jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-bab4_210-5

16
BAB IV EKSISTENSI IBNU SABIL SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SEKARANG A. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Ibnu Sabil Sebagai Mustahiq Zakat Kaitannya Dengan Peran dan Fungsi Amil Zakat Dalam rangka mengikuti laju perkembangan zaman serta dalam rangka menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer dari berbagai aspek kehidupan dan sosial, kita tidak cukup berpegang pada teks-teks agama secara normatif berdasarkan pemahaman tekstual, tetapi kita harus menempatkan dan melihat teks-teks agama tersebut dari berbagai aspek, agar tercipta suatu ketetapan hukum yang harmonis. Memandang nash tidak akan cukup dengan hanya memandang dari segi dzahir. Namun juga dipahami dari segi jiwa suatu nash. Dengan kata lain memandang suatu nash harus lebih ditekankan pada sisi nilai substansi sebagai tujuan asal dari pembentukan hukum (maqashid al-syari’ah). Sementara tujuan awal pembentukan hukum adalah demi terciptanya kehidupan yang penuh dengan nuansa keadilan di berbagai pihak, kemaslahatan umat manusia, mendatangkan manfaat dan menghindarkan mafsadat. 1 Pada dasarnya merupakan petunjuk yang komprehensif, karena didalamnya memuat seruan-seruan, norma-norma dan nilai-nilai yang masih global. Sehingga dalam tatanan aplikasi mampu menampung semua 1 Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 123

Upload: rusly-bigreds-liverpudlian

Post on 26-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dd

TRANSCRIPT

Page 1: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

BAB IV

EKSISTENSI IBNU SABIL SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT

RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SEKARANG

A. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Ibnu Sabil Sebagai Mustahiq Zakat

Kaitannya Dengan Peran dan Fungsi Amil Zakat

Dalam rangka mengikuti laju perkembangan zaman serta dalam rangka

menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer dari berbagai aspek

kehidupan dan sosial, kita tidak cukup berpegang pada teks-teks agama secara

normatif berdasarkan pemahaman tekstual, tetapi kita harus menempatkan dan

melihat teks-teks agama tersebut dari berbagai aspek, agar tercipta suatu

ketetapan hukum yang harmonis.

Memandang nash tidak akan cukup dengan hanya memandang dari segi

dzahir. Namun juga dipahami dari segi jiwa suatu nash. Dengan kata lain

memandang suatu nash harus lebih ditekankan pada sisi nilai substansi sebagai

tujuan asal dari pembentukan hukum (maqashid al-syari’ah). Sementara tujuan

awal pembentukan hukum adalah demi terciptanya kehidupan yang penuh

dengan nuansa keadilan di berbagai pihak, kemaslahatan umat manusia,

mendatangkan manfaat dan menghindarkan mafsadat.1

Pada dasarnya merupakan petunjuk yang komprehensif, karena

didalamnya memuat seruan-seruan, norma-norma dan nilai-nilai yang masih

global. Sehingga dalam tatanan aplikasi mampu menampung semua

1Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 123

Page 2: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

49

permasalahan yang ada dan bakal ada disetiap perkembangan zaman. Dengan

seruan norma yang ada tersebut dapat dijadikan suatu suatu aturan yuridis

untuk menentukan suatu hukum yang lebih disesuaikan dengan situasi dan

kondisi setempat.

Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana permasalahan yang penulis

angkat dalam skripsi ini, yaitu tentang ibnu sabil sebagai mustahiq zakat

menurut Ibnu Hazm.

Dari konsep yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm mengenai ibnu sabil,

yaitu ibnu sabil berarti orang yang keluar (bepergian) tidak dalam

kemaksiatan. Hal ini dijelaskan dalam kitabnya al-Muhalla:

2ابن السبيل هو من خرج يف غري معصية فاحتاج

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa, ibnu sabil sebagai

mustahiq zakat mempunyai kaitan yang sangat erat dengan peran dan tugas

amil zakat.

Sebelum membahas tentang peran dan tugas amil, alangkah baiknya

apabila kita pahami lebih dahulu tentang arti dari amil itu sendiri. Kata 'amil

berasal dari kata 'amal yang biasa diterjemahkan dengan "yang mengerjakan

atau pelaksana".

Sedangkan menurut Ensiklopedi Islam3 yang dimaksud dengan amil

adalah orang atau badan yang mengurus soal zakat dan shadaqah dengan cara

2 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Beirut: Daar al-Fikr, Juz. 6, hlm.151 3 Quraish Shihab (Eds), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Jilid. I, hlm.

134

Page 3: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

50

mengumpulkan, mencatat, dan menyalurkan atau membagikannya kepada

mereka yang berhak menerimanya menurut ketentuan ajaran Islam. Istilah amil

disebutkan dalam al-Qur`an surat at-Taubah ayat 60 yakni sebagai salah satu

dari delapan golongan yang berhak menerima zakat.

Amil adalah para pekerja yang telah diserahi oleh penguasa atau

penggantinya untuk mengambil harta zakat, mengumpulkan, menjaga dan

memindah-mindahkannya. Sehingga termasuk orang yang memberi minum dan

menggembalanya, jika zakat itu berupa ternak. Begitu pula petugas keamanan,

sekretaris, petugas penimbang, tukang hitung dan perangkat lainnya yang

dibutuhkan untuk pengumpulan dan pembagian zakat.4

Dari beberapa pengertian amil diatas maka, tugas dari pada amil adalah

meliputi: pemungutan, yaitu mengamati dan menetapakan para muzakki,

menetapakan jenis-jenis harta mereka yang wajib dizakati, dan jumlah yang

harus mereka bayar. Penyimpanan dan pendistribusian(pen-tasharruf-an).

Pembagian zakat sesuai dengan Q.S 9: 60 ada delapan kelompok (ashnaf al-

Tsamaniyah). Agar pelaksanaan pen-tasharruf-an zakat dapat berjalan dengan

baik, maka harus dilakukan upaya pendataan terhadap muzakki, barang yang

wajib dizakati dan mustahiq zakat.5 Dengan pendataan yang cermat terhadap

para wajib zakat dan harta yang wajib dizakati, diharapkan para wajib zakat

tidak enggan lagi untuk melaksanakan kewajibannya. Demikian juga terhadap

mustahiq, diharapkan pembagian zakat lebih tepat guna.

4 Ibn Salam, Al-Amwaal,Beirut: Daar al-Kutub , hlm. 748 5 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994, hlm. 149

Page 4: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

51

Selanjutnya para pembagi bertugas mengamati dan menetapkan. Setelah

pengamatan dan penelitian yang seksama siapa saja yang berhak mendapatkan

zakat, perkiraan kebutuhan mereka, kemudian membagikan kepada masing-

masing yang mebutuhkan dengan meempertissmbangkan jumlah zakat yang

diterima dan kebutuhan mereka masing-masing.

Disini para amil harus lebih banyak mengetahui petunjuk agama yang

menyangkut tugas-tugasnya, seperti misalnya siapa yang dimaksud dengan

fakir, miskin, gharim, al-mu'allaf qulubuhum, ibnu sabil, sabilillah, dan

sebagainya. Amil zakat berperan sebagai penghubung antara wajib zakat atau

muzakki dan yang berhak menerima zakat.6 Ia berkewajiban menyamnpaikan

harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara yang lebih

tepat dan terarah sesuai dengan tujuan disyari’atkannya zakat itu. Harta zakat

yang telah diserahkan wajib zakat kepada amil zakat adalah merupakan amanah

yang wajib dipegang teguh dan dipertanggungjawabkannya. ‘Amil harus

bertindak sebaik mungkin sehingga mencapai daya guna yang maksimal.

Tentang kepada siapa zakat itu diberikan dan bagaimana cara pemberiannya

terserah pada pertimbangan amil. Hal yag pasti ia harus menyampaikan amanh

itu kepada pihak yang berhak sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’

ayat 58 yang berbunyi:

)58: النساء( اهلها اىل ؤدواالمنتت ان مركم ياء اناهللا

6 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Jakarta:

Page 5: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

52

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak menerimanya”.(Q.S.an-Nisa’: 58)

Berdasarkan uraian di atas, telah diketahui bahwa ibnu sabil merupakan

salah satu pihak yang berhak menerima zakat. Oleh karenaya ia akan selalu

ada. Hanya saja, pemaknaan atas ibnu sabil itu perlu adanya perluasan. Para

fuqaha selama ini mengartikan ibnu sabil (anak jalanan) dengan “musafir yang

kehabisan bekal”. Pengertian ini benar dan relevan.7 Akan tetapi, pengertian ini

belum mencakup keseluruhannya. Lahir dari konteks sosial tertentu, pengertian

tadi menunjuk pada pengertian yang lebih sempit. Ketika keadaan masyarakat

sudah menjadi kompleks, kebutuhan untuk menengok kembali pada pengertian

awal ibnu sabil sebelum dibatasi dengan pengertian-pengertian tertentu menjadi

sangat perlu.8 Oleh karena itu, untuk konteks masa sekarang perlu adanya

perluasan makna atau pengertian terhadap ibnu sabil. Kembali pada pengertian

awal, kita akan dapat melihat cakrawala yang luas. Anak jalanan, sebagaimana

yang lazim kita pahami , mengacu kepada pengertian orang-orang yang tengah

berada dalam keadaan tunawisma / tidak bertempat tinggal (gelandangan)9.

Bukan lantaran kemiskinan yang diderita, melainkan lebih disebabkan oleh

karena hal-hal lain yang bersifat kecelakaan. Pengertian ini tentu lebih luas dan

lebih relevan dari pada hanya mencakup “pelancong yang kekurangan bekal”,

seperti yang kita pahami selama ini. Oleh karena itu, dalam konteks pen-

tasharruf-an dana zakat untuk sektor ibnu sabil dapat dialokasikan, bukan saja

7 Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat (Sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara

untuk Rakyat)), Bandung: Mizan, 2005, hlm. 127 8 Ibid 9 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmih Populer, Surabaya: Arkola,

1994, hlm. 765

Page 6: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

53

untuk keperluan musafir yang kehabisan bekal saja, melainkan juga untuk

keperluan para pengungsi, orang yang kena musibah bencana alam,10 seperti

korban bencana alam tanah longsor, banjir, gunung meletus, angin topan, dan

korban bencana alam lainnya.

Berkaitan dengan masalah pen-tasharruf-an zakat, sebagaimana yang

telah disebutkan dalam al-Qur`an surat at-Taubah ayat 60, zakat hanya

diperuntukkan untuk delapan golongan (ashnaf Tsamaniyah).

Selanjutnya, pada pembahasan ini penulis hanya akan membatasi pada

permasalahan tentang ibnu sabil sebagai salah satu mustahiq zakat menurut

Ibnu Hazm kaitannya dengan peran dan amil. Sebagaimana pendapat Ibnu

Hazm tentang ibnu sabil yaitu orang yang bepergian bukan dalam kemaksiatan

lalu dia membutuhkan (bantuan). Menurut penulis, dari konsep ibnu sabil yang

dikemukakan oleh Ibnu Hazm tersebut masih sesuai dengan konteks masa

sekarang. Bepergian tidak dalam kemaksiatan, ini berarti setiap orang yang

bepergian untuk kebaikan, dalam rangka menegakkan agama Allah dapat

dimasukkan dalam golongan ibnu sabil. Karena ajaran Islam bersifat dinamis

dan selalu responsif terhadap tuntutan-tuntutan perkembangan zaman. Maka,

segala bentuk perjalanan, dalam rangka untuk kemaslahatan umum sangat

dianjurkan oleh Islam. Jika Islam terlihat mandeg, maka sesungguhnya yang

statis dan beku adalah pemikiran-pemikiran umat Islam itu tentang agama.

Islam sendiri-sebagai agama wahyu untuk umat manusia sampai akhir zaman-

niscaya punya potensi untuk selalu dinamis, responsive dan mampu

10 Masdar F. Mas’udi, Op.Cit, hlm. 128

Page 7: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

54

memecahkan segala masalah manusia.11 Oleh karena itu pemaknaan terhadap

ibnu sabil tidak hanya terbatas pada musafir yang kehabisan bekal saja. Tetapi

bisa menunjuk kepada jalan yang lain, yang masih dalam konteks bepergian

dan hambatan. Karena kehabisan bekal untuk masa sekarang ini, menurut

penulis lebih karena diakibatkan faktor teknis.

Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis ibnu sabil sebagai mustahiq

zakat akan selalu ada. Akan tetapi perlu adanya perluasan makna atas ibnu

sabil, yang disesuaikan dengan konteks masyarakat sekarang. Dimana zaman

akan selalu berkembang dari waktu ke waktu, dari masa ke masa. Untuk itu,

kaitan antara ibnu sabil dengan peran dan tugas amil zakat sangat jelas. Dimana

fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung anatara wajib zakat dan atau

muzakki dengan yang berhak menerima zakat, ia berkewajiban menyampaikan

harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara yang lebih

tepat dan terarah sesuai dengan tujuan disyari’atkannya zakat itu. Dan untuk

sektor ibnu sabil sendiri , tidak hanya terbatas kepada musafir saja. Karena

untuk konteks masa sekarang, boleh dikatakan sudah tidak ada musafir yang

kehabisan bekal. Karena sarana transportasi sudah semakin canggih dan

banyak, dan misalkan ada musafir yang sampai kehabisan bekal itu lebih

dikarenakan masalah teknis. Tetapi ibnu sabil untuk masa sekarang, bagiannya

dapat dialokasikan untuk jalan yang lain, seperti untuk korban bencana alam,

pemberian bantuan kepada orang yang menuntut ilmu.

11 Amin Rais, Cakrawala Islam (Antara Cita dan Fakta), Bandung: Mizan, 1996, hlm. 58

Page 8: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

55

Ibnu sabil sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, banyak hal

yang dapat dimasukkan dalam kriteria tersebut, asal masih dalam konteks

bepergian dan hambatan serta tidak dalam kemaksiatan. Seperti, orang yang

sedang pergi (keluar dari tempat tinggal tinggalnya) untuk menuntut ilmu,

korban bencana alam, orang yang sedang menuntut ilmu, dan para pengungsi.

B. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm tentang Ibnu sabil Relevansinya

Dengan Masa Sekarang

Dalam sejarah pemikiran Islam, para fuqaha telah mengembangkan

karya besar mereka dalam menentukan cara-cara yang ditempuh untuk

menetapkan hukum suatu persoalan atau bahkan mengantisipasi persoalan

yang akan muncul dalam kehidupan kaum muslimin. Inilah warisan

intelektual yang agung dan sangat kreatif yang dapat dijadikan sebagai

panduan generasi berikutnya dalam memahami hukum Islam serta aplikasinya

dalam kehidupan sehari-hari.

Secara teoritis ulama-ulama sepakat bahwa fiqh dikembangkan dari

empat sumber pokok, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda.

Keempat sumber pokok tersebut adalah al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas,

yang pada perkembangannya membentuk struktur hukum yang khusus dalam

Islam, sebagai hukum yang dijabarkan langsung dari al-Qur'an.

Berdasarkan hal itu, Ibnu Hazm sebagai tokoh fiqh dalam memutuskan

hukum tentang ibnu sabil, Ibnu Hazm berpegang pada ayat 60 surat at-Taubah

sebagai berikut:

Page 9: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

56

امناالصد قا ت للفقراءواملساكني والعاملني عليها واملؤ لفة قلوم من وىف الرقاب والغا رمني ويف سبيل اهللا واين السبيل فريضة

)60: التوبة(اهللا واهللا عليم حكيم

Artinya :

”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk oang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, pr mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, unuk jaln Allah dn orng-orng yang sedang dalam perjalanan sebagi ketetapan yang diwajibkn Allh, dn Allah Mah Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (Q.S at-Taubah: 60) Bahwa ayat tersebut meunjuk golongan yang mendapatkan zakat

diantaranya adalah ibnu sabil. Menurut Ibnu Hazm ibnu sabil adalah:

ابن السبيل هو من خرج يف غري معصية فاحتاج

Artinya :

“Orang yng keluar (bepergian) bukan dalam maksiat lalu dia membutuhkan bantuan.”

Dari konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Hazm tentang ibnu sabil yaitu

seseorang yang keluar (bepergian) tidak dalam kemaksiatan lalu dia

membutuhkan (bantuan). Meskipun arti secara bahasanya, “seseorang yang

keluar”, akan tetapi menurut penulis maksudnya adalah “orang yang sedang

dalam perjalanan” yang bukan dalam kemaksiatan. Ini berarti lawan dari

kemaksiatan adalah kebaikan, artinya seseorang yang sedang dalam perjalanan

untuk kebaikan adalah termasuk dala ibnu sabil.

Sebagaimana konsep ibnu sabil yang ditawarkan oleh Ibnu Hazm

tersebut, karena Ibnu Hazm menengok pada zaman dahulu (ketika ia hidup),

Page 10: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

57

dimana pada masa itu di Andalusia sedang ada pergolakan politik, adanya

perebutan kekuasaan yang melibatkan orang tuanya. Sehingga memaksa ia

sampai harus keluar dari Andalusia. Pada saat itu juga sarana trsportasi juga

masih tradisional. Berdasarkan hal itulah, menurut penulis yang menjadikan

dasar Ibnu Hazm mendefiisikan Ibnu Hazm sebagaimana tersebut.

Karena kata ibnu sabil dalam surat at-Taubah di ‘athaf-kan pada lafadz

sabilillah, seolah-olah Allah berfirman fi-sabilillah dan fi ibnu sabil yang

berarti bahwa, pada sebagian sasaran zakat dengan kalimat (fi) gunanya adalah

untuk kemaslahatan.12 Akan tetapi tetap ada perbedaan antar sabilillah dan ibnu

sabil, yang sama dalam kemaslahatan yitu fisabilillah lebih condong pada

obyek permasalahan sedangkan ibnu sabil pada subyeknya.

Ahli ushul fiqh menetapkan lafadz yang di’athafkan itu membawa

perubahan13, jika ma’thuf ‘alaih berubah, maka ma’thuf-nya juga berubah.

Begitu juga lafadz ibnu sabil yang di’athafkan kepada lafadz sabilillah dengan

huruf ‘athaf wawu yang mempunyai faedah arti yaitu wajibnya berkumpul (al-

Mujam) dan penyesuain dengan hukum (al-ahqaa fii al-Hukmi) yaitu dengan

maksud jika sabilillah maknanya berubah, maka ibnu sabil maknanya juga

berubah.

Lafadz sabilillah berarti pada jalan Allah, dalam kitab-kitab klasik

beranjak dari realitas zaman yang terjadi pada zaman Rasulullah yaitu sebagai

tentara yang berperang melawan orang kafir. Dalam pada itu sesuai dengan

12 Yusuf Qardlawi, Fiqhuz Zakah, terj; Hukum Zakat, Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2002,

hlm. 655 13 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.3, 1993, hlm. 173

Page 11: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

58

perkembangan budaya ketika itu, perlawanan terhadap kekufuran tiada lain

adalah dalam bentuk angkat pedang di medan pertempuran.14

Secara kotemporer keadaan sudah berubah, lebih kompleks tidak

cukup sabilillah diartikan secara harfiah, akan tetapi sabilillah adalah berarti

jalan kebaikan.15 Begitu juga pada permasalahan ibnu sabil yang di’athafkan

dengan lafadz sabilillah yang mengalami perluasan makna, maka ibnu sabil

juga mengalami perluasan makna sebab di’athafkan kepada lafadz fisabilillah.

Bahwa ibnu sabil tidak diartikan secara harfiah yaitu anak jalanan,

tetapi ibnu sabil harus pada permasalahan bepergian dan hambatan. Sehingga

dalam pengembangan pengertian ibnu sabil harus disesuaikan dengan kondisi

sosial dan kemajuan teknologi. Karena hukum dapat berubah karena

disebabkan perubahan zaman. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh:

Artinya : ”Hukum tidak akan berubah melainkan disebabkan oleh perubahan zaman”.16

Pada kaidah ushul fiqh di atas dapat dipahami bahwa hukum dapat

berubah karena disebabkan perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena

itu, hukum Islam bersifat dinamis. Maka dalam hal tersebut, konteks ibnu sabil

dapat berubah disebabkan oleh perubahan perkembangan zaman.

14 M. Saifuddin Zuhri, Zakat Kontekstual, Semarang: Bima Sakti, 2000, hlm. 73 15 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Emas, Juz. X, Cet.III, 1984, hlm. 257 16 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002, hlm. 156

Page 12: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

59

Dalam hal ini bisa di ketahui bahwa al-Qur’an mementingkan rahasia ibnu

sabil, karena Islam senantisa merangsang untuk bepergian karena banyak

sebab, diantaranya:

1. Adanya perjalanan untuk mencari rizki Allah

2. Perjalanan untuk mencari ilmu, memperhatikan dan merenungkan

tanda-tanda kekusaan Allah di alam semesta, sunnahnya bagi

makhluknya pada umumnya dan pada masyarakat pada umumya.17

Hal tersebut adalah bentuk-bentuk bepergian, pelancongan dan

perjalanan di muka bumi yang diperintahkan dan dirangsang oleh Islam, agar

lebih nyata tujuan dilakukannya dan menetapkan perjalanan bagi umat

manusia.

Sudah semestinya agama ini memberikan bagian khusus pada para

musafir yaitu jatah zakat yang dalam surat at-Taubah disebut ibnu sabil. Hal itu

untuk mendorong agar tumbuh keberanian melakukan perjalanan sesuai dengan

maksud yang disyari’atkan.

17 Yusuf Qardlawi, Op.Cit, Hlm. 684

Page 13: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

60

Maka dengan hal tersebut, dapat dimengerti bahwa ibnu sabil adalah

bepergian yang kehabisan bekal. Jika ditarik pda masa sekarang, panafsiran

ibnu sabil harus tetap mengacu pada ciri khusus ibnu sabil, yaitu: bepergian

dan hambatan.

Page 14: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan mengenai konsep ibnu sabil menurut Ibnu Hazm telah

penulis paparkan dalam beberapa bab dalam skripsi ini dan juga telah kami

paparkan beberapa pendapat beserta argumentasinya dalam rangka untuk

mempermudah dsn lebih mendalami dalam menganalisis pendapat Ibnu

Hazm, dan kesemuanya dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Pendapat Ibnu Hazm tentang ibnu sabil adalah orang yang keluar

(bepergian) tidak dalam kemaksiatan, maka dia membutuhkan bantuan.

2. Bahwa menurut penulis penafsiran Ibnu Hazm tentang ibnu sabil yaitu

oang yang keluar tidak dalam kemaksiatan, keluar tidak sama dengan

bepergian. Akan tetapi, yang dimaksud adalah tetap bepergian meskipun

arti dari kata Kharaja adalah keluar. Penafsiran tersebut untuk konteks

masa sekarang ini menurut penulis masih relevan. Hal ini dapat kita

pahami dari kata tidak dalam kemaksiatan, ini berarti lawanya adalah

dalam kebaikan, yang berarti bahwa orang yang keluar (bepergian) untuk

kebaikan atau kemaslahatan dalam rangka untuk menyebarkan agama

islam dapat dikategorikan sebagai ibnu sabil.

3. Bahwa menurut penulis eksistensi ibnu sabil sebagai mustahiq zakat akan

tetap ada. Akan tetapi, pemaknaannya tidak hanya pada musafir yang

kehabisan bekal saja. Untuk konteks masa sekarang diperlukan adanya

perluasan makna dari pada ibnu sabil tersebut, sesuai dengan perubahan

Page 15: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

62

dan perkembangan zaman. Dimana kondisi sosial masyarakat sudah

berbeda dengan zaman dahulu.

4. Bahwa kaitan antara ibnu sabil sebagai mustahiq zakat dengan peran dan

tugas amil adalah: amil zakat berperan sebagai penghubung antara wajib

zakat atau muzakki dan yang berhak menerima zakat. Ia berkewajiban

menyampaikan harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak

dengan cara yang lebih tepat dan terarah sesuai dengan tujuan

disyari’atkannya zakat itu.

B. Saran-saran

Setelah penulis melakukan analisis terhadap pendapat Ibnu Hazm

sebagaimana tersebut diatas, maka penulis mempunyai beberapa saran.

1. Hendaknya kita tahu bahwa dalam mengadakan perubahan dalam hukum

tidaklah berrti merubah aturan dasar yang qath’i dalam al-Qur’an dan al-

Hadits. Akan tetapi semata-mata interpretasi atau penafsiran ulang

terhadap ketentuan hukum dari nash, yang diusahakan agar sesuai dengan

kepentingan umum seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman..

2. Dalam menetapkan suatu hukum hendaklah di pahami terlebih dahulu

dengan sungguh-sungguh apa yang tersurat dengan idak meninggalkan

maqashid al-syari’ah dan tidak boleh terlalu cepat dan terburu-buru

dalam mengambil pengertian nash sebelum mempelajri secara mendalam

dan berfikir yang cukup menimbang secara matang serta mencurahkan

seluruh kemampuannya, sehingga terbentuk suatu hukum.

Page 16: jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-BAB4_210-5

63

C. Penutup

Tidak ada kata yang pantas bagi seorang hamba yang dikaruniai

nikmat kesehatan dalam menyelesaikan karya tulisnya, selain ucapan tasbih,

tahmid, dan takbir serta syukur dihadapan Allah SWT yang Maha Pengasih

dan Penyayang.

Dalam menulis skripsi ini penulis sadar akan kekurangan, namun

dengan pasti bahwa semua itu bukanlah merupakan tujuan kami. Tetapi

kekurangan tersebut merupakan bukti keterbatasan kemampuan kami yang

tidak bisa ditutup-tutupi. Jadi benar, jika ada pepatah yang mengatakan “tidak

ada gading yang tak retak”, itulah kenyataan yang penulis alami.

Akhirnya penulis sangat mengharapkan sekali kritik yang konstruktif

dari pembaca untuk mengoreksi, dalam rangka menuju masa depan keilmuan

yang lebih matng dan maju. Besar harapan kami, semoga skripsi yang

sederhana ini akan memberikan manfaat untuk penulis khusunya dan bagi

pembaca pada umumya.