikel kiri, sehingga memaksimalkan stroke
volume melalui mekanisme Frank Starling.
21
Meskipun ketiga mekanisme kompesasi neurohormonal pada awalnya
bermanfaat, tetapi akhirnya akan membuat keadaan menjadi buruk. Peningkatan
volume sirkulasi dan aliran balik vena ke jantung boleh memperburuk bendungan
pada vaskuler paru sehingga memperberat keluhan akibat kongesti paru. Peninggian
tahanan arteriol meningkatkan beban akhir dimana jantung yang sudah payah harus
berkontraksi sehingga pada akhirnya stroke volume dan cardiac output menjadi lebih
berkurang.
Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa,
gejala klinis, serta pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto toraks dan tes
laboratorium. Anamnesa ataupun riwayat penyakit secara independen tidak dapat
menjadi pedoman dalam membuat diagnosa CHF, tetapi dapat memberikan petunjuk-
petunjuk penting mengenai penyebab, faktor predisposisi, dan keparahan penyakit.
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda
seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, dan
edema tungkai. Kriteria diagnosis yang sering digunakan adalah kriteria Framingham,
dimana diagnosis dapat dibuat apabila terdapat dua gejala mayor atau satu gejala
mayor ditambah dua gejala minor; yaitu:
Gejala Mayor:
1. Distensi vena jugularis
2. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea
3. Ronkhi basah basal (>10 cm di bawah basis paru)
4. Kardiomegali pada foto thoraks
5. Desah Gallop pada S3
6. Tekanan vena sentral >12 mmHg
7. Disfungsi ventrikel kiri pada ekokardiogram
8. Penurunan berat badan >4,5 kg sebagai respon terhadap terapi CHF
9. Edema pulmonal akut
Gejala Minor:
1. Edema pretibial bilateral
2. Batuk pada malam hari
22
3. Dyspnea on exertion
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Takikardia (>120 kali/menit)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet
jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama
di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat
timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut
kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada
lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak
gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena
adalah bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai
pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,
abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi
atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang
normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat
kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan
risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau
aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi
diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
23
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya
hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum
kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin
setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung.
Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun
segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan
untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaa gagal jantung dapat berupa :
1. Sarana umum, tanpa obat-obatan
Meliputi edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana
mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan. Edukasi pola diet,
kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol. Monitor berat badan, hati-hati pada
kenaikan berat badan yang tiba-tiba. Mengurangi berat badan pada pasien obesitas.
Menghentikan kebiasaan merokok. Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan
menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia kelas I, verapamil,
diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.
2. Pemakaiaan Obat-obatan
Pemakaian obat-obatan dapat berupa :
- Angiotensin –converting enzyme inhibitor
Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan untuk
meningkatkan survival, memperbaiki simptom, mengurangi kekrapan rawat inap
di Rumah sakit. Harus diberikan sebagai terapi inisial bila tidak ditemui retansi
cairan , namun bila ditemui adanya retensi cairan maka harus diberikan bersama
24
diuretik. Harus segera diberikan bila ditemui gejala dan tanda gagal jantung,
segera sesudah infark jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka
reinfark, serta kekerapan rawat inap.
- Diuretik
Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemui beban cairan berlebihan,
kongesti paru dan edema perifer.
- Β blocker
Direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan berat
dengan syarat tidak ditenukannya kontraindikasi terhadap penyekat beta. Beberpa
penyekat beta yang direkomendasikan yaitu, bisoprolol, karvediol, metoprolol
suksinat, dan nebivolol.
- Antagonis reseptor aldosteron
Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi angiotensin, dan
penyekat beta pada gagal jantung sesudah infark jantung, atau diabetes,
menurunkan morbiditas dan mortalitas.
- Antagonis penyekat reseptor angiotensin 2
Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat
enzim konversi angiotensin. Sama efektif dengan penyekat enzim konversi
angiotensin pada gagal jantung kronik dalam menurunkan morbiditas dan
mortalitas.
- Glikosida jantung
Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal
jantung, terlapas apakah apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab.
Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior bila dibandingkan dipakai
sendiri tanpa kombinasi.
- Hidralazin-isoorbit dinitrat
Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan pasien dimana pasien tidak
toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penuekat angiotensin
II.
25
- Nitrat
Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak. Dalam pemakaian
dosis yang sering, dapat terjadi toleran, oleh karena itu dianjurkan interval 8 atau
12 jam, atau kombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin.
- Obat penyekat kalsium
Pada gagal jantung sistolik, penyekat kalsium tidak direkomendasikan, dan
dikontraindikasikan pemakaian kombinasi dengan penyekat beta.
- Nesiritid
Merupakan kelas obat vasodilator baru. Obat ini identik dengan hormon
endogen dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner,
yang mempunyai efek dilatasi vena, arteri, dan koroner, dan menurunkan pre dan
afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik.
- Inotropik positif
Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan mortilitas.
- Anti trombotik.
Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena
tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat
dianjurkan. Pada gagal jantung dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan
pemakaian antiplatelet.
- Anti Aritmia
Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik,
kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi. Obat aritmia kelas I tidak
dianjurkan. Obat aritmia kelas II terbukti menurunkan kematian mendadak, dapat
digunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron. Anti aritmia kelas III,
amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel aritmia amiodaron rutin pada
gagal jantung tisak dianjurkan.
3. Pemakaian alat dan tindakan bedah
Pemakaian alat dan tindakan bedah seperti :
26
- Revaskularisasi
- Operasi katup mitral
- Aneurismektomi
- Kardiomioplasti
- Heart Transplantation
- Hemodialisis
- dll
Komplikasi
Komplikasi pada gagal jantung erat kaitannya dengan beratnya CHF dan
penyakit yang mendasarinya. Bila cardiac output sangat menurun, dapat menyebabkan
beberapa keadaan, seperti gangguan fungsi ginjal, nekrosis hepar, iskemia saluran
cerna, serta gangren ekstremitas. Pada keadaan hipertensi vena sistemik, keadaan-
keadaan seperti sirosis hepar, malabsorbsi dan diare, trombosis vena, serta edema
perifer berat dapat terjadi. Komplikasi lain yang dapat terjadi bisa dikarenakan obat-
obatan, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat dari penggunaan
diuretik dan juga gangguan gastrointestinal dan aritmia fatal akibat keracunan
digitalis.
Prognosis
Gagal jantung kongestif memiliki prognosis yang buruk. Sekitar 50% yang
dapat bertahan hingga 5 tahun dan sekitar 20% dapat bertahan lebih lama, hingga 8-12
tahun.
Lebih seringnya memeriksakan diri dengan petugas kesehatan dan penggunaan
obat-obat yang baik serta efektif selama pengobatan awal, dapat menurunkan
keparahan penyakit serta meningkatkan prognosisnya.
Prognosis gagal jantung kongestif lebih buruk pada laki-laki daripada
perempuan, akan tetapi pada wanita hanya sekitar 20 persen yang dapat bertahan lebih
dari 8 hingga 12 tahun. Prognosa ini tidak lebih baik daripada penyakit kanker.
Tingkat kefatalan untuk CHF tinggi, dimana satu dari lima orang meninggal dalam
waktu 1 tahun. Kematian mendadak sering dijumpai pada pasien ini. Jadi, CHF masih
merupakan kondisi yang dapat mematikan. Dengan penggunaan angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor sebagai pengecualian mungkin, kemajuan dalam
pengobatan hipertensi, iskemia miokard, dan penyakit katup jantung tidak
27
menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam kelangsungan hidup semua terjadi
kemudian CHF.
BAB 3
LAPORAN KASUS
REKAM MEDIS
Nama : Tuan S
No.MR : 00.03.56.38
TTL : 22 November 1948
Umur : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Pembangunan No. 109 Medan
Tanggal Masuk : 10 Juli 2010
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Telaah :
Hal ini dialami os sejak ± 3 bulan yang lalu dan memberat dalam 5 hari sebelum
masuk RS. Sesak dirasakan jika beraktivitas maupun saat beristirahat.Sesak tidak
disertai nafas berbunyi. Riwayat DOE (+), PND (+), orthopnoe (+), kaki bengkak (+).
28
Keluhan dada rasa berdebar (+) sejak dua minggu yang lalu. Nyeri seperti tertimpa
beban berat dan menjalar sampai ke punggung dan lengan kiri. Nyeri dirasakan os
selama < 20 menit dan lama kelamaan akan menghilang bila os beristirahat. Keluhan
nyeri tidak disertai dengan keringat dingin, mual, dan muntah. .Os pernah ke
RSHAM lewat IGD atas keluhan kedua kakinya bengkak dan sesak nafas. Namun,
karena kondisi saat itu dianggap normal, Os disarankan berobat jalan. Os sudah
dilakukan operasi CABG tahun 2006. Oleh karena keluhan sesak nafas yang sudah
minimal, Os jarang kontrol ke dokter dan hanya makan obat jika timbul keluhan
sesak. Namun, karena keluhan sesak, Os akhirnya diopname di CVCU 3 bulan yang
lalu. Sejak saat itu Os baru rutin makan obat. BAB (+) N, BAK (+) N
Faktor Resiko PJK : ex-smoker, laki-laki, usia
RPT : PJk dengan operasi CABG tahun 2006.
RPO : furosemide tab, simvastatin tab, plavix tab, ISDN 5mg tab, bisoprolol 5mg tab,
aspilet tab, spironolakton tab.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah Cyanosis : (-)
Status Present : CM Orthopnoe : (+)
Tekanan Darah : 90/70 mmHg Dyspnoe : (+)
HR : 70 x/menit, reg Ikterus : (-)
RR : 28 x/menit Oedema : (-)
Temp : 36 °C Pucat : (-)
TVJ : R+2 cm H2O
Kepala : mata : anemis (-), ikterus (-)
Leher : JVP R+2 cmH2O
Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : SF Ki=Ka
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auscultation : SP : vesikuler
ST : ronki basah basal di 1/3 lapangan bawah paru
Jantung :
29
Batas atas : ICS III sinistra
Batas kanan : LSD
Batas kiri : 1 cm lateral LMCS
S1 (N) S2 (N) S3(-) S4(-) Regularity : irreguler
Murmur (-), Punctum maximum: apex Radiasi: (-)
Paru : SP : vesikular
ST : ronki basah basal di 1/3 lapangan bawah paru
Abdomen: Palpasi : hepar/lien: Soepel, H/L/R tidak teraba
Ascites: (-)
Extremitas: Superior : cyanosis (-), clubbing (-)
Inferior : oedema pretibial (-) , arterial pulsation : (+/+), equal,Warm
extremity
Interpretasi EKG:
Sinus Rhytme ,QRS Rate 93x/i, Axis QRS(N),P wave (N), PR interval = 0,12s,QRS
duration=0,08s, ST depresi II,III,aVF, T inverted V1,V2,V3,Q path V1-V4
Kesan: Sinus rhythme +iskemik inferior septal+ OMI anteroseptal
Interpretasi CXR (AP/PA):
CTR= 57%, Segmen Aorta(N), Segmen Pulmonal (N), pinggang jantung mendatar,
apex downward, Infiltrat (-), Kongesti (+).
Kesan : Kardiomegali + Kongesti
Hasil Lab (10 Juli 2010)
Darah Lengkap:
Hb: 14,6 g%
RBC: 4,86 x 106/mm3
WBC: 6900/mm3
Ht: 39.50%
PLT: 157.000/mm3
MCV: 81,20 fL
MCH: 30,3 pg
MCHC: 37,1 %
RDW: 17,7%
MPV: 13.40 fL
PCT: 0,183 %
PDW: 17,3
Hitung jenis:
Neutrofil: 69,90 %
Limfosit: 15,0 %
Monosit; 12,9 %
30
Eosinofil: 1,47 % Basofil: 0,68 %
Faal Hemostasis:
Waktu Protrombin: Kontrol : 12,9 detik
Pasien : 18,80 detik
APTT: Kontrol : 29,8 detik
Pasien : 35,5 detik
Waktu Trombin: Kontrol : 12,0 detik
Pasien : 16,0 detik
Analisa Gas Darah:
pH: 7,463
pCO2: 25,6 mmHg
pO2: 202,9 mmHg
HCO3: 17,9
Total CO2: 18,7
Base Excess: -4,0
Saturasi O2: 99,5
Troponin T: negatif
Hati:
Bilirubin total: 3,3 mg/dL
Bilirubin direk: 1,62 mg/dL
ALP: 121 U/L
SGOT: 16 U/L
SGPT: 10 U/L
LDH: 229 U/L
Metabolisme Karbohidrat:
Glukosa darah: 86 mg/dL
Ginjal:
Ureum: 30 mg/dL
31
Kreatinin: 0,69 mg/dL
Asam urat: 6,3 mg/Dl
Elektrolit:
Natrium: 127 mEq/L
Kalium: 4 mEq/L
Klorida: 95 mEq/L
Enzim Jantung:
CK-NAC: 41 U/L
CK-MB: 18 U/L
Diagnosis Kerja : CHF Fc III-IV ec CAD(OMI ) Post CABG 2006
Functional : CHF Fc III- IV
Anatomy : Arteri koroner
Etiology : Aterosklerosis
Pengobatan :
- Tirah baring semifowler
- Diet jantung III
- O2 4L/i
- IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i micro
- Injeksi Furosemide 20mg/8jam
- Dobutamin 5ug/kgBB/i
- Aspilet 1x80 mg
- Simvastatin 1x20 mg
- ISDN 3x5 mg (k/p)
- Spironolakton 1x25mg
Penjajakan
- Darah Rutin
- Lipid Profile
32
- KGD Adrandom
- EKG serial
- Enzim Jantung (CK-MB dan Troponin T)
- Ekokardiografi
- Angiografi Koroner
FOLLOW UP PASIEN
TGL S O A P
11-07-
2010
Sesak nafas
(+)
Sens: CM
TD: 90/70 mmHg
HR: 72 x/i
RR: 30 x/i
Pemeriksaan fisik:
Kepala
Mata: anemia (-/-),
ikterik (-/-)
Leher: TVJ R+2
cmH2O
Thoraks
Cor: S1(N),S2(N),
murmur (-)
Gallop (-)
Pulmo: SP:
CHF fc III-
IV ec CAD
- Bed rest semifowler
- Diet Jantung III
- O2 4-6 L/i
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
- Inj. Furosemide 20 mg/8 jam
- Dobutamin 10ug/kgBB/i
- Aspilet 80 mg 1x1
- ISDN 5 mg 3x1(k/p)
- Simvastatin 20 mg 1x1
- Spironolakton 25mg x1
33
vesikuler, ST:
ronkhi basah basal
(+)
Abdomen:
soepel;hepar ttb,
BU (+) N
Ekstremitas: akral
hangat, oedem
pretibial (+/+)
12-07-
2010
Sesak napas
berkurang
Sens: CM
TD: 100/70 mmHg
HR: 80 x/i
RR: 22 x/i
Pemeriksaan fisik:
Kepala: Mata:
anemia (-/-),
ikterik (-/-)
Leher: TVJ R+2
cmH2O
Thoraks
Cor: S1(N),S2 (N),
murmur (-)
Pulmo: SP:
vesikuler, ST:
ronki basah basal
(+)
Abdomen: H/L/R
CHF fc III-
IV ec CAD
- Bed rest semifowler
- Diet Jantung III
- O2 4-6 L/i
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
- Inj. Furosemide 20 mg/8 jam
- Dobutamin 5ug/kgBB/i
- Aspilet 80 mg 1x1
- ISDN 3x5mg (k/p)
- Simvastatin 20 mg 1x1
- Spironolakton 25mg x1
34
ttb, BU (+) N
Ekstremitas: akral
hangat,
oedem pretibia (-/-)
13-07-
2010
Sesak
nafas(-)
Sens : CM
TD : 100/70mmHg
HR: 92 x/i
RR: 22 x/i
Pemeriksaan fisik:
Kepala: Mata:
anemia (-/-),
ikterik (-/-)
Leher: TVJ R + 2
cmH2O
Thoraks
Cor: S1(N),S2 (N),
Pulmo: SP:
vesikuler, ST:
ronkhi basah basal
minimal
Abdomen: H/L/R
ttb, BU (+) N
Ekstremitas: akral
hangat, oedem
pretibia (-/-)
CHF fc III-
IV ec CAD
- Bed rest semifowler
- Diet Jantung III
- O2 4-6 L/i
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
- Inj. Furosemide 20 mg/8 jam
- Aspilet 80 mg 1x1
- ISDN 5 mg 3x1(k/p)
- Simvastatin 20 mg 1x1
- Spironolakton 25mg x1
35
KESIMPULAN
CHF adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak napas dan mudah lelah
baik pada saat istirahat atau aktivitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau
fungsi jantung, yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk mengisi dan
mengeluarkan darah ke sirkulasi. Dimana faktor resiko yang paling berperan adalah
beberapa penyakit yang terjadi di jantung, baik dari struktur jantung itu sendiri
maupun dari pembuluh darah yang mengalirinya. Biasanya pasien CHF akan
mengeluhkan adanya mudah capek, sesak napas, kardiomegali, peningkatan TVJ,
ascites, hepatomegali dan edema. Tanda dan gejala yang dikeluhkan bervariasi,
tergantung bagian jantung mana yang mengalami kegagalan dalam pemompaan darah.
Diagnosa CHF dapat ditegakkan berdasarkan kritria Framingham dan NYHA.
Pengobatan yang biasanya diajurkan untuk mengobati pasien CHF adalah dengan
mengkombinasikan antara diuretik dan ACE-I atau pun ARB.
Penyakit jantung koroner adalah penyakit pembuluh darah yang disebabkan
oleh adanya ateroskelrosis yang menyumbat pembuluh darah sehingga berkurangnya
suplai darah dan oksigen ke miokard. Usia, jenis kelamin, genetik, hipertensi,
dislipidemia merupakan faktor resiko terjadi penyakit jantung koroner. Penyakit
jantung koroner terdiri dari angina pektoris stabil, angina pektoris tak stabil, STEMI,
NSTEMI. Hal ini dipengaruhi oleh derajat dari oklusi plak aterosklerosis pada
36
pembuluh darah koroner. Diagnosa dapat ditegakkan dengan gejala klinis, EKG dan
enzim jantung.
Pasien ini didiagnosa dengan CHF fc III- IV ec CAD(OMI anteroseptal)
karena dari anamnesa pasien mengeluhkan adanya sesak nafas yang terjadi pada saat
beraktivitas dan beristirahat, dijumpai riwayat sering terbangun tengah malam karena
sesak, disertai dengan riwayat bengkak pada kedua kaki dan dari hasil interprertasi
EKG djumpai Q patologis pada lead V1-V4. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
peningkatan TVJ dan adanya ronki basah basal di kedua lapangan paru. Hal diatas
sudah memenuhi Kriteria Framingham yang biasanya digunakan untuk mendiagnosa
suatu CHF. Gagal jantung yang dialami oleh pasien ini disebabkan karena adanya
sumbatan pada pembuluh darah koroner.. Pada pasien ini pengobatan yang diberikan
sudah sesuai dengan penanganan pada pasien CHF, yaitu dengan mengkombinasikan
antara diuretik dengan ACE-I.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin E. Handbook of Pathophysiology, alih bahasa, Brahm U.Pendit ; Endah P ed,,
Jakarta 2000. hal 352 71.
Hanafi, Muin Rahman, Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: FKUI 1997, hal
1082-108.
Harun, Alwi ,Rasyidi, Infark miokard akut, Dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2001, hal 165 72. Lilly, P., Young, J.L.
Atherosclerosis. In: Pathophysiology of Heart Disease. Lilly, L.S. (editor).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 118-139.
Lilly, L.S., Naik, H., Sabatine, M.S. Acute Coronary Syndrome. In: Pathophysiology
of Heart Disease. Lilly, L.S. (editor). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 168-195.
Lilly, L.S., Naik, H., Sabatine, M.S. Heart Failure. In: Pathophysiology of Heart
Disease. Lilly, L.S. (editor). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
211-234.
37
Lilly, L.S., Naik, H., Sabatine, M.S. Ischemic Heart Disease. In: Pathophysiology of
Heart Disease. Lilly, L.S. (editor). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 141-167.
Rachman, A.M. Angina Pektoris Stabil. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Sudoyo, A.W, et al (editor). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1628-1630.
Trisnohadi, H.B. Angina Pektoris Tidak Stabil. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Sudoyo, A.W, et al (editor). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1606-1610.
38