jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat pengokonan
TRANSCRIPT
-
1
Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan terhadap
Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301
(The Effect of Disinfectant Varieties and Disinfection Time Cocooning Device on
Mortality and Silkworm Cocoon Production (Bombyx mori L.) Code C.301)
Iman Firmansyah
Program Studi Manajemen Agroindustri
Jurusan Manajemen Agribisnis
ABSTRACT
One of methods to decrease mortality and to increase cocoon production is by
cocooning device disinfection. This research was aimed to determine variety of
disinfectant and disinfection time at cocooning device so that be able to decrease
mortality and to increase cocoon production. The experiment was conducted in
State Polytechnic of Jember from October 2nd
to November 6th
, 2014. Factorial
Complete Randomized Design (CRD) was used as the experimental design which
consisted two factors. First factor was disinfectant variety consisted of chlorine
(A1), formaline (A2), and potassium permanganate (A3). Second factor was
disinfection time consist of 15 minutes (B1) and 30 minutes (B2). The result
showed that there was no interaction between disinfectant variety and disinfection
time on silkworm mortality, cocoon weight, average of one cocoon, cocoon shell
percentage, and yarn silk rendemen. But then there was significantly interaction
on abnormal cocoon percentage.
Keywords: Cocoon, disinfectant, time disinfection
-
2
Abstrak
Salah satu metode untuk menekan motalitas dan meningkatkan produksi kokon
adalah dengan cara desinfeksi alat pengokonan. Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan jenis desinfektan dan lama desingeksi pada alat pengokonan sehingga
dapat menurunkan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon. Penelitian ini
dilaksanakan di politeknik negri jember pada 2 oktober sampai dengan 6
nopember 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap
faktorial. Faktor pertama adalah jenis desinfektan yang terdiri dari (A1) kaporit
(A2) formalin dan (A3) kalium permanganat. Faktor kedua adalah lama waktu
desinfeksi yang terdiri dari 15 menit (B1) dan 30 menit (B2). Hasil penelitian
menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama
waktu desinfeksi terhadap mortalitas ulat, berat kokon, rerata berat kokon per
butir, persentase kulit kokon dan rendemen benang. Namun terdapat interaksi
nyata terhadap persentase kokon cacat.
Kata kunci : kokon, desinfektan, lama desinfeksi
I. PENDAHULUAN
Budidaya ulat sutra merupakan kegiatan yang bersifat padat karya,
berteknologi sederhana, relatif mudah dikerjakan dan relatif cepat memperoleh
hasil panen serta berorientasi pada produksi kokon yang bermutu. Kokon yang
bermutu sangat menentukan nilai jual dari kokon itu sendiri karena kokon inilah
yang digunakan sebagai bahan pembuatan benang sutra.
Mengacu pada pernyataan Badan Standarisasi Nasional (2010) bahwa
kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutra (Bombyx mori L.) pada fase
metamofosa (proses pembentukan pupa), yang terdiri atas kulit kokon dan pupa.
Saat ini, ulat sutra yang lazim dibudidayakan adalah ulat sutra dengan kode
C.301 karena bersifat ungul. Kokon kode C.301 merupakan kokon hasil
persilangan betina ras Jepang dan jantan ras Cina, berwarna putih, berbentuk
lonjong dengan berat 1.488 gr dan persentase kulit kokon sebesar 18.8%. Daya
tetas telur sebesar 90%.
Guna mendapatkan kokon kode C.301 yang berkualitas baik maka perlu
menggunakan teknik budidaya yang lebih mutakhir, salah satunya memperhatikan
-
3
tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang digunakan pada akhir pemeliharaan
ulat, yaitu ketika ulat akan memulai mengokon. Berdasarkan pernyataan
Atmosoedarjo dkk.. (2000) bahwa ruangan pemeliharaan, peralatan dan
lingkungannya sangat mudah terkontaminasi oleh bibit-bibit penyakit ulat sutra.
Hypha cendawan Aspergillus, muskardin, dan bakteri merupakan penyakit yang
biasa menyerang ulat sutra hingga menyebabkan kematian. Jika hal ini tidak
dikendalikan maka mortalitas ulat sutra akan meningkat dan produksi kokon akan
menurun.
Tingkat sanitasi yang lebih baik pada alat pengokonan saat ulat memulai
memberntuk kokon perlu diciptakan melalui desinfeksi alat pengokonan agar
bersifat aseptik sehingga menjamin kesehatan ulat, menekan mortalitas ulat dan
meningkatkan produksi kokon. Terdapat berbagai macam desinfektan yang dapat
diterapkan pada proses perendaman alat pengokonan antara lain kaporit, formalin,
dan kalium permanganat.
Untuk mencapai tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang lebih baik maka
perlu menggunakan jenis desinfektan yang tepat serta waktu dsinfeksi yang tepat
pula. Sehingga dapat diterapkan oleh para petani sutra saat berbudidaya ulat sutra
yang bertujuan untuk mendapatkan kokon kode C.301 yang bermutu. Anwar
(1989 dalam Atmosoedarjo, 2000) menyatakan bahwa pemeliharaan dengan
desinfeksi tubuh ulat, kandang dan peralatan menghasilkan kokon 29% lebih
banyak dibandingkan dengan pemeliharaan tanpa desinfeksi.
Oleh karena itu untuk mendapatkan jenis desinfektan dan lama desinfeksi
yang baik untuk menurunkan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon perlu
dilakukan penelitian mengenai Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori
L.) Kode C.301
II. Bahan dan Metode
A. Bahan dan Alat
Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain
ruang pemeliharaan ulat sutra, kotak penetasan, rak inkubasi, kain hitam, rak
pemeliharaan, sasag, sumpit, bulu ayam, baskom, seriframe, jaring, karung,
-
4
keranjang pakan, timbangan, tempat perendaman, pisau, alat tulis, kaporit,
formalin, kalium permanganat, air.
B. Metode
1. Prosedur Kerja
a. Pemesanan Telur
Pemesanan telur dilakukan apabila semua alat telah tersedia. Pemesanan
telur dilakukan dua minggu sebelum hari pemeliharaan. Pemesanan dilakukan
dengan menghubungi PPUS (Pusat Pembibitan Ulat Sutra) Candiroto via telpon
seluler.
b. Desinfeksi Alat dan Kandang
Setelah dilakukan pemesanan maka telur akan dikirim dua minggu dari hari
pemesanan. Interval waktu tersebut dapat digunakan untuk desinfeksi alat dan
kandang. Setiap perlakuan desinfeksi alat pengokonan mendapatkan perlakuan
yang sama tidak terkecuali desinfeksi alat dan kandang. Desinfeksi dilakukan
dengan menyemprot semua alat dan kandang dengan larutan formalin dan kaporit
5%.
c. Desinfeksi Alat Pengokonan
Desinfeksi merupakan metode yang bertujuan untuk mensterilkan alat
pengokonan dari setiap jamur terutama cendawan yanng dapat menurunkan
produktivitas ulat. Desinfeksi seriframe dilakukan 10 hari sebelum seriframe
digunakan. Alat pengokonan berupa seriframe yang digunakan sebagai bahan
penelitian didesinfeksi sesuai dengan perlakuan yang diberikan yaitu:
1. Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi terhadap sasag,
keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan dan lain sebagainya
yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun murbei dapat dicelupkan
ke dalam tangki dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan 200 kali.
1 gr kaporit x 1 =
1 gr =
5 gr
1 ml air x 200 200 ml 1000 ml
Diperlukan kaporit 5 gr untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan kaporit.
Volume larutan yang dibutuhkan disesuaaikan dengan media yang digunakan.
-
5
Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan pengulangan yang
telah ditetapkan
2. Seriframe didesinfeksi dengan larutan formalin
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi dapat dilakukan dengan
mencelupkan peralatan dalam larutan 2% formalin.
2% X 1000 = 20 ml
100%
Diperlukan formalin 20 ml untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan
formalin. Volume larutan yang dibutuhkan disesuaikan dengan media yang
digunakan. Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan
pengulangan yang telah ditetapkan.
3. Seriframe didesinfeksi dengan larutan kalium permanganat 5 gram per liter
selama 15 menit dan 30 menit.
d. Inkubasi
Telur yang sudah diterima segera diinkubasi untuk menyeragamkan pada
saat penetasan. Inkubasi dilakakukan dengan cara pengaturan cahaya 18 jam
terang dan 6 jam gelap setiap harinya. Adapun kebutuhan temperatur selama
inkubasi adalah 25 C dan kelembaban 75 80 %.
e. Proses Pemeliharaan
Proses pemeliharaan diawali dengan hakitate yaitu penanganan ulat yang
baru menetas. Ulat yang baru menetas masuk pada stadia ulat kecil yang terdiri
atas tiga instar. Setiap pergantian instar ditandai dengan tidur. Untuk fase ulat
besar terdiri atas dua instar. Adapun kondisi lingkungan yang dibutuhkan yaitu
suhu dan kelembaban dalam ruang pemeliharaan perlu disesuaikan untuk
mempertahankan suhu antara 27 - 28 C dan kelembaban 90 %, sebelum
pemeliharaan dimulai. Kondisi ini pelu dipertahankan selama instar I.
Pada instar II suhu harus ada pada kisaran 26 - 27 C dan kelembaban 85
%, sedangkan pada instar III suhu yang diharapkan adalah 25 C dan kelembaban
80 %. Akan tetapi, pada waktu berganti kulit pada setiap instar, kelembaban
tempat pemeliharaan perlu diturunkan sampai 70 % untuk mengeringkan tempat
pemeliharaan. Sifat ulat sutra besar berbeda dengan ulat kecil, ulat besar
-
6
menghendaki suhu dan kelembaban yang lebih rendah. Sehingga suhu perlu diatur
pada 23 24 C dan kelembaban 75 %.
2. Pengumpulan dan Analisis Data
Data hasil pengamatan yang dikumpulkan yaitu mortalitas ulat (%), berat kokon
segar (gr), rerata berat kokon per butir (gr), persentase kulit kokon (%), persentase
kokon cacat (%), dan rendemen benang (%) dengan penghitungan sebagai berikut:
1. Mortalitas Ulat (%)
Perbandingan antara ulat yang mati dengan jumlah ulat yang diletakan di
setiap plot percobaan (alat pengokonan). Di samping itu, diamati penyebab
kematian ulat agar diketahui jenis penyakit yang menyerang ulat tersebut.
2. Berat Kokon Segar (gr)
Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menimbang keseluruhan
kokon yang dihasilkan, yaitu berat kokon sebelum dan sesudah flossing.
3. Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) (perbandingan antara berat kokon seluruhnya
dengan jumlah kokon keseluruhan.)
4. Persentase Kulit Kokon (%) (perbandingan antara berat kulit kokon normal
dengan berat kokon normal sebelum disayat.)
5. Persentase Kokon Cacat (%)
perbandingan antara jumlah kokon cacat dengan jumlah kokon seluruhnya
(normal dan cacat).
6. Rendemen Benang (%), mematikan pupa terlebih dahulu selama satu jam pada
suhu 120 C. Kemudian dilakukan reeling untuk mengetahui berat benang.
Perbandingan berat benang dengan berat kokon dikali 100
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui jenis desinfektan dalam
desinfeksi alat pengokonan seriframe terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat
sutera (Bombyx mori L.) kode C.301. Sidik ragam digunakan untuk mengetahui
mengetahui jenis desinfektan dalam desinfeksi alat pengokonan seriframe
terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutera. Dalam analisis sidik ragam ini
digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu jenis
desinfektan (A) dan lama desinfeksi (B) dan setiap perlakuan dilakukan
pengulangan sebanyak 4 kali.
-
7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Mortalitas Ulat (%)
Mortalitas ulat merupakan tingkat kematian ulat pada alat pengokonan
seriframe saat fase pengokonan. Mortalitas ulat dapat menurunkan produksi
kokon secara keseluruhan karena kokon terbentuk oleh ulat pada fase
pengokonan. Kokon inilah yang dimanfaatkan pengrajin sebagai bahan baku
benang melalui proses-proses tertentu. Jika mortalitas tinggi maka dapat
dipastikan produksi kokon rendah. Begitu pun sebaliknya jika mortalitas rendah
maka produksi kokon tinggi. Hal ini diperkuat oleh Yuningsih (2010) yang
menyatakan bahwa produksi kokon segar yang dipanen sangat ditentukan oleh
tinggi rendahnya mortalitas ulat, semakin tinggi persentase mortalitas dan
kontaminasi ulat maka akan semakin rendah produksi kokon segar yang dipanen.
Pengambilan data dilakukan saat masa pengokonan tersebut berlangsung
dengan cara menghitung ulat yang mati dalam alat pengokonan yang dinyatakan
dalam persen. Kemudian data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah
berikut ini.
Tabel 4.1 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 7,30 4,08 11,38 1,42
A2 4,08 6,61 10,69 1,34
A3 6,05 7,30 13,35 1,67
Jumlah 17,43 17,99 35,42 1,48
Rerata 1,45 1,50
Data tersebut kemudian diolah menggunakan sidik ragam yang menunjukan
hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya perlakuan
terhadap mortalitas ulat. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa jenis desinfektan
dan lama desinfeksi pada alat pengokonan berpengaruh tidak nyata terhadap
mortalitas ulat dengan data hasil transformasi akar kuadrat.
-
8
Tabel 4.2 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat
Sumber Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 2,77 0,55 0,73 ns 2,77
A 2 0,48 0,24 0,31 ns 3,55
B 1 0,01 0,01 0,02 ns 4,41
A x B 2 2,28 1,14 1,51 ns 3,55
Gallat 18 13,62 0,76
Total 23 16,39
Koefisien Keragaman = 58,95 %
Faktor Koreksi = 52,27
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa faktor perlakuan A, yaitu
jenis desinfektan memiliki nilai F Hitung kurang dari nilai F Tabel, artinya faktor
tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas. Sama halnya dengan faktor
B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung lebih kecil dari F tabel yang
memberikan pengaruh sama terhadap mortalitas ulat. Dalam tabel tersebut juga
terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi
terhadap mortalitas ulat yang ditandai dengan nilai F Hitung A x B tidak lebih
besar dari nilai F tabel.
Penelitian ini bertujuan untuk menekan mortalitas ulat sehingga
mendapatkan produksi kokon yang optimal. Mortalitas ulat dihitung pada saat
panen kokon dengan menghitung antara jumlah ulat yang mati dengan jumlah
seluruh ulat yang terdapat pada alat pengokonan.
Ulat yang mati diidentifikasi penyebab kematiannya berdasarkan studi
literatur. Ulat yang terkena penyakit menunjukan gejala seperti tubuh ulat lunak,
pada instar V ulat mengeluarkan kotoran lunak, ulat membusuk dan menjadi
hitam, serta keluar cairan berbau busuk. Berdasarkan gejala tersebut dapat
ditentukan bahwa penyakit yang menyerang ulat berupa penyakit bakteri.
Atmosoedarjo dkk.. (2000) menuliskan bahwa penyakit bakteri adalah penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, bakteri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui
pakan kotor, kondisi lingkungan yang kotor serta kulit ulat sutra yang terkena
penyakit
-
9
Adapun upaya yang telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
kontaminasi oleh bakteri adalah dengan cara mencuci pakan pada bejana,
membersihkan sisa pakan pada rak pemeliharaan dan desinfeksi tangan sebelum
kegiatan dalam kandang dilakukan. mortalitas ulat pada setiap perlakuan dapat
diketahui melalui gambar 4.1.
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.1 di atas dapat diketahui bahwa setiap perlakuan
memiliki rerata mortalitas ulat sebesar 1,02% - 1,82%. Berdasarkan pernyataan
Perum Perhutani PPUS Candiroto (2008 dalam Yuningsih, 2008) bahwa
persentase mortalitas ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301 sebesar 3%. Setiap
perlakuan dapat diterapkan para petani saat budidaya ulat sutra dilaksanakan
karena dapat menekan mortalitas ulat.
2. Berat Kokon Segar (gr)
Berat kokon segar adalah berat kokon yang meliputi pupa dan kulit kokon
setelah proses flossing dan sebelum proses pengeringan. Panen dilakukan saat
kokon telah siap untuk dipanen dengan ciri-ciri tertentu. Nazarudin dan Nurcahyo
-
10
(1995 dalam Yuningsih, 2010) menyatakan bahwa ciri-ciri kokon yang siap
dipanen adalah kulit kokon cukup keras dan warna pupa sudah berwarna coklat.
Pengambilan data berat kokon segar dilaksanakan sesaat setelah panen
kokon dilaksanakan dengan menimbang kokon beserta pupa tanpa floss setiap unit
yang dinyatakan dalam satuan gram. Data yang diperoleh dicantumkan dalam
tabel dua arah di bawah ini.
Tabel 4.3 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 119,78 129,37 249,15 31,14
A2 123,73 115,95 239,68 29,96
A3 119,11 121,12 240,23 30,03
Jumlah 362,62 366,44 729,06 30,38
Rerata 30,22 30,54
Data tersebut kemudian analisis menggunakan sidik ragam yang
menunjukan hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya
perlakuan terhadap mortalitas ulat.
Tabel 4.4 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar
Sumber Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 26,63 5,33 1,26 ns 2,77
A 2 7,06 3,53 0,84 ns 3,55
B 1 0,61 0,61 0,14 ns 4,41
A x B 2 18,96 9,48 2,25 ns 3,55
Gallat 18 75,94 4,22
Total 23 102,58
Koefisien Keragaman = 6,76 %
Faktor Koreksi = 22147,02
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas diketahui bahwa faktor A, jenis desinfektan
dan faktor B, lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung tidak lebih besar dari nilai F
Tabel. Artinya kedua faktor tersebut berpengaruh sama terhadap berat kokon
-
11
segar. Selain itu nilai F Tabel AxB melebihi nilai F Hitungnya yang memberikan
pengertian bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama
desinfeksi terhadap berat kokon segar.
Berat kokon segar erat kaitannya dengan jumlah pakan yang dikonsumsi
oleh ulat semakin banyak dan bernutrisi tinggi maka akan semakin baik bagi
pembentukan kokon karena nutrisi yang terdapat pada tubuh ulat digunakan untuk
pembentukan serat yang kemudian menjadi kokon, sesuai dengan pernyataan
Norati (1996 dalam Rustini, 2002) bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi akan
sangat menentukan tersedianya cadangan makanan yang pada akhirnya diperlukan
untuk pembentukan kokon.
Pertumbuhan ulat sutra dapat mencapai sepuluh ribu kali lipat terhitung dari
hakitate hingga ulat matang, hal ini yang menunjukan bahwa ulat sutra
memerlukan pakan yang cukup bagi pertumbuhannya. Terlebih ulat besar yang
mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pemberian pakan, hal ini dimaksudkan
untuk menyimpan cadangan makanan untuk pembentukan serat. Sama halnya
yang dinyatakan oleh Ekastuti dkk. (1995 dalam Rustini, 2002) bahwa produksi
kokon bergantung pada cadangan energi makanan yang telah dicapai pada akhir
instar V.
Penelitian ini menerapkan pemberian pakan dengan volume yang sama
untuk setiap perlakuan berdasarkan Standard Operational Prosedure (SOP)
budidaya ulat sutra yang disesuaikan dengan jumlah ulat pada setiap unit
percobaan.
-
12
Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt,
30menit
A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15
menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit
A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30
menit
Berdasarkan gambar 4.2 di atas dapat diketahui bahwa rerata berat kokon
segar berada pada rentan 28,99 - 32,34 gr.
3. Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)
Rerata berat kokon per butir merupakan rerata berat per satu kokon yang
meliputi pupa dan kulit kokon. Rerata berat kokon per butir diamati sesaat setelah
panen kokon dilakukan dengan menimbang kokon setiap perlakuan yang
kemudian hasil penimbangan tersebut dibagi jumlah kokon. Data yang telah
diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah di bawah ini.
Tabel 4.5 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 4,04 4,18 8,22 1,03
A2 4,10 3,99 8,09 1,01
A3 3,77 4,12 7,88 0,99
Jumlah 11,91 12,28 24,19 1,01
Rerata 0,99 1,02
-
13
Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis
sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 4.6 Hasil sidik Ragam Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per butir
Sumber Db JK KT F Hit
F tabel
Keragaman F0.05
Perlakuan 5 0,03 0,01 1,02 ns 2,77
A 2 0,01 0,00 0,67 ns 3,55
B 1 0,01 0,01 1,13 ns 4,41
A x B 2 0,01 0,01 1,32 ns 3,55
Gallat 18 0,09 0,01
Total 23 0,12
Koefisien Keragaman = 7,17 %
Faktor Koreksi = 24,38
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa nilai F tabel perlakuan
A lebih besar dari nilai F Hitung, artinya faktor perlakuan A, yaitu jenis
desinfektan berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Selain
itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F hitung lebih kecil
daripada F tabel yang menunjukan bahwa faktor perlakuan tersebut berpengaruh
tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Dan tidak terjadi interaksi antara
jenis desinfektan dan lama desinfeksi karena memiliki nilai F Hitung lebih kecil
dari F tabel.
Pembentukan kokon dilakukan ulat ketika masa makan berlangsung yang
terdiri dari 5 instar. Terutama pada instar 5 ulat mulai memberntuk serat.
Sedangkan perlakauan diterapkan ketika ulat akan mengokon yang tidak
memberikan pengaruh tidak nyata.
Sakaguchy (1978 dalam Rustini 2002) menuliskan bahwa mutu kokon dan
serat sutra ditentukan oleh jumlah dan mutu pakannya, sedangkan protein sutra
akan diekresikan apabila asam amino dan air dalam tubuh ulat sutra cukup
jumlahnya. Nursita (2012) menuliskan bahwa minimnya pemberian air pada
tanaman juga berperan menurunkan kualitas daun murbei yang dihasilkan.
-
14
Katsumata (1964 dalam Rustini 2002) menyatakan bahwa kualitas kokon
dipengaruhi oleh sifat keturunan dari jenis ulat sutra dan keadaan-keadaan selama
pemeliharaan dan pengokonan. Lingkungan pada saat pengokonan merupakan
salah satu yang mempengaruhi kualitas kokon.
Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt,
15menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.3 di atas, diketahui bahwa rerata berat kokon per
butir berada pada kisaran 0,94 - 1,04.
Rerata berat kokon per butir diklasifikasikan berdasarkan SNI kokon segar
(2010). Sesuai dengan deskripsi ulat sutra kode C.301 memiliki kualitas kokon
kelas C yaitu berat kokon berrkisar 1,3 gr 1,7 gr. Setelah dilakukan pengamatan
dapat ditentukan bahwa kokon dalam penelitian ini termasuk ke dalam kualitas D
karena rerata berat kokon berada
-
15
spineret. Semakin baik kandungan dalam pakan maka akan semakin baik pula
kokon yang dihasilkan. Demikian pula dengan suhu, ulat kecil baik pada
lingkungan dengan suhu harian 27 C dan ulat besar baik pada lingkungan dengan
suhu harian 25 C, sedangkan suhu lingkungan saat penelitian mencapai 34 C
untuk ulat kecil dan 33 C untuk ulat besar. Hal ini mengakibatkan ulat
bermetabolisme lebih cepat dan umur lebih singkat yang berdampak pada
sedikitnya cadangan makanan dalam tubuh yang berperan sebagai pembentuk
protein serat.
4. Persentase Kulit Kokon (%)
Kulit kokon merupakan lapisan luar kokon yang terdiri dari serisin dan
fibroin yang berfungsi sebagai pelindung pupa. Kulit kokon adalah bagian kokon
yang digunakan pengrajin untuk pembuatan benang. Kulit kokon dinyatakan
dalam satuan persen (%) dengan perbandingan antara kulit kokon dengan kokon.
Persentaase kulit kokon merupakan salah satu parameter uji mutu kokon visual
yang tertera dalam SNI kokon segar. Pengambilan data dilakukan sesaat setelah
panen kokon dilaksanakan dengan menimbang kulit kokon dan kokon secara
keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan ke dalam tabel dua arah sebagai
berikut.
Tabel 4.7 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Persentse Kulit Kokon
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 78,68 73,35 152,04 19,00
A2 81,60 79,89 161,49 20,19
A3 75,08 76,92 152,00 19,00
Jumlah 235,37 230,16 465,53 19,40
Rerata 19,61 19,18
Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan sidik
ragam dengan hasil sebagai berikut.
-
16
Tabel 4.8 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon
Sumber Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 11,81 2,36 0,72 ns 2,77
A 2 7,48 3,74 1,14 ns 3,55
B 1 1,13 1,13 0,35 ns 4,41
A x B 2 3,21 1,60 0,49 ns 3,55
Gallat 18 58,92 3,27
Total 23 70,73
Koefisien keragaman = 9,33 %
Faktor Koreksi = 9029,96
Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)
Berdasarkan Tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa faktor perlakuan A,
yaitu jenis desinfektan memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase kulit
kokon yang ditandai dengan nilai F Hitung yang lebih kecil dari nilai F Tabel,
tidak hanya itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung
yang tidak lebih besar dari nilai F Table, artinya faktor perlakuan B berpengaruh
tidak nyata terhadap persentase kulit kokon. Dalam tabel tersebut juga terlihat
nilai F Hitung AxB tidak melebihi nilai f Tabel, yang menunjukan bahwa tidak
terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi terhadap persentase
kulit kokon.
Katsumata (1994 dalam Fetri, 2001) menyatakan bahwa berat kokon, berat
kulit kokon, persentase kulit kokon banyak dipengaruhi oleh ras ulat sutra, jenis
kelamin pupa, jumlah pakan yang diberikan, lingkungan pemeliharaan, dan cara
pemeliharaan.
Berdasarkan SNI kokon segar (2010) kokon yang dihasilkan dalam
penelitian ini termasuk ke dalam kelas C. Hal ini sesuai dengan deskripsi ulat
sutra kode C.301 dengan persentase kulit kokon berkualitas C, yang berada pada
kisaran 17,00% - 20,00%.
-
17
Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.4 di atas dapat diketahui bahwa persentase kulit
kokon berkisar antara 18,34 20,40. Persentase kulit kokon pada penelitian ini
sesuai dengan persentase kulit kokon kode C.301 itu sendiri. Berdasarkan
pernyataan Pusat Pembibitan Ulat Sutra (PPUS) Candiroto (2008, dalam Rusita,
2011) bahwa persentase kulit kokon ulat sutra kode C.301 sebesar 18,8%.
5. Persentase Kokon Cacat (%)
Kokon cacat merupakan kokon yang berbentuk dan berwarna tidak normal.
Kokon cacat diamati sesaat setelah panen. Persentase kokon cacat dinyatakan
dalam satuan persen (%) dengan membandingkan antara berat kokon cacat dengan
berat kokon keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah
berikut.
-
18
Tabel 4.9 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada
Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 10,43 13,54 23,97 3,00
A2 10,28 7,03 17,31 2,16
A3 8,57 4,08 12,66 1,58
Jumlah 29,28 24,65 53,94 2,25
Rerata 2,44 2,05
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam. Berikut
adalah tabel hasil sidik ragam dengan data hasil transformasi akar kuadrat.
Tabel 4.10 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat
Sumber
Db JK KT F Hit
F Tabel
Keragama
n F 0.05
Perlakuan 5 13,14 2,63 5,04 * 2,77
A 2 8,08 4,04 7,76 * 3,55
B 1 0,89 0,89 1,72 ns 4,41
A x B 2 4,16 2,08 3,99 * 3,55
Gallat 18 9,38 0,52
Total 23 22,51
Koefisien keragaman = 58,95%
Faktor Koreksi = 121,21
Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)
* = berbeda nyata
Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat diketahui bahwa nilai F hitung faktor
perlakuan, faktor A dan interaksi antara A dan B lebih besar daripada nilai F tabel
yang menunjukan bahwa terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama
desinfeksi terhadap persentase kokon cacat.
Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa bentuk kokon bergantung
pada ras ulat sutra. Umumnya dari ras Jepang berbentuk seperti kacang tanah. Ras
Cina berbentuk elips dan ras Eropa berbentuk elips lebih panjang, ras polypoltine
berbentuk panjang panjang kurus seperti sepindel. Kokon hibrida memiliki bentuk
antara kedua ras yang digunakan sebagai induk dan kebanyakan memiliki bentuk
semi kacang tanah dan semi oval.
-
19
Kokon cacat memiliki berbagai kriteria. Antara lain kokon ganda, kokon
berlubang, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon berujung tipis,
kokon berkulit tipis, kokon tergencet/tercetak, kokon berbentuk abnormal, kokon
berserabut, kokon berlapis ganda, kokon tipis tengah.
Kokon cacat pada penelitian ini didominasi oleh kokon tipis dan tercetak.
Kokon tipis diakibatkan oleh pembentukan kokon oleh ulat yang lemah. Hal ini
diperkuat oleh Amtosoedarjo dkk. (2000) bahwa kokon yang dipintal oleh ulat
yang lemah lapisan sutranya tipis dan lunak. Selain itu ulat yang membentuk
kokon tipis diakibatkan oleh suhu lingkungan yang terlampau tinggi, kelembaban
yang tinggi, dan aliran udara yang terlalu keras.
Sedangkan kokon tercetak diakibatkan oleh bentuk pengokonan yang tidak sesuai,
pemasangan seriframe yang tidak baik mengakibatkan kokon tercetak. Suhu yang
tinggi mengakibatkan ulat matang stres dan mengokon di sembarang tempat.
Uji lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil 5%, pengujian dilakukan
terhadap interaksi antara A dan B dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 4.11 Hasil Uji Lanjut Interaksi antara Jenis Desinfektan dan Lama
Desinfeksi pada Alat Pengokonan dengan Uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) 5% Terhadap Persentase Kokon Cacat
Perlakuan Persentase
Notasi Kokon Cacat (%)
A1B1 2,61 ab
A1B2 3,39 a
A2B1 2,57 ab
A2B2 1,76 bc
A3B1 2,14 b
A3B2 1,02 c
Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dinyatakan
berbeda tidak nyata pada taraf 5%
Persentase kokon cacat terendah ditunjukan oleh perlakuan A3B2 yaitu
alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5 gr/lt
yang memiliki pengaruh berbeda tidak nyata dengan perlakuan A2B2 yaitu alat
pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit.
Hal ini diduga karena penggunaan kalium permanganat yang diberikan
lebih banyak dari yang direkomendasikan dalam kemasan. Anjuran yang
-
20
ditetapkan adalah larutan 1 gr/lt sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 5
gr/lt selain itu lama perendaman 30 menit memberikan tingkat sanitasi yang lebih
baik dari pada 15 menit. Demikian pula dengan penggunaan formalin 20 ml/lt
selama 30 menit yang membuat alat pengokonan steril dari penyakit.
6. Rendemen Benang (%)
Rendemen benang adalah berat benang yang dapat diurai dibandingkan
dengan berat kokon yang diurai yang dinyatakan dalam satuan persen (%).
Semakin tinggi persentase rendemen benang makan semakin baik kulalitanya.
Pemintalan kokon dilakukan sehari setelah panen kokon dengan dinier 40. Setelah
dilakukan pemintalan, dilakukan pengambilan data yang kemudian dicantumkan
dalam tabel dua arah berikut.
Tabel 4.12 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang
Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata
A1 108,41 120,13 228,53 28,57
A2 128,17 129,23 257,40 32,18
A3 123,81 126,42 250,23 31,28
Jumlah 360,39 375,78 736,17 30,67
Rerata 30,03 31,31
Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis mengunakan analisis
sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.
-
21
Tabel 4.13 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi
pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang
Sumber Db JK KT F Hit
F Hit
Keragaman F 0.05
Perlakuan 5 74,65 14,93 0,81 ns 2,77
A 2 56,48 28,24 1,54 ns 3,55
B 1 9,87 9,87 0,54 ns 4,41
A x B 2 8,30 4,15 0,23 ns 3,55
Gallat 18 330,13 18,34
Total 23 404,78
Koefisien keragaman = 13,96%
Fakktor Koreksi = 22580,96
Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)
Berdasarkan hasil sidik ragam di atas diketahui bahwa faktor A, faktor B,
maupun interaksi keduanya memiliki nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F
tabel yang menunjukan bahwa setiap perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap
rendemen benang.
Pada saat pemintalan kokon (reeling), kokon direndam air pada suhu 35
C selama selama 20 menit agar air masuk ke dalam kokon dan memudahkan pada
saat perebusan. Selain itu, dengan melaksanakan tahap perendaman, kokon yang
dipintal tidak mudah putus sehingga tidak menurunkan kualitas kokon. Kokon
kemudian direbus pada suhu 100 C selama 10 menit agar serisin pada kokon
terlarut sehingga memudahkan dalam pencarian ujung serat, peoses pemintalan
dan meregangkan rekatan dalam kokon. Kokon yang dipintal menjadi lunak dan
tidak mudah kusut atau putus Kokon dipintal pada bak reeling dengan suhu air
40 C 60 C.
Ulat sutra yang dipelihara pada lingkungan panas memiliki umur yang
lebih singkat akibatnya ulat mengkonsumsi pakan lebih sedikit yang berdampak
pada terhambatnya pertumbuhan dan sedikitnya serat pada kokon yang dihasilkan.
Sesuai dengan pernyataan Rusita (2011) bahwa benang sutra berasal dari serat
sutra yang dihasilkan oleh ulat sutra. Semakin banyak serat sutra yang dihasilkan
maka semakin banyak benang sutra yang dapat diperoleh.
-
22
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat
Pengokonan Terhadap Rendemen Benang
Keterangan :
A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit
A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit
A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15
menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit
Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat diketahui bahwa rendemen tertinggi
diperoleh dari perlakuan A2B2 yaitu alat pengokonan didesinfeksi menggunakan
larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit sedangkan rendemen terendah diperoleh
dari perlakuan A1B1 yaitu alat pengokonan didesinfeksi mengunakan larutan
kaporit 5 gr/lt selama 15 menit. Rendemen benang sutra kode C.301 yang lazim
ditemui adalah berada antara 15% - 18% (Atmosoedarjo dkk., 2000).
Rendemen benang pada penelitian ini berada pada kisaran 27,10% -
32,31%, hal ini diakibatkan oleh proses pengeringan kokon sebelum proses
reeling sehingga menurunkan kadar air dalam kokon dan mengalami rata-rata
penyusutan sebesar 52,78 %. Pengeringan dilakukan menggunakan oven dengan
suhu 120 C selama 60 menit.
-
22
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat diketahui
bahwa :
1. Tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat
pengokonan terhadap mortalitas ulat, berat kokon segar, persentase kulit
kokon, dan rendemen ulat sutra.
2. Terdapat interaksi antara jenis desinfektan yang berbeda dan lama
desinfeksi alat pengokonan terhadap persentase kokon cacat. Perlakuan
terbaik yang dapat menekan persentase kokon cacat adalah A3B2 yaitu
alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5
gr/liter selama 30 menit.
3. Berdasarkan SNI Mutu Kokon Segar (2010) kokon pada penelitian ini
memiliki kelas berat kokon D (2,0 - 5,0 %) yaitu 2,25%. Penentuan
grade secara umum dilakukan dengan mengambil grade paling rendah.
Jadi kokon pada penelitian ini termasuk ke dalam grade D (ketiga).
5.2 Saran
1. Setiap Jenis Desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi alat
pengokonan karena dapat menekan mortalitas ulat.
2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi
kalium permanganat dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga
diketahui kosentrasi yang tepat untuk digunakan.
3. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi
formalin dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga diketahui
kosentrasi yang tepat untuk digunakan.
-
23
DAFTAR PUSTAKA
Ahdiat, N. 2010. Bombyx mori Ulat Penghasil Sutra. Bandung: Sinergi Pustaka
Indonesia.
Anwar, A. 1991. Pengaruh Pemberian Kapur pada Alat Pengokonan terhadap Produksi Kokon. Dalam Buletin Penelitian Hutan. No 541. Bogor: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan. p.1-6
Apriani, Y. S. 2014. Pengaruh Jenis Alas Pemeliharaan dan Bahan Sanitasi
terhadap Mortalitas dan Kualitas Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.)
Kode C.301. Jember: Politeknik Neger Jember.
Atmosoedarjo, S., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh, dan W. Moerdoko.
2000. Sutra Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Badan Standarisasi Nasional. 2010. Kokon Segar Jenis Bombyx mori L. Jakarta:
Badan Standarisasi Nasional.
Bank Indonesia, 2000. Budidaya Ulat Sutra dan Produksi Kokon. Jakarta: Bank
Indonesia.
Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutra. Yogyakarta: Kanisius.
Nahar, M. F., dan W. Prayogi. 2011. Mengenal Desinfektan dan Antiseptik.
http://environment.uii.ac.id/content/view/273/1/ [20 Juni 2014].
Nursita, I. W., 2012. Perbandingan Produktifitas Ulat Sutra dari Dua Tempat
Pembibitan yang Berbeda pada Kondisi Lingkungan Pemeliharaan
Panas. Malang: Universitas Brawijaya.
Sericulture, Department. Silkworm Diseases and Pest Control.
https://www.karnataka.gov.in/sericulture/English/Technologies/SilkWar
mDiseasesAndPest.aspx [21 Juni 2014].
Sumardjito, Z. dan Budisusanto, H. 1994. Pengaruh Beberapa Campuran Desinfektan terhadap Mortalitas dan Pertumbuhan Penyakit pada
Pemeliharaan Ulat Sutra. Dalam Jurnal Penelitian Kehutanan (September VIII). No 2. Ujung Padang: Balai Penelitian Kehutanan
Ujung Padang. p.24-29.
Rusita, A. 2011. Pengaruh Penambahan Volume Pakan Malam terhadap
Produktivitas Kokon pada Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301 dan
BS-09. Jember: Politeknik Negeri Jember.
-
24
Rustini,` T. 2002. Hubungan Frekuensi Pemberian Daun Murbei dengan
Konsumsi Pakan, Pertumbuhan, Efisiensi Pakan dan Kualitas Kokon
Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, Martina. 2012. Pengaruh Formalin Peroral Dosis Bertingkat selama 12
Minggu terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Wistar.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Yuanita. 2007. Daya Tahan Hidup Larva, Kualitas Kokon dan Filamen Ulat Sutra
(Bombyx mori L.) Pada Alat Pengokonan Yang Berbeda. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Yulianti, S. 2011. Pengaruh Konsentrasi Kaporit dan Lama Perendaman Alat
Pengokonan (Seriframe) terhadap Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx
mori L.). Jember: Politeknik Negeri Jember.
Yuningsih, Y. 2010. Pengaruh Komposisi Formalin, Kaolin, Kapur Tohor Dan
Abu Sekam sebagai Desinfektan pada Produksi Kokon Ulat Sutra.
Jember: Politeknik Negeri Jember.