jurnal asd syandrez.docx

Upload: agandafajrum

Post on 09-Oct-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hal itu menjadi penting dimana studi selanjutnya menggunakan fMRI tasks yang mengendalikan sistem sosial otak yang memperlihatkan defisit-defisit harian yang terkait dengan ASD. Selain itu, kumpulan data perilaku selama menggunakan fMRI tasks dapat membantu memperjelas faktor-faktor yang berkontribusi pada ketidaknormalan aktivasi regional. Sebagai contoh, Dalton et al. (2005) menemukan bahwa perbedaan individual pada hipoaktivasi FFA berhubungan terbalik dengan waktu yang digunakan partisipan untuk memfiksasi penglihatannya pada regio mata subjek. Studi terbaru lainnya mengindikasikan bahwa derajat aktivasi neural dapat memprediksi perbedaan individual dalam kinerja fungsional pada subjek ASD (Pelphrey et al., 2005; Schultz et al., 2005b; Dapretto et al., 2006). Oleh sebab itu, mengukur parameter seperti pelacakan mata atau fungsi otonom, sebuah marker dari responsifitas dan stimulus emosional, dapat mengidentifikasi pola yang unik dari aktivasi neural. Pada akhirnya, peningkatan kualitas imaging data pada saat ini memungkinkan adanya modeling statistik pada jaringan otak yang sepertinya terlibat dalam kognisi sosial dan persepsi sosial, serta dapat membangun model-model dinamik di dalam nodus-nodus yang berbeda di dalam area otak yang bekerja sama untuk mendapatkan perilaku fungsional. Hal tersebut sekarang memungkinkan kita untuk melihat rangkaian temporal dari aktivasi nodus spesifik selama melakukan suatu pekerjaan yang cukup lama, dan ia dapat menyediakan pemahaman ke dalam corak dimana regio-regio otak berkontribusi pada jaringan fungsional yang lebih besar dalam subjek yang normal dibandingkan dengan penderita ASD (Just et al., 2004; Schultz et al., 2005b). Pada akhirnya, pola distribusi pada aktivitas neural ini dapat dihubungkan dengan alel-alel genetik spesifik, dengan demikian menguhubungan ikatan dari gen ke otak ke perilaku. Pada anggapan ini, studi neuroimaging dapat membentuk ikatan yang mengikat genetik dengan perilaku.

Etiologi ASDBukti terbaru mengindikasikan bahwa ASD meliputi perubahan pada anatomi otak regional dan jaringan saraf fungsional dan juga merupakan hasil dari regulasi abnormal dari proses-proses ontogenetik multipel. Apa yang menyebabkan perkembangan otak abnormal? Studi pada populasi manusia mengindikasikan bahwa ASD adalah sebuah gangguan herediter primer. Kita tidak dapat meyingkirkan kemungkinan adanya faktor-faktor lain yang juga berperan dalam munculnya manifestasi gangguan ini. Pada keluarga-keluarga dengan seorang anak yang menderita ASD, risiko gangguan ini pada saudara-saudara berikutnya adalah 50 kali lebih besar dibandingkan pada populasi umum. Rata-rata munculnya ASD pada kembar monozigot dan dizigot mengindikasikan bahwa tingkat hereditasnya mencapai >90%. Studi pada penyebaran ASD pada model menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan poligenik, melibatkan 3-15 alel per individu dengan kompleks gen-gen dan/atau efek gen-lingkungan (Risch et al., 1999; Szatmari, 1999). Deteksi hubungan genom secara luas telah digunakan untuk memetakan lokasi gen-gen yang rentan. Sedikitnya 12 deteksi genom telah dilakukan, dimana bervariasi dengan respek metode genotipe (contohnya penggunaan marker, densitas pemetaan), metode fenotipik (contohnya instruen diagnostik), dan metode statistik. Meskipun beberapa penemuan mencapai kriteria Lander dan Kruglyak (1992) pada signifikansi statistiknya, masih ada konvergensi yang mensugesti adanya hubungan pada kromosom 2q, 7q, dan 16 p (Wassink et al., 2004; Xu et al.,2004). Lebih dari 100 kandidat gen telah dipelajari (Wassink et al.,2004), tapi hanya beberapa penemuan yang telah bereplikasi. Yang terbaru, bagaimanapun, hubungan antara gen yang menggambarkan perkembangan serebelum yakni ENGRAILED 2 dengan ASD telah dilaporkan (Gharani et al.,2004 dan telah bereplikasi pada tiga populasi yang terpisah (Gambar 2) (Benayed et al., 2005). Sebagai alel genetik pertama yang reproduksibel terkait ASD, ia dapat berkontribusi sebagai kerentanan penyakit dalam 40% kasus. Terdapat kandidat gen-gen lainnya yang menjanjikan, diantaranya lokus UBE3A (gen pada sindrom Angelman), beberapa gen sistem GABA pada kromosom 15q11-13, dan gen serotonin transporter pada kromosom 17q (Devlin et al., 2005). Analisis pada kasus ASD dengan ketidaknormalan kromosom spesifik juga telah membantu mengidentifikasi regio genomik yang dapat menunjukkan kerentanan gen-gen (Vorstman et al., 2006; Xu et al., 2004). Para peneliti sekarang menggabungkan pada sekelompok sampel dan nantinya akan dimaksimalkan dengan kekuatan statistik. Pemeriksaan fenotip terkait ASD spesifik (endofenotip, contohnya, gangguan bahasa) mungkin akan lebih informatif secara genetik dibandingkan diagnosis kategorik ASD (Bradford et al., 2001; Alarcon et al., 2005).Selain itu juga telah menjadi perhatian yang signifikan pada faktor-faktor lingkungan yang mungkin berkontribusi (London, 2000). Beberapa paparan prenatal telah dihubungkan secara empiris dengan ASD, yang meliputi thalidomide, beberapa infeksi virus, dan antikonfulsan maternal, terutama asam valproat (Trottieret al., 100; Arndt et al., 2005). Meskipun faktor-faktor ini tidak tergantung pada jumlah untuk beberapa kasus, faktor-faktor lingkungan mungkin berinteraksi dengan kerentanan genetik untuk meningkatkan kemungkinan ASD. Sebagai contoh, beberapa data mengimplikasikan sebuah peranan faktor imun, meliputi sebuah peningkatan riwayat keluarga terhadap penyakit autoimun dan adanya autoantibodi pada antigen-antigen saraf (Ashwood dan Van de Water, 2004; Connolly et al., 2006).

Apakah mungkin untuk membuat sebuah binatang percobaan untuk ASD?Rasionalisasi untuk perkembangan model.Setelah diberikan etiologi multifaktorial dan keanekaragaman fenotip yang hebat diantara setiap domain gejala inti, ternyata tidak terdapat satupun binatang percobaan yang dapat menangkap semua gejala molekul, seluler, atau organismik dari ASD. Tertantang oleh kompleksitas ini, sebuah penelitian telah dapat difokuskan pada mekanisme ini (DiCicco-Bloom, 2005). Berdasarkan adanya metode neuroimaging, dari bukti genetik dan patologi pada perkembangan asal mulanya, studi pada binatang percobaan ini menghasilkan empat pencapaian umum atau rasinoalisasi, dimana dapat dikategorikan sebagai neurobiologi fundamental, endofenotip, genetik dan patogenetik.Neurobiologi fundamental mencapai posisi dimana mekanisme dasar dikonservasi oleh setiap organisme dan diperluas atau dimodifikasi melalui evolusi. Dengan menentukan mekanisme molekul dan seluler yang mengatur perkembangan regio otak atau fungsi kognitif menengah, kita dapat mengidentifikasi bahwa target-target molekul yang pecah tersebut dapat berkontribusi untuk sebuah abnormalitas terkait ASD. Sebagai contoh, penelitian pada oksitosin/ vasopresin mengindikasikan bahwa neuropeptida ini berpartisipasi pada pengenalan sosial, afiliasi, dan ikatan ibu-bayi dari banyak spesies. Konsekuensinya, penemuan genetik pada binatang percobaan sekarang telah diaplikasikan untuk mempelajari defisit sosial pada poulasi ASD manusia (Lim et al.,2005). Pembelajaran bahasa melalui nyanyian burung (songbird) adalah salah satu model yang menarik, dimana adanya input auditorik, imitasi nanyian dan ekspresi gen FoxP1/2 menunjukkan adanya keselarasan dengan bahasa manusia (Teramitsu et al.,2004). Akhirnya, pengaturan faktor-faktor pertumbuhan dalam neurogenesis pada regio-regio yang terkena ASD termasuk korteks serebri, hipokampus dan serebelum menunjukkan adanya proliferasi yang dikontrol oleh keseimbangan promitogenik [bFGF (basinc fibroblast growth factor), IGF1 (insulin-like growth factor), SHH (sonic hegehog) (Vaccarino et al., 1999; Wechsler-Reya and Scott 1999; Cheng et al.,2001; 2002; li and DiCIcco-Bloom, 2004)] dan sinyal antimitogenik [PACAP (pituitary adenylate cyclase-activating polypeptide) (Suh et al., 2001; Carey et al., 2002; Nicot et al., 2002)]. Bekerja melalui reseptor kognitif, faktor-faktor pertumbuhan memunculkan perubahan yang besar pada pengatur siklus sel yang menentukan perkembangan dari fase G1 menuju fase S. Karena itu, dapat dipikirkan bahwa perluasan otak dapat mengikuti perubahan pada sinyal promitogenik dan antimitogenik aktif dari ligand ke reseptor lalu ke regulator siklus sel, yaitu semua gen-gen kandidat yang potensial.Pendekatan endofenotip untuk meneliti mekanisme dasar tersebut tidak perlu dibatasi menjadi kateogri diagnostik spesifik seperti ASD, gangguan bicara spesifik, atau gangguan atensi. Endofenotip terkait ASD meliputi isolasi sosial, perubahan pada sistem neurotransmiter, atau defisit pada neuron-neuron purkinje. Dengan menggunakan makhluk primata bukan manusia yang baru lahir dan yang sudah dewasa, studi ini telah menemukan peranan hipokampus dan amigdala pada fungsi sosial. Penelitian ini pada mulanya menggunakan lesi destruktif atau kimiawi, tapi beberapa penelitian terakhir sudah menggunakan kondisi pengasuhan anak yang telah dimodifikasi (Winslow, 2005). Banyak mencit mutan yang menunjukkan defisit sel-sel Purkinje, meskipun engrailed 2 (En2) telah menjadi objek yang menarik untuk beberapa alasan. Secara spesifik, delesi atau overekspresi En2 menghasilkan defisit sel-sel prukinje, berkurangnya vermis dan lobulus serebelum posterior pada mencit, dan juga terlihat pada beberapa neuropatologi autisme pada manusia , serta lokalisasi EN2 pada manusia mendekati regio kromosom 7 diidentifikasi oleh beberapa pendeteksian hubungan genom ASD. Studi terhadap overekspresi gen En2 (Baader et al., 1998; Benayed et al., 2005) sebaik delesi gen telah dilakukan secara in vivo dan in vitro (Millen et al., 1994; Rossman et al., 2005). Overekspresi En2 pada prekursor neural di dalam kultur dapat menjaga proliferasi prekursor dan menurunkan diferensiasi neuronal, sebuah mekanisme yang masuk akal yang berkontribusi pada neuropatologi serebelum pada ASD.Pendekatan genetik menggunakan mutasi-mutasi yang telah ditargetkan pada mencit untuk menemukan mekanisme yang diatur oleh gen dianggap penting untuk ASD. Gen-gen yang diuji telah diketaui menyebabkan ASD, berhubungan dengan ASD, atau yang telah dimungkinkan menjadi gen kandidat berdasarkan fungsi perkembangannya atau lokalisasi pada regio kromosom yang diidentifikasi dengan analsis hubungan. Sebuah karakteristik ASD yang menyebabkan gangguan genetik, tubreous sclerosis (20-40% memiliki ASD), timbul dari mutasi-mutasi pada dua gen, hamartin dan tuberin, yang berfungsi sebagai penekan tumor dan berinteraksi dengan protein translational machinery. Gangguan genetik Mendelian lainnya juga bermanifestasi pada aspek-aspek ASD yang meliputi retardasi mental fragile X, sindrom Rett, Prader-Willi, Angelman dan Smith-Lemli-Opitz (Polleux and Lauder, 2004; Xu et al., 2004). Tikus percobaan yang terkait telah berada dalam investigasi aktif. Salah satunya mungkin menspekulasikan bahwa alel-alel yang kurang parah pada lokus ini dapat berkontribusi pada kerentanan ASD pada ketiadaan kondisi klinis primer. Berdasarkan gen-gen terkait penyakit, EN2 memperlihatkan replikasi pada alel genetik spesifik dengan ASD (Benayed et al., 2005). Selain itu, untuk beberapa gen, terdapat hubungan yang berulang akan tetapi tidak untuk single nucleotide polymorphism (SNP) yang sama. Sebaiknya perbedaan SNP ini menghasilkan gangguan fungsi gen yang mirip, salah satunya mungkin menunjukkan adanya kemungkinan dimana alel-alel penyakit dapat mengganggu fungsi gen sehingga berkontribusi pada kerentanan penyakit (Wassink et al., 2004). Hal ini telah dianjurkan untuk gen-gen yang terlibat dalam sistem neurotransmitter (serotonin transporter). Selain itu, kesimpulan final tentang kontribusi untuk kerentanan ASD harus menunggu replikasi genetik dalam populasi yang terpengaruh (Bartlett et al., 2005)