jtptiain-gdl-s1-2006-ridloumami-877-bab4_210-5
DESCRIPTION
ddTRANSCRIPT
BAB IV
EKSISTENSI IBNU SABIL SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT
RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SEKARANG
A. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Ibnu Sabil Sebagai Mustahiq Zakat
Kaitannya Dengan Peran dan Fungsi Amil Zakat
Dalam rangka mengikuti laju perkembangan zaman serta dalam rangka
menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer dari berbagai aspek
kehidupan dan sosial, kita tidak cukup berpegang pada teks-teks agama secara
normatif berdasarkan pemahaman tekstual, tetapi kita harus menempatkan dan
melihat teks-teks agama tersebut dari berbagai aspek, agar tercipta suatu
ketetapan hukum yang harmonis.
Memandang nash tidak akan cukup dengan hanya memandang dari segi
dzahir. Namun juga dipahami dari segi jiwa suatu nash. Dengan kata lain
memandang suatu nash harus lebih ditekankan pada sisi nilai substansi sebagai
tujuan asal dari pembentukan hukum (maqashid al-syari’ah). Sementara tujuan
awal pembentukan hukum adalah demi terciptanya kehidupan yang penuh
dengan nuansa keadilan di berbagai pihak, kemaslahatan umat manusia,
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mafsadat.1
Pada dasarnya merupakan petunjuk yang komprehensif, karena
didalamnya memuat seruan-seruan, norma-norma dan nilai-nilai yang masih
global. Sehingga dalam tatanan aplikasi mampu menampung semua
1Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997, hlm. 123
49
permasalahan yang ada dan bakal ada disetiap perkembangan zaman. Dengan
seruan norma yang ada tersebut dapat dijadikan suatu suatu aturan yuridis
untuk menentukan suatu hukum yang lebih disesuaikan dengan situasi dan
kondisi setempat.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana permasalahan yang penulis
angkat dalam skripsi ini, yaitu tentang ibnu sabil sebagai mustahiq zakat
menurut Ibnu Hazm.
Dari konsep yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm mengenai ibnu sabil,
yaitu ibnu sabil berarti orang yang keluar (bepergian) tidak dalam
kemaksiatan. Hal ini dijelaskan dalam kitabnya al-Muhalla:
2ابن السبيل هو من خرج يف غري معصية فاحتاج
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa, ibnu sabil sebagai
mustahiq zakat mempunyai kaitan yang sangat erat dengan peran dan tugas
amil zakat.
Sebelum membahas tentang peran dan tugas amil, alangkah baiknya
apabila kita pahami lebih dahulu tentang arti dari amil itu sendiri. Kata 'amil
berasal dari kata 'amal yang biasa diterjemahkan dengan "yang mengerjakan
atau pelaksana".
Sedangkan menurut Ensiklopedi Islam3 yang dimaksud dengan amil
adalah orang atau badan yang mengurus soal zakat dan shadaqah dengan cara
2 Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Beirut: Daar al-Fikr, Juz. 6, hlm.151 3 Quraish Shihab (Eds), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Jilid. I, hlm.
134
50
mengumpulkan, mencatat, dan menyalurkan atau membagikannya kepada
mereka yang berhak menerimanya menurut ketentuan ajaran Islam. Istilah amil
disebutkan dalam al-Qur`an surat at-Taubah ayat 60 yakni sebagai salah satu
dari delapan golongan yang berhak menerima zakat.
Amil adalah para pekerja yang telah diserahi oleh penguasa atau
penggantinya untuk mengambil harta zakat, mengumpulkan, menjaga dan
memindah-mindahkannya. Sehingga termasuk orang yang memberi minum dan
menggembalanya, jika zakat itu berupa ternak. Begitu pula petugas keamanan,
sekretaris, petugas penimbang, tukang hitung dan perangkat lainnya yang
dibutuhkan untuk pengumpulan dan pembagian zakat.4
Dari beberapa pengertian amil diatas maka, tugas dari pada amil adalah
meliputi: pemungutan, yaitu mengamati dan menetapakan para muzakki,
menetapakan jenis-jenis harta mereka yang wajib dizakati, dan jumlah yang
harus mereka bayar. Penyimpanan dan pendistribusian(pen-tasharruf-an).
Pembagian zakat sesuai dengan Q.S 9: 60 ada delapan kelompok (ashnaf al-
Tsamaniyah). Agar pelaksanaan pen-tasharruf-an zakat dapat berjalan dengan
baik, maka harus dilakukan upaya pendataan terhadap muzakki, barang yang
wajib dizakati dan mustahiq zakat.5 Dengan pendataan yang cermat terhadap
para wajib zakat dan harta yang wajib dizakati, diharapkan para wajib zakat
tidak enggan lagi untuk melaksanakan kewajibannya. Demikian juga terhadap
mustahiq, diharapkan pembagian zakat lebih tepat guna.
4 Ibn Salam, Al-Amwaal,Beirut: Daar al-Kutub , hlm. 748 5 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LkiS, 1994, hlm. 149
51
Selanjutnya para pembagi bertugas mengamati dan menetapkan. Setelah
pengamatan dan penelitian yang seksama siapa saja yang berhak mendapatkan
zakat, perkiraan kebutuhan mereka, kemudian membagikan kepada masing-
masing yang mebutuhkan dengan meempertissmbangkan jumlah zakat yang
diterima dan kebutuhan mereka masing-masing.
Disini para amil harus lebih banyak mengetahui petunjuk agama yang
menyangkut tugas-tugasnya, seperti misalnya siapa yang dimaksud dengan
fakir, miskin, gharim, al-mu'allaf qulubuhum, ibnu sabil, sabilillah, dan
sebagainya. Amil zakat berperan sebagai penghubung antara wajib zakat atau
muzakki dan yang berhak menerima zakat.6 Ia berkewajiban menyamnpaikan
harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara yang lebih
tepat dan terarah sesuai dengan tujuan disyari’atkannya zakat itu. Harta zakat
yang telah diserahkan wajib zakat kepada amil zakat adalah merupakan amanah
yang wajib dipegang teguh dan dipertanggungjawabkannya. ‘Amil harus
bertindak sebaik mungkin sehingga mencapai daya guna yang maksimal.
Tentang kepada siapa zakat itu diberikan dan bagaimana cara pemberiannya
terserah pada pertimbangan amil. Hal yag pasti ia harus menyampaikan amanh
itu kepada pihak yang berhak sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’
ayat 58 yang berbunyi:
)58: النساء( اهلها اىل ؤدواالمنتت ان مركم ياء اناهللا
6 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Jakarta:
52
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pihak yang berhak menerimanya”.(Q.S.an-Nisa’: 58)
Berdasarkan uraian di atas, telah diketahui bahwa ibnu sabil merupakan
salah satu pihak yang berhak menerima zakat. Oleh karenaya ia akan selalu
ada. Hanya saja, pemaknaan atas ibnu sabil itu perlu adanya perluasan. Para
fuqaha selama ini mengartikan ibnu sabil (anak jalanan) dengan “musafir yang
kehabisan bekal”. Pengertian ini benar dan relevan.7 Akan tetapi, pengertian ini
belum mencakup keseluruhannya. Lahir dari konteks sosial tertentu, pengertian
tadi menunjuk pada pengertian yang lebih sempit. Ketika keadaan masyarakat
sudah menjadi kompleks, kebutuhan untuk menengok kembali pada pengertian
awal ibnu sabil sebelum dibatasi dengan pengertian-pengertian tertentu menjadi
sangat perlu.8 Oleh karena itu, untuk konteks masa sekarang perlu adanya
perluasan makna atau pengertian terhadap ibnu sabil. Kembali pada pengertian
awal, kita akan dapat melihat cakrawala yang luas. Anak jalanan, sebagaimana
yang lazim kita pahami , mengacu kepada pengertian orang-orang yang tengah
berada dalam keadaan tunawisma / tidak bertempat tinggal (gelandangan)9.
Bukan lantaran kemiskinan yang diderita, melainkan lebih disebabkan oleh
karena hal-hal lain yang bersifat kecelakaan. Pengertian ini tentu lebih luas dan
lebih relevan dari pada hanya mencakup “pelancong yang kekurangan bekal”,
seperti yang kita pahami selama ini. Oleh karena itu, dalam konteks pen-
tasharruf-an dana zakat untuk sektor ibnu sabil dapat dialokasikan, bukan saja
7 Masdar F. Mas’udi, Menggagas Ulang Zakat (Sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara
untuk Rakyat)), Bandung: Mizan, 2005, hlm. 127 8 Ibid 9 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmih Populer, Surabaya: Arkola,
1994, hlm. 765
53
untuk keperluan musafir yang kehabisan bekal saja, melainkan juga untuk
keperluan para pengungsi, orang yang kena musibah bencana alam,10 seperti
korban bencana alam tanah longsor, banjir, gunung meletus, angin topan, dan
korban bencana alam lainnya.
Berkaitan dengan masalah pen-tasharruf-an zakat, sebagaimana yang
telah disebutkan dalam al-Qur`an surat at-Taubah ayat 60, zakat hanya
diperuntukkan untuk delapan golongan (ashnaf Tsamaniyah).
Selanjutnya, pada pembahasan ini penulis hanya akan membatasi pada
permasalahan tentang ibnu sabil sebagai salah satu mustahiq zakat menurut
Ibnu Hazm kaitannya dengan peran dan amil. Sebagaimana pendapat Ibnu
Hazm tentang ibnu sabil yaitu orang yang bepergian bukan dalam kemaksiatan
lalu dia membutuhkan (bantuan). Menurut penulis, dari konsep ibnu sabil yang
dikemukakan oleh Ibnu Hazm tersebut masih sesuai dengan konteks masa
sekarang. Bepergian tidak dalam kemaksiatan, ini berarti setiap orang yang
bepergian untuk kebaikan, dalam rangka menegakkan agama Allah dapat
dimasukkan dalam golongan ibnu sabil. Karena ajaran Islam bersifat dinamis
dan selalu responsif terhadap tuntutan-tuntutan perkembangan zaman. Maka,
segala bentuk perjalanan, dalam rangka untuk kemaslahatan umum sangat
dianjurkan oleh Islam. Jika Islam terlihat mandeg, maka sesungguhnya yang
statis dan beku adalah pemikiran-pemikiran umat Islam itu tentang agama.
Islam sendiri-sebagai agama wahyu untuk umat manusia sampai akhir zaman-
niscaya punya potensi untuk selalu dinamis, responsive dan mampu
10 Masdar F. Mas’udi, Op.Cit, hlm. 128
54
memecahkan segala masalah manusia.11 Oleh karena itu pemaknaan terhadap
ibnu sabil tidak hanya terbatas pada musafir yang kehabisan bekal saja. Tetapi
bisa menunjuk kepada jalan yang lain, yang masih dalam konteks bepergian
dan hambatan. Karena kehabisan bekal untuk masa sekarang ini, menurut
penulis lebih karena diakibatkan faktor teknis.
Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis ibnu sabil sebagai mustahiq
zakat akan selalu ada. Akan tetapi perlu adanya perluasan makna atas ibnu
sabil, yang disesuaikan dengan konteks masyarakat sekarang. Dimana zaman
akan selalu berkembang dari waktu ke waktu, dari masa ke masa. Untuk itu,
kaitan antara ibnu sabil dengan peran dan tugas amil zakat sangat jelas. Dimana
fungsi amil zakat adalah sebagai penghubung anatara wajib zakat dan atau
muzakki dengan yang berhak menerima zakat, ia berkewajiban menyampaikan
harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak dengan cara yang lebih
tepat dan terarah sesuai dengan tujuan disyari’atkannya zakat itu. Dan untuk
sektor ibnu sabil sendiri , tidak hanya terbatas kepada musafir saja. Karena
untuk konteks masa sekarang, boleh dikatakan sudah tidak ada musafir yang
kehabisan bekal. Karena sarana transportasi sudah semakin canggih dan
banyak, dan misalkan ada musafir yang sampai kehabisan bekal itu lebih
dikarenakan masalah teknis. Tetapi ibnu sabil untuk masa sekarang, bagiannya
dapat dialokasikan untuk jalan yang lain, seperti untuk korban bencana alam,
pemberian bantuan kepada orang yang menuntut ilmu.
11 Amin Rais, Cakrawala Islam (Antara Cita dan Fakta), Bandung: Mizan, 1996, hlm. 58
55
Ibnu sabil sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, banyak hal
yang dapat dimasukkan dalam kriteria tersebut, asal masih dalam konteks
bepergian dan hambatan serta tidak dalam kemaksiatan. Seperti, orang yang
sedang pergi (keluar dari tempat tinggal tinggalnya) untuk menuntut ilmu,
korban bencana alam, orang yang sedang menuntut ilmu, dan para pengungsi.
B. Metode Istinbath Hukum Ibnu Hazm tentang Ibnu sabil Relevansinya
Dengan Masa Sekarang
Dalam sejarah pemikiran Islam, para fuqaha telah mengembangkan
karya besar mereka dalam menentukan cara-cara yang ditempuh untuk
menetapkan hukum suatu persoalan atau bahkan mengantisipasi persoalan
yang akan muncul dalam kehidupan kaum muslimin. Inilah warisan
intelektual yang agung dan sangat kreatif yang dapat dijadikan sebagai
panduan generasi berikutnya dalam memahami hukum Islam serta aplikasinya
dalam kehidupan sehari-hari.
Secara teoritis ulama-ulama sepakat bahwa fiqh dikembangkan dari
empat sumber pokok, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda.
Keempat sumber pokok tersebut adalah al-Qur'an, sunnah, ijma', dan qiyas,
yang pada perkembangannya membentuk struktur hukum yang khusus dalam
Islam, sebagai hukum yang dijabarkan langsung dari al-Qur'an.
Berdasarkan hal itu, Ibnu Hazm sebagai tokoh fiqh dalam memutuskan
hukum tentang ibnu sabil, Ibnu Hazm berpegang pada ayat 60 surat at-Taubah
sebagai berikut:
56
امناالصد قا ت للفقراءواملساكني والعاملني عليها واملؤ لفة قلوم من وىف الرقاب والغا رمني ويف سبيل اهللا واين السبيل فريضة
)60: التوبة(اهللا واهللا عليم حكيم
Artinya :
”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk oang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, pr mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, unuk jaln Allah dn orng-orng yang sedang dalam perjalanan sebagi ketetapan yang diwajibkn Allh, dn Allah Mah Mengetahui lagi Maha Bijaksana,” (Q.S at-Taubah: 60) Bahwa ayat tersebut meunjuk golongan yang mendapatkan zakat
diantaranya adalah ibnu sabil. Menurut Ibnu Hazm ibnu sabil adalah:
ابن السبيل هو من خرج يف غري معصية فاحتاج
Artinya :
“Orang yng keluar (bepergian) bukan dalam maksiat lalu dia membutuhkan bantuan.”
Dari konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Hazm tentang ibnu sabil yaitu
seseorang yang keluar (bepergian) tidak dalam kemaksiatan lalu dia
membutuhkan (bantuan). Meskipun arti secara bahasanya, “seseorang yang
keluar”, akan tetapi menurut penulis maksudnya adalah “orang yang sedang
dalam perjalanan” yang bukan dalam kemaksiatan. Ini berarti lawan dari
kemaksiatan adalah kebaikan, artinya seseorang yang sedang dalam perjalanan
untuk kebaikan adalah termasuk dala ibnu sabil.
Sebagaimana konsep ibnu sabil yang ditawarkan oleh Ibnu Hazm
tersebut, karena Ibnu Hazm menengok pada zaman dahulu (ketika ia hidup),
57
dimana pada masa itu di Andalusia sedang ada pergolakan politik, adanya
perebutan kekuasaan yang melibatkan orang tuanya. Sehingga memaksa ia
sampai harus keluar dari Andalusia. Pada saat itu juga sarana trsportasi juga
masih tradisional. Berdasarkan hal itulah, menurut penulis yang menjadikan
dasar Ibnu Hazm mendefiisikan Ibnu Hazm sebagaimana tersebut.
Karena kata ibnu sabil dalam surat at-Taubah di ‘athaf-kan pada lafadz
sabilillah, seolah-olah Allah berfirman fi-sabilillah dan fi ibnu sabil yang
berarti bahwa, pada sebagian sasaran zakat dengan kalimat (fi) gunanya adalah
untuk kemaslahatan.12 Akan tetapi tetap ada perbedaan antar sabilillah dan ibnu
sabil, yang sama dalam kemaslahatan yitu fisabilillah lebih condong pada
obyek permasalahan sedangkan ibnu sabil pada subyeknya.
Ahli ushul fiqh menetapkan lafadz yang di’athafkan itu membawa
perubahan13, jika ma’thuf ‘alaih berubah, maka ma’thuf-nya juga berubah.
Begitu juga lafadz ibnu sabil yang di’athafkan kepada lafadz sabilillah dengan
huruf ‘athaf wawu yang mempunyai faedah arti yaitu wajibnya berkumpul (al-
Mujam) dan penyesuain dengan hukum (al-ahqaa fii al-Hukmi) yaitu dengan
maksud jika sabilillah maknanya berubah, maka ibnu sabil maknanya juga
berubah.
Lafadz sabilillah berarti pada jalan Allah, dalam kitab-kitab klasik
beranjak dari realitas zaman yang terjadi pada zaman Rasulullah yaitu sebagai
tentara yang berperang melawan orang kafir. Dalam pada itu sesuai dengan
12 Yusuf Qardlawi, Fiqhuz Zakah, terj; Hukum Zakat, Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2002,
hlm. 655 13 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.3, 1993, hlm. 173
58
perkembangan budaya ketika itu, perlawanan terhadap kekufuran tiada lain
adalah dalam bentuk angkat pedang di medan pertempuran.14
Secara kotemporer keadaan sudah berubah, lebih kompleks tidak
cukup sabilillah diartikan secara harfiah, akan tetapi sabilillah adalah berarti
jalan kebaikan.15 Begitu juga pada permasalahan ibnu sabil yang di’athafkan
dengan lafadz sabilillah yang mengalami perluasan makna, maka ibnu sabil
juga mengalami perluasan makna sebab di’athafkan kepada lafadz fisabilillah.
Bahwa ibnu sabil tidak diartikan secara harfiah yaitu anak jalanan,
tetapi ibnu sabil harus pada permasalahan bepergian dan hambatan. Sehingga
dalam pengembangan pengertian ibnu sabil harus disesuaikan dengan kondisi
sosial dan kemajuan teknologi. Karena hukum dapat berubah karena
disebabkan perubahan zaman. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh:
Artinya : ”Hukum tidak akan berubah melainkan disebabkan oleh perubahan zaman”.16
Pada kaidah ushul fiqh di atas dapat dipahami bahwa hukum dapat
berubah karena disebabkan perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena
itu, hukum Islam bersifat dinamis. Maka dalam hal tersebut, konteks ibnu sabil
dapat berubah disebabkan oleh perubahan perkembangan zaman.
14 M. Saifuddin Zuhri, Zakat Kontekstual, Semarang: Bima Sakti, 2000, hlm. 73 15 Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Emas, Juz. X, Cet.III, 1984, hlm. 257 16 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 156
59
Dalam hal ini bisa di ketahui bahwa al-Qur’an mementingkan rahasia ibnu
sabil, karena Islam senantisa merangsang untuk bepergian karena banyak
sebab, diantaranya:
1. Adanya perjalanan untuk mencari rizki Allah
2. Perjalanan untuk mencari ilmu, memperhatikan dan merenungkan
tanda-tanda kekusaan Allah di alam semesta, sunnahnya bagi
makhluknya pada umumnya dan pada masyarakat pada umumya.17
Hal tersebut adalah bentuk-bentuk bepergian, pelancongan dan
perjalanan di muka bumi yang diperintahkan dan dirangsang oleh Islam, agar
lebih nyata tujuan dilakukannya dan menetapkan perjalanan bagi umat
manusia.
Sudah semestinya agama ini memberikan bagian khusus pada para
musafir yaitu jatah zakat yang dalam surat at-Taubah disebut ibnu sabil. Hal itu
untuk mendorong agar tumbuh keberanian melakukan perjalanan sesuai dengan
maksud yang disyari’atkan.
17 Yusuf Qardlawi, Op.Cit, Hlm. 684
60
Maka dengan hal tersebut, dapat dimengerti bahwa ibnu sabil adalah
bepergian yang kehabisan bekal. Jika ditarik pda masa sekarang, panafsiran
ibnu sabil harus tetap mengacu pada ciri khusus ibnu sabil, yaitu: bepergian
dan hambatan.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan mengenai konsep ibnu sabil menurut Ibnu Hazm telah
penulis paparkan dalam beberapa bab dalam skripsi ini dan juga telah kami
paparkan beberapa pendapat beserta argumentasinya dalam rangka untuk
mempermudah dsn lebih mendalami dalam menganalisis pendapat Ibnu
Hazm, dan kesemuanya dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Pendapat Ibnu Hazm tentang ibnu sabil adalah orang yang keluar
(bepergian) tidak dalam kemaksiatan, maka dia membutuhkan bantuan.
2. Bahwa menurut penulis penafsiran Ibnu Hazm tentang ibnu sabil yaitu
oang yang keluar tidak dalam kemaksiatan, keluar tidak sama dengan
bepergian. Akan tetapi, yang dimaksud adalah tetap bepergian meskipun
arti dari kata Kharaja adalah keluar. Penafsiran tersebut untuk konteks
masa sekarang ini menurut penulis masih relevan. Hal ini dapat kita
pahami dari kata tidak dalam kemaksiatan, ini berarti lawanya adalah
dalam kebaikan, yang berarti bahwa orang yang keluar (bepergian) untuk
kebaikan atau kemaslahatan dalam rangka untuk menyebarkan agama
islam dapat dikategorikan sebagai ibnu sabil.
3. Bahwa menurut penulis eksistensi ibnu sabil sebagai mustahiq zakat akan
tetap ada. Akan tetapi, pemaknaannya tidak hanya pada musafir yang
kehabisan bekal saja. Untuk konteks masa sekarang diperlukan adanya
perluasan makna dari pada ibnu sabil tersebut, sesuai dengan perubahan
62
dan perkembangan zaman. Dimana kondisi sosial masyarakat sudah
berbeda dengan zaman dahulu.
4. Bahwa kaitan antara ibnu sabil sebagai mustahiq zakat dengan peran dan
tugas amil adalah: amil zakat berperan sebagai penghubung antara wajib
zakat atau muzakki dan yang berhak menerima zakat. Ia berkewajiban
menyampaikan harta zakat yang diterimanya itu kepada yang berhak
dengan cara yang lebih tepat dan terarah sesuai dengan tujuan
disyari’atkannya zakat itu.
B. Saran-saran
Setelah penulis melakukan analisis terhadap pendapat Ibnu Hazm
sebagaimana tersebut diatas, maka penulis mempunyai beberapa saran.
1. Hendaknya kita tahu bahwa dalam mengadakan perubahan dalam hukum
tidaklah berrti merubah aturan dasar yang qath’i dalam al-Qur’an dan al-
Hadits. Akan tetapi semata-mata interpretasi atau penafsiran ulang
terhadap ketentuan hukum dari nash, yang diusahakan agar sesuai dengan
kepentingan umum seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman..
2. Dalam menetapkan suatu hukum hendaklah di pahami terlebih dahulu
dengan sungguh-sungguh apa yang tersurat dengan idak meninggalkan
maqashid al-syari’ah dan tidak boleh terlalu cepat dan terburu-buru
dalam mengambil pengertian nash sebelum mempelajri secara mendalam
dan berfikir yang cukup menimbang secara matang serta mencurahkan
seluruh kemampuannya, sehingga terbentuk suatu hukum.
63
C. Penutup
Tidak ada kata yang pantas bagi seorang hamba yang dikaruniai
nikmat kesehatan dalam menyelesaikan karya tulisnya, selain ucapan tasbih,
tahmid, dan takbir serta syukur dihadapan Allah SWT yang Maha Pengasih
dan Penyayang.
Dalam menulis skripsi ini penulis sadar akan kekurangan, namun
dengan pasti bahwa semua itu bukanlah merupakan tujuan kami. Tetapi
kekurangan tersebut merupakan bukti keterbatasan kemampuan kami yang
tidak bisa ditutup-tutupi. Jadi benar, jika ada pepatah yang mengatakan “tidak
ada gading yang tak retak”, itulah kenyataan yang penulis alami.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan sekali kritik yang konstruktif
dari pembaca untuk mengoreksi, dalam rangka menuju masa depan keilmuan
yang lebih matng dan maju. Besar harapan kami, semoga skripsi yang
sederhana ini akan memberikan manfaat untuk penulis khusunya dan bagi
pembaca pada umumya.