karidio lapkas aft editting

54
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut estimasi WHO, sekitar 50% dari 12 juta penduduk dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Faktor prognosis pasien PJK dapat diubah dan dikendalikan, dan memungkinkan untuk mencegah kematian akibat PJK. Di Amerika Serikat sebanyak 1,7 juta kasus penyakit jantung koroner didiagnosa pada tahun 2001. Yang menjadi peringkat pertama adalah angina pektoris tidak stabil, sebanyak 87% dari 29,7/10.000 kasus pada tahun 1988 menjadi 3,9/10.000 kasus pada tahun 2001. Penyakit kardiovaskuler (PKV) terutama Penyakit Jantung koroner merupakan penyakit revalen dan menjadi pembunuh utama dinegara-negara industri. Di Indonesia PKV pada survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRT) 1972 menunjukkan PKV menduduki urutan ke-l1, 1986 menduduki muffin ke-3, dan SKRT 1992 merupakan. Penyebab kematian pertama untuk usia di atas 40 tahun. Etiologi aterosklerosis adalah multifaktorial tetapi ada berbagai keadaan yang erat kaitannya dengan aterosklerosis yaitu faktor genetik/riwayat keluarga dan penyakit jantung koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, usia, kelamin pria, kebiasaan merokok, dislipidemia, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, kurang aktifitas fisik dan menopause. Salah satu faktor 3

Upload: tera-surbakti

Post on 06-Dec-2014

130 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kardio lapkas

TRANSCRIPT

Page 1: Karidio Lapkas Aft Editting

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut estimasi WHO, sekitar 50% dari 12 juta penduduk dunia meninggal

akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Faktor prognosis pasien PJK dapat

diubah dan dikendalikan, dan memungkinkan untuk mencegah kematian akibat PJK.

Di Amerika Serikat sebanyak 1,7 juta kasus penyakit jantung koroner didiagnosa pada

tahun 2001. Yang menjadi peringkat pertama adalah angina pektoris tidak stabil,

sebanyak 87% dari 29,7/10.000 kasus pada tahun 1988 menjadi 3,9/10.000 kasus pada

tahun 2001.

Penyakit kardiovaskuler (PKV) terutama Penyakit Jantung koroner merupakan

penyakit revalen dan menjadi pembunuh utama dinegara-negara industri. Di Indonesia

PKV pada survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRT) 1972 menunjukkan

PKV menduduki urutan ke-l1, 1986 menduduki muffin ke-3, dan SKRT 1992

merupakan.

Penyebab kematian pertama untuk usia di atas 40 tahun. Etiologi

aterosklerosis adalah multifaktorial tetapi ada berbagai keadaan yang erat kaitannya

dengan aterosklerosis yaitu faktor genetik/riwayat keluarga dan penyakit jantung

koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, usia, kelamin pria, kebiasaan

merokok, dislipidemia, hipertensi, obesitas, diabetes melitus, kurang aktifitas fisik dan

menopause. Salah satu faktor resiko aterosklerosis utama adalah Dislipidemia. Di

Indonesia prevalensi dislipidemia semakin meningkat.

Dari hasil survei Departemen Kesehatan RI terungkap bahwa prevalensi PJK

di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat dan diikuti meningkatnya jumlah

kematian. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992 persentase penderita

PJK di Indonesia adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4%.

Sebelumnya prevalensi PJK menempati urutan ke-9 penyakit yang

membahayakan serta menempati urutan ke-4 sebagai penyebab kematian. Tapi

delapan tahun kemudian (tahun 1980) prevalensi PJK menempati urutan ke-6, serta

urutan ke-3 sebagai penyebab kematian. Bahkan sekarang (tahun 2000-an) sudah

dapat dipastikan bahwa penyebab kematian terbesar di Indonesia bergeser dari

penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskuler (antara lain PJK) dan degeneratif.

3

Page 2: Karidio Lapkas Aft Editting

1.2 Tujuan

Laporan kasus ini ditulis untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik

senior di Departemen Kardiologi dan Vaskular R.S. H. Adam Malik Medan, Fakultas

Kedokteran USU.

4

Page 3: Karidio Lapkas Aft Editting

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Jantung Koroner

Definisi

Penyakit jantung koroner atau juga disebut sebagai Coronary Artery Disease

(CAD) adalah satu penyempitan atau penyumbatan arteri dan pembuluh darah yang

membekalkan oksigen dan nutrisi ke jantung. Hal ini disebabkan oleh aterosklerosis

yaitu satu akumulasi bahan lemak pada lapisan bagian dalam dari arteri. Hasil dari

penyumbatan tersebut membatasi aliran darah ke jantung. Ketika aliran darah

terputus, hasilnya adalah serangan jantung. Sedangkan definisi menurut penyakit

arteri koroner ditandai oleh adanya aterosklerosis dalam arteri koroner epikardial.

Plak aterosklerotik merupakan tanda dari aterosklerosis yang menyempit lumen arteri

koroner dan merusak aliran darah miokard antegrade. Pengurangan dalam aliran darah

arteri koroner mungkin dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik yang terjadi

dengan aktivitas atau ketika istirahat dan mencapai puncaknya pada infark miokard

dan tergantung pada beratnya obstruksi serta kecepatan dan perkembangannya.

5

Page 4: Karidio Lapkas Aft Editting

Epidemiologi

Menurut ‘American Heart Association’ dan publikasi Asosiasi Stroke Amerika

tahun 2006 menunjukkan statistik pada penyakit jantung dan stroke, penyakit

kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama kematian di Amerika Serikat pada

pria dan wanita dari setiap kelompok etnis. Sekitar 13 juta orang memiliki riwayat

penyakit arteri koroner dan 7.2 juta orang menderita infark miokard. Hampir 2500

orang Amerika meninggal karena penyakit kardiovaskuler setiap hari, rata-rata satu

kematian setiap 35 detik. Hasil survei yang dilakukan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia menyatakan prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia dari

tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan sekarang sejak tahun 2000an dapat

dipastikan kecendrungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dari penyakit

infeksi ke penyakit kardiovaskuler ( antara lain penyakit jantung koroner ) dan

degeneratif. Manifestasi klinik penyakit jantung koroner yang klasik adalah angina

pektoris.

Etiologi

Penyakit jantung koroner disebabkan oleh masalah pada arteri koroner yang

membuat jantung tidak mendapat oksigen yang cukup dan darah yang cukup dengan

6

Page 5: Karidio Lapkas Aft Editting

nutrisi. Penyebab yang paling umum sejauh ini adalah aterosklerosis. Kurangnya

darah yang secukupnya disebut sebagai iskemia sehingga kadang-kadang disebut juga

sebagai penyakit jantung iskemik. Penyebab penyakit jantung koroner berhubungan

dengan beberapa faktor risiko. Berikut adalah yang paling umum yaitu :

Genetik

Kadar kolestrol yang tinggi. Kadar kolestrol yang tinggi dalam darah di atas kadar

yang normal yang biasanya melibatkan kadar tinggi dari lipoprotein yang

berkepadatan rendah ( LDL) dan rendahnya kadar dari lipoprotein berkepadatan

tinggi (HDL).

Penyalahgunaan tembakau. Hal ini bukan hanya berhubungan dengan merokok

bentuk tembakau seperti rokok, cerutu atau pipa tetapi juga tembakau kunyah.

Obesitas.

Tekanan darah yang tinggi ( hipertensi )

Penyakit diabetes

Kurangnya olahraga yang teratur

Diet yang berlemak tinggi

Stres

Tipe kepribadian A ( tidak sabar, agresif dan kompetitif )

Patofisiologi

Fase penyakit jantung koroner dapat diketahui berdasarkan hubungan antara

gejala klinis dengan patologi endothelium yang dapat dilihat secara angioskopi. Pada

permulaan penyakit akan tampak lapisan lemak pada permukaan pembuluh darah.

Bila lesi melebar akan menyebabkan obstruksi parsial oleh plak yang permukaannya

licin. Bila plak bertambah besar aliran koroner akan berkurang dan menyebabkan

kumpulan platelet pada tempat tersebut. Kumpulan platelet tersebut akan

mengakibatkan lepasnya vasokonstrikstor koroner secara periodic dari aliran darah

dan menyebabkan angina yang laju (accelerated angina) yaitu bentuk peralihan dari

angina stabil ke angina tak stabil. Bila emboli yang lepas cukup besar akan

menyebabkan kematian yang mendadak.

Kumpulan platelet yang menempel dapat membentuk thrombus kecil. Bila

thrombus cukup besar dan menyebabkan obstruksi total akan menjadi infark miokard.

Setelah terjadi infark, thrombus akan lisis oleh proses endogen. Ulserasi endothelium

7

Page 6: Karidio Lapkas Aft Editting

menyembuh dalam beberapa minggu. Proses penyembuhan kadang-kadang tidak

seluruhnya sempurna, seringkali thrombus yang tersisa membentuk sumbatan dalam

pembuluh darah sehingga timbul kembali angina stabil. Plak tersebut dapat rupture

kembali, dan seterusnya.

Jadi mekanise pencetus yang mengubah status seorang penderita dengan gejala

klinis stabil menjadi gawat seperti infark miokard akut sangat berhubungan erat

dengan pathogenesis aterosklerosis, agregasi platelet, thrombosis intra koroner serta

vasosspasme koroner. Maka bagi penderita penyakit koroner dengan aliran darah

koroner terganggu, penanganan utamanya adalah revaskularisasi dan reperfusi, baik

secara mekanik maupun medikamentosa.

Klasifikasi

a. Angina Pektoris Stabil

Angina pektoris (AP) adalah rasa nyeri yang timbul akibat iskemia

miokardium. Angina pektoris memiliki karakteristik nyeri yang khusus, yaitu:

1. Lokasi nyeri biasanya di dada, substernal atau sedikit di kirinya dengan

penjalaran ke leher, bahu kiri sampai ke lengan dan jari-jari, atau punggung dan

pundak kiri.

2. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti rasa tertindih atau

berat, rasa desakan yang kuat dari dalam atau bawah diafragma, seperti diremas-

remas atau dada mau pecah dan pada keadaan yang berat dapat disertai keringat

dingin dan sesak napas serta perasaan takut. Nyeri berhubungan dengan aktivitas,

hilang dengan istirahat, tetapi tudak berhubungan dengan gerakan pernapasan

atau perubahan posisi. Nyeri dapat dicetuskan oleh stres fisik maupun emosional.

3. Nyeri yang pertama sekali timbul dapat dialami selama beberapa menit sampai

kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit maka harus dipertimbangkan

sebagai angina pektoris tak stabil. Nyeri dapat hilang dengan pemberian

nitrogliserin sublingual dalam hitungan detik sampai beberapa menit. Nyeri

dialami tidak terus-menerus, tetapi hilang timbul dengan intensitas yang makin

bertambah atau makin berkurang sampai terkontrol.

8

Page 7: Karidio Lapkas Aft Editting

Berdasarkan Canadian Cardiovascular Society (CCS), derajat beratnya nyeri

dada dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Kelas I: Apabila aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2

lantai, dan lain-lain tidak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan saat

melakukan latihan yang berat, berjalan cepat atau terburu-buru saat kerja dan

bepergian.

2. Kelas II: Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya AP timbul saat melakukan

aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari

1 lantai atau terburu-buru, berjalan menanjak atau melawan angin, dan lain-lain.

3. Kelas III: Pembatasan aktivitas sehari-hari yang lebih nyata, AP timbul saat

berjalan 1-2 blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.

4. Kelas IV: AP dapat timbul waktu istirahat. Hampir semua aktivitas dapat

menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu, dan lain-lain.

Nyeri dada yang mempunyai ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap

disebut sebagai nyeri dada (angina) tipikal. Nyeri yang tidak memenuhi kriteria

iskemik secara lengkap sehingga meragukan untuk diagnosa disebut angina atipik.

Untuk menentukan angina yang tipikal atau bukan perlu dilakukan anamnesis yang

teliti, terutama untuk menemukan faktor resiko penyakit jantung koroner, seperti

hipertensi, DM, riwayat keluarga, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan AP stabil biasanya tidak dijumpai

adanya kelainan. Adanya aritmia, gallop, murmur, split S2 paradoksal dapat

ditemukan pada beberapa pasien yang sedang mengalami nyeri dada, dan menghilang

saat nyeri dada berhenti. Penemuan adanya aterosklerosis seperti aneurisma

abdominal, nadi dorsum pedis atau tibialis posterior tidak teraba, penyakit valvular

akibat sklerosis, hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, ataupun kelainan fundus mata

dapat membantu diagnosa.

Pemeriksaan penunjang seperti pemriksaan laboratorium dapat diperlukan,

sperti Hb, Ht, trombosit, dan untuk memeriksa faktor resiko penyakit jantung koroner

seperti kadar gula darah dan profil lipid. Beberapa penanda inflamasi akut seperti

enzim jantung CK/CKMB, CRP, troponin T/I diperlukan pada pasien nyeri dada yang

seperti angina pektoris tak stabil.

9

Page 8: Karidio Lapkas Aft Editting

Untuk memastikan adanya iskemia miokardium sebagai penyebab nyeri dada

dapat diperlukan beberapa pemeriksaan seperti:

1. EKG Waktu Istirahat

Pemeriksaan ini dilakukan apabila belum dapat dipastikan bahwa nyeri dad

adalah non kardiak. Kelainan EKG yang khas adalah perbuhan segmen ST dan

gelombang T yang sesuai dengan iskemia miokardium yaitu depresi ST-T 1mm

atau lebih. Perubahan lain ke arah faktor resiko seperti LVH, Q abnormal,

ataupun aritmia dapat berarti untuk diagnostik.

2. Foto Toraks

Dari foto toraks dapat dilihat adanya kalsifikasi koroner atau katup jantung,

perikarditis, penyakit jantung katup, tanda-tanda komplikasi seperti gagal

jantung, ataupun tanda kelainan paru sebagai penyebab nyeri dada.

3. EKG saat Aktivitas/Latihan

Pada pasien yang sangat dicurigai misalnya ditemukan adanya bundle branch

block (BBB) dan ST depresi ringan, pemeriksaan ini penting dilakukan. Tetapi

pemeriksaan ini dikontraindikasikan pada miokard infark yang kurang dari 2 hari,

aritmia berat dengan hemodinamik yang terganggu, gagal jantung, perikarditis,

dan lain-lain. Treadmill exercise test memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar

68% ± 16% dan 77% ± 17%.

4. Ekokardiografi

Pada ekokardiografi, dapat ditentukan luasnya iskemia apabila dilakukan pada

saat serangan berlangsung. Fungsi miokardium segmental dapat dianalisis untuk

pasien dengan AP stabil kronis atau pernah mengalami infark jantung

sebelumnya. Pemeriksaan ini sangat bermanfaat pada pasien dengan murmur

sistolik untuk melihat adanya aorta stenosis yang signifikan ataupun

kardiomiopati hipertrofik.

5. Angiografi Koroner

Pemeriksaan ini diperlukan pada pasien yang tetap dalam APS kelas III-IV

meskipun telah mendapat terapi yang maksimal, atau pasien dengan resiko tinggi

tanpa mempertimbangkan beratnya angina, serta pasien yang pulih dari serangan

aritmia ventrikel yang berat yang telah teratasi. Pasien dengan disfungsi ventrikel

kiri ( Ejection Fraction < 45%) walaupun dengan AP kelas I-II juga memerlukan

10

Page 9: Karidio Lapkas Aft Editting

pemeriksaan angiografi koroner. Prognosa pasien berdasarkan jumlah pembuluh

darah yang stenosis juga dapat ditentukan.

Tujuan pengobatan terutama untuk mencegah kematian dan terjadinya

serangan jantung, serta mengontrol serangan angina untuk memperbaiki kualitas

hidup. Penatalaksaan APS terdiri dari pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis.

Pengobatan farmakologis untuk APS yaitu:

1. Aspirin

2. Penyekat beta, seperti bisoprolol.

3. ACE-inhibitor, terutama bila pasien menderita hipertensi atau disfungsi ventrikel

kiri.

4. Pemakaian obat-obatan untuk menurunkan LDL, dengan target LDL<100 mg/dL

menggunakan obat golongan statin.

5. Nitrogliserin sublungual/semprot untuk mebontrol angina.

6. Antagonis Ca atau nitrat jangka panjang dan kombinasinya untuk tambahan

penyekat beta apabila ada kontraindikasi terhadap golongan penyekat beta.

7. Klopidogrel untuk pengganti aspirin pada pasien dengan kontraindikasi mutlak.

8. Antagonis Ca nondihidropiridin long acting sebagai pengganti penyekat beta.

Sedangkan penatalaksanaan farmakologis terutama berupa perubahan gaya

hidup seperti penurunan berat badan dan peningkatan latihan pada sindrom metabolik

atau obesitas, berhenti merokok, penyesuaian diet atau pola makan, atau olahraga

teratur.

Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti

intervensi koroner dengan balon atau pemasangan stent dan operasi CABG. Tindakan

tersebut harus mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta mengurangi resiko

serangan jantung akut. Keadaan yang memerlukan reperfusi miokardium pada APS

antara lain: CABG pada stenosis LM (Left Main), CABG pada lesi 3 pembuluh dan

disfungsi ventrikel kiri, PCI pada pasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD,

CABG pada pasien dengan 1-2 lesi pembuluh yang pulih dari aritmia ventrikel yang

berat, dan lain-lain.

b. Sindrom Koroner Akut

1. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina Pectoris / UAP)

Yang termasuk dalam kategori UAP apabila terdapat tanda-tanda seperti :

11

Page 10: Karidio Lapkas Aft Editting

- Peningkatan pola pada pasien yang mengalami riwayat angina stabil yang

telah kronik dengan peningkatan frekuensi, durasi, serta intensitas iskemik.

- Angina terjadi pada saat istirahat tanpa adanya pencetus atau timbul pada

aktivitas yang minimal.

- Onset baru angina berat pada pasien yang tidak memiliki symptom penyakit

arteri koroner sebelumnya. Pasien dengan APTS yang progresif dapat

berlanjut dan menyebabkan nekrosis otot jantung.

Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual, muntah, serta keringat

dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada kelainan yang khas. Pada

gambaran EKG biasanya dijumpai abnormal segmen ST (St-depresi atau gelombang

T inverse), akan tetapi tidak dijumpai kenaikan enzim jantung, seperti troponin T atau

I maupun CKMB.

Rupture plak aterosklerosis dianggap sebagai penyebab terpenting UAP,

sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh darah koroner yang

sebelumnya mengalami penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari

inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik. Plak yang tidak

stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel

makrofag. Keretakan plak timbul pada dinding yang paling lemah karena adanya

enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding

plak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan

menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus tidak sampai 100%

menutup pembuluh darah maka akan terjadi UAP.

Untuk penatalaksanaan UAP, akan kita bahas bersama dengan

penatalaksanaan NSTEMI karena kedua keadaan ini memiliki kemiripan patofisiologi

dan gambaran klinis.

2. Infark Miokard Tanpa ST-Elevasi ( Non ST-Elevation Myocardial Infarction /

NSTEMI)

UAP dan NSTEMI diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan

kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika

pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard

berupa peningkatan biomarker jantung.

12

Page 11: Karidio Lapkas Aft Editting

NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau

peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.

NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis

akut pada arteri koroner diawali dengan adanya rupture plak yang tidak stabil.

Nyeri dada yang dirasakan pada pasien NSTEMI tidak jauh berbeda dengan

klinis nyeri dada UAP. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal dengan ciri seperti

diikat, perasaan terbakar, ditimpa beban berat, nyeri tumpul, atau rasa penuh.

Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada telah diketahui dengan baik, gejala

tidak khas seperti dispnoe, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium,

bahu atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok pasien berusia lebih dari 65 tahun.

Pada gambaran EKG dapat dijumpai depresi segmen ST dan/atau gelombang

T invers. Kelainan ini bersifat transient, terjadi hanya selama durasi nyeri dada pada

UAP, atau bias juga persisten pada pasien-pasien NSTEMI.

Petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK)

MB dan Cardiac Specific Troponin T atau I dan dilakukan secara serial. Peningkatan

nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung

(infark miokard). CKMB meningkat setelah 3 jam jika ada infark dan mencapai

puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. cTn T atau cTn I

meningkat setelah 2 jam bila ada infark dan mencapai puncak dalm 10-24 jam. cTn T

masih dapat dideteksi setalh 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.

Tatalaksana awal NSTEMI di unit emergensi :

- Oksigen 4L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)

- Aspirin 160 mg (dikunyah)

- Nitrat diberikan 5 mg SL (dapat diulang 3 kali) lalu drip jika masih nyeri

- Morfin i.v. bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat

Penatalaksanaan sebaiknya terkait dengan faktor risiko. Pendekatan untuk

stratifikasi risiko pada UAP/NSTEMI digunakan Thrombolysis In Myocardial

(TIMI) Risk Score, yaitu :

- Usia ≥ 65 tahun

- ≥ 3 faktor risiko PJK

- Stenosis sebelumnya ≥ 50%

- Pengguna ASA dalam 7 hari terakhir

- Kejadian angina ≤ 24 jam

13

Page 12: Karidio Lapkas Aft Editting

- Peningkatan biomarker jantung

- Deviasi segmen ST

Masing-masing poin memiliki skor 1. Penilaian: risiko rendah (0-2); risiko

sedang (3-4); risiko tinggi (5-7).

Tatalaksana lanjut berdasarkan stratifikasi risiko sesuai indikasi dan

kontraindikasi sebagai berikut :

I. Risiko Tinggi/Sedang:

a. Anti iskemik

i. Beta-blocker diberi pada pasien tanpa kontraindikasi, khususnya pasien

dengan hipertensi dan takikardi.

ii. Nitrat iv atau oral efektif mengatasi nyeri dada akut.

iii. Calcium-channel blocker dipakai untuk mengurangi gejala pada pasien

yang telah menerima nitrat dan beta blocker; bermanfaat pada pasien yang

kontraindikasi beta-blocker dan pada pasien angina vasospastik.

b. Anti platelet oral

i. Aspirin diberi pada semua pasien SKA, dosis awal 160-325mg, dan

selanjutnya 75-100mg per hari untuk jangka panjang.

ii. Pada semua pasien, clopidogrel diberi dengan dosis loading 300mg per

oral, selanjutnya 75mg per hari. Clopidogrel dapat diberi hingga 12 bulan

kecuali terjadi komplikasi perdarahan yang berlebihan.

iii. Pasien yang kontraindikasi aspirin, clopidogrel diberikan sebagai

pengganti.

iv. Pasien yang direncanakan menjalani prosedur invasif (PCI), clopidogrel

diberi dengan dosis loading 600mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet

yang lebih cepat dan optimal.

14

Page 13: Karidio Lapkas Aft Editting

v. Pasien yang menerima pengobatan awal dengan tirofiban sebelum

angiografi, dilanjutkan selama dan sesudah PCI.

c. Anti koagulan/antitrombin

i. Anti koagulan diberi pada semua pasien selain anti platelet.

ii. Sejumlah antikoagulan tersedia seperti UFH, LMWH (enoxaparin),

fondaparinux. Pemilihan antikoagulan berdasarkan risiko iskemia dan

perdarahan serta strategi awal yang akan dilakukan (invasif urgensi, invasif

dini, atau terapi konservatif).

d. Revaskularisasi koroner

i. Angiografi koroner dini (<72 jam) diikuti oleh revaskularisasi (PCI atau

bedah pintas koroner) direkomendasikan pada pasien risiko sedang dan

tinggi.

ii. Angiografi koroner urgensi (<24jam) direkomendasikan pada pasien dengan

angina refrakter atau berulang yang disertai peubahan segmen ST, gagal

jantung, aritmia yang mengancam hidup, atau hemodinamik tidak stabil.

e. Terapi tambahan: ACEI atau ARB dan statin.

II. Risiko Rendah

a. Aspirin.

b. Beta-blocker.

c. Dapat dipulangkan setelah observasi di IGD.

d. Pertimbangkan untuk uji latih jantung (treadmill), ekokardiografi.

3. Infark Miokard Dengan ST-Elevasi

ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) terjadi apabila aliran darah

koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik

yang sudah ada sebelumnya. Infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,

15

Page 14: Karidio Lapkas Aft Editting

ruptur, atau ulserasi dan didukung oleh kondisi lokal yang dan sistemik yang memicu

trombogenesis. Pada STEMI, plak koroner terdiri dari fibrin rich red thrombus yang

cenderung ruptur karena mempunyai fibrous cap tipis dan inti kaya akan lipid. Pada

lokasi plak yang ruptur tersebut, berbagai agonis seperti kolagen, ADP, epinefrin,

serotonin memicu aktivasi trombosit. Terpaparnya tissue factor pada sel endotel yang

rusak akan mengaktivasi kaskade koagulasi sehingga terbentuk trombus yang

menyebabkan oklusi pada pembuluh darah yang terlibat. Selain aterosklerosis, oklusi

arteri koroner juga dapat disebabkan oleh emboli koroner, spasme koroner, atau

penyakit inflamasi sistemik.

Diagnosis STEMI dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran

EKG. Pemeriksaan enzim jantung dapat memperkuat diagnosis. Tetapi terapi

revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim jantung. Pada

anamnesis, keluhan nyeri dada harus dibedakan antara kardiak dan non kardiak. Nyeri

dada yang tipikal merupakan tanda kardinal pada pasien dengan IMA seperti lokasi

nyeri, sifat nyeri, penjalaran, nyeri berkurang dengan istirahat atau nitrat, dan gejala

sistemik yang menyertai nyeri dada. Faktor pencetus juga harus ditelusuri pada

anamnesis, yang biasanya berupa aktivitas berlebihan ataupun stres emosional.

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai ekstremitas pucat disertai keringat

dingin. Akibat adanya hiperaktivitas saraf simpatis dapat pula dijumpai takikardia dan

hiperaktivitas saraf parasimpatis menyebabkan bradikardia dan hipotensi. Pasien

biasanya dalam kondisi cemas dan gelisah. Pada auskultasi dapat dijumpai S4 dan S3

Gallop, penurunan bunyi jantung satu ataupun murmur yang bersifat sementara karena

disfungsi katup mitral.

Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau

pasien yang dicurigai STEMI. EKG 12 sandapan harus dilakukan segera dalam 10

menit pertama kedatangan di IGD. Gambaran elevasi ST sangat berguna untuk

mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan reperfusi. EKG serial

dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG secara kontinu harus dilakukan

untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Sebagian besar pasien

dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q

pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q, dan sebagian

kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q.

Tatalaksana IMA dengan ST elevasi terdiri atas tatalaksana awal dan

tatalaksana lanjutan. Tatalaksana awal berupa:

16

Page 15: Karidio Lapkas Aft Editting

Oksigen 2-4 L/menit untuk mencapai SaO2>95%. Pada semua pasien STEMI

tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen dalam 6 jam pertama.

Aspirin 160-325mg dikunyah. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang

dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi bukkal dosis

160-325mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis

75-160mg.

Nitrat diberikan 5mg sublingual dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5

menit. Selain mengurangi nyeri dada, nitrat juga dapat menurunkan kebutuhan

oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen

miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau

pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan secara

intravena. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan TD sistolik <90mmHg

atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada

EKG, TVJ meningkat, paru bersih, dan hipotensi).

Morfin 5-10mg iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat. Pemberian morfin dapat

diulang dengan interval 5-15 menit samapi dosis total 20mg.

Sedangkan tatalaksana lanjutan atau terapi reperfusi terdiri dari:

Terapi Fibrinolitik

Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit

sejak masuk. Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri

koroner. Terdapar beberapa macam obat fibrinolitik, antara lain: tissue

plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), dan reteplase

(rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi

plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Kontraindikasi fibrinolitik

antara lain:

a. Riwayat perdarahan intrakranial kapanpun.

b. Lesi struktural serebrovaskular (contoh: arterio venous malformation).

c. Tumor intrakranial (primer maupun metastase).

d. Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3jam terakhir.

e. Dugaan diseksi aorta.

f. Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir.

g. Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi).

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

17

Page 16: Karidio Lapkas Aft Editting

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa

didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan

perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer

lebih efektif dari fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan

dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebuh

baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok

kardiogenik, dan resiko perdarahan meningkat.

PCI primer direkomendasikan pada keadaan:

a. Presentasi >3jam

b. Tersedia fasilitas PCI

c. Terdapat kontraindikasi fibrinolitik

d. Resiko tinggi (CHF, Killip kelas=3)

e. Diagnosis STEMI masih diragukan

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA, yaitu

dengan menggunakan Killip Score dan TIMI Score, seperti dalam tabel di bawah ini;

Klasifikasi KILLIP pada infark miokard akut

Klas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal jantung

kongestif

6%

II +S3 dan/atau ronki basah 17%

III Edema paru 30-40%

IV Syok kardiogenik 60-80%

Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)

Faktor Risiko (Bobot) Skor Risiko/Mortalitas 30 hari

Usia 65-74 tahun (2poin) 0 (0,8)

Usia >75 tahun (3poin) 1 (1,8)

DM/hipertensi atau angina (1poin) 2 (2,2)

TDS <100mmHg (3poin) 3 (4,4)

Frekuensi jantung >100mmHg (2poin) 4 (7,3)

Klasifikasi KILLIP II-IV (2poin) 5 (12,4)

Berat <67kg (1 poin) 6 (16,1)

18

Page 17: Karidio Lapkas Aft Editting

Elevasi ST anterior/LBBB (1poin) 7 (23,4)

Waktu ke reperfusi <4jam (1poin) 8 (26,8)

Skor risiko=total poin (0-14) >8 (35,9)

2.2 Gagal Jantung

Definisi

Ketidakmampuan jantung untuk memenuhi tuntutan metabolik tubuh atau

kegagalan jantung untuk memompa darah dengan efisiensi normal. Ketika ini terjadi,

jantung tidak mampu suplai aliran darah yang cukup ke organ lain seperti otak, hati

dan ginjal.

Etiologi

Gagal jantung merupakan hasil dari beberapa penyakit kardiovaskuler. Dalam

hal etiologi dapat dikelompokkan berdasarkan penyebabnya :

a. Akibat gangguan kontraktilitas

- Infark Miokard

- Chronic Overload Volume ( regurgutasi mitral, regurgitasi aorta)

b. Akibat peningkatan afterload

- Stenosis Aorta

- Hipertensi yang tidak terkontrol

c. Akibat gangguan relaksasi ventrikel

- Hipertropi ventrikel kiri

- Hypertrophy cardiomyopathy

d. Akibat obstruksi dari pengisian ventrikel kiri

- stenosis mitral

- dll

Klasifikasi

Klasifikasi berdasarkan New York Heart Association (NYHA):

19

Page 18: Karidio Lapkas Aft Editting

Kelas I : pasien tanpa pembatasan kegiatan, mereka tidak menderita gejala dari

aktivitas biasa.

Kelas II : pasien dengan pembatasan kegiatan ringan; mereka merasa nyaman

dengan istirahat.

Kelas III : pasien dengan keterbatasan aktivitas, mereka hanya merasa nyaman

beristirahat.

Kelas IV : pasien yang harus beristirahat lengkap, terbatas pada tempat tidur atau

kursi; setiap aktivitas fisik membawa pada ketidaknyamanan dan

gejala muncul saat istirahat.

Selain itu, gagal jantung dapat dibagi lagi menjadi disfungsi sistolik dan

diastolik. Disfungsi sistolik ditandai oleh dilatasi ventrikel kiri dengan kontraktilitas

terganggu, sedangkan disfungsi diastolik terjadi pada ventrikel kiri normal atau utuh

dengan kemampuan terganggu untuk relaksasi dan menerima serta mengeluarkan

darah.

Patogenesis

Gagal jantung paling sering mencerminkan adanya kelainan fungsi

kontraktilotas ventrikel ( disfungsi sistolik), atau gangguan relaksasi ventrikel

(disfungsi diastolik).

Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokard mengalami gangguan yang bisa

disebabkan oleh kerusakan miosit seperti pada infark miokard, kardiomiopati dilatasi

atau keadaan –keadaan dengan kelebihan beban volum yang kronik. Sebagai akibat

gangguan kontraktilitas, isi sekuncup ventrikel berkurang dan timbullah gejala

penurunan curah jantung. Pengosongan ventrikel yang tidak sempurna selanjutnya

menyebabkan peningkatan volume diastolik. Pada gagal jantung kiri, kenaikan

tekanan diastolik diteruskan secara retrograde ke atrium kiri kemudian ke vena dan

kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru apabila cukup tinggi (melebihi

20 mmHg), bisa menyebabkan transudasi cairan ke interstisium paru dan

menyebabkan keluhan kongesti paru. Bila ventrikel kanan gagal, kenaikan tekanan

diatolik diteruskan ke atrium kanan, selanjutnya timbul bendungan pada vena sistemik

dan tanda-tanda gagal jantung kanan.

Pada disfungsi diastolik, kira-kira 1/3 dari pasien dengan gagal jantung

memiliki fungsi kontraktilitas ventrikel yang normal. Banyak dari penderita ini yang

menunjukkan kelainan fungsi diastolik, berupa gangguan relaksasi diastolik dini

20

Page 19: Karidio Lapkas Aft Editting

( yaitu suatu proses yang aktif dan bergantung pada energi), peningkatan kekakuan

dinding ventrikel, ataupun keduanya. Contohnya iskemik miokard akut yang dapat

menghambat sementara hantaran energi dan dapat menghambat relaksasi diastolik.

Juga pada kardiomiopati restriktif ataupun hipertropi ventrikel kiri yang dapat

menyebabkan dinding ventrikel menjadi kaku secara kronik. Pasien dengan disfungsi

sistolik sering memperlihatkan tanda- tanda bendungan yang dikarenakan peningkatan

tekanan diastolik diteruskan retrograd ke vena pulmonalis dan sistemik.

Dalam hal ini diketahui beberapa mekanisme kompensasi pada gagal jantung.

Mencakup, mekanisme Frank-Starling, pertumbuhan hipertropi ventrikel, dan aktifitas

neurohormonal.

Gagal jantung akibat penurunan kontraktilitas ventrikel kiri menyebabkan

pada setiap beban awal, stroke volume menurun dibandingkan dengan normal dan

setiap kenaikan stroke volume pada gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir

diastolik lebih tinggi berbanding normal. Penurunan stroke volume mengakibatkan

pengosongan ruang yang tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi, sehingga

volume darah dalam ventrikel semasa diastol lebih tinggi dibandingkan normal. Hal

ini merupakan mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal atau volume akhir

diastolik merangsang stroke volume yang lebih besar pada kontraksi berikutnya dan

membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar yang disebut dengan

mekanisme Frank-Starling.

Pada gagal jantung, terjadi peningkatan stres pada dinding ventrikel, baik

akibat dilatasi atau beban akhir yang tinggi. Peninggian stress terhadap dinding

ventrikel yang terus menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan

kenaikan massa ventrikel. Peningkatan ketebalan dinding ventrikel adalah suatu

mekanisme kompensasi yang berfungsi untuk mengurangi stress dinding, dan

peningkatan massa serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.

Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi yang

mencakup sistem saraf adrenergik, sistem renin angiotensin, peningkatan produksi

hormone antidiuretik yang merupakan jawaban terhadap penurunan cardiac output.

Semua mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan pembuluh

sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan tekanan darah. Selanjutnya, semua

ini menyebabkan retensi garam dan air, yang pada awalnya bermanfaat meningkatkan

volume intravaskuler dan beban awal ventrikel kiri, sehingga memaksimalkan stroke

volume melalui mekanisme Frank Starling.

21

Page 20: Karidio Lapkas Aft Editting

Meskipun ketiga mekanisme kompesasi neurohormonal pada awalnya

bermanfaat, tetapi akhirnya akan membuat keadaan menjadi buruk. Peningkatan

volume sirkulasi dan aliran balik vena ke jantung boleh memperburuk bendungan

pada vaskuler paru sehingga memperberat keluhan akibat kongesti paru. Peninggian

tahanan arteriol meningkatkan beban akhir dimana jantung yang sudah payah harus

berkontraksi sehingga pada akhirnya stroke volume dan cardiac output menjadi lebih

berkurang.

Diagnosis

Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa,

gejala klinis, serta pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto toraks dan tes

laboratorium. Anamnesa ataupun riwayat penyakit secara independen tidak dapat

menjadi pedoman dalam membuat diagnosa CHF, tetapi dapat memberikan petunjuk-

petunjuk penting mengenai penyebab, faktor predisposisi, dan keparahan penyakit.

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda

seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, dan

edema tungkai. Kriteria diagnosis yang sering digunakan adalah kriteria Framingham,

dimana diagnosis dapat dibuat apabila terdapat dua gejala mayor atau satu gejala

mayor ditambah dua gejala minor; yaitu:

Gejala Mayor:

1. Distensi vena jugularis

2. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea

3. Ronkhi basah basal (>10 cm di bawah basis paru)

4. Kardiomegali pada foto thoraks

5. Desah Gallop pada S3

6. Tekanan vena sentral >12 mmHg

7. Disfungsi ventrikel kiri pada ekokardiogram

8. Penurunan berat badan >4,5 kg sebagai respon terhadap terapi CHF

9. Edema pulmonal akut

Gejala Minor:

1. Edema pretibial bilateral

2. Batuk pada malam hari

22

Page 21: Karidio Lapkas Aft Editting

3. Dyspnea on exertion

4. Hepatomegali

5. Efusi pleura

6. Takikardia (>120 kali/menit)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya

gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan

darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet

jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama

di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat

timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut

kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada

lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak

gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena

adalah bagian kanan.

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir

seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai

pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q,

abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi

atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang

normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat

kecil kemungkinannya.

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada

gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai

struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah

semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan

murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan

risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau

aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi

diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai

penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta

komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan

23

Page 22: Karidio Lapkas Aft Editting

mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya

hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum

kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga

mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin

setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi.

Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung.

Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun

segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan

untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri

pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaa gagal jantung dapat berupa :

1. Sarana umum, tanpa obat-obatan

Meliputi edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana

mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan. Edukasi pola diet,

kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol. Monitor berat badan, hati-hati pada

kenaikan berat badan yang tiba-tiba. Mengurangi berat badan pada pasien obesitas.

Menghentikan kebiasaan merokok. Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan

menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia kelas I, verapamil,

diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.

2. Pemakaiaan Obat-obatan

Pemakaian obat-obatan dapat berupa :

- Angiotensin –converting enzyme inhibitor

Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan untuk

meningkatkan survival, memperbaiki simptom, mengurangi kekrapan rawat inap

di Rumah sakit. Harus diberikan sebagai terapi inisial bila tidak ditemui retansi

cairan , namun bila ditemui adanya retensi cairan maka harus diberikan bersama

24

Page 23: Karidio Lapkas Aft Editting

diuretik. Harus segera diberikan bila ditemui gejala dan tanda gagal jantung,

segera sesudah infark jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka

reinfark, serta kekerapan rawat inap.

- Diuretik

Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemui beban cairan berlebihan,

kongesti paru dan edema perifer.

- Β blocker

Direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan berat

dengan syarat tidak ditenukannya kontraindikasi terhadap penyekat beta. Beberpa

penyekat beta yang direkomendasikan yaitu, bisoprolol, karvediol, metoprolol

suksinat, dan nebivolol.

- Antagonis reseptor aldosteron

Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi angiotensin, dan

penyekat beta pada gagal jantung sesudah infark jantung, atau diabetes,

menurunkan morbiditas dan mortalitas.

- Antagonis penyekat reseptor angiotensin 2

Masih merupakan alternatif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat

enzim konversi angiotensin. Sama efektif dengan penyekat enzim konversi

angiotensin pada gagal jantung kronik dalam menurunkan morbiditas dan

mortalitas.

- Glikosida jantung

Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal

jantung, terlapas apakah apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab.

Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior bila dibandingkan dipakai

sendiri tanpa kombinasi.

- Hidralazin-isoorbit dinitrat

Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan pasien dimana pasien tidak

toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penuekat angiotensin

II.

25

Page 24: Karidio Lapkas Aft Editting

- Nitrat

Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak. Dalam pemakaian

dosis yang sering, dapat terjadi toleran, oleh karena itu dianjurkan interval 8 atau

12 jam, atau kombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin.

- Obat penyekat kalsium

Pada gagal jantung sistolik, penyekat kalsium tidak direkomendasikan, dan

dikontraindikasikan pemakaian kombinasi dengan penyekat beta.

- Nesiritid

Merupakan kelas obat vasodilator baru. Obat ini identik dengan hormon

endogen dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner,

yang mempunyai efek dilatasi vena, arteri, dan koroner, dan menurunkan pre dan

afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik.

- Inotropik positif

Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena dapat

meningkatkan mortilitas.

- Anti trombotik.

Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena

tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat

dianjurkan. Pada gagal jantung dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan

pemakaian antiplatelet.

- Anti Aritmia

Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik,

kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi. Obat aritmia kelas I tidak

dianjurkan. Obat aritmia kelas II terbukti menurunkan kematian mendadak, dapat

digunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron. Anti aritmia kelas III,

amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel aritmia amiodaron rutin pada

gagal jantung tisak dianjurkan.

3. Pemakaian alat dan tindakan bedah

Pemakaian alat dan tindakan bedah seperti :

26

Page 25: Karidio Lapkas Aft Editting

- Revaskularisasi

- Operasi katup mitral

- Aneurismektomi

- Kardiomioplasti

- Heart Transplantation

- Hemodialisis

- dll

Komplikasi

Komplikasi pada gagal jantung erat kaitannya dengan beratnya CHF dan

penyakit yang mendasarinya. Bila cardiac output sangat menurun, dapat menyebabkan

beberapa keadaan, seperti gangguan fungsi ginjal, nekrosis hepar, iskemia saluran

cerna, serta gangren ekstremitas. Pada keadaan hipertensi vena sistemik, keadaan-

keadaan seperti sirosis hepar, malabsorbsi dan diare, trombosis vena, serta edema

perifer berat dapat terjadi. Komplikasi lain yang dapat terjadi bisa dikarenakan obat-

obatan, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat dari penggunaan

diuretik dan juga gangguan gastrointestinal dan aritmia fatal akibat keracunan

digitalis.

Prognosis

Gagal jantung kongestif memiliki prognosis yang buruk. Sekitar 50% yang

dapat bertahan hingga 5 tahun dan sekitar 20% dapat bertahan lebih lama, hingga 8-12

tahun.

Lebih seringnya memeriksakan diri dengan petugas kesehatan dan penggunaan

obat-obat yang baik serta efektif selama pengobatan awal, dapat menurunkan

keparahan penyakit serta meningkatkan prognosisnya.

Prognosis gagal jantung kongestif lebih buruk pada laki-laki daripada

perempuan, akan tetapi pada wanita hanya sekitar 20 persen yang dapat bertahan lebih

dari 8 hingga 12 tahun. Prognosa ini tidak lebih baik daripada penyakit kanker.

Tingkat kefatalan untuk CHF tinggi, dimana satu dari lima orang meninggal dalam

waktu 1 tahun. Kematian mendadak sering dijumpai pada pasien ini. Jadi, CHF masih

merupakan kondisi yang dapat mematikan. Dengan penggunaan angiotensin-

converting enzyme (ACE) inhibitor sebagai pengecualian mungkin, kemajuan dalam

pengobatan hipertensi, iskemia miokard, dan penyakit katup jantung tidak

27

Page 26: Karidio Lapkas Aft Editting

menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam kelangsungan hidup semua terjadi

kemudian CHF.

BAB 3

LAPORAN KASUS

REKAM MEDIS

Nama : Tuan S

No.MR : 00.03.56.38

TTL : 22 November 1948

Umur : 62 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : -

Alamat : Jl. Pembangunan No. 109 Medan

Tanggal Masuk : 10 Juli 2010

ANAMNESIS

Keluhan Utama : Sesak Nafas

Telaah :

Hal ini dialami os sejak ± 3 bulan yang lalu dan memberat dalam 5 hari sebelum

masuk RS. Sesak dirasakan jika beraktivitas maupun saat beristirahat.Sesak tidak

disertai nafas berbunyi. Riwayat DOE (+), PND (+), orthopnoe (+), kaki bengkak (+).

28

Page 27: Karidio Lapkas Aft Editting

Keluhan dada rasa berdebar (+) sejak dua minggu yang lalu. Nyeri seperti tertimpa

beban berat dan menjalar sampai ke punggung dan lengan kiri. Nyeri dirasakan os

selama < 20 menit dan lama kelamaan akan menghilang bila os beristirahat. Keluhan

nyeri tidak disertai dengan keringat dingin, mual, dan muntah. .Os pernah ke

RSHAM lewat IGD atas keluhan kedua kakinya bengkak dan sesak nafas. Namun,

karena kondisi saat itu dianggap normal, Os disarankan berobat jalan. Os sudah

dilakukan operasi CABG tahun 2006. Oleh karena keluhan sesak nafas yang sudah

minimal, Os jarang kontrol ke dokter dan hanya makan obat jika timbul keluhan

sesak. Namun, karena keluhan sesak, Os akhirnya diopname di CVCU 3 bulan yang

lalu. Sejak saat itu Os baru rutin makan obat. BAB (+) N, BAK (+) N

Faktor Resiko PJK : ex-smoker, laki-laki, usia

RPT : PJk dengan operasi CABG tahun 2006.

RPO : furosemide tab, simvastatin tab, plavix tab, ISDN 5mg tab, bisoprolol 5mg tab,

aspilet tab, spironolakton tab.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Lemah Cyanosis : (-)

Status Present : CM Orthopnoe : (+)

Tekanan Darah : 90/70 mmHg Dyspnoe : (+)

HR : 70 x/menit, reg Ikterus : (-)

RR : 28 x/menit Oedema : (-)

Temp : 36 °C Pucat : (-)

TVJ : R+2 cm H2O

Kepala : mata : anemis (-), ikterus (-)

Leher : JVP R+2 cmH2O

Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis

Palpasi : SF Ki=Ka

Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

Auscultation : SP : vesikuler

ST : ronki basah basal di 1/3 lapangan bawah paru

Jantung :

29

Page 28: Karidio Lapkas Aft Editting

Batas atas : ICS III sinistra

Batas kanan : LSD

Batas kiri : 1 cm lateral LMCS

S1 (N) S2 (N) S3(-) S4(-) Regularity : irreguler

Murmur (-), Punctum maximum: apex Radiasi: (-)

Paru : SP : vesikular

ST : ronki basah basal di 1/3 lapangan bawah paru

Abdomen: Palpasi : hepar/lien: Soepel, H/L/R tidak teraba

Ascites: (-)

Extremitas: Superior : cyanosis (-), clubbing (-)

Inferior : oedema pretibial (-) , arterial pulsation : (+/+), equal,Warm

extremity

Interpretasi EKG:

Sinus Rhytme ,QRS Rate 93x/i, Axis QRS(N),P wave (N), PR interval = 0,12s,QRS

duration=0,08s, ST depresi II,III,aVF, T inverted V1,V2,V3,Q path V1-V4

Kesan: Sinus rhythme +iskemik inferior septal+ OMI anteroseptal

Interpretasi CXR (AP/PA):

CTR= 57%, Segmen Aorta(N), Segmen Pulmonal (N), pinggang jantung mendatar,

apex downward, Infiltrat (-), Kongesti (+).

Kesan : Kardiomegali + Kongesti

Hasil Lab (10 Juli 2010)

Darah Lengkap:

Hb: 14,6 g%

RBC: 4,86 x 106/mm3

WBC: 6900/mm3

Ht: 39.50%

PLT: 157.000/mm3

MCV: 81,20 fL

MCH: 30,3 pg

MCHC: 37,1 %

RDW: 17,7%

MPV: 13.40 fL

PCT: 0,183 %

PDW: 17,3

Hitung jenis:

Neutrofil: 69,90 %

Limfosit: 15,0 %

Monosit; 12,9 %

30

Page 29: Karidio Lapkas Aft Editting

Eosinofil: 1,47 % Basofil: 0,68 %

Faal Hemostasis:

Waktu Protrombin: Kontrol : 12,9 detik

Pasien : 18,80 detik

APTT: Kontrol : 29,8 detik

Pasien : 35,5 detik

Waktu Trombin: Kontrol : 12,0 detik

Pasien : 16,0 detik

Analisa Gas Darah:

pH: 7,463

pCO2: 25,6 mmHg

pO2: 202,9 mmHg

HCO3: 17,9

Total CO2: 18,7

Base Excess: -4,0

Saturasi O2: 99,5

Troponin T: negatif

Hati:

Bilirubin total: 3,3 mg/dL

Bilirubin direk: 1,62 mg/dL

ALP: 121 U/L

SGOT: 16 U/L

SGPT: 10 U/L

LDH: 229 U/L

Metabolisme Karbohidrat:

Glukosa darah: 86 mg/dL

Ginjal:

Ureum: 30 mg/dL

31

Page 30: Karidio Lapkas Aft Editting

Kreatinin: 0,69 mg/dL

Asam urat: 6,3 mg/Dl

Elektrolit:

Natrium: 127 mEq/L

Kalium: 4 mEq/L

Klorida: 95 mEq/L

Enzim Jantung:

CK-NAC: 41 U/L

CK-MB: 18 U/L

Diagnosis Kerja : CHF Fc III-IV ec CAD(OMI ) Post CABG 2006

Functional : CHF Fc III- IV

Anatomy : Arteri koroner

Etiology : Aterosklerosis

Pengobatan :

- Tirah baring semifowler

- Diet jantung III

- O2 4L/i

- IVFD NaCl 0,9 % 10 gtt/i micro

- Injeksi Furosemide 20mg/8jam

- Dobutamin 5ug/kgBB/i

- Aspilet 1x80 mg

- Simvastatin 1x20 mg

- ISDN 3x5 mg (k/p)

- Spironolakton 1x25mg

Penjajakan

- Darah Rutin

- Lipid Profile

32

Page 31: Karidio Lapkas Aft Editting

- KGD Adrandom

- EKG serial

- Enzim Jantung (CK-MB dan Troponin T)

- Ekokardiografi

- Angiografi Koroner

FOLLOW UP PASIEN

TGL S O A P

11-07-

2010

Sesak nafas

(+)

Sens: CM

TD: 90/70 mmHg

HR: 72 x/i

RR: 30 x/i

Pemeriksaan fisik:

Kepala

Mata: anemia (-/-),

ikterik (-/-)

Leher: TVJ R+2

cmH2O

Thoraks

Cor: S1(N),S2(N),

murmur (-)

Gallop (-)

Pulmo: SP:

CHF fc III-

IV ec CAD

- Bed rest semifowler

- Diet Jantung III

- O2 4-6 L/i

- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro

- Inj. Furosemide 20 mg/8 jam

- Dobutamin 10ug/kgBB/i

- Aspilet 80 mg 1x1

- ISDN 5 mg 3x1(k/p)

- Simvastatin 20 mg 1x1

- Spironolakton 25mg x1

33

Page 32: Karidio Lapkas Aft Editting

vesikuler, ST:

ronkhi basah basal

(+)

Abdomen:

soepel;hepar ttb,

BU (+) N

Ekstremitas: akral

hangat, oedem

pretibial (+/+)

12-07-

2010

Sesak napas

berkurang

Sens: CM

TD: 100/70 mmHg

HR: 80 x/i

RR: 22 x/i

Pemeriksaan fisik:

Kepala: Mata:

anemia (-/-),

ikterik (-/-)

Leher: TVJ R+2

cmH2O

Thoraks

Cor: S1(N),S2 (N),

murmur (-)

Pulmo: SP:

vesikuler, ST:

ronki basah basal

(+)

Abdomen: H/L/R

CHF fc III-

IV ec CAD

- Bed rest semifowler

- Diet Jantung III

- O2 4-6 L/i

- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro

- Inj. Furosemide 20 mg/8 jam

- Dobutamin 5ug/kgBB/i

- Aspilet 80 mg 1x1

- ISDN 3x5mg (k/p)

- Simvastatin 20 mg 1x1

- Spironolakton 25mg x1

34

Page 33: Karidio Lapkas Aft Editting

ttb, BU (+) N

Ekstremitas: akral

hangat,

oedem pretibia (-/-)

13-07-

2010

Sesak

nafas(-)

Sens : CM

TD : 100/70mmHg

HR: 92 x/i

RR: 22 x/i

Pemeriksaan fisik:

Kepala: Mata:

anemia (-/-),

ikterik (-/-)

Leher: TVJ R + 2

cmH2O

Thoraks

Cor: S1(N),S2 (N),

Pulmo: SP:

vesikuler, ST:

ronkhi basah basal

minimal

Abdomen: H/L/R

ttb, BU (+) N

Ekstremitas: akral

hangat, oedem

pretibia (-/-)

CHF fc III-

IV ec CAD

- Bed rest semifowler

- Diet Jantung III

- O2 4-6 L/i

- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro

- Inj. Furosemide 20 mg/8 jam

- Aspilet 80 mg 1x1

- ISDN 5 mg 3x1(k/p)

- Simvastatin 20 mg 1x1

- Spironolakton 25mg x1

35

Page 34: Karidio Lapkas Aft Editting

KESIMPULAN

CHF adalah sindrom klinis yang ditandai oleh sesak napas dan mudah lelah

baik pada saat istirahat atau aktivitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau

fungsi jantung, yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk mengisi dan

mengeluarkan darah ke sirkulasi. Dimana faktor resiko yang paling berperan adalah

beberapa penyakit yang terjadi di jantung, baik dari struktur jantung itu sendiri

maupun dari pembuluh darah yang mengalirinya. Biasanya pasien CHF akan

mengeluhkan adanya mudah capek, sesak napas, kardiomegali, peningkatan TVJ,

ascites, hepatomegali dan edema. Tanda dan gejala yang dikeluhkan bervariasi,

tergantung bagian jantung mana yang mengalami kegagalan dalam pemompaan darah.

Diagnosa CHF dapat ditegakkan berdasarkan kritria Framingham dan NYHA.

Pengobatan yang biasanya diajurkan untuk mengobati pasien CHF adalah dengan

mengkombinasikan antara diuretik dan ACE-I atau pun ARB.

Penyakit jantung koroner adalah penyakit pembuluh darah yang disebabkan

oleh adanya ateroskelrosis yang menyumbat pembuluh darah sehingga berkurangnya

suplai darah dan oksigen ke miokard. Usia, jenis kelamin, genetik, hipertensi,

dislipidemia merupakan faktor resiko terjadi penyakit jantung koroner. Penyakit

jantung koroner terdiri dari angina pektoris stabil, angina pektoris tak stabil, STEMI,

NSTEMI. Hal ini dipengaruhi oleh derajat dari oklusi plak aterosklerosis pada

36

Page 35: Karidio Lapkas Aft Editting

pembuluh darah koroner. Diagnosa dapat ditegakkan dengan gejala klinis, EKG dan

enzim jantung.

Pasien ini didiagnosa dengan CHF fc III- IV ec CAD(OMI anteroseptal)

karena dari anamnesa pasien mengeluhkan adanya sesak nafas yang terjadi pada saat

beraktivitas dan beristirahat, dijumpai riwayat sering terbangun tengah malam karena

sesak, disertai dengan riwayat bengkak pada kedua kaki dan dari hasil interprertasi

EKG djumpai Q patologis pada lead V1-V4. Pada pemeriksaan fisik dijumpai

peningkatan TVJ dan adanya ronki basah basal di kedua lapangan paru. Hal diatas

sudah memenuhi Kriteria Framingham yang biasanya digunakan untuk mendiagnosa

suatu CHF. Gagal jantung yang dialami oleh pasien ini disebabkan karena adanya

sumbatan pada pembuluh darah koroner.. Pada pasien ini pengobatan yang diberikan

sudah sesuai dengan penanganan pada pasien CHF, yaitu dengan mengkombinasikan

antara diuretik dengan ACE-I.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin E. Handbook of Pathophysiology, alih bahasa, Brahm U.Pendit ; Endah P ed,,

Jakarta 2000. hal 352 71.

Hanafi, Muin Rahman, Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: FKUI 1997, hal

1082-108.

Harun, Alwi ,Rasyidi, Infark miokard akut, Dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi

Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2001, hal 165 72. Lilly, P., Young, J.L.

Atherosclerosis. In: Pathophysiology of Heart Disease. Lilly, L.S. (editor).

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 118-139.

Lilly, L.S., Naik, H., Sabatine, M.S. Acute Coronary Syndrome. In: Pathophysiology

of Heart Disease. Lilly, L.S. (editor). Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 168-195.

Lilly, L.S., Naik, H., Sabatine, M.S. Heart Failure. In: Pathophysiology of Heart

Disease. Lilly, L.S. (editor). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

211-234.

37

Page 36: Karidio Lapkas Aft Editting

Lilly, L.S., Naik, H., Sabatine, M.S. Ischemic Heart Disease. In: Pathophysiology of

Heart Disease. Lilly, L.S. (editor). Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 141-167.

Rachman, A.M. Angina Pektoris Stabil. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Sudoyo, A.W, et al (editor). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1628-1630.

Trisnohadi, H.B. Angina Pektoris Tidak Stabil. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Sudoyo, A.W, et al (editor). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1606-1610.

38