karakteristik fisik kimia dan organoleptik bakso … · dan daya serap air tidak menunjukan beda...

29
KARAKTERISTIK FISIK KIMIA DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING SAPI DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG PORANG (Amorpophallus oncophyllus) RAYIS USMAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: trinhngoc

Post on 11-Mar-2019

303 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

KARAKTERISTIK FISIK KIMIA DAN ORGANOLEPTIK

BAKSO DAGING SAPI DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG PORANG (Amorpophallus oncophyllus)

RAYIS USMAN

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Fisik Kimia

dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dengan Penamabahan Tepung Porang

(Amorpophallus oncophyllus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Rayis Usman

NIM. D14100095

ABSTRAK

RAYIS USMAN. Karakteristik Fisik Kimia dan Organoleptik Bakso Daging Sapi

dengan Penambahan Tepung Porang (Amorpophallus oncophyllus). Dibimbing

oleh IRMA ISNAFIA ARIEF dan EDIT LESA ADITIA

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat fisik, kimia dan

organoleptik bakso daging sapi dengan penambahan tepung porang sebagai

pengenyal. Hasil analisis menunjukan bahwa penambahan tepung porang 1% dan

2% memiliki pH bakso yang lebih rendah dibanding kontrol (P<0.05). Rataan

nilai pH bakso berturut-turut adalah 5.72±0.03, 5.72±0.07, dan 5.86±0.06. Nilai

kekenyalan (kg cm-2

) bakso dengan penambahan porang 1% dan 2% lebih rendah

dibandingkan kontrol (P<0.05). Rataan nilai kekenyalan bakso berturut-turut

adalah 1.67±0.37, 1.67±0.14, 3.72±0.49. Berbeda halnya dengan nilai aw dan

daya serap air tidak menunjukan beda nyata. Penambahan tepung porang tidak

berpengaruh terhadap sifat kimia (air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat) bakso,

namun kadar serat pangan meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi

tepung porang. Uji hedonik menunjukan adanya pengaruh nyata (P<0.05) pada

rasa dan tekstur, namun tidak berpengaruh pada warna dan kekenyalan.

Sedangkan uji mutu hedonik menunjukan bahwa adanya pengaruh nyata (P<0.05)

pada warna dan tekstur, namun tidak berpengaruh pada kekenyalan. Berdasarkan

sifat fisik maka dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung porang hingga

konsentrasi 2% belum bisa menggantikan STPP sebagai pengenyal, namun secara

umum penerimaannya cukup disukai.

Kata kunci : bakso, STPP, tepung porang

ABSTRACT

RAYIS USMAN. Physical Chemical dan Organolepic Characteristic of Beef

Meatball with Aditional of Porang Flour (Amorpophallus oncophyllus).

Supervised by IRMA ISNAFIA ARIEF dan EDIT LESA ADITIA

The purpose of this research was find out the chemical, physical

properties, and the organoleptic of meatball with addition of different

concentration of porang flour (0%, 1%, and 2%). The result showed that 1% and

2% addition of porang flour have pH value less than control (P<0.05). The

average value of meatball pH respectively is 5.72±0.03, 5.72±0.07, and

5.86±0.06. Springness value of meatball with 1% and 2% porang flour addition

is less than control (P<0.05) the average value of meaball springness respectively

is 1.67±0.37, 1.67±0.14, and 3.72±0.49. Addition of porang flour showed no

significant effect for the chemical content (water content, ash, fat, protein, and

carbohydrate), but increased levels of dietary fiber along with addition of different

concentration of porang flour. Hedonic results showed significant effect (P<0.05)

in flavor and texture attributes, but no significant effect on the color and elasticity.

In other side, the hedonic quality test showed significant effect (P<0.05) on color

and texture, but no on the elasticity. Based on the physical properties, it can be

6

concluded that the 2% concentration of porang flour cannot replace STPP function

as elasticy agent, but in general it is favored

Key words : meatball, porang flour, STPP

KARAKTERISTIK FISIK KIMIA DAN ORGANOLEPTIK

BAKSO DAGING SAPI DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG PORANG (Amorpophallus oncophyllus)

RAYIS USMAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

ix

Judul Skripsi : Karakteristik Fisik Kimia dan Organoleptik Bakso Daging Sapi

dengan Penambahan Tepung Porang (Amorpophallus

oncophyllus)

Nama : Rayis Usman

NIM : D14100095

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Muladno, MSA

Ketua Departemen

Tanggal lulus :

Dr Irma Isnafia Arief, SPt MSi

Pembimbing I

Edit Lesa Aditia, SPt MSc

Pembimbing II

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah

Karakteristik Fisik Kimia dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dengan

Penambahan Tepung Porang (Amorpophallus oncophyllus). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Irma Isnafia Arief, SPt MSi dan

Bapak Edit Lesa Aditia, SPt MSc selaku komisi pembimbing serta Bapak Bramada

Winiar Putra, SPt MSi selaku pembimbing akademik. Terima kasih ucapkan kepada

ayah (M. Faisal Usman), mama (Safigah Balweel), abang dan adik (Rifqi Usman,

Firmansyah Usman, Nurjulianti Usman) serta seluruh keluarga tercinta yang tidak

henti-hentinya memberikan kasih sayang dan dukungan doa serta moril. Tidak lupa

saya ucapkan terima kasih kepada tim Laboratorium Ruminansia Besar (pak Cucu, bu

Ella) dan Laboratorium Terpadu Analisis Hasil Ternak (kakak Ebi, kakak Nopi,

kakak Nurul, kakak Fitri) atas bantuan dan dukungan selama penelitian berlangsung.

Ungkapan terima kasih yang selanjutnya ditujukan kepada Selamet, Hengki, Alul,

Oki, Hafidz, Hesti, Nidar, Risha, Sela, Jannatin, Faisal, Irfan, dan sahabat IPTP 47,

IPTP 46, IPTP 48, HIMAPROTER, K-SPR IPB, LPIF, serta penghuni Wisma El Fata

atas dukungan, bantuan, dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Rayis Usman

xi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

Ruang Lingkup Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Materi 2

Prosedur 2

Peubah 4

Rancangan 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Analisis Daging Segar 7

Sifat Fisik Bakso 8

Sifat Kimia Bakso 10

Sifat Organoleptik Bakso 11

SIMPULAN DAN SARAN 13

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 16

RIWAYAT HIDUP 17

xii

DAFTAR TABEL

1 Komposisi bahan-bahan 5

2 Sifat fisik daging segar 7

3 Sifat kimia daging segar 7

4 Rataan nilai sifat fisik adonan bakso dan bakso 8

5 Rataan nilai sifat kimia bakso 10

6 Rataan nilai uji hedonik dan mutu hedonik 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam daya serap air 16

2 Hasil analisis ragam aw bakso 16

3 Hasil analisis ragam pH bakso 16

4 Hasil analisis ragam kadar abu 16

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bakso merupakan ragam dari olahan daging yang berbentuk bola padat serta

memiliki tekstur yang kenyal. Untuk memenuhi permintaan masyarakat akan

bakso yang kenyal dan padat banyak dikembangkan bahan pengenyal bakso baik

dari yang alami maupun sintetis. Bahan pengenyal yang ada di pasaran umumnya

adalah bahan pengenyal yang berasal dari bahan kimia sintetis yakni Sodium

Tripoliphospat (STPP). Merujuk pada SNI 01-0222-1995, penggunaan bahan

tambahan makanan seperti STPP pada pembuatan produk daging olahan adalah 3

g kg-1

. Maka dari itu dibutuhkan bahan alternatif pengganti STPP sebagai bahan

pengenyal bakso yang alami dan sehat. Bahan alami yang dapat digunakan untuk

memperbaiki tekstur dan kekenyalan yakni konjak atau porang yang merupakan

kelompok hidrokoloid.

Tepung porang berasal dari tanaman umbi porang (Amorpophallus

oncophyllus) atau lebih dikenal dengan nama iles-iles. Salah satu kandungan

yang banyak di dalam umbi porang adalah glukomanan. Glukomanan merupakan

sejenis polisakarida yang tersusun oleh satuan-satuan D-glukosa dan D-mannosa.

Glukomannan memiliki sifat menyerap air yang tinggi dan sifat merekat yang kuat

sehingga dapat digunakan untuk merekatkan dan memperbaiki tekstur. Umumnya

tepung porang digunakan sebagai bahan tambahan dalam berbagai produk pangan

seperti agar-agar, permen, roti serta olahan daging (Akesowan 2012).

Penggunaan tepung porang dalam produk olahan daging sudah cukup

banyak diteliti terutama pada produk sosis (Osburn dan Keeton 2004; Lin dan

Huang 2003) dan surimi (Liu et al. 2013), namun tidak pada produk bakso.

Penambahan tepung porang pada sosis dapat dijadikan sebagai pengganti

penggunaan lemak (Osburn dan Keeton 2004), sedangkan penambahan pada

surimi dapat meningkatkan kekenyalan (Xiong et al. 2009). Secara umum

penggunaan tepung porang pada produk olahan daging belum populer terutama di

Indonesia. Penggunaan dalam produk olahan daging seperti bakso berpotensi

untuk dijadikan sebagai bahan alternatif pengenyal. Hal ini diharapkan akan

mengurangi pemakaian bahan tambahan pangan sintetis seperti STPP.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan tepung

porang pada taraf yang berbeda terhadap sifat fisik, kimia, dan organoleptik.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan daging segar dari bagian paha belakang

(gandik). Evaluasi sifat fisik, kimia, dan organoleptik dilakukan terhadap bakso

daging sapi dengan penambahan tepung porang yang berbeda.

2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai dari bulan Maret 2014

hingga Mei 2014. Laboratorium yang digunakan adalah Laboratorium Teknologi

Hasil Ternak, Laboratorium Ruminansia Besar, Laboratorium Analisis Hasil

Ternak, Laboratorium Organoleptik, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pusat

Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Balai

Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Bogor.

Materi

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi pre-

rigor yang dibeli dari pasar tradisional Ciampea, Bogor. Selanjutnya tepung

porang yang diperoleh dari produsen tepung porang di Jawa Timur.

Bahan-bahan tambahan yang dibutuhkan antara lain lada, es batu, garam,

STPP, dan tepung tapioka. Adapun bahan yang digunakan untuk analisis kimia

diantaranya H2SO4, NaOH, brom kresol hijau, KH(IO3)2, dan aquades.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini terbagi dua yakni alat

pembuatan bakso dan alat pengujian. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan

bakso terdiri atas alat penggiling (food processor), pisau, nampan, kompor, panci,

saringan, sendok, plastik, dan wadah plastik.

Peralatan yang dibutuhkan untuk pengujian fisik adalah pH-meter,

sentrifuge, vortex, oven, tanur, cawan, gelas ukur, dan Instron model 1140.

Sedangkan peralatan yang dibutuhkan pada pengujian kimia adalah labu

kjelhdahl, erlenmeyer, labu ukur, penangas air, sentrifuse, waterbath, soxhlet,

serta peralatan untuk pengujian organoleptik.

Prosedur

Pembuatan Bakso

Daging dibersihkan dari permukaan lemak dan jaringan ikat, kemudian

daging dipotong-potong menjadi ukuran lebih kecil. Formulasi pembuatan bakso

dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Selanjutnya daging digiling di dalam food processor bersamaan dengan

garam, es, dan tepung porang atau STPP. Selama lebih kurang 1 menit digiling,

lalu di tambahkan es batu kembali, merica, tapioka, dan bawang putih. Setelah

kembali digiling selama 1 menit, adonan bakso dicetak bulat-bulat dan dimasukan

kedalam air panas (60 oC) selama 10 menit dan setelah itu selama 15 menit bakso

ditiriskan. Skema pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 1.

3

Tabel 1 Komposisi bahan-bahan (g)

Bahan Perlakuan

P1 (kontrol) P2 (porang 1%) P3 (porang 2%)

Daging Sapi 250.00 250.00 250.00

STPP 1.25 - -

Tepung Porang - 2.50 5.00

Tapioka 37.50 37.50 37.50

Merica 2.50 2.50 2.50

Garam 7.50 7.50 7.50

Bawang Putih 2.50 2.50 2.50

Es Batu 87.50 87.50 87.50

Gambar 1 Diagram pembuatan bakso Sumber : Arief et al. 2012, dengan modifikasi

Daging dipotong kecil-kecil, dimasukan ke dalam food processor

Digiling hingga halus

Digiling kembali selama 1 menit

Bakso dimasak hingga matang

Adonan dibentuk bulat-bulat didalam air

hangat (60 oC)

Ditambahkan es batu,

garam, dan STPP

Ditambahkan es, lada

bawang putih, tapioka,

dan porang

Bakso

4

Peubah

Pengujian Fisik dan Kimia

Selanjutnya bakso dilakukan uji fisik yang meliputi nilai pH, kekenyalan,

dan daya serap air. Adapun uji kimia yang dilakukan adalah proksimat yang

meliputi kadar air, kadar abu, protein, lemak, dan serat pangan.

Nilai pH (AOAC 2005)

Sampel bakso sebanyak 5 g diukur dengan menggunakan pH meter. Alat

pH meter mula-mula dikalibrasi dengan larutan buffer pada pH 4 dan 7.

Elektroda dibilas menggunakan aquades dan dikeringkan, pH meter ditusukkan ke

dalam sampel daging kira-kira 2-4 cm. Nilai pH diperoleh dengan membaca skala

tersebut.

Kekenyalan (Wirakartakusuma 1988)

Kekenyalan diukur dengan menggunakan instron UTM-1140. Bakso

ditekan dengan beban 50 kg. Penekanan dilakukan 2 kali, penekanan pertama

hanya sampai bakso tepat akan pecah. Sensor pada alat akan bekerja dan menarik

kembali penahan anvil secara otomatis kemudian dilakukan penekanan kedua

sampai bakso pecah. Perbandingan nilai puncak grafik kedua dengan puncak

grafik pertama menunjukkan nilai kekenyalan.

Daya Serap Air (Fardiaz et al. 1992)

Pengukuran dilakukan dengan cara mengambil sampel bakso sebanyak 1 g

dalam bentuk halus, kemudian sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifus.

Selanjutnya ditambahkan 10 mL air dan diaduk menggunakan vortex. Sampel

didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit lalu disentrifus dengan kecepatan

3500 rpm selama 30 menit. Jumlah supernatan yang terbentuk diukur

menggunakan gelas ukur.

Water Activity (aw) (AOAC 2005)

Penentuan nilai aktivitas air dari produk diukur menggunakan aw meter.

Pengkalibrasian aw meter dilakukan denga larutan NaCl jenuh yang mempunyai

aw sekitar 0.7509. Sampel sebnyak 1 g dilumatkan dan dimasukan ke dalam aw

meter. Tombol start ditekan saat alat dalam posisi ready. Nilai aw dibaca jika alat

tersebut dalam posisi completed.

Analisis Kadar Air (AOAC 2005)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menimbang cawan alumunium

steril menggunakan neraca analitik untuk mengetahui bobot kosongnya. Sekitar 1

g sampel bakso ditimbang dalam cawan alumunium. Sampel bakso kemudian

dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 8 jam dan didinginkan dalam

desikator, lalu ditimbang sampai diperoleh bobot konstan dari cawan dan sampel

kering.

Analisis Kadar Abu (AOAC 2005)

Pengukuran kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering

menggunakan alat tanur. Cawan porselen dikeringkan dengan tanur pada suhu

600 oC selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

5

Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam cawan porselen. Sampel diuapkan di atas

hot plate selama 30-60 menit sampai kering. Kemudian dimasukkan ke dalam

tanur bersuhu 600 oC selama 2 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih,

kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Analisis Kadar Protein Kasar (AOAC 2005)

Sebanyak 0.25 g sampel bakso dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl

kemudian ditambahkan 3 mL H2S04 pekat dan selenium 0.25 g. Selanjutnya

didestruksi selama 1 jam sampai larutan menjadi jernih dan didinginkan.

Sebanyak 50 mL aquades dan 20 mL NaOH 40%, ditambahkan, lalu larutan

didestilasi.

Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10

mL H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna

merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 mL dan

berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan, dan destilasi dititrasi dengan HCL

0.1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga

terhadap blanko.

Analisis Kadar Lemak (AOAC 2005)

Sampel bakso sebanyak 2 g disebar di atas kapas yang beralas kertas saring

dan gulung membentuk thimble, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet.

Kemudian diekstraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa heksan

sebanyak 150 mL. Lemak yang terekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 1 jam.

Kadar Karbohidrat (Winarno 2008)

Kadar karbohidrat dihitung secara by difference, dengan perhitungan

sebagai berikut:

Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - % (air + abu + protein + lemak) Keterangan : bb=berat basah

Kadar Serat Pangan (Asp et al. 1993)

Sampel kering diekstrak lemaknya dengan pelarut petroleum eter pada suhu

kamar selama 15 menit kemudian dikeringkan pada suhu ruang. SejumLah 1 g

sampel bebas lemak (w) dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambah 25

mL 0.1 M buffer fosfat pH 6 dan dibuat menjadi suspensi. Sampel kemudian

ditambahkan 0.1 mL termamyl, ditutup dengan alufo dan diinkubasi pada suhu

100 oC selama 15 menit dan didinginkan, kemudian ditambahkan 20 mL akuades

dan pH diatur menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M.

Sampel lalu ditambahkan 100 mg pepsin, ditutup, dan diinkubasi pada suhu

40 oC dan diagitasi selama 60 menit. Sampel kemudian ditambahkan 20 mL

akuades dan pH diatur menjadi 6.8, lalu ditambahkan 100 mg pankreatin, ditutup,

dan diinkubasi pada suhu 40 oC selama 60 menit sambil diagitasi, dan terakhir pH

diatur dengan HCl menjadi 4.5. Residu diperoleh melalui penyaringan

menggunakan crucible yang berisi celite (bobot kering diketahui). Residu

kemudian dicuci dengan 2x10 mL aquades, 2x10 mL etanol 95%, dan 2x10 mL

aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105 oC hingga berat tetap (sekitar 12 jam) dan

ditimbang setelah didinginkan dalam desikator. Residu kemudian diabukan dalam

tanur 525 oC selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.

6

Nilai blanko diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa menggunakan

sampel.

Uji Organoleptik

Hedonik dan Mutu Hedonik (Setyaningsih et al. 2010)

Penilaian organoleptik merupakan pengamatan secara subjektif yang

dilakukan terhadap sampel daging dengan menggunakan panca indera manusia.

Metode yang digunakan adalah uji hedonik dan uji mutu hedonik terhadap warna,

aroma, kekenyalan, dan rasa bakso yang diujikan dalam keadaan yang telah

direbus terlebih dahulu. Pengujian menggunakan skala 1 sampai dengan 5.

Panelis yang diperlukan ialah panelis tidak terlatih sebanyak 40 orang untuk

pengujian hedonik. Adapun untuk pengujian mutu hedonik diperlukan 25 orang

panelis agak terlatih.

Rancangan

Penelitian ini dilakukan atas 3 perlakuan penambahan tepung porang yang

berbeda. Berikut adalah penjabaran perlakuan yang digunakan.

P1 = 0% tepung porang (kontrol)

P2 = 1% tepung porang

P3 = 2% tepung porang

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap dengan faktor perlakuan penambahan tepung porang pada taraf yang

berbeda. Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali Model matematika menurut

Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut :

Yij = μ + Pi + εij Keterangan:

Yij : hasil penelitian pada taraf perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ : rataan hasil penelitian

Pi : pengaruh penambahan tepung porang ke-i (0%, 1%, 2%)

εij : pengaruh galat percobaan pada penambahan tepung porang ke-i dan ulangan

ke-j (1, 2, 3).

Analisis Data

Data yang diperoleh dilakukan uji asumsi terlebih dahulu yang terdiri dari

uji keaditifan, kenormalan, kehomogenan, dan kebebasan galatnya. Apabila data

lulus uji asumsi maka data selanjutnya dianalisis menggunakan analisis ragam,

apabila berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey. Data yang tidak

memenuhi uji asumsi selanjutnya dianalisis menggunakan uji non parametrik

Kruskal-Wallis.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kimia Daging Segar

Analisis daging segar pada penelitian ini meliputi pengujian fisik dan kimia.

Analisis pengujian fisik mencakup derajat keasaman (pH), aktifitas air (aw), serta

daya mengikat air (DMA). Hasil pengujian analisis fisik daging segar disajikan

pada Tabel 2.

Tabel 2 Sifat fisik daging segar

Parameter Nilai

pH 5.48

aw 0.912

Daya Mengikat Air (%) 33.45

Nilai pH daging pada pada penelitian ini 5.48 masih berada pada kisaran pH

daging normal. Soeparno (2009) menyatakan bahwa pH daging normal berada

pada kisaran 5.4-5.8. Selain itu pada pH ultimat (5.3-5.7) protein daging yang

terekstrak akan lebih banyak, sehingga hasil emulsi akan lebih baik.

Nilai aw daging sapi hasil pengujian fisik adalah 0.912 lebih rendah

dibandingkan dengan kisaran aw normal. Nilai aw daging normal adalah 0.98

(Coultate 2002) – 0.99 (Lawrie 2003). Nilai aw dipengaruhi oleh temperatur dan

pH. Pembusukan pada daging mudah sekali terjadi karena bertumbuhnya

berbagai organisme pada nilai aw yang tinggi (Lawrie 2003).

Nilai daya mengikat air (DMA) daging sapi hasil pengujian fisik adalah

33.45%. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara fisik DMA akan

mempengaruhi warna, tekstur, kekerasan daging mentah, juiceness dan

keempukan daging yang dimasak. Putri (2009) menambahkan bahwa bakso dari

daging yang memiliki DMA rendah akan menghasilkan produk yang kurang

kenyal dan cenderung kering.

Tabel 3 Sifat kimia daging segar

Komposisi Kimia * % (bb)

Air 71.78

Abu 1.30

Lemak 1.31

Protein 23.17

Karbohidrat 2.44 Keterangan : *) Hasil analisis Lab. Pusat Antar Universitas IPB (2014), bb=berat basah

Hasil analisis pada Tabel 2 menunjukkan kadar air, abu, lemak, protein, dan

karbohidrat daging sapi penelitian ini sesuai dengan yang disampaikan Aberle et

al. (2001) bahwa kadar air, abu, dan protein secara berurutan sebesar 70.62%,

1.02%, dan 20.78%, kecuali kadar lemak 6.16%. protein yang terkandung di

dalam daging berperan dalam membentuk jaringan yang kompak selama

pemasakan sehingga meningkatkan daya serap air produk (Ranken 2000).

8

Sifat Fisik Bakso

Sifat fisik merupakan komponen yang penting untuk menentukan kualitas

suatu produk serta untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama

proses pengolahan. Sifat fisik pada adonan dan bakso daging sapi yang diamati

meliputi pH, aw, dan daya serap air (DSA) dan kekenyalan. Hasil rataan uji fisik

adonan tersaji pada Tabel 3 dan uji fisik bakso pada Tabel 4.

Tabel 4 Rataan nilai sifat fisik adonan bakso dan bakso

Parameter Konsentrasi Porang (%)

0 1 2

Adonan bakso

pH 5.47 ± 0.02a

5.25 ± 0.01b 5.27 ± 0.01b

aw 0.900 ± 0.005 0.905 ± 0.004 0.906 ± 0.008

Bakso

pH 5.86 ± 0.06a

5.72 ± 0.03b

5.72 ± 0.07b

aw 0.898 ± 0.001 0.890 ± 0.007 0.896 ± 0.003

DSA (%) 8.83 ± 0.29 7.25 ± 1.75 9.25 ± 1.089

Kekenyalan (kg cm-2

) 3.72 ± 0.49a

1.67 ± 0.37b

1.67 ± 0.14b

Keterangan : Angka dengan huruf yang berbeda pada tiap baris yang sama menunjukan perbedaan

yang nyata (P<0.05).

Nilai pH Bakso

Hasil analisis menunjukan bahwa adonan bakso dan bakso dengan

penambahan tepung porang 1% dan 2% memiliki pH yang lebih rendah

dibandingkan dengan kontrol yang menggunakan STPP (P<0.05). Namun pH

antara bakso dengan penambahan porang tidak menunjukan beda nyata. Tabel 2

menunjukan adanya kenaikan nilai pH dari adonan ke bakso, hal ini dapat

disebabkan oleh pengaruh pemanasan. Pemanasan menyebabkan protein

terdenaturasi, sehinga perubahan struktur protein menyebabkan perubahan sifat

fisikokimia protein (Kusnandar 2010). Lawrie (2003) menambahkan bahwa

protein yang terdenaturasi akan menyebabkan pH meningkat.

Nilai pH bakso kontrol yang lebih tinggi disebabkan oleh adanya

penambahan STPP yang berfungsi untuk meningkatkan pH karena bersifat basa.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Ṻnal et al. (2006) bahwa STPP melakukan tiga

fungsi dasar kimia, yakni sebagai kontrol pH, menyerap ion logam, dan bertindak

sebagai polianion untuk meningkatkan kekuatan ionik dan pH larutan. Adapun

bakso dengan penambahan tepung porang tidak dapat meningkatkan nilai pH, hal

ini karena tepung porang tidak memiliki peran dalam mengontrol pH daging dan

ditambah tepung porang hanya polisakarida. Iglesias-Otero (2010) menyatakan

bahwa tepung porang atau konjak pada media yang netral daya afinitas terhadap

protein myofibrillar lemah selama pemanasan, sehingga tidak terdapat interaksi

dengan matriks protein.

Nilai aw Bakso

Nilai aw bakso pada penelitian berkisar 0.900 – 0.906 untuk adonan bakso

dan 0.890 – 0.898, keduanya tidak menunjukan beda nyata (P>0.05). Penurunan

nilai aw dari adonan ke bakso disebabkan oleh pemanansan. Pemanasan bahan

9

pangan akan menurunkan kadar air serta kelembaban relatif yang juga

mempengaruhi nilai aw (Winarno 2008).

Menurut Kusndanar (2010), nilai aw dapat dijadikan sebagai parameter yang

menunjukan pada stabilitas dan keawetan pangan, laju reaksi kimiam, aktivitas

enzim, dan pertumbuhan mikroba. Mikroba jenis bakteri tumbuh pada aw 0.91,

kapang 0.88, dan jamur pada aw 0.80 (Coultate 2002).

Daya Serap Air (DSA) Bakso

Nilai DSA bakso pada tiap perlakuan dari penelitian ini tidak menunjukan

beda nyata. Secara berturut-turut dengan penambahan STPP 0.5%, tepung porang

1% dan 2% yaitu 8.83%, 7.25% dan 9.25%. Nilai DSA menunjukan jumLah air

yang terperangkap dalam matriks molekul pada kondisi tertentu. Iskandar (2003)

menyatakan bahwa DSA yang tinggi berperan dalam pembentukan tekstur serta

mengurangi cooking loss pada produk akhir. Semakin banyak air yang diserap

akan meningkatkan kelembutan tekstur dan mouthfeel dari produk tersebut.

Nilai DSA bakso dengan penambahan tepung porang sebanyak 2%

cenderung lebih tinggi dibanding lainnya. Hal ini karena Glukomanan yang

terkandung dalam tepung porang mampu mengembang didalam air mencapai

138% – 200% dan terjadi secara cepat (Winarno 2008). Glukomanan yang ada

pada tepung porang merupakan polisakarida non-ionik yang memiliki daya serap

air yang tinggi (Li et al. 2006). Osburn dan Keeton (2004) menyatakan bahwa

peningkatan penggunaan konjak atau porang akan memperbesar sifat menahan air

dari gel hidrokoloid di produk emulsi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian

yang dilakukan Xiong et al. (2009), penambahan konjak dapat meningkatkan sifat

menyerap air dan hal itu terlihat seperti adanya penyerapan air yang kuat pada

produk surimi.

Kekenyalan Bakso

Rataan nilai kekenyalan bakso dengan penambahan tepung porang lebih

rendah dibandingkan dengan kontrol (P<0.05). Akan tetapi penambahan tepung

porang 1% dan 2% memberikan pengaruh yang sama. Hal ini karena STPP dapat

mengoptimalkan ekstraksi protein daging, sehingga akan lebih banyak matriks

yang terbentuk. Berbeda halnya dengan prinsip kerja tepung porang yang lebih

mengedepankan pada penyerapan air yang banyak kedalam produk. Secara

umum, gel polisakarida pada tepung porang terbentuk ketika molekul yang

panjang didalam larutan menjadi satu membentuk suatu jaringan (Tye 1991).

Hasil tersebut berbeda dengan yang disampaikan oleh Xiong et al. (2009)

yang menyatakan bahwa tepung porang dapat meningkatkan kemampuan

membentuk gel dan memperbaiki kekuatan gel dan kekenyalan. Akan tetapi

penggunaan porang diatas 2% pada surimi akan menghasilkan tekstur yang keras

karena daya menyerap air porang kuat. Sumarwoto (2007) menambahkan bahwa

kandungan mannan yang ada pada tepung porang memiliki sifat membentuk serat-

serat halus. Chin et al. (2009) menemukan bahwa ada beberapa serat besar pada

gel protein myofibrillar yang terbentuk dari tepung konjak meskipun secara umum

strukturnya sangat homogen.

Kekenyalan produk bakso juga dapat dipengaruhi oleh suhu pemasakan.

Hal ini sesuai dengan penelitian Liu et al. (2013) yang menyatakan bahwa

pemasakan surimi dengan penambahan konjak pada suhu 35 – 40 oC dan waktu

10

180 menit memiliki kekutan gel terbaik. Akan tetapi saat suhu ditingkatkan

hingga 50 oC kekuatan gel menurun. Suhu pemasakan pada penelitian ini yakni

60 – 80 oC.

Sifat Kimia Bakso

Sifat kimia yang diamati pada penelitian ini yakni kadar air, abu, lemak,

protein, karbohidrat, dan serat pangan. Rataan hasil pengujian pengaruh tepung

porang terhadap sifat kimia bakso tersaji pada Tabel 5 dibawah ini. Secara umum

semua parameter tidak menunjukan adanya perbedaan dari masing-masing

perlakuan.

Tabel 5 Rataan nilai sifat kimia bakso

Parameter Konsentrasi Porang (%)

0 1 2

%

Air 72.04 ± 0.22 72.53 ± 0.48 75.51 ± 0.66

Abu 2.88 ± 0.05 2.64 ± 0.15 2.41 ± 0.32

Lemak 0.86 ± 0.06 0.85 ± 0.29 0.84 ± 0.24

Protein 22.47 ± 2.40 20.04 ± 0.22 19.17 ± 0.20

Karbohidrat 12.60 ± 2.74 14.84 ± 0.79 15.51 ± 0.92

Serat Pangan* 1.58 4.12 5.99 Keterangan : *) Dianalisis secara komposit

Kadar Air

Nilai kadar air bakso daging sapi dengan penambahan STPP, porang 1%

dan 2% secara berturut 72.04%, 72.53%, dan 75.51% tidak menunjukan beda

nyata. Hal ini mengindikasi bahwa tidak ada perbedaan yang nyata terhadap

penambahan tepung porang di dalam bakso daging sapi terhadap kadar air

meskipun penambahan porang 2% memiliki kadar air yang lebih besar.

Menurut SNI (1995a) kadar air bakso daging maksimal 70%. Kadar air

bakso yang tinggi pada penelitian disebabkan kemampuan porang dalam

menyerap air lebih tinggi (Osburn dan Keeton 2004). Kusnandar (2010)

menyatakan bahwa air dalam pangan mempengaruhi tingkat kesegaran, keawetan,

dan perubahan reaksi kimia. Perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap

tekstur, penampilan, bau serta cita rasa makanan (Buckle et al. 2009)

Kadar Abu

Rataan nilai kadar abu bakso daging sapi dengan penambahan STPP

(2.88%), dengan porang 1% (2.64%), dan dengan porang 2% (2.41%) adalah tidak

berbeda nyata. Kadar abu yang disyaratkan SNI (1995a) yakni maksimal 3%.

Kadar abu menunjukan pada kandungan mineral yang ada pada produk pangan.

Mineral dalam produk daging merupakan komponen pentingan untuk nutrisi

dan kesehatan. Formulasi produk emulsi seperti sosis dengan penambahan konjak

dapat mengubah konsentrasi beberapa mineral (Triki et al. 2013). Penambahan

bumbu dalam formulasi juga dapat mempengaruhi kadar abu produk (Soeparno

2005).

11

Kadar Lemak

Kadar lemak bakso daging dengan penambahan STPP, porang 1% dan 2%

tidak berbeda nyata dengan kisaran rata-rata 0.84%-0.86%. Menurut SNI (1995a)

kadar lemak bakso daging maksimal 2%. Penambahan tepung porang dapat

menurunkan kadar lemak pada sosis daging kambing dan dapat dijadikan sebagai

pengganti lemak (Osburn dan Keeton 2004).

Kadar Protein

Nilai kadar protein bakso daging sapi dengan penambahan STPP, porang

1% dan 2% secara berturut 22.47%, 20.04%, dan 19.17% tidak menunjukan beda

nyata. Menurut SNI (1995a) kadar protein bakso minimal 9%, dengan ini bakso

memenuhi stdanar yang ditetapkan SNI. Hasil tersebut sesuai dengan yang

dilaporkan Osburn dan Keeton (2004) bahwa peningkatan pemakaian konjak akan

menurunkan kadar protein produk. Hal ini karena tepung porang lebih banyak

mengandung pati dan glukomannan.

Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat bakso daging sapi dengan penambahan STPP, porang 1%

dan 2% secara berturut 12.6%, 14.84%, dan 15.51%. Kenaikan persentase

karbohidrat karena kandungan glukomannan yang terdapat pada tepung porang

merupakan polisakarida murni yang mengandung glukosa dan manosa (Takigami

2000; Penroj et al. 2005).

Kadar Serat Pangan

Total serat pangan bakso meningkat seiring dengan peningkatan persentase

tepung porang (Tabel 4). Peningkatan kadar serat pangan pada bakso dengan

penambahan tepung porang karena tepung porang mengandung glukomanan

sebesar 64% - 84% yang tinggi akan serat pangan (Keithley dan Swanson 2005;

Widjanarko et al. 2011)

Sifat Organoleptik Bakso

Uji organoleptik merupakan pengujian yang dilakukan dengan

menggunakan panca indera dalam menilai kualitas dari suatu produk pangan.

Penilaian secara sensori ini merupakan indikator penerimaan konsumen terhadap

suatu produk. Muhibudin (2007) menyatakan bahwa penilaian organoleptik

dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, namun memiliki beberapa kekurangan.

Pengujian organoleptik yang dilakukan meliputi uji hedonik dan mutu

hedonik. Panelis yang turut serta dalam pengujian hedonik sebanyak 53 orang

mahasiswa IPB secara umum dan untuk pengujian mutu hedonik sebanyak 50

orang yang berasal mahasiswa yang telah diberi pelatihan singkat sebelum

melakukan pengujian sampel. Hasil rata-rata pengujian organoleptik tersaji pada

Tabel 5.

Warna

Hasil rataan uji hedonik bakso daging sapi pada atribut warna tidak

menunjukan beda nyata antara kontrol dengan yang ditambahkan tepung porang

(Tabel 5). Akan tetapi hasil rataan mutu hedonik warna bakso menunjukan beda

12

nyata (P<0.05). Panelis menilai bakso dengan penambahan tepung porang

berwarna lebih putih dibandingkan dengan kontrol.

Hsu dan Chung (2000) menyatakan bahwa penambahan konjak akan

meningkatkan kecerahan dari surimi. Berbeda halnya dengan yang disampaikan

Xiong et al. (2009) yang menyatakan bahwa secara umum peningkatan

penggunaan konjak akan menurunkan tingkat keputihan dari surimi. Hasil

pengujian berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh

pemilihan bahan baku daging yang digunakan berbeda.

Tabel 6 Rataan nilai uji hedonik dan mutu hedonik bakso

Parameter Konsentrasi Porang (%)

0 1 2

Hedonik

Warna 2.57 ± 0.89 2.60 ± 0.82 2.49 ± 0.85

Rasa 2.30 ± 0.91a

3.04 ± 0.96b

2.98 ± 0.77b

Tekstur 2.49 ± 0.91a

3.26 ± 0.79b

3.04 ± 0.89b

Kekenyalan 2.81 ± 1.23 3.19 ± 1.00 3.11 ± 0.89

Rata-rata 2.54 ± 0.98 3.02 ± 0.89 2.91 ± 0.85

Mutu hedonik

Warna 2.10 ± 0.79a

2.84 ± 0.58b

2.82 ± 0.66b

Tekstur 3.12 ± 0.94a

2.38 ± 0.75b

2.26 ± 0.75b

Kekenyalan 2.56 ± 1.01

3.00 ± 0.88

2.88 ± 0.79

Keterangan : Angka dengan huruf yang berbeda pada tiap parameter yang sama menunjukan

perbedaan yang nyata (P<0.05). skala uji hedonik : 1=sangat suka, 2=suka, 3=agak

suka, 4=tidak suka, 5=sangat tidak suka. Skala uji mutu hedonik : 1=abu-abu

kehitaman/sangat kasar/sangat kenyal, 2=abu-abu/agak kasar/kenyal, 3=putih

keabuan/agak halus/agak kenyal, 4=putih/halus/tidak kenyal

Rasa

Hasil skala hedonik rasa bakso daging sapi menunjukan beda nyata (P<0.05)

antara penambahan STPP dengan penambahan porang. Bakso tanpa penambahan

tepung porang lebih disukai dibanding yang ditambahkan tepung porang 1% dan

2% (Tabel 5).

Pemakaian STPP mendapat respon lebih disukai dibandingkan dengan

pemakaian porang. Usmiati (2009) menyatakan bahwa penggunaan STPP kurang

dari 0.5% tidak menimbulkan rasa pahit. Rasa pada bakso daging juga

dipengaruhi oleh penambahan bumbu-bumbu di dalam formulasi seperti bawang

putih, lada, dan garam. Selain itu penambahan tepung porang yang dapat

menyerap air lebih dapat berkontribusi pada pengurangan rasa bakso sehingga

kurang disukai.

Tekstur

Tekstur merupakan suatu parameter yang mengombinasikan keadaan fisik

dan penglihatan. Hasil skala hedonik (Tabel 5) pada parameter tekstur

menunjukan bahwa bakso tanpa penambahan tepung porang lebih disukai

(P<0.05).

13

Hasil skala mutu hedonik (Tabel 5) menunjukan bahwa bakso dengan

penambahan tepung porang 1% dan 2% memiliki tekstur yang cenderung lebih

kasar (P<0.05). Tekstur bakso dengan penambahan porang agak kasar karena

pada saat pencetakan adonan bakso cenderung agak kering, hal ini dimungkinkan

penyerapan air saat pencampuran cukup tinggi. Sehingga ketika pencetakan

bakso menjadi tidak halus dan agak berongga. Martin et al. (2002) menyatakan

bahwa salah satu fungsi STPP yaitu untuk memperbaiki tekstur. Dalam hal ini

tepung porang tidak dapat memperbaiki tekstur bakso, karena tidak mampu

mengekstrak protein miofibril.

Kekenyalan

Rataan skala hedonik kekenyalan bakso daging tiap perlakuan menunjukan

beda nyata. Hal ini menunjukan bahwa panelis memberikan respon kesukaan

yang sama terhadap bakso dengan penambahan tepung porang dan tanpa

penambahan tepung porang pada atribut kekenyalan.

Rataan skala mutu hedonik (Tabel 5) bakso daging tiap perlakuan juga tidak

menunjukan beda nyata. Kekenyalan diartikan sebagai kemampuan bahan pangan

yang ditekan kembali ke posisi awal setelah beban tekanan dihilangkan.

Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat

pemanasan (Sudrajat 2007). Secara penerimaan terhadap kekenyalan bakso,

tepung porang bisa dijadikan alternatif untuk mengenyalkan bakso, karena panelis

memberikan respon kekenyalan yang sama.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penambahan tepung porang dengan taraf 1% dan 2% belum cukup untuk

menggantikan STPP sebagai pengenyal bakso, namun secara organoleptik cukup

disukai panelis. Penambahan tepung porang dapat meningkatkan kadar total serat

pangan dalam bakso daging sapi.

Saran

Saran dari penelitian ini adalah perlu dilakukan perlakuan lebih lanjut

terhadap penambahan tepung porang pada bakso dengan daging frozen (post-

rigor). Selain itu perlu juga diteliti mengenai interaksi antara tepung porang

dengan kelompok hidrokoloid lainnya terhadap mutu bakso daging sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW, Hendrick HB, Judge MD Merkel

RA. 2001. Principles of meat science. 4th Ed. Iowa (US): Kendall/Hunt

Publishing Company.

14

Akesowan A. 2012. Syneresis dan texture stability of hydrogel complexes

containing konjac Flour over Multiple Freeze-thaw Cycles. Life Sci J

2012:9(3)

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association Official Analytical

Chemistry. Virginia (US): Arlington

Arief II, Jenie BSL, Suryati T, Ayuningtyas G, Fuziawan A. 2012. Antimicrobial

activity of bacteriocin from indigenous Lactobacillus plantarum 2c12 and

its application on beef meatball as biopreservative. J.Indonesian

Trop.Anim.Agric. 37(2)

Asp NG, Schweizer TF, Southgate DAT, Thedaner O. 1992. Dietary Fiber

Analysis. In Dietary Fibre – a Component of Food. Nutritional Function in

Health dan Disease. Schweizer TF, CA Edwards, editor. London (UK):

RSC Paperbacks

Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wootton M. 2009. Ilmu Pangan.

Terjemahan: H Purnomo dan Adiono. Jakarta (ID): UI Pr

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995a. Bakso Daging SNI-01-3818-1995.

Jakarta (ID): BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995b. Bahan Tambahan Pangan. SNI 01-

0222-1995. Jakarta (ID) : BSN

Chin KB, Gob MY, Xiong YL. 2009. Konjac flour improved tekstural and water

retention properties of translutaminase-mediated, heat-induced porcine

myofibrilar protein gel: effect of salt level and translutaminase incubation. J.

Meat Sci. 81:565-572

Coultate TP. 2002. Food The Chemistry of its Components. Ed ke-4. London

(UK): RSC Paperbacks

Fardiaz D, N Danarwulan, HW Hariantono, NL Puspita. 1992. Teknik Analisis

sifat kimia dan fungsional komponen pangan. Pusat Antar Universitas

Pangan dan Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Hsu SY, Chung HY. 2001. Effects of κ-carrageenan, salt, phosphates and fat on

qualities of low fat emulsifed meatballs. J. Food Eng. 47:115-121

Iglesias-Otero MA, Borderias J, Tovar CA. 2010. Use of konjak glucomannan as

additive to reinforce the gels from low-quality squid surimi. J. Food Eng.

101:281-288

Iskandar A. 2003. Mempelajari pengaruh penambahan isolat protein kedelai

sebagai bahan pengikat terhadap mutu fisik dan organoleptik meat loaf

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kao WT, Lin KW. 2006. Quality of reduced-fat frankfurters modified by konjac-

starch mixed gels. J. of Food Sci. 71(4):326–332.

Keithley J, Swanson B. 2005. Glucomannan and obesity: a critical review.

Alternative Therapies. Vol.11 No.6

Kusndanar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Ed ke-5. Terjemahan: Prakassi, A. dan Y.

Amulia. Jakarta (ID): UI Pr.

Li B, Xie BJ, Kennedy JF. 2006. Studies on molecular chain morphology of

konjac glucomannan. J. Carbohydrate Poly. 64: 510-515

Lin KW, Huang HY. 2003. Konjac/gellan gum mixed gels improve teh quality of

reduced-fat frankfurters. Meat Sci. 65: 749-755

15

Liu J, Wang X, Ding Y. 2013. Optimization of adding konjac glucomannan to

improve gel properties of low-quality surimi. Carbohydrate Polymers 92 :

484-489

Martin FF, Cofrades S, Carballo J, Colmenero FJ. 2002. Salt dan phosphate

effects on the gelling process of pressure/heat treated pork batters. Meat Sci.

61:15–23

Muhibiddin. 2007. Mempelajari pengaruh penambahan jenis dan konsentrasi serat

terhadap mutu produk bakso sapi [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian

Bogor

Osburn WN, Keeton JT. 2004. Evaluation of low-fat sausage containing

desinewed lamb and konjac gel. Meat Sci. 68: 221-233

Penroj P, Mitchell JR, Hill SE, Ganjanagunchorn W. 2005. Effect of konjac

glucomannan deacetylation on the properties of gels formed from mixtures

of kappa carrageenan and konjac glucomannan. Carbohydrates Polymers,

59, 367 – 376

Putri AFE. 2009. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging sapi pada lama

postmortem yang berbeda dengan penambahan karagenan [skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor

Ranken MD. 2000. Water holding capacity of meat and its control them. And

Inc. 24: 1502

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): UGM Pr

Sudrajat G. 2007. Sifat fisik dan organoleptik bakso daging kerbau dengan

penambahan karagenan dan khitosan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor

Sumarwoto. 2007. Review: kandungan mannan pada tanaman iles-iles

(Amorphopahallus muelleri Blume.). J. Biotek. 4 (1): 28-32

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan

Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama

Setyaningsih D, A Apriyantono, MP Sari. 2010. Analisis Sensori untuk Industri

Pangan dan Agro. Bogor (ID): IPB Pr

Takigami S. (2000). Konjac Mannan. In: G. O. Phillips, P. A.Williams, editor.

Handbook of Hydrocolloids (hal. 413–424). Florida (US): CRC Pr

Unal SB, Erdogdu F, Ekiz HI. 2006. Effect of temperature on phosphate diffusion

in meats. J. Food Eng. 76 : 119–127

Usmiati S. 2009. Bakso sehat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Vol. 31: 6

Triki M, Herrero AM, Jimenez-Colmenero F, Ruiz-Capillas C. 2013. Effect of

preformed konjac gels, with and without olive oil, on the technological

attributes and storage stability of merguez sausage. J. Meat Sci. 93: 351-360

Tye RJ. 1991. Konjac flour: Properties and applications. J. Food Tech 45: 86-92

Wijdanarko SB, Sutrisno A, Faridah A. Efek hidrogen peroksida terhadap sifat

fisiko-kimia tepung porang (Amorphopallus oncophyllus) dengan metode

maerasi dan ultrasonik. J. Tekno Pertanian. Vol 12: No. 3 143-152

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor (ID): M-brio Pr

Wirakartakusuma MA. 1988. Aplikasi Instron UTM-1140. Pusat Pengembangan

Teknologi Pangan. IPB (ID): Bogor.

16

Xiong G, Cheng W, Ye L, Du X, Zhou M, Lin R, Geng S, Chen M, Corke H, Cai

YZ. 2009. Effects of konjac glucomannan on physicochemical properties

of myofibrillar protein and surimi gels from grass carp (Ctenopharyngodon

idella). Food Chem. 116 : 413-41

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis ragam daya serap air bakso

Db JK KT F P

Perlakuan 2 6.68 3.34 2.31 0.18

Galat 6 8.67 1.44

Total 8 15.35

Lampiran 2 Hasil analisis ragam aw bakso

db JK KT F P

Perlakuan 2 0.0000509 0.0000254 1.19 0.367

Galat 6 0.0001282 0.0000214

Total 8 0.0001791

Lampiran 3 Hasil analisis ragam pH bakso

db JK KT F P

Perlakuan 2 0.0001743 0.0000872 6.87 0.028

Galat 6 0.0000761 0.0000127

Total 8 0.0002504

Lampiran 4 Hasil analisis ragam kadar abu

db JK KT F P

Perlakuan 2 0.3271 0.1636 3.95 0.081

Galat 6 0.2486 0.0414

Total 8 0.5757

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta 17 Desember 1991. Penulis anak ketiga dari 4

bersaudara dari pasangan Bapak M. Faisal Usman dan Ibu Safigah Balweel.

Pendidikan formal penulis tempuh dimulai dari TK Al Ikhsan lulus tahun 1998,

berikutnya di SDN Pegangsaan Dua 05 pagi lulus tahun 2004, selanjutnya di

SMPN 123 Jakarta Utara lulus tahun 2007, SMAN 31 Jakarta Timur lulus tahun

2010. Penulis diterima masuk IPB melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada tahun 2010 di Departemen Ilmu Produksi

dan Teknologi Peternakan.

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengikuti organisasi Asrama

C4 TPB IPB sebagai Sekretaris Gedung periode 2010-2011, HIMAPROTER

Fapet IPB sebagai staf Peduli Pangan Peternakan periode 2011-2012, sebagai

ketua Club Ruminansia pada organisasi yang sama periode 2012-2013, UKM

Taekwondo IPB sebagai anggota, LPIF sebagai staf bidang kajian dan dakwah

periode 2011-2013, K-SPR sebagai ketua divisi kajian periode 2013-2014 dan

beberapa kepanitian. Selama menjalani perkuliahan penulis pernah melakukan

kegiatan magang di KPBS Pangalengan, Bandung pada tahun 2012, RPH Elders

Bogor pada tahun 2012, dan Tawakkal Farm Cimande, Bogor pada tahun 2013.

Kegiatan turun lapang yang pernah penulis lakukan IPB Goes to Field di

kabupaten Bondowoso, Jawa Timur tahun 2013, pendamping peternak di

Kecamatan Jonggol, Bogor tahun 2013-2014, serta KSPR Goes to Bojonegoro

tahun 2014. Penulis juga dipercaya untuk menjadi asisten praktikum beberapa

mata kuliah yaitu Teknik Pengolahan Daging di tahun 2013, Teknik Pengolahan

Susu, dan Metode Penelitian dan Rancangan Percobaan di tahun 2014.

Prestasi yang pernah penulis raih selama menjadi mahsiswa yaitu Program

Kreatifitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan didanai DIKTI tahun 2012, juara 1

(tim) karya tulis ilmiah peternakan Fapet IPB tahun 2012, juara 2 (tim) karya tulis

ilmiah pergerakan pemuda Fordi Mapelar UNBRAW tahun 2012. Tugas akhir

dalam pendidikan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi berjudul

“Karakteristik Fisik Kimia dan Organoleptik Bakso Daging Sapi dengan

Penambahan Tepung Porang (Amorpophallus oncophyllus)”.