bab ii 2100275 -...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BERACARA
DI PENGADILAN AGAMA
A. Gugatan dan Permohonan
Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan
perkara perdata yang terjadi di antara anggota masyarakat, salah satu pihak
yang bersengketa, harus mengajukan permintaan pemeriksaan persengketaan
kepada Pengadilan. Apabila salah satu pihak sudah mengajukan permintaan
pemeriksaan, persengketaan menjelma menjadi “perkara”. Di sidang
Pengadilan selama sengketa tidak diminta campur tangan Pengadilan untuk
mengadili, Pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Pengadilan dilarang
mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh
mencari perkara untuk diadili. Hal ini ditegaskan dalam pasal 55 UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut pasal tersebut, tiap
pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukan suatu
“permohonan” atau “gugatan”. Kemudian berdasarkan permohonan atau
gugatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri pemeriksaan
di sidang Pengadilan.
Bertitik tolak dari pasal 55 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama tersebut, dihubungkan dengan penjelasan pasal 60 UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, di lingkungan Peradilan Agama dikenal dua
sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada
12
Pengadilan. Yang pertama disebut permohonan dan yang kedua disebut
gugatan. Hal itu yang akan dibicarakan pada bagian ini, karena berbicara
mengenai masalah permohonan atau gugatan tidak sesederhana yang
dibicarakan orang awam.
Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah, bahwa dalam
perkara gugatan atau perkara kontensius ada suatu sengketa, suatu konflik
yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Dalam suatu gugatan
ada seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah
dilanggar, akan tetapi orang yang “dirasa” melanggar haknya atau hak mereka
itu tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk
menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan
hakim. Di sini hakim benar-benar berfungsi sebagai hakim yang mengadili
dan memutus siapa di antara pihak-pihak itu yang benar dan siapa yang tidak
benar.1
Perkara gugatan atau perkara kontensius mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Gugatan bersifat partai
Dalam gugat / kontensius pihak penggugat menarik orang lain yang
disebut pihak kedua yang menjadi pihak tergugat. Pihak kedua yang
ditarik penggugat sebagai pihak tergugat harus orang yang benar-benar
mempunyai hubungan hukum dengan permasalahan yang disengketakan
1 Ny. Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung; Mandar Maju, 1989, hlm. 7
13
dalam gugatan. Tidak boleh sembarangan orang ditempatkan dalam posisi
tergugat. Jika pihak kedua yang dijadikan pihak tergugat, tidak ada
sangkut paut dengan apa yang disengketakan, gugatan dianggap tidak
memenuhi syarat formil. Gugatan yang demikian mengandung cacat
“error in persona”, orang yang digugat keliru atau “diskualifikasi in
person” atau disebut juga “gemis aanhoedanigheid”.
2. Petitum dan putusan bersifat “condemnatoir”
Ciri yang kedua dalam gugatan / kontensius biasa diminta putusan
yang bersifat “condemnatoir”. Memang sifat yang condemnatoir itulah
tujuan utama gugatan / kontensius. Yakni permintaan dalam petitum gugat
agar tergugat dihukum :
(1) menyerahkan sesuatu
(2) meninggalkan sesuatu
(3) membongkar sesuatu
(4) mengosongkan sesuatu
(5) melakukan / tidak melakukan sesuatu
(6) membayar sejumlah uang tertentu.2
Dalam perkara yang disebut permohonan atau perkara voluntair tidak
ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersama-
sama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal
bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan pasal 260 a H.I.R.
2 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta;
Pustaka Kartini, 1990, hlm. 201
14
di sini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata
usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazim
disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan,
menerangkan saja. Dalam hal ini hakim tidak memutuskan suatu konflik
seperti halnya dalam suatu gugatan.3
Perkara permohonan atau perkara voluntair mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Gugatan bersifat sepihak
Pihak yang terlihat hanya satu yakni pihak pemohon sendiri. Tidak
ada orang lain yang ditarik sebagai pihak Tergugat. Itu sebabnya perkara
voluntair disebut juga permohonan sepihak atau permohonan yang tidak
bersifat partai. Boleh juga pemohon memasukkan orang lain dalam
permohonan. Tapi kedudukan orang tersebut bukan subjek yang bersdiri
sebagai pihak tergugat. Mereka berada dalam gugatan tak ubahnya sebagai
objek yang “pasif”. Seperti dalam permohonan penetapan ahli waris.
2. Permintaan dan putusan bersifat “Declaratoir”
Permintaan atau katakanlah petitumnya bersifat declaratoir, hanya
meminta suatu deklarasi tentang suatu keadaan atau kedudukan. Seperti
dalam contoh permohonan penetapan ahli waris. Dalam putusan biasanya
berbunyi “menyatakan”.4
3 Ny. Retnowulan Sutantio, Op. cit., hlm. 7 4 M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 198
15
Di Pengadilan agama ada permohonan yang perkaranya mengandung
sengketa, sehingga didalamnya ada dua pihak yang disebut Pemohon dan
Termohon, yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan
ijin poligami.
Pada prinsipnya setiap gugatan / permohonan harus dibuat secara
tertulis, bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis,
maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Pengadilan Agama
di tempat kediaman isteri (pasal 66 ayat (1), (2) jo. pasal 73 ayat (1) UU.
No.7 Tahun 1989).
Tentang bentuk gugatan seperti tersebut di atas dapat disimpulkan dari
ketentuan pasal 118 ayat (1) H.I.R. atau pasal 142 ayat (1) R.Bg. dan pasal
120 H.I.R. atau pasal 144 ayat (1) R.Bg. Dari ketentuan pasal-pasal dimaksud,
gugatan dapat :5
1. Bentuk tertulis
Jika gugatan / permohonan berbentuk tertulis, harus memenuhi
syarat formil berupa tanda tangan dan bermaterai cukup sesuai dengan
ketentuan peraturan materai yang berlaku. Gugatan / permohonan yang
berbentuk tertulis inilah yang disebut “surat gugatan / permohonan”.
Mengenai penandatanganan surat gugatan / permohonan dapat
dilakukan penggugat / pemohon “in person”, tetapi boleh juga
ditandatangani oleh seorang atau beberapa kuasa, asal si kuasa sebelum
membuat dan menandatangani surat gugatan / permohonan telah lebih dulu
5 Ibid., hlm. 194-196
16
mendapat “surat kuasa khusus”, jika surat kuasa yang dimiliki hanya
bersifat kuasa umum, kuasa tidak sah menandatangani surat gugatan /
permohonan. Misalnya dapat dilihat salah satu putusan MA. Tanggal 27-7-
1974 No. 351 K / Sip / 1973. dalam putusan ini ditegaskan “surat kuasa
untuk menjaga, mengurus harta benda yang bergerak dan tidak bergerak,
tanah, rumah, hutang dan semua kepentingan seseorang adalah surat kuasa
umum yang bagaimanapun tidak dapat dianggap sebagai surat kuasa
khusus untuk keperluan berperkara di depan Pengadilan”.
Mengenai permasalahan surat gugatan / permohonan bermaterai
cukup, memang benar ketentuan formil, tapi sekaligus bersifat
administratif. Maksudnya sekiranya pada saat dimasukkan serat gugatan /
permohonan ternyata belum bermaterai cukup, panitera yang menerimanya
bisa menyuruh dipenuhi kepada penggugat / pemohon.
2. Bentuk lisan
Bentuk gugat yang kedua berbentuk “lisan”, hal ini diatur dalam
pasal 120 H.I.R. atau pasal 144 ayat (1) R.Bg. Di situ ditegaskan, bilamana
penggugat buta huruf, gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua
Pengadilan. Terhadap gugat lisan tersebut Ketua Pengadilan “mencatat”
atau “menyuruh catat” kepada salah seorang pejabat Pengadilan, kemudian
dari catatan itu Ketua Pengadilan menformulasikannya berupa surat
gugatan.
Tujuan memberi kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan,
untuk membuka kesempatan kepada rakyat pencari keadilan yang buta
17
aksara membela dan mempertahankan haknya. Menghadapi kasus yang
seperti ini benar-benar berjumpa fungsi Pengadilan untuk memberi
bantuan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 119 H.I.R. atau pasal
143 ayat (1) R.Bg. jo. Pasal 58 ayat (2) UU. No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dalam memberi bantuan memformulasi gugatan lisan
yang disampaikan, ketua Pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud
dan tujuan yang dikehendaki, pasti akan merugikan pihak Penggugat. Oleh
karena itu, kebodohan Penggugat, jangan semakin dibodoh-bodohi. Hal
seperti itu dapat dilihat dari putusan MA. Tanggal 28-11-1956 No.195 K /
Sip /1955 yang dapat disadur antara lain : dalam membuat gugat lisan
dihubungkan dengan ketentuan pasal 119 H.I.R., Ketua Pengadilan harus
membuat gugatan dengan riil sebagaimana yang dikehendaki penggugat
sehingga benar-benar sengketa dapat diselesaikan.
Setelah mengetahui berbagai macam pra syarat dalam pembuatan
surat gugatan / permohonan, berikut akan coba diuraikan pokok-pokok
formulasi dan sistematika gugatan / permohonan, sesuai dengan ketentuan
hukum.
Dalam formulasi dan sistematika surat gugatan atau permohonan itu
tidak terdapat ketentuan yang jelas dalam H.I.R., tetapi dalam praktek isi
gugatan / permohonan itu harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Identitas para pihak (penggugat / pemohon dan tergugat / termohon) yang
meliputi :
a. nama (beserta bin atau binti dan aliasnya jika ada)
18
b. umur
c. agama
d. pendidikan
e. pekerjaan
f. tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui
hendaknya ditulis, “Dahulu bertempat di…… tetapi sekarang tidak
diketahui tempat tinggalnya di Indonesia”.
2. Posita, yaitu dalil-dalil (penjelasan-penjelasan) keadaan yang konkrit
(nyata) mengenai adanya hubungan hukum sebagai dasar dari permohonan
/ tuntutan / alasan-alasan yang mendukung tuntutan / permohonan itu
(fundamentum petendi). Posita itu memuat :
a. Dalil / alasan-alasan yang bersifat kenyataan (feitelijke gronden)
artinya alasan-alasan yang berdasarkan kenyataan-kenyataan / fakta /
peristiwa. Syarat inilah yang harus dipenuhi oleh penggugat / pemohon
dan merupakan hal yang wajib untuk mudah diketahui duduk
perkaranya.
b. Dalil yang bersifat juridich (alasan yang berdasarkan hukum)
(Rechtelijke gronden). Tetapi hal ini bukan merupakan keharusan,
hakimlah yang harus melengkapinya nanti dalam keputusan.
19
3. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat / pemohon agar
dikabulkan oleh hakim, biasanya dibagi dalam dua tuntutan, yaitu primair
dan subsidair.6
B. Prosedur Beracara atau Proses Pemeriksaan di Pengadilan Agama
Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui
tahap-tahap dalam Hukum Acara Perdata. Setelah hakim terlebih dahulu
berusaha melakukan perdamaian yang dalam perkara perdata pada umumnya
diatur dalam pasal 130 H.I.R./ pasal 154 R.Bg. dan pasal 14 ayat (2) UU No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan dalam perkara perceraian pada khususnya di atur dalam pasal 56
ayat (2), 65, 82, 83 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal
31, 32 PP No. 9 Tahun 1975.7
Jika usaha perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian (acta
van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Akta perdam,aian mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan.
Apabila ada pihak yang tidak mau mentaati isi perdamaian maka pihak yang
dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Akta
perdamaian hanya bisa dibuat dalam sengketa mengenai kebendaan saja yang
memungkinkan untuk dieksekusi. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan
6 Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan
Praktek, Bandung; Sumber Bahagia, 1991, hlm. 60-62 7 Mukti Arto., Op. cit., hlm. 92-93
20
banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Demikian pula terhadap akta
perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi.
Dalam sengketa yang berkaitan dengan status seseorang (perceraian)
maka tindakan hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
untuk menghentikan persengketaannya ialah mengupayakan tidak terjadinya
perceraian. Hal ini dilakukan pada sidang pertama, dimana kedua belah pihak
harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat tinggal
di luar negeri dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi, dapat diwakili
oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila kedua belah
pihak bertempat tinggal di luar negeri, maka penggugat dalam sidang
perdamaian itu harus menghadap secara pribadi.
Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan
pada semua tingkat Peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun
kasasi selama perkara belum diputus pada tingkat tersebut.
Apabila dalam usaha perdamaian hakim tidak berhasil, maka
pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan prosedur beracara di Pengadilan
Agama. Tahap-tahap pemeriksaan tersebut antara lain :
1. Pembacaan Gugatan
Surat gugatan bukanlah merupakan alat bukti, tetapi merupakan
dalil gugatan yang harus dibuktikan di dalam persidangan Majelis Hakim.
Oleh karena itu surat gugatan haruslah dibuat dengan baik dan benar,
harus lengkap para pihak-pihak yang berperkara, harus memenuhi syarat-
syarat dan unsur sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
21
Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat beberapa kemungkinan
dari penggugat / pemohon, yaitu :
a. Penggabungan gugatan
Penggabungan gugatan terhadap beberapa masalah hukum
dalam satu surat gugatan tidak dilarang oleh Hukum Acara Perdata.
Boleh saja digabungkan dalam satu gugatan asalkan ada hubungan erat
atau koneksitas satu sama lain. Untuk mengetahui adanya koneksitas
dalam persoalan yang akan digugat itu perlu dilihat dari sudut
kenyataan peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta hukum yang menjadi
dasar tuntutan. Tujuan penggabungan gugatan itu tidak lain agar
perkara itu dapat diperiksa oleh hakim yang sama guna menghindarkan
kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan. Apabila
terjadi penggabungan gugatan akan mempermudah jalannya
pemeriksaan, akan menghemat biaya, tenaga dan waktu. Asas cepat,
sederhana dan biaya ringan dapat dilaksanakan dalam penyelesaian
suatu perkara.
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat yang terdiri lebih dari
seorang melawan tergugat yang hanya seorang saja atau seorang
penggugat melawan tergugat yang lebih dari seorang atau kedua pihak
masing-masing terdiri lebih dari seorang. Hal ini disebut “kumulasi
subyektif”: penggabungan dari pada subyek. Undang-undang ini tidak
melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa orang
tergugat (pasal 127 H.I.R./ 151 R.Bg.). Terhadap kumulasi subyektif
22
ini tergugat dapat mengajukan keberatannya: tidak menghendaki
kumulasi subyektif, tidak menghendaki dirinya digabungkan dengan
tergugat lainnya. Sebaliknya dapat terjadi bahwa tergugat justru
menghendaki kumulasi subyektif: menghendaki diikutsertakannya
tergugat-tergugat lainnya dalam gugatan. Tangkisan tergugat ini, yaitu
bahwa masih ada orang lain yang diikutsertakan dalam sengketa
sebagai pihak yang berkepentingan, disebut exceptio plurium litis
consortium. Sekalipun tidak ada ketentuannya, tetapi pada umumnya
dapatlah dikatakan bahwa antara tuntutan-tuntutan yang diajukan
terhadap pelbagai tergugat haruslah ada hubungannya yang erat, serta
harus ada koneksitas.
Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih dari
satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan
penggabungan dari pada tuntutan yang disebut “komulasi obyektif”.
b. Perubahan gugatan
Perubahan dan/atau penambahan gugatan di perkenankan, asal
diajukan pada hari sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal
tersebut harus ditanyakan pada pihak lawan guna pembelaan
kepentingannya. Perubahan yang bersifat menyempurnakan,
menegaskan atau menjelaskan surat gugatan / permohonan dapat
diijinkan, demikian pula dalam mengurangi tuntutan.
Perubahan dan/atau penambahan surat gugatan tidak boleh
sedemikian rupa, sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari
23
materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut.
Dalam hal yang demikian ini, maka surat gugatan harus dicabut
kecuali jika diijinkan oleh tergugat. Apabila terjadi perubahan para
pihak dan perubahan petitum, harus dicatat dalam Berita Acara
Persidangan dan dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan.
c. Pencabutan gugatan
Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum
diperiksa. Tetapi jika perkara telah di periksa dan tergugat telah
memberi jawabannya, maka pencabutan perkara harus mendapat
persetujuan dari tergugat. Apabila perkara belum ditetapkan hari
sidangnya maka gugatan dapat dicabut dengan surat. Pencabutan dapat
pula dilakukan dengan lisan di muka sidang yang dicatat dalam berita
acara persidangan.
Apabila perkara dicabut maka hakim membuat “penetapan”
bahwa perkara telah dicabut. Pencabutan tersebut dicatat dalam
register induk perkara yang bersangkutan pada kolom keterangan,
yaitu bahwa perkara dicabut pada tanggal berapa.
d. Mempertahankan gugatan
Jika penggugat tetap mempertahankan gugatannya, maka
sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.
24
2. Jawaban Tergugat
Setelah gugatan dibacakan dan isinya tetap dipertahankan oleh
penggugat kemudian tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
jawabannya, baik dalam sidang itu juga atau dalam sidang berikutnya.
Menurut pasal 121 ayat (2) H.I.R./ pasal 145 (2) R.Bg. jo. Pasal
132 ayat (1) H.I.R./ pasal 158 ayat (1) R.Bg., tergugat dapat mengajukan
jawaban secara tertulis atau lisan. Di dalam mengajukan jawaban tersebut
tergugat harus hadir secara pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh
kuasa hukumnya, apabila tergugat atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam
sidang meskipun mengirimkan surat jawabannya, tetap dinilai tidak hadir
dan jawabannya itu tidak perlu diperhatikan, kecuali dalam hal jawaban
yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa Pengadilan yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkaranya itu.8
Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh
Tergugat, yaitu :
a. Eksepsi (tangkisan)
Yaitu berupa sanggahan terhadap suatu gugatan atau
perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara atau pokok
perlawanan, yang bertujuan untuk menggagalkan gugatan atau
perlawanan dari segi hukum formil. Tergugat yang mengajukan
eksepsi disebut excipient. Dasar hukum eksepsi yaitu pasal 136 H.I.R./
8 Mahkamah Agung R.I., Op. cit., hlm. 160 dan 164
25
pasal 162 R.Bg., pasal 125 ayat (2), pasal 133 – 136 H.I.R./ pasal 149
ayat (2), dan pasal 160 – 162 R.Bg.
Eksepsi dibagi menjadi dua macam, yaitu :
(1) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum materiil :
(a) Dilatoire Exceptie, suatu eksepsi yang menyatakan bahwa
tuntutan tergugat belum dapat dikabulkan, dikarenakan belum
memenuhi syarat menurut hukum.
(b) Premtoire Exceptie, suatu eksepsi yang tetap menghalangi
dikabulkannya tuntutan penggugat, misalnya gugataan telah
lampau waktu (verjaad), kemudian hutang telah dihapuskan
(kweijtschelding).
(2) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum formil :
(a) Exceptie van gewijsdezaak, eksepsi yang mengatakan bahwa
perkara yang diajukan telah diputus oleh hakim sebelumnya
(nebis in idem).
(b) Disqualificatoire Exceptie, eksepsi yang mengatakan bahwa
penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk mengajukan
gugatan.
(c) Eksepsi terhadap gugatan yang kabur (abscuur libel), eksepsi
yang bertujuan agar hakim memutus bahwa gugatan penggugat
tidak jelas / kabur, sehingga dinyatakan tidak dapat diterima.
(d) Eksepsi tidak berwenang secara absolut yaitu bahwa
Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili
26
perkara yang diajukan oleh penggugat, melainkan menjadi
wewenang Pengadilan lain.
(e) Eksepsi tidak berwenang secara relatif, yaitu bahwa Pengadialn
Agama yang di tuju tidak berwenang mengadili gugatan
penggugat tetapi menjadi wewenang Pengadilan Agama yang
lain.9
b. Mengaku bulat-bulat
Apabila tergugat dalam jawabannya itu mengakui seluruh
dalil-dalil gugatan secara bulat, maka perkara dianggap telah terbukti
dan gugatan dapat dikabulkan seluruhnya, kecuali dalam hal gugatan
cerai.
Dalam perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah
mengakui alasan-alasan cerai yang dikemukakan oleh tergugat, hakim
harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut
dengan alat bukti yang cukup.
c. Mungkir mutlak
Apabila tergugat dalam jawabannya memungkiri secara
mutlak maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai
dapat dibuktikan atau tidaknya dalil-dalil gugat.
9 Hansyah Syahlani, (Mahkamah Agung R.I.), Penemuan dan Pemecahan Masalah
Hukum dalam Peradilan Agama, Jakarta, 1994, hlm. 38-42
27
d. Mengaku dengan klausula (syarat)
Apabila tergugat mengaku dengan klausula (syarat), maka
pengakuan itu harus diterima seutuhnya dan tidak boleh di pisah-
pisahkan. Pemeriksaan dilanjutkan seperti tahap-tahap biasanya.
e. Referte (berbelit-belit)
Apabila tergugat menyerahkan segalanya kepada
kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah dan tidak pula
membenarkan gugatan, dalam hal ini tergugat hanya bersifat
menunggu putusan.10
f. Rekonvensi
Dalam tahap ini, tergugat di samping mengajukan jawaban
atas dalil-dalil gugatan penggugat, ia juga mengajukan gugat balik
(rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian maka
kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat
dalam rekonvensi, dan sebaliknya penggugat dalam konversi berubah
menjadi tergugat dalam rekonvensi.
Dasar hukum rekonvensi adalah pasal 132 a – 132 b H.I.R./
pasal 157 – 158 R.Bg.
Pengaturan gugat rekonvensi ini bertujuan untuk :
(1) menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan
(2) mempermudah prosedur
10 Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hlm. 90
28
(3) menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan satu
sama lain
(4) menetralisir tuntutan konvensi
(5) acara pembuktian dapat dipersingkat dan disederhanakan
(6) menghemat biaya.11
Dalam setiap perkara, orang yang digugat berhak mengajukan
gugatan balasan, kecuali :
(1) kalau penggugat menggugat karena suatu sifat, sedang gugat
balasan mengenai diri sendiri
(2) kalau Pengadilan yang memeriksa gugat asal dari penggugat tidak
berwenanguntuk memeriksa gugat balasan karena pokok
persengketaannya
(3) dalam perkara persengketaantentang menjalankan putusan hakim
Apabila tergugat dalam jawabannya terhadap gugatan
penggugat, mengajukan gugat balasan, maka kedua perkara tersebut
yaitu gugat asal dan gugat balasan diselesaikan sekaligus dan diputus
dalam satu putusan. Apabila hakim berpendapat, bahwa perkara yang
satu dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada yang lain, kedua
perkara tersebut boleh diperiksa satu persatu oleh hakim, akan tetapi
putusannya tetap menunggu perkara yang lain, jadi putusannya tetap
satu (pasal 132 b ayat (3) H.I.R.).12
11 A. Mukti Arto, Op. cit., hlm. 104 12 Ellyana Tansah, dan L.J. Ferdinandus, (Mahkamah Agung R.I.), Cara Penyelesaian
Perkara Perdata dengan Sistem Putusan Sela, Jakarta, 1998, hlm. 25
29
Gugatan rekonvensi disusun sama dengan gugatan konvensi,
dibuat menurut pasal 120 H.I.R./pasal144 R.Bg., dengan memuat
identitas para pihak dan kedudukannya masing-masing dalam perkara
rekonvensi, posita dan petitum rekonvensi. Apabila rekonvensi di
ajukan secara lisan, hakim merumuskannya dalam berita acara
persidangan. Gugatan rekonvensi di ajukan kepad hakim / ketua
majelis yang kemudian memerintahkan kepada panitera sidang agar
rekonvensi tersebut di daftar dalam register induk perkara gugatan
pada nomor dan kolom yang sama dengan perkara konvensi.
3. Replik Penggugat
Replik berasal dari bahasa latin replicare yang berarti jawaban atas
jawaban yang diberikan oleh pihak tergugat atau terdakwa dalam sidang
Pengadilan.13 Hal ini dilakukan setelah tergugat menyampaikan
jawabannya, kemudian penggugat diberi kesempatan untuk
menanggapinya sesuai dengan pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin
penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan
yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau mungkin juga
penggugat merubah sikap yang membenarkan jawaban / bantahan
tergugat.
13 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 504
30
4. Duplik Tergugat
Duplik berasal dari bahasa latin duplica yang berarti jawaban
lanjutan dari tergugat atas replik dari penggugat dalam perkara perdata.14
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi
kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini mungkin tergugat
bersikap seperti penggugat dalam repliknya tersebut. Acara replik dan
duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik temu antara
penggugat dan tergugat, dan/atau dianggap cukup oleh hakim. Apabila
acara jawab-menjawab ini telah cukup namun masih ada hal-hal yang
tidak disepakati oleh penggugat dan tergugat sehingga perlu dibuktikan
kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.
5. Pembuktian
Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk
mengkonstatir yang artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau
fakta-fakta yang di kemukakan oleh para pihak itu benar-benar terjadi. Hal
ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian.
Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk
meyakinkan hakimakan kebenaran peristwa atau kejadian yang diajukan
oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah di
tetapkan oleh Undang-undang. Dalam sengketa yang berlangsung dan
sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak
mengajukan dalil-dalil yang digunakan untuk memperkuat dakwaannya.
14 Ibid., hlm. 161
31
Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar
dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang
teliti dan seksama itulah hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa
atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai
dengan aturan yang telah di tetapkan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang
Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(1) Peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan peristiwa atau
kejadian yang disengketakan, sebab pembuktian itu merupakan cara
untuk menyelesaikan sengkeata. Kalo seandainya peristiwa atau
kejadian yang menjadi dasar gugatan itu tidak disengketakan, maka
tidak perlu dibuktikan. Oleh karena itu peristiwa atau kejadian yang
sudah diakui oleh tergugat maka tidak perlu dibuktikan lagi.
(2) Peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat diukur, terikat dengan
ruang dan waktu. Hal ini logis sebab peristiwa-peristiwa atau kejadian-
kejadianyang tidak dapat diukur tidak dapat dibuktikan.
(3) Peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang
disengketakan, karena pembuktian itu tidak mengenai hak yang
disengketakan itu sendiri, tetapi yang harus dibuktikan adalah
peristiwa atau kejadian yang menjadi sumber hak yang disengketakan.
(4) Peristiwa atau kejadian tersebut efektif untuk dibuktikan.
32
(5) Peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum dan
kesusilaan.15
Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah sebagai berikut:
(1) Dalam putusan verstek, dalam menjatuhkan putusan verstek tidak
diperlukan pembuktian, hakim hanya diperintahkan untuk melihat
apakah gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan.
(2) Gugatan diakui pihak lawan, gugatn yang sudah diakui pihak lawan
tidak perlu dibuktikan, karena pengakuan itu sudah berarti
membenarkan dalil gugatan dan pengakuan itu sendiri sudah
merupakan salah satu alat bukti.
(3) Penglihatan hakim sendiri di muka sidang, halini sejalan dengan arti
pembuktian bahwa pihak yang berperkara memberi dasar kepada
hakim untuk memperoleh kepastian akan kebenaran suatu peristiwa.
Oleh karena itu sesuatu yang sudah diketahui hakim sewaktu
memimpin sidang, maka hal tersebut tidak perlu dibuktikan.
Yang telah diketahui oleh umum (fakta-fakta notoir).16
Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di jumpai dalam
pasal 1865 Burgerlijke Wetboek (BW), pasal 163 H.I.R., pasal 383 R.Bg.,
yang bunyi pasal-pasal tersebut semakna saja, yaitu: “Barang siapa
mempunyai suatu hak atau guna membantah hak orang lain, atau
15 Abdul Manan, Op. cit., hlm. 130 16 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung; Alumni, 1993,
hlm. 17-19
33
menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak
itu atau adanya peristiwa tersebut”.17
Dalam membuktikan suatu peristiwa atau kejadian, di perlukan
alat-alat bukti. Alat-alat bukti dalam perkara Perdata adalah :
a. Alat bukti surat, ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan
buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (alat
bukti). Alat bukti ini diatur dalam pasal 138, 165, 167 H.I.R./ 164,285
– 305 R.Bg., Stbl.1867 No.29 dan pasal 1867 – 1894 B.W., serta pasal
138 – 147 R.V. surat sebagai alat bukti tulis dibedakan menjadi dua
yaitu akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta (surat yang dibuat
tidak dengan tujuan sebagai alat bukti).
b. Alat bukti saksi, ialah orang yang memberikan ketyerangan di muka
sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu
peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri,
sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Alat bukti ini
diatur dalam pasal 168 – 172 H.I.R.
c. Alat bukti persangkaan, ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu
peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu
peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang
berdasarkan Undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim.
17 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 138
34
Alat bukti ini diatur dalam pasal 173 H.I.R., 1916 B.W. ada dua
macam bentuk persangkaan yaitu : persangkaan yang berupa
kesimpulan berdasarkan Undang-undang, serta persangkaan yang
berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul
di persidangan.
d. Alat bukti pengakuan, ialah pernyataan seseoranmg tentang dirinya
sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan dari pihak
lain. Alat bukti ini diatur dalam pasal 174, 175, 176 H.I.R./ 311,
312,313 R.Bg., dan pasal 1923 – 1928 B.W. ada beberapa macam
bentuk pengakuan, yaitu pengakuan murni (sesuai sepenuhnya dengan
tuntutan pihak lawan), pengakuan dengan kualifikasi (disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian tuntutan), dan pengakuan dengan klausula
(disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan).
e. Alat bukti sumpah, ialah suatu pernyataan yang khidmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau dengan
mengingat sifat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa
yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum
oleh-Nya. Ada dua macam sumpah, yaitu sumpah / janji untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu (sumpah promissoir) dan
sumpah atau janji untuk memberi keterangn guna meneguhkan bahwa
sesuatu itu benar demikian atau tida benar (sumpah assertoir/
confirmatoir).
35
6. Koreklus / Kesimpulan Para Pihak
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan
kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan
kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut
pandangan masing-masing.
7. Putusan
Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada
sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau
mengakhiri perkara. Setiap putusan Pengadilan tertuang dalam bentuk
tertulis, yang harus di tanda tangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-
hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta
panitera pengganti yang ikut bersidang (pasal 23 ayat (2) UU. No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Apa yang diucapkan hakim dalam sidang haruslah benar-benar sama
dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah benar-benar
sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang Pengadilan.18
Dalam putusan yang bersifat perdata, pasal 178 ayat (2) H.I.R. dan
pasal 187 ayat (2) R.Bg. mewajibkan para hakim untuk mengadili semua
tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Hakim dilarang
menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut sebagaimana
tersebut dalam pasal 178 ayat (3) H.I.R. dan pasal 189 ayat (3) R.Bg.
18 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung; PT. Citra
Aditya Bakti, 2000, hlm. 117-118
36
Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di Pengadilan karena adanya
gugatan dari salah satu pihak adalah putusan atau vonis. Lain halnya
dengan perkara permohonan yang hasil akhirnya adalah penetapan atau
beschikking.
Kalau dilihat susunan setiap putusan pengadilan, maka terlihat ada
enam bagian yang tersusun secara kronologis dan saling berkaitan satu
sama lain, yaitu :
a. Kepala putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada
bagian atas putusan/penetapan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (ps. 4 ayat
(1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman).
Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada
putusan. Jika kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan
pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 224 HIR/258 RBg.
Di dalam pasal 57 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, bahwa tiap penetapan/putusan dimulai dengan
kalimat “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM” diikuti dengan
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”.19
19 Umar Mansyur Syah, Op. cit., hlm. 174.
37
b. Identitas para pihak
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam setiap
perkara perdata selalu ada dua pihak yang saling berlawanan, yaitu
penggugat dan tergugat, bahwa mungkun juga ada turut tergugat.
Identitas para pihak harus jelas ditulis dalam putusan, yaitu nama,
umur, agama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kedudukan
sebagai pihak, serta kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan
kepada orang lain.
Dalam menyusun putusan perlu diingat tentang adanya
kemungkinan terjadi peribahan terhadap posisi para pihak, terutama
apabila ada gugat rekonvensi dari tergugat atau juga adanya gugat
intervensi dari pihak ketiga yang masuk dalam sengketa yang sedang
berlangsung di Pengadilan. Terhadap hal ini posisi para pihak berubah
sehingga dalam menyusun putusan, penggugat dan tergugat asli bisa
berubah.
c. Duduknya perkara atau tentang kejadiannya
Pasal 184 H.I.R. dan pasal 195 R.Bg. serta pasal 23 UU. No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman mengemukakan bahwa setiap putusan pengadilan dalam
perkara perdata harus memuat secara ringkas tentang gugatan dan
jawaban tergugat secara ringkas dan jelas. Di samping itu dalam surat
putusan juga harus dimuat secara jelas tentang alasan dasar dari
putusan, pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,
38
biaya perkara, serta hadir dan tidaknya para pihak yang berperkara
pada waktu putusan diucapkan.
Muatan yang harus ada dalam bagian duduknya perkara adalah
meliputi gugatan yang diajukan oleh penggugat, jawaban dan
tanggapan para pihak, serta fakta-fakta kejadian dalam persidangan.
d. Tentang pertimbangan hukum
Pertimbangan hukum biasanya dimulai dengan kata-kata
“Menimbang.... dan seterusnya”. Dalam pertimbangan hukum ini
hakim akan mempertimbangkan dalil-dalil gugatan, bantahan atau
eksepsi dari tergugat serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang
ada. Dari pertimbangan hukum, hakim menarik kesimpulan tentang
terbukti atau tidaknya gugatan itu. Di sinilah argumentasi hakim
dipertaruhkan dalam mengkonstatir segala peristiawa yang terjadi
selama persidangan berlangsung. Kemudian barulah ditulis dalil-dalil
hukum syara’ yang menjadi sandaran pertimbangannya. Selainitu juga
di muat pasal-pasal yang menjadi dasar dari putusan itu. Dalam
praktek, uraian tentang peraturan hukum di muat dalam bentuk
“mengingat”.
e. Tentang amar putusan
Amar putusan adalah isi dari putusan itu sendiri yang
merupakan jawaban petitum dalam surat gugatan yang di ajukan oleh
penggugat. Amar putusan dimulai dengan kata-kata “mengadili”.
Dalam amar itu hakim harus menyatakan tentang hal-hal yang
39
dikabulkan, ditolak atau tidak diterima berdasarkan pertimbangan
hukum yang telah dilakukannya.
f. Bagian penutup
Dalam bagian ini disebutkan kapan putusan tersebut dijatuhkan
(hari dan tanggal), dan dicantimkan pula nama hakim ketua dan hakim
anggota serta panitera pengganti yang menyidangkan perkara itu sesuai
dengan penetapan majelis hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Agama.
Di samping itu perlu di cantumkan juga tentang hadir tidaknya
penggugat atau tergugat dalam persidangan sewaktu dibacakan
putusan, serta setiap putusan harus di beri materai secukupnya dan
ditanda tangani oleh ketua majelis, hakim anggota dan panitera
pengganti yang ikut dalam persidangan, sesuai dengan pasal 7 ayat (5)
UU. No.13 Tahun 1989 tentang Bea Materai.20
20 Abdul Manan, Op. cit., hlm. 174-177
40
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN ( KKL)
DI LPKBHI IAIN WALISONGO SEMARANG
LAPORAN
Disusun sebagai tugas akhir dalam
Kuliah Kerja Lapangan ( KKL )
�
�
�
�
�
�
Oleh :
M. Fikrul Khadziq NIM : 2100275
�
JURUSAN AHWALUS SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2004