masngudi bab ii -...
TRANSCRIPT
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG POLA HUBUNGAN GURU-MURID
A. Pengertian Guru dan Murid
1. Guru
Terdapat banyak pengertian tentang guru. Dari segi bahasa, kata
guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang pekerjaannya
mengajar1 dan menurut ahli bahasa Belanda J.E.C. Gericke dan T. Roorda
yang dikutip oleh Ir. Pudjawiyatna, menerangkan bahwa guru berasal dari
bahasa sanskerta, yang artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat
dan juga berarti pengajar.2 Sedangkan dalam bahasa Inggris di jumpai
beberapa kata yang berdekatan artinya dengan guru, kata teacher berarti
guru, pengajar3 kata educator berarti pendidik, ahli mendidik4dan tutor
yang berarti guru pribadi, atau guru yang mengajar dirumah, memberi les
(pelajaran).5 Dalam pandangan masyarakat jawa, guru dapat di lacak
melalui akronim gu dan ru. Gu diartikan dapat digugu (dianut) dan ru
berarti bisa ditiru (di jadikan teladan).6
Selanjutnya dalam konteks Pendidikan Islam banyak sekali kata
yang mengacu pada pengertian guru, seperti kata yang lazim dan sering
digunakan antara lain murabbi, muallim, dan muaddib. Imam Al-Ghazali
dalam menunjuk pendidik sering menggunakan kata al-Mu'allimin (Guru),
al-Mudarris (pengajar), al-Mu'addib (pendidik) dan al-Walid (orang tua).7
Akan tetapi Hujjatul Islam tidak menjelaskan secara spesifik pengertian
atau definisi pendidik atau guru. Hanya kata-kata tersebut di atas sering
digunakan dalam kitab-kitabnya. Ketiga kata tersebut memiliki
1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. II, cet. IX, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hlm. 330
2 Pudjawiyatna, dalam Hadi Supeno, Potret Guru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995) hlm. 26
3 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1992), cet XX, hal, 581
4 Ibid, hlm. 207 5 Ibid., hlm. 608 6 Pudjawiyatna, Op.Cit, hlm. 26 7 Zainuddin dkk, Seluk- beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 50
16
penggunaan sesuai dengan peristilahan pendidikan dalam konteks
pendidikan Islam. Disamping itu guru, kadang disebut melalui gelarnya,
seperti al-ustadz dan as-syaikh.8
Dalam hal ini dibahas secara luas oleh Abuddin Nata, yakni kata
al-alim (jamaknya ulama) atau muallim, yang berarti orang yang
mengetahui dan kata ini banyak dipakai oleh ulama atau ahli pendidikan
untuk menunjuk pada arti guru. Al-mudarris yang berarti orang yang
mengajar (orang yang memberi pelajaran) Namun secara umum kata al-
mu’allim lebih banyak digunakan dari pada al-mudarris. Dan kata al-
muaddib yang marujuk pada guru yang secara khusus mengajar di istana.
Sedangkan kata ustadz untuk menunjuk kepada arti guru yang khusus
mengajar di bidang pengetahuan agama Islam. Selain itu terdapat pula
istilah syaikh yang digunakan untuk merujuk pada guru dalam bidang
tashawuf.9
Ada pula istilah kyai, yaitu suatu atribut bagi tokoh Islam yang
memiliki penampilan pribadi yang anggun dan disungkani karena jalinan
yang memadu antara dirinya sebagi orang alim, yang menjadi pemimpin
pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.10
Adapun pengertian guru secara terminologi memiliki banyak arti ,
dalam pandangan tradisional, guru dilihat sebagai seseorang yang berdiri
di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan.11
Menurut pandangan para pakar pendidikan Islam sangat bervariasi
dalam memberikan pengertian istilah guru. Menurut Ahmad Tafsir, bahwa
pendidik dalam Islam sama dengan teori di barat, yaitu siapa saja yang
8 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Tri Genda Karya, 1993), hlm.
167 9 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid (Studi Pemikiran
Tasawuf Al-Ghazali), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Hlm. 41-42 10 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai),
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 55 11 Roestiyah NK, dalam Hadi Supeno, Op. Cit,
17
bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik, baik potensi
kognitif, afektif, maupun potensi psikomotorik. 12
Sama halnya dengan Ahmad Tafsir, Ahmad D. Marimba memberi
pengertian guru atau pendidik sebagai orang yang memikul pertanggungan
jawab untuk mendidik.13 Sedangkan Zakiah Darajat, lebih memilih kata
guru sebagai pendidik profesional, sebab secara implisit ia telah merelakan
dirinya menerima dan memikul sebagian tanggungjawab pendidikan yang
terpikul dipundak para orang tua.14 Akan tetapi istilah guru untuk masa
sekarang sudah mendapat arti yang lebih luas dalam masyarakat dari arti
diatas, yakni semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau
kependidikan kepada seseorang atau sekelompok orang dapat disebut
sebagai guru, misalnya guru silat, guru mengetik, guru menjahit, bahkan
guru mencopet.15
Imam al-Zarnuji menganalogikan guru seperti halnya seorang
dokter. Artinya dokter adalah orang yang memberi kesembuhan bagi
penyakit pasiennya. Demikian pula guru ia berperan sebagai orang yang
memberi solusi dan pemecahan masalah bagi muridnya. Beliau
menerangkan dalam sya'irnya:
ال ينصحان اذا مها مل يكرمان# ان املعلم والطبيب كال مها 16 وأقنع جبهلك ان جفوت معلما # فاصرب لدائك ان جفوت طبيب
"Ketahuilah sesungguhnya guru dan dokter keduanya jika tidak dihormati tentu tidak akan mau memberi nasihat yang benar Maka terimalah dengan sabar rasa sakitmu jika kamu meremehkan doktermu, dan terimalah kebodohanmu, jika kamu meremehkan gurumu."
12 Ahmad Tafsir, Imu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1994) hlm. 74 13 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1980), cet. IV, hlm. 37 14 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000), cet. IV, hlm.
37 15 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Islam Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2000), cet XIII., hlm. 139 16 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Syarah Ta'ilmul Muta'allim, (Semarang: Pustaka
Al-Alawiyah, t.t), hlm. 32
18
Menurut Hadari Nawawi bahwa guru adalah orang yang mengajar
atau memberikan pelajaran di sekolah (kelas). Secara lebih khusus lagi, ia
mengatakan bahwa guru berarti orang yang bertanggung jawab dalam
membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Artinya, guru
tidak hanya memberi materi didepan kelas, tetapi juga harus aktif dan
berjiwa kreatif dalam mengarahkan perkembangan murid.17
Guru menurut paradigma baru ini bukan hanya bertindak sebagai
pengajar, tetapi juga sebagai motivator dan fasilitator proses belajar
mengajar yaitu realisasi atau aktualisasi potensi-potensi manusia agar
dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya.18 Sehingga hal ini
berarti bahwa pekerjaan guru tidak dapat dikatakan sebagai suatu
pekerjaan yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang
yang benar-benar memiliki wewenang secara akademisi, kompeten secara
operasional dan profesional.
Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional
tenaga kependidikan yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun
1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu:
1. Memiliki fungsi dan signifikansi sosial 2. Memiliki keahlian atau ketrampilan tertentu.
Keahlian/ketrampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah
3. Di dasarkan atas disiplin ilmu yang jelas 4. Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup
lama. 5. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional. 6. Memiliki kode etik. 7. Memiliki kebebasan untuk memberikan judgement dalam
memecahkan masalah. 8. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi. 9. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan
profesinya.19
17 Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah Dan Pengelolaan Kelas Sebagai Lembaga
Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 123 18 Hasan Langgulung,Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (jakarta: Pustaka Al-Husna,
1988), cet.I., hlm.86 19 Nana Syaodih S, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 1997), hlm. 191
19
Penetapan 10 ciri keprofesionalan di atas sebagai salah satu bentuk
upaya antisipasi bagi tugas guru yang benar-benar menuntut sebuah
keseriusan serta tanggung jawab bagi pelaksananya, serta sebagai suatu
upaya peningkatan mutu dan kualitas guru secara komprehensif. Sehingga
diharapkan mutu dan kualitas hasil pendidikanpun sesuai dengan tujuan
yang dicita-citakan.
Berkaitan dengan profesionalisme Nabi telah mengajarkan untuk
mengamanatkan suatu urusan kepada orang yang benar- benar ahli di
bidangnya, sebab jika pemegang amanat bukan orang yang ahli bisa
dipastikan hasil tidak tercapai dengan baik, bahkan akan mengakibatkan
kerusakan, atau kegagalan total. Hal ini menunjuukkan dengan jelas
pentingnya profesionalisme dalam bekerja, seperti halnya dalam pekerjaan
seorang guru. Sebagaimana sabda Rosululloh SAW yang berbunyi:
النيب صلى اهللا عليه وسلم ىف جملس حيدث القوم جاءه بينما: عن اىي هريرة قالفقال . رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم حيدث مىت الساعة؟ فمضى : اعرايب فقال
حىت اذا . وقال بعضهم بل مل يسمع , مسع ما قال فكره ما قال: القومبعضها أنا يا رسول اهللا : قال) السائل عن الساعة؟اين اراه : ( حديثه قالقضى
قال كيف . فإذا ضيعت االمانة فانتظر الساعة . (صلى اهللا عليه وسلم قال 20 ةاع السرظتن اء فهله اريىل غ ارمال ا دسا وذا: قال) اصاعبها؟
Dari Abi Hurairah, dia berkata: ketika Rasulullah disuatu majelis sedang berbicara dengan suatu kaum datanglah seorang badui dan berkata: "kapankah kiamat itu?". Rasulullah SAW terus berbicara, lalu sebagian kaum berkata: "beliau mendengar apa yang dikatakan olehnya, namun benci terhadap apa yang dikatakannya itu". Dan sebagian mereka berkata:"Namun beliau tidak mendengarnya". Sampai ketika beliau selesai berbicara maka beliau bersabda: "dimanakah gerangan orang yang bertanya tentang kiamat?". Ia berkata: "Hai saya wahai Rasulullah. Beliau bersabda:" apabila amanat itu disia-siakan maka nantikanlah kiamat". Ia berkata:" bagaimana menyia-nyiakannya?". Beliau bersabda:" apabila
20Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, , Shahih Bukhari, Jilid I (Beirut: Darul
Fikr, t.th) hlm. 23
20
perkara (urusan) di serahkan kepada selain ahlinya maka nantikanlah kiamat (kehancuran)." 21 Dengan demikian tersirat dengan jelas bahwa untuk menyandang
predikat sebagai seorang guru tidaklah mudah, sebab predikat seorang
guru hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar memiliki
wewenang secara mutlak. Kemutlakan tersebut ditandai dengan
keprofesionalan dengan ciri-ciri sebagaimana di atas, yang mana hal ini
terdapat kesesuaian dengan hadis Nabi SAW, bahwa setiap segala urusan
yang diserahkan pada orang yang tidak mampu secara maksimal,
diantaranya masalah pendidikan maka sudah secara otomatis tujuan
pendidikan tidak akan tercapai, karena guru sebagai pembawa arah
pendidikan tidak mumpuni dalam mengantarkan murid menjadi insan
berkualitas baik bagi lingkungan sesamanya maupun dihadapan sang
Khaliq.
2. Murid
Menurut Engr Sayyid Khaim Husyain Naqawi yang dikutip oleh
Abuddin Nata, menyebutkan bahwa kata murid berasal dari bahasa arab,
yaitu muriidun artinya orang yang menginginkan (the willer).22 Menurut
Abuddin Nata kata murid diartikan sebagai orang yang menghendaki
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan
kepribadian yang baik sebagai bekal hidupnya agar bahagia dunia akhirat
dengan jalan belajar sungguh-sungguh.
Disamping kata murid dijumpai istilah lain yang sering digunakan
dalam bahasa arab, yaitu tilmidz yang berarti murid atau pelajar, jamaknya
talamidz23 kata ini lebih merujuk pada murid yang belajar di madrasah.
Kata lain yang berkenaan dengan murid adalah yang artinya pencari ilmu,
pelajar, mahasiswa.24 Hujjatul Islam Imam-Al-Ghazali sering
21 Ahmad Sunarto, Tarjamah Shahih Bukhari Juz I, (Semarang: CV. As-Syifa, 1991), hlm.
56 22 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 49 23 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, t.t), hlm.79 24 Ibid., hlm. 283
21
menggunakan kata al-Shobiy (kanak-kanak), al-Muta'allim (pelajar),
tholibul ilmi (penuntut ilmu pengetahuan)25, dan juga al-Walad (anak),
seperti salah satu judul kitabnya yaitu Ayyuhal Walad
Menurut Az-Zarnuji murid adalah mereka yang sedang menuntut
ilmu dan bermaksud menghiasi dirinya dengan ilmu itu. Betapa mulianya
penuntut ilmu karena mereka adalah orang yang sedang berusaha belajar
dan sekaligus mengamalkan akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini tertulis dalam syairnya:
تلعللع انإ فممز يلأن هله # فولض و عنمل ا لك لانو26 دامح
"Belajarlah karena ilmu itu sebagai hiasan bagi ahlinya, merupakan kelebihan dan tanda dari segala perbuatan terpuji". Mengacu pada beberapa istilah mengenai murid di atas, murid
diartikan sebagai orang yang berada dalam taraf pendidikan, yang dalam
berbagai literatur disebut sebagai anak didik. Dalam undang-undang
pendidikan no. 20 th. 2003 di sebut peserta didik.27 Dalam hal ini
siterdidik dilihat sebagai seseorang (subjek didik), yang mana nilai
kemanusiaan sebagai indifidu, sebagai makhluk sosial yang mempunyai
identitas moral, harus dikembangkan untuk mencapai tingkatan optimal
dan kriteria kehidupan sebagai manusia warga negara yang diharapkan.
Secara teoritis subjek didik dilihat sebagai seorang yang harus
mengembangkan diri, dan pada sisi lain ia memperoleh pengaruh, bantuan
yang memungkinkan ia sampai berdiri sendiri atau bertanggung jawab
sendiri.28
Sama halnya dengan teori barat, anak didik dalam pendidikan
Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik
25 Zainuddin dkk, Op.cit., hlm., 64 26 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit, hlm. 6 27 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung:
Citra Umbara, 2003), hlm. 10 28 Piet A Sahertian, Profil Pendidik Profesional, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 6
22
maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga
pendidikan.29
H.M Arifin menyebut murid dengan manusia didik sebagai
makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan atau
pertumbuhan menurut fitrah masing-masing yang memerlukan bimbingan
dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal yakni
kemampuan fitrahnya.30
Akan tetapi dalam literatur lain lebih jelas ditegaskan bahwa anak
didik bukanlah hanya anak-anak yang sedang dalam pengasuhan dan
pengasihan orang tua, bukan pula anak-anak dalam usia sekolah saja.
Pengertian ini berdasar atas tujuan pendidikan, yaitu manusia sempurna
secara utuh, yang untuk mencapainya manusia berusaha terus menerus
hingga akhir hayatnya.31
Dari berbagai pengertian di atas dapat penulis simpulkan mengenai
pengertian murid yaitu setiap orang yang memerlukan ilmu pengetahuan
yang membutuhkan bimbingan dan arahan untuk mengembangkan potensi
diri (fitrah) secara konsisten melalui proses pendidikan dan pembelajaran,
sehingga tercapai tujuan yang optimal sebagai manusia dewasa yang
bertanggung jawab dengan derajat keluhuran yang mampu menjalankan
fungsinya sebagai khalifah di bumi.
Masalah yang berhubungan dengan anak didik merupakan objek
yang penting dalam paedagogik. Begitu pentingnya faktor anak dalam
pendidikan, sampai-sampai ada aliran pendidikan yang menempatkan anak
sebagai pusat segala usaha pendidikan (aliran child centered). Untuk itulah
diperlukan sebuah usaha untuk memahami siapa peserta didik (murid) itu.
Anak didik memiliki sifat-sifat umum antara lain:
1. Anak bukanlah miniatur orang dewasa, sebagaimana statemen JJ. Rousseau, bahwa anak bukan miniatur orang dewasa, tetapi
29 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis Dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Tri Genda Karya, 1993), hlm. 177 30 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1996)hlm. 114 31 Hery Nur Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1994), cet II,
hlm. 113
23
anak adalah anak dengan dunianya sendiri. Peserta didik memiliki fase perkembangan tertentu, seperti pembagian ki hajar dewantara (wiraga, wicipta, wirama)
2. Murid memiliki pola perkembangan sendiri-sendiri 3. Peserta didik memiliki kebutuhan, diantaranya sebagaimana
dikemukakan para ahli pendidikan seperti, L.J. Cionbach, yakni afeksi, di terima orang tua, diterima kawan, independen, punya harga diri. Sedangkan Maslow memaparkan adanya kebutuhan biologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan realisasi.32
4. Perbedaan individual, yang meliputi segi jasmani, intelegensia, sosial, bakat dan lain sebagainya. Disamping itu perlu diperhatikan masalah kualitas seorang pembelajar tidak diukur dengan membandingkannya dengan pembelajar-pembelajar lainnnya, karena secara aktual diperhadapkan dengan dirinya yang potensial, sesederhana dan sesulit itu.33
Dalam Islam yang landasan filosofisnya adalah Al-Qur’an
memahami manusia dalam beberapa hal: Pertama, manusia adalah
makhluk yang termulia. Kedua manusia adalah hewan berfikir, yang
Ketiga manusia memiliki tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh. Yang
merupakan aspek yang harus dioptimalkan oleh tiap manusia. Keempat
manusia mempunyai motifasi dan kebutuhan. Kelima, ada perbedaan
perseorangan diantara manusia.34
B. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
Guru merupakan orang yang diserahi tanggungjawab sebagai pendidik
didalam lingkungan kedua setelah keluarga yaitu sekolah.35 Karena pada
dasarnya tanggung jawab pendidikan terhadap anak adalah sebagai tanggung
jawab orang tua dalam sebuah lingkungan keluarga. Tanggung jawab ini
bersifat kodrati, artinya bahwa orang tua adalah pendidik pertama dan utama
yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani maupun rohani anak
32 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Surabaya: Aksara Baru, 1985) hal 79 33 Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar: Pemberdayaan Dan Transformasi
Organisasi Dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran, (Jakarta: Kompas, 2001) cet V., hal 67-68
34 Omar At-Toumi As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Cet I (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal 102
35 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis (Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya, 2000) cet. XIII, hlm. 138
24
didik. Disamping itu karena kepentingan orang tua terhadap kemajuan dan
perkembangan anaknya.36
Tanggung jawab utama orang tua terhadap anak didik tersebut
berdasar atas firman Allah SWT dalam surat at-Tahrim ayat 6:
ا اييلذا اهينام نا قوا اوفنكسما و لهكيمن 37) 6: التحرمي (اار
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka…"(Q.S. At-Tahrim: 6)
Seiring dengan perkembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap serta
kebutuhan hidup yang semakin luas dan rumit, maka orang tua tidak mampu
melaksanakan tugas-tugas pendidikan terhadap anaknya. Sehingga dizaman
yang telah maju ini banyak tugas orang tua sebagai pendidik sebagian
diserahkan kepada guru di sekolah.38
Berkaitan dengan hal ini Imam Al-Zarnuji mengungkapkan bahwa
sesungguhnya guru yang mengajar seorang murid walaupun satu huruf dalam
hal agama, maka dihukumi sebagai bapak dalam agama.
39من علمك حرفا مما حتتاج ىف الدين فهو أبوك ىف الدين ن إف
"Maka sesungguhnya orang yang mengajarkanmu satu huruf yang hal
itu masalah agama dan kamu perlukan maka dia termasuk dihukumi
sebagai bapakmu dalam agama. "
Guru digambarkan sebagai bapak oleh Az-Zarnuji. Pendapat ini
memberi konsekwensi terhadap perasaan (tingkat emosional)dan sikap guru
sesuai dengan cita-cita orang tua terhadap anaknya. Posisi ini harus disadari
oleh kedua belah pihak, sehingga terwujud keseimbangan dalam hak dan
kewajibannya yang tercermin dalam sikap pribadi masing-masing. Hubungan
ini menunjukkan kedekatan dari sisi psikologis.
36 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1994), cet.II, hlm. 74 37 R.H.A. Soenaryo, Op.Cit., hlm. 951 38 Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm. 75 39 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 17
25
Dengan sinyalemen inilah Al-Ghazali dalam Ihya-nya menerangkan
bahwa hak seorang guru lebih besar dari hak bapak, karena bapak menjadi
sebab lahirnya anak dan kehidupan di dunia fana, sedangkan guru menjadi
sebab kehidupan yang kekal dan abadi. Sebagaimana hak anak dari seorang
ayah adalah berkasih-kasihan dan tolong menolong mencapai segala maksud,
demikian pula kewajiban murid terhadap guru.40
Dalam hal ini Az-Zarnuji memberi anjuran secara tegas kepada guru
bahwa orang yang berilmu hendaknya mempunyai sifat belas kasihan dalam
memberi nasihat, sebaliknya jangan bermaksud jahat dan iri hati. Karena iri
hati adalah sikap yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya.41
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa guru secara tidak langsung
adalah sebagai penerima amanat dari orang tua untuk mendidik anaknya.
Sebagai pemegang amanat guru bertanggung jawab atas amanat yang
diserahkan kepadanya.
Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 58:
ا ومكح تن ااس النني بمتمكا حذ اا وهلهىل ا امنت الوا ال دأ تنأ مكرمأ ي اهللانا 42 )56: النساء (ا ريصا بعيم سان ك اهللا ن ا. ه بمكظعا يمعن اهللانا. لدلعاب
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manuia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya padamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Q.S. An-Nisa: 58) Sebagai pengemban amanat dari orang tua untuk mendidik anak, maka
menurut Abdullah Nasih Ulwan, guru bertugas untuk melaksanakan
pendidikan ilmiah, sebab ilmu mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pembentukan kepribadian dan emansipasi harkat manusia.43 Akan tetapi di
40 Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Ed. Terj: Isma'il Ya'kub), (Jakarta: CV.
Faizan, 1994), hlm. 21 41 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op.Cit., hlm. 36 42 R.H.A. Soenaryo, Op.Cit., hlm. 128 43 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam (ed. Terj), cet. II, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1999), hlm. 301
26
zaman sekarang jabatan guru telah menjadi sumber mata pencaharian, yakni
guru bukan hanya sebagai penerima amanat pendidikan, melainkan juga orang
yang menyediakan dirinya sebagai pendidik profesional.
Guru adalah seorang pembaharu, karena kehadiran guru telah
memberikan makna bagi murid untuk memahami kesulitan-kesulitan
pengalaman yang dialami. Hal ini sangat dibenarkan untuk setiap generasi
dalam sebuah pembelajaran karena seorang murid hari-hari ini merupakan
sebuah jarak yang jauh dari sebuah porsi yang besar dari pengalaman seorang
guru, oleh karena itu guru harus dapat membantu palajaran muridnya yang
beda generasi. Dibawah kebijaksanaannya diharapkan mereka bisa
mendapatkan pembelajaran dan juga dapat mengekspresikan potensi.
Hal ini seperti yang dipaparkan Earl V. Pullias sebagai berikut:
"The teacher expresses the experience of man in terms that have meaning for student. The older and younger generations have difficulty in understanding each other. The experience and language of our parents have more meaning for us than that of our parents. This is true for every generation. A student learning today is a great distance from a large portion of the experience of man, which, however, he must understand and make a part of his thinking and actions if he relly wants to be educated. The teacher must help the student lessen the distance otherwise, they cannot get the learning that will enable them to express their potential".44 Sebagai pendidik profesional guru memiliki banyak tugas baik terkait
oleh dinas maupun di luar dinas dalam bentuk pengabdian. Apabila
dikelompokkan terdapat tiga jenis tugas guru, yaitu: tugas dalam bidang
profesi, tugas kemanusiaan, dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.
Berkaitan dengan profesionalisme Imam Az-Zarnuji mengisyaratkan
untuk melakukan seleksi terhadap guru. Dalam hal ini khususnya bagi
penuntut ilmu hendaknya memilih guru yang lebih alim dan wara serta lebih
tua usianya.45 Pernyataan ini sebetulnya hanya mengisyaratkan untuk mencari
guru yang profesional dan mumpuni dalm bidang keilmuannya.
44 Earl V. Pullias and James D. Young, A Teacher Is many Things, (America: Indiana
University Press, 1968), hlm. 47 45 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il Op.Cit., hlm. 10
27
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih.
Mendidik berarti mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti
meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi, sedangkan
melatih berarti mengembangkan ketrampilan siswa.46
Tugas kemanusiaan adalah salah satu segi dari tugas guru. Sisi ini
tidak dapat diabaikan, karena guru harus terlibat dengan kehidupan
masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan kepada anak didik, sehingga anak didik memiliki sifat-sifat
kesetiakawanan sosial. Disamping itu guru harus dapat menempatkan diri
sebagai orang tua kedua, sebagai tugas yang diemban dari orang tua kandung
dalam waktu tertentu. Sehingga pemahaman terhadap jiwa dan watak anak
didik diperlukan agar mudah dapat memahami jiwa dan watak anak didik.47
Dibidang kemasyarakatan merupakan tugas guru yang tidak kalah pula
pentingnya. Pada bidang ini guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar
masyarakat untuk menjadi warga negara Indonesia yang bermoral Pancasila.48
Mencermati tiga tugas guru sebagai pendidik profesional di atas, dapat
dipahami bahwa tugas guru tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan
ruangan kelas saja, akan tetapi mencakup lingkup yang lebih luas lagi yakni
guru juga sebagi penghubung antara sekolah dan masyarakat.
Sedangkan menurut Ahmad D Marimba, disamping guru memiliki
tugas untuk membimbing, mencari pengenalan terhadap anak didik melalui
pemahaman terhadap jiwa dan watak, guru juga mempunyai tugas lain yang
sangat urgen, yaitu:
1. Menciptakan situasi untuk pendidikan, yakni suatu keadaan dimana tindakan-tindakan pendidikan dapat berlangsung baik dengan hasil yang memuaskan
2. Memiliki pengetahuan yang diperlukan, terutama pengetahuan-pengetahuan agama
46 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PP. Remaja Rosda Karya,
2001), cet.XIII., hal 6-7 47 Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000)., hlm. 37 48 Ibid
28
3. Selalu meninjau diri sendiri, tidak malu apabila mendapat kecaman dari murid. Sebab guru juga manusia biasa yang memiliki sifat-sifat yang tidak sempurna
4. Mampu menjadi contoh dan teladan bagi murid sekaligus tempat beridentifikasi (menyamakan diri).49
Guru terkait dengan tugas yang diembannya yang sangat banyak,
maka secara otomatis menuntut tanggung jawab yang sangat tinggi, sebab
baik dan tidaknya mutu hasil pendidikan tergantung pada seberapa besar
pertanggungjawaban guru dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
guru dan pendidik profesional.
Perkembangan baru terhadap pandangan belajar-mengajar membawa
konsekwensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya
karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar
ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompeten akan
lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih
mampu mengelola kelasnya. Sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat
optimal.
Peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi
banyak hal diantaranya: guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing,
pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana, supervisor, motivator
dan konselor.
Al-Ghazali menyebutkan kurang lebih delapan peranan guru yang
berhubungan dengan tugas-tugasnya. Peranan itu antara lain:
1. guru sebagai pengajar dan pembimbing 2. peranan guru sebagai pengkaji sejarah, khususnya sejarah
pendidikan. 3. peranan guru sebagai pembimbing kehidupan agamawi murid. 4. peranan guru sebagai panutan murid 5. peranan guru sebagai teladan 6. peranan guru sebagai yang memahami perbedaan individual 7. peranan guru sebagai orang yang mengenali pribadi murid 8. guru sebagai pemegang prinsip-prinsip dasar.50
49 Ahmad D. Marimba, Op.Cit., hlm. 38-40 50 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Dan Ilmu,
(Bandung: CV. Diponegoro, 1986), hlm. 49-56
29
ad.1. guru sebagai pengajar dan pembimbing. Sekaitan dengan tugas ini, sifat
terpenting yang hendaknya dimiliki oleh guru adalah lemah lembut
dan kasih sayang. Apabila murid diperlakukan dengan rasa kasih
sayang dan lemah lembut oleh gurunya, ia akan merasa percaya diri
dan tenteram, ada rasa aman berdampingan dengannya. Perasaan
inilah yang akan lebih banyak menunjang tercapainya ilmu dengan
mudah.
ad.2. peranan guru sebagai pengkaji sejarah, khususnya sejarah pendidikan.
Sekaitan dengan tugas ini , ia akan mengetahui dengan jelas bahwa
mencari upah dari jalan mengajar tidak merupakan sesuatu
ad.3. peranan guru sebagai pembimbing kehidupan agamawi murid.
Sekaitan dengan peranannya ini al-ghazali berkata, bahwa guru
hendaknya bersikap sebagai orang yang berjalan dijalan yang benar,
sebagai pembimbing yang dipercayai muridnya. Guru hendaknya tidak
memulai pelajaran yang lebih tinggi sebelum pelajaran yang
sebelumnya dikuasai oleh murid. Juga guru hendaknya tidak
melewatkan kesempatan untuk mengingatkan murid kepada tujuan
belajarnya, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.
ad.4. peranan guru sebagai panutan murid. Dalam hal ini guru tidak boleh
membesar-besarkan kesalahan murid seakalipun dengan tujuan agar
murid merasa bersalah. Guru hendaknya menghindarkan diri dari
penggunaan kekajaman dalam memperhalus perilaku murid. Di dalam
membimbing murid guru hendaknya menerapkan metode kasih sayang
bukan pencelaan.
ad.5. peranan guru sebagai teladan. Guru adalah orang yang akan diteladani
dan ditiru oleh murid. Oleh karena itu, kemuliaan jiwa dan
kemampuan untuk memahami orang lain hendaknya merupakan
sifatnya yang paling utama. Diantara pertanda yang menunjukkan
bahwa guru itu berjiwa mulia dan memahami orang lain ialah dia
menghormati kedudukan ilmu-ilmu lain yang bukan bidang studinya.
30
ad.6. peranan guru sebagai yang memahami perbedaan individual. Al-ghazali
mengibaratkan guru sebagai penjaga dan pengaman ilmu. Diantara
kewajibannya ialah tidak kikir dengan ilmunya kepada muridnya dan
tidak pula berlebihan memberikannya, baik murid yang pandai
maupun murid yang bodoh.
ad.7. peranan guru sebagai orang yang mengenali pribadi murid. Dengan ini
guru akan mengetahui bagaiman ia harus memperlakukan murid-
muridnya, sehingga ia dapat menghindarkan keraguan dan kegelisahan
didalam menjalankan tugasnya.
Ad.8. guru sebagai pemegang prinsip-prinsip dasar. Dalam hal ini guru
hendaknya tidak menyerukan prinsip tertentu akan tetapi ia sendiri
menyalahi prinsip tersebut. Dia hendaknya tidak melakukan perbuatan
yang dilarangkan kepada murid-muridnya. Jika melakukan tersebut
maka guru akan kehilangan wibawa dan menjadi bahan cemoohan
mereka
Disamping itu menurut Mohamad Uzer Usman ada peranan paling
dominan dari seorang guru dan diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Guru sebagai demonstrator
2. Guru sebagai pengelola kelas.
3. Guru sebagai mediator dan fasilitator
4. Guru sebagai evaluator51
ad. 1. Guru sebagai demonstrator.
Melalui perannya sebagai demonstrator, lecturer, atau
pengajar, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi
pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa
mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam
hal ilmu yang dimilikinya karena hal ini akan sangat menentukan hasil
belajar yang dicapai oleh siswa.
ad. 2. Guru sebagai pengelola kelas
51 Moh. Uzer Usman, Op. Cit., hlm. 9-11
31
Dalam peranannya sebagai pengelola kelas (lerning manager),
guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar
serta merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu
diorganisasi. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan-kegiatan
belajar terarah kepada tujuan pendidikan.
ad. 3. Guru sebagai mediator dan fasilitator
Sebagai mediator guru hendaknya memilki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pendidikan. Karena media
pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan
proses belajar mengajar. Dengan demikian media pendidikan
merupakan dasar yang sangat diperlukan yang bersifat melengkapi
dan merupakan bagian integral demi berhasilnya proses pendidikan
dan pengajaran disekolah.
Sebagai mediator gurupun menjadi perantara dalam hubungan
antar manusia. Untuk keperluan itu guru harus terampil
mempergunakan pengetahuan tentang bagaimana orang berinteraksi
dan berkomunikasi.
Sebagai fasilitator guru hendaknya mampu mengusahakan
sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan
dan proses belajar mengajar, baik yang berupa nara sumber, buku teks,
majalah ataupun surat kabar.
ad. 4. Guru sebagai evaluator
Dalam proses belajar mengajar guru hendaknya menjadi
seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau
belum.
Untuk melaksanakan tugas-tugas guru dengan penuh tanggung
jawab, menurut Al-Ghazali hendaknya guru menjaga etika dan
tugasnya. Dalam hal ini Hujjatul Islam berkata: "barang siapa yang
memikul beban pengajaran maka ia telah memikul perkara besar.
32
Maka jagalah etika dan tugasnya".52 Guru menurut beliau sebaik-baik
ikhwalnya adalah berupa ilmu dan pengalaman. Tidak selayaknya ia
menjadi seperti jarum yang memberi pakaian kepada orang lain
sementara dirinya telanjang. Atau seperti sumbu lampu yang
menerangi yang lain sementara dirinya terbakar.
Secara spesifik Al-Ghazali memerinci beberapa etika dan tugas guru
sebagaimana disebutkan dalam Mukhtashor-nya sebagai berikut:
1. Belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak 2. Mengikuti teladan Rasulullah SAW.53 3. Tidak meninggalkan nasihat, seperti melarang anak didiknya naik
pada tingkatan sebelum berhak menerimanya, dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai hukum-hukum yang jelas.
4. Menasihati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan tetapi dengan cara menyindir.54
Pendapat yang diungkapkan oleh Al-Ghazali sebenarnya telah
mewakili apa yang seharusnya dijalankan oleh seorang guru. Jika keempat
item diatas dapat dijalankan dengan baik oleh seorang guru maka diharapkan
tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik pula. Namun sebagai bahan
perbandingan menurut Wens Tanlain dan kawan-kawan yang di kutip oleh
Syaiful Bahri, sifat yang harus diterapkan oleh guru antara lain:
1. Menerima dan mematuhi norma, nilai-nilai kemanusiaan 2. Memikul tugas mendidik dengan bebas, berani, dan gembira
(tugas bukan menjadi beban baginya) 3. Sadar akan nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan serta
akibat-akibat yang timbul (kata hati) 4. Menghargai orang lain termasuk anak didik 5. Bijaksana dan hati-hati (tidak nekat, sembrono, dan tidak
singkat akal) 6. Taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.55
52 Abu Hamid Al-Ghazali, , Muktashar Ihya' Ulumuddin, (ed.terj: Irwan kurniawan),
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 35 53 Dalam Mukhtassor, mengikuti teladan Rosulullah adalah dalam wujud tidak menerima
upah atau gaji. Akan tetapi dalam konteks sekarang pendapat ini mungkin kurang relevan karena terlalu ekstrim. Sebenarnya Al-Ghazali bermaksud mengungkapkan keikhlasan guru. Namun karena beliau adalah seorang sufi yang pada konteks saat itu para pengajar cenderung menjadi pecinta dunia. Sehingga beliau melarang guru menerima gaji.
54 Abu hamid Al-Ghazali, , Ibid, hlm. 36 55 Syaiful Bahri Djamarah, Op.Cit., hlm. 36
33
Sedangkan Athiyah Al-Abrashyi menyoroti sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh seorang guru dalam pendidikan, menurut kaca mata Islam,
antara lain:
1. Bersifat tidak mengutamakan materi dalam mengajar, karena mencari keridhoan Allah
2. Kebersihan guru, baik jasmani maupun rohani, seperti terhindar dari dosa besar, tidak bersifat riya, menghindari perselisihan dan lain-lain
3. Ikhlash dalam pekerjaan, seperti ada kesesuaian kata dan perbuatan serta menyadari kekurangan dirinya
4. Suka pemaaf, yakni sanggup menahan diri dari kemarahan, lapang hati, sabar dan tidak pemarah karena hal-hal kecil, sehingga terpantul kepribadian dan harga diri
5. Seorang guru merupakan seorang bapak, sebelum ia menjadi seorang guru. Oleh karena itu guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya pada anaknya sendiri dan memikirkan keadaaan murid-muridnya seperti memikirkan keadaan anaknya sendiri
6. Harus mengetahui tabiat murid. Seorang guru harus mengetahui tabiat, pembawaan, dan adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid, agar tidak salah dalam mendidik murid, termasuk dalam pemberian mata pelajaran harus sesuai dengan tingkat perkembangannya
7. Harus menguasai mata pelajaran. Seorang guru haraus benar-benar menguasai mata pelajaran yang diberikan kepada murid, serta memperdalam pengetahuannya tentang ilmu itu, sehingga pelajaran yang diajarkan tidak bersifat dangkal.56
Mencermati sifat-sifat sebagaimana tersebut diatas, memang sudah
seharusnya bagi seorang guru yang notabenenya sebagai pendidik dengan
segala tugas yang diembannya dalam menghantarkan anak didik untuk
memiliki pengetahuan, kepandaian, serta berbagai ilmu dalam rangka
mengembangkan diri secara optimal melalui bimbingan, arahan, serta didikan
guru, sehingga melalui itu semua dapat tercipta insan-insan didik yang
berkualitas, tidak hanya dari segi ilmu pengetahuan saja, tapi juga dibarengai
dengan kepribadian da keluhuran sifat.
56 Moh. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1970)., hlm. 137-139
34
Dengan demikian secara langsung bahwa sifat-sifat sebagaimana
dikemukakan di atas, merupakan syarat mutlak yang harus ada dan dimiliki
oleh seorang guru, sebab tanggung jawab tersebut tidak hanya dituntut secara
akademisi dan operasionalnya saja tapi juga tanggung jawab secara moral,
baik sesama manusia (anak didik khususnya) terlebih kepada Allah SWT.
C. Hak dan Kewajiban Murid
Sebagaimana guru yang memiliki tugas dan kewajiban, seorang murid
juga memiliki hak dan kewajiban (tugas-tugas) yang sangat penting dan harus
diperhatikan dalam pendidikan. Menurut Athiyah Al-Abrasyi, bahwa hak-hak
murid yang paling utama adalah dimudahkannya jalan bagi tercapainya ilmu
pengetahuan kepada mereka serta adanya kesempatan belajar tanpa
membedakan kaya dan miskin
Selanjutnya dipaparkan juga bahwa seorang pengembara Ibnu Jubair
telah melukiskan cara-cara yang memudahkan siswa untuk belajar,
diantaranya sekolah-sekolah besar yang didirikan untuk tempat belajar, harta
wakaf yang diladangkan buat mereka dan buat guru-guru, atau wisma-wisma
yang didirikan buat menampung mereka, peralatan-peralatan yang disediakan
buat mereka serta banyak hal-hal lain yang dapat menjadi kebanggaan bagi
kaum muslimin. Dan siapa yang ingin kemenangan, hendaklah ia pergi ke
Arab Maghribi untuk belajar, maka akan mendapat banyak sokongan dan
bantuan, sebab kaum muslimin memandang para penuntut ilmu dengan
perasaan hormat dan penghargaan, dikarenakan seorang siswa atau pelajar
berusaha memperoleh sesuatu yang amat tinggi dan berharga nilainya di
dunia ini yaitu ilmu pengetahuan.57
Oleh karena itu Islam selalu menghimbau para pemeluknya untuk
berusaha keras dalam menuntut ilmu, kemudian mengajarkan dan
menyumbangkan ilmu yang telah didapat tersebut kepada segenap manusia.
Banyak sekali firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang memerintahkan
untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya.
57 Ibid., hlm. 146
35
Diantaranya surat Az-Zumar ayat 9:
58) 9: الزمر (نوملعا ي لنيذال و نوملع ينيذى الوتس يل هلق
"Katakanlah apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar : 9)
Pada ayat diatas tersirat pengertian bahwa Allah SWT mengajak
manusia untuk menuntut ilmu sebab ilmu-ilmu tersebut akan menempatkan
posisi manusia sesuai kadar ketingghian ilmunya. Secara implisit terdapat
pengertian bahwa orang yang berilmu jauh lebih tinggi derajatnya baik di
mata Allah maupun dimata manusia, karena begitu mulianya ilmu.59
Rasulullah SAW lebih lanjut menerangkan dalam sebuah hadis
tentang keistimewaan dan keutaman orang yang menuntut ilmu:
حثدنا محمودب غن ليان حثدا انباو سامال انه ععم حالش عن ايب صع ى ب ا نهريالق: ال قةرر سم. هللا صلو :من ل سر طكقيلا يمتفس ل عهيما سل اهللاله ه 60 )رواه الترمذى (ةنجل ى الا اقيرط
"Telah bercerita padaku Mahmud Bin Ghailan, telah bercerita padaku Abu Usamah dari A’masy dari Abi Shalih dari Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka allah akan memudahkan jalan baginya untuk menuju surga."(H.R. Tirmidzi)
Abdullah Nasih Ulwan juga telah menjelaskan dalam bukunya, bahwa
seorang cendekiawan mengatakan, “sesungguhnya negara Islam telah
mendahului seluruh dunia didalam menyebarkan pengajaran secara gratis
bagi seluruh warga negaranya, tanpa pandang bulu atau pilih kasih. Pintu-
pintu sekolah terbuka lebar bagi seluruh masyarakat dan bangsa di masjid-
masjid, tempat tempat belajar, dan tempat-tempat umum disetiap negara yang
telah memeluk Islam. Diantara pengajaran yang bebas itu adalah Al-Azhar As-
Syarif, Kulliyatu Ad-Darul Ulum dan seluruh perguruan-perguruan atau
58 R.H.A. Soenaryo, Op. Cit., hlm. 747 59 Abdul Razak Husein, Hak Dan Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska,
1992)., hal 82 60 Abi Isa Muhamad Bin Isa Bin Surah, Al-Jami’us Shahih Sunan Tirmidzi Juz V ( Beirut:
Dar al-Qutb Ilmiyah, 1987), hal 28
36
sekolah-sekolah agama. Disana para pelajar dan mahasiswa diberi bantuan
biaya untuk makan mereka seperti yang dilakukan secara merata oleh
beberapa negara diseluruh pelosok dunia.61
Pada dasarnya persamaan hak belajar bagi umat Islam dan manusia
secara keseluruhan merupakan suatu kewajiban, lantaran memang telah
diperintahkan oleh Allah SWT. Sehingga meluangkan waktu untuk belajar
bagi semua individu adalah mutlak, baik kecil maupun besar, laki-laki
maupun perempuan, kaya atau miskin. Dan bagi pemerintah wajib untuk
menyediakan sarana dan prasarana belajar bagi kepentingan umat.62
Mengajar dan mendidik memang bukanlah hal yang mudah, sebab
anak didik yang diberi pengajaran dan pendidikan datang dari berbagai
tingkatan dan kelas dalam masyarakta yang berbeda-beda, baik secara
ekonomi, kecerdasan dasar, maupun tingkat kemampuan penyerapan materi
yang diajarkan. Sehingga sebagai orang tua, guru, pendidik maupun pihak-
pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan anak dituntut untuk menerima
dengan lapang dada. Lantaran mendidik dan mengajar merupakan kewajiban
mutlak dan perintah dari agama Islam yang lurus.63
Jadi jelaslah bahwa seoarang murid memiliki hak-hak yang mutlak
untuk diterima dan dinikmati, sebab murid dipandang sebagai indifidu yang
ememiliki derajat kemulyaan pula disamping seorang guru yang penuh
keikhlasan dan ketulusan hati meluangkan waktu dan tenaganya untuk
mencari ilmu sebagi bekal hidup di dunia serta sebagi sarana untk dekat pada
sang khaliq, sehingga tercapai tujuan di dunia dan akhirat.
Begitu tinggi perhatian Islam terhadap hak-hak seorang murid tanpa
membedakan status sosial mereka. Demikian pula seorang murid diberi
petunjuk terhadap kewajiban-kewajiban yanh harus diperhatikan sebagai
rambu-rambu dan petunjuk yang harus diperhatikan supaya para murid tidak
61 Abdullah Nasih Ulwan , Pendidikan Anak Dalam Islam, Cet.II, (Jakarta: Pustaka Amani:
1999), hlm. 314 62 Abdul Razak Husein, Op.Cit., hlm. 90 63 Ibid., hlm. 91
37
salah jalan dalam menuntuk ilmu serta dapat mencapai tujuan yang akan di
tempuh dengan baik.
Kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang diusahakan
untuk menambah pengetahuan dan melangsungkan pendidikan.64 Untuk
mencapai keberhasilan pendidikan diperlukan kerjasama antara pendidik dan
peserta didik. Walau bagaimanapun pendidikan berusaha menanamkan
pengaruhnya kepada peserta didik, apabila tidak ada kesediaan dari peserta
didik sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit dibayangkan
dapat berhasil. Sehingga hal ini mendapat perhatian besar dari para pemikir
pendidikan Islam.65
Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip Fathiyyah Hasan Sulaiman,
karakteristik belajar yang perlu dimilki murid meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. belajar merupakan ibadah 2. landasan keagamaan dalam belajar 3. sikap sufi dalam menghadapi ilmu 4. perlunya pandangan dasar yang mantap sebelum diskusi 5. pertautan antara berbagai ilmu 6. belajar secara bertahap 7. masalah urutan dalam mengkaji suatu ilmu 8. nilai berbagai ilmu 9. tujuan belajar 10. manfaat ilmu yang dikaji.66
Ad.1. belajar merupakan bentuk ibadah, karena tujuannya adalah
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, sudah
seharusnya sifat murid yang paling utama adalah mensucikan jiwa dari
perilaku yang buruk dan sifat yang tercela.
Ad.2. landasan keagamaan dalam belajar. Dalam hal ini murid hendaknya
tidak terpaku pada pandangan keduniawian semata, tapi hendaknya ia
mengurangi ketergantungan kepadanya.
64Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren, Pandangan K.H. Hasyim Asy’ari,
(Yogyakarta:Ittaka Press, 2001), hal 72 65 Hery Nur Aly, Op.Cit., hlm.129 66 Fathiyyah Hasan Sulaiman, Op. Cit., hlm. 56-62
38
Ad.3. sikap sufi dalam menghadapi ilmu. Dalam hal ini hendaknya
mengutamakan sifat rendah hati dalam menuntut ilmu.
Ad.4. perlunya pandangan dasar yang mantap sebelum diskusi. Hal ini
dengan tujuan agar tidak mengacaukan alam pikiran siswa yang baru
berkembang, dengan terlibat dalam berbagai ilmu yang saling
bertentangan dan berbagai pandangan yang saling membantah.
Ad.5. pertautan antara berbagai ilmu. Karena berbagai bidang ilmu berkaitan
satu sama lain. Sehingga orang yang belum dalam ilmu
pengetahuannya, kadang-kadang tidak mampu mengkajinya secara
multidisipliner.
Ad.6. belajar secara bertahap. Dalam hal ini pertama-tama murid harus
mempelajari ilmu-ilmu agama secara sungguh-sungguh. Selanjutnya
barulah ia mempelajari ilmu lainnya.
Ad.7. masalah urutan dalam mengkaji ilmu. Dalam hal ini seorang murid
hendaknya jangan terlalu mudah menghukumi bahwa sebagian dari
ilmu itu rusak. Karena kadang-kadang ada perbedaan pendapat antara
para ahli ilmu.
Ad.8. nilai berbagai ilmu. Maksudnya, hendaknya murid menyadari nilai ilmu
yang dikaji, menyadari pula bahwa sebagian ilmu lebih berharga
daripada yang lainnya, dan demikian pula dengan hasil kajiannya.
Ad.9. tujuan belajar. Al-Ghazali menekankan bahwa ilmu agama harus
menjadi tujuan utama. Dibandingkan dengan ilmu yang tujuannya
duniawi.
Ad.10. manfaat ilmu yang dikaji. Al-Ghazali memandang bahwa ilmu agama
lebih berguna, karena ilmu ini akan mengantarkannya pada
kebahagiaan yang abadi.
Sedang menurut Az-Zarnuji sikap dan perilaku murid terhadap guru
terbagi dalam dua situasi, yaitu situasi dalam kegiatan belajar mengajar dalam
kelas dan hubungan yang berlangsung dalam situasi di luar kelas. Penekanan
sikap yang direkomendasikan oleh Al-Zarnuji pada intinya adalah supaya
murid senantiasa menghiasi diri dengan akhlak dan sikap utama sebagai
39
sarana mempermudah dalam menuntut ilmu serta menuai manfaat dari
pengembaraanya, yakni sikap tawadhu' dan menjunjung tinggi etika.67
Sikap tawadhu' sangat ditekankan oleh Al-Zarnuji karena menurutnya,
sikap tawadhu' adalah bagian dari sifat orang yang takwa kepada Allah SWT.
Dan dengan tawadhu' orang yag takwa akan semakin naik derajatnya.
Ketawadhu'an disini adalah sesuai batasan tertentu. Sebab tawadhu'
yang berlebihan termasuk sikap yang dilarang karena mengarah pada perilaku
menjilat (tamallu'). Sikap tawadhu yang dikehendaki oleh Az-Zarnuji adalah
tawadhu yang tidak merusak hakikat nilai ketaatan itu sendiri. Sikap tawadhu'
tersebut digambarkan dengan selalu mencari keridho'an guru dengan menjaga
perasaannya dan menghindari kemurkaannya serta melaksanakan semua
perintahnya asal bukan perintah maksiat atau mendatangkan dosa. Sebab
ketentuan taat adalah taat pada kebaikan. 68
Sedangkan berkaitan dengan syarat umum yang akan mempengaruhi
keberhasilan murid dalam menuntut ilmu secara spesifik dijelaskan oleh Az-
Zarnuji dalam syairnya, yang kurang lebih artinya sebagai berikut:
سأنبيك عن جمموعها ببيان اال التنال العلم اال بستة 69وارشاد استاذ وطول زمان ذكاء وحرص واصطبار وبلغة
"Ingatlah, kamu tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan enam perkara; yang akan kujelaskan semua kepadamu dengan singkat Yaitu kecerdasan, cinta kepada ilmu, kesabaran, bekal biaya, petunjuk guru, dan masa yang lama."
Maksudnya bahwa penuntut ilmu tidak akan berhasil kalau tidak
memenuhi enam faktor keberhasilan, yaitu:
1. Cerdas, yaitu cepat kecerdikan
2. Cinta pada ilmu
67Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 12 68 Ibid 69Ibid, hlm. 15
40
3. Bekal biaya, kecukupan rizki dalam penghidupan sehingga tidak
menggantungkan orang lain yang dapat menggelisahkan hati
4. Bersabar atas ujian mental dan cobaan yang di hadapi
5. Petunjuk guru yang mengarahkan pada kebenaran
6. Masa yang lama, maksudnya dalam belajar membutuhkan waktu
yang lama dan tidak dapat berhasil dalam waktu sebentar.
Menurut Asma Hasan Fahmi, murid memiliki beberapa kewajiban
terpenting, yaitu:
1. Seorang murid harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu. Sebab belajar sama dengan ibadah dan tidak sah suatu ibadah kecuali dengan hati yang bersih
2. Hendaklah tujuan belajar ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan bukan mencari kedudukan
3. Selalu tabah dan memiliki kemauan kuat dalam menuntut ilmu sekalipun harus merantau pada tempat yang cukup jauh
4. Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh kerelaan guru dengan berbagai macam cara.70
Sedang menurut Al-Ghazali kewajiban murid adalah sebagai berikut:
1. Mendahulukan kesucian jiwa dan menjauhkan diri dari akhlak yang tercela, sebab batin yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinari dengan ilmu
2. Mengurangi hubungan (keluarga) dan menjauhi kampung halamannya sehingga hatinya hanya terikat pada ilmu
3. Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji kepada guru
4. Menjaga diri dari perselisihan (pandangan-pandangan yang kontroversi), khususnya bagi murid pemula, sebab hanya akan mendatangkan kebingungan
5. Tidak mengambil ilmu, selain hingga mengetahui hakekatnya. Karena mencari dan memilih yang terpenting hanya dapat dilakukan setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan
6. Mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting yaitu ilmu akherat, sebab ilmu akherat merupakan tujuan
7. Memiliki tujuan dalam belajar, yaitu untuk menghias batinnya dengan sesuatu yang akan menghantarkannya kepada Allah SWT bukannya untuk memperoleh kekuasaan, harta dan pangkat.71
70 Asma Hasan Fahmi, Sejarah Dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hlm. 174-175
41
Disamping kewajiban seorang murid juga hendaknya memiliki
beberapa etika yang harus dijalankan. Seperti yang digambarkan oleh Al-
Ghazali dalam Bidayatul hidayah sebagai berikut:
1. Jika berkunjung kepada guru harus menghormat dan menyampaikan salam terlebih dahulu.
2. Jangan banyak bicara dihadapan guru 3. Jangan bicara jika tidak diajak bicara oleh guru 4. Jangan bertanya jika belum minta izin terlebih dahulu 5. Jangan sekali-kali menegur ucapan guru 6. Jangan mengisyarati terhadap guru, yang dapat memberi
perasaan khilaf dengan pendapat guru. Kalau demikian itu menganggap murid lebih besar dari padanya
7. Jangan berunding dengan teman ditempat duduknya, atau berbicara dengan guru sambil tertawa
8. Jika duduk dihadapan guru jangan menoleh, tapi duduk dengan menundukkan kepala dan tawadhu'
9. Jangan banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang enak
10. Sewaktu guru berdiri murid harus berdiri sambil memberikan penghormatan kepada guru
11. Jangan sekali kali bertanya kepada guru mengenai tindakannya yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid. Sebab guru lebih mengetahui rahasia-rahasia yag terkandung dalam tindakan itu.72
D. Pola Hubungan Guru Dan Murid
Sebagai suatu proses yang dinamis, pendidikan akan senantiasa
berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan yang terjadi di
lingkungan umumnya. Demikian pula pada semua jenjang pendidikan, baik
pendidikan dasar, menengah maupun tinggi.
Lebih-lebih di lembaga perguruan tinggi yang para mahasiswanya
sudah dewasa, sehingga dituntut adanya kedinamisan dalam kehidupan sebagai
mahasiswa. Pergerakan kearah kedinamisan hendaknya tidak meninggalkan
aspek yang tetap harus ada yaitu etika hubungan antara guru dan murid.
71 Abu Hamid Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumudddin, ed. terj: Irwan Kurniawan
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 32-35 72 Abu Hamid Al-Ghazali, , Bidayatul hidayah, ed.terj: H.M. Ahmad Al-Hafidzi, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1982), hlm. 92
42
Perkembangan sekarang menuntut adanya kedinamisan baik dari guru
maupun murid. Antara guru dan murid bukan lagi terikat kepada hubungan
hierarkis antara atasan dan bawahan dalam mempelajari suatu ilmu, tetapi
terdapat proses belajar dan mengajar, terdapat adanya guru yang potensial dan
murid yang potensial, sehingga proses belajar mengajar ini tinggal
mengefektifkan guru yang potensial dan murid yang potensial.73
Menurut Michael Marland, bahwa pembahasan mengenai hubungan
guru dan murid adalah paling sulit dibandingkan bagian-bagian yang lain.
Menciptakan hubungan yang baik dengan murid merupakan kewajiban utama
bagi guru. Padahal kewajiban inilah yang paling sukar dijelaskan, paling
memerlukan ketrampilan pribadi untuk dikuasai dan paling kabur untuk
ditentukan. Nasehat bisa salah diterapkan dan peringatan bisa berubah menjadi
ejekan.74
Nampaknya inilah fenomena yang sekarang mulai merambah dunia
pendidikan. Perilaku anak didik yang dahulunya menunjukkan sikap yang baik,
sekarang tampak sebaliknya. Hal ini bisa dilihat dari sikap murid terhadap guru
yang makin menunjukkan perilaku negatif. Guru makin tidak dihargai. Oleh
karena itu barangkali pendidikan moral, pendidikan humaniora makin terasa
harus dikedepankan dan menjadi salah satu agenda dalam kerangka kebijakan.
Dikarenakan adab merupakan salah satu bentuk pengakuan dari suatu
hubungan masyarakat yang dijadikan panutan.
Seperti ungkapan Naquib Al-Athas sebagai berikut:
"Adab is recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degress of rank, and of one's proper place in relation to that relity and to one's physical intellectual and spiritual capacities and potentials"75
73 Sanusi, Kepemimpinan Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Angkasa, 1990),
hlm. 15 74 Michael Marland, Craft Of The Classroom, (ed.terj), (Semarang: Dahara Prize, 1987),
hlm. 25 75 Muhamad Naquib Al-Athas, The Concept Of Education in Islam, (Malaysia: Art printing
Works SDN BHD, 1991), hlm. 27
43
Meskipun pembahasan tentang pola hubungan guru murid merupakan
bagian yang sulit, pembahasan tentang ini tetap menjadi fokus utama karena
tingkat kepentingannya, dan penciptaan hubungan baik itu lebih dapat diterima
secara teknis daripada yang kelihatan. Kesuksesan adalah hasil dari metode,
bukan keberuntungan, dan hubungan yang baik terjadi karena diciptakan.
Berkaitan dengan hal ini proses belajar mengajar pada hakekatnya
adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan
melalui saluran atau media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan,
saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses
komunikasi. Pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran ataupun
didikan yang ada dalam kurikulum, sumber pesannya bisa guru, siswa, orang
lain ataupun penulis buku dan produser media, adapun salurannya adalah
media pendidikan dan penerima pesannya adalah siswa atau juga guru.76
Pesan berupa isi ajaran dan didikan yang ada dikurikulum dituangkan
oleh guru atau sumber lain kedalam simbol-simbol komunikasi baik simbol
verbal (kata-kata lisan ataupun tertulis) maupun simbol non verbal atau visual.
Proses penuangan pesan ke dalam simbol-simbol komunikasi itu disebut
encoding. Selanjutnya penerima pesan (bisa siswa, peserta latihan ataupun guru
dan pelatihnya sendiri) menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut
sehingga diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang
mengandung pesan disebut decoding.77
Adakalanya penafsiran tersebut berhasil adakalanya tidak. Penafsiran
yang gagal atau kurang berhasil berarti kegagalan atau kekurangberhasilan
dalam memahami apa-apa yang didengar, dibaca, atau dilihat dan diamatinya.
Oleh karena itu perlu dibina hubungan yang baik, komunikatif dan bersahabat
antara guru dan murid.
Hubungan antara guru dan murid mempunyai sifat yang relatif stabil.
Ciri khas dari hubungan ini ialah bahwa terdapat status yang tak sama antara
guru dan murid. Guru itu secara umum diakui mempunyai status yang lebih
76Arief S Sadiman, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfatannya, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 107
77 Ibid
44
tinggi dan karena itu dapat menuntut murid untuk menunjukkan kelakuan yang
sesuai dengan sifat hubungan itu. Bila anak itu meningkat sekolahnya ada
kemungkinan ia mendapat kedudukan yang lebih tinggi dan sebagai siswa
pasca sarjana ia dapat diperlakukan sebagai manusia yang matang dan dewasa,
jadi banyak sedikit dengan status yang mendekati status dosen.78
Dalam literatur pendidikan paling tidak terdapat tiga metode
pembelajaran sebagai dasar pola hubungan guru dan murid. Ketiga pola itu
adalah:
1. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centris)
2. Pola pembelajaran yang berpusat pada murid (student centris).
3. Pola pembelajaran yang mamadukan antara keduanya.79
Metode pembelajaran yang berpusat pada guru adalah metode
pembelajaran yang menempatkan guru sebagai pemberi informasi, pembina
dan pengarah satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Model ini
didasarkan pada konsep mengajar yang bersifat rasional akademis, yang
menekankan segi pengetahuan semata-mata dengan tidak melihat bahwa
pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan
terhadap berbagai potensi yang dimiliki para siswa.
Sedang student centris adalah konsep pembelajaran yang berpusat pada
siswa dalam hal ini pengajaran yang penting bukan upaya guru menyampaikan
bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan
tujuan. Dalam hal ini upaya penting yang harus dilakukan guru adalah
menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar.
Sedang pada pola ketiga kegiatan belajar mengajar tidak terpusat pada
salah satu dari keduanya , tetapi terjadi interaksi antara guru dan murid secara
bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar merupakan suatu proses
yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan
timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan
tertentu.
78 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 78 79 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam (Kapita Selekta Pendidikan Islam), (Jakarta:
PT. Grasindo, 2001), hlm. 202
45
Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan murid tersebut
merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar.
Interaksi dalam proses belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, yaitu
tidak hanya sekedar hubungan antara guru dan siswa, tetapi berupa interaksi
edukatif. Dalam hal ini tugas seorang guru bukan hanya menyampaikan pesan
berupa materi pelajaran melainkan pemahaman sikap dan nilai pada diri siswa
yang sedang belajar.80
Guru akan lebih banyak mempengaruhi kelakuan murid bila dalam
memberi pelajaran dalam kelas hubungan itu tidak sepihak, seperti terdapat
dalam metode ceramah, akan tetapi hubungan interaktif dengan partisipasi
yang sebanyak-banyaknya dari pihak murid. Hubungan itu akan lebih efektif.
Bertolak dari pandangan mengenai kelas, asimetris adalah tepat dan
musti terjadi. Oleh Durkheim sebagaimana dikutip Sanapiah dinyatakan
dengan tegas, bahwa peranan guru ditandai dengan otoritas moral tertentu yang
ada kaitannya dengan pekerjaan mengajar. Hubungan antara guru dan murid
memadukan dua populasi yang tidak sederajat kebudayaannya; guru diilhami
dengan peradaban, sedangkan murid merupakan orang yang diberi peradaban.
Belakangan ini, penelitian yang dilakukan oleh para ahli sejarah sosial
menyatakan bahwa setidak-tidaknya selama abad kesembilanbelas, sekolah-
sekolah di Amerika mendasarkan pada tata aturan Durkheim; demikian
menurut Sanapiah. Kendatipun otoritas moral guru tetap bertahan, namun
ditandai dengan hukuman badani dan penghinaan, bukan dengan persetujuan
secara diam-diam dan spontan dari pihak murid.81
Menimbang dari pemikiran Az-Zarnuji nampaknya ada dua pola
hubungan guru murid yang sangat bagus jika diterapkan yaitu:
1. Pola hubungan guru-murid yang berdasar relasi bapak dan anak
Perlu diketahui bahwa perubahan kelakuan yang diharapkan
mengenai hal-hal tertentu yang spesifik, misalnya agar anak menguasai
bahan pelajaran tertentu. Mengenai hal-hal yang umum, yang kabur, tidak
80 Ibid, hlm. 206 81 Ibid, hlm. 168
46
mudah tercapai kesamaan pendapat, misalnya apakah guru harus
menunjukkan cinta kasih kepada murid, apakah ia harus bertindak sebagai
orang tua, atau sebagai sahabat. Karena sifat tak sama dalam kedudukan
guru-murid, maka sukar bagi guru untuk mengadakan hubungan akrab,
kasih sayang atau sebagai teman dengan murid. Demi hasil belajar yang
diharapkan diduga guru itu harus dihormati dan dapat memelihara jarak
dengan murid agar ia dapat berperan sebagai model bagi muridnya.82
Mengacu pada pemikiran Az-Zarnuji mengenai keutamaan dalam
menghormati dan memuliakan guru bukan merupakan sebuah teori semata
akan tetapi lebih dari sebuah pemikiran yang mengandung alasan cukup
mendasar bagi terbentuknya suatu hubungan yang etis humanities antar
guru dan murid. Alasan tersebut dikemukakan secara jelas oleh Az-
Zarnuji seperti telah disebutkan diatas:
83 فهو أبوك ىف الدين من علمك حرفا مما حتتاج ىف الدين فاءن
"Maka sesungguhnya orang yang mengajarkanmu satu huruf yang
hal itu masalah agama dan kamu perlukan maka dia termasuk
dihukumi sebagai bapakmu dalam agama. "
Alasan di atas menunjukkan secara jelas bahwa posisi guru yang
mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam masalah agama, maka
dia disebut sebagai bapak. Sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan
tinggi, karena dengan jasanya seorang murid dapat mencapai ketinggian
spiritual dan keselamatan akhirat.
Hal ini berarti hubungan tersebut adalah hubungan yang sangat
dekat tidak terbatas dalam kondisi dan lingkungan pendidikan secara
formal, dimana guru sebagai pentransfer pengetahuan dan urid sebagai
penerima, akan tetapi lebih merupakan sebuah hubungan yang memiliki
ikatan moral dan emosional yang tinggi sebagaimana ikatan antarabapak
dan anak.
82 S. Nasution, , Op. Cit., hlm. 79 83 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 17
47
Dalam hal ini Dr. Abdul Hamid Al-Hasyimi juga mengatakan
bahwa kategori bapak itu ada tiga: pertama, bapak untuk anaknya; kedua,
bapak yang mendidik dan mengasuh; dan yang ketiga, bapak yang
mengajarkanmu dan mendidik akalmu.84
Jadi seorang guru sebagai seorang pendidik, yang mana bertugas
menumbuhkan dan mendidik akal siswa. Dalam tugasnya hendaknya
bersikap seolah dia adalah bapak bagi anak terhadap muridnya. Hal ini
akan mengandung konsekwensi bagi guru untuk mencintai muridnya
dengan tulus. Karena hubungan itu layaknya kedekatan antara bapak dan
anaknya.
Demikian pula bagi murid karena ia menempati kedudukan
sebagai anak bagi gurunya, tentu hal ini mengharuskan ia menjaga sikap
terhadap gurunya. Sebagaimana ia menghormati orang tuanya, maka
seperti itu pula hendaknya ia menghormati gurunya.
Menurut H.M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir,
kasih sayang guru kepada murid terbagi dalam dua term. Pertama, kasih
sayang dalam pergaulan, artinya guru harus lemah lembut dalam
pergaulan. Kedua, kasih sayang dalam mengajar. Artinya guru tidak boleh
memaksa murid mempelajari sesuatu yang belum dapat
dijangkaunya.pengajaran harus dapat dirasakan mudah oleh anak didik.85
Lebih lanjut lagi karena guru adalah bapak bagi muridnya maka ia
harus menerapkan beberapa sifat kasih sayang, seperti dipaparkan oleh
Nasih Ulwan. Dalam hal ini Abdullah Nasih Ulwan mengungkapkan
beberapa cara yang positif agar seorang guru mencintai murid-muridnya,
antara lain:
1. Hendaknya seorang pendidik selalu tersenyum sayang kepada anak didiknya
84 Abdul Hamid Al-Hasyimi, Mendidik Anak Ala Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2001), hlm. 166 85 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 1994), hlm. 85
48
2. Mendorong semangat anak dengan hadiah pada tiap kali ia berhasil dalam suatu hal, atau pada kesempatan ia mendapat ranking yang bagus
3. Menanamkan pada anak didik bahwa dirinya diperhatikan dan disayang
4. Bergaul dan memperlakukan anak didik dengan lemah lembut
5. Menciptakan kondisi dan suasana yang kondusif untuk menolong anak didik menghormati gurunya
6. Bersikap terbuka, akrab, dan sesekali bercanda dengan anak-anak didiknya.86
Berkaitan dengan hal ini kita perlu memperhatikan teladan yang
telah dipraktekkan oleh Rosululloh SAW. Diceritakan bahwa Rosululloh
adalah orang yang menjunjung tinggi akhlak dan menyukai kelembutan
ketika berbicara dengan sahabatnya. Akhlak Rasulullah selalu up to date
untuk dijadikan acuan sikap manusia. Termasuk dalam hal ini adalah
akhlak seorang guru, dimana guru hendaknya berlaku lemah lembut pada
muridnya. Seperti dalam sebuah hadis Rosululloh SAW:
دخلنا على عبد اهللا بن عمروحني قدم : عن شقيق بن سلمة عن مسروق قالمعا معاوية اىل الكوفة فذكر رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم فقال مل يكن
ن منقال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ا: فاحشا وال متفحشا وقال 87 هلهأ بمهفطلاا وقلخ مكنس ح امكريخا
Dari Syaqiq bin Salamah, aku mendengar Masyruq berkata: " kami datang kepada Abdullah bin Umar ketika ia datang bersama Mu'awiyah dikota Kufah, lalu Abdullah menyebut-nyebut Nabi muhamad SAW kemudian ia berkata: Nabi bukan orang yang suka berucap kotor, dan bukan orang yang berucap kotor supaya ditertawakan manusia.' Lalu Abdullah berkata: "Rasulullah bersabda: " Orang yang paling baik budi pekertinya adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lembut kepada saudaranya."88
86 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Kaidah-Kaidah Dasar, (ed.terj:
Khalilullah), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992), hlm. 363 87 Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid I (Beirut: Darul
Fikr, t.th) hlm. 23 88 Ahmad Sunarto, Op.Cit. Juz VIII, hlm. 42
49
2. Pola Hubungan guru-murid yang mendasarkan pada relasi dokter dan
pasien
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya menurut Al-Zarnuji,
hubungan guru dan murid adalah laksana hubungan antara dokter dan
pasien, karena adanya persamaan saling membutuhkan dan saling
ketergantungan. Guru dibutuhkan oleh murid karena ilmunya sedangkan
dokter dibutuhkan oleh pasien karena nasehat dan obatnya untuk
kesembuhan penyakitnya.89
Dari analogi diatas menunjukkan adanya nilai kepercayaan. Dalam
proses belajar mengajar dan dalam persoalan akademik, seorang guru
lebih tahu disebabkan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan
murid. Sedangkan seorang dokter memang memilki keahlian dalam
mendiagnosa untuk menyembuhkan penyakit.
Pernyataan diatas dapat mengandung pengertian bahwa dalam
interaksi seorang guru hendaknya lebih mengutamakan petunjuk dan
nasehat sebagai kepentingan utama, yaitu pada saat tertentu murid di
persilahkan berdiskusi dengan guru, terutama dalam masalah keilmuan.
Sebab guru ibarat seorang dokter yang telah berpengalaman mendiagnosa
suatu penyakit, dan akhirnya mampu atau setidaknya berusaha untuk
mengupayakan kesembuhan bagi pasiennya. Hal ini mengandung
konsekwensi penghormatan murid terhadap gurunya atas dasar ilmu yang
dimiliki oleh gurunya.
Proses kerjasama antara guru dan murid yang demikian mengacu
pada model hubungan insani (the human relations).90 Yakni suatu model
yang lebih menekankan pada pentingnya hubungan insani antara guru dan
murid dalam menyesuaikan diri pada tuntutan lingkungan sehingga
menciptakan interaksi belajar-mengajar yang baik.
Analogi dokter-pasien mengandung konsekwensi bahwa guru
adalah juga berperan sebagai pembimbing. Sebagaimana Rasulullah SAW
89 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 18 90 Chaliyah Hasan, Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994),
hlm. 78-79
50
yang juga merupakan pengarah, pendidik, dan juga pembimbing
umatnya.91 Oleh karena itu seyogyanya murid sebagai pasien mentaatinya.
Karena seorang pasien tidak akan sembuh dari sakitnya jika tidak mentaati
nasihat dan bimbingan dokternya, dalam hal ini adalah guru.
Dalam peranannya sebagi pembimbing, maka guru diusahakan
dapat menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadi interaksi
edukatif yang kondusif. Guru dalam hal ini siap sebagai mediator dalam
segala situasi proses interaksi edukatif. Sehingga guru akan merupakan
tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. Dalam
hal ini guru lebih baik bersama anak didik sebagai desainer dalam
memimpin terjadinya interaksi edukatif.92
Hal ini sejalan dengan ungkapan Musthafa Al-Ghulayani karena
pendidikan pada hakikatnya adalah menanamkan akhlak yang mulia
dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat
sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan,
kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air.93
Guru dan murid adalah dwitunggal yang tak bisa dipisahkan. Guru ada
tak akan berarti tanpa adanya murid demikian pula murid tak akan bisa
mencerdaskan akalnya tanpa kehadiran seorang guru. Oleh karena itu
keduanya harus ada kerjasama yang baik.
Dalam Islam disamping seorang guru memilki cinta dan kasih sayang
kepada murid, demikian pula ada timbal balik sikap murid kepada gurunya.
Secara umum seperti yang direkomendasikan oleh Az-Zarnuji dalam
hubungannya dengan guru, murid hendaknya menerapkan dua sikap dasar
yaitu tawadhu dan menjunjung tinggi etika.
1. Tawadhu’
Dalam hubungannya dengan guru Islam menekankan sekali
pentingnya sikap tawadhu bagi murid. Karena tawadhu kepada guru berarti
91 Abdul Hamid Al-Hasyimi, Op.Cit., hlm. 65 92 Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit., hlm. 15 93 Musthafa Al-Ghulayani, Idhatu al-Nasihin, ed. Terj, (Pekalongan: Rajamurah, 1953),
hlm. 189
51
memuliakan ahli ilmu. Dan memuliakan ahli ilmu hal itu juga berarti
memuliakan ilmu.
Setiap murid hendaknya menyadari betul bahwa gurunya, dengan
ilmu dan pengalamannya serta keinginannya membentuk muridnya menjadi
seorang pribadi yang mulia, memberikan makanan bagi roh dan akalnya,
membukakan tabir-tabir kehidupan serta berharap bahwa muridnya dapat
menjadi lebih alim darippada gurunya. Guru lebih mampu memberikan
nasihat yang terbaik, sehingga wajar apabila murid memtaati segala
pemberian dan arahan gru serta mengesampingkan pendapat dirinya, sebab
kekeliruan guru ada kemungkinan lebih baik dari kebenarannya.94
Imam Az-Zarnuji sangat menekankan agar murid bersikap tawadhu’
pada gurunya, dan mengesampingkan sikap lainnya. Seperti yang tertulis
dalam sya’irnya
95 وبه التقى اىل املعاىل يرتقى# ان التواضع من خصال املتقى
“sesungguhnya sikap tawadhu (rendah hati) adalah bagian dari
sifat-sifat orang yang takwa kepada Allah SWT. Dan dengan
tawadhu’ orang yang takwa akan semakin naik derajatnya.”
Akan tetapi ada hal yang harus diingat bahwa sikap tawadhu
memiliki batasan tertentu. Sebab tawadhu yang berlebihan termasuk sikap
yang dilarang karena mengarah pada tamallu’ (menjilat). Sikap tawadhu
yang dikehendaki Az-Zarnuji adalah yang tidak merusak hubungan dan
tidak merusak hakikat nilai ketaatan itu sendiri. Sikap tawadhu’ itu
digambarkan dengan selalu mencari keridho’an guru dengan menjaga
perasaan guru dan menghindari kemurkaannya dan melaksanakan perintah
guru asal bukan perintah maksiat atau mendatangkan dosa, sebab ketentuan
taat adalah taat kepada kebaikan.
94 Hasan Ayyub, Etika Islam (Menuju Kehidupan Yang Hakiki), (Bandung: Tri Genda
Karya, 1994), hlm. 636 95 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma'il, Op. Cit., hlm. 12
52
Sikap tawadhu bagi seorang murid sangat penting untuk dimiliki
dalam proses belajar mengajar dengan senantiasa mengikuti pendapat dan
petunjuk guru, sebab pada umumnya dengan memperhatikan nasihat
seorang guru, maka murid akan lebihmudah memahami suatu pelajaran.
Setiap kesulitan yang dihadapi dapat diatasi dengan melalui petunjuk dan
nasihat guru dengan tidak ada maksud untuk mengingkarinya.
Pada dasarnya munculnya sikap ketawadhu’an adalah adanya guru
yang benar-benar mumpuni dalam keilmuannya, mampu membimbing para
murid dan tinggi dalam mendekatkan diri pada Allah SWT, karena Allah
SWT sendiri mengakui keunggulan derajat bagi orang yang berilmu.
Dengan demikian sikap tawadhu, pemulyaan, dan penghormatan
bukan diberikan kepada sembarang guru, akan tetapi kepatuhan sikap dan
etika tersebut hanya diperuntukkan bagi guru yang benar-benar memilki
tingkat kesucian tinggi. Sebagaimana dinyatakan oleh Zamakhsari
Dhofier96. Bahwa konteks ketawadhu’an dan kepatuhan murid pada guru
hanya krena hubungannya dengan kesalehan guru kepada Allah,
ketulusannya, kerendahan hati dan kecintaan mengajar murid-muridnya.
2. Menjunjung Tinggi Etika
Jika kita melihat fenomena pelajar saat ini, seperti kecenderungan
sex bebas yang sudah melampaui batas wajar kemanusiaan, pesta NAPZA,
dan menurunnya kesopanan pada diri murid, mungkin para pendidik akan
merasa malu dan mengelus dada, seraya berfikir apa yang salah dari
pendidikan mereka.
Sebetulnya jika dicermati dengan baik hal ini lebih disebabkan
karena pendidikan yang dijalankan sudah makin jauh dari ajaran Al-Qur’an
dan Hadits. Ruh kebebasan berfikir dari barat serta budaya hedonisme yang
merambah otak para pelajar.
Misi Islam yang sebenarnya adalah pengarahan manusia mencapai
nilai-nilai derajat yang luhur, yang sesuai dengan kemuliaan manusia.
96 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982), hlm 84
53
Yaitu memilki budi pekerti mulia dan bersikap luhur sesuai dengan
kemuliaan manusia sebagai pemimpin atau kholifah di bumi. Hal ini
ditujukan untuk mewujudkan unsur-unsur kekuatan dan pribadi-pribadi
yang sholeh, agar dengan akal pikiran dan hatinya dapat memberikan
saham dalam mempertinggi taraf kehidupan dan mendapatkan
perlindungan serta ridho Allah dibalik kehidupan yang sekarang. 97 Pesan
inilah yang menjadi tujuan utama dari beberapa nasihat Syeh Az-Zarnuji
kepada para penuntut ilmu, dalam memberi aturan normatif dan acuan
beberapa sikap sebagai etika yang harus dipegang oleh para murid
untukmenghormati dan menjaga hubungan dengan gurunya sebagai
pedoman etika dalam belajar. Seperti dipaparkan oleh Az-Zarnuji sebagai
berikut: مـن أراد أن يكـو ن ابنه عاملا فينبغى أن يرعى الغرباء من الفقهاء ويكرمهم و يعظمهـم ويعطـيهم شيأ فاءن مل يكن ابنه عاملا يكون حافده عاملا ومن توقري
نده اال باءذنه وال املعلم ان ال ميشي أمامه وال جيلس مكانه وال يبتدئ الكالم ع يكثر الكالم عنده وال يسأل شيأ عند ماللته ويرعى الوقت وال يدق الباب بل يـصرب حـىت خيرج فاحلاصل أنه يطلب رضاه وجيتنب شخطه وميتثل أمره ىف
توقريه توقري ومن . غريمعـصية اهللا تعاىل وال طاعة للمخلوق ىف معصية اخلالق 98 هأوالده ومن يتعلق ب
Diantara mengagungkan guru yang harus diperhatikan dan
dilaksanakan oleh seorang murid atau santri hendaknya:
1. Jangan berjalan di muka guru
2. Jangan menduduki tempat duduk guru
3. Jangan mendahului bicara dihadapan gurunya kecuali seizinnya
4. Jangan banyak bicara dihadapan guru
97 Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam, (Jakarta: PT. Inter Masa 1990), hlm.
41.
98 Az-Zarnuji dalam Ibrahim bin Isma’il, Op. Cit., hlm 17
54
5. Jangan bertanya sesuatu yang membosankannya
6. Jika berkunjung pada guru harus menjaga waktu, dan jika guru
belum keluar maka janganlah mengetuk-ngetuk pintu, tapi
bersabarlah hingga guru keluar.
7. Selalu memohonkeridho’annya
8. Manjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahann guru
9. Melaksanakan perintah guru asal bukan perintah maksiat
10. Menghormati dan memuliakan anak-anak, famili dan kerabat
gurunya.
Bagi Az-Zarnuji bahwa belajar merupakan ibadah internal yang
memilki signifikansi yang tinggi pada dataran religius, sehingga semua
yang terkait dengan ilmu selalu diukur dengan etika baik dan buruk. Akan
tetapi etik-etika yang disarankan di atas merupakan hal-hal yang sangat
berpengaruh dan memilki konsekwensi bagi proses interaksi guru murid
yang baik di dalam maupun di luar kelas sehingga substansi aturan tersebut
perlu dipertimbangkan kembali
Kondisi umum dan suasana kelas yang efektif, berpengaruh bagi
berlangsungnya proses belajar mengajar dan kualitas belajar.99 Etika-etika
di atas merupakan aspek-aspek yang terkait dengan pembentukan suatu
kelas yang kondusif, seperti posisi duduk yang tidak teratur berpengaruh
bagi proses interaksi guru-murid yang tidak efektif, serta tidak bertanya
pada saat guru menyampaikan materi pelajaran. Sebab menyela
pembicaraan guru pada saat guru menyampaikan materi pelajaran akan
membuyarkan konsentrasi guru dalam menyampaikan materi. Maka
hendaknya murid bersungguh-sungguh memperhatikan pelajaran, tidak
menyela perkataaan guru sehingga materi yang disampaikan guru dapat
diserap dengan baik.
99 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001), hlm. 10.
55
Dengan demikian penghormatan murid terhadap guru terwujud
dalam penghormatan melalui sikap, perilaku dalam hubungan sosial yang
dilandasi rasa tawadhu’ dan menjunjung tinggi etika.
Berdasarkan tinjauan ilmu akhlak bahwa etika-etika murid
sebagaimana dianjurkan , merupakan upaya pembiasaan bagi terbentuknya
akhlak yang mulia, sebab dengan memegang etika menjadikan orang
berakhlak dan beradab. Sehingga dengan keluhuran akhlak harkat dan
martabatnya terangkat. Melalui pembiasaan diri dengan melaksanakan
etika, jiwa akan selalu dibimbing denganbudi pekerti yang luhur. Oleh
sebab itu latihan jiwa sangat perlu sekali, guna memperteguh dan melatih
diri supaya mempunyai budi pekerti yang baik100
100 Fakhrudin HS, Membentuk Moral Bimbingan Al-Qur’an, (Jakarta: Bina Aksara, 1990),
hlm 75