bab ii 2100275 -...

30
11 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BERACARA DI PENGADILAN AGAMA A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perdata yang terjadi di antara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa, harus mengajukan permintaan pemeriksaan persengketaan kepada Pengadilan. Apabila salah satu pihak sudah mengajukan permintaan pemeriksaan, persengketaan menjelma menjadi “perkara”. Di sidang Pengadilan selama sengketa tidak diminta campur tangan Pengadilan untuk mengadili, Pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Pengadilan dilarang mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh mencari perkara untuk diadili. Hal ini ditegaskan dalam pasal 55 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut pasal tersebut, tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukan suatu permohonan” atau “gugatan”. Kemudian berdasarkan permohonan atau gugatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri pemeriksaan di sidang Pengadilan. Bertitik tolak dari pasal 55 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut, dihubungkan dengan penjelasan pasal 60 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, di lingkungan Peradilan Agama dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada

Upload: buikhanh

Post on 13-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

11

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BERACARA

DI PENGADILAN AGAMA

A. Gugatan dan Permohonan

Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

perkara perdata yang terjadi di antara anggota masyarakat, salah satu pihak

yang bersengketa, harus mengajukan permintaan pemeriksaan persengketaan

kepada Pengadilan. Apabila salah satu pihak sudah mengajukan permintaan

pemeriksaan, persengketaan menjelma menjadi “perkara”. Di sidang

Pengadilan selama sengketa tidak diminta campur tangan Pengadilan untuk

mengadili, Pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Pengadilan dilarang

mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh

mencari perkara untuk diadili. Hal ini ditegaskan dalam pasal 55 UU No.7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut pasal tersebut, tiap

pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukan suatu

“permohonan” atau “gugatan”. Kemudian berdasarkan permohonan atau

gugatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri pemeriksaan

di sidang Pengadilan.

Bertitik tolak dari pasal 55 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama tersebut, dihubungkan dengan penjelasan pasal 60 UU No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama, di lingkungan Peradilan Agama dikenal dua

sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada

Page 2: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

12

Pengadilan. Yang pertama disebut permohonan dan yang kedua disebut

gugatan. Hal itu yang akan dibicarakan pada bagian ini, karena berbicara

mengenai masalah permohonan atau gugatan tidak sesederhana yang

dibicarakan orang awam.

Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah, bahwa dalam

perkara gugatan atau perkara kontensius ada suatu sengketa, suatu konflik

yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Dalam suatu gugatan

ada seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah

dilanggar, akan tetapi orang yang “dirasa” melanggar haknya atau hak mereka

itu tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk

menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan

hakim. Di sini hakim benar-benar berfungsi sebagai hakim yang mengadili

dan memutus siapa di antara pihak-pihak itu yang benar dan siapa yang tidak

benar.1

Perkara gugatan atau perkara kontensius mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut :

1. Gugatan bersifat partai

Dalam gugat / kontensius pihak penggugat menarik orang lain yang

disebut pihak kedua yang menjadi pihak tergugat. Pihak kedua yang

ditarik penggugat sebagai pihak tergugat harus orang yang benar-benar

mempunyai hubungan hukum dengan permasalahan yang disengketakan

1 Ny. Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam

Teori dan Praktek, Bandung; Mandar Maju, 1989, hlm. 7

Page 3: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

13

dalam gugatan. Tidak boleh sembarangan orang ditempatkan dalam posisi

tergugat. Jika pihak kedua yang dijadikan pihak tergugat, tidak ada

sangkut paut dengan apa yang disengketakan, gugatan dianggap tidak

memenuhi syarat formil. Gugatan yang demikian mengandung cacat

“error in persona”, orang yang digugat keliru atau “diskualifikasi in

person” atau disebut juga “gemis aanhoedanigheid”.

2. Petitum dan putusan bersifat “condemnatoir”

Ciri yang kedua dalam gugatan / kontensius biasa diminta putusan

yang bersifat “condemnatoir”. Memang sifat yang condemnatoir itulah

tujuan utama gugatan / kontensius. Yakni permintaan dalam petitum gugat

agar tergugat dihukum :

(1) menyerahkan sesuatu

(2) meninggalkan sesuatu

(3) membongkar sesuatu

(4) mengosongkan sesuatu

(5) melakukan / tidak melakukan sesuatu

(6) membayar sejumlah uang tertentu.2

Dalam perkara yang disebut permohonan atau perkara voluntair tidak

ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersama-

sama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal

bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan pasal 260 a H.I.R.

2 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta;

Pustaka Kartini, 1990, hlm. 201

Page 4: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

14

di sini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata

usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazim

disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan,

menerangkan saja. Dalam hal ini hakim tidak memutuskan suatu konflik

seperti halnya dalam suatu gugatan.3

Perkara permohonan atau perkara voluntair mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut :

1. Gugatan bersifat sepihak

Pihak yang terlihat hanya satu yakni pihak pemohon sendiri. Tidak

ada orang lain yang ditarik sebagai pihak Tergugat. Itu sebabnya perkara

voluntair disebut juga permohonan sepihak atau permohonan yang tidak

bersifat partai. Boleh juga pemohon memasukkan orang lain dalam

permohonan. Tapi kedudukan orang tersebut bukan subjek yang bersdiri

sebagai pihak tergugat. Mereka berada dalam gugatan tak ubahnya sebagai

objek yang “pasif”. Seperti dalam permohonan penetapan ahli waris.

2. Permintaan dan putusan bersifat “Declaratoir”

Permintaan atau katakanlah petitumnya bersifat declaratoir, hanya

meminta suatu deklarasi tentang suatu keadaan atau kedudukan. Seperti

dalam contoh permohonan penetapan ahli waris. Dalam putusan biasanya

berbunyi “menyatakan”.4

3 Ny. Retnowulan Sutantio, Op. cit., hlm. 7 4 M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 198

Page 5: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

15

Di Pengadilan agama ada permohonan yang perkaranya mengandung

sengketa, sehingga didalamnya ada dua pihak yang disebut Pemohon dan

Termohon, yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan

ijin poligami.

Pada prinsipnya setiap gugatan / permohonan harus dibuat secara

tertulis, bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis,

maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Pengadilan Agama

di tempat kediaman isteri (pasal 66 ayat (1), (2) jo. pasal 73 ayat (1) UU.

No.7 Tahun 1989).

Tentang bentuk gugatan seperti tersebut di atas dapat disimpulkan dari

ketentuan pasal 118 ayat (1) H.I.R. atau pasal 142 ayat (1) R.Bg. dan pasal

120 H.I.R. atau pasal 144 ayat (1) R.Bg. Dari ketentuan pasal-pasal dimaksud,

gugatan dapat :5

1. Bentuk tertulis

Jika gugatan / permohonan berbentuk tertulis, harus memenuhi

syarat formil berupa tanda tangan dan bermaterai cukup sesuai dengan

ketentuan peraturan materai yang berlaku. Gugatan / permohonan yang

berbentuk tertulis inilah yang disebut “surat gugatan / permohonan”.

Mengenai penandatanganan surat gugatan / permohonan dapat

dilakukan penggugat / pemohon “in person”, tetapi boleh juga

ditandatangani oleh seorang atau beberapa kuasa, asal si kuasa sebelum

membuat dan menandatangani surat gugatan / permohonan telah lebih dulu

5 Ibid., hlm. 194-196

Page 6: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

16

mendapat “surat kuasa khusus”, jika surat kuasa yang dimiliki hanya

bersifat kuasa umum, kuasa tidak sah menandatangani surat gugatan /

permohonan. Misalnya dapat dilihat salah satu putusan MA. Tanggal 27-7-

1974 No. 351 K / Sip / 1973. dalam putusan ini ditegaskan “surat kuasa

untuk menjaga, mengurus harta benda yang bergerak dan tidak bergerak,

tanah, rumah, hutang dan semua kepentingan seseorang adalah surat kuasa

umum yang bagaimanapun tidak dapat dianggap sebagai surat kuasa

khusus untuk keperluan berperkara di depan Pengadilan”.

Mengenai permasalahan surat gugatan / permohonan bermaterai

cukup, memang benar ketentuan formil, tapi sekaligus bersifat

administratif. Maksudnya sekiranya pada saat dimasukkan serat gugatan /

permohonan ternyata belum bermaterai cukup, panitera yang menerimanya

bisa menyuruh dipenuhi kepada penggugat / pemohon.

2. Bentuk lisan

Bentuk gugat yang kedua berbentuk “lisan”, hal ini diatur dalam

pasal 120 H.I.R. atau pasal 144 ayat (1) R.Bg. Di situ ditegaskan, bilamana

penggugat buta huruf, gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua

Pengadilan. Terhadap gugat lisan tersebut Ketua Pengadilan “mencatat”

atau “menyuruh catat” kepada salah seorang pejabat Pengadilan, kemudian

dari catatan itu Ketua Pengadilan menformulasikannya berupa surat

gugatan.

Tujuan memberi kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan,

untuk membuka kesempatan kepada rakyat pencari keadilan yang buta

Page 7: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

17

aksara membela dan mempertahankan haknya. Menghadapi kasus yang

seperti ini benar-benar berjumpa fungsi Pengadilan untuk memberi

bantuan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 119 H.I.R. atau pasal

143 ayat (1) R.Bg. jo. Pasal 58 ayat (2) UU. No.7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama. Dalam memberi bantuan memformulasi gugatan lisan

yang disampaikan, ketua Pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud

dan tujuan yang dikehendaki, pasti akan merugikan pihak Penggugat. Oleh

karena itu, kebodohan Penggugat, jangan semakin dibodoh-bodohi. Hal

seperti itu dapat dilihat dari putusan MA. Tanggal 28-11-1956 No.195 K /

Sip /1955 yang dapat disadur antara lain : dalam membuat gugat lisan

dihubungkan dengan ketentuan pasal 119 H.I.R., Ketua Pengadilan harus

membuat gugatan dengan riil sebagaimana yang dikehendaki penggugat

sehingga benar-benar sengketa dapat diselesaikan.

Setelah mengetahui berbagai macam pra syarat dalam pembuatan

surat gugatan / permohonan, berikut akan coba diuraikan pokok-pokok

formulasi dan sistematika gugatan / permohonan, sesuai dengan ketentuan

hukum.

Dalam formulasi dan sistematika surat gugatan atau permohonan itu

tidak terdapat ketentuan yang jelas dalam H.I.R., tetapi dalam praktek isi

gugatan / permohonan itu harus memuat hal-hal sebagai berikut :

1. Identitas para pihak (penggugat / pemohon dan tergugat / termohon) yang

meliputi :

a. nama (beserta bin atau binti dan aliasnya jika ada)

Page 8: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

18

b. umur

c. agama

d. pendidikan

e. pekerjaan

f. tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui

hendaknya ditulis, “Dahulu bertempat di…… tetapi sekarang tidak

diketahui tempat tinggalnya di Indonesia”.

2. Posita, yaitu dalil-dalil (penjelasan-penjelasan) keadaan yang konkrit

(nyata) mengenai adanya hubungan hukum sebagai dasar dari permohonan

/ tuntutan / alasan-alasan yang mendukung tuntutan / permohonan itu

(fundamentum petendi). Posita itu memuat :

a. Dalil / alasan-alasan yang bersifat kenyataan (feitelijke gronden)

artinya alasan-alasan yang berdasarkan kenyataan-kenyataan / fakta /

peristiwa. Syarat inilah yang harus dipenuhi oleh penggugat / pemohon

dan merupakan hal yang wajib untuk mudah diketahui duduk

perkaranya.

b. Dalil yang bersifat juridich (alasan yang berdasarkan hukum)

(Rechtelijke gronden). Tetapi hal ini bukan merupakan keharusan,

hakimlah yang harus melengkapinya nanti dalam keputusan.

Page 9: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

19

3. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat / pemohon agar

dikabulkan oleh hakim, biasanya dibagi dalam dua tuntutan, yaitu primair

dan subsidair.6

B. Prosedur Beracara atau Proses Pemeriksaan di Pengadilan Agama

Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui

tahap-tahap dalam Hukum Acara Perdata. Setelah hakim terlebih dahulu

berusaha melakukan perdamaian yang dalam perkara perdata pada umumnya

diatur dalam pasal 130 H.I.R./ pasal 154 R.Bg. dan pasal 14 ayat (2) UU No.

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sedangkan dalam perkara perceraian pada khususnya di atur dalam pasal 56

ayat (2), 65, 82, 83 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal

31, 32 PP No. 9 Tahun 1975.7

Jika usaha perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian (acta

van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi

perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Akta perdam,aian mempunyai

kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan.

Apabila ada pihak yang tidak mau mentaati isi perdamaian maka pihak yang

dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Akta

perdamaian hanya bisa dibuat dalam sengketa mengenai kebendaan saja yang

memungkinkan untuk dieksekusi. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan

6 Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan

Praktek, Bandung; Sumber Bahagia, 1991, hlm. 60-62 7 Mukti Arto., Op. cit., hlm. 92-93

Page 10: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

20

banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Demikian pula terhadap akta

perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.

Dalam sengketa yang berkaitan dengan status seseorang (perceraian)

maka tindakan hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa

untuk menghentikan persengketaannya ialah mengupayakan tidak terjadinya

perceraian. Hal ini dilakukan pada sidang pertama, dimana kedua belah pihak

harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat tinggal

di luar negeri dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi, dapat diwakili

oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila kedua belah

pihak bertempat tinggal di luar negeri, maka penggugat dalam sidang

perdamaian itu harus menghadap secara pribadi.

Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan

pada semua tingkat Peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun

kasasi selama perkara belum diputus pada tingkat tersebut.

Apabila dalam usaha perdamaian hakim tidak berhasil, maka

pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan prosedur beracara di Pengadilan

Agama. Tahap-tahap pemeriksaan tersebut antara lain :

1. Pembacaan Gugatan

Surat gugatan bukanlah merupakan alat bukti, tetapi merupakan

dalil gugatan yang harus dibuktikan di dalam persidangan Majelis Hakim.

Oleh karena itu surat gugatan haruslah dibuat dengan baik dan benar,

harus lengkap para pihak-pihak yang berperkara, harus memenuhi syarat-

syarat dan unsur sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Page 11: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

21

Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat beberapa kemungkinan

dari penggugat / pemohon, yaitu :

a. Penggabungan gugatan

Penggabungan gugatan terhadap beberapa masalah hukum

dalam satu surat gugatan tidak dilarang oleh Hukum Acara Perdata.

Boleh saja digabungkan dalam satu gugatan asalkan ada hubungan erat

atau koneksitas satu sama lain. Untuk mengetahui adanya koneksitas

dalam persoalan yang akan digugat itu perlu dilihat dari sudut

kenyataan peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta hukum yang menjadi

dasar tuntutan. Tujuan penggabungan gugatan itu tidak lain agar

perkara itu dapat diperiksa oleh hakim yang sama guna menghindarkan

kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan. Apabila

terjadi penggabungan gugatan akan mempermudah jalannya

pemeriksaan, akan menghemat biaya, tenaga dan waktu. Asas cepat,

sederhana dan biaya ringan dapat dilaksanakan dalam penyelesaian

suatu perkara.

Tidak jarang terjadi bahwa penggugat yang terdiri lebih dari

seorang melawan tergugat yang hanya seorang saja atau seorang

penggugat melawan tergugat yang lebih dari seorang atau kedua pihak

masing-masing terdiri lebih dari seorang. Hal ini disebut “kumulasi

subyektif”: penggabungan dari pada subyek. Undang-undang ini tidak

melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa orang

tergugat (pasal 127 H.I.R./ 151 R.Bg.). Terhadap kumulasi subyektif

Page 12: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

22

ini tergugat dapat mengajukan keberatannya: tidak menghendaki

kumulasi subyektif, tidak menghendaki dirinya digabungkan dengan

tergugat lainnya. Sebaliknya dapat terjadi bahwa tergugat justru

menghendaki kumulasi subyektif: menghendaki diikutsertakannya

tergugat-tergugat lainnya dalam gugatan. Tangkisan tergugat ini, yaitu

bahwa masih ada orang lain yang diikutsertakan dalam sengketa

sebagai pihak yang berkepentingan, disebut exceptio plurium litis

consortium. Sekalipun tidak ada ketentuannya, tetapi pada umumnya

dapatlah dikatakan bahwa antara tuntutan-tuntutan yang diajukan

terhadap pelbagai tergugat haruslah ada hubungannya yang erat, serta

harus ada koneksitas.

Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih dari

satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan

penggabungan dari pada tuntutan yang disebut “komulasi obyektif”.

b. Perubahan gugatan

Perubahan dan/atau penambahan gugatan di perkenankan, asal

diajukan pada hari sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal

tersebut harus ditanyakan pada pihak lawan guna pembelaan

kepentingannya. Perubahan yang bersifat menyempurnakan,

menegaskan atau menjelaskan surat gugatan / permohonan dapat

diijinkan, demikian pula dalam mengurangi tuntutan.

Perubahan dan/atau penambahan surat gugatan tidak boleh

sedemikian rupa, sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari

Page 13: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

23

materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut.

Dalam hal yang demikian ini, maka surat gugatan harus dicabut

kecuali jika diijinkan oleh tergugat. Apabila terjadi perubahan para

pihak dan perubahan petitum, harus dicatat dalam Berita Acara

Persidangan dan dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan.

c. Pencabutan gugatan

Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum

diperiksa. Tetapi jika perkara telah di periksa dan tergugat telah

memberi jawabannya, maka pencabutan perkara harus mendapat

persetujuan dari tergugat. Apabila perkara belum ditetapkan hari

sidangnya maka gugatan dapat dicabut dengan surat. Pencabutan dapat

pula dilakukan dengan lisan di muka sidang yang dicatat dalam berita

acara persidangan.

Apabila perkara dicabut maka hakim membuat “penetapan”

bahwa perkara telah dicabut. Pencabutan tersebut dicatat dalam

register induk perkara yang bersangkutan pada kolom keterangan,

yaitu bahwa perkara dicabut pada tanggal berapa.

d. Mempertahankan gugatan

Jika penggugat tetap mempertahankan gugatannya, maka

sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.

Page 14: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

24

2. Jawaban Tergugat

Setelah gugatan dibacakan dan isinya tetap dipertahankan oleh

penggugat kemudian tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan

jawabannya, baik dalam sidang itu juga atau dalam sidang berikutnya.

Menurut pasal 121 ayat (2) H.I.R./ pasal 145 (2) R.Bg. jo. Pasal

132 ayat (1) H.I.R./ pasal 158 ayat (1) R.Bg., tergugat dapat mengajukan

jawaban secara tertulis atau lisan. Di dalam mengajukan jawaban tersebut

tergugat harus hadir secara pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh

kuasa hukumnya, apabila tergugat atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam

sidang meskipun mengirimkan surat jawabannya, tetap dinilai tidak hadir

dan jawabannya itu tidak perlu diperhatikan, kecuali dalam hal jawaban

yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa Pengadilan yang bersangkutan

tidak berwenang mengadili perkaranya itu.8

Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh

Tergugat, yaitu :

a. Eksepsi (tangkisan)

Yaitu berupa sanggahan terhadap suatu gugatan atau

perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara atau pokok

perlawanan, yang bertujuan untuk menggagalkan gugatan atau

perlawanan dari segi hukum formil. Tergugat yang mengajukan

eksepsi disebut excipient. Dasar hukum eksepsi yaitu pasal 136 H.I.R./

8 Mahkamah Agung R.I., Op. cit., hlm. 160 dan 164

Page 15: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

25

pasal 162 R.Bg., pasal 125 ayat (2), pasal 133 – 136 H.I.R./ pasal 149

ayat (2), dan pasal 160 – 162 R.Bg.

Eksepsi dibagi menjadi dua macam, yaitu :

(1) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum materiil :

(a) Dilatoire Exceptie, suatu eksepsi yang menyatakan bahwa

tuntutan tergugat belum dapat dikabulkan, dikarenakan belum

memenuhi syarat menurut hukum.

(b) Premtoire Exceptie, suatu eksepsi yang tetap menghalangi

dikabulkannya tuntutan penggugat, misalnya gugataan telah

lampau waktu (verjaad), kemudian hutang telah dihapuskan

(kweijtschelding).

(2) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum formil :

(a) Exceptie van gewijsdezaak, eksepsi yang mengatakan bahwa

perkara yang diajukan telah diputus oleh hakim sebelumnya

(nebis in idem).

(b) Disqualificatoire Exceptie, eksepsi yang mengatakan bahwa

penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk mengajukan

gugatan.

(c) Eksepsi terhadap gugatan yang kabur (abscuur libel), eksepsi

yang bertujuan agar hakim memutus bahwa gugatan penggugat

tidak jelas / kabur, sehingga dinyatakan tidak dapat diterima.

(d) Eksepsi tidak berwenang secara absolut yaitu bahwa

Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili

Page 16: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

26

perkara yang diajukan oleh penggugat, melainkan menjadi

wewenang Pengadilan lain.

(e) Eksepsi tidak berwenang secara relatif, yaitu bahwa Pengadialn

Agama yang di tuju tidak berwenang mengadili gugatan

penggugat tetapi menjadi wewenang Pengadilan Agama yang

lain.9

b. Mengaku bulat-bulat

Apabila tergugat dalam jawabannya itu mengakui seluruh

dalil-dalil gugatan secara bulat, maka perkara dianggap telah terbukti

dan gugatan dapat dikabulkan seluruhnya, kecuali dalam hal gugatan

cerai.

Dalam perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah

mengakui alasan-alasan cerai yang dikemukakan oleh tergugat, hakim

harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut

dengan alat bukti yang cukup.

c. Mungkir mutlak

Apabila tergugat dalam jawabannya memungkiri secara

mutlak maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai

dapat dibuktikan atau tidaknya dalil-dalil gugat.

9 Hansyah Syahlani, (Mahkamah Agung R.I.), Penemuan dan Pemecahan Masalah

Hukum dalam Peradilan Agama, Jakarta, 1994, hlm. 38-42

Page 17: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

27

d. Mengaku dengan klausula (syarat)

Apabila tergugat mengaku dengan klausula (syarat), maka

pengakuan itu harus diterima seutuhnya dan tidak boleh di pisah-

pisahkan. Pemeriksaan dilanjutkan seperti tahap-tahap biasanya.

e. Referte (berbelit-belit)

Apabila tergugat menyerahkan segalanya kepada

kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah dan tidak pula

membenarkan gugatan, dalam hal ini tergugat hanya bersifat

menunggu putusan.10

f. Rekonvensi

Dalam tahap ini, tergugat di samping mengajukan jawaban

atas dalil-dalil gugatan penggugat, ia juga mengajukan gugat balik

(rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian maka

kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat

dalam rekonvensi, dan sebaliknya penggugat dalam konversi berubah

menjadi tergugat dalam rekonvensi.

Dasar hukum rekonvensi adalah pasal 132 a – 132 b H.I.R./

pasal 157 – 158 R.Bg.

Pengaturan gugat rekonvensi ini bertujuan untuk :

(1) menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan

(2) mempermudah prosedur

10 Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hlm. 90

Page 18: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

28

(3) menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan satu

sama lain

(4) menetralisir tuntutan konvensi

(5) acara pembuktian dapat dipersingkat dan disederhanakan

(6) menghemat biaya.11

Dalam setiap perkara, orang yang digugat berhak mengajukan

gugatan balasan, kecuali :

(1) kalau penggugat menggugat karena suatu sifat, sedang gugat

balasan mengenai diri sendiri

(2) kalau Pengadilan yang memeriksa gugat asal dari penggugat tidak

berwenanguntuk memeriksa gugat balasan karena pokok

persengketaannya

(3) dalam perkara persengketaantentang menjalankan putusan hakim

Apabila tergugat dalam jawabannya terhadap gugatan

penggugat, mengajukan gugat balasan, maka kedua perkara tersebut

yaitu gugat asal dan gugat balasan diselesaikan sekaligus dan diputus

dalam satu putusan. Apabila hakim berpendapat, bahwa perkara yang

satu dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada yang lain, kedua

perkara tersebut boleh diperiksa satu persatu oleh hakim, akan tetapi

putusannya tetap menunggu perkara yang lain, jadi putusannya tetap

satu (pasal 132 b ayat (3) H.I.R.).12

11 A. Mukti Arto, Op. cit., hlm. 104 12 Ellyana Tansah, dan L.J. Ferdinandus, (Mahkamah Agung R.I.), Cara Penyelesaian

Perkara Perdata dengan Sistem Putusan Sela, Jakarta, 1998, hlm. 25

Page 19: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

29

Gugatan rekonvensi disusun sama dengan gugatan konvensi,

dibuat menurut pasal 120 H.I.R./pasal144 R.Bg., dengan memuat

identitas para pihak dan kedudukannya masing-masing dalam perkara

rekonvensi, posita dan petitum rekonvensi. Apabila rekonvensi di

ajukan secara lisan, hakim merumuskannya dalam berita acara

persidangan. Gugatan rekonvensi di ajukan kepad hakim / ketua

majelis yang kemudian memerintahkan kepada panitera sidang agar

rekonvensi tersebut di daftar dalam register induk perkara gugatan

pada nomor dan kolom yang sama dengan perkara konvensi.

3. Replik Penggugat

Replik berasal dari bahasa latin replicare yang berarti jawaban atas

jawaban yang diberikan oleh pihak tergugat atau terdakwa dalam sidang

Pengadilan.13 Hal ini dilakukan setelah tergugat menyampaikan

jawabannya, kemudian penggugat diberi kesempatan untuk

menanggapinya sesuai dengan pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin

penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan

yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau mungkin juga

penggugat merubah sikap yang membenarkan jawaban / bantahan

tergugat.

13 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 504

Page 20: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

30

4. Duplik Tergugat

Duplik berasal dari bahasa latin duplica yang berarti jawaban

lanjutan dari tergugat atas replik dari penggugat dalam perkara perdata.14

Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi

kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini mungkin tergugat

bersikap seperti penggugat dalam repliknya tersebut. Acara replik dan

duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik temu antara

penggugat dan tergugat, dan/atau dianggap cukup oleh hakim. Apabila

acara jawab-menjawab ini telah cukup namun masih ada hal-hal yang

tidak disepakati oleh penggugat dan tergugat sehingga perlu dibuktikan

kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.

5. Pembuktian

Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk

mengkonstatir yang artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau

fakta-fakta yang di kemukakan oleh para pihak itu benar-benar terjadi. Hal

ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian.

Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk

meyakinkan hakimakan kebenaran peristwa atau kejadian yang diajukan

oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah di

tetapkan oleh Undang-undang. Dalam sengketa yang berlangsung dan

sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak

mengajukan dalil-dalil yang digunakan untuk memperkuat dakwaannya.

14 Ibid., hlm. 161

Page 21: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

31

Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar

dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang

teliti dan seksama itulah hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa

atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai

dengan aturan yang telah di tetapkan oleh peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang

Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

(1) Peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan peristiwa atau

kejadian yang disengketakan, sebab pembuktian itu merupakan cara

untuk menyelesaikan sengkeata. Kalo seandainya peristiwa atau

kejadian yang menjadi dasar gugatan itu tidak disengketakan, maka

tidak perlu dibuktikan. Oleh karena itu peristiwa atau kejadian yang

sudah diakui oleh tergugat maka tidak perlu dibuktikan lagi.

(2) Peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat diukur, terikat dengan

ruang dan waktu. Hal ini logis sebab peristiwa-peristiwa atau kejadian-

kejadianyang tidak dapat diukur tidak dapat dibuktikan.

(3) Peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang

disengketakan, karena pembuktian itu tidak mengenai hak yang

disengketakan itu sendiri, tetapi yang harus dibuktikan adalah

peristiwa atau kejadian yang menjadi sumber hak yang disengketakan.

(4) Peristiwa atau kejadian tersebut efektif untuk dibuktikan.

Page 22: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

32

(5) Peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum dan

kesusilaan.15

Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah sebagai berikut:

(1) Dalam putusan verstek, dalam menjatuhkan putusan verstek tidak

diperlukan pembuktian, hakim hanya diperintahkan untuk melihat

apakah gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan.

(2) Gugatan diakui pihak lawan, gugatn yang sudah diakui pihak lawan

tidak perlu dibuktikan, karena pengakuan itu sudah berarti

membenarkan dalil gugatan dan pengakuan itu sendiri sudah

merupakan salah satu alat bukti.

(3) Penglihatan hakim sendiri di muka sidang, halini sejalan dengan arti

pembuktian bahwa pihak yang berperkara memberi dasar kepada

hakim untuk memperoleh kepastian akan kebenaran suatu peristiwa.

Oleh karena itu sesuatu yang sudah diketahui hakim sewaktu

memimpin sidang, maka hal tersebut tidak perlu dibuktikan.

Yang telah diketahui oleh umum (fakta-fakta notoir).16

Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di jumpai dalam

pasal 1865 Burgerlijke Wetboek (BW), pasal 163 H.I.R., pasal 383 R.Bg.,

yang bunyi pasal-pasal tersebut semakna saja, yaitu: “Barang siapa

mempunyai suatu hak atau guna membantah hak orang lain, atau

15 Abdul Manan, Op. cit., hlm. 130 16 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung; Alumni, 1993,

hlm. 17-19

Page 23: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

33

menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak

itu atau adanya peristiwa tersebut”.17

Dalam membuktikan suatu peristiwa atau kejadian, di perlukan

alat-alat bukti. Alat-alat bukti dalam perkara Perdata adalah :

a. Alat bukti surat, ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan

yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan

buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (alat

bukti). Alat bukti ini diatur dalam pasal 138, 165, 167 H.I.R./ 164,285

– 305 R.Bg., Stbl.1867 No.29 dan pasal 1867 – 1894 B.W., serta pasal

138 – 147 R.V. surat sebagai alat bukti tulis dibedakan menjadi dua

yaitu akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta (surat yang dibuat

tidak dengan tujuan sebagai alat bukti).

b. Alat bukti saksi, ialah orang yang memberikan ketyerangan di muka

sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu

peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri,

sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Alat bukti ini

diatur dalam pasal 168 – 172 H.I.R.

c. Alat bukti persangkaan, ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu

peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu

peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang

berdasarkan Undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim.

17 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT. Raja Grafindo

Persada, 2003, hlm. 138

Page 24: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

34

Alat bukti ini diatur dalam pasal 173 H.I.R., 1916 B.W. ada dua

macam bentuk persangkaan yaitu : persangkaan yang berupa

kesimpulan berdasarkan Undang-undang, serta persangkaan yang

berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul

di persidangan.

d. Alat bukti pengakuan, ialah pernyataan seseoranmg tentang dirinya

sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan dari pihak

lain. Alat bukti ini diatur dalam pasal 174, 175, 176 H.I.R./ 311,

312,313 R.Bg., dan pasal 1923 – 1928 B.W. ada beberapa macam

bentuk pengakuan, yaitu pengakuan murni (sesuai sepenuhnya dengan

tuntutan pihak lawan), pengakuan dengan kualifikasi (disertai dengan

sangkalan terhadap sebagian tuntutan), dan pengakuan dengan klausula

(disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan).

e. Alat bukti sumpah, ialah suatu pernyataan yang khidmat yang

diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau dengan

mengingat sifat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa

yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum

oleh-Nya. Ada dua macam sumpah, yaitu sumpah / janji untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu (sumpah promissoir) dan

sumpah atau janji untuk memberi keterangn guna meneguhkan bahwa

sesuatu itu benar demikian atau tida benar (sumpah assertoir/

confirmatoir).

Page 25: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

35

6. Koreklus / Kesimpulan Para Pihak

Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan

kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan

kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut

pandangan masing-masing.

7. Putusan

Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada

sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau

mengakhiri perkara. Setiap putusan Pengadilan tertuang dalam bentuk

tertulis, yang harus di tanda tangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-

hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta

panitera pengganti yang ikut bersidang (pasal 23 ayat (2) UU. No.14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

Apa yang diucapkan hakim dalam sidang haruslah benar-benar sama

dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah benar-benar

sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang Pengadilan.18

Dalam putusan yang bersifat perdata, pasal 178 ayat (2) H.I.R. dan

pasal 187 ayat (2) R.Bg. mewajibkan para hakim untuk mengadili semua

tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Hakim dilarang

menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut sebagaimana

tersebut dalam pasal 178 ayat (3) H.I.R. dan pasal 189 ayat (3) R.Bg.

18 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung; PT. Citra

Aditya Bakti, 2000, hlm. 117-118

Page 26: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

36

Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di Pengadilan karena adanya

gugatan dari salah satu pihak adalah putusan atau vonis. Lain halnya

dengan perkara permohonan yang hasil akhirnya adalah penetapan atau

beschikking.

Kalau dilihat susunan setiap putusan pengadilan, maka terlihat ada

enam bagian yang tersusun secara kronologis dan saling berkaitan satu

sama lain, yaitu :

a. Kepala putusan

Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada

bagian atas putusan/penetapan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (ps. 4 ayat

(1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman).

Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada

putusan. Jika kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan

pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.

Hal ini dapat dilihat dalam pasal 224 HIR/258 RBg.

Di dalam pasal 57 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, bahwa tiap penetapan/putusan dimulai dengan

kalimat “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” diikuti dengan

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA”.19

19 Umar Mansyur Syah, Op. cit., hlm. 174.

Page 27: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

37

b. Identitas para pihak

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam setiap

perkara perdata selalu ada dua pihak yang saling berlawanan, yaitu

penggugat dan tergugat, bahwa mungkun juga ada turut tergugat.

Identitas para pihak harus jelas ditulis dalam putusan, yaitu nama,

umur, agama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kedudukan

sebagai pihak, serta kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan

kepada orang lain.

Dalam menyusun putusan perlu diingat tentang adanya

kemungkinan terjadi peribahan terhadap posisi para pihak, terutama

apabila ada gugat rekonvensi dari tergugat atau juga adanya gugat

intervensi dari pihak ketiga yang masuk dalam sengketa yang sedang

berlangsung di Pengadilan. Terhadap hal ini posisi para pihak berubah

sehingga dalam menyusun putusan, penggugat dan tergugat asli bisa

berubah.

c. Duduknya perkara atau tentang kejadiannya

Pasal 184 H.I.R. dan pasal 195 R.Bg. serta pasal 23 UU. No.14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman mengemukakan bahwa setiap putusan pengadilan dalam

perkara perdata harus memuat secara ringkas tentang gugatan dan

jawaban tergugat secara ringkas dan jelas. Di samping itu dalam surat

putusan juga harus dimuat secara jelas tentang alasan dasar dari

putusan, pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Page 28: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

38

biaya perkara, serta hadir dan tidaknya para pihak yang berperkara

pada waktu putusan diucapkan.

Muatan yang harus ada dalam bagian duduknya perkara adalah

meliputi gugatan yang diajukan oleh penggugat, jawaban dan

tanggapan para pihak, serta fakta-fakta kejadian dalam persidangan.

d. Tentang pertimbangan hukum

Pertimbangan hukum biasanya dimulai dengan kata-kata

“Menimbang.... dan seterusnya”. Dalam pertimbangan hukum ini

hakim akan mempertimbangkan dalil-dalil gugatan, bantahan atau

eksepsi dari tergugat serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang

ada. Dari pertimbangan hukum, hakim menarik kesimpulan tentang

terbukti atau tidaknya gugatan itu. Di sinilah argumentasi hakim

dipertaruhkan dalam mengkonstatir segala peristiawa yang terjadi

selama persidangan berlangsung. Kemudian barulah ditulis dalil-dalil

hukum syara’ yang menjadi sandaran pertimbangannya. Selainitu juga

di muat pasal-pasal yang menjadi dasar dari putusan itu. Dalam

praktek, uraian tentang peraturan hukum di muat dalam bentuk

“mengingat”.

e. Tentang amar putusan

Amar putusan adalah isi dari putusan itu sendiri yang

merupakan jawaban petitum dalam surat gugatan yang di ajukan oleh

penggugat. Amar putusan dimulai dengan kata-kata “mengadili”.

Dalam amar itu hakim harus menyatakan tentang hal-hal yang

Page 29: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

39

dikabulkan, ditolak atau tidak diterima berdasarkan pertimbangan

hukum yang telah dilakukannya.

f. Bagian penutup

Dalam bagian ini disebutkan kapan putusan tersebut dijatuhkan

(hari dan tanggal), dan dicantimkan pula nama hakim ketua dan hakim

anggota serta panitera pengganti yang menyidangkan perkara itu sesuai

dengan penetapan majelis hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan

Agama.

Di samping itu perlu di cantumkan juga tentang hadir tidaknya

penggugat atau tergugat dalam persidangan sewaktu dibacakan

putusan, serta setiap putusan harus di beri materai secukupnya dan

ditanda tangani oleh ketua majelis, hakim anggota dan panitera

pengganti yang ikut dalam persidangan, sesuai dengan pasal 7 ayat (5)

UU. No.13 Tahun 1989 tentang Bea Materai.20

20 Abdul Manan, Op. cit., hlm. 174-177

Page 30: Bab II 2100275 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/7/jtptiain-gdl-s1-2006...A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan

40

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN ( KKL)

DI LPKBHI IAIN WALISONGO SEMARANG

LAPORAN

Disusun sebagai tugas akhir dalam

Kuliah Kerja Lapangan ( KKL )

Oleh :

M. Fikrul Khadziq NIM : 2100275

JURUSAN AHWALUS SYAHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG 2004