jurnal gimul

Upload: thomson-affendy

Post on 31-Oct-2015

111 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal gigi dan mulut

TRANSCRIPT

29

Praktek Berbasis Bukti:Implikasi pada Pekerja Sosial dalam Perawatan AIDS

Valeria- Gordon- Garofalo, MSW, PhD

Mandat terbaru menyaratkan praktek berbasis-bukti pada setiap pekerja sosial. Apakah makna dari hal baru ini? Bagaimana ia mampu meningkatkan pelayanan sosial bagi pasien HIV/ AIDS?Praktek Berbasis Bukti (PBB) adalah sebuah proses yang mana pekerja sosial atau pun praktisi kesehatan merancang pertanyaan-pertanyaan seputar perencanaan pengobatan, mencari info terbaru, dan memberikan intervensi sesuai dengan tatalaksana terbaru (Gibbs, 2002). Keputusan intervensi dapat dengan mudah diperoleh dari penelitian-penelitian yang tersedia.

Langkah-langkah dalam Praktek Berbasis-BuktiProses ini melibatkan beberapa tahap, berdasarkan Gibbs (2002) yang diadaptasi untuk pekerja sosial berdasarkan kacamata medis. (Sackett, Richardson dan Haynes, 1997). Tahapannya meliputi:1. Menyusun PertanyaanPBB merupakan aplikasi terbaik bagi pekerja sosial yang memiliki akses teknologi yang baik. Merumuskan apa yang dibutuhkan dalam bentuk pertanyaan spesifik akan memudahkan pencarian info di komputer. Pertanyaan yang baik mengindikasikan rencana pengobatan yang baik, yaitu terdiri dari empat komponen: Tipe klien dan masalah Apa yang seharusnya anda lakukan untuk menangani masalah Langkah-langkah alternatif Apa yang ingin anda capaiKlinisi sendiri secara umum akan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang mencakup lima dimensi: efektifitas pengobatan, pencegahan, pemeriksaan, deskripsi, atau risiko. Aspek penting yang harus diperhatikan adalah tipe klien (seperti wanita atau pria, pendapatan rendah vs menengah ke atas, berpendidikan tinggi vs edukasi minimal), dengan beberapa jenis sasaran (seperti individum keluarga, grup, atau organisasi), dengan berbagai kondisi (di rumah, agensi, atau klinik). Contoh pertanyaan yang efektif adalah:Jika seorang wanita Afrika-Amerika yang dengan tanda-tanda depresi diberikan pilihan antara terapi psikoedukasional kelompok dengan cognitive behavioral therapy, manakah yang kemungkinan hasil terapinya mencapai normal?

2. Proses Penelusuran Best PracticeCara paling efektif untuk memperoleh literatur adalah melalui komputer yang tersambung internet. Informasi bisa diperoleh dalam bentuk artikel jurnal, web-based information, dan clinical guidelines terbaru. Ada pun untuk perawatan HIV, informasi dapat diperoleh dari perpustakaan (umum mau pun universitas), Delta ETC dan website ETC lainnya, asosiasi professional, dan mesin pencarian info di internet. Website Delta ETC menyediakan informasi tentang medikal, seperti PubMed, NKM Gateway, dan MedScape. Basis data perpustakaan universitas dan sekolah medis tersedia secara terbatas pada non-afilasi profesional. Instruktur lapangan dari praktek kerja lapangan mendapatkan hak istimewa perpustakaan secara penuh, termasuk akses internet yang memungkinkan pencarian basis data situs tertutup. Yang menarik bagi pekerja social adalah basis data Silver-Platter: abstrak pekerja social, PsychInfo (basis psikologi), SocioFile (sociology-based), dan ERIC ( basis edukasi). Membeli basis data portable untuk digunakan lembaga merupakan pilihan. Pilihan yang lebih murah mungkin berbagi basis data melalui sebuah konsorsium atau adanya kerjasama sumber daya jaringan. Kita juga harus mendukung relevan basis data informasi HIV/AIDS dimasukkan.

3. Menilai Bukti Secara KtitisMenurut Gibbs, tahap ini mengisyaratkan penerapan bukti hirarki dimana menyediakan satu bukti. Penelitian yang menggunakan perbandingan atau kelompok kontrol, probabilitas sampel, pendekatan pengobatan yang jelas, jumlah partisipan cukup, pengukuran yang valid dan reliabel, dan analisis statistik yang baik, tentu saja dinilai lebih tinggi daripada mereka yang tidak menggunakan hal tersebut. Penilaian parallel feminis, studi kualitatif memerlukan pemeriksaan validitas interpretasi dan keterlibatan peserta dalam proses penelitian. Ketika tidak ada bukti yang cukup dalam pencarian literature professional untuk memutuskan satu pengobatan atau metode penilaian, yang pertama harus beralih ke standar pedoman perawatan atau praktek, kemudian mengandalkan supervisor dan konsultasi kelompok dan kebijaksanaan praktek sendiri.

4. Menerapkan hasil.Pada langkah ini, klinisi harus memutuskan sejauh mana bukti yang dikumpulkan berlaku untuk diputuskan. Apakah klien cukup mengerti dengan yang dijelaskan/dipelajari? Bagaimana dengan akses ke strategi? Kemampuan praktisi dalam menyampaikan praktek terbaik?

5. Mengevaluasi kinerja.Menyimpan catatan yang memadai, mendokumentasikan pelayanan dan kepuasan klien, dan mengevaluasi hasil adalah hal yang penting dalam EBP. Keberhasilan kerja social cenderung anekdot. Dibutuhkan sebaliknya adalah dokumentasi yang jelas tentang kelayakan pelayanan; jelas diartikulasikan alasan-alasan untuk struktur dan komponen layanan, penggunaan alat penilaian yang terstruktur untuk mengidentifikasi factor-faktor resiko individu dan menugaskan klien untuk tingkat pelayanan; bukti intervensi berbasis, berasal dari uji efikasi klinis; dan dokumentasi untuk membenarkan hasil program. Sebagian besar, jika tidak semua, komponen ini hadir di Negara kita dan regional system pelayanan HIV/AIDS. Bukti bahwa intervensi pekerjaan social yang efektif harus didokumentasikan dirumah, bersama dengan penyandang dana dan para pemangku kepentingan klien, dibahas dalam konsorium, yang disajikan dalam forum professional dan diterbitkan bagi mereka diluar lapangan. Misalnya, tugas berpusat pada perawatan, seperti halnya manajemen kasus dan perencanaan pulang dalam pengaturan rawat inap HIV, tetapi jika bukti tidak dipublikasikan, tidak dapat dipandang sebagai praktek terbaik untuk menerapkan EBP dalam perawatan HIV/AIDS.

6. Menjadi termotivasi.Gibbs menyatakan bahwa bagi mereka pekerja social, motivasi kearah EBP mungkin akan datang dari dedikasi kami untuk tidak merusak, ketetapan kami untuk membuat keputusan praktek yang lebih baik, dan komitmen kami untuk berkolaborasi dengan klien-klien kami, Mullen dan bacon (2000) menemukan bahwa pekerja sosial terbuka untuk menggunakan petunjuk praktik dan praktik informasi empiris sepanjang ini dirasakan adalah menolong pasien. Praktik yang berbasiskan bukti ini dapat menyediakan sebuah sumber pengetahuan klinis yang memperbaiki praktik. Ini memberi kita peluang untuk mengkombinasikan yang terbaik dari ilmu pengetahuan tersedia dengan pengalaman klinis kepada pelayanan yang lebih baik sebuah variasi luas klien-klien.

7. Standar pelayanan.Standar pelayanan adalah alat referensi yang penting untuk profesi dan pelayanan sebagai bukti praktik yang terbaik. Petunjuk ini cenderung mudah dioperasikan dan lebih mudah diakses praktisi dibandingkan dengan penemuan riset yang dipublikasikan di jurnal. Petunjuk praktik klinis sering diformulasikan organisasi profesi dan agensi-agensi pemerintahan, meresepkan bagaimana klinisi menilai dan mengobati klien-klien. Terkadang petunjuk berdasarkan pada temuan riset, tetapi seringkali ini tergantung dari consensus profesional. Sebuah contoh utama adalah judul 1 Ryan White Standar Pelayanan Untuk Manajemen Kasus. Komite Pengiriman Pelayanan dari New Orleans konsil pelayanan AIDS regional mengembangkan petunjuk praktik melalui konsensus. Komite terdiri dari agensi dan wakil praktisi, sebaik anggota komunitas yang terpengaruhi, menggunakan sebuah kombinasi teori. Bukti riset yang dipublikasikan, pengalaman praktik, konsultasi ahli, dan data penggunaan pelayanan diperoleh secara lokal untuk menciptakan dokumen.

8. Konsultasi, pelatihan dan melanjutkan pendidikan.Pekerja sosial cenderung lebih bergantung pada konsultasi daripada meninjau ulang literature professional. Pekerja-pekerja sosial mencari arahan dan petunjuk dari supervisor dan konsultan-konsultan lain dan otoritas yang dihormati, kebijaksanaan praktik, dan pengalaman. Sumber-sumber penting untuk penyebaran pengetahuan praktik yang berbasiskan bukti di dalam agensi-agensi kerja sosial, kemudian, adalah kolega-kolega yang menggunakan riset praktik dan/ atau dekat dengan literatur terkini. Sedang bertugas, program pelatihan, sertifikat dan pekerja pendidikan dan sertifikat, dan konfrensi adalah jalan-jalan unggul untuk pekerja-pekerja sosial dan pelayan kesehatan lain berhubungan untuk menjadi informasi intervensi mendukung empiris. Beberapa modul pembelajaran cukup dalam waktu ada online, melalui universitas-universitas, license tubuh, organisasi professional, atau agensi untuk profit, seperti perusahaan farmaseutik.

9. Kerjasama dengan sekolah pekerja sosialTerlepas dari konsultasi dan pendidikan/atau program-program pelatihan, sekolah-sekolah dari kerja social menyediakan akses ke referensi perpustakaan dan materi-materi jurnal dan dapat membantu agensi-agensi dalam program dan evaluasi pelayanan. Fakultas mempunyai keahlian riset yang mana dapat menjadi nilai bagi agensi dan klinisi otonomik, dan sering memiliki mahasiswa master dan doctor ada untuk menyimpan dan menganalisis data. Pelayanan ini tersedia sebagai evaluasi program formal atau asisten informal. Mencatat di dalam literature adalah pusat riset bebasis universitas dalam kebijakan yang berkembang dan praktik yang berbasis bukti.

Dosis Satu Kali Sehari: Apakah Keuntungan Melebihi Kepentingan?

Paul Monier, MD

Tidak ada keraguan bahwa HAART (highly active antiretroviral teraphy) telah memberikan pengaruh yang baik dalam pengobatan pasien yang terinfeksi HIV. Pasien-pasien yang bisa mematuhi dan menoleransi obat antiretroviral jelas mendapat manfaat dalam perkembangan gejala dan penyakit.Bagaimanapun, respons yang baik ini sering dikacaukan oleh kompleksnya jadwal pemberian obat, serta oleh toksisitas dari agen antiviral. Faktor-faktor ini menyebabkan ketidakpatuhan, reratanya sekitar 50%. Maka dari itu, tujuan utama pengobatan infeksi HIV telah disederhanakan dari jadwal pemberian obat yang rumit yang telah umum dalam pengobatan penyakit ini. Beberapa cara telah ditempuh, termasuk pengobatan kombinasi, perkembangan obat yang waktu paruhnya lebih panjang, dan pemanfaatan interaksi farmakokinetik antar obat untuk mendorong jumlah obat, dan memungkinkan pengurangan frekuensi pemberian obat, serta mempermudah pemberian obat. Dua strategi terakhir ini memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan dosis satu kali sehari dari HAART, yang belakangan ini menjadi lini pertama sebagai cara lain untuk mencapai kepatuhan yang lebih besar.Kepatuhan suboptimal terhadap pengobatan adalah halangan paling utama untuk mencapai hasil yang maksimal dalam mengobati pasien HIV. Kurangnya kepatuhan, tidak hanya berujung pada tak cukupnya tekanan terhadap virus, tetapi juga dapat mengakibatkan peningkatan resiko terjadinya resisitensi obat pada pasien tersebut, yang akhirnya malah membatasi pilihan pengobatan. Umumnya angka pemenuhan sebesar > 95% dibutuhkan untuk kemanjuran optimal dari HAART. Pada satu studi, angka dari kegagalan virologis, didefinisikan sebagai jumlah RNA virus HIV > 400 kopi/ml, 30% lebih tinggi pada pasien yang tingkat kepatuhannya 90-95% terhadap pengobatan mereka dibandingkan pasien yang tingkat kepatuhannya > 95%. Seperti yang diharapkan, persentase hasil yang sukses menurun apabila pemenuhan menurun. Pasien mengatakan banyak alasan mengapa mereka tidak bisa patuh terhadap pengobatan mereka, termasuk kelupaan, jadwal pemberian dosis obat yang merepotkan, obat dengan rasa pahit, intoleransi obat, maupun efek samping obat. Angka kejadian lebih tinggi pada penyakit mental dan penyalahgunaan obat sering terlihat pada populasi yang terinfeksi HIV hanya ditambahkan ke masalah tidak dipenuhinya. Diharapkan bahwa dosis satu kali sehari dari HAART akan memiliki dampak positif terhadap kepatuhan dengan cara langsung mempengaruhi masalah yang berhubungan dengan pengobatan seperti dosis yang merepotkan, sama juga dengan menyediakan jadwal pengobatan yang bisa dipahami oleh pasien-pasien yang tidak patuh. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa dosis satu kali sehari dalam pengobatan hipertensi adalah lebih baik daripada pemberian dosis dua kali sehari tetapi lebih besar dosisnya untuk sediaan obat-obat yang harus diminum tiga kali sehari, dimana keakuratan dari waktu pemberian dosis lebih baik pada kelompok yang diberi dosis satu kali sehari daripada yang terlihat pada kelompok yang diberi dosis dua kali sehari. Hasil yang sama telah ditunjukkan dalam studi kepatuhan pasien yang diberi obat diabetes. Apakah ini bisa diramalkan pada penggunaan obat antiretrovirus, hanya tinggal dilihat saja nanti. Selain itu, pasien HIV harus mengerti bahwa ketidakpatuhan adalah suatu masalah multifaktorial dan walaupun selangkah menuju arah yang benar, pemberian dosis satu kali sehari bukanlah peluru ajaib yang menyelesaikan masalah kepatuhan ini.Angka penggunaan dosis satu kali sehari belakangan ini telah meluas dan akan terus berlanjut. Obat yang diterima FDA (food and drug administration) tersedia untuk dosis satu kali sehari untuk mengobati infeksi HIV, termasuk efavirenz, didanosin, tenofovir, dan amprenavir ketika dikombinasikan dengan ritonavir dosis rendah (RTV). Obat yang baru-baru ini diterima FDA untuk dosis dua kali sehari tetapi masih belum dievaluasi untuk pemberian satu kali sehari adalah lamivudin, nevirapin, protease inhibitor lain yang bersifat RTV-boosted, dan abacavir. Obat yang diperiksa untuk dijadikan obat yang diberi satu kali sehari termasuk azatanavir, stavudin XR, dan emtricitabin. Beberapa studi menyebutkan keberhasilan menggunakan beberapa kombinasi dari obat-obat yang tersedia dalam mengobati infeksi HIV, dan data lainnnya sedang dikembangkan. Beberapa kombinasi yang melibatkan dua NRTI (nucleoside reverse trancriptase inhibitor) dengan salah satu dari NNRTI (non nucleoside reverse trancriptase inhibitor) atau satu RTV-boosted protease inhibitor (PI) dari Tabel 1 bisa digunakan bisa digunakan untuk membuat regimen satu kali sehari antiretrovirus. Harus diingat, bagaimanapun, tenofovir dan didanosin hanya digunakan bersama-sama secara hati-hati, karena bisa terjadi interaksi yang mengakibatkan peningkatan level toksisitas didanosin. Studi paling banyak tentang kombinasi satu kali sehari melibatkan efavirenz, didanosin, dan lamivudin. Dalam satu studi kohort, 77% dari 75 pasien mencapai RNA virus HIV sebanyak 50 kopi/ml dengan kejadian bersamaan dengan peningkatan CD4 menjadi 199/ml. Hasil yang sama dilaporkan pada percobaan lain yang mengevaluasi regimen yang sama pada 40 pasien. Beberapa regimen RTV-boosted protease inhibitor telah dievaluasi menggunakan beberapa kombinasi yang berisi ritonavir dosis rendah ditambahkan ke amprenavir, ssaquinavir, indinavir, atau lopinavir. Sebagai tambahan, regimen tripel NRTI satu kali sehari ditambah abacavir berkembang sama baiknya.Manfaat dari dosis satu kali sehari HAART jelas. Pemberian dosis yang lebih jarang menyebabkan peningkatan kepatuhan dan hasil akhir yang lebih baik. Sebagai tambahan, untuk meningkatkan gejala-gejala yang berhubungan dengan penekanan virus, banyak pasien juga diharapkan memilikatan peningkatan efek psikologis yang dihasilkan dari dampak penggunaan dosis satu kali sehari terhadap gaya hidupnya, demikian juga rasa nyaman karena pengobatan menjadi lebih mudah. Keuntungan lainnya, pada beberapa kasus, penurunan biaya dan kemampuan yang lebih besar untuk menyediakan DOT (directly observed therapy), yang telah dibuktikan berguna dalam populasi tertentu seperti pada pasien-pasien yang dipenjara dan yang menjalani program rehabilitasi obat-obatan.Tidak ada strategi pengobatan baru yang dilakukan tanpa perhatian dan tidak terkecuali HAART dosis satu kali sehari ini. Yang pertama sekali, kurangnya data untuk menyokong penggunaannya sebagai pengobatan optimal untuk kemanjuran dan daya tahan penekanan virus saat dibandingkan dengan dosis standar. Sehubungan dengan ini data pendahuluan muncul beragam, namun kebanyakan didasari oleh studi observasional kohort. Randomized comparative trials dibutuhkan untuk menangani masalah ini. Sampai lebih banyak data yang tersedia, penyedia bisa jadi ingin selektif dalam memilih pasien yang diberi resep satu kali sehari, berfokus pada mereka yang berpenyakit kurang parah atau mereka yang gaya hidupnya menggunakan dosis yang lebih sering. Pertanyaan umum lainnya yang sering ditanyakan sehubungan dengan dosis yang tidak dimakan. Jika seorang pasien yang mendapat HAART satu kali sehari lupa jadwal pengobatannya, interval 48 jam bisa berlalu antar dosis, berpotensi untuk mempermudah replikasi virus dan memungkinkan terbentuknya resistensi ketika jumlah obat dibawah level IC50 (half maximal inhibitory concentration) untuk obat tersebut. Karena hal ini, disarankan obat-obat yang memiliki waktu paruh panjang dan dimaafkan jika dosisnya terlupa harus digunakan saat membentuk tipe obat ini. Contoh obat ini berupa NNRTI evafirenz dan nevirapin, dan juga amprenavir saat ditambah dengan ritonavir. Berdasarkan model farmakokinetik, dosis yang terlupa tidak lagi menjadi masalah dengan obat ini ketika digunakan satu kali sehari daripada dosis standar yang digunakan. Namun, konsep dimaafkan ini tidak sepenuhnya dimengerti dan dampak klinis dosis yang terlupa untuk obat satu kali sehari tidak diketahui dan akan lebih rumit dikarenakan keberagaman pasien, peranan kandungan intraseluler dari obat-obatan, dan interaksi obat-obatan. Hal lain yang perlu diperhatikan dari HAART satu kali sehari ini adalah beban biayanya. Khususnya masalah dengan obat PI-based, yang bisa jadi dibutuhkan sebanyak dua belas pil sekali minum. Apakah ini merupakan perbaikan terhadap dosis standar PI, yang biasanya membutuhkan lima sampai enam pil diminum dua kali sehari, tetap terlihat. Untuk obat NNRTI based, masalah pil bukanlah suatu masalah, meskipun tidak ada studi yang menunjukkan apakah empat sampai lima pil sekali minum sehari merupakan perbaikan terhadap satu pil yang diminum dua kali sehari, yaitu trizivir. Banyak klinisi juga bertanya apakah minum lebih banyak pil sekali sehari akan dikaitkan dengan kejadian efek samping yang lebih besar. Sepertinya masuk akal jika kita berharap bahwa obat PI based dikaitkan dengan efek samping gastrointestinal yang lebih banyak, seperti mual dan muntah. Dalam studi yang membandingkan HAART satu kali sehari yang mengandung ritonavir-ditambahn saquinavir, dengan obat berbasis efavirenz, ada tingkat ketidaklanjutan yang meninggi secara signifikan dalam saquinavir-ritonavir dilengakapi dengan 34% pasien-pasien yang mengalami mual, muntah, atau diare. harus dicatat bahwa tingkat keracunan lebih sering terjadi pada penggunaan formula soft gel saquinavir. Hal ini mengarahkan ke pada ketertarikan baru dalam penggunaan invirase (the hard gel formula saquinavir) sebagai pengganti fortavas, dicampur dengan ritonavir, obat yang sedikit memuunculkan keluhan gastrointestinal.Perkembangan dosis HAART satu kali sehari ini adalah kemajuan positif dalam pengobatan pasien yang terinfeksi HIV. Jadwal pengobatan yang rumit dan efek samping pengobatan telah merubah keberhasilan yang luar biasa yang terlihat pada pasien yang mampu mematuhi dan menoleransi HAART. Dan meskipun perbaikan pada penekanan virus, respon imunologis, dan gejala-gejala jelas diinginkan, seringnya diperoleh pada kualitas hidup yang diperoleh dari pengeluaran kualitas hidup yang dipengaruhi oleh jadwal dosis, beban biaya, dan efek samping. Dosis satu kali sehari secara potensial berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Namun, sebagaimana strategi pengobatan yang baru, ada perhatian nyata dan HAART sekali sehari harus digunakan secara bijaksana. Seseorang tidak ingin mengorbankan kemanjuran obat dari pada kenyamanan. Selain itu, ya atau tidaknya pil yang diminum lebih banyak dalam satu hari akan mengarah ke kepatuhan yang lebih baik dari pada lebih sedikit pil yang diminum dua kali sehari tidak jelas. Seperti kebanyakan keputusan yang harus dihadapi dalam mengobati pasien terinfeksi HIV, pilihan untuk menggunakan terapi satu kali sehari perlu didasarkan pada karakteristik individual pasien dan kemungkinan akan cocok untuk beberapa orang, namun kurang ideal bagi yang lain.

Risiko Komplikasi Prosedur Invasif pada Pasien HIV

Kishore Shetty, DDS

Komplikasi dapat berasal dari prosedur dental pada setiap orang yang sehat. Banyak literatur yang menyatakan tentang risiko pemanjangan pendarahan paska operasi, luka yang lambat sembuh, alveoiltis, luka oral atau infeksi jauh, sebagai akibat dari prosedur dental. Akan tetapi, publikasi ilmiah mengenai prosedur oral yang dapat meningkatkan risiko di atas pada pasien HIV, sangat terbatas. Pada tahun 2000, Healthcare Research menyimpulkan bahwa hanya beberapa studi yang melaporkan mengenai risiko prosedur oral pada pasien HIV, yaitu terapi saluran akal dan ekstraksi sederhana.

Ekstraksi DentalPasien imunokompeten biasanya tidak mampu mencegah, mengontrol, dan memberikan respon imun yang tepat ketika terkena trauma eksternal. Hal ini menyebabkan risiko komplikasi pos-surgikal lebih besar pada pasien imunokompeten. Begitu pula pada pasien HIV, prosedur ekstrasi dental memiliki risiko komplikasi lebih tinggi dibandingkan pada pasien umum. Pada tahun 1997, Dodson melaporkan hasil studi prospektif bahwa tidak ada perbedaan risiko komplikasi yang signifikan antara pasien positif HIV dengan pasien HIV negatif setelah ekstrasi gigi, di rumah sakit Memorial, Atlanta. Prevelensi komplikasi pos-ekstraksi bervariasi, mulai dari pendarahan persisten, nyeri persisten, alveolitis terlokalisasi, infeksi lokal, dan perlambatan penyembuhan luka. Namun, studi retrospektif Veteran Affairs Medical Center, San Fransisco (1988-1989) oleh penulis yang sama, menemukan bahwa risiko komplikasi pada pasien HIV positif lebih tinggi, dan semakin meningkat seiring meningkatknya supresi imun pada pasien tersebut. Ketika hasil ini disesuaikan dengan umur, penggunaan rokok, dan antibiotik pre-operatif, ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Oleh karena itu, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa komplikasi pos-operatif cenderung minimal.

Operasi Gigi PalsuDari sedikit penelitian yang menerangkan tentang gigi palsu pada pasien HIV, secara umum memperlihatkan bahwa operasi ini dapat berlangsung dengan sukses. Para ahli memperkirakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan untuk komplikasi pemasangan gigi palsu pada pasien HIV dan pasien umum.

Endodontik dan Bedah ApeksEndodontik dan bedah apeks pada pasien HIV positif harus mengkondisikan dengan beberapa aspek, seperti gejala yang ada, gigi yang terkena, kondisi oral pasien, dan level supresi imun. Insisden komplikasi dari endodontik konvensional pada pasien HIV sama dengan pasien umum. Oleh karena itu, tidak ada peringatan khusus yang disyaratkan pada pasien HIV, begitu pula antibiotik profilaksis dan anti-inflamatori, tidak disyaratkan.

Terapi PeriodontalTerapi untuk lesi periodontal sedikit kompleks, mulai dari tujuan untuk sekedar mengontrol nyeri, pendarahan gingival akut pada proses kronik, sampai pada eliminasi agen penyebab infeksi, pencegahan destruksi jaringan, dan promosi kesehatan gingival. Terapi standar yang biasa dilakukan adalah terapi mekanikal lokal, administrasi antibiotik, dan memelihara oral hygiene. Meskipun terapi mekanik lokal dapat menyebabkan bakterimia iatrogenic, namun ini tidak akan meningkatkan risiko sepsis.

Panduan perencanaan pengobatan yang digunakan oleh penyedia layanan gigi yang melayani perawatan pasien infeksi HIV

Dalam riwayat medis harus dimasukkan penentuan jumlah CD4 dan viral load dan semua obat yang diambil pasien.Semua prosedur bedah harus dilakukan dengan meminimalisasi perdarahan dan menghindari perkenalan pathogen oral ke dalam wajah dan rongga oral yang lebih dalam.Antibiotic harus digunakan secara bijaksana pada pasien HIV. Keputusan klinis untuk memberikan terapi antibiotic harus dibuat berdasarkan individu masing-masing. Antibiotic profilaksis merupakan kontraindikasi.Jika jumlah neutrofil pasien 9 menit) mengindikasikan dilakukannya pemeriksaan fungsi platelet secara kulitatif dan kuantitatif.Pilihan ekstraksi gigi pada pasien HIV dengan jumlah platelet 1000 kopi/ml) dilakukan tes resistensi dengan tujuan untuk memaksimalkan efikasi dari terapi. Ada beberapa fokus dengan penggunaan antiretrovirus dalam kehamilan. Penelitian retrospektif Swiss pada 37 wanita hamil yang terinfeksi HIV menunjukkan kelahiran prematur 10 dari 30 kehamilan. Jumlah ini tidak berbeda antara wanita yang menerima terapi dengan protease inhibitor dengan yang tidak menerima. The European Collaborative Study and the Swiss Mother + Child HIV-1 Cohort Study meneliti 3.920 ibu-anak; terdapat peningkatan 2,6 kali kelahiran prematur pada pasien dengan HAART yang menggunakan antiretroviral sebelum kehamilan memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar mengalami kelahiran prematur dibandingkan wanita yang memulai terapi HAART pada trimester III. Penelitian yang bertentangan di AS yang dilakukan PACTU pada 1.472 wanita dengan 78% yang menerima HAART selama kehamilan menunjukkan tidak ada hubungan dengan kelahiran prematur; jumlah yang lebih tinggi pada wanita yang tidak menerima terapi antiretroviral.Terapi HAART dengan protease inhibitor (PI) berhubungan dengan perkembangan hiperglikemia dan terjadinya eksaserbasi diabetes mellitus, seperti pada kehamilan. Belum diketahui saat ini apakah ada peningkatan insidensi komplikasi pada pasien hamil yang menggunakan regimen PI. Sebagai fokus juga adalah perkembangan toksisitas mitokondria dari analog nukleosida, dengan insiden terjadi secara urutan menurun dengan ddC > ddI > d4T > 3TC, AZT, dan abacavir. Beberapa gangguan klinis yang berkaitan dengan toksisitas mitokondria termasuk kardiomiopati, neuropati, asidosis laktat, steatosis hati, pankreatitis, dan miopati. Asidosis laktat dan steatosis hati menunjukkan peningkatan insiden pada wanita. Pada tahun 1999, peneliti asal Italia melaporkan kematian fetus pada usia gestasi 38 minggu pada wanita yang menggunakan terapi d4T-3TC dengan asidosis laktat yang berat. Telah dilaporkan tiga kematian ibu karena asidosis laktat pada terapi kombinasi dengan d4T ddI; semua wanita dengan regimen ini saat konsepsi dan melanjutkan terapi selama kehamilan. Perhatian dengan monitoring langsung harus diberikan pada wanita yang tetap menggunakan regimen selama kehamilan. Penggunaan AZT seperti yang telah dijelaskan di awal untuk menurunkan angka transmisi. Data dari The Antiretroviral Pregnancy Registry tidak menunjukkan peningkatan risiko abnormalitas kongenital antara wanita yang menerima AZT dengan yang tidak menerima. Ada gangguan neurologis jangka panjang, pertumbuhan, atau perbedaan pertumbuhan pada anak yang tidak terinfeksi. Insiden transmisi berdasarkan tipe persalinan juga telah diteliti. Beberapa studi yang telah dilakukan sebelum pemeriksaan viral load lanjutan dan terapi HAART menunjukkan 55-80% pengurangan transmisi saat elective cesarean section dibandingkan dengan persalinan per vaginam. Data untuk non-elective cesarean section tidak menunjukkan pengurangan transmisi yang signifikan. Rekomendasi elective cesarean section bisa ditawarkan ke semua pasien hamil yang terinfeksi HIV dengan viral load lebih > 1000 kopi/ml pada saat persalinan. Morbiditas dan mortalitas ibu lebih besar pada operasi caesar (caesar section), jadi, ketika viral load ibu < 1000 kopi/ml, keputusan untuk operasi caesar bergantung kepada kriteria lain dan bukan HIV.Sebagai kesimpulan, laporan ini merekomendasikan penggunaan antiretrovirus pada semua pasien hamil yang terinfeksi HIV. Pemeriksaan resistensi untuk wanita hamil dengan HIV dengan viral load yang terdeteksi sangat dianjurkan. Monoterapi AZT atau terapi dual seharusnya dipertimbangkan untuk wanita dengan baseline viral load < 1000 kopi/ml; semua harus menerima HAART dengan AZT sebagai salah satu komponen dengan tujuan viral load < 1000 kopi/ml saat persalinan. Evafirenz dan hydroxyurea harus dihindari selama trimester pertama dan ddI dan d4T bersama harus dipergunakan berhati-hati. Operasi caesar harus ditawarkan kepada wanita tanpa penekanan viral load yang ideal saat mendekati persalinan

Pemahaman Interaksi-Interaksi Obat-Obat Dalam Penanganan HIV

Tina Edmunds-Ogbuokiri, PharmD, FASCP

Teknologi terkini pada decade-dekade terakhir ini telah menghasilkan dalam pengertian kita sebuah badan yang besar pengetahuan dan informasi berkaitan dengan isoenzime cytochrome p-450 yang ada pada tubuh manusia, dan itu menciptakan sebuah kewaspadaan dari banyak interaksi yang membahayakan kehidupan dengan obat-obat resep umum sebagai antihistamin dan cisapride yang lebih baru. Sebuah pengetahuan dasar subtrat, inhibitor dan penginduksi system enzim ini membantu penyedia dalam memprediksi interaksi obat yang bisa menjadi lebih bermakna secara klinis. Terpisah dari proses induksi dan inhibisi, faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat termasuk penyakit hepar, status nutrisi, usia, kehadiran dari beberapa senyawa kimia endogen, dan polimorfik genetik. Sejauh ini, sebanyak 30 isoenzim cytochrom manusia telah ditemukan. Salah satu yang utama bertanggung jawab untuk sebuah mayoritas metabolisme termasuk CYP3A4, CYP2D6, CYP1A2 dan subunit CYP2C. Secara farmakologi ada 2 kelas besar interaksi obat, disebut farmakokinetik dan farmakodinamik interaksi obat. Interaksi dideskripsikan sebagai farmakokinetik ketika aksi dari satu obat yang mengubah konsentrasi serum dari obat lain oleh perubahan dari proses berikut: pembebasan obat, absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik dijelaskan secara sederhana sebagai interaksi-interaksi ini dapat mengubah respon klinis secara keseluruhan diharapkan penggunaan obat-obat yang mengubah efikasi dan sering toksisitas obat-obat. Ini dapat sinergis (Umumnya positif, contohnya respon antiretrovirus positif, lihat ketika zidovudine dikombinasikan dengan lamivudine) atau ini dapat negative (antagonis, contohnya; penggunaan zidovudine dan ganciclovir menyebabkan supresi sumsum tulang tambahan atau penggunaan yang bersamaan dari d4T dan ddI yang menyebabkan neuropathy tambahan).

Mendefenisikan Farmakokinetik: Hubungan pada Interaksi Obat-Obat Farmakokinetik secara sederhana didefenisikan sebagai studi dari proses aksi obat melalui proses bervariasi dari pembebasan, absorption, distribution, metabolisme dan ekskresi, sering dikatakan sebagai sistem LADME. Sebagai sebuah hasil dari defenisi luas dan keterlibatan dari beberapa proses kunci, kemungkinan besar penuh dengan interaksi obat farmakokinetik potensial. Sebagai contoh, setiap keadaan yang merubah pH lambung dapat mempengaruhi absorpsi dari banyak obat. Ini secara khusus penting bagi pasien-pasien yang menerima terapi paliatif, banyak dari mereka bisa memiliki hypochlorhydria yang biasa dalam penyakit HIV tingkat lanjut dan AIDS dan dapat memimpin pada absorpsi suboptimal pengobatan yang bergantung pH seperti ketoconazole (Nizoral), itraconazole (Sporonox), dan indinavir (Crixivan). Karena fluconazole (Diflucan) sudah siap diserap bebas pH lambung, ini sering pilihan azole ketika sebuah antijamur azole diindikasikan untuk pengobatan dari beberapa infeksi oportunistik.

Interaksi Obat- PenyakitInteraksi obat dapat meningkat karena perubahan yang diakibatkan penyakit HIV itu sendiri. Karena orang yang terkena HIV maju dalam penyakit mereka, sering absorpsi oral makanan dan obat kompromi karena perubahan pH lambung yang menemani HIV enterohepatik, sebuah sindrom yang menjelaskan efek penyakit yang mempercepat HIV di dalam sistem pencernaan. Diare cenderung menjadi biasa dalam penyakit HIV dan dapat dihasilkan dari beberapa penyebab, yang namanya gangguan pencernaan yang mengikuti efek samping beberapa agen antiretrovirus yang paling biasa dipakai, dan kehadiran organisme oportunistik yang bersamaan, infeksi bakteri, protozoa dan virus yang cenderung menjadi lebih biasa sebagai kemajuan penyakit dan sistem imun melemah. Terjadinya diare, khususnya kontrol yang jarang dan sering pada pasien dengan cryptosporodiasis (kesatuan sebuah penyakit yang mana hampir mungkin tereradikasi karena tidak ada agen-agen digunakan untuk pengobatan simtomatik menunjukkan manfaat persisten di dalam studi klinis), dapat membahayakan absorpsi dari seluruh obat-obatan karena waktu transit yang berkurang dan dapat menyebabkan regimen obat kurang bermanfaat. Ini akan memimpin sesudah itu kurang dari hasil klinis optimal dan dalam beberapa hal dapat mempengaruhi pasien pada level subterapi obat yang dapat mengabarkan bahaya strain virus yang resisten pasien yang masih menggunakan agen antiretrovirus.Orang-orang yang te rinfeksi HIV pada perawatan paliatif lebih mudah terserang dari peningkatan kerentanan kejadian yang merugikan, seperti insidensi yang lebih tinggi reaksi alergi pada sulfonamid dan obat-obat lain, daripada pasien-pasien tahap awal penyakit mereka. Komponen fisiologis yang lain dari penyakit HIV/AIDS yang meningkat termasuk malabsorpsi yang adalah tanda enterohepatik dan mempengaruhi pasien untuk berubah berat badannya yang sering merefleksikan perubahan volume sebaik distribusi baik lemak dan jaringan otot. Ini pada gilirannya dapat mempengaruhi manfaat yang berhubungan dosis, contohnya, agen-agen yang digunakan dalam pengobatan tuberculosis dan penyakit kompleks avium mikobakterium. Juga sering dilaporkan di tahap penyakit ini menurun albumin serumnya, yang mana pada gilirannya dapat mengubah manfaat obat-obatan seperti phenytoin ketika digunakan dalam pengobatan pasien toxoplasmosis atau sulfamethoxazole ketika digunakan baik sebagai pengobatan dan juga profilaksis pneumonia carinii.Perubahan lain juga terjadi dalam metabolisme obat dengan penyakit maju. Ini termasuk perubahan-perubahan yang dikarenakan hepatitis, sering sebuah ko-infeksi di populasi ini, khususnya mereka pengguna obat-obat intravena (IVDUs), sebagaimana penyakit empedu membuat ini penting untuk mengatur kedua dosis, dan sering interval dosis ini, obat-obatan, yang mana dimetabolisme paling banyak melalui hati seperti rifampin, isoniazid, ketoconazole, dan menjadi selektif dalam pemilihan. Perubahan-perubahan dalam eliminasi obat-obat juga terjadi dengan penyakit yang maju dan dapat secara khusus penting untuk antiretrovirus bersih ginjal seperti zidovudine, lamivudine, didanosine, zalcitabine dan stavudine, agen-agen antivirus seperti ganciclovir dan cidofovir, agen-agen antijamur seperti amfotericin-B, dan agen-agen antibakteri seperti aminoglikosida. Perubahan-perubahan dalam status imun dapat mempengaruhi respon-respon obat dalam pengobatan mikobakterium. (seperti tuberkulostatik) atau pengobatan infeksi oportunistik (seperti kompleks mikobakteriun avium) telah sering dilaporkan pada pasien-pasien dengan p enyakit maju. Sebagai sebuah peraturan umum, terdapat sebuah insidensi yang meningkat toksisitas obat begitu juga sensitivitas obatnya, sebagai contoh dengan penggunaan neuroleptik (chlorpromazine dan prochlorperazine), yang dapat mengharuskan sebuah pengurangan dosis yang disarankan yang biasanya agar mencegah toksisitas yang tak semestinya.

Kapan Mencurigai Interaksi Obat-Obat pada Seorang Pasien dengan Penyakit HIV

Sebagai sebuah peraturan umum, pasien-pasien yang mengalami keracunan yang berlebihan pada dosis biasa pengobatan atau manifestasi gagal pengobatan, di dalam ketiadaan faktor-faktor seperti resistensi atau kesetiaan minum obat yang buruk, mungkin menderita dari sebuah interaksi obat yang tak teridentifikasi. Dalam rangka memantau seperti interaksi obat, tinjauan yang hati-hati dari profil pengobatan pasien dibutuhkan. Klinisi seharusnya akrab dengan agen-agen yang paling sering berhubungan dengan interaksi obat-obat yang signifikan dan mengukur untuk mengelakkan ini ketika perlu. Regimen dengan penginduksi enzim-enzim seperti rifampin atau penghambat enzim seperti ritonavir harus dicatat dan diperiksa melawan sebuah daftar dari agen-agen yang dimetabolisme oleh beberapa jalur enzim yang sama. Untungnya, mayoritas interaksi obat-obatan adalah minor dalam alam dan tidak membutuhkan perubahan luas pada regimen obat pasien. Namun, populasi minoritas dari interaksi obat dapat menjadi penting secara klinis dapat menutupi tujuan pengobatan dan hasil pada pasien ketika ini tetap tidak diakui atau dialamatkan, mengacu pada level-level obat dari obat-obat yang bermacam-macam dan juga pada kegagalan obat, sering diakibatkan karena kegawatdaruratan dari strain resisten obat dari virus. Interaksi Obat-Makanan dari Kepentingan KlinisIni dapat diputuskan bahwa kehadiran atau ketidakhadiran makanan atau minuman tertentu dapat secara bermakna mempengaruhi bioavaibilitas dari sejumlah pengobatan. Sebuah variasi mekanisme-mekanisme termasuk perubahan pH, pembentukan dari kompleks kation yang tidak dapat diserap, daya larut yang meningkat dari obat, gangguan metabolisme usus, sebaik sebuah penurunan dalam motilitas usus, dapat berperan. Tabel 1 mendaftarkan beberapa interaksi obat-makanan yang lebih biasa dan strategi sederhana untuk mengelaknya. Perubahan perubahan di dalam eliminasi obat di ginjal juga sering terjadi dengan penyakit maju dan nefropaty yang berhubungan dengan HIV, yang mana dapat mempengaruhi pria Afrika Amerika dengan sebuah sejarah sebelumnya pengguna obat intravena. Perubahan-perubahan ini secara khusus penting untuk antiretrovirus yang dibersihkan di ginjal seperti zidovudine, lamivudine, didanosine, zalcitabine dan stavudine; agen antivirus seperti ganciclovir dan cidofovir; agen-agen antijamur seperti amphotericin B; dan agen-agen antibakteri sperti aminoglikosida.Sebuah pemasangan kedua dari artikel ini akan tampak di dalam masalah depan publikasi ini. Ini akan mendiskusikan interaksi-interaksi diantara agen-agen antiretroviral, agen psikotrofik dan obat-obat jalan.

Interaksi-Interaksi Obat-ObatTabel 1: interaksi obat yang penting dan strategi untuk dihindari Ketoconazole (Nizoral), dan Itraconazole(sporonox): meningkatkan pH lambung yang diakibatkan agen seperti antacid, H2 Blocker, protont pump inhibitor, dan formulasi lapis non enteric dari ddl mengganggu absorpsi ketoconazol, absorpsi adalah optimal pada pH lambung. Ambil 2 jam terpisah atau gunakan agen antijamur alternative (MMWR 1999: 48:[RR-10]:47); rifampin menurunkan aktivitas kedua obat, INH menurunkan efek dari ketoconazole; terfenadine dan cisapride (sekarang dikeluarkan dari pasaran) akibat dari arrhythmia ventricular dan penggunaan yang bersamaan harus dihindari Administrasi dari minuman yang asam seperti jus jeruk 240 ml, jus tomat, bir, jus anggur dan kola dalam kehadiran aklorhidria dari penyakit HIV maju dapat meningkatkan bioavaibilitas azole khususnya ketokonazole. Ketika hipoklorhidria parah, tiap 200mg ketoconazole harus dicampur dalam 4ml 0,2N asam hidroklorat. Sedotan harus digunakan untuk mencegah terkena gigi. Flurokuinolon oral: Mencegah produk susu, mineral elemen suplemen yang nutrisi tinggi; ambil fluorokuinolon 2 jam sebelum atau 6 jam setelah item-item ini. Interaksi dengan Protease Inhibitor (PIs) dan Non Nuclease Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs): ( sebagai sebuah peraturan umum, penggunaan ketoconazole dengan agen-agen ini tidak disarankan akibat sejumlah besar interaksi-interaksi obat-obat yang signifikan, flukonazole lebih baik. Indinavir: Level meningkat 68 %- mengurangi dosis indinavir sampai 600mg q 8h; level SQV meningkat 3 kali lipat- tidak ada perubahan dosis yang diperlukan; RTV meningkatkan level ketoconazole >3 kali lipat- penggunaan