masngudi bab ii -...

41
15 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLA HUBUNGAN GURU-MURID A. Pengertian Guru dan Murid 1. Guru Terdapat banyak pengertian tentang guru. Dari segi bahasa, kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang pekerjaannya mengajar 1 dan menurut ahli bahasa Belanda J.E.C. Gericke dan T. Roorda yang dikutip oleh Ir. Pudjawiyatna, menerangkan bahwa guru berasal dari bahasa sanskerta, yang artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat dan juga berarti pengajar. 2 Sedangkan dalam bahasa Inggris di jumpai beberapa kata yang berdekatan artinya dengan guru, kata teacher berarti guru, pengajar 3 kata educator berarti pendidik, ahli mendidik 4 dan tutor yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar dirumah, memberi les (pelajaran). 5 Dalam pandangan masyarakat jawa, guru dapat di lacak melalui akronim gu dan ru. Gu diartikan dapat digugu (dianut) dan ru berarti bisa ditiru (di jadikan teladan). 6 Selanjutnya dalam konteks Pendidikan Islam banyak sekali kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti kata yang lazim dan sering digunakan antara lain murabbi, muallim, dan muaddib. Imam Al-Ghazali dalam menunjuk pendidik sering menggunakan kata al-Mu'allimin (Guru), al-Mudarris (pengajar), al-Mu'addib (pendidik) dan al-Walid (orang tua). 7 Akan tetapi Hujjatul Islam tidak menjelaskan secara spesifik pengertian atau definisi pendidik atau guru. Hanya kata-kata tersebut di atas sering digunakan dalam kitab-kitabnya. Ketiga kata tersebut memiliki 1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. II, cet. IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 330 2 Pudjawiyatna, dalam Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995) hlm. 26 3 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1992), cet XX, hal, 581 4 Ibid, hlm. 207 5 Ibid., hlm. 608 6 Pudjawiyatna, Op.Cit, hlm. 26 7 Zainuddin dkk, Seluk- beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 50

Upload: lekhanh

Post on 24-Aug-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG POLA HUBUNGAN GURU-MURID

A. Pengertian Guru dan Murid

1. Guru

Terdapat banyak pengertian tentang guru. Dari segi bahasa, kata

guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang pekerjaannya

mengajar1 dan menurut ahli bahasa Belanda J.E.C. Gericke dan T. Roorda

yang dikutip oleh Ir. Pudjawiyatna, menerangkan bahwa guru berasal dari

bahasa sanskerta, yang artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat

dan juga berarti pengajar.2 Sedangkan dalam bahasa Inggris di jumpai

beberapa kata yang berdekatan artinya dengan guru, kata teacher berarti

guru, pengajar3 kata educator berarti pendidik, ahli mendidik4dan tutor

yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar dirumah, memberi les

(pelajaran).5 Dalam pandangan masyarakat jawa, guru dapat di lacak

melalui akronim gu dan ru. Gu diartikan dapat digugu (dianut) dan ru

berarti bisa ditiru (di jadikan teladan).6

Selanjutnya dalam konteks Pendidikan Islam banyak sekali kata

yang mengacu pada pengertian guru, seperti kata yang lazim dan sering

digunakan antara lain murabbi, muallim, dan muaddib. Imam Al-Ghazali

dalam menunjuk pendidik sering menggunakan kata al-Mu'allimin (Guru),

al-Mudarris (pengajar), al-Mu'addib (pendidik) dan al-Walid (orang tua).7

Akan tetapi Hujjatul Islam tidak menjelaskan secara spesifik pengertian

atau definisi pendidik atau guru. Hanya kata-kata tersebut di atas sering

digunakan dalam kitab-kitabnya. Ketiga kata tersebut memiliki

1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. II, cet. IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 330

2 Pudjawiyatna, dalam Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995) hlm. 26

3 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1992), cet XX, hal, 581

4 Ibid, hlm. 207 5 Ibid., hlm. 608 6 Pudjawiyatna, Op.Cit, hlm. 26 7 Zainuddin dkk, Seluk- beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),

hlm. 50

16

penggunaan sesuai dengan peristilahan pendidikan dalam konteks

pendidikan Islam. Disamping itu guru, kadang disebut melalui gelarnya,

seperti al-ustadz dan as-syaikh.8

Dalam hal ini dibahas secara luas oleh Abuddin Nata, yakni kata

al-alim (jamaknya ulama) atau muallim, yang berarti orang yang

mengetahui dan kata ini banyak dipakai oleh ulama atau ahli pendidikan

untuk menunjuk pada arti guru. Al-mudarris yang berarti orang yang

mengajar (orang yang memberi pelajaran) Namun secara umum kata al-

mu’allim lebih banyak digunakan dari pada al-mudarris. Dan kata al-

muaddib yang marujuk pada guru yang secara khusus mengajar di istana.

Sedangkan kata ustadz untuk menunjuk kepada arti guru yang khusus

mengajar di bidang pengetahuan agama Islam. Selain itu terdapat pula

istilah syaikh yang digunakan untuk merujuk pada guru dalam bidang

tashawuf.9

Ada pula istilah kyai, yaitu suatu atribut bagi tokoh Islam yang

memiliki penampilan pribadi yang anggun dan disungkani karena jalinan

yang memadu antara dirinya sebagi orang alim, yang menjadi pemimpin

pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.10

Adapun pengertian guru secara terminologi memiliki banyak arti ,

dalam pandangan tradisional, guru dilihat sebagai seseorang yang berdiri

di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.11

Menurut pandangan para pakar pendidikan Islam sangat bervariasi

dalam memberikan pengertian istilah guru. Menurut Ahmad Tafsir, bahwa

pendidik dalam Islam sama dengan teori di barat, yaitu siapa saja yang

8 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Tri Genda Karya, 1993), hlm.

167 9 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid (Studi Pemikiran

Tasawuf Al-Ghazali), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Hlm. 41-42 10 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai),

(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 55 11 Roestiyah NK, dalam Hadi Supeno, Op. Cit,

17

bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, baik potensi

kognitif, afektif, maupun potensi psikomotorik. 12

Sama halnya dengan Ahmad Tafsir, Ahmad D. Marimba memberi

pengertian guru atau pendidik sebagai orang yang memikul pertanggungan

jawab untuk mendidik.13 Sedangkan Zakiah Darajat, lebih memilih kata

guru sebagai pendidik profesional, sebab secara implisit ia telah merelakan

dirinya menerima dan memikul sebagian tanggungjawab pendidikan yang

terpikul dipundak para orang tua.14 Akan tetapi istilah guru untuk masa

sekarang sudah mendapat arti yang lebih luas dalam masyarakat dari arti

diatas, yakni semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau

kependidikan kepada seseorang atau sekelompok orang dapat disebut

sebagai guru, misalnya guru silat, guru mengetik, guru menjahit, bahkan

guru mencopet.15

Imam al-Zarnuji menganalogikan guru seperti halnya seorang

dokter. Artinya dokter adalah orang yang memberi kesembuhan bagi

penyakit pasiennya. Demikian pula guru ia berperan sebagai orang yang

memberi solusi dan pemecahan masalah bagi muridnya. Beliau

menerangkan dalam sya'irnya:

ال ينصحان اذا مها مل يكرمان# ان املعلم والطبيب كال مها 16 وأقنع جبهلك ان جفوت معلما # فاصرب لدائك ان جفوت طبيب

"Ketahuilah sesungguhnya guru dan dokter keduanya jika tidak dihormati tentu tidak akan mau memberi nasihat yang benar Maka terimalah dengan sabar rasa sakitmu jika kamu meremehkan doktermu, dan terimalah kebodohanmu, jika kamu meremehkan gurumu."

12 Ahmad Tafsir, Imu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 1994) hlm. 74 13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif,

1980), cet. IV, hlm. 37 14 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), cet. IV, hlm.

37 15 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Islam Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja

Rosda Karya, 2000), cet XIII., hlm. 139 16 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Syarah Ta'ilmul Muta'allim, (Semarang: Pustaka

Al-Alawiyah, t.t), hlm. 32

18

Menurut Hadari Nawawi bahwa guru adalah orang yang mengajar

atau memberikan pelajaran di sekolah (kelas). Secara lebih khusus lagi, ia

mengatakan bahwa guru berarti orang yang bertanggung jawab dalam

membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Artinya, guru

tidak hanya memberi materi didepan kelas, tetapi juga harus aktif dan

berjiwa kreatif dalam mengarahkan perkembangan murid.17

Guru menurut paradigma baru ini bukan hanya bertindak sebagai

pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar

mengajar yaitu realisasi atau aktualisasi potensi-potensi manusia agar

dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya.18 Sehingga hal ini

berarti bahwa pekerjaan guru tidak dapat dikatakan sebagai suatu

pekerjaan yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang

yang benar-benar memiliki wewenang secara akademisi, kompeten secara

operasional dan profesional.

Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional

tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun

1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:

1. Memiliki fungsi dan signifikansi sosial 2. Memiliki keahlian atau ketrampilan tertentu.

Keahlian/ketrampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah

3. Di dasarkan atas disiplin ilmu yang jelas 4. Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup

lama. 5. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional. 6. Memiliki kode etik. 7. Memiliki kebebasan untuk memberikan judgement dalam

memecahkan masalah. 8. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi. 9. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan

profesinya.19

17 Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah Dan Pengelolaan Kelas Sebagai Lembaga

Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 123 18 Hasan Langgulung,Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (jakarta: Pustaka Al-Husna,

1988), cet.I., hlm.86 19 Nana Syaodih S, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja

Rosda Karya, 1997), hlm. 191

19

Penetapan 10 ciri keprofesionalan di atas sebagai salah satu bentuk

upaya antisipasi bagi tugas guru yang benar-benar menuntut sebuah

keseriusan serta tanggung jawab bagi pelaksananya, serta sebagai suatu

upaya peningkatan mutu dan kualitas guru secara komprehensif. Sehingga

diharapkan mutu dan kualitas hasil pendidikanpun sesuai dengan tujuan

yang dicita-citakan.

Berkaitan dengan profesionalisme Nabi telah mengajarkan untuk

mengamanatkan suatu urusan kepada orang yang benar- benar ahli di

bidangnya, sebab jika pemegang amanat bukan orang yang ahli bisa

dipastikan hasil tidak tercapai dengan baik, bahkan akan mengakibatkan

kerusakan, atau kegagalan total. Hal ini menunjuukkan dengan jelas

pentingnya profesionalisme dalam bekerja, seperti halnya dalam pekerjaan

seorang guru. Sebagaimana sabda Rosululloh SAW yang berbunyi:

النيب صلى اهللا عليه وسلم ىف جملس حيدث القوم جاءه بينما: عن اىي هريرة قالفقال . رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم حيدث مىت الساعة؟ فمضى : اعرايب فقال

حىت اذا . وقال بعضهم بل مل يسمع , مسع ما قال فكره ما قال: القومبعضها أنا يا رسول اهللا : قال) السائل عن الساعة؟اين اراه : ( حديثه قالقضى

قال كيف . فإذا ضيعت االمانة فانتظر الساعة . (صلى اهللا عليه وسلم قال 20 ةاع السرظتن اء فهله اريىل غ ارمال ا دسا وذا: قال) اصاعبها؟

Dari Abi Hurairah, dia berkata: ketika Rasulullah disuatu majelis sedang berbicara dengan suatu kaum datanglah seorang badui dan berkata: "kapankah kiamat itu?". Rasulullah SAW terus berbicara, lalu sebagian kaum berkata: "beliau mendengar apa yang dikatakan olehnya, namun benci terhadap apa yang dikatakannya itu". Dan sebagian mereka berkata:"Namun beliau tidak mendengarnya". Sampai ketika beliau selesai berbicara maka beliau bersabda: "dimanakah gerangan orang yang bertanya tentang kiamat?". Ia berkata: "Hai saya wahai Rasulullah. Beliau bersabda:" apabila amanat itu disia-siakan maka nantikanlah kiamat". Ia berkata:" bagaimana menyia-nyiakannya?". Beliau bersabda:" apabila

20Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, , Shahih Bukhari, Jilid I (Beirut: Darul

Fikr, t.th) hlm. 23

20

perkara (urusan) di serahkan kepada selain ahlinya maka nantikanlah kiamat (kehancuran)." 21 Dengan demikian tersirat dengan jelas bahwa untuk menyandang

predikat sebagai seorang guru tidaklah mudah, sebab predikat seorang

guru hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar memiliki

wewenang secara mutlak. Kemutlakan tersebut ditandai dengan

keprofesionalan dengan ciri-ciri sebagaimana di atas, yang mana hal ini

terdapat kesesuaian dengan hadis Nabi SAW, bahwa setiap segala urusan

yang diserahkan pada orang yang tidak mampu secara maksimal,

diantaranya masalah pendidikan maka sudah secara otomatis tujuan

pendidikan tidak akan tercapai, karena guru sebagai pembawa arah

pendidikan tidak mumpuni dalam mengantarkan murid menjadi insan

berkualitas baik bagi lingkungan sesamanya maupun dihadapan sang

Khaliq.

2. Murid

Menurut Engr Sayyid Khaim Husyain Naqawi yang dikutip oleh

Abuddin Nata, menyebutkan bahwa kata murid berasal dari bahasa arab,

yaitu muriidun artinya orang yang menginginkan (the willer).22 Menurut

Abuddin Nata kata murid diartikan sebagai orang yang menghendaki

untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan

kepribadian yang baik sebagai bekal hidupnya agar bahagia dunia akhirat

dengan jalan belajar sungguh-sungguh.

Disamping kata murid dijumpai istilah lain yang sering digunakan

dalam bahasa arab, yaitu tilmidz yang berarti murid atau pelajar, jamaknya

talamidz23 kata ini lebih merujuk pada murid yang belajar di madrasah.

Kata lain yang berkenaan dengan murid adalah yang artinya pencari ilmu,

pelajar, mahasiswa.24 Hujjatul Islam Imam-Al-Ghazali sering

21 Ahmad Sunarto, Tarjamah Shahih Bukhari Juz I, (Semarang: CV. As-Syifa, 1991), hlm.

56 22 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 49 23 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, t.t), hlm.79 24 Ibid., hlm. 283

21

menggunakan kata al-Shobiy (kanak-kanak), al-Muta'allim (pelajar),

tholibul ilmi (penuntut ilmu pengetahuan)25, dan juga al-Walad (anak),

seperti salah satu judul kitabnya yaitu Ayyuhal Walad

Menurut Az-Zarnuji murid adalah mereka yang sedang menuntut

ilmu dan bermaksud menghiasi dirinya dengan ilmu itu. Betapa mulianya

penuntut ilmu karena mereka adalah orang yang sedang berusaha belajar

dan sekaligus mengamalkan akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini tertulis dalam syairnya:

تلعللع انإ فممز يلأن هله # فولض و عنمل ا لك لانو26 دامح

"Belajarlah karena ilmu itu sebagai hiasan bagi ahlinya, merupakan kelebihan dan tanda dari segala perbuatan terpuji". Mengacu pada beberapa istilah mengenai murid di atas, murid

diartikan sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan, yang dalam

berbagai literatur disebut sebagai anak didik. Dalam undang-undang

pendidikan no. 20 th. 2003 di sebut peserta didik.27 Dalam hal ini

siterdidik dilihat sebagai seseorang (subjek didik), yang mana nilai

kemanusiaan sebagai indifidu, sebagai makhluk sosial yang mempunyai

identitas moral, harus dikembangkan untuk mencapai tingkatan optimal

dan kriteria kehidupan sebagai manusia warga negara yang diharapkan.

Secara teoritis subjek didik dilihat sebagai seorang yang harus

mengembangkan diri, dan pada sisi lain ia memperoleh pengaruh, bantuan

yang memungkinkan ia sampai berdiri sendiri atau bertanggung jawab

sendiri.28

Sama halnya dengan teori barat, anak didik dalam pendidikan

Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik

25 Zainuddin dkk, Op.cit., hlm., 64 26 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit, hlm. 6 27 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:

Citra Umbara, 2003), hlm. 10 28 Piet A Sahertian, Profil Pendidik Profesional, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 6

22

maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga

pendidikan.29

H.M Arifin menyebut murid dengan manusia didik sebagai

makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan atau

pertumbuhan menurut fitrah masing-masing yang memerlukan bimbingan

dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal yakni

kemampuan fitrahnya.30

Akan tetapi dalam literatur lain lebih jelas ditegaskan bahwa anak

didik bukanlah hanya anak-anak yang sedang dalam pengasuhan dan

pengasihan orang tua, bukan pula anak-anak dalam usia sekolah saja.

Pengertian ini berdasar atas tujuan pendidikan, yaitu manusia sempurna

secara utuh, yang untuk mencapainya manusia berusaha terus menerus

hingga akhir hayatnya.31

Dari berbagai pengertian di atas dapat penulis simpulkan mengenai

pengertian murid yaitu setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan

yang membutuhkan bimbingan dan arahan untuk mengembangkan potensi

diri (fitrah) secara konsisten melalui proses pendidikan dan pembelajaran,

sehingga tercapai tujuan yang optimal sebagai manusia dewasa yang

bertanggung jawab dengan derajat keluhuran yang mampu menjalankan

fungsinya sebagai khalifah di bumi.

Masalah yang berhubungan dengan anak didik merupakan objek

yang penting dalam paedagogik. Begitu pentingnya faktor anak dalam

pendidikan, sampai-sampai ada aliran pendidikan yang menempatkan anak

sebagai pusat segala usaha pendidikan (aliran child centered). Untuk itulah

diperlukan sebuah usaha untuk memahami siapa peserta didik (murid) itu.

Anak didik memiliki sifat-sifat umum antara lain:

1. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, sebagaimana statemen JJ. Rousseau, bahwa anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi

29 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis Dan

Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Tri Genda Karya, 1993), hlm. 177 30 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1996)hlm. 114 31 Hery Nur Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1994), cet II,

hlm. 113

23

anak adalah anak dengan dunianya sendiri. Peserta didik memiliki fase perkembangan tertentu, seperti pembagian ki hajar dewantara (wiraga, wicipta, wirama)

2. Murid memiliki pola perkembangan sendiri-sendiri 3. Peserta didik memiliki kebutuhan, diantaranya sebagaimana

dikemukakan para ahli pendidikan seperti, L.J. Cionbach, yakni afeksi, di terima orang tua, diterima kawan, independen, punya harga diri. Sedangkan Maslow memaparkan adanya kebutuhan biologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan realisasi.32

4. Perbedaan individual, yang meliputi segi jasmani, intelegensia, sosial, bakat dan lain sebagainya. Disamping itu perlu diperhatikan masalah kualitas seorang pembelajar tidak diukur dengan membandingkannya dengan pembelajar-pembelajar lainnnya, karena secara aktual diperhadapkan dengan dirinya yang potensial, sesederhana dan sesulit itu.33

Dalam Islam yang landasan filosofisnya adalah Al-Qur’an

memahami manusia dalam beberapa hal: Pertama, manusia adalah

makhluk yang termulia. Kedua manusia adalah hewan berfikir, yang

Ketiga manusia memiliki tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh. Yang

merupakan aspek yang harus dioptimalkan oleh tiap manusia. Keempat

manusia mempunyai motifasi dan kebutuhan. Kelima, ada perbedaan

perseorangan diantara manusia.34

B. Tugas dan Tanggung Jawab Guru

Guru merupakan orang yang diserahi tanggungjawab sebagai pendidik

didalam lingkungan kedua setelah keluarga yaitu sekolah.35 Karena pada

dasarnya tanggung jawab pendidikan terhadap anak adalah sebagai tanggung

jawab orang tua dalam sebuah lingkungan keluarga. Tanggung jawab ini

bersifat kodrati, artinya bahwa orang tua adalah pendidik pertama dan utama

yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani maupun rohani anak

32 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Surabaya: Aksara Baru, 1985) hal 79 33 Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Dan Transformasi

Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, (Jakarta: Kompas, 2001) cet V., hal 67-68

34 Omar At-Toumi As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Cet I (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal 102

35 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis (Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya, 2000) cet. XIII, hlm. 138

24

didik. Disamping itu karena kepentingan orang tua terhadap kemajuan dan

perkembangan anaknya.36

Tanggung jawab utama orang tua terhadap anak didik tersebut

berdasar atas firman Allah SWT dalam surat at-Tahrim ayat 6:

ا اييلذا اهينام نا قوا اوفنكسما و لهكيمن 37) 6: التحرمي (اار

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka…"(Q.S. At-Tahrim: 6)

Seiring dengan perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap serta

kebutuhan hidup yang semakin luas dan rumit, maka orang tua tidak mampu

melaksanakan tugas-tugas pendidikan terhadap anaknya. Sehingga dizaman

yang telah maju ini banyak tugas orang tua sebagai pendidik sebagian

diserahkan kepada guru di sekolah.38

Berkaitan dengan hal ini Imam Al-Zarnuji mengungkapkan bahwa

sesungguhnya guru yang mengajar seorang murid walaupun satu huruf dalam

hal agama, maka dihukumi sebagai bapak dalam agama.

39من علمك حرفا مما حتتاج ىف الدين فهو أبوك ىف الدين ن إف

"Maka sesungguhnya orang yang mengajarkanmu satu huruf yang hal

itu masalah agama dan kamu perlukan maka dia termasuk dihukumi

sebagai bapakmu dalam agama. "

Guru digambarkan sebagai bapak oleh Az-Zarnuji. Pendapat ini

memberi konsekwensi terhadap perasaan (tingkat emosional)dan sikap guru

sesuai dengan cita-cita orang tua terhadap anaknya. Posisi ini harus disadari

oleh kedua belah pihak, sehingga terwujud keseimbangan dalam hak dan

kewajibannya yang tercermin dalam sikap pribadi masing-masing. Hubungan

ini menunjukkan kedekatan dari sisi psikologis.

36 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 1994), cet.II, hlm. 74 37 R.H.A. Soenaryo, Op.Cit., hlm. 951 38 Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm. 75 39 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 17

25

Dengan sinyalemen inilah Al-Ghazali dalam Ihya-nya menerangkan

bahwa hak seorang guru lebih besar dari hak bapak, karena bapak menjadi

sebab lahirnya anak dan kehidupan di dunia fana, sedangkan guru menjadi

sebab kehidupan yang kekal dan abadi. Sebagaimana hak anak dari seorang

ayah adalah berkasih-kasihan dan tolong menolong mencapai segala maksud,

demikian pula kewajiban murid terhadap guru.40

Dalam hal ini Az-Zarnuji memberi anjuran secara tegas kepada guru

bahwa orang yang berilmu hendaknya mempunyai sifat belas kasihan dalam

memberi nasihat, sebaliknya jangan bermaksud jahat dan iri hati. Karena iri

hati adalah sikap yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya.41

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa guru secara tidak langsung

adalah sebagai penerima amanat dari orang tua untuk mendidik anaknya.

Sebagai pemegang amanat guru bertanggung jawab atas amanat yang

diserahkan kepadanya.

Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 58:

ا ومكح تن ااس النني بمتمكا حذ اا وهلهىل ا امنت الوا ال دأ تنأ مكرمأ ي اهللانا 42 )56: النساء (ا ريصا بعيم سان ك اهللا ن ا. ه بمكظعا يمعن اهللانا. لدلعاب

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manuia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya padamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. An-Nisa: 58) Sebagai pengemban amanat dari orang tua untuk mendidik anak, maka

menurut Abdullah Nasih Ulwan, guru bertugas untuk melaksanakan

pendidikan ilmiah, sebab ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap

pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia.43 Akan tetapi di

40 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Ed. Terj: Isma'il Ya'kub), (Jakarta: CV.

Faizan, 1994), hlm. 21 41 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op.Cit., hlm. 36 42 R.H.A. Soenaryo, Op.Cit., hlm. 128 43 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam (ed. Terj), cet. II, (Jakarta:

Pustaka Amani, 1999), hlm. 301

26

zaman sekarang jabatan guru telah menjadi sumber mata pencaharian, yakni

guru bukan hanya sebagai penerima amanat pendidikan, melainkan juga orang

yang menyediakan dirinya sebagai pendidik profesional.

Guru adalah seorang pembaharu, karena kehadiran guru telah

memberikan makna bagi murid untuk memahami kesulitan-kesulitan

pengalaman yang dialami. Hal ini sangat dibenarkan untuk setiap generasi

dalam sebuah pembelajaran karena seorang murid hari-hari ini merupakan

sebuah jarak yang jauh dari sebuah porsi yang besar dari pengalaman seorang

guru, oleh karena itu guru harus dapat membantu palajaran muridnya yang

beda generasi. Dibawah kebijaksanaannya diharapkan mereka bisa

mendapatkan pembelajaran dan juga dapat mengekspresikan potensi.

Hal ini seperti yang dipaparkan Earl V. Pullias sebagai berikut:

"The teacher expresses the experience of man in terms that have meaning for student. The older and younger generations have difficulty in understanding each other. The experience and language of our parents have more meaning for us than that of our parents. This is true for every generation. A student learning today is a great distance from a large portion of the experience of man, which, however, he must understand and make a part of his thinking and actions if he relly wants to be educated. The teacher must help the student lessen the distance otherwise, they cannot get the learning that will enable them to express their potential".44 Sebagai pendidik profesional guru memiliki banyak tugas baik terkait

oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Apabila

dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yaitu: tugas dalam bidang

profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.

Berkaitan dengan profesionalisme Imam Az-Zarnuji mengisyaratkan

untuk melakukan seleksi terhadap guru. Dalam hal ini khususnya bagi

penuntut ilmu hendaknya memilih guru yang lebih alim dan wara serta lebih

tua usianya.45 Pernyataan ini sebetulnya hanya mengisyaratkan untuk mencari

guru yang profesional dan mumpuni dalm bidang keilmuannya.

44 Earl V. Pullias and James D. Young, A Teacher Is many Things, (America: Indiana

University Press, 1968), hlm. 47 45 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il Op.Cit., hlm. 10

27

Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih.

Mendidik berarti mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti

meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi, sedangkan

melatih berarti mengembangkan ketrampilan siswa.46

Tugas kemanusiaan adalah salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini

tidak dapat diabaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan

masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai

kemanusiaan kepada anak didik, sehingga anak didik memiliki sifat-sifat

kesetiakawanan sosial. Disamping itu guru harus dapat menempatkan diri

sebagai orang tua kedua, sebagai tugas yang diemban dari orang tua kandung

dalam waktu tertentu. Sehingga pemahaman terhadap jiwa dan watak anak

didik diperlukan agar mudah dapat memahami jiwa dan watak anak didik.47

Dibidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang tidak kalah pula

pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar

masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral Pancasila.48

Mencermati tiga tugas guru sebagai pendidik profesional di atas, dapat

dipahami bahwa tugas guru tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan

ruangan kelas saja, akan tetapi mencakup lingkup yang lebih luas lagi yakni

guru juga sebagi penghubung antara sekolah dan masyarakat.

Sedangkan menurut Ahmad D Marimba, disamping guru memiliki

tugas untuk membimbing, mencari pengenalan terhadap anak didik melalui

pemahaman terhadap jiwa dan watak, guru juga mempunyai tugas lain yang

sangat urgen, yaitu:

1. Menciptakan situasi untuk pendidikan, yakni suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung baik dengan hasil yang memuaskan

2. Memiliki pengetahuan yang diperlukan, terutama pengetahuan-pengetahuan agama

46 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PP. Remaja Rosda Karya,

2001), cet.XIII., hal 6-7 47 Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2000)., hlm. 37 48 Ibid

28

3. Selalu meninjau diri sendiri, tidak malu apabila mendapat kecaman dari murid. Sebab guru juga manusia biasa yang memiliki sifat-sifat yang tidak sempurna

4. Mampu menjadi contoh dan teladan bagi murid sekaligus tempat beridentifikasi (menyamakan diri).49

Guru terkait dengan tugas yang diembannya yang sangat banyak,

maka secara otomatis menuntut tanggung jawab yang sangat tinggi, sebab

baik dan tidaknya mutu hasil pendidikan tergantung pada seberapa besar

pertanggungjawaban guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai

guru dan pendidik profesional.

Perkembangan baru terhadap pandangan belajar-mengajar membawa

konsekwensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya

karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar

ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan

lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih

mampu mengelola kelasnya. Sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat

optimal.

Peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi

banyak hal diantaranya: guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing,

pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator

dan konselor.

Al-Ghazali menyebutkan kurang lebih delapan peranan guru yang

berhubungan dengan tugas-tugasnya. Peranan itu antara lain:

1. guru sebagai pengajar dan pembimbing 2. peranan guru sebagai pengkaji sejarah, khususnya sejarah

pendidikan. 3. peranan guru sebagai pembimbing kehidupan agamawi murid. 4. peranan guru sebagai panutan murid 5. peranan guru sebagai teladan 6. peranan guru sebagai yang memahami perbedaan individual 7. peranan guru sebagai orang yang mengenali pribadi murid 8. guru sebagai pemegang prinsip-prinsip dasar.50

49 Ahmad D. Marimba, Op.Cit., hlm. 38-40 50 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu,

(Bandung: CV. Diponegoro, 1986), hlm. 49-56

29

ad.1. guru sebagai pengajar dan pembimbing. Sekaitan dengan tugas ini, sifat

terpenting yang hendaknya dimiliki oleh guru adalah lemah lembut

dan kasih sayang. Apabila murid diperlakukan dengan rasa kasih

sayang dan lemah lembut oleh gurunya, ia akan merasa percaya diri

dan tenteram, ada rasa aman berdampingan dengannya. Perasaan

inilah yang akan lebih banyak menunjang tercapainya ilmu dengan

mudah.

ad.2. peranan guru sebagai pengkaji sejarah, khususnya sejarah pendidikan.

Sekaitan dengan tugas ini , ia akan mengetahui dengan jelas bahwa

mencari upah dari jalan mengajar tidak merupakan sesuatu

ad.3. peranan guru sebagai pembimbing kehidupan agamawi murid.

Sekaitan dengan peranannya ini al-ghazali berkata, bahwa guru

hendaknya bersikap sebagai orang yang berjalan dijalan yang benar,

sebagai pembimbing yang dipercayai muridnya. Guru hendaknya tidak

memulai pelajaran yang lebih tinggi sebelum pelajaran yang

sebelumnya dikuasai oleh murid. Juga guru hendaknya tidak

melewatkan kesempatan untuk mengingatkan murid kepada tujuan

belajarnya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.

ad.4. peranan guru sebagai panutan murid. Dalam hal ini guru tidak boleh

membesar-besarkan kesalahan murid seakalipun dengan tujuan agar

murid merasa bersalah. Guru hendaknya menghindarkan diri dari

penggunaan kekajaman dalam memperhalus perilaku murid. Di dalam

membimbing murid guru hendaknya menerapkan metode kasih sayang

bukan pencelaan.

ad.5. peranan guru sebagai teladan. Guru adalah orang yang akan diteladani

dan ditiru oleh murid. Oleh karena itu, kemuliaan jiwa dan

kemampuan untuk memahami orang lain hendaknya merupakan

sifatnya yang paling utama. Diantara pertanda yang menunjukkan

bahwa guru itu berjiwa mulia dan memahami orang lain ialah dia

menghormati kedudukan ilmu-ilmu lain yang bukan bidang studinya.

30

ad.6. peranan guru sebagai yang memahami perbedaan individual. Al-ghazali

mengibaratkan guru sebagai penjaga dan pengaman ilmu. Diantara

kewajibannya ialah tidak kikir dengan ilmunya kepada muridnya dan

tidak pula berlebihan memberikannya, baik murid yang pandai

maupun murid yang bodoh.

ad.7. peranan guru sebagai orang yang mengenali pribadi murid. Dengan ini

guru akan mengetahui bagaiman ia harus memperlakukan murid-

muridnya, sehingga ia dapat menghindarkan keraguan dan kegelisahan

didalam menjalankan tugasnya.

Ad.8. guru sebagai pemegang prinsip-prinsip dasar. Dalam hal ini guru

hendaknya tidak menyerukan prinsip tertentu akan tetapi ia sendiri

menyalahi prinsip tersebut. Dia hendaknya tidak melakukan perbuatan

yang dilarangkan kepada murid-muridnya. Jika melakukan tersebut

maka guru akan kehilangan wibawa dan menjadi bahan cemoohan

mereka

Disamping itu menurut Mohamad Uzer Usman ada peranan paling

dominan dari seorang guru dan diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Guru sebagai demonstrator

2. Guru sebagai pengelola kelas.

3. Guru sebagai mediator dan fasilitator

4. Guru sebagai evaluator51

ad. 1. Guru sebagai demonstrator.

Melalui perannya sebagai demonstrator, lecturer, atau

pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi

pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa

mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam

hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil

belajar yang dicapai oleh siswa.

ad. 2. Guru sebagai pengelola kelas

51 Moh. Uzer Usman, Op. Cit., hlm. 9-11

31

Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (lerning manager),

guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar

serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu

diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan

belajar terarah kepada tujuan pendidikan.

ad. 3. Guru sebagai mediator dan fasilitator

Sebagai mediator guru hendaknya memilki pengetahuan dan

pemahaman yang cukup tentang media pendidikan. Karena media

pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan

proses belajar mengajar. Dengan demikian media pendidikan

merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi

dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan

dan pengajaran disekolah.

Sebagai mediator gurupun menjadi perantara dalam hubungan

antar manusia. Untuk keperluan itu guru harus terampil

mempergunakan pengetahuan tentang bagaimana orang berinteraksi

dan berkomunikasi.

Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan

sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan

dan proses belajar mengajar, baik yang berupa nara sumber, buku teks,

majalah ataupun surat kabar.

ad. 4. Guru sebagai evaluator

Dalam proses belajar mengajar guru hendaknya menjadi

seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk

mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau

belum.

Untuk melaksanakan tugas-tugas guru dengan penuh tanggung

jawab, menurut Al-Ghazali hendaknya guru menjaga etika dan

tugasnya. Dalam hal ini Hujjatul Islam berkata: "barang siapa yang

memikul beban pengajaran maka ia telah memikul perkara besar.

32

Maka jagalah etika dan tugasnya".52 Guru menurut beliau sebaik-baik

ikhwalnya adalah berupa ilmu dan pengalaman. Tidak selayaknya ia

menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain

sementara dirinya telanjang. Atau seperti sumbu lampu yang

menerangi yang lain sementara dirinya terbakar.

Secara spesifik Al-Ghazali memerinci beberapa etika dan tugas guru

sebagaimana disebutkan dalam Mukhtashor-nya sebagai berikut:

1. Belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak 2. Mengikuti teladan Rasulullah SAW.53 3. Tidak meninggalkan nasihat, seperti melarang anak didiknya naik

pada tingkatan sebelum berhak menerimanya, dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai hukum-hukum yang jelas.

4. Menasihati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan tetapi dengan cara menyindir.54

Pendapat yang diungkapkan oleh Al-Ghazali sebenarnya telah

mewakili apa yang seharusnya dijalankan oleh seorang guru. Jika keempat

item diatas dapat dijalankan dengan baik oleh seorang guru maka diharapkan

tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik pula. Namun sebagai bahan

perbandingan menurut Wens Tanlain dan kawan-kawan yang di kutip oleh

Syaiful Bahri, sifat yang harus diterapkan oleh guru antara lain:

1. Menerima dan mematuhi norma, nilai-nilai kemanusiaan 2. Memikul tugas mendidik dengan bebas, berani, dan gembira

(tugas bukan menjadi beban baginya) 3. Sadar akan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan serta

akibat-akibat yang timbul (kata hati) 4. Menghargai orang lain termasuk anak didik 5. Bijaksana dan hati-hati (tidak nekat, sembrono, dan tidak

singkat akal) 6. Taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.55

52 Abu Hamid Al-Ghazali, , Muktashar Ihya' Ulumuddin, (ed.terj: Irwan kurniawan),

(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 35 53 Dalam Mukhtassor, mengikuti teladan Rosulullah adalah dalam wujud tidak menerima

upah atau gaji. Akan tetapi dalam konteks sekarang pendapat ini mungkin kurang relevan karena terlalu ekstrim. Sebenarnya Al-Ghazali bermaksud mengungkapkan keikhlasan guru. Namun karena beliau adalah seorang sufi yang pada konteks saat itu para pengajar cenderung menjadi pecinta dunia. Sehingga beliau melarang guru menerima gaji.

54 Abu hamid Al-Ghazali, , Ibid, hlm. 36 55 Syaiful Bahri Djamarah, Op.Cit., hlm. 36

33

Sedangkan Athiyah Al-Abrashyi menyoroti sifat-sifat yang harus

dimiliki oleh seorang guru dalam pendidikan, menurut kaca mata Islam,

antara lain:

1. Bersifat tidak mengutamakan materi dalam mengajar, karena mencari keridhoan Allah

2. Kebersihan guru, baik jasmani maupun rohani, seperti terhindar dari dosa besar, tidak bersifat riya, menghindari perselisihan dan lain-lain

3. Ikhlash dalam pekerjaan, seperti ada kesesuaian kata dan perbuatan serta menyadari kekurangan dirinya

4. Suka pemaaf, yakni sanggup menahan diri dari kemarahan, lapang hati, sabar dan tidak pemarah karena hal-hal kecil, sehingga terpantul kepribadian dan harga diri

5. Seorang guru merupakan seorang bapak, sebelum ia menjadi seorang guru. Oleh karena itu guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya pada anaknya sendiri dan memikirkan keadaaan murid-muridnya seperti memikirkan keadaan anaknya sendiri

6. Harus mengetahui tabiat murid. Seorang guru harus mengetahui tabiat, pembawaan, dan adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid, agar tidak salah dalam mendidik murid, termasuk dalam pemberian mata pelajaran harus sesuai dengan tingkat perkembangannya

7. Harus menguasai mata pelajaran. Seorang guru haraus benar-benar menguasai mata pelajaran yang diberikan kepada murid, serta memperdalam pengetahuannya tentang ilmu itu, sehingga pelajaran yang diajarkan tidak bersifat dangkal.56

Mencermati sifat-sifat sebagaimana tersebut diatas, memang sudah

seharusnya bagi seorang guru yang notabenenya sebagai pendidik dengan

segala tugas yang diembannya dalam menghantarkan anak didik untuk

memiliki pengetahuan, kepandaian, serta berbagai ilmu dalam rangka

mengembangkan diri secara optimal melalui bimbingan, arahan, serta didikan

guru, sehingga melalui itu semua dapat tercipta insan-insan didik yang

berkualitas, tidak hanya dari segi ilmu pengetahuan saja, tapi juga dibarengai

dengan kepribadian da keluhuran sifat.

56 Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,

1970)., hlm. 137-139

34

Dengan demikian secara langsung bahwa sifat-sifat sebagaimana

dikemukakan di atas, merupakan syarat mutlak yang harus ada dan dimiliki

oleh seorang guru, sebab tanggung jawab tersebut tidak hanya dituntut secara

akademisi dan operasionalnya saja tapi juga tanggung jawab secara moral,

baik sesama manusia (anak didik khususnya) terlebih kepada Allah SWT.

C. Hak dan Kewajiban Murid

Sebagaimana guru yang memiliki tugas dan kewajiban, seorang murid

juga memiliki hak dan kewajiban (tugas-tugas) yang sangat penting dan harus

diperhatikan dalam pendidikan. Menurut Athiyah Al-Abrasyi, bahwa hak-hak

murid yang paling utama adalah dimudahkannya jalan bagi tercapainya ilmu

pengetahuan kepada mereka serta adanya kesempatan belajar tanpa

membedakan kaya dan miskin

Selanjutnya dipaparkan juga bahwa seorang pengembara Ibnu Jubair

telah melukiskan cara-cara yang memudahkan siswa untuk belajar,

diantaranya sekolah-sekolah besar yang didirikan untuk tempat belajar, harta

wakaf yang diladangkan buat mereka dan buat guru-guru, atau wisma-wisma

yang didirikan buat menampung mereka, peralatan-peralatan yang disediakan

buat mereka serta banyak hal-hal lain yang dapat menjadi kebanggaan bagi

kaum muslimin. Dan siapa yang ingin kemenangan, hendaklah ia pergi ke

Arab Maghribi untuk belajar, maka akan mendapat banyak sokongan dan

bantuan, sebab kaum muslimin memandang para penuntut ilmu dengan

perasaan hormat dan penghargaan, dikarenakan seorang siswa atau pelajar

berusaha memperoleh sesuatu yang amat tinggi dan berharga nilainya di

dunia ini yaitu ilmu pengetahuan.57

Oleh karena itu Islam selalu menghimbau para pemeluknya untuk

berusaha keras dalam menuntut ilmu, kemudian mengajarkan dan

menyumbangkan ilmu yang telah didapat tersebut kepada segenap manusia.

Banyak sekali firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang memerintahkan

untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya.

57 Ibid., hlm. 146

35

Diantaranya surat Az-Zumar ayat 9:

58) 9: الزمر (نوملعا ي لنيذال و نوملع ينيذى الوتس يل هلق

"Katakanlah apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar : 9)

Pada ayat diatas tersirat pengertian bahwa Allah SWT mengajak

manusia untuk menuntut ilmu sebab ilmu-ilmu tersebut akan menempatkan

posisi manusia sesuai kadar ketingghian ilmunya. Secara implisit terdapat

pengertian bahwa orang yang berilmu jauh lebih tinggi derajatnya baik di

mata Allah maupun dimata manusia, karena begitu mulianya ilmu.59

Rasulullah SAW lebih lanjut menerangkan dalam sebuah hadis

tentang keistimewaan dan keutaman orang yang menuntut ilmu:

حثدنا محمودب غن ليان حثدا انباو سامال انه ععم حالش عن ايب صع ى ب ا نهريالق: ال قةرر سم. هللا صلو :من ل سر طكقيلا يمتفس ل عهيما سل اهللاله ه 60 )رواه الترمذى (ةنجل ى الا اقيرط

"Telah bercerita padaku Mahmud Bin Ghailan, telah bercerita padaku Abu Usamah dari A’masy dari Abi Shalih dari Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju surga."(H.R. Tirmidzi)

Abdullah Nasih Ulwan juga telah menjelaskan dalam bukunya, bahwa

seorang cendekiawan mengatakan, “sesungguhnya negara Islam telah

mendahului seluruh dunia didalam menyebarkan pengajaran secara gratis

bagi seluruh warga negaranya, tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Pintu-

pintu sekolah terbuka lebar bagi seluruh masyarakat dan bangsa di masjid-

masjid, tempat tempat belajar, dan tempat-tempat umum disetiap negara yang

telah memeluk Islam. Diantara pengajaran yang bebas itu adalah Al-Azhar As-

Syarif, Kulliyatu Ad-Darul Ulum dan seluruh perguruan-perguruan atau

58 R.H.A. Soenaryo, Op. Cit., hlm. 747 59 Abdul Razak Husein, Hak Dan Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska,

1992)., hal 82 60 Abi Isa Muhamad Bin Isa Bin Surah, Al-Jami’us Shahih Sunan Tirmidzi Juz V ( Beirut:

Dar al-Qutb Ilmiyah, 1987), hal 28

36

sekolah-sekolah agama. Disana para pelajar dan mahasiswa diberi bantuan

biaya untuk makan mereka seperti yang dilakukan secara merata oleh

beberapa negara diseluruh pelosok dunia.61

Pada dasarnya persamaan hak belajar bagi umat Islam dan manusia

secara keseluruhan merupakan suatu kewajiban, lantaran memang telah

diperintahkan oleh Allah SWT. Sehingga meluangkan waktu untuk belajar

bagi semua individu adalah mutlak, baik kecil maupun besar, laki-laki

maupun perempuan, kaya atau miskin. Dan bagi pemerintah wajib untuk

menyediakan sarana dan prasarana belajar bagi kepentingan umat.62

Mengajar dan mendidik memang bukanlah hal yang mudah, sebab

anak didik yang diberi pengajaran dan pendidikan datang dari berbagai

tingkatan dan kelas dalam masyarakta yang berbeda-beda, baik secara

ekonomi, kecerdasan dasar, maupun tingkat kemampuan penyerapan materi

yang diajarkan. Sehingga sebagai orang tua, guru, pendidik maupun pihak-

pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan anak dituntut untuk menerima

dengan lapang dada. Lantaran mendidik dan mengajar merupakan kewajiban

mutlak dan perintah dari agama Islam yang lurus.63

Jadi jelaslah bahwa seoarang murid memiliki hak-hak yang mutlak

untuk diterima dan dinikmati, sebab murid dipandang sebagai indifidu yang

ememiliki derajat kemulyaan pula disamping seorang guru yang penuh

keikhlasan dan ketulusan hati meluangkan waktu dan tenaganya untuk

mencari ilmu sebagi bekal hidup di dunia serta sebagi sarana untk dekat pada

sang khaliq, sehingga tercapai tujuan di dunia dan akhirat.

Begitu tinggi perhatian Islam terhadap hak-hak seorang murid tanpa

membedakan status sosial mereka. Demikian pula seorang murid diberi

petunjuk terhadap kewajiban-kewajiban yanh harus diperhatikan sebagai

rambu-rambu dan petunjuk yang harus diperhatikan supaya para murid tidak

61 Abdullah Nasih Ulwan , Pendidikan Anak Dalam Islam, Cet.II, (Jakarta: Pustaka Amani:

1999), hlm. 314 62 Abdul Razak Husein, Op.Cit., hlm. 90 63 Ibid., hlm. 91

37

salah jalan dalam menuntuk ilmu serta dapat mencapai tujuan yang akan di

tempuh dengan baik.

Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang diusahakan

untuk menambah pengetahuan dan melangsungkan pendidikan.64 Untuk

mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan

peserta didik. Walau bagaimanapun pendidikan berusaha menanamkan

pengaruhnya kepada peserta didik, apabila tidak ada kesediaan dari peserta

didik sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan

dapat berhasil. Sehingga hal ini mendapat perhatian besar dari para pemikir

pendidikan Islam.65

Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Fathiyyah Hasan Sulaiman,

karakteristik belajar yang perlu dimilki murid meliputi hal-hal sebagai

berikut:

1. belajar merupakan ibadah 2. landasan keagamaan dalam belajar 3. sikap sufi dalam menghadapi ilmu 4. perlunya pandangan dasar yang mantap sebelum diskusi 5. pertautan antara berbagai ilmu 6. belajar secara bertahap 7. masalah urutan dalam mengkaji suatu ilmu 8. nilai berbagai ilmu 9. tujuan belajar 10. manfaat ilmu yang dikaji.66

Ad.1. belajar merupakan bentuk ibadah, karena tujuannya adalah

mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, sudah

seharusnya sifat murid yang paling utama adalah mensucikan jiwa dari

perilaku yang buruk dan sifat yang tercela.

Ad.2. landasan keagamaan dalam belajar. Dalam hal ini murid hendaknya

tidak terpaku pada pandangan keduniawian semata, tapi hendaknya ia

mengurangi ketergantungan kepadanya.

64Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren, Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari,

(Yogyakarta:Ittaka Press, 2001), hal 72 65 Hery Nur Aly, Op.Cit., hlm.129 66 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Op. Cit., hlm. 56-62

38

Ad.3. sikap sufi dalam menghadapi ilmu. Dalam hal ini hendaknya

mengutamakan sifat rendah hati dalam menuntut ilmu.

Ad.4. perlunya pandangan dasar yang mantap sebelum diskusi. Hal ini

dengan tujuan agar tidak mengacaukan alam pikiran siswa yang baru

berkembang, dengan terlibat dalam berbagai ilmu yang saling

bertentangan dan berbagai pandangan yang saling membantah.

Ad.5. pertautan antara berbagai ilmu. Karena berbagai bidang ilmu berkaitan

satu sama lain. Sehingga orang yang belum dalam ilmu

pengetahuannya, kadang-kadang tidak mampu mengkajinya secara

multidisipliner.

Ad.6. belajar secara bertahap. Dalam hal ini pertama-tama murid harus

mempelajari ilmu-ilmu agama secara sungguh-sungguh. Selanjutnya

barulah ia mempelajari ilmu lainnya.

Ad.7. masalah urutan dalam mengkaji ilmu. Dalam hal ini seorang murid

hendaknya jangan terlalu mudah menghukumi bahwa sebagian dari

ilmu itu rusak. Karena kadang-kadang ada perbedaan pendapat antara

para ahli ilmu.

Ad.8. nilai berbagai ilmu. Maksudnya, hendaknya murid menyadari nilai ilmu

yang dikaji, menyadari pula bahwa sebagian ilmu lebih berharga

daripada yang lainnya, dan demikian pula dengan hasil kajiannya.

Ad.9. tujuan belajar. Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu agama harus

menjadi tujuan utama. Dibandingkan dengan ilmu yang tujuannya

duniawi.

Ad.10. manfaat ilmu yang dikaji. Al-Ghazali memandang bahwa ilmu agama

lebih berguna, karena ilmu ini akan mengantarkannya pada

kebahagiaan yang abadi.

Sedang menurut Az-Zarnuji sikap dan perilaku murid terhadap guru

terbagi dalam dua situasi, yaitu situasi dalam kegiatan belajar mengajar dalam

kelas dan hubungan yang berlangsung dalam situasi di luar kelas. Penekanan

sikap yang direkomendasikan oleh Al-Zarnuji pada intinya adalah supaya

murid senantiasa menghiasi diri dengan akhlak dan sikap utama sebagai

39

sarana mempermudah dalam menuntut ilmu serta menuai manfaat dari

pengembaraanya, yakni sikap tawadhu' dan menjunjung tinggi etika.67

Sikap tawadhu' sangat ditekankan oleh Al-Zarnuji karena menurutnya,

sikap tawadhu' adalah bagian dari sifat orang yang takwa kepada Allah SWT.

Dan dengan tawadhu' orang yag takwa akan semakin naik derajatnya.

Ketawadhu'an disini adalah sesuai batasan tertentu. Sebab tawadhu'

yang berlebihan termasuk sikap yang dilarang karena mengarah pada perilaku

menjilat (tamallu'). Sikap tawadhu yang dikehendaki oleh Az-Zarnuji adalah

tawadhu yang tidak merusak hakikat nilai ketaatan itu sendiri. Sikap tawadhu'

tersebut digambarkan dengan selalu mencari keridho'an guru dengan menjaga

perasaannya dan menghindari kemurkaannya serta melaksanakan semua

perintahnya asal bukan perintah maksiat atau mendatangkan dosa. Sebab

ketentuan taat adalah taat pada kebaikan. 68

Sedangkan berkaitan dengan syarat umum yang akan mempengaruhi

keberhasilan murid dalam menuntut ilmu secara spesifik dijelaskan oleh Az-

Zarnuji dalam syairnya, yang kurang lebih artinya sebagai berikut:

سأنبيك عن جمموعها ببيان اال التنال العلم اال بستة 69وارشاد استاذ وطول زمان ذكاء وحرص واصطبار وبلغة

"Ingatlah, kamu tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan enam perkara; yang akan kujelaskan semua kepadamu dengan singkat Yaitu kecerdasan, cinta kepada ilmu, kesabaran, bekal biaya, petunjuk guru, dan masa yang lama."

Maksudnya bahwa penuntut ilmu tidak akan berhasil kalau tidak

memenuhi enam faktor keberhasilan, yaitu:

1. Cerdas, yaitu cepat kecerdikan

2. Cinta pada ilmu

67Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 12 68 Ibid 69Ibid, hlm. 15

40

3. Bekal biaya, kecukupan rizki dalam penghidupan sehingga tidak

menggantungkan orang lain yang dapat menggelisahkan hati

4. Bersabar atas ujian mental dan cobaan yang di hadapi

5. Petunjuk guru yang mengarahkan pada kebenaran

6. Masa yang lama, maksudnya dalam belajar membutuhkan waktu

yang lama dan tidak dapat berhasil dalam waktu sebentar.

Menurut Asma Hasan Fahmi, murid memiliki beberapa kewajiban

terpenting, yaitu:

1. Seorang murid harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu. Sebab belajar sama dengan ibadah dan tidak sah suatu ibadah kecuali dengan hati yang bersih

2. Hendaklah tujuan belajar ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan bukan mencari kedudukan

3. Selalu tabah dan memiliki kemauan kuat dalam menuntut ilmu sekalipun harus merantau pada tempat yang cukup jauh

4. Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh kerelaan guru dengan berbagai macam cara.70

Sedang menurut Al-Ghazali kewajiban murid adalah sebagai berikut:

1. Mendahulukan kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari akhlak yang tercela, sebab batin yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinari dengan ilmu

2. Mengurangi hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu

3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji kepada guru

4. Menjaga diri dari perselisihan (pandangan-pandangan yang kontroversi), khususnya bagi murid pemula, sebab hanya akan mendatangkan kebingungan

5. Tidak mengambil ilmu, selain hingga mengetahui hakekatnya. Karena mencari dan memilih yang terpenting hanya dapat dilakukan setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan

6. Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting yaitu ilmu akherat, sebab ilmu akherat merupakan tujuan

7. Memiliki tujuan dalam belajar, yaitu untuk menghias batinnya dengan sesuatu yang akan menghantarkannya kepada Allah SWT bukannya untuk memperoleh kekuasaan, harta dan pangkat.71

70 Asma Hasan Fahmi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1979), hlm. 174-175

41

Disamping kewajiban seorang murid juga hendaknya memiliki

beberapa etika yang harus dijalankan. Seperti yang digambarkan oleh Al-

Ghazali dalam Bidayatul hidayah sebagai berikut:

1. Jika berkunjung kepada guru harus menghormat dan menyampaikan salam terlebih dahulu.

2. Jangan banyak bicara dihadapan guru 3. Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru 4. Jangan bertanya jika belum minta izin terlebih dahulu 5. Jangan sekali-kali menegur ucapan guru 6. Jangan mengisyarati terhadap guru, yang dapat memberi

perasaan khilaf dengan pendapat guru. Kalau demikian itu menganggap murid lebih besar dari padanya

7. Jangan berunding dengan teman ditempat duduknya, atau berbicara dengan guru sambil tertawa

8. Jika duduk dihadapan guru jangan menoleh, tapi duduk dengan menundukkan kepala dan tawadhu'

9. Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang enak

10. Sewaktu guru berdiri murid harus berdiri sambil memberikan penghormatan kepada guru

11. Jangan sekali kali bertanya kepada guru mengenai tindakannya yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid. Sebab guru lebih mengetahui rahasia-rahasia yag terkandung dalam tindakan itu.72

D. Pola Hubungan Guru Dan Murid

Sebagai suatu proses yang dinamis, pendidikan akan senantiasa

berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan yang terjadi di

lingkungan umumnya. Demikian pula pada semua jenjang pendidikan, baik

pendidikan dasar, menengah maupun tinggi.

Lebih-lebih di lembaga perguruan tinggi yang para mahasiswanya

sudah dewasa, sehingga dituntut adanya kedinamisan dalam kehidupan sebagai

mahasiswa. Pergerakan kearah kedinamisan hendaknya tidak meninggalkan

aspek yang tetap harus ada yaitu etika hubungan antara guru dan murid.

71 Abu Hamid Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumudddin, ed. terj: Irwan Kurniawan

(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 32-35 72 Abu Hamid Al-Ghazali, , Bidayatul hidayah, ed.terj: H.M. Ahmad Al-Hafidzi, (Surabaya:

Bina Ilmu, 1982), hlm. 92

42

Perkembangan sekarang menuntut adanya kedinamisan baik dari guru

maupun murid. Antara guru dan murid bukan lagi terikat kepada hubungan

hierarkis antara atasan dan bawahan dalam mempelajari suatu ilmu, tetapi

terdapat proses belajar dan mengajar, terdapat adanya guru yang potensial dan

murid yang potensial, sehingga proses belajar mengajar ini tinggal

mengefektifkan guru yang potensial dan murid yang potensial.73

Menurut Michael Marland, bahwa pembahasan mengenai hubungan

guru dan murid adalah paling sulit dibandingkan bagian-bagian yang lain.

Menciptakan hubungan yang baik dengan murid merupakan kewajiban utama

bagi guru. Padahal kewajiban inilah yang paling sukar dijelaskan, paling

memerlukan ketrampilan pribadi untuk dikuasai dan paling kabur untuk

ditentukan. Nasehat bisa salah diterapkan dan peringatan bisa berubah menjadi

ejekan.74

Nampaknya inilah fenomena yang sekarang mulai merambah dunia

pendidikan. Perilaku anak didik yang dahulunya menunjukkan sikap yang baik,

sekarang tampak sebaliknya. Hal ini bisa dilihat dari sikap murid terhadap guru

yang makin menunjukkan perilaku negatif. Guru makin tidak dihargai. Oleh

karena itu barangkali pendidikan moral, pendidikan humaniora makin terasa

harus dikedepankan dan menjadi salah satu agenda dalam kerangka kebijakan.

Dikarenakan adab merupakan salah satu bentuk pengakuan dari suatu

hubungan masyarakat yang dijadikan panutan.

Seperti ungkapan Naquib Al-Athas sebagai berikut:

"Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degress of rank, and of one's proper place in relation to that relity and to one's physical intellectual and spiritual capacities and potentials"75

73 Sanusi, Kepemimpinan Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Angkasa, 1990),

hlm. 15 74 Michael Marland, Craft Of The Classroom, (ed.terj), (Semarang: Dahara Prize, 1987),

hlm. 25 75 Muhamad Naquib Al-Athas, The Concept Of Education in Islam, (Malaysia: Art printing

Works SDN BHD, 1991), hlm. 27

43

Meskipun pembahasan tentang pola hubungan guru murid merupakan

bagian yang sulit, pembahasan tentang ini tetap menjadi fokus utama karena

tingkat kepentingannya, dan penciptaan hubungan baik itu lebih dapat diterima

secara teknis daripada yang kelihatan. Kesuksesan adalah hasil dari metode,

bukan keberuntungan, dan hubungan yang baik terjadi karena diciptakan.

Berkaitan dengan hal ini proses belajar mengajar pada hakekatnya

adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan

melalui saluran atau media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan,

saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses

komunikasi. Pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran ataupun

didikan yang ada dalam kurikulum, sumber pesannya bisa guru, siswa, orang

lain ataupun penulis buku dan produser media, adapun salurannya adalah

media pendidikan dan penerima pesannya adalah siswa atau juga guru.76

Pesan berupa isi ajaran dan didikan yang ada dikurikulum dituangkan

oleh guru atau sumber lain kedalam simbol-simbol komunikasi baik simbol

verbal (kata-kata lisan ataupun tertulis) maupun simbol non verbal atau visual.

Proses penuangan pesan ke dalam simbol-simbol komunikasi itu disebut

encoding. Selanjutnya penerima pesan (bisa siswa, peserta latihan ataupun guru

dan pelatihnya sendiri) menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut

sehingga diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang

mengandung pesan disebut decoding.77

Adakalanya penafsiran tersebut berhasil adakalanya tidak. Penafsiran

yang gagal atau kurang berhasil berarti kegagalan atau kekurangberhasilan

dalam memahami apa-apa yang didengar, dibaca, atau dilihat dan diamatinya.

Oleh karena itu perlu dibina hubungan yang baik, komunikatif dan bersahabat

antara guru dan murid.

Hubungan antara guru dan murid mempunyai sifat yang relatif stabil.

Ciri khas dari hubungan ini ialah bahwa terdapat status yang tak sama antara

guru dan murid. Guru itu secara umum diakui mempunyai status yang lebih

76Arief S Sadiman, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfatannya, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 107

77 Ibid

44

tinggi dan karena itu dapat menuntut murid untuk menunjukkan kelakuan yang

sesuai dengan sifat hubungan itu. Bila anak itu meningkat sekolahnya ada

kemungkinan ia mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan sebagai siswa

pasca sarjana ia dapat diperlakukan sebagai manusia yang matang dan dewasa,

jadi banyak sedikit dengan status yang mendekati status dosen.78

Dalam literatur pendidikan paling tidak terdapat tiga metode

pembelajaran sebagai dasar pola hubungan guru dan murid. Ketiga pola itu

adalah:

1. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centris)

2. Pola pembelajaran yang berpusat pada murid (student centris).

3. Pola pembelajaran yang mamadukan antara keduanya.79

Metode pembelajaran yang berpusat pada guru adalah metode

pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pemberi informasi, pembina

dan pengarah satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Model ini

didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasional akademis, yang

menekankan segi pengetahuan semata-mata dengan tidak melihat bahwa

pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan

terhadap berbagai potensi yang dimiliki para siswa.

Sedang student centris adalah konsep pembelajaran yang berpusat pada

siswa dalam hal ini pengajaran yang penting bukan upaya guru menyampaikan

bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan

tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan guru adalah

menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar.

Sedang pada pola ketiga kegiatan belajar mengajar tidak terpusat pada

salah satu dari keduanya , tetapi terjadi interaksi antara guru dan murid secara

bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar merupakan suatu proses

yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan

timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan

tertentu.

78 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 78 79 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam (Kapita Selekta Pendidikan Islam), (Jakarta:

PT. Grasindo, 2001), hlm. 202

45

Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan murid tersebut

merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar.

Interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu

tidak hanya sekedar hubungan antara guru dan siswa, tetapi berupa interaksi

edukatif. Dalam hal ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan

berupa materi pelajaran melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa

yang sedang belajar.80

Guru akan lebih banyak mempengaruhi kelakuan murid bila dalam

memberi pelajaran dalam kelas hubungan itu tidak sepihak, seperti terdapat

dalam metode ceramah, akan tetapi hubungan interaktif dengan partisipasi

yang sebanyak-banyaknya dari pihak murid. Hubungan itu akan lebih efektif.

Bertolak dari pandangan mengenai kelas, asimetris adalah tepat dan

musti terjadi. Oleh Durkheim sebagaimana dikutip Sanapiah dinyatakan

dengan tegas, bahwa peranan guru ditandai dengan otoritas moral tertentu yang

ada kaitannya dengan pekerjaan mengajar. Hubungan antara guru dan murid

memadukan dua populasi yang tidak sederajat kebudayaannya; guru diilhami

dengan peradaban, sedangkan murid merupakan orang yang diberi peradaban.

Belakangan ini, penelitian yang dilakukan oleh para ahli sejarah sosial

menyatakan bahwa setidak-tidaknya selama abad kesembilanbelas, sekolah-

sekolah di Amerika mendasarkan pada tata aturan Durkheim; demikian

menurut Sanapiah. Kendatipun otoritas moral guru tetap bertahan, namun

ditandai dengan hukuman badani dan penghinaan, bukan dengan persetujuan

secara diam-diam dan spontan dari pihak murid.81

Menimbang dari pemikiran Az-Zarnuji nampaknya ada dua pola

hubungan guru murid yang sangat bagus jika diterapkan yaitu:

1. Pola hubungan guru-murid yang berdasar relasi bapak dan anak

Perlu diketahui bahwa perubahan kelakuan yang diharapkan

mengenai hal-hal tertentu yang spesifik, misalnya agar anak menguasai

bahan pelajaran tertentu. Mengenai hal-hal yang umum, yang kabur, tidak

80 Ibid, hlm. 206 81 Ibid, hlm. 168

46

mudah tercapai kesamaan pendapat, misalnya apakah guru harus

menunjukkan cinta kasih kepada murid, apakah ia harus bertindak sebagai

orang tua, atau sebagai sahabat. Karena sifat tak sama dalam kedudukan

guru-murid, maka sukar bagi guru untuk mengadakan hubungan akrab,

kasih sayang atau sebagai teman dengan murid. Demi hasil belajar yang

diharapkan diduga guru itu harus dihormati dan dapat memelihara jarak

dengan murid agar ia dapat berperan sebagai model bagi muridnya.82

Mengacu pada pemikiran Az-Zarnuji mengenai keutamaan dalam

menghormati dan memuliakan guru bukan merupakan sebuah teori semata

akan tetapi lebih dari sebuah pemikiran yang mengandung alasan cukup

mendasar bagi terbentuknya suatu hubungan yang etis humanities antar

guru dan murid. Alasan tersebut dikemukakan secara jelas oleh Az-

Zarnuji seperti telah disebutkan diatas:

83 فهو أبوك ىف الدين من علمك حرفا مما حتتاج ىف الدين فاءن

"Maka sesungguhnya orang yang mengajarkanmu satu huruf yang

hal itu masalah agama dan kamu perlukan maka dia termasuk

dihukumi sebagai bapakmu dalam agama. "

Alasan di atas menunjukkan secara jelas bahwa posisi guru yang

mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam masalah agama, maka

dia disebut sebagai bapak. Sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan

tinggi, karena dengan jasanya seorang murid dapat mencapai ketinggian

spiritual dan keselamatan akhirat.

Hal ini berarti hubungan tersebut adalah hubungan yang sangat

dekat tidak terbatas dalam kondisi dan lingkungan pendidikan secara

formal, dimana guru sebagai pentransfer pengetahuan dan urid sebagai

penerima, akan tetapi lebih merupakan sebuah hubungan yang memiliki

ikatan moral dan emosional yang tinggi sebagaimana ikatan antarabapak

dan anak.

82 S. Nasution, , Op. Cit., hlm. 79 83 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 17

47

Dalam hal ini Dr. Abdul Hamid Al-Hasyimi juga mengatakan

bahwa kategori bapak itu ada tiga: pertama, bapak untuk anaknya; kedua,

bapak yang mendidik dan mengasuh; dan yang ketiga, bapak yang

mengajarkanmu dan mendidik akalmu.84

Jadi seorang guru sebagai seorang pendidik, yang mana bertugas

menumbuhkan dan mendidik akal siswa. Dalam tugasnya hendaknya

bersikap seolah dia adalah bapak bagi anak terhadap muridnya. Hal ini

akan mengandung konsekwensi bagi guru untuk mencintai muridnya

dengan tulus. Karena hubungan itu layaknya kedekatan antara bapak dan

anaknya.

Demikian pula bagi murid karena ia menempati kedudukan

sebagai anak bagi gurunya, tentu hal ini mengharuskan ia menjaga sikap

terhadap gurunya. Sebagaimana ia menghormati orang tuanya, maka

seperti itu pula hendaknya ia menghormati gurunya.

Menurut H.M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir,

kasih sayang guru kepada murid terbagi dalam dua term. Pertama, kasih

sayang dalam pergaulan, artinya guru harus lemah lembut dalam

pergaulan. Kedua, kasih sayang dalam mengajar. Artinya guru tidak boleh

memaksa murid mempelajari sesuatu yang belum dapat

dijangkaunya.pengajaran harus dapat dirasakan mudah oleh anak didik.85

Lebih lanjut lagi karena guru adalah bapak bagi muridnya maka ia

harus menerapkan beberapa sifat kasih sayang, seperti dipaparkan oleh

Nasih Ulwan. Dalam hal ini Abdullah Nasih Ulwan mengungkapkan

beberapa cara yang positif agar seorang guru mencintai murid-muridnya,

antara lain:

1. Hendaknya seorang pendidik selalu tersenyum sayang kepada anak didiknya

84 Abdul Hamid Al-Hasyimi, Mendidik Anak Ala Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Azzam,

2001), hlm. 166 85 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 1994), hlm. 85

48

2. Mendorong semangat anak dengan hadiah pada tiap kali ia berhasil dalam suatu hal, atau pada kesempatan ia mendapat ranking yang bagus

3. Menanamkan pada anak didik bahwa dirinya diperhatikan dan disayang

4. Bergaul dan memperlakukan anak didik dengan lemah lembut

5. Menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif untuk menolong anak didik menghormati gurunya

6. Bersikap terbuka, akrab, dan sesekali bercanda dengan anak-anak didiknya.86

Berkaitan dengan hal ini kita perlu memperhatikan teladan yang

telah dipraktekkan oleh Rosululloh SAW. Diceritakan bahwa Rosululloh

adalah orang yang menjunjung tinggi akhlak dan menyukai kelembutan

ketika berbicara dengan sahabatnya. Akhlak Rasulullah selalu up to date

untuk dijadikan acuan sikap manusia. Termasuk dalam hal ini adalah

akhlak seorang guru, dimana guru hendaknya berlaku lemah lembut pada

muridnya. Seperti dalam sebuah hadis Rosululloh SAW:

دخلنا على عبد اهللا بن عمروحني قدم : عن شقيق بن سلمة عن مسروق قالمعا معاوية اىل الكوفة فذكر رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم فقال مل يكن

ن منقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ا: فاحشا وال متفحشا وقال 87 هلهأ بمهفطلاا وقلخ مكنس ح امكريخا

Dari Syaqiq bin Salamah, aku mendengar Masyruq berkata: " kami datang kepada Abdullah bin Umar ketika ia datang bersama Mu'awiyah dikota Kufah, lalu Abdullah menyebut-nyebut Nabi muhamad SAW kemudian ia berkata: Nabi bukan orang yang suka berucap kotor, dan bukan orang yang berucap kotor supaya ditertawakan manusia.' Lalu Abdullah berkata: "Rasulullah bersabda: " Orang yang paling baik budi pekertinya adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lembut kepada saudaranya."88

86 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Kaidah-Kaidah Dasar, (ed.terj:

Khalilullah), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), hlm. 363 87 Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid I (Beirut: Darul

Fikr, t.th) hlm. 23 88 Ahmad Sunarto, Op.Cit. Juz VIII, hlm. 42

49

2. Pola Hubungan guru-murid yang mendasarkan pada relasi dokter dan

pasien

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya menurut Al-Zarnuji,

hubungan guru dan murid adalah laksana hubungan antara dokter dan

pasien, karena adanya persamaan saling membutuhkan dan saling

ketergantungan. Guru dibutuhkan oleh murid karena ilmunya sedangkan

dokter dibutuhkan oleh pasien karena nasehat dan obatnya untuk

kesembuhan penyakitnya.89

Dari analogi diatas menunjukkan adanya nilai kepercayaan. Dalam

proses belajar mengajar dan dalam persoalan akademik, seorang guru

lebih tahu disebabkan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan

murid. Sedangkan seorang dokter memang memilki keahlian dalam

mendiagnosa untuk menyembuhkan penyakit.

Pernyataan diatas dapat mengandung pengertian bahwa dalam

interaksi seorang guru hendaknya lebih mengutamakan petunjuk dan

nasehat sebagai kepentingan utama, yaitu pada saat tertentu murid di

persilahkan berdiskusi dengan guru, terutama dalam masalah keilmuan.

Sebab guru ibarat seorang dokter yang telah berpengalaman mendiagnosa

suatu penyakit, dan akhirnya mampu atau setidaknya berusaha untuk

mengupayakan kesembuhan bagi pasiennya. Hal ini mengandung

konsekwensi penghormatan murid terhadap gurunya atas dasar ilmu yang

dimiliki oleh gurunya.

Proses kerjasama antara guru dan murid yang demikian mengacu

pada model hubungan insani (the human relations).90 Yakni suatu model

yang lebih menekankan pada pentingnya hubungan insani antara guru dan

murid dalam menyesuaikan diri pada tuntutan lingkungan sehingga

menciptakan interaksi belajar-mengajar yang baik.

Analogi dokter-pasien mengandung konsekwensi bahwa guru

adalah juga berperan sebagai pembimbing. Sebagaimana Rasulullah SAW

89 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 18 90 Chaliyah Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994),

hlm. 78-79

50

yang juga merupakan pengarah, pendidik, dan juga pembimbing

umatnya.91 Oleh karena itu seyogyanya murid sebagai pasien mentaatinya.

Karena seorang pasien tidak akan sembuh dari sakitnya jika tidak mentaati

nasihat dan bimbingan dokternya, dalam hal ini adalah guru.

Dalam peranannya sebagi pembimbing, maka guru diusahakan

dapat menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi interaksi

edukatif yang kondusif. Guru dalam hal ini siap sebagai mediator dalam

segala situasi proses interaksi edukatif. Sehingga guru akan merupakan

tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Dalam

hal ini guru lebih baik bersama anak didik sebagai desainer dalam

memimpin terjadinya interaksi edukatif.92

Hal ini sejalan dengan ungkapan Musthafa Al-Ghulayani karena

pendidikan pada hakikatnya adalah menanamkan akhlak yang mulia

dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat

sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan,

kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air.93

Guru dan murid adalah dwitunggal yang tak bisa dipisahkan. Guru ada

tak akan berarti tanpa adanya murid demikian pula murid tak akan bisa

mencerdaskan akalnya tanpa kehadiran seorang guru. Oleh karena itu

keduanya harus ada kerjasama yang baik.

Dalam Islam disamping seorang guru memilki cinta dan kasih sayang

kepada murid, demikian pula ada timbal balik sikap murid kepada gurunya.

Secara umum seperti yang direkomendasikan oleh Az-Zarnuji dalam

hubungannya dengan guru, murid hendaknya menerapkan dua sikap dasar

yaitu tawadhu dan menjunjung tinggi etika.

1. Tawadhu’

Dalam hubungannya dengan guru Islam menekankan sekali

pentingnya sikap tawadhu bagi murid. Karena tawadhu kepada guru berarti

91 Abdul Hamid Al-Hasyimi, Op.Cit., hlm. 65 92 Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 15 93 Musthafa Al-Ghulayani, Idhatu al-Nasihin, ed. Terj, (Pekalongan: Rajamurah, 1953),

hlm. 189

51

memuliakan ahli ilmu. Dan memuliakan ahli ilmu hal itu juga berarti

memuliakan ilmu.

Setiap murid hendaknya menyadari betul bahwa gurunya, dengan

ilmu dan pengalamannya serta keinginannya membentuk muridnya menjadi

seorang pribadi yang mulia, memberikan makanan bagi roh dan akalnya,

membukakan tabir-tabir kehidupan serta berharap bahwa muridnya dapat

menjadi lebih alim darippada gurunya. Guru lebih mampu memberikan

nasihat yang terbaik, sehingga wajar apabila murid memtaati segala

pemberian dan arahan gru serta mengesampingkan pendapat dirinya, sebab

kekeliruan guru ada kemungkinan lebih baik dari kebenarannya.94

Imam Az-Zarnuji sangat menekankan agar murid bersikap tawadhu’

pada gurunya, dan mengesampingkan sikap lainnya. Seperti yang tertulis

dalam sya’irnya

95 وبه التقى اىل املعاىل يرتقى# ان التواضع من خصال املتقى

“sesungguhnya sikap tawadhu (rendah hati) adalah bagian dari

sifat-sifat orang yang takwa kepada Allah SWT. Dan dengan

tawadhu’ orang yang takwa akan semakin naik derajatnya.”

Akan tetapi ada hal yang harus diingat bahwa sikap tawadhu

memiliki batasan tertentu. Sebab tawadhu yang berlebihan termasuk sikap

yang dilarang karena mengarah pada tamallu’ (menjilat). Sikap tawadhu

yang dikehendaki Az-Zarnuji adalah yang tidak merusak hubungan dan

tidak merusak hakikat nilai ketaatan itu sendiri. Sikap tawadhu’ itu

digambarkan dengan selalu mencari keridho’an guru dengan menjaga

perasaan guru dan menghindari kemurkaannya dan melaksanakan perintah

guru asal bukan perintah maksiat atau mendatangkan dosa, sebab ketentuan

taat adalah taat kepada kebaikan.

94 Hasan Ayyub, Etika Islam (Menuju Kehidupan Yang Hakiki), (Bandung: Tri Genda

Karya, 1994), hlm. 636 95 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 12

52

Sikap tawadhu bagi seorang murid sangat penting untuk dimiliki

dalam proses belajar mengajar dengan senantiasa mengikuti pendapat dan

petunjuk guru, sebab pada umumnya dengan memperhatikan nasihat

seorang guru, maka murid akan lebihmudah memahami suatu pelajaran.

Setiap kesulitan yang dihadapi dapat diatasi dengan melalui petunjuk dan

nasihat guru dengan tidak ada maksud untuk mengingkarinya.

Pada dasarnya munculnya sikap ketawadhu’an adalah adanya guru

yang benar-benar mumpuni dalam keilmuannya, mampu membimbing para

murid dan tinggi dalam mendekatkan diri pada Allah SWT, karena Allah

SWT sendiri mengakui keunggulan derajat bagi orang yang berilmu.

Dengan demikian sikap tawadhu, pemulyaan, dan penghormatan

bukan diberikan kepada sembarang guru, akan tetapi kepatuhan sikap dan

etika tersebut hanya diperuntukkan bagi guru yang benar-benar memilki

tingkat kesucian tinggi. Sebagaimana dinyatakan oleh Zamakhsari

Dhofier96. Bahwa konteks ketawadhu’an dan kepatuhan murid pada guru

hanya krena hubungannya dengan kesalehan guru kepada Allah,

ketulusannya, kerendahan hati dan kecintaan mengajar murid-muridnya.

2. Menjunjung Tinggi Etika

Jika kita melihat fenomena pelajar saat ini, seperti kecenderungan

sex bebas yang sudah melampaui batas wajar kemanusiaan, pesta NAPZA,

dan menurunnya kesopanan pada diri murid, mungkin para pendidik akan

merasa malu dan mengelus dada, seraya berfikir apa yang salah dari

pendidikan mereka.

Sebetulnya jika dicermati dengan baik hal ini lebih disebabkan

karena pendidikan yang dijalankan sudah makin jauh dari ajaran Al-Qur’an

dan Hadits. Ruh kebebasan berfikir dari barat serta budaya hedonisme yang

merambah otak para pelajar.

Misi Islam yang sebenarnya adalah pengarahan manusia mencapai

nilai-nilai derajat yang luhur, yang sesuai dengan kemuliaan manusia.

96 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:

LP3ES, 1982), hlm 84

53

Yaitu memilki budi pekerti mulia dan bersikap luhur sesuai dengan

kemuliaan manusia sebagai pemimpin atau kholifah di bumi. Hal ini

ditujukan untuk mewujudkan unsur-unsur kekuatan dan pribadi-pribadi

yang sholeh, agar dengan akal pikiran dan hatinya dapat memberikan

saham dalam mempertinggi taraf kehidupan dan mendapatkan

perlindungan serta ridho Allah dibalik kehidupan yang sekarang. 97 Pesan

inilah yang menjadi tujuan utama dari beberapa nasihat Syeh Az-Zarnuji

kepada para penuntut ilmu, dalam memberi aturan normatif dan acuan

beberapa sikap sebagai etika yang harus dipegang oleh para murid

untukmenghormati dan menjaga hubungan dengan gurunya sebagai

pedoman etika dalam belajar. Seperti dipaparkan oleh Az-Zarnuji sebagai

berikut: مـن أراد أن يكـو ن ابنه عاملا فينبغى أن يرعى الغرباء من الفقهاء ويكرمهم و يعظمهـم ويعطـيهم شيأ فاءن مل يكن ابنه عاملا يكون حافده عاملا ومن توقري

نده اال باءذنه وال املعلم ان ال ميشي أمامه وال جيلس مكانه وال يبتدئ الكالم ع يكثر الكالم عنده وال يسأل شيأ عند ماللته ويرعى الوقت وال يدق الباب بل يـصرب حـىت خيرج فاحلاصل أنه يطلب رضاه وجيتنب شخطه وميتثل أمره ىف

توقريه توقري ومن . غريمعـصية اهللا تعاىل وال طاعة للمخلوق ىف معصية اخلالق 98 هأوالده ومن يتعلق ب

Diantara mengagungkan guru yang harus diperhatikan dan

dilaksanakan oleh seorang murid atau santri hendaknya:

1. Jangan berjalan di muka guru

2. Jangan menduduki tempat duduk guru

3. Jangan mendahului bicara dihadapan gurunya kecuali seizinnya

4. Jangan banyak bicara dihadapan guru

97 Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam, (Jakarta: PT. Inter Masa 1990), hlm.

41.

98 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma’il, Op. Cit., hlm 17

54

5. Jangan bertanya sesuatu yang membosankannya

6. Jika berkunjung pada guru harus menjaga waktu, dan jika guru

belum keluar maka janganlah mengetuk-ngetuk pintu, tapi

bersabarlah hingga guru keluar.

7. Selalu memohonkeridho’annya

8. Manjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahann guru

9. Melaksanakan perintah guru asal bukan perintah maksiat

10. Menghormati dan memuliakan anak-anak, famili dan kerabat

gurunya.

Bagi Az-Zarnuji bahwa belajar merupakan ibadah internal yang

memilki signifikansi yang tinggi pada dataran religius, sehingga semua

yang terkait dengan ilmu selalu diukur dengan etika baik dan buruk. Akan

tetapi etik-etika yang disarankan di atas merupakan hal-hal yang sangat

berpengaruh dan memilki konsekwensi bagi proses interaksi guru murid

yang baik di dalam maupun di luar kelas sehingga substansi aturan tersebut

perlu dipertimbangkan kembali

Kondisi umum dan suasana kelas yang efektif, berpengaruh bagi

berlangsungnya proses belajar mengajar dan kualitas belajar.99 Etika-etika

di atas merupakan aspek-aspek yang terkait dengan pembentukan suatu

kelas yang kondusif, seperti posisi duduk yang tidak teratur berpengaruh

bagi proses interaksi guru-murid yang tidak efektif, serta tidak bertanya

pada saat guru menyampaikan materi pelajaran. Sebab menyela

pembicaraan guru pada saat guru menyampaikan materi pelajaran akan

membuyarkan konsentrasi guru dalam menyampaikan materi. Maka

hendaknya murid bersungguh-sungguh memperhatikan pelajaran, tidak

menyela perkataaan guru sehingga materi yang disampaikan guru dapat

diserap dengan baik.

99 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

2001), hlm. 10.

55

Dengan demikian penghormatan murid terhadap guru terwujud

dalam penghormatan melalui sikap, perilaku dalam hubungan sosial yang

dilandasi rasa tawadhu’ dan menjunjung tinggi etika.

Berdasarkan tinjauan ilmu akhlak bahwa etika-etika murid

sebagaimana dianjurkan , merupakan upaya pembiasaan bagi terbentuknya

akhlak yang mulia, sebab dengan memegang etika menjadikan orang

berakhlak dan beradab. Sehingga dengan keluhuran akhlak harkat dan

martabatnya terangkat. Melalui pembiasaan diri dengan melaksanakan

etika, jiwa akan selalu dibimbing denganbudi pekerti yang luhur. Oleh

sebab itu latihan jiwa sangat perlu sekali, guna memperteguh dan melatih

diri supaya mempunyai budi pekerti yang baik100

100 Fakhrudin HS, Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an, (Jakarta: Bina Aksara, 1990),

hlm 75