jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat pengokonan

25
1 Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan terhadap Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301 (The Effect of Disinfectant Varieties and Disinfection Time Cocooning Device on Mortality and Silkworm Cocoon Production (Bombyx mori L.) Code C.301) Iman Firmansyah Program Studi Manajemen Agroindustri Jurusan Manajemen Agribisnis ABSTRACT One of methods to decrease mortality and to increase cocoon production is by cocooning device disinfection. This research was aimed to determine variety of disinfectant and disinfection time at cocooning device so that be able to decrease mortality and to increase cocoon production. The experiment was conducted in State Polytechnic of Jember from October 2 nd to November 6 th , 2014. Factorial Complete Randomized Design (CRD) was used as the experimental design which consisted two factors. First factor was disinfectant variety consisted of chlorine (A1), formaline (A2), and potassium permanganate (A3). Second factor was disinfection time consist of 15 minutes (B1) and 30 minutes (B2). The result showed that there was no interaction between disinfectant variety and disinfection time on silkworm mortality, cocoon weight, average of one cocoon, cocoon shell percentage, and yarn silk rendemen. But then there was significantly interaction on abnormal cocoon percentage. Keywords: Cocoon, disinfectant, time disinfection

Upload: imanfirmansyah

Post on 05-Nov-2015

95 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi Alat Pengokonan terhadap

    Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301

    (The Effect of Disinfectant Varieties and Disinfection Time Cocooning Device on

    Mortality and Silkworm Cocoon Production (Bombyx mori L.) Code C.301)

    Iman Firmansyah

    Program Studi Manajemen Agroindustri

    Jurusan Manajemen Agribisnis

    ABSTRACT

    One of methods to decrease mortality and to increase cocoon production is by

    cocooning device disinfection. This research was aimed to determine variety of

    disinfectant and disinfection time at cocooning device so that be able to decrease

    mortality and to increase cocoon production. The experiment was conducted in

    State Polytechnic of Jember from October 2nd

    to November 6th

    , 2014. Factorial

    Complete Randomized Design (CRD) was used as the experimental design which

    consisted two factors. First factor was disinfectant variety consisted of chlorine

    (A1), formaline (A2), and potassium permanganate (A3). Second factor was

    disinfection time consist of 15 minutes (B1) and 30 minutes (B2). The result

    showed that there was no interaction between disinfectant variety and disinfection

    time on silkworm mortality, cocoon weight, average of one cocoon, cocoon shell

    percentage, and yarn silk rendemen. But then there was significantly interaction

    on abnormal cocoon percentage.

    Keywords: Cocoon, disinfectant, time disinfection

  • 2

    Abstrak

    Salah satu metode untuk menekan motalitas dan meningkatkan produksi kokon

    adalah dengan cara desinfeksi alat pengokonan. Penelitian ini bertujuan untuk

    menentukan jenis desinfektan dan lama desingeksi pada alat pengokonan sehingga

    dapat menurunkan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon. Penelitian ini

    dilaksanakan di politeknik negri jember pada 2 oktober sampai dengan 6

    nopember 2014. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap

    faktorial. Faktor pertama adalah jenis desinfektan yang terdiri dari (A1) kaporit

    (A2) formalin dan (A3) kalium permanganat. Faktor kedua adalah lama waktu

    desinfeksi yang terdiri dari 15 menit (B1) dan 30 menit (B2). Hasil penelitian

    menunjukan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama

    waktu desinfeksi terhadap mortalitas ulat, berat kokon, rerata berat kokon per

    butir, persentase kulit kokon dan rendemen benang. Namun terdapat interaksi

    nyata terhadap persentase kokon cacat.

    Kata kunci : kokon, desinfektan, lama desinfeksi

    I. PENDAHULUAN

    Budidaya ulat sutra merupakan kegiatan yang bersifat padat karya,

    berteknologi sederhana, relatif mudah dikerjakan dan relatif cepat memperoleh

    hasil panen serta berorientasi pada produksi kokon yang bermutu. Kokon yang

    bermutu sangat menentukan nilai jual dari kokon itu sendiri karena kokon inilah

    yang digunakan sebagai bahan pembuatan benang sutra.

    Mengacu pada pernyataan Badan Standarisasi Nasional (2010) bahwa

    kokon merupakan materi yang dibuat oleh ulat sutra (Bombyx mori L.) pada fase

    metamofosa (proses pembentukan pupa), yang terdiri atas kulit kokon dan pupa.

    Saat ini, ulat sutra yang lazim dibudidayakan adalah ulat sutra dengan kode

    C.301 karena bersifat ungul. Kokon kode C.301 merupakan kokon hasil

    persilangan betina ras Jepang dan jantan ras Cina, berwarna putih, berbentuk

    lonjong dengan berat 1.488 gr dan persentase kulit kokon sebesar 18.8%. Daya

    tetas telur sebesar 90%.

    Guna mendapatkan kokon kode C.301 yang berkualitas baik maka perlu

    menggunakan teknik budidaya yang lebih mutakhir, salah satunya memperhatikan

  • 3

    tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang digunakan pada akhir pemeliharaan

    ulat, yaitu ketika ulat akan memulai mengokon. Berdasarkan pernyataan

    Atmosoedarjo dkk.. (2000) bahwa ruangan pemeliharaan, peralatan dan

    lingkungannya sangat mudah terkontaminasi oleh bibit-bibit penyakit ulat sutra.

    Hypha cendawan Aspergillus, muskardin, dan bakteri merupakan penyakit yang

    biasa menyerang ulat sutra hingga menyebabkan kematian. Jika hal ini tidak

    dikendalikan maka mortalitas ulat sutra akan meningkat dan produksi kokon akan

    menurun.

    Tingkat sanitasi yang lebih baik pada alat pengokonan saat ulat memulai

    memberntuk kokon perlu diciptakan melalui desinfeksi alat pengokonan agar

    bersifat aseptik sehingga menjamin kesehatan ulat, menekan mortalitas ulat dan

    meningkatkan produksi kokon. Terdapat berbagai macam desinfektan yang dapat

    diterapkan pada proses perendaman alat pengokonan antara lain kaporit, formalin,

    dan kalium permanganat.

    Untuk mencapai tingkat sanitasi pada alat pengokonan yang lebih baik maka

    perlu menggunakan jenis desinfektan yang tepat serta waktu dsinfeksi yang tepat

    pula. Sehingga dapat diterapkan oleh para petani sutra saat berbudidaya ulat sutra

    yang bertujuan untuk mendapatkan kokon kode C.301 yang bermutu. Anwar

    (1989 dalam Atmosoedarjo, 2000) menyatakan bahwa pemeliharaan dengan

    desinfeksi tubuh ulat, kandang dan peralatan menghasilkan kokon 29% lebih

    banyak dibandingkan dengan pemeliharaan tanpa desinfeksi.

    Oleh karena itu untuk mendapatkan jenis desinfektan dan lama desinfeksi

    yang baik untuk menurunkan mortalitas dan meningkatkan produksi kokon perlu

    dilakukan penelitian mengenai Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Mortalitas dan Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori

    L.) Kode C.301

    II. Bahan dan Metode

    A. Bahan dan Alat

    Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini antara lain

    ruang pemeliharaan ulat sutra, kotak penetasan, rak inkubasi, kain hitam, rak

    pemeliharaan, sasag, sumpit, bulu ayam, baskom, seriframe, jaring, karung,

  • 4

    keranjang pakan, timbangan, tempat perendaman, pisau, alat tulis, kaporit,

    formalin, kalium permanganat, air.

    B. Metode

    1. Prosedur Kerja

    a. Pemesanan Telur

    Pemesanan telur dilakukan apabila semua alat telah tersedia. Pemesanan

    telur dilakukan dua minggu sebelum hari pemeliharaan. Pemesanan dilakukan

    dengan menghubungi PPUS (Pusat Pembibitan Ulat Sutra) Candiroto via telpon

    seluler.

    b. Desinfeksi Alat dan Kandang

    Setelah dilakukan pemesanan maka telur akan dikirim dua minggu dari hari

    pemesanan. Interval waktu tersebut dapat digunakan untuk desinfeksi alat dan

    kandang. Setiap perlakuan desinfeksi alat pengokonan mendapatkan perlakuan

    yang sama tidak terkecuali desinfeksi alat dan kandang. Desinfeksi dilakukan

    dengan menyemprot semua alat dan kandang dengan larutan formalin dan kaporit

    5%.

    c. Desinfeksi Alat Pengokonan

    Desinfeksi merupakan metode yang bertujuan untuk mensterilkan alat

    pengokonan dari setiap jamur terutama cendawan yanng dapat menurunkan

    produktivitas ulat. Desinfeksi seriframe dilakukan 10 hari sebelum seriframe

    digunakan. Alat pengokonan berupa seriframe yang digunakan sebagai bahan

    penelitian didesinfeksi sesuai dengan perlakuan yang diberikan yaitu:

    1. Desinfeksi alat pengokonan menggunakan kaporit

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi terhadap sasag,

    keranjang tempat penyimpanan daun, tempat pengokonan dan lain sebagainya

    yang akan bersentuhan langsung dengan ulat atau daun murbei dapat dicelupkan

    ke dalam tangki dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan 200 kali.

    1 gr kaporit x 1 =

    1 gr =

    5 gr

    1 ml air x 200 200 ml 1000 ml

    Diperlukan kaporit 5 gr untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan kaporit.

    Volume larutan yang dibutuhkan disesuaaikan dengan media yang digunakan.

  • 5

    Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan pengulangan yang

    telah ditetapkan

    2. Seriframe didesinfeksi dengan larutan formalin

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa desinfeksi dapat dilakukan dengan

    mencelupkan peralatan dalam larutan 2% formalin.

    2% X 1000 = 20 ml

    100%

    Diperlukan formalin 20 ml untuk mendapatkan satu liter larutan desinfektan

    formalin. Volume larutan yang dibutuhkan disesuaikan dengan media yang

    digunakan. Seriframe didesinfeksi selama 15 menit dan 30 menit dengan

    pengulangan yang telah ditetapkan.

    3. Seriframe didesinfeksi dengan larutan kalium permanganat 5 gram per liter

    selama 15 menit dan 30 menit.

    d. Inkubasi

    Telur yang sudah diterima segera diinkubasi untuk menyeragamkan pada

    saat penetasan. Inkubasi dilakakukan dengan cara pengaturan cahaya 18 jam

    terang dan 6 jam gelap setiap harinya. Adapun kebutuhan temperatur selama

    inkubasi adalah 25 C dan kelembaban 75 80 %.

    e. Proses Pemeliharaan

    Proses pemeliharaan diawali dengan hakitate yaitu penanganan ulat yang

    baru menetas. Ulat yang baru menetas masuk pada stadia ulat kecil yang terdiri

    atas tiga instar. Setiap pergantian instar ditandai dengan tidur. Untuk fase ulat

    besar terdiri atas dua instar. Adapun kondisi lingkungan yang dibutuhkan yaitu

    suhu dan kelembaban dalam ruang pemeliharaan perlu disesuaikan untuk

    mempertahankan suhu antara 27 - 28 C dan kelembaban 90 %, sebelum

    pemeliharaan dimulai. Kondisi ini pelu dipertahankan selama instar I.

    Pada instar II suhu harus ada pada kisaran 26 - 27 C dan kelembaban 85

    %, sedangkan pada instar III suhu yang diharapkan adalah 25 C dan kelembaban

    80 %. Akan tetapi, pada waktu berganti kulit pada setiap instar, kelembaban

    tempat pemeliharaan perlu diturunkan sampai 70 % untuk mengeringkan tempat

    pemeliharaan. Sifat ulat sutra besar berbeda dengan ulat kecil, ulat besar

  • 6

    menghendaki suhu dan kelembaban yang lebih rendah. Sehingga suhu perlu diatur

    pada 23 24 C dan kelembaban 75 %.

    2. Pengumpulan dan Analisis Data

    Data hasil pengamatan yang dikumpulkan yaitu mortalitas ulat (%), berat kokon

    segar (gr), rerata berat kokon per butir (gr), persentase kulit kokon (%), persentase

    kokon cacat (%), dan rendemen benang (%) dengan penghitungan sebagai berikut:

    1. Mortalitas Ulat (%)

    Perbandingan antara ulat yang mati dengan jumlah ulat yang diletakan di

    setiap plot percobaan (alat pengokonan). Di samping itu, diamati penyebab

    kematian ulat agar diketahui jenis penyakit yang menyerang ulat tersebut.

    2. Berat Kokon Segar (gr)

    Pengamatan dilakukan setelah panen kokon, dengan menimbang keseluruhan

    kokon yang dihasilkan, yaitu berat kokon sebelum dan sesudah flossing.

    3. Rerata Berat Kokon Per Butir (gr) (perbandingan antara berat kokon seluruhnya

    dengan jumlah kokon keseluruhan.)

    4. Persentase Kulit Kokon (%) (perbandingan antara berat kulit kokon normal

    dengan berat kokon normal sebelum disayat.)

    5. Persentase Kokon Cacat (%)

    perbandingan antara jumlah kokon cacat dengan jumlah kokon seluruhnya

    (normal dan cacat).

    6. Rendemen Benang (%), mematikan pupa terlebih dahulu selama satu jam pada

    suhu 120 C. Kemudian dilakukan reeling untuk mengetahui berat benang.

    Perbandingan berat benang dengan berat kokon dikali 100

    Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui jenis desinfektan dalam

    desinfeksi alat pengokonan seriframe terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat

    sutera (Bombyx mori L.) kode C.301. Sidik ragam digunakan untuk mengetahui

    mengetahui jenis desinfektan dalam desinfeksi alat pengokonan seriframe

    terhadap mortalitas dan produksi kokon ulat sutera. Dalam analisis sidik ragam ini

    digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu jenis

    desinfektan (A) dan lama desinfeksi (B) dan setiap perlakuan dilakukan

    pengulangan sebanyak 4 kali.

  • 7

    III. HASIL DAN PEMBAHASAN

    1. Mortalitas Ulat (%)

    Mortalitas ulat merupakan tingkat kematian ulat pada alat pengokonan

    seriframe saat fase pengokonan. Mortalitas ulat dapat menurunkan produksi

    kokon secara keseluruhan karena kokon terbentuk oleh ulat pada fase

    pengokonan. Kokon inilah yang dimanfaatkan pengrajin sebagai bahan baku

    benang melalui proses-proses tertentu. Jika mortalitas tinggi maka dapat

    dipastikan produksi kokon rendah. Begitu pun sebaliknya jika mortalitas rendah

    maka produksi kokon tinggi. Hal ini diperkuat oleh Yuningsih (2010) yang

    menyatakan bahwa produksi kokon segar yang dipanen sangat ditentukan oleh

    tinggi rendahnya mortalitas ulat, semakin tinggi persentase mortalitas dan

    kontaminasi ulat maka akan semakin rendah produksi kokon segar yang dipanen.

    Pengambilan data dilakukan saat masa pengokonan tersebut berlangsung

    dengan cara menghitung ulat yang mati dalam alat pengokonan yang dinyatakan

    dalam persen. Kemudian data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah

    berikut ini.

    Tabel 4.1 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 7,30 4,08 11,38 1,42

    A2 4,08 6,61 10,69 1,34

    A3 6,05 7,30 13,35 1,67

    Jumlah 17,43 17,99 35,42 1,48

    Rerata 1,45 1,50

    Data tersebut kemudian diolah menggunakan sidik ragam yang menunjukan

    hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya perlakuan

    terhadap mortalitas ulat. Hasil sidik ragam menunjukan bahwa jenis desinfektan

    dan lama desinfeksi pada alat pengokonan berpengaruh tidak nyata terhadap

    mortalitas ulat dengan data hasil transformasi akar kuadrat.

  • 8

    Tabel 4.2 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 2,77 0,55 0,73 ns 2,77

    A 2 0,48 0,24 0,31 ns 3,55

    B 1 0,01 0,01 0,02 ns 4,41

    A x B 2 2,28 1,14 1,51 ns 3,55

    Gallat 18 13,62 0,76

    Total 23 16,39

    Koefisien Keragaman = 58,95 %

    Faktor Koreksi = 52,27

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan tabel 4.2 di atas diketahui bahwa faktor perlakuan A, yaitu

    jenis desinfektan memiliki nilai F Hitung kurang dari nilai F Tabel, artinya faktor

    tersebut berpengaruh tidak nyata terhadap mortalitas. Sama halnya dengan faktor

    B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung lebih kecil dari F tabel yang

    memberikan pengaruh sama terhadap mortalitas ulat. Dalam tabel tersebut juga

    terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi

    terhadap mortalitas ulat yang ditandai dengan nilai F Hitung A x B tidak lebih

    besar dari nilai F tabel.

    Penelitian ini bertujuan untuk menekan mortalitas ulat sehingga

    mendapatkan produksi kokon yang optimal. Mortalitas ulat dihitung pada saat

    panen kokon dengan menghitung antara jumlah ulat yang mati dengan jumlah

    seluruh ulat yang terdapat pada alat pengokonan.

    Ulat yang mati diidentifikasi penyebab kematiannya berdasarkan studi

    literatur. Ulat yang terkena penyakit menunjukan gejala seperti tubuh ulat lunak,

    pada instar V ulat mengeluarkan kotoran lunak, ulat membusuk dan menjadi

    hitam, serta keluar cairan berbau busuk. Berdasarkan gejala tersebut dapat

    ditentukan bahwa penyakit yang menyerang ulat berupa penyakit bakteri.

    Atmosoedarjo dkk.. (2000) menuliskan bahwa penyakit bakteri adalah penyakit

    yang disebabkan oleh bakteri, bakteri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui

    pakan kotor, kondisi lingkungan yang kotor serta kulit ulat sutra yang terkena

    penyakit

  • 9

    Adapun upaya yang telah dilakukan untuk meminimalisir terjadinya

    kontaminasi oleh bakteri adalah dengan cara mencuci pakan pada bejana,

    membersihkan sisa pakan pada rak pemeliharaan dan desinfeksi tangan sebelum

    kegiatan dalam kandang dilakukan. mortalitas ulat pada setiap perlakuan dapat

    diketahui melalui gambar 4.1.

    Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Mortalitas Ulat

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.1 di atas dapat diketahui bahwa setiap perlakuan

    memiliki rerata mortalitas ulat sebesar 1,02% - 1,82%. Berdasarkan pernyataan

    Perum Perhutani PPUS Candiroto (2008 dalam Yuningsih, 2008) bahwa

    persentase mortalitas ulat sutra (Bombyx mori L.) kode C.301 sebesar 3%. Setiap

    perlakuan dapat diterapkan para petani saat budidaya ulat sutra dilaksanakan

    karena dapat menekan mortalitas ulat.

    2. Berat Kokon Segar (gr)

    Berat kokon segar adalah berat kokon yang meliputi pupa dan kulit kokon

    setelah proses flossing dan sebelum proses pengeringan. Panen dilakukan saat

    kokon telah siap untuk dipanen dengan ciri-ciri tertentu. Nazarudin dan Nurcahyo

  • 10

    (1995 dalam Yuningsih, 2010) menyatakan bahwa ciri-ciri kokon yang siap

    dipanen adalah kulit kokon cukup keras dan warna pupa sudah berwarna coklat.

    Pengambilan data berat kokon segar dilaksanakan sesaat setelah panen

    kokon dilaksanakan dengan menimbang kokon beserta pupa tanpa floss setiap unit

    yang dinyatakan dalam satuan gram. Data yang diperoleh dicantumkan dalam

    tabel dua arah di bawah ini.

    Tabel 4.3 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 119,78 129,37 249,15 31,14

    A2 123,73 115,95 239,68 29,96

    A3 119,11 121,12 240,23 30,03

    Jumlah 362,62 366,44 729,06 30,38

    Rerata 30,22 30,54

    Data tersebut kemudian analisis menggunakan sidik ragam yang

    menunjukan hasil berupa notasi yang menggambarkan berpengaruh atau tidaknya

    perlakuan terhadap mortalitas ulat.

    Tabel 4.4 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 26,63 5,33 1,26 ns 2,77

    A 2 7,06 3,53 0,84 ns 3,55

    B 1 0,61 0,61 0,14 ns 4,41

    A x B 2 18,96 9,48 2,25 ns 3,55

    Gallat 18 75,94 4,22

    Total 23 102,58

    Koefisien Keragaman = 6,76 %

    Faktor Koreksi = 22147,02

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan Tabel 4.4 di atas diketahui bahwa faktor A, jenis desinfektan

    dan faktor B, lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung tidak lebih besar dari nilai F

    Tabel. Artinya kedua faktor tersebut berpengaruh sama terhadap berat kokon

  • 11

    segar. Selain itu nilai F Tabel AxB melebihi nilai F Hitungnya yang memberikan

    pengertian bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama

    desinfeksi terhadap berat kokon segar.

    Berat kokon segar erat kaitannya dengan jumlah pakan yang dikonsumsi

    oleh ulat semakin banyak dan bernutrisi tinggi maka akan semakin baik bagi

    pembentukan kokon karena nutrisi yang terdapat pada tubuh ulat digunakan untuk

    pembentukan serat yang kemudian menjadi kokon, sesuai dengan pernyataan

    Norati (1996 dalam Rustini, 2002) bahwa jumlah pakan yang dikonsumsi akan

    sangat menentukan tersedianya cadangan makanan yang pada akhirnya diperlukan

    untuk pembentukan kokon.

    Pertumbuhan ulat sutra dapat mencapai sepuluh ribu kali lipat terhitung dari

    hakitate hingga ulat matang, hal ini yang menunjukan bahwa ulat sutra

    memerlukan pakan yang cukup bagi pertumbuhannya. Terlebih ulat besar yang

    mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pemberian pakan, hal ini dimaksudkan

    untuk menyimpan cadangan makanan untuk pembentukan serat. Sama halnya

    yang dinyatakan oleh Ekastuti dkk. (1995 dalam Rustini, 2002) bahwa produksi

    kokon bergantung pada cadangan energi makanan yang telah dicapai pada akhir

    instar V.

    Penelitian ini menerapkan pemberian pakan dengan volume yang sama

    untuk setiap perlakuan berdasarkan Standard Operational Prosedure (SOP)

    budidaya ulat sutra yang disesuaikan dengan jumlah ulat pada setiap unit

    percobaan.

  • 12

    Gambar 4.2 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Berat Kokon Segar

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt,

    30menit

    A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15

    menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit

    A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30

    menit

    Berdasarkan gambar 4.2 di atas dapat diketahui bahwa rerata berat kokon

    segar berada pada rentan 28,99 - 32,34 gr.

    3. Rerata Berat Kokon Per Butir (gr)

    Rerata berat kokon per butir merupakan rerata berat per satu kokon yang

    meliputi pupa dan kulit kokon. Rerata berat kokon per butir diamati sesaat setelah

    panen kokon dilakukan dengan menimbang kokon setiap perlakuan yang

    kemudian hasil penimbangan tersebut dibagi jumlah kokon. Data yang telah

    diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah di bawah ini.

    Tabel 4.5 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 4,04 4,18 8,22 1,03

    A2 4,10 3,99 8,09 1,01

    A3 3,77 4,12 7,88 0,99

    Jumlah 11,91 12,28 24,19 1,01

    Rerata 0,99 1,02

  • 13

    Data yang diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis

    sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.

    Tabel 4.6 Hasil sidik Ragam Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per butir

    Sumber Db JK KT F Hit

    F tabel

    Keragaman F0.05

    Perlakuan 5 0,03 0,01 1,02 ns 2,77

    A 2 0,01 0,00 0,67 ns 3,55

    B 1 0,01 0,01 1,13 ns 4,41

    A x B 2 0,01 0,01 1,32 ns 3,55

    Gallat 18 0,09 0,01

    Total 23 0,12

    Koefisien Keragaman = 7,17 %

    Faktor Koreksi = 24,38

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan tabel 4.6 di atas dapat diketahui bahwa nilai F tabel perlakuan

    A lebih besar dari nilai F Hitung, artinya faktor perlakuan A, yaitu jenis

    desinfektan berpengaruh tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Selain

    itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F hitung lebih kecil

    daripada F tabel yang menunjukan bahwa faktor perlakuan tersebut berpengaruh

    tidak nyata terhadap rerata berat kokon per butir. Dan tidak terjadi interaksi antara

    jenis desinfektan dan lama desinfeksi karena memiliki nilai F Hitung lebih kecil

    dari F tabel.

    Pembentukan kokon dilakukan ulat ketika masa makan berlangsung yang

    terdiri dari 5 instar. Terutama pada instar 5 ulat mulai memberntuk serat.

    Sedangkan perlakauan diterapkan ketika ulat akan mengokon yang tidak

    memberikan pengaruh tidak nyata.

    Sakaguchy (1978 dalam Rustini 2002) menuliskan bahwa mutu kokon dan

    serat sutra ditentukan oleh jumlah dan mutu pakannya, sedangkan protein sutra

    akan diekresikan apabila asam amino dan air dalam tubuh ulat sutra cukup

    jumlahnya. Nursita (2012) menuliskan bahwa minimnya pemberian air pada

    tanaman juga berperan menurunkan kualitas daun murbei yang dihasilkan.

  • 14

    Katsumata (1964 dalam Rustini 2002) menyatakan bahwa kualitas kokon

    dipengaruhi oleh sifat keturunan dari jenis ulat sutra dan keadaan-keadaan selama

    pemeliharaan dan pengokonan. Lingkungan pada saat pengokonan merupakan

    salah satu yang mempengaruhi kualitas kokon.

    Gambar 4.3 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Rerata Berat Kokon Per Butir

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt,

    15menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.3 di atas, diketahui bahwa rerata berat kokon per

    butir berada pada kisaran 0,94 - 1,04.

    Rerata berat kokon per butir diklasifikasikan berdasarkan SNI kokon segar

    (2010). Sesuai dengan deskripsi ulat sutra kode C.301 memiliki kualitas kokon

    kelas C yaitu berat kokon berrkisar 1,3 gr 1,7 gr. Setelah dilakukan pengamatan

    dapat ditentukan bahwa kokon dalam penelitian ini termasuk ke dalam kualitas D

    karena rerata berat kokon berada

  • 15

    spineret. Semakin baik kandungan dalam pakan maka akan semakin baik pula

    kokon yang dihasilkan. Demikian pula dengan suhu, ulat kecil baik pada

    lingkungan dengan suhu harian 27 C dan ulat besar baik pada lingkungan dengan

    suhu harian 25 C, sedangkan suhu lingkungan saat penelitian mencapai 34 C

    untuk ulat kecil dan 33 C untuk ulat besar. Hal ini mengakibatkan ulat

    bermetabolisme lebih cepat dan umur lebih singkat yang berdampak pada

    sedikitnya cadangan makanan dalam tubuh yang berperan sebagai pembentuk

    protein serat.

    4. Persentase Kulit Kokon (%)

    Kulit kokon merupakan lapisan luar kokon yang terdiri dari serisin dan

    fibroin yang berfungsi sebagai pelindung pupa. Kulit kokon adalah bagian kokon

    yang digunakan pengrajin untuk pembuatan benang. Kulit kokon dinyatakan

    dalam satuan persen (%) dengan perbandingan antara kulit kokon dengan kokon.

    Persentaase kulit kokon merupakan salah satu parameter uji mutu kokon visual

    yang tertera dalam SNI kokon segar. Pengambilan data dilakukan sesaat setelah

    panen kokon dilaksanakan dengan menimbang kulit kokon dan kokon secara

    keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan ke dalam tabel dua arah sebagai

    berikut.

    Tabel 4.7 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Persentse Kulit Kokon

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 78,68 73,35 152,04 19,00

    A2 81,60 79,89 161,49 20,19

    A3 75,08 76,92 152,00 19,00

    Jumlah 235,37 230,16 465,53 19,40

    Rerata 19,61 19,18

    Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis menggunakan sidik

    ragam dengan hasil sebagai berikut.

  • 16

    Tabel 4.8 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 11,81 2,36 0,72 ns 2,77

    A 2 7,48 3,74 1,14 ns 3,55

    B 1 1,13 1,13 0,35 ns 4,41

    A x B 2 3,21 1,60 0,49 ns 3,55

    Gallat 18 58,92 3,27

    Total 23 70,73

    Koefisien keragaman = 9,33 %

    Faktor Koreksi = 9029,96

    Keterangan: ns = berpengaruh tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan Tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa faktor perlakuan A,

    yaitu jenis desinfektan memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase kulit

    kokon yang ditandai dengan nilai F Hitung yang lebih kecil dari nilai F Tabel,

    tidak hanya itu faktor perlakuan B, yaitu lama desinfeksi memiliki nilai F Hitung

    yang tidak lebih besar dari nilai F Table, artinya faktor perlakuan B berpengaruh

    tidak nyata terhadap persentase kulit kokon. Dalam tabel tersebut juga terlihat

    nilai F Hitung AxB tidak melebihi nilai f Tabel, yang menunjukan bahwa tidak

    terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi terhadap persentase

    kulit kokon.

    Katsumata (1994 dalam Fetri, 2001) menyatakan bahwa berat kokon, berat

    kulit kokon, persentase kulit kokon banyak dipengaruhi oleh ras ulat sutra, jenis

    kelamin pupa, jumlah pakan yang diberikan, lingkungan pemeliharaan, dan cara

    pemeliharaan.

    Berdasarkan SNI kokon segar (2010) kokon yang dihasilkan dalam

    penelitian ini termasuk ke dalam kelas C. Hal ini sesuai dengan deskripsi ulat

    sutra kode C.301 dengan persentase kulit kokon berkualitas C, yang berada pada

    kisaran 17,00% - 20,00%.

  • 17

    Gambar 4.4 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan terhadap Persentase Kulit Kokon

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.4 di atas dapat diketahui bahwa persentase kulit

    kokon berkisar antara 18,34 20,40. Persentase kulit kokon pada penelitian ini

    sesuai dengan persentase kulit kokon kode C.301 itu sendiri. Berdasarkan

    pernyataan Pusat Pembibitan Ulat Sutra (PPUS) Candiroto (2008, dalam Rusita,

    2011) bahwa persentase kulit kokon ulat sutra kode C.301 sebesar 18,8%.

    5. Persentase Kokon Cacat (%)

    Kokon cacat merupakan kokon yang berbentuk dan berwarna tidak normal.

    Kokon cacat diamati sesaat setelah panen. Persentase kokon cacat dinyatakan

    dalam satuan persen (%) dengan membandingkan antara berat kokon cacat dengan

    berat kokon keseluruhan. Data yang diperoleh dicantumkan dalam tabel dua arah

    berikut.

  • 18

    Tabel 4.9 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada

    Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 10,43 13,54 23,97 3,00

    A2 10,28 7,03 17,31 2,16

    A3 8,57 4,08 12,66 1,58

    Jumlah 29,28 24,65 53,94 2,25

    Rerata 2,44 2,05

    Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam. Berikut

    adalah tabel hasil sidik ragam dengan data hasil transformasi akar kuadrat.

    Tabel 4.10 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Persentase Kokon Cacat

    Sumber

    Db JK KT F Hit

    F Tabel

    Keragama

    n F 0.05

    Perlakuan 5 13,14 2,63 5,04 * 2,77

    A 2 8,08 4,04 7,76 * 3,55

    B 1 0,89 0,89 1,72 ns 4,41

    A x B 2 4,16 2,08 3,99 * 3,55

    Gallat 18 9,38 0,52

    Total 23 22,51

    Koefisien keragaman = 58,95%

    Faktor Koreksi = 121,21

    Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)

    * = berbeda nyata

    Berdasarkan tabel 4.10 di atas dapat diketahui bahwa nilai F hitung faktor

    perlakuan, faktor A dan interaksi antara A dan B lebih besar daripada nilai F tabel

    yang menunjukan bahwa terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama

    desinfeksi terhadap persentase kokon cacat.

    Atmosoedarjo dkk. (2000) menyatakan bahwa bentuk kokon bergantung

    pada ras ulat sutra. Umumnya dari ras Jepang berbentuk seperti kacang tanah. Ras

    Cina berbentuk elips dan ras Eropa berbentuk elips lebih panjang, ras polypoltine

    berbentuk panjang panjang kurus seperti sepindel. Kokon hibrida memiliki bentuk

    antara kedua ras yang digunakan sebagai induk dan kebanyakan memiliki bentuk

    semi kacang tanah dan semi oval.

  • 19

    Kokon cacat memiliki berbagai kriteria. Antara lain kokon ganda, kokon

    berlubang, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon berujung tipis,

    kokon berkulit tipis, kokon tergencet/tercetak, kokon berbentuk abnormal, kokon

    berserabut, kokon berlapis ganda, kokon tipis tengah.

    Kokon cacat pada penelitian ini didominasi oleh kokon tipis dan tercetak.

    Kokon tipis diakibatkan oleh pembentukan kokon oleh ulat yang lemah. Hal ini

    diperkuat oleh Amtosoedarjo dkk. (2000) bahwa kokon yang dipintal oleh ulat

    yang lemah lapisan sutranya tipis dan lunak. Selain itu ulat yang membentuk

    kokon tipis diakibatkan oleh suhu lingkungan yang terlampau tinggi, kelembaban

    yang tinggi, dan aliran udara yang terlalu keras.

    Sedangkan kokon tercetak diakibatkan oleh bentuk pengokonan yang tidak sesuai,

    pemasangan seriframe yang tidak baik mengakibatkan kokon tercetak. Suhu yang

    tinggi mengakibatkan ulat matang stres dan mengokon di sembarang tempat.

    Uji lanjut menggunakan uji beda nyata terkecil 5%, pengujian dilakukan

    terhadap interaksi antara A dan B dengan hasil sebagai berikut.

    Tabel 4.11 Hasil Uji Lanjut Interaksi antara Jenis Desinfektan dan Lama

    Desinfeksi pada Alat Pengokonan dengan Uji Beda Nyata Terkecil

    (BNT) 5% Terhadap Persentase Kokon Cacat

    Perlakuan Persentase

    Notasi Kokon Cacat (%)

    A1B1 2,61 ab

    A1B2 3,39 a

    A2B1 2,57 ab

    A2B2 1,76 bc

    A3B1 2,14 b

    A3B2 1,02 c

    Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dinyatakan

    berbeda tidak nyata pada taraf 5%

    Persentase kokon cacat terendah ditunjukan oleh perlakuan A3B2 yaitu

    alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5 gr/lt

    yang memiliki pengaruh berbeda tidak nyata dengan perlakuan A2B2 yaitu alat

    pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit.

    Hal ini diduga karena penggunaan kalium permanganat yang diberikan

    lebih banyak dari yang direkomendasikan dalam kemasan. Anjuran yang

  • 20

    ditetapkan adalah larutan 1 gr/lt sedangkan dalam penelitian ini menggunakan 5

    gr/lt selain itu lama perendaman 30 menit memberikan tingkat sanitasi yang lebih

    baik dari pada 15 menit. Demikian pula dengan penggunaan formalin 20 ml/lt

    selama 30 menit yang membuat alat pengokonan steril dari penyakit.

    6. Rendemen Benang (%)

    Rendemen benang adalah berat benang yang dapat diurai dibandingkan

    dengan berat kokon yang diurai yang dinyatakan dalam satuan persen (%).

    Semakin tinggi persentase rendemen benang makan semakin baik kulalitanya.

    Pemintalan kokon dilakukan sehari setelah panen kokon dengan dinier 40. Setelah

    dilakukan pemintalan, dilakukan pengambilan data yang kemudian dicantumkan

    dalam tabel dua arah berikut.

    Tabel 4.12 Tabel Dua Arah Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang

    Perlakuan B1 B2 Jumlah Rerata

    A1 108,41 120,13 228,53 28,57

    A2 128,17 129,23 257,40 32,18

    A3 123,81 126,42 250,23 31,28

    Jumlah 360,39 375,78 736,17 30,67

    Rerata 30,03 31,31

    Data yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis mengunakan analisis

    sidik ragam dengan hasil sebagai berikut.

  • 21

    Tabel 4.13 Hasil Sidik Ragam Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi

    pada Alat Pengokonan terhadap Rendemen Benang

    Sumber Db JK KT F Hit

    F Hit

    Keragaman F 0.05

    Perlakuan 5 74,65 14,93 0,81 ns 2,77

    A 2 56,48 28,24 1,54 ns 3,55

    B 1 9,87 9,87 0,54 ns 4,41

    A x B 2 8,30 4,15 0,23 ns 3,55

    Gallat 18 330,13 18,34

    Total 23 404,78

    Koefisien keragaman = 13,96%

    Fakktor Koreksi = 22580,96

    Keterangan: ns = berbeda tidak nyata (non significant)

    Berdasarkan hasil sidik ragam di atas diketahui bahwa faktor A, faktor B,

    maupun interaksi keduanya memiliki nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F

    tabel yang menunjukan bahwa setiap perlakuan berpengaruh tidak nyata terhadap

    rendemen benang.

    Pada saat pemintalan kokon (reeling), kokon direndam air pada suhu 35

    C selama selama 20 menit agar air masuk ke dalam kokon dan memudahkan pada

    saat perebusan. Selain itu, dengan melaksanakan tahap perendaman, kokon yang

    dipintal tidak mudah putus sehingga tidak menurunkan kualitas kokon. Kokon

    kemudian direbus pada suhu 100 C selama 10 menit agar serisin pada kokon

    terlarut sehingga memudahkan dalam pencarian ujung serat, peoses pemintalan

    dan meregangkan rekatan dalam kokon. Kokon yang dipintal menjadi lunak dan

    tidak mudah kusut atau putus Kokon dipintal pada bak reeling dengan suhu air

    40 C 60 C.

    Ulat sutra yang dipelihara pada lingkungan panas memiliki umur yang

    lebih singkat akibatnya ulat mengkonsumsi pakan lebih sedikit yang berdampak

    pada terhambatnya pertumbuhan dan sedikitnya serat pada kokon yang dihasilkan.

    Sesuai dengan pernyataan Rusita (2011) bahwa benang sutra berasal dari serat

    sutra yang dihasilkan oleh ulat sutra. Semakin banyak serat sutra yang dihasilkan

    maka semakin banyak benang sutra yang dapat diperoleh.

  • 22

    Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Jenis Desinfektan dan Lama Desinfeksi pada Alat

    Pengokonan Terhadap Rendemen Benang

    Keterangan :

    A1B1: kaporit : 5 gr/lt, 15 menit A2B2 : formalin 20 ml/lt, 30 menit

    A1B2 : kaporit : 5 gr/lt, 30 menit A3B1 : kalium permanganat 5 gr/lt, 15 menit

    A2B1 : formalin : 20 ml/lt, 15

    menit A3B2 : kalium permanganat 5 gr/lt, 30 menit

    Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat diketahui bahwa rendemen tertinggi

    diperoleh dari perlakuan A2B2 yaitu alat pengokonan didesinfeksi menggunakan

    larutan formalin 20 ml/lt selama 30 menit sedangkan rendemen terendah diperoleh

    dari perlakuan A1B1 yaitu alat pengokonan didesinfeksi mengunakan larutan

    kaporit 5 gr/lt selama 15 menit. Rendemen benang sutra kode C.301 yang lazim

    ditemui adalah berada antara 15% - 18% (Atmosoedarjo dkk., 2000).

    Rendemen benang pada penelitian ini berada pada kisaran 27,10% -

    32,31%, hal ini diakibatkan oleh proses pengeringan kokon sebelum proses

    reeling sehingga menurunkan kadar air dalam kokon dan mengalami rata-rata

    penyusutan sebesar 52,78 %. Pengeringan dilakukan menggunakan oven dengan

    suhu 120 C selama 60 menit.

  • 22

    IV. KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan dapat diketahui

    bahwa :

    1. Tidak terdapat interaksi antara jenis desinfektan dan lama desinfeksi alat

    pengokonan terhadap mortalitas ulat, berat kokon segar, persentase kulit

    kokon, dan rendemen ulat sutra.

    2. Terdapat interaksi antara jenis desinfektan yang berbeda dan lama

    desinfeksi alat pengokonan terhadap persentase kokon cacat. Perlakuan

    terbaik yang dapat menekan persentase kokon cacat adalah A3B2 yaitu

    alat pengokonan didesinfeksi menggunakan larutan kalium permanganat 5

    gr/liter selama 30 menit.

    3. Berdasarkan SNI Mutu Kokon Segar (2010) kokon pada penelitian ini

    memiliki kelas berat kokon D (2,0 - 5,0 %) yaitu 2,25%. Penentuan

    grade secara umum dilakukan dengan mengambil grade paling rendah.

    Jadi kokon pada penelitian ini termasuk ke dalam grade D (ketiga).

    5.2 Saran

    1. Setiap Jenis Desinfektan dapat digunakan untuk proses desinfeksi alat

    pengokonan karena dapat menekan mortalitas ulat.

    2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi

    kalium permanganat dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga

    diketahui kosentrasi yang tepat untuk digunakan.

    3. Peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat meneliti mengenai konsentrasi

    formalin dan lama desinfeksi alat pengokonan sehingga diketahui

    kosentrasi yang tepat untuk digunakan.

  • 23

    DAFTAR PUSTAKA

    Ahdiat, N. 2010. Bombyx mori Ulat Penghasil Sutra. Bandung: Sinergi Pustaka

    Indonesia.

    Anwar, A. 1991. Pengaruh Pemberian Kapur pada Alat Pengokonan terhadap Produksi Kokon. Dalam Buletin Penelitian Hutan. No 541. Bogor: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan. p.1-6

    Apriani, Y. S. 2014. Pengaruh Jenis Alas Pemeliharaan dan Bahan Sanitasi

    terhadap Mortalitas dan Kualitas Kokon Ulat Sutra (Bombyx mori L.)

    Kode C.301. Jember: Politeknik Neger Jember.

    Atmosoedarjo, S., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh, dan W. Moerdoko.

    2000. Sutra Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.

    Badan Standarisasi Nasional. 2010. Kokon Segar Jenis Bombyx mori L. Jakarta:

    Badan Standarisasi Nasional.

    Bank Indonesia, 2000. Budidaya Ulat Sutra dan Produksi Kokon. Jakarta: Bank

    Indonesia.

    Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutra. Yogyakarta: Kanisius.

    Nahar, M. F., dan W. Prayogi. 2011. Mengenal Desinfektan dan Antiseptik.

    http://environment.uii.ac.id/content/view/273/1/ [20 Juni 2014].

    Nursita, I. W., 2012. Perbandingan Produktifitas Ulat Sutra dari Dua Tempat

    Pembibitan yang Berbeda pada Kondisi Lingkungan Pemeliharaan

    Panas. Malang: Universitas Brawijaya.

    Sericulture, Department. Silkworm Diseases and Pest Control.

    https://www.karnataka.gov.in/sericulture/English/Technologies/SilkWar

    mDiseasesAndPest.aspx [21 Juni 2014].

    Sumardjito, Z. dan Budisusanto, H. 1994. Pengaruh Beberapa Campuran Desinfektan terhadap Mortalitas dan Pertumbuhan Penyakit pada

    Pemeliharaan Ulat Sutra. Dalam Jurnal Penelitian Kehutanan (September VIII). No 2. Ujung Padang: Balai Penelitian Kehutanan

    Ujung Padang. p.24-29.

    Rusita, A. 2011. Pengaruh Penambahan Volume Pakan Malam terhadap

    Produktivitas Kokon pada Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Kode C.301 dan

    BS-09. Jember: Politeknik Negeri Jember.

  • 24

    Rustini,` T. 2002. Hubungan Frekuensi Pemberian Daun Murbei dengan

    Konsumsi Pakan, Pertumbuhan, Efisiensi Pakan dan Kualitas Kokon

    Ulat Sutra (Bombyx mori L.) Bogor: Institut Pertanian Bogor.

    Wibowo, Martina. 2012. Pengaruh Formalin Peroral Dosis Bertingkat selama 12

    Minggu terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal Tikus Wistar.

    Semarang: Universitas Diponegoro.

    Yuanita. 2007. Daya Tahan Hidup Larva, Kualitas Kokon dan Filamen Ulat Sutra

    (Bombyx mori L.) Pada Alat Pengokonan Yang Berbeda. Bogor: Institut

    Pertanian Bogor.

    Yulianti, S. 2011. Pengaruh Konsentrasi Kaporit dan Lama Perendaman Alat

    Pengokonan (Seriframe) terhadap Produksi Kokon Ulat Sutra (Bombyx

    mori L.). Jember: Politeknik Negeri Jember.

    Yuningsih, Y. 2010. Pengaruh Komposisi Formalin, Kaolin, Kapur Tohor Dan

    Abu Sekam sebagai Desinfektan pada Produksi Kokon Ulat Sutra.

    Jember: Politeknik Negeri Jember.