jurnal neuro sip

34
Evaluasi Kritis terhadap Obat Antiepileptik pada Wanita Hamil dengan Epilepsi di Hongaria Andrew E Czeizel* dan Ferenc Banhidy Komisi Perlindungan Penyakit Menurun, Budapest, Hongaria, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Semmelweis, Budapest, Hongaria Abstrak: Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,3-0,6% pada wanita hamil di mana hal tersebut mempertinggi kejadian kelainan struktural, seperti abnormalitas kongenital (AK) pada anak. Terdapat empat tujuan penyusunan review ini, berdasarkan data populasi yang dihimpun oleh Komisi Penanggulangan Abnormalitas Kongenital Hongaria, mulai tahun 1980-1996 dengan validitas yang baik dalam mendiagnosis AK. (I) Sebagian besar studi tentang efek teratogenik/fetotoksik dari obat antiepileptik menghasilkan sampel yang terlalu kecil sehingga menjadi kurang meyakinkan. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap penemuan-penemuan yang berbeda dalam studi bersama sehingga mampu menghasilkan kesimpulan yang signifikan. Berikut adalah data yang berhasil dihimpun: dari 22.843 kasus, 95 (0,42%) di antaranya mengkonsumsi obat antiepileptik dan dari 38.151 kasus kontrol tanpa AK, 90 (0,24%) memiliki riwayat ibu yang pernah menderita epilepsi. (II) Hongaria memiliki spektrum obat antiepileptik yang berbeda dengan kebanyakan negara Barat. Oleh karena itu, evaluasi tentang potensi teratogenik yang tidak terdeteksi

Upload: nur-maslahah

Post on 24-Nov-2015

70 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

anti epilepsi

TRANSCRIPT

Evaluasi Kritis terhadap Obat Antiepileptik pada Wanita Hamil dengan Epilepsi di HongariaAndrew E Czeizel* dan Ferenc Banhidy

Komisi Perlindungan Penyakit Menurun, Budapest, Hongaria,Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Semmelweis, Budapest, Hongaria

Abstrak: Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,3-0,6% pada wanita hamil di mana hal tersebut mempertinggi kejadian kelainan struktural, seperti abnormalitas kongenital (AK) pada anak. Terdapat empat tujuan penyusunan review ini, berdasarkan data populasi yang dihimpun oleh Komisi Penanggulangan Abnormalitas Kongenital Hongaria, mulai tahun 1980-1996 dengan validitas yang baik dalam mendiagnosis AK. (I) Sebagian besar studi tentang efek teratogenik/fetotoksik dari obat antiepileptik menghasilkan sampel yang terlalu kecil sehingga menjadi kurang meyakinkan. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap penemuan-penemuan yang berbeda dalam studi bersama sehingga mampu menghasilkan kesimpulan yang signifikan. Berikut adalah data yang berhasil dihimpun: dari 22.843 kasus, 95 (0,42%) di antaranya mengkonsumsi obat antiepileptik dan dari 38.151 kasus kontrol tanpa AK, 90 (0,24%) memiliki riwayat ibu yang pernah menderita epilepsi. (II) Hongaria memiliki spektrum obat antiepileptik yang berbeda dengan kebanyakan negara Barat. Oleh karena itu, evaluasi tentang potensi teratogenik yang tidak terdeteksi menjadi poin penting. (III) Efektivitas perawatan medik terhadap wanita hamil dengan epilepsi yang dikenalkan semenjak 1990 secara holistik dipertahankan. Tidak didapatkan peningkatan yang signifikan pada proporsi monoterapi, akan tetapi kasus AK menurun rata-rata 20% pada tahun 1990 dibandingkan dengan tahun 1980. (IV) Asam folat berpotensi menurunkan potensi teratogenik pada beberapa obat antiepileptik meskipun analisis ini berseberangan dengan kenyataan di mana asam folat lebih jarang diberikan pada wanita hamil dengan epilepsi dibandingkan dengan wanita hamil tanpa epilepsi.

Kata kunci: epilepsi, obat antiepileptik, kehamilan, kongenital, abnormalitas, fenitoin, karbamazepin, valproat, primidone, sultiame, diazepam, fenobarbital.

PENDAHULUAN

Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak yang ditandai dengan kejang yang berlangsung periodik dan tidak terprediksi. Epilepsi diklasifikasikan sebagai kejang generalisata atau fokal maupun parsial (dengan atau tanpa kejang generalisata). Di samping itu, kejang generalisata dapat dibagi menjadi absence, myoklonik, atonik, atau tonik-klonik.Epilepsi adalah satu dari sebagian besar studi penyakit maternal selama kehamilan. Penjelasannya adalah sebagian besar epilepsi memiliki onset awal sehingga terdeteksi pada 0,3-0,6% wanita hamil. Pertama kalinya, Janz dan Fuchs pada tahun 1964 memeriksa 262 wanita hamil untuk mengetahui apakah obat antiepileptik cukup berbahaya ketika diberikan selama kehamilan. Namun, mereka tidak menemukan hubungannya dengan kelainan struktural saat lahir, seperti abnormalitas kongenital pada anak-anak mereka. Oleh karena itu, pada tahun 1968 Meadow menemukan tingginya risiko bibir sumbing (labial cleft) pada anak dari wanita hamil penderita epilepsi dipengaruhi oleh obat antiepileptik yang dikonsumsi ibu. Terakhir kali, risiko lebih tinggi terjadinya AK pada wanita hamil penderita epilepsi telah dikonfirmasi dengan beberapa studi serta dilengkapi dengan anomali minor, seperti tulang nasal yang rendah, hipoplasia digital distal, dan defek fungsional (contoh: retardasi mental). Terjadi perdebatan panjang tentang apakah semakin tingginya risiko ini berkaitan dengan epilepsi (predisposisi genetik atau efek adversal dari kejang), obat antiepileptik, faktor lain (contoh: gaya hidup), atau interaksi mereka. Oleh karena itu, Holmes dkk menunjukkan bahwa wanita hamil dengan riwayat epilepsi namun tanpa pengobatan antiepileptik selama kehamilan ternyata tidak berisiko lebih tinggi terhadap kejadian anomali kongenital meskipun secara ragu-ragu dinyatakan bahwa wanita yang tidak diobati dikhawatirkan terkena epilepsi lebih parah.Terdapat lima observasi dasar pada wanita hamil penderita epilepsi:(I) Pada pemilihan obat antiepileptik pada wanita hamil, tipe epilepsi menjadi faktor yang paling penting, diikuti dengan efek teratogenik pada obat antiepileptik yang berbeda. Namun, beberapa faktor lain (misal: durasi kejang-pulih sebelumnya, penyakit lain) juga dapat dipertimbangkan.(II) Anomali kongenital tertentu seperti labiopalatoschisis, palatoschisis, kelainan kardiovaskuler, dan hipospadia memiliki risiko lebih tinggi setelah penggunaan obat antiepileptik dan kombinasinya, serta anomali kongenital lain dapat menimbulkan sindrom anomali kongenital, seperti fetal hydantoin/dilantin/fenitoin, fetal trimethadone, dan sindrom fetal valproate dengan beberapa kesamaan meskipun beberapa perbedaan risiko teratogenik dari obat antiepileptik yang berbeda juga ditemukan. Jadi, obat antiepileptik yang dengan kemungkinan teratogenik lebih rendah seharusnya dipilih dan disarankan untuk mengobati wanita hamil penderita epilepsi.(III) Risiko anomali kongenital pada anak-anak dari wanita hamil dengan monoterapi 2,8 (1,1-9,7) kali lebih tinggi, sementara pada politerapi 4,2 (1,1-5,1) lebih tinggi (Kallen et al, 2011). Penemuan ini dikonfirmasi oleh metanalisis dari register kehamilan dan kohort yang berkaitan dengan kejadian anomali kongenital pada anak dari wanita dengan atau tanpa paparan obat antiepileptik, serta dibandingkan dengan anak yang lahir dari wanita tanpa epilepsi. Jadi, penggunaan monoterapi menjadi sebuah prinsip penting dalam terapi epilepsi pada wanita hamil.(IV) Semakin tinggi dosis obat antiepileptik dihubungkan dengan semakin tingginya risiko anomali kongenital yang spesifik. Namun, kejang selama kehamilan juga berkaitan dengan semakin meningkatnya risiko anomali kongenital, termasuk perdarahan intracranial, anomali denyut jantung, dll. Jadi, wanita hamil penderita epilepsi memerlukan obat antiepileptik dengan dosis efektif terendah.(V) Hubungan antara epilepsi dan kehamilan merupakan sebuah variabel. Sekitar 45% dari wanita hamil memiliki risiko lebih tinggi mengalami kejang dan sekitar 5% dikaitkan dengan frekuensi kejang yang menurun. Jadi, sekitar 50% wanita hamil dapat berisiko menderita epilepsi. Semakin tingginya risiko kejang mampu menjelaskan bahwa kadar obat antiepileptik dalam serum secara umum mempengaruhi kehamilan. Walaupun demikian, peningkatan dosis obat antiepileptik dibutuhkan selama kehamilan untuk mempertahankan efektivitas obat antiepileptik.Terdapat empat tujuan penulisan review ini, dengan pengalaman sekelompok populasi, berdasarkan data yang secara luas dihimpun oleh Komisi Pengendalian Abnormalitas Kongenital Hongaria antara tahun 1980 sampai 1996.(I) Sebagian besar studi tentang efek teratogenik/fetotoksik dari obat antiepileptik memiliki jumlah sampel terlalu kecil meskipun risiko telah diminimalkan. Dengan demikian, data-data dari studi yang berbeda dapat dievaluasi bersama untuk memunculkan kesimpulan yang saling berkait. Menurut pandangan Komisi Pengendalian Abnormalitas Kongenital Hongaria, epilepsi maternal, dengan atau tanpa obat antiepileptik selama kehamilan secara prospektif dan secara medis dicatat dalam logbook maternitas prenatal dan hal ini menjadi diagnosis valid dari anomali kongenital. Dengan demikian, set data tersebut berkaitan dengan analisis lebih lanjut.(II) Hongaria termasuk dalam bagian dari Eropa Timur, di mana spektrum obat antiepileptik cukup berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa Barat. Dengan demikian, adanya data ini dapat membantu mengevaluasi potensi teratogenik dari beberapa obat antiepileptik yang jarang diketahui.(III) Perawatan medik khusus bagi wanita hamil penderita epilepsi dikenalkan pada klinik-klinik sentral di Hongaria pada tahun 1990. Dengan demikian, cukup mudah mengecek kemungkinan efektivitas dari perawatan epilepsi pada wanita dengan memanfaatkan mono dan politerapi, yang juga dikerjakan pada anomali kongenital yang berlainan.(IV) Penggunaan asam folat atau asam folat ditambah multivitamin dapat menurunkan insidensi defek neural tube dan beberapa anomali kongenital lain. Disamping itu, tulisan terbaru dari Kjaer dkk, berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi Pengendalian Abnormalitas Kongenital Hongaria menunjukkan bahwa asam folat mampu mereduksi potensi teratogenik dari beberapa obat antiepileptik. Dengan demikian, pertanyaannya adalah apakah asam folat lantas digunakan lebih sering pada wanita hamil penderita epilepsi dibandingkan dengan wanita hamil lain?

METODOLOGI

Subjek PenelitianKasus-kasus anomali kongenital diseleksi dari set data yang dihimpun Komisi Pengendalian Abnormalitas Kongenital Hongaria. Catatan penting mengenai anomali kongenital dikumpulkan mulai saat lahir sampai akhir tahun pertama postnatal. Sebagian besar kasus dilaporkan oleh dokter kandungan dan dokter anak. Otopsi juga merupakan kewajiban untuk dikerjakan pada setiap janin lahir mati dan seringkali terjadi pada masa fetus selama periode penelitian. Dokter forensik mengirimkan salinan laporan otopsi jika gangguan didapatkan pada kematian janin atau bayi. Sejak tahun 1984, defek pada fetus yang didiagnosis di pusat diagnosis prenatal, dengan atau tanpa terminasi kehamilan juga dimasukkan ke dalam catatan.Dua kategori utama kasus anomali kongenital dibedakan menjadi: isolated (hanya 1 organ yang terganggu) dan multiple (kejadian 2 atau lebih anomali dengan sedikitnya 2 sistem organ yang berbeda). Prevalensi total (kelahiran + masa fetal) untuk anomali kongenital didiagnosis dari trimester ke-2 selama 1 tahun, didapatkan 35 kasus per 1000 kasus (bayi lahir hidup, bayi prematur, dan terminasi paksa) semenjak tahun 1980-1996 dan sekitar 90% kasus anomali kongenital direkam serta masuk ke dalam catatan selama 17 tahun periode penelitian.Kasus kontrol didefinisikan sebagai bayi baru lahir tanpa anomali kongenital dan diseleksi dari catatan kelahiran nasional dari kantor pusat statistic nasional. Umumnya, dua kasus kontrol dihubungkan dengan setiap kasus berdasarkan jenis kelamin, minggu kelahiran pada tahun dimana bayi lahir, serta tempat tinggalnya.

Pengumpulan dan Pemilahan DataTiga sumber data berikut telah dievaluasi.(1) Rekaman data medis prospektifIbu ditanya dengan surat penjelasan dan mengirimkannya ke logbook maternitas prenatal, serta rekaman medis lain secara khusus menginformasikan penyakit yang diderita ibu selama kehamilan dan anak mereka yang menderita anomali kongenital. Perawatan prenatal adalah keharusan bagi wanita hamil di Hongaria (jika seseorang tidak menjalani perawatan prenatal, dia tidak akan mendapat jaminan kesehatan anak). Dengan demikian, setidaknya 100% wanita hamil menjalani perawatan prenatal sebanyak 7 kali selama kehamilan. Kedatangan pertama adalah pada umur 6-12 minggu. Tugas dari dokter kandungan adalah merekam semua komplikasi kehamilan, penyakit maternal (contoh: epilepsi) dan peresepan obat ke dalam logbook.(2) Metode retrospektifKuesioner terstruktur dengan daftar produk-produk medis (obat dan suplemen kehamilan) dan penyakit, ditambah lembar informed consent dikirimkan kepada para ibu sesegera mungkin setelah melalui seleksi kasus serta kasus kontrol. Kuesioner tersebut menggali informasi tentang komplikasi kehamilan dan penyakit-penyakit maternal, produk-produk medis yang digunakan selama kehamilan berdasarkan periode (bulan) gestasional dan pada riwayat anomali kongenital keluarga. Untuk menstandarkan jawaban, para ibu diminta untuk membaca dan menyertakan daftar produk medis (termasuk obat antiepileptik) dan penyakit-penyakit yang diingat sebelum akhirnya mereka (para ibu) mengisi kuesioner.Rata-rata + S.D. waktu antara kelahiran atau terminasi kehamilan, dan kembali pada paket informasi (kuesioner, logbook, kesimpulan, dan lembar informed consent) adalah berkisar antara 3,5 + 1,2 dan 5,2 + 2,9 bulan pada kelompok kasus dan kelompok kontrol.(3) Pelengkapan dataPara perawat setempat diiperintahkan untuk mengunjungi semua ibu non-responden di rumah mereka dan membantu mereka mengisi kuesioner yang sama dan mengevaluasi rekam medis yang tersedia. Di samping itu, pertanyaan terkait riwayat merokok dan konsumsi minuman keras melalui wawancara dengan ibu dan saudara dekat yang tinggal satu rumah. para perawat setempat mengunjungi sekitar 200 non-responden dan 600 responden kontrol dalam 2 uji validasi dengan metode yang sama agar pemeriksaan ini tidak menganggu kesehatan orangtua dari semua anak sehat.Secara keseluruhan, informasi penting tersedia pada 96,3% dari kasus (84,4% dari balasan surat, 11,9 dari kunjungan perawat) dan 83% dari kelompok kontrol (81,3% dari balasan surat, 1,7% dari kunjungan perawat).Data selama 17 tahun milik Komisi Pengendalian Abnormalitas Kongenital Hongaria dari tahun 1980-1996 perlu dievaluasi karena pengumpulan data telah diubah sejak 1997 (semua ibu dikunjungi oleh perawat setempat dan data terbaru belum divalidasi pada waktu analisis).

Kriteria Diagnosis EpilepsiDokter di Hongaria mengikuti rekomendasi internasional untuk mendiagnosis epilepsi, jadi didasarkan pada symptom klinik, EEC, dan pemeriksaan lain. Pada langkah pertama dari analisis kami, kami memilih semua wanita hamil yang terdiagnosis epilepsi, dengan atau tanpa obat antiepileptik. Pada langkah kedua, kami membedakan wanita hamil berdasarkan sumber informasi: (i) rekam medik epilepsi , dengan atau tanpa obat antiepileptik yang tertulis pada logbook atau kesimpulan kuat yang menunjukkan hospitalisasi wanita hamil; (ii) epilepsi, dengan atau tanpa terapi obat antiepileptik berdasarkan informasi maternal. Dalam praktiknya, semua epilepsi maternal, dengan atau tanpa obat antiepileptik dicatat oleh dokter kandungan pada logbook maternitas prenatal (hanya 2 wanita hamil yang dilaporkan dengan status epilepsinya tanpa terapi dalam kuesioner, epilepsi pada wanita itu tidak dicatat pada logbook, oleh karenanya 2 wanita tersebut ditetapkan sebagai data eksklusi dalam penelitian ini). Pada umumnya, tipe epilepsi tidak disebut dalam logbook maternitas prenatal.Obat antiepileptik juga dievaluasi pada rekam medik di logbook maternitas prenatal. Faktor potensial penentu lain, termasuk umur maternal, kelahiran dan kehamilan, perkawinan, dan status pekerjaan sebagai indikator status sosioekonomi karena menunjukkan korelasi yang baik dengan tingkat pendidikan dan pendapatan, penyakit maternal lain, dan terapi obat terkait. Sebagai tambahan, suplemen kehamilan seperti asam folat dan multivitamin sebagai indikator prekonsepsional dan perawatan prenatal, serta kemungkinan efek preventif untuk beberapa anomali kongenital. Hanya 1 tipe 3 mg (tablet asam folat yang tersedia di Hongaria selama periode penelitian). Tiga asam folat yang paling sering digunakan adalah asam folat yang mengandung kombinasi mikronutrien yang juga disebut multivitamin, dengan nama Elevit prenatal (55,3%; mengandung 0,8 mg asam folat), Materna (39,0% mengandung 1 mg asam folat), dan Polyvitaplex-10 (2,9%; mengandung 0,1 mg asam folat) selama periode penelitian.Data kemudian dianalisis dengan versi SAS 8.02 (SAS Institute Inc, Cary, North Carolina, USA) telah dideskripsikan sebelumnya.Tabel 1. Rangkuman karakteristik kasus kontrol itu dengan epilepsi, dengan tambahan ibu tanpa epilepsi. Ibu dengan epilepsi lebih muda dibandingkan dengan ibu non-epileptik. Rata-rata usia kelahiran sama pada subjek kontrol, dengan atau tanpa epilepsi. Sementara itu rata-rata usia kelahiran lebih rendah pada ibu dengan epilepsi dibandingkan dengan ibu non-epilepsi. Perbedaan antara rata-rata usia kelahiran dan kehamilan adalah 0,2 pada wanita non-epileptik, namun lebih besar pada kontrol positif (0,3) dan khususnya pada kelompok kasus epilepsi (0,4). Perbedaan ini mengindikasikan lebih tingginya rata-rata abortus sebelumnya pada ibu dengan epilepsi. Proporsi wanita epilepsi yang tidak menikah itu lebih besar dengan status sebagai pegawai yang terampil dan professional yang lebih rendah.

HASILDari 22.843 kasus anomali kongenital, 95 (0,42%) memiliki ibu dengan riwayat epilepsi. Sementara itu 38.151 kasus kontrol tanpa anomali kongenital, 90 (0,24%) memiliki ibu dengan riwayat epilepsi pada logbook maternitas prenatal (OR with 95% CI: 1,8, 1,3-2,4).Dari 95 kasus positif dan 90 kasus kontrol, 6 (6,3%) dan 5 (5,6%) memiliki onset epilepsi selama studi kehamilan. Dari 6 ibu ini, 5 orang memiliki onset pada epilepsi gestasional pada bulan ketiga dan pada bulan gestasional kelima, sementara itu 5 dari kelompok kontrol, 1,3,1 memiliki onset epilepsi pada bulan kedua, ketiga, dan kelima.Kegunaan asam folat lebih rendah pada ibu penderita epilepsi dibandingkan dengan non-epileptik, khususnya pada ibu dengan kasus epilepsi. Sekitar 2/3 wanita hamil penderita epilepsi tercatat dosis asam folat yang dikonsumsi dan 91% dari wanita ini mengkonsumsi 1 tablet asam folat per hari (3 mg) mulai kunjungan pertama pada perawatan prenatal, sementara itu proporsi untuk 1,2, dan 3 tablet asam folat per hari menjadi 22,5%, 68,6%, dan 8,9% pada wanita hamil non-epileptik. Oleh karena itu, dosis estimasi harian menjadi 5,6 mg. pemahaman seperti tersebut di atas dianut oleh 12% penduduk Hongaria yang sedang hamil. Suplementasi asam folat dengan multivitamin cukup jarang dan kejadiannya tidak menunjukkan perbedaan signifikan di antara kelompok-kelompok penelitian. Sekitar 98% wanita hamil menggunakan 1 tablet multivitamin sehingga estimasi dosis asam folat per hari adalah 0,85 mg. Pemakaian besi, kalsium, vitamin D juga jarang diberikan pada ibu penderita epilepsi.Dari 2640 wanita hamil yang dikunjungi di rumah, 12 orang (0,45%) adalah penderita epilepsi dan di antara mereka ada 4 orang (33,3%) merokok selama penelitian. Sementara itu, dari 2628 wanita hamil tanpa epilepsi, 568 (21,6%) merokok. Dari 800 wanita hamil yang dikunjungi di rumah, 152 (19,0%) merokok selama penelitian. Proporsi regular dan peminum (miras) berat tidak menunjukkan perbedaan signifikan di antara kelompok-kelompok penelitian.Di antara kelompok-kelompok penyakit akut, hanya penyakit sistem digestif yang terjadi lebih sering, baik pada kasus epilepsi pada ibu (8,4% vs 0,9%) dan ibu yang menjadi kontrol epilepsi (7,8% vs 0,7%) dibandingkan kasus non-epileptik dan kasus kontrol. Dapat pula dikatakan bahwa dari 8 kasus ibu dengan epilepsi, 7, dan dari 7 kontrol epilepsi, 6 orang mengalami kolesistisis. Perbandingan dari penyakit-penyakit kronik yang berbeda menunjukkan prevalensi lebih tinggi mengalami migrain, baik pada kasus epilepsi (4,2% vs 2,5%) dan kontrol epilepsi (3,3% vs 1,9%).Evaluasi dari komplikasi kehamilan menunjukkan bahwa kejadian pre-eklampsia lebih tinggi pada ibu dengan kasus epilepsi (5,3% vs 2,9%), namun perbedaan ini tidak signifikan pada ibu yang menjadi kontrol epilepsi (3,3% vs 3,0%) dibandingkan dengan ibu yang menjadi kontrol non-epileptik.Tujuan utama dari analisis ini adalah evaluasi tentang efek potensi teratogenik dari obat antiepileptik. Pada umumnya, dosis suplementasi dari obat antiepileptik digunakan pada wanita hamil. Tabel 2 menyimpulkan perkiraan hubungan antara epilepsi maternal dan anomali kongenital (termasuk di dalamnya paling sedikit 3 kasus). Namun, wanita hamil dengan epilepsi dibedakan menjadi 3 golongan: (i) tanpa treatment, (ii) monoterapi obat antiepileptik, (iii) politerapi obat antiepileptik.Data kami mengkonfirmasi semakin tingginya risiko cleft labialis + palatum, cleft palate, anomali kongenital kardiovaskuler, dan semakin tingginya hipospadia. Namun, semakin tingginya atresia/stenosis esofageal juga ditemukan meskipun hubungan ini telah didasarkan hanya pada 3 kasus. Oleh karena itu, total kejadian anomali kongenital juga semakin tinggi. sepuluh ibu yang menjadi kontrol epilepsi dan 12 kasus ibu epilepsi tercatat tanpa obat antiepileptik selama kehamilan. Lima anomali kongenital yang berbeda di antara 12 kasus ibu dengan epilepsi tanpa obat antiepileptik, hanya anomali kongenital kardiovaskuler menunjukkan beberapa hubungan dengan epilepsi maternal. Oleh karena itu, odds ratio dari 95% CI adalah 1,5, 0,7-3,4 untuk total kelompok anomali kongenital.

Tabel 2 juga merangkum perkiraan hubungan epilepsi ibu dengan AK yang berbeda pada keturunan mereka sesuai dengan mono dan politerapi yang dijalani. Dari 95 wanita hamil yang menderita epilepsi, 41 di antaranya diberikan terapi dengan 1 AED, dan monoterapi ini terkait dengan risiko tinggi atresia/stenosis esophagus (berdasarkan 2 kasus). Namun, penting untuk disebutkan bahwa tidak ada risiko yang lebih tinggi secara signifikan untuk keseluruhan kelompok AK dan AK tertentu yang lain. Keturunan dari 42 wanita hamil penderita epilepsi dengan politerapi memiliki risiko tinggi terkena labiopalatoschisis, palatoschisis, kelainan jantung bawaan, dan kelainan bawaan multipel, sehingga risiko total AK menjadi 2,4 lipat lebih tinggi.

Tabel 3 menunjukkan distribusi secara numerik dari AK yang berbeda sesuai dengan AED yang digunakan sebagai monoterapi. Dari 8 kasus dengan kelainan jantung bawaan, 4 ibu menggunakan terapi carbamazepin, sementara 3 lainnya diterapi dengan fenitoin. Dari 7 kasus dengan hipospadia, 4 ibu mendapat terapi valproate dan 2 diterapi dengan fenitoin. Dari 6 kasus dengan undesended testis, 3 diantaranya memiliki ibu penderita epilepsi yang mendapat terapi fenitoin. Dari 4 kasus dengan defek neural tube, 2 di antaranya memiliki ibu yang diterapi dengan carbamazepin, 1 dengan fenitoin, dan 1 dengan terapi valproate. Akan tetapi, penemuan yang mengesankan adalah angka kejadian labiopalatoschisis dan palatoschisis rendah setelah mendapatkan monoterapi.Kombinasi AED yang berbeda pada politerapi ditunjukkan pada tabel 4. Kombinasi yang paling banyak muncul adalah primidone, fenitoin, dan carbamazepine dikombinasi dengan diazepam dan sultiame. Fenitoin dan diazepam dipakai lebih sering sebagai politerapi untuk kelompok labiopalatoschisis. Menariknya, palatoschisis menunjukkan pola yang berbeda karena carbamazepin adalah komponen yang umum dipakai pada politerapi. Komponen yang paling banyak muncul dalam politerapi adalah primidone dan fenitoin dalam kelompok kelainan jantung bawaan dengan kelainan yang nyata muncul adalah defek katup ventricular. Dalam kelompok defek neural tube, valproate dan primidone merupakan komponen dalam politerapi. Dalam kelompok hipospadia, diazepam dan valproate merupakan komponen yang utama dalam politerapi. Beberapa obat seperti clonazepam, mefenitoin, morsuximide, fenacemide, dan sultiame digunakan hanya dalam politerapi untuk kasus ibu-ibu penderita epilepsi.

Komponen AK dari 5 kasus multimalformasi ditunjukkan dalam tabel 5. Dari 3 kasus multimalformasi, 3 memiliki celah orofacial dan 2 ibu mendapat terapi fenitoin dan primidone. Tambahannya, labiopalatoschisis dan palatoschisis berhubungan dengan microtia pada 2 kasus multimalformasi, kedua ibu mendapat terapi primidone. Dan akhirnya, terdapat sindrom valproate-AK dalam 1 kasus melibatkan spina bifida dan hipospadia.Kombinasi efek dari AED yang berbeda baik mono maupun politerapi ditunjukkan dengan efek teratogenik dari valproate, fenitoin, dan primidone. Tambahan data yang ada mengindikasikan adanya efek teratogenik dari sultiame (sesuai OR 95% CI: 5,7, 1,6-14,4) dalam politerapi ketika efek AED yang lain dianggap. Namun demikian, risiko dari carbamazepin tidak mencapai level yang secara signifikan (OR 95% CI 1,9, 0,9-4,3). Angka ibu hamil dengan terapi trimethadion terlalu kecil untuk dievaluasi. Data di Hungaria tidak mengkonfirmasi hubungan antara fenobarbital (OR with 95% CI: 1.3, 0.6-2.6) dan diazepam (OR with 95% CI: 1.1, 0.7-1.7) dengan risiko AK.Langkah selanjutnya, akan dibandingkan data-data dari AK yang berbeda pada keturunan dari wanita penderita epilepsi tanpa terapi AED, dengan mono dan politerapi antara tahun 1980-1989 dan 1990-1996 (Tabel 6). Tidak terdapat perubahan yang signifikan pada karakteristik maternal dari ibu-ibu penderita epilepsi berdasarkan penelitian di dua periode yang berbeda. Jumlah mono dan politerapi adalah 28:31 antara tahun 1980 dan 1989 sementara rasio antara tahun 1990 dan 1996 adalah 13:11 dimana tidak ada penurunan yang signifikan dalam proporsi politerapi (p=0,58). Terdapat penurunan dalam total tingkat AK dari 0,44% hingga 0,36%, penurunannya sekitar 20% dan penurunan ini tampak setelah mono dan terutama politerapi pada periode kedua dari penelitian. Hal ini berhubungan dengan berkurangnya kasus palatoschisis pada periode kedua.

Perbandingan penggunaan AED yang berbeda antara 2 periode penelitian (Tabel 7) menunjukkan penggunaan carbamazepin dan valproate meningkat sementara penggunaan fenitoin sebagai monoterapi menurun. Di sisi lain, data ini mengindikasikan bahwa terjadi pengurangan penggunaan politerapi dalam mengontrol epilepsi pada ibu hamil.

Kami juga meneliti penggunaan asam folat selama kehamilan (Tabel 8). Terdapat peningkatan penggunaan asam folat pada kelompok kontrol ibu non-epilepsi sebanyak 5% dari tahun 1980-1989 hingga tahun 1990-1996 sementara peningkatan pada kelompok kasus ibu non-epilepsi hanya sebanyak 1,6%. Penggunaan asam folat menunjukkan pola berbeda dari ibu epilepsi kelompok kontrol dan kelompok kasus. Terdapat peningkatan penggunaan asam folat sebanyak 20% pada ibu epilepsi kelompok kontrol dengan mono- dan politerapi, sementara pada kelompok kasus menunjukkan peningkatan yang tipis yaitu sebanyak 4% dimana ada 2 kecenderungan yang berlawanan, yaitu ibu epilepsi dengan monoterapi memiliki kecenderungan penggunaan asam folat lebih rendah jika dibandingkan dengan ibu epilepsi dengan politerapi.

DISKUSIPengamatan prevalensi ibu hamil dengan epilepsi pada populasi besar dari HCCSCA berhubungan dengan angka yang diharapkan berdasarkan publikasi internasional.Beberapa penemuan umum mengenai wanita hamil dengan epilepsi dirangkum: (i) wanita hamil dengan epilepsi berusia lebih muda (ii) dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah berdasarkan pekerjaan mereka (iii) dengan tingkat yang lebih tinggi dari keluarga yang statusnya belum menikah (sekitar 5% dari wanita Hungarian yang hamil selama periode penelitian), (iv) dengan tingkat merokok yang tinggi dan (v) angka kejadian abortus yang tinggi pada kehamilan sebelumnya. (vi) di samping itu, kolesistitis dan migren sering muncul pada wanita hamil dengan epilepsi. (vii) risiko pre-eklampsia lebih tinggi pada ibu epilepsi yang memiliki cacat janin, sehingga interaksi janin dan ibu tidak dapat dikecualikan dalam asal-usul pre-eklamsia.

Secara umum, pola utama dari AK pada anak-anak dari ibu hamil dengan epilepsi yang diobati dengan AED juga mirip dengan penemuan yang diterbitkan sebelumnya, misalnya monoterapi dikatakan lebih baik dibandingkan politerapi dalam hal teratogenitas dari AED. Di antara AK hanya atresia/stenosis esophagus dengan atau tanpa fistula trakeo-esofageal yang menunjukkan risiko yang tinggi setelah monoterapi (clomethiazol dan ethosuximide), namun ini hanya didasarkan pada dua kasus. Sebelumnya, fenitoin dan risiko lebih tinggi kemungkinan atresia/stenosis esophagus dipubilkasikan berdasarkan percobaan pada hewan[33] dan penelitian di Swedia menunjukkan bahwa risiko lebih tinggi kemungkinan atresia anus berdasarkan 4 kasus tetapi 2 di antaranya juga memiliki atresia esophagus. [13]Risiko yang lebih tinggi untuk total AK ditemukan setelah politerapi yang terutama labiopalatoschisis, palatoschisis, kelainan jantung bawaan, dan multipel AK.Phenobarbital merupakan obat sistentis pertama yang digunakan untuk pengobatan antiepilepsi pada 1912. Kemudian diperkenalkan obat-obatan anti epilepsi baru dalam pengobatan seperti fenitoin (1938) dan primidone (1952) dan diikuti dengan beberapa jenis obat antiepilesi baru dalam 50 tahun terakhir: diazepam (benzodiazepine) pada tahun 1963, (sebuah derivat iminostilben) pada tahun 1974, valproat (2-propylvaleric acid) pada tahun 1978 dan lamotrigine (derivat feniltriazin) pada tahun 1994, tetapi baru dipasarkan di Hungaria pada tahun 1997.Efek yang tidak diharapkan pertama kali dilihat pada pemakaian fenitoin dan trimetadion. Pemakaian obat tersebut dapat menginduksi fetal hydantoin syndrome (34-36) dan fetal trimethadione syndrome (37-38). Data Hungaria sebelumnya juga mengonfirmasi hal ini (39-41), sehingga trimethadione ditarik dari pasaran.Belakangan ditemukan hubungan antara pemakaian asam valproat/valproat dengan peningkatan risiko spina bifida (42-43), namun ditemukan bahwa valproat juga dapat mengakibatkan fetal valproate syndrome. Kemudian ditemupan pula bahwa valproat berhubungan dengan angka kejadian retardasi mental yang tertinggi diantara pemakaian obat antiepilepsi lain. Data pada warga Hungaria menunjukkan adanya hubungan antara kejadian spina bifida pada 2 kasus pemakaian politerapi dengan valproat, dan satu kasus dengan monoterapi valproat. Terdapat juga 4 kasus hipospadi setelah pemakaian monoterapi valproat, terdapat kasus multimalformasi yang terjadi hipospadi sekaligus spina bifida.Carbamazepin dapat mengakibatkan risiko spina bifida walaupun rendah (46-47), anak dari ibu yang menjalani pengobatan memiliki rata-rata lingkar kepala yang lebih kecil (48) namun hal ini tidak berhubungan dengan peningkatan risiko retardasi mental (45). Karena hal ini Carbamazepin dimasukkan ke dalam obat anti epilepsi yang memiliki efek teratogenik rendah: 2.2 (1.1-4.6) (49) dan 1.8 (0.8-3.7) (50). Dalam data yang penulis miliki, pernah didapatkan 2 kasus defek neural tube pada pemakaian carbamazepin sebagai monoterapi dan 1 kasus defek pada pemakaian politerapi dengan valproat, pernah juga didapatkan kelainan kongenital pada sitema kardiovaskuler setelah pemakaian monoterapi carbamazepin namun tidak didapatkan hubungan antara keduanya, karena pernah ditemukan penemuan serupa pada studi lain.Pirimidone juga ditemukan memiliki efek teratogenik [40,52]. Ditemukan juga efek teratogenik pada sultiamine, sebuah obat anti epilepsi inhibitor carbonic anhydrase [40], walaupun obat ini hanya digunakan pada politerapi.Efek teratogenik pada diazepam dan fenobarbital sampai saat ini masih diperdebatkan. Terdapat peningkatan risiko kelainan kongenital pada anak dari wanita dengan pengobatan fenobarbital [53], namun hal ini tidak ditemukan pada studi lain [50,54]. Penting untuk membedakan antara efek teratogenik fenobarbital pada penderita dengan epilepsi dan tanpa epilepsi. Di Hungaria telah diterapkan sistem monitoring berbasis masyarakat dalam menilai kasus bunuh diri dengan cara meminum sejumlah besar obat [55]. Diantara 1.044 ibu hamil, 88 diantaranya berusaha bunuh diri dengan sejumlah besar fenobarbital dan ada 34 pasien dengan usia kehamilan antara 3-12 minggu, dan pada data ini tidak didapatkan peningkatan risiko anomali kongenital.Risiko teratogenik diazepam dilaporkan pada ibu dengan gangguan psikiatri [57-60] namun tidak ditemukan pada ibu tanpa gangguan psikiatri [39, 61-63]. Sebelumnya telah disebutkan terdapat 1.044 ibu hamil dengan percobaan bunuh diri dengan mengonsumsi sejumlah besar obat, 112 diantaranya menggunakan diazepam (25-800mg) dan 37 diantaranya melakukan percobaan bunuh diri pada usia kehamilan antara 4-12 minggu, dan tidak ditemukan peningkatan risiko anomali kongenital. Sebagai tambahan, data dari populasi Hungaria ini didapatkan dari studi AKe-control oleh HCCSCA yang menyebutkan tidak didapatkan efek teratogenik pada diazepam [62,63], seperti review oleh Cochrane [12].Penggunaan beberapa obat antiepilepsi seperti carbamazepin, fenobarbital, fenitoin, dan pirimidone menyebabkan penurunan folat plasma sesuai dengan peningkatan kadar obat anti epilepsi [2,65]. Valproat mengubah metabolisme folat pada embrio [66] dan mempengaruhi sintesis metionin, sehingga mengganggu siklus metilasi, termasuk hipometilasi DNA [67]. Defisit folat sudah diketahui merupakan penyebab defek pada neural tube [17,26]. Sehingga penting untuk melakukan studi tentang efek protektif pemberian asam folat pada terapi anti epilesi, karena pada studi sebelumnya telah disebutkan asam folat perikonsepsi dan suplementasi multivitamin dengan asam folat dapat menurunkan angka kejadian defek neural tube [17-22] dan beberapa anomali kongenital [22-26].Studi oleh Kjear et al. [27] menunjukkan penggunaan kontaminan asam folat dosis tinggi di awal kehamilan (usia kehamilan 1-3 bulan)mampu menurunkan potensi efek teratogenik pada beberapa obat anti epilepsi (carbamazepin, fenitoin, primidone, fenobarbital), terdapat penurunan signifikan pada 4 kelompok anomali kongenital: defek neural tube, labiopalatoschisis, palatoschisis dan hipospadia. Tidak ditemukan penurunan pada kelainan jantung kongenital dan ditemukan peningkatan risiko anomali kongenital multipel. Tidak ditemukan penurunan teratogenitas dari valproat pada penggunaan asam folat, seperti ditemukan pada studi lainnya [68,69].Analisis data yang penulis miliki menunjukkan banyak ibu hamil dengan epilespi secara khusus berada pada kelompok yang jarang mendapat asam folat dan hal ini mungkin berhubungan dengan kesalahpahaman Obstetrician Hungaria bahwa asam folat merupakan kontraindikasi pada ibu dengan epilepsi. Ide ini didasar oleh beberapa studi yang menunjukkan efek asam folat dalam provokasi kejang epileptik [70-72]. Secara umum, asam folat dosis sangat tinggi (7-30mg) memang digunakan, beberapa diantaranya dengan melalui jalur intravena. Sebagai tambahan asam folat dosis tinggi memang bertindak sebagai konvulsan [73] atau neurotoksin [74] dalam penelitian pada binatang. Bagaimanapun, Dansky et al. [75] tidak dapat menemukan kecacatan pada kejang dari ibu kelompok kontrol penderita epilepsi yang menggunakan asam folat 0,1-1 mg. Namun, ibu dengan epilepsi dieksklusi dalam studi oleh MRC Vitamin Study [19] yang menunjukkan adanya efek protektif pada pemakaian asam folat dosis tinggi (4mg) pada terjadinya defek neural tube. Tidak didapatkan peningkatan kejadian kejang pada pemberian multivitamin dengan asam folat prekonsepsional (0,8mg) [76]. Tidak didapatkan juga peningkatan kejadian kejang pada ibu dengan percobaan bunuh diri dengan asam folat dosis sangat tinggi [77]. Sawar darah otak pada normalnya membatasi masuknya asam folat, namun jika terjadi kelainan pada sawar darah otak, maka mungkin terjadi efek neurotoksik dari asam folat [78]. Setelah eksklusi beberapa pasien dengan penyakit tertentu, kita dapat mengharapkan efek baik dari fisiologis (1mg atau kurang) dan dosis farmakologi (3 mg) dalam penurunan anomali kongenital pada pemakaian obat anti epilepsi. Bagaimanapun, diperlukan konsensus internasional untuk menentukan apakah pemberian asam folat di masa prekonsepsi pada ibu dengan epilesi [79].Tulisan ini memiliki 4 tujuan:(I) Sekarang telah tercatat data warga Hungaria yang menderita epilepsi, baik dengan catatan tentang obat anti epilepsi sepanjang kehamilan atau tidak, juga termasuk keturunan mereka dengan diagnosis anomali kongenital yang telah tersedia untuk studi selanjutnya(II) Rencana penulis untuk menilai potensi teratogenik untuk beberapa obat anti epilepsi yang jarang digunakan negara-negara Eropa Timur belum berhasil karena obat-obatan ini jarang digunakan dan kebanyakan digunakan dalam politerapi(III) Data yang didapatkan menunjukkan bahwa pasien ibu hamil dengan epilepsi yang menjalani pengobatan sentralisasi di klinik rawat jalan khusus mulai tahun 1990 tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam proporsi monoterapi yang direkomendasikan(IV) Tidak ada peningkatan penggunaan asam folat atau multivitamin yang menggunakan asam folat pada ibu hamil dengan epilepsi, penggunaan multivitamin dengan asam folat memang lebih jarang pada ibu dengan epilepsi dibandingkan dengan tanpa epilepsiDapat diambil kesimpulan tentang penanganan ibu hamil dengan epilepsi: ibu dengan epilepsi tidak perlu berkecil hati jika menginginkan seorang anak, namun ibu-ibu ini membutuhkan dukungan dan perhatian yang lebih dibandingkan dengan ibu tanpa epilepsi.Tugas pertama yang perlu dilakukan adalah edukasi bagi calon ibu dengan epilepsi untuk merencanakan kehamilannya dan melakukan persiapan dalam masa prekonsepsi. Perlu diperhatikan status epilepsi dan obat-obatan anti epilepsi yang digunakan oleh tenaga ahli. Biasanya memang sering terjadi perburukan dalam status epilepsi pasien dalam keadaan hamil dan terjadi kejang berulang (lebih dari satu kali perbulan), jika seorang wanita tidak mengalami bangkitan kejang selama sembilan bulan terakhir sebelum kehamilan, maka ibu ini memiliki kecenderungan untuk tidak mengalami serangan selama kehamilan. Perlu juga untuk mengganti obat anti epilepsi yang memiliki efek teratogen tinggi (e.g. valproat) dengan obat yang memiliki efek teratogen lebih rendah (e.g. carbamazepin, lamotrigine) dengan kontrol menggunakan EEG. Secara umum dalam prinsip penggunaan monoterapi menggunakan obat dengan dosis efektif terendah. Dalam pandangan penulis, lebih disarankan penggunaan asam folat atau multivitalmin yang mengandung asam folat bagi ibu dengan epilepsi pada masa prekonsepsi. Namun dosis yang efektif penggunaan asam folat masih belum diketahui.Tugas kedua setelah konsepsi adalah memantau status maternal dan perkembangan janin di masa kehamilan. Kebanyakan ibu dengan epilepsi membutuhkan obat anti epilepsi sepanjang masa kehamilan untuk mengontrol serangan kejang; sehingga perlu dilakukan kontrol untuk memantau kadar obat yang efektif dalam plasma. Sehingga pengukuran secara berkala diperlukan untuk mengukur kadar obat dalam plasma dan peningkatan dosis obat anti epilepsi sering dibutuhkan, walaupun dosis obat minimal sudah cukup optimal. Perkembangan janin perlu dipantau dengan USG resolusi tinggi, karena defek primer pada penggunaan obat anti epilepsi dapat mulai terdeteksi pada usia kehamilan 20 minggu. Pada banyak kasus, jarang terjadi defek ini, namun jika defek berat berhasil ditemukan, maka ibu berhak untuk memilih, apakah melakukan terminasi kehamilan atau melanjutkannya.Tugas ketiga dalam hal ini adalah proses persalinan termasuk penggunaan vitamin K1 (10 mg per hari) karena koagulopati klinis maupun subklinis sering terjadi pada bayi yang terlahir dari ibu dengan epilepsi [3].

JOURNAL READING

Evaluasi Kritis terhadap Obat Antiepileptik pada Wanita Hamil dengan Epilepsi di Hongaria

Disusun oleh :Jiemi ArdianG0007012Muchtar HanafiG0007107Nur Maslahah G0007118

Pembimbing: Diah Kurnia Mirawati, dr., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SYARAFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARETRSUD DR. MOEWARDISURAKARTA2012