jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

23
 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Kenampakan Pulau Jawa sekarang mencerminkan kondisi geologi masa kini dan geologi Neogen. Meskipun demikian jejak kondisi geologi yang lebih tua daripada Neogen masih dapat ditelusuri dari batuan Pra-Tersier dan Paleogen yang tersingkap ditempat-tempat tertentu di Pulau Jawa seperti di Ciletuh (Jawa Barat), Karangsambung, Bayat, dan Nanggulan (Jawa Tengah). Singkapan batuan Pra-Tersier, seperti yang ditunjukkan oleh singkapan batuan komplek melange (bancuh) Ciletuh, Jawa Barat, Luk Ulo di daerah Karangsambung, Kebumen dan komplek batuan metamorf Perbukitan Jiwo di daerah Bayat, Klaten yang diduga  berlanjut ke arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara Pulau Kalimantan, merupakan bagian dari zona subduksi berumur Kapur Akhir-Paleosen (Asikin, 1974; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson dkk., 1998) (Gambar I.1). Sementara Jalur magmatik Tersier di sepanjang Pulau Jawa menunjukkan sistem subduksi Tersier yang lebih muda (Soeria-Atmadja dkk., 1994) (Gambar I.2). Berdasarkan bukti geologi di atas dapat disimpulkan bahwa selama Paleogen, yakni sejak Paleosen sampai Oligosen, terjadi evolusi geologi yang signifikan, terutama di wilayah Jawa bagian timur, ditandai dengan berubahnya arah zona subduksi yang pada zaman Kapur Akhir-Paleosen berarah timurlaut-baratdaya menjadi berarah barat-timur pada zaman Tersier (Gambar I.3). Fenomena tektonik ini penting untuk dipelajari karena: (I) sampai saat ini perubahan zona subduksi tersebut belum mendapat perhatian yang khusus dan mendalam; pembahasan yang  pernah dibuat hanya bersifat regional (Hamilton, I979; Daly dkk., 1991; Bransden dan Matthews, 1992; Soeria-Atmadja dkk., 1994; Parkinson dkk., 1998; Hall, 1996, 2002; Sribudiyani dkk., 2003), (2) evolusi tektonik tersebut berkaitan erat dengan perkembangan cekungan Tersier di wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya. Disamping itu pada kenyataannya dewasa ini sebagian besar cadangan minyak dan gasbumi di Indonesia berasal dari cekungan Tersier yang produksinya dalam keadaan menurun (Pertamina-BPPKA, 1996).

Upload: mrchie

Post on 14-Apr-2018

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 1/23

  1

Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Kenampakan Pulau Jawa sekarang mencerminkan kondisi geologi masa kini dan

geologi Neogen. Meskipun demikian jejak kondisi geologi yang lebih tua

daripada Neogen masih dapat ditelusuri dari batuan Pra-Tersier dan Paleogen

yang tersingkap ditempat-tempat tertentu di Pulau Jawa seperti di Ciletuh (Jawa

Barat), Karangsambung, Bayat, dan Nanggulan (Jawa Tengah). Singkapan batuan

Pra-Tersier, seperti yang ditunjukkan oleh singkapan batuan komplek  melange 

(bancuh) Ciletuh, Jawa Barat, Luk Ulo di daerah Karangsambung, Kebumen dan

komplek batuan metamorf Perbukitan Jiwo di daerah Bayat, Klaten yang diduga

 berlanjut ke arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara Pulau Kalimantan,

merupakan bagian dari zona subduksi berumur Kapur Akhir-Paleosen (Asikin,

1974; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson dkk., 1998) (Gambar I.1).

Sementara Jalur magmatik Tersier di sepanjang Pulau Jawa menunjukkan sistem

subduksi Tersier yang lebih muda (Soeria-Atmadja dkk., 1994) (Gambar I.2).

Berdasarkan bukti geologi di atas dapat disimpulkan bahwa selama Paleogen,

yakni sejak Paleosen sampai Oligosen, terjadi evolusi geologi yang signifikan,

terutama di wilayah Jawa bagian timur, ditandai dengan berubahnya arah zona

subduksi yang pada zaman Kapur Akhir-Paleosen berarah timurlaut-baratdaya

menjadi berarah barat-timur pada zaman Tersier (Gambar I.3). Fenomena tektonik 

ini penting untuk dipelajari karena: (I) sampai saat ini perubahan zona subduksi

tersebut belum mendapat perhatian yang khusus dan mendalam; pembahasan yang

 pernah dibuat hanya bersifat regional (Hamilton, I979; Daly dkk., 1991;

Bransden dan Matthews, 1992; Soeria-Atmadja dkk., 1994; Parkinson dkk., 1998;

Hall, 1996, 2002; Sribudiyani dkk., 2003), (2) evolusi tektonik tersebut berkaitan

erat dengan perkembangan cekungan Tersier di wilayah Pulau Jawa dan

sekitarnya. Disamping itu pada kenyataannya dewasa ini sebagian besar cadangan

minyak dan gasbumi di Indonesia berasal dari cekungan Tersier yang produksinya

dalam keadaan menurun (Pertamina-BPPKA, 1996).

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 2/23

  2

Gambar I.1. Elemen-elemen tektonik di wilayah tenggara Paparan Sunda dan batas kerak ko

dan jalur melange zaman Kapur (Hamilton, 1979).

2  

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 3/23

  3

Gambar I.2. Jalur magmatik Tersier Pulau Jawa (Soeria-Atmadja dkk., 1994

 3  

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 4/23

  4

Gambar I.3. Posisi lajur-lajur penunjaman (subduksi) Kapur dan Tersier (modifikasi dari Katili, 1975;

4  

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 5/23

  5

Untuk mempertahankan produksi minyak dan gasbumi dibutuhkan target

eksplorasi baru. Salah satu diantara hydrocarbon play yang berpotensi adalah

 berada di bawah Neogene play, yakni Paleogene play, yang telah terbukti dengan

 penemuan cadangan gasbumi yang cukup besar di daerah Banyuurip, Cepu pada

reservoir karbonat Formasi Kujung yang berumur Oligosen (Satyana, 2002).

Paleogene play menjadi alternatif yang menjanjikan untuk mempertahankan

minyak dan gasbumi sebagai sumber devisa negara yang dapat diandalkan.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan difokuskan pada evolusi tektonik 

Paleogen Jawa bagian timur. Yang dimaksud dengan evolusi tektonik Paleogen di

sini adalah perkembangan tektonik yang berkaitan dengan perubahan zona

subduksi lempeng Indo-Australia yang pada zaman Kapur Akhir-Paleosen berarah

 baratdaya-timurlaut menjadi berarah barat-timur pada zaman Tersier Awal

(Paleogen) di daerah Jawa bagian timur.

I.2 Daerah Penelitian

Daerah penelitian mencakup daerah Jawa bagian timur yang meliputi bagian timur 

wilayah propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Gambar I.4). Daerah Jawa bagian

timur dipilih sebagai daerah penelitian berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

•  Evolusi geologi sejak zaman Kapur sampai sekarang menghasilkan jejak-jejak 

struktur, khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya, yaitu: (1) struktur berarah

timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Meratus, (2) berarah utara-selatan atau

disebut Pola Sunda, dan (3) berarah barat-timur atau disebut Pola Jawa

(Pulunggono dan Martodjojo, 1994) (Gambar I.5).

Di Jawa Timur, disamping Pola Jawa yang berasosiasi dengan struktur kompresional, terdapat pola struktur berarah barat-timur yang lain yang

dikenal sebagai Pola Sakala (Pertamina-Robertson Research, 1986). Pola

Sakala berasosiasi dengan zona sesar mendatar RMKS (Rembang-Madura-

Kangean-Sakala) yang menginversi struktur  graben Tersier Awal. Dengan

demikian wilayah Jawa bagian timur merupakan daerah unik secara struktural

karena dua pola struktur utama, yakni Pola Meratus (arah TL-BD) dan Pola

Jawa-Sakala (B-T), berpotongan di wilayah ini.

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 6/23

  6

Gambar I.4. Daerah penelitian dan sebaran singkapan batuan Pra-Tersier dan batuan Paleoge

(modifikasi dari Gafoer dan Ratman, 1999; dan Amin, Ratman, dan Gafoer, 1999

 6  

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 7/23

  7

Gambar I.5. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono d

 7  

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 8/23

  8

•  Dari tiga lokasi singkapan batuan tertua di Jawa, yakni di Ciletuh, Luk Ulo,

dan Bayat, dua lokasi diantaranya, Luk Ulo-Karangsambung, Kebumen; dan

Perbukitan Jiwo-Bayat, Klaten, terdapat di daerah Jawa bagian timur.

•  Data pendukung dan data bawah permukaan dari daerah ini cukup banyak 

mengingat daerah ini merupakan salah satu daerah sumber minyak dan

gasbumi yang masih aktif dieksplorasi dan dieksploitasi.

•  Terdapatnya jaringan jalan atau akses yang mudah ke seluruh bagian daerah

 penelitian sehingga mendukung lancarnya pelaksanaan penelitian lapangan.

1.3  Perumusan Masalah

Perkembangan tektonik Pra-Tersier Pulau Jawa telah banyak diteliti (Asikin,

1974; Katili, 1975; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson dkk., 1998,

Wakita, 2000; Sapiie dkk., 2006). Penelitian terdahulu tersebut umumnya

menunjukkan terdapatnya sistem subduksi Kapur Akhir di sepanjang jalur 

Ciletuh-Karangsambung-Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya. Demikian

 pula halnya dengan sistem subduksi Neogen yang berzona subduksi di Palung

Jawa yang berarah barat-timur dengan busur magmatik yang membentuk 

tulangpunggung Pulau Jawa. Sementara itu tektonik Paleogen sampai saat ini

 belum pernah dibahas secara khusus. Meskipun demikian perkembangan tektonik 

Paleogen secara tidak langsung telah digambarkan oleh peneliti-peneliti terdahulu

dalam kaitannya merekonstruksi perkembangan tektonik Asia Tenggara ataupun

Kepulauan Indonesia (Asikin, 1974; Katili, 1975; Hamilton, 1979; Daly dkk.,

1991; Bransden dan Matthews, 1992; Soeria-Atmadja dkk., 1998; Parkinson dkk.,

1998; Hall, 1996, 2002; Sribudiyani dkk., 2003). Hasil sintesa para peneliti

terdahulu ini mengemukakan model tektonik berbeda-beda yang dapatdikelompokan menjadi tiga: Model non-rotasional, model rotasional, dan model

mikrokontinen.

Model non-rotasional beranggapan bahwa selama perkembangannnya zona

subduksi jalur Meratus tidak dipengaruhi oleh gejala rotasi wilayah Daratan

Sunda yang berasosiasi dengan benturan benua India dengan Asia. Zona subduksi

 jalur Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya pada zaman Kapur berubah

arahnya menjadi barat-timur pada zaman Tersier secara berangsur (Asikin, 1974;

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 9/23

  9

Katili, 1975; Hamilton, 1979) (Gambar I.6). Model rotasional dapat dibedakan

lagi menjadi model rotasional searah jarum jam dan model rotasional berlawanan

 jarum jam. Model rotasional searah jarum jam dikemukakan oleh Daly dkk.

(1991) yang beranggapan bahwa arah zona subduksi Meratus semula berarah

timurlaut-baratdaya.

Pada Paleogen bersamaan dengan tumbukan lempeng kontinen India dengan

lempeng Eurasia, proses subduksi Meratus menjadi tidak aktif dan kemudian

 pada Neogen yang aktif adalah zona subduksi yang berarah barat-timur di palung

Sunda (Gambar I.7.). Model tektonik rotasional lainnya dikemukakan oleh Hall

(1996, 2002) namun dengan arah rotasi berlawanan jarum jam sehingga posisi

Sumatra-Jawa pada Paleogen diperkirakan berorientasi lebih berarah utara-selatan

(Gambar I.8). Sejak Eosen Awal sampai sekarang, Hall (1996) beranggapan

 bahwa Kalimantan terotasi berlawanan jarum jam karena dipengaruhi oleh

 pergerakan ke utara Benua Australia dan pergerakan ke barat Lempeng Samudera

Pasifik. Pada Neogen zona subduksi di selatan Jawa menjadi berarah barat-timur 

dimana di bagian timur zona ini dipengaruhi oleh benturan Benua Australia

dengan busur kepulauan Banda. Mekanisme rotasi berlawanan jarum jam juga

dikemukakan oleh Soeria-Atmadja dkk. (1998) berdasarkan rekonstruksi jalur 

volkano-magmatik sejak Kapur hingga Neogen. Model ini menginterpretasikan

rotasi berlawanan jarum jam zona subduksi Meratus menjadi arah barat-timur 

disebabkan oleh berkembangnya pemekaran di belakang busur (backarc rifting).

Model tektonik mutakhir adalah model tektonik yang melibatkan kehadiran

mikrokontinen. Model tektonik ini menginterpretasikan bahwa zona subduksi arahMeratus menjadi tidak aktif karena tersumbat oleh hadirnya fragmen kontinen

(Parkinson dkk., 1998; Wakita, 2000; Sribudiyani dkk., 2003) (Gambar I.9 dan

I.10). Parkinson dkk. (1998) dan Wakita (2000) menafsirkan bahwa penyumbatan

terjadi pada akhir Kapur Awal di palung Karangsambung-Bantimala oleh sebuah

mikrokontinen. Mikrokontinen ini merupakan kumpulan dari Pulau Sumba,

 platfom Pasternoster, komplek batuan Lolotoi-Mutis di Timor dan Sulawesi

 bagian barat yang kemudian terpisah-pisah pada Paleogen (Parkinson dkk., 1998).

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 10/23

  10

 

Gambar I.6. Evolusi tektonik Indonesia bagian barat mulai dari zaman Kapur 

hingga sekarang yang ditandai oleh berpindahnya zona subduksi ke

arah selatan (Asikin, 1974).

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 11/23

  11

 

Gambar I.7. Rekonstruksi evolusi tektonik Asia Tenggara, dengan arah rotasi

searah jarum jam, mulai dari Kapur Akhir (70 jtl) sampai Oligosen (30

 jtl) menurut Daly dkk. (1991).

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 12/23

  12

 

Gambar I.8. Rotasi berlawanan arah jarum jam dalam evolusi tektonik Kepulauan

Indonesia mulai dari Eosen Awal (50jtl) sampai Miosen Akhir (10jtl)

menurut Hall (1996).

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 13/23

  13

 

Gambar I.9. (A) Paleotektonik bagian tepi timur Daratan Sunda pada Kapur 

Awal-Kapur Akhir menurut Parkinson dkk. (1998); (B) Ilustrasi

 perkembangan tektonik bagian tepi tenggara Daratan Sunda pada

Kapur Akhir menurut Wakita (2000).

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 14/23

  14

 

Gambar I.10. Kerangka tektonik menggambarkan perkembangan tektonik Asia

Tenggara mulai dari 70 jtl sampai dengan 5 jtl. Berpindahnya zona

konvergensi berarah timurlaut-baratdaya pada 70-35 jtl menjadi arah

 barat-timur pada 35-20 jtl akibat penyumbatan oleh tumbukan

lempeng Jawa Timur (Sribudiyani dkk., 2003).

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 15/23

  15

Penyumbatan ini menyebabkan terjadinya proses tumbukan yang menghasilkan

eklogit dan batuan jadeit-glaukofan-garnet-kuarsa, yang merupakan batuan

metamorf bertekanan sangat tinggi, di Karangsambung, Pegunungan Meratus dan

Bantimala. Zona subduksi kemudian berpindah ke selatan pada Kapur Akhir.

Seiring dengan rotasi berlawanan arah jarum jam dari Daratan Sunda pada awal

Tersier, zona subduksi ini akhirnya menjadi berarah barat-timur (lihat Gambar 

I.9). Sribudiyani dkk. (2003), berdasarkan data seismik dan data pemboran baru di

Jawa Timur, juga menafsirkan hadirnya mikrokontinen, yang disebut sebagai

Lempeng mikro Jawa Timur, sebagai penyebab berubahnya zona subduksi arah

Meratus menjadi arah barat-timur.

Munculnya berbagai model tektonik di atas menunjukkan bahwa perkembangan

tektonik Paleogen sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Meskipun

demikian model penyumbatan mikrokontinen lebih luas diterima karena dapat

menjelaskan dengan lebih meyakinkan perkembangan tektonik pada zaman Kapur 

sampai Tersier wilayah Jawa bagian timur dan sekitarnya berdasarkan data-data

geologi yang lebih mutakhir (Bransden dan Matthews, 1992; Wakita, 2000;

Mudjiono dan Pireno, 2001; Sribudiyani dkk., 2003; Smyth dkk., 2005; Clements

dan Hall, 2007).

Keterlibatan mikrokontinen dalam perkembangan tektonik di atas mengakibatkan

di jalur Karangsambung-Meratus terjadi perubahan proses tektonik dari subduksi

ke tumbukan mikrokontinen namun mekanisme dan waktunya masih belum jelas.

Parkinson dkk. (1998) beranggapan terlibatnya mikrokontinen pada akhir Kapur 

Awal, sedangkan Sribudiyani dkk. (2003) berpendapat bahwa peristiwa tumbukanmikrokontinen terjadi lebih kemudian yakni pada Eosen Awal.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan, baik yang belum

diketahui maupun yang masih menjadi perdebatan, berkaitan dengan

 perkembangan tektonik Paleogen daerah penelitian yang meliputi:

1.  Waktu terjadinya perubahan proses tektonik dari subduksi ke tumbukan di

 jalur Karangsambung-Meratus. Sampai saat ini waktu kejadian tersebut masih

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 16/23

  16

diinterpretasikan berbeda-beda, yakni pada Kapur Awal (Parkinson dkk.,

1998) atau pada Eosen Awal (Sribudiyani dkk., 2003).

2.  Keberadaan batuan asal-kontinen di komplek batuandasar yang tersingkap di

daerah penelitian, terutama di daerah Karangsambung dan Bayat. Model

mikrokontinen melibatkan batuan asal-kontinen pada proses tumbukan

lempeng sehingga kemungkinan besar di zona konvergensinya (di jalur 

Karangsambung-Meratus) akan dijumpai keberadaan batuan asal-kontinen.

Meskipun demikian hingga kini belum ditemukan bukti yang jelas, baik dari

singkapan maupun data bawah permukaan, tentang terdapatnya material

kontinen di daerah penelitian. Identifikasi keterdapatan fragmen kontinen

hanya didasarkan pada hasil analisis data sumur di daerah lepas pantai Jawa

Timur (Bransden dan Matthews, 1992; Mudjiono dan Pireno, 2001;

Sribudiyani dkk., 2003) dan analisis  Zircon U-PB SHRIMP (Sensitive High

 Resolution Ion-Microprobe) di daerah Pegunungan Selatan Jawa Timur 

(Smyth dkk., 2005).

3.  Kelanjutan zona konvergensi lempeng pada Paleogen (Tersier Awal). Jalur 

Karangsambung-Meratus secara luas dianggap sebagai zona subduksi Kapur 

namun tentang kelanjutannya pada Paleogen masih memunculkan interpretasi

yang berbeda-beda. Sribudiyani dkk. (2003) menganggap sampai Eosen Awal

zona konvergen masih berada di jalur Karangsambung-Meratus sedangkan

yang lain (Hall, 1996; 2002; Smyth dkk., 2005; Clements dan Hall, 2007)

 berpendapat pada Eosen Awal zona konvergen sudah tidak berada lagi di jalur 

Karangsambung-Meratus karena sudah berpindah di selatan Jawa.

4.  Hubungan genetis struktur Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya

dengan struktur Pola Sakala yang berarah timur-barat. Dua struktur inimerupakan pengendali pembentukan cekungan Tersier di daerah penelitian,

namun hubungan umur dua struktur utama ini diinterpretasikan berbeda-beda

oleh para peneliti terdahulu. Ada yang menganggap Pola Meratus merupakan

struktur tertua (Pulunggono dan Martodjojo, 1994; Simanjuntak dan Barber,

1996) sementara peneliti lain berpendapat sebaliknya, struktur Sakalalah yang

lebih tua (Sribudiyani dkk., 2003). 

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 17/23

  17

1.4 Cakupan Penelitian

Batuan Paleogen serta hubungannnya dengan batuandasar Pra-Tersier di daerah

Jawa bagian timur merupakan fokus penelitian. Daerah Jawa bagian timur yang

dikaji dalam penelitian meliputi wilayah bagian timur Propinsi Jawa Tengah dan

Jawa Timur. Kajian atas batuan Paleogen dan batuandasar di daerah yang

termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah didasarkan pada penelitian lapangan di

lokasi-lokasi dimana batuan Paleogen beserta batuandasar Pra-Tersier tersingkap,

yakni di daerah Karangsambung (Kabupaten Kebumen), Nanggulan (Kabupaten

Kulonprogo), dan Bayat (Kabupaten Klaten). Sedangkan penelitian batuan

Paleogen dan batuandasar di Jawa Timur didasarkan pada data-data bawah

 permukaan (data sumur dan data seismik) yang berasal dari kegiatan eksplorasi

minyak dan gasbumi di daerah daratan maupun daerah lepas pantai Jawa Timur.

1.5  Asumsi dan Hipotesis

Jalur Ciletuh-Karangsambung-Meratus merupakan zona subduksi pada zaman

Kapur. Pada Neogen zona subduksi berada di selatan Jawa dan berarah barat-

timur. Oleh karenanya, penelitian ini berasumsi bahwa pada selang waktu antara

Kapur dan Neogen terjadi perubahan arah zona subduksi searah jarum jam dari

zona subduksi berarah timurlaut-baratdaya (arah Meratus) menjadi arah timur-

 barat (arah Jawa). Hipotesis yang diajukan untuk mengarahkan penelitian ini

adalah bahwa evolusi tektonik daerah penelitian yang dicirikan oleh perubahan

tektonik di Jawa diakibatkan oleh kehadiran mikrokontinen yang awalnya berasal

dari Gondwana.

1.6 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pertama-tama adalah mempelajari perkembangan tektonik 

daerah penelitian mulai dari zaman Kapur hingga Paleogen. Hasil dari

mempelajari perkembangan tektonik ini kemudian digunakan untuk pemodelan

konseptual geologi sehingga diperoleh gambaran evolusi tektonik daerah

 penelitian.

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 18/23

  18

1.7 Pentingnya Penelitian

Secara keilmuan model evolusi tektonik yang dihasilkan oleh penelitian ini

diharapkan dapat memperbaharui konsep geologi tentang evolusi Paleogen Pulau

Jawa khususnya, mengenai kelanjutan zona subduksi dan dan secara umum

tentang waktu terjadinya perubahan tektonik di daerah tepi tenggara Daratan

Sunda yang merupakan inti wilayah tektonik Indonesia bagian barat. Disamping

itu, model evolusi tektonik Paleogen dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan

sehingga diharapkan dapat menjelaskan perkembangan cekungan yang ada di

daerah Jawa bagian timur. Pengetahuan tentang perkembangan cekungan

merupakan bagian penting dalam eksplorasi minyak dan gasbumi baik di daerah

 penelitian maupun di daerah lain yang memiliki tataan tektonik yang sama.

I.8 Metodologi

Penelitian ini secara umum didasarkan pada evaluasi data lapangan, data

 pendukung lain yang berupa data sumur dan data seismik. Untuk tercapainya

tujuan penelitian diperlukan pengkajian yang teliti yang meliputi: Memetakan dan

menganalisis batuan Paleogen untuk mengetahui stratigrafi, struktur, provenan,

dan lingkungan pengendapannya, membandingkan hubungan stratigrafi dan

struktur antara endapan Paleogen dan batuandasar yang terdapat di lokasi yang

 berbeda-beda di daerah penelitian (di Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan

Jawa Timur) untuk menginterpretasi paleogeografinya (Gambar I.11).

I.8.1 Data Lapangan

Data lapangan dikumpulkan melalui serangkaian penelitian lapangan selama

 periode musim kemarau (bulan Juni sampai Agustus) tahun 2004 dan 2005 didaerah-daerah Karangsambung, Nanggulan, dan Bayat dimana terdapat singkapan

 batuan Paleogen dan batuandasar Pra-Tersier. Penelitian lapangan diutamakan

 pada pemetaan batuan Paleogen dan kontaknya dengan batuandasar melalui

lintasan-lintasan terpilih. Pemilihan lintasan ini dilakukan dengan panduan peta-

 peta geologi yang diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi. Peta dasar untuk 

 penelitian lapangan digunakan peta rupabumi berskala 1:25.000 produksi

Bakosurtanal tahun 2000. Demi ketepatan dan efektifitas dalam penentuan lokasi

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 19/23

  19

 pengamatan digunakan alat GPS Garmin 3-Plus dengan ketelitian 2 sampai 8 m.

Sebanyak 462 sampel batuan dikumpulkan selama penelitian lapangan ini. Sampel

ini kemudian dipilah untuk keperluan analisis laboratorium yang meliputi analisis

 petrografi, analisis provenan (metoda  point counting), analisis paleontologi,

analisis mineral lempung dengan metoda difraksi Sinar X, dan analisis umur 

absolut dengan metoda penanggalan K-Ar. Analisis yang lain adalah analisis

struktur terhadap data pengukuran struktur primer (kedudukan perlapisan batuan)

dan struktur sekunder (kekar dan sesar). Disamping itu berdasarkan data-data

tersebut di atas dibuat penampang-penampang struktur, korelasi sumur dan

 penampang stratigrafi.

I.8.1.1 Analisis Petrografi

Analisis petrografi dilakukan pertama kali terhadap sebagian besar sampel batuan

yang dikumpulkan. Setelah sampel batuan disayat setebal 0,03 mm kemudian

diamati di bawah mikroskop polarisasi. Disamping untuk menyeleksi sampel

 batuan untuk analisis lebih lanjut, misalnya untuk analisis provenan, analisis

mineral lempung, dan analisis geokimia batuan. Analisis petrografi juga dilakukan

untuk mempelajari tekstur dan mineralogi batuan serta proses-proses sekunder 

seperti adanya gejala ubahan mineral dan deformasi mikroskopis yang

menghasilkan mikro struktur terutama pada batuan metamorf.

I.8.1.2 Analisis Provenans

Analisis ini dilakukan dengan metoda  point counting terhadap 34 sampel-sampel

 batupasir Paleogen, terutama batupasir Eosen, yang dijumpai di daerah-daerah

Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa Timur. Khusus untuk empat batupasir Eosen yang berasal dari cekungan Jawa Timur sampel batuannya

merupakan inti pemboran sumur-sumur: Dander-1, Kujung-1, JS 44A-1, dan L

46-1. Penentuan kriteria unsur-unsur komposisi (Q, F, L) dan (Lm, Lv, Ls)

merujuk Dickinson dkk., (1983) dan Ingersoll dan Suczek (1979). Hasil analisis

ini disajikan dan dibahas pada Bab IV tentang batuan Paleogen.

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 20/23

  20

I.8.1.3 Analisis Paleontologi

Analisis paleontologi yang dilakukan terdiri dari analisis foraminifera dan analisis

fosil nanno. Analisis fosil nanno dilakukan pada sampel-sampel batulempung

diamana tidak dijumpai fosil foram, terutama pada sampel batulempung yang

 berasal dari Bayat dan Karangsambung. Semua fosil foram besar di analisis

dengan pengamatan pada sayatan tipis sehingga tingkat identifikasinya kadang

hanya terbatas pada level genus.

I.8.1.4 Analisis Mineral Lempung

Dalam menganalisis 23 sampel batulempung, yakni sampel batulempung yang

 berasal dari daerah Karangsambung, digunakan metoda difraksi Sinar X. Analisis

dilakukan di Laboratorium Sedimentologi, Lemigas di Jakarta. Metoda difraksi

Sinar X dilakukan disamping untuk mengetahui komposisi batulempung yang

dianalisis juga untuk mengetahui kristalinitas mineral illit dan kloritnya.

I.8.1.5 Penanggalan Batuan

Selama ini batuandasar komplek batuan metamorf Perbukitan Jiwo, Bayat oleh

 peneliti terdahulu disebandingkan dengan batuandasar Komplek  Melange Luk 

Ulo, Karangsambung yang berumur Kapur (Ketner dkk., 1976; Hamilton, 1979).

Sementara itu sampai saat ini umur batuan metamorf Bayat belum diketahui

sehingga kesebandingan yang dilakukan kurang memiliki dasar dari segi umur.

Oleh karena itu, mengetahui umur batuan metamorf yang berasal dari Perbukitan

Jiwo, Bayat menjadi penting. Hal inilah yang mendorong penelitian ini melakukan

 penanggalan batuan metamorf Bayat.

Meskipun terdapat keterbatasan dalam penentuan umur yang tua karena adanya

efek kelebihan Ar, penanggalan K-Ar dipilih karena pada umumnya umur absolut

 batuan metamorf Karangsambung dan batuandasar Cekungan Jawa Timur juga

ditentukan berdasarkan penanggalan K-Ar. Penanggalan K-Ar adalah salah satu

metoda untuk menentukan umur absolut batuan atau mineral. Untuk mengetahui

umur absolut sampel batuan telah dilakukan penentuan umur berdasarkan metoda

ini terhadap tiga sampel batuan, dua sampel batuan metamorf (sampel BY-50B1

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 21/23

  21

dan BY-50B2) dari daerah Bayat dan satu sampel batuan diorit yang merupakan

inti batuandasar Sumur JS-44 A-1. Analisis dilakukan oleh Laboratorium Geologi

P3G Bandung. Uraian tentang teknik penanggalan K-Ar beserta hasilnya

dicantumkan pada Lampiran D.

I.8.1.6 Analisis Struktur

Dengan foto udara maupun citra penginderaan jauh dilakukan analisis

 pendahuluan terutama tentang pola struktur daerah penelitian. Pola struktur yang

didapatkan dari analisis ini dibantu dengan peta geologi regional dipakai sebagai

dasar menentukan lintasan-lintasan terpilih untuk penelitian lapangan. Analisis

struktur dilakukan berdasarkan data pengukuran unsur-unsur struktur primer 

(bidang perlapisan) maupun struktur sekunder (kekar, sesar, foliasi) yang

diperoleh dari pengukuran di lapangan. Data kemudian dianalisis secara statistik 

dengan menggunakan metoda stereografi.

I.8.2 Data Seismik

Data seismik yang digunakan terutama untuk interpretasi geologi bawah-

 permukaan daerah lepas pantai Jawa Timur diperoleh dari PT Patra Nusa Data,

dan dari KPS-KPS (Lundin Banyumas, B.V., Lapindo Brantas Inc., Pertamina,

PetroChina East Java) atas ijin Dirjen MIGAS melalui surat Direktur Eksplorasi

dan Eksploitasi (Tanggal: 18 Nopember 2003, Nomor: 6079/23/DME/2003,

Perihal: Permohonan penggunaan data untuk keperluan Program Doktor bidang

studi Teknik Geologi di ITB). Data seismik yang lain bersumber dari publikasi

Pertamina-Beicip (1985) tentang potensi hidrokarbon Indonesia bagian barat.

Semua data seismik yang digunakan berupa hardcopy dan digital image sehinggainterpretasinya dilakukan secara manual. Dalam menganalisis penampang

seismik, interpretasi seismik yang dilakukan ditekankan pada identifikasi satuan-

satuan tektonostratigrafi, misalnya satuan-satuan:  pre-rift, syn-rift, post-rift,dan

inversi, yang mencerminkan adanya hubungan erat antara struktur dengan

stratigrafinya.

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 22/23

  22

I.8.3 Data Sumur

Seperti halnya data seismik, data sumur yang digunakan berasal dari instansi dan

 proses perijinan yang sama, yakni bersumber sebagian besar dari Patra Nusa Data

(PND) atas ijin Dirjen Migas. Sumber data sumur yang lain adalah laporan tak-

terpublikasikan dari Pertamina-Robertson Research (1996). Data sumur yang

dipakai terdiri dari sampel batuan Paleogen dan batuandasar inti pemboran dan

laporan final sumur-sumur di Cekungan Jawa Timur. Sampel inti pemboran

 batuan Paleogen dan batuandasar Pra-Tersier yang berhasil diperoleh berjumlah

46 sampel berasal dari 20 sumur. Evaluasi atas data sumur yang umumnya terdiri

dari laporan final sumur dan log final diutamakan di level stratigrafi Paleogen dan

 batuandasar. Data sumur ini disamping untuk mengetahui umur dan litologi

 batuan Paleogen dan batuandasar juga digunakan untuk mengikat horison seismik 

 pada penampang-penampang seismik yang melewati atau berdekatan dengan

sumur yang bersangkutan, dan untuk korelasi struktur dan stratigrafi sehingga

dapat diidentifikasi cekungan Paleogennya.

7/27/2019 jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/jbptitbpp-gdl-caroluspra-22588-2-2007dis-1pdf 23/23

 

Gambar I.11. Diagram alir penelitian.