jawaban psikologi pembelajaran
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Soal.
1. Jelaskan hubungan antara filsafat dengan psikologi pembelajaran.
Penjelasan :
Pengertian Psikologi
Apa itu psikologi: secara etimologis, istilah psikologis berasal dari yunani dari
kata PSYCHE yang berarti jiwa dan LOGOS yang berarti ilmu. Jadi secara
harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-
gejala kejiwaan. Begitulah, untuk rentang waktu yang relatif lama, terutama
ketika psikologi masih merupakan bagian atau cabang dari filsafat. Akan tetapi
sejak psikologi berdiri dari ilmu ilmu induknya filsafat mulailah timbul
kesulitan-kesulitan karena salah satu tuntutan ilmu pengetahuan adalah bahwa
hal-hal yang dipelajari dalam ilmu itu harus dapat dibuktikan dengan nyata
padahal untuk membuktikan adanya jiwa sebagai sesuatu yang nyata adalah
tidak mungkin, apalagi untuk mengukur atau menghitungnya dengan alat-alat
yang objektif bertitik tolak dari anggapan psikologi haruslah melalui
mempelajari sesuatu yang nyata (konkrit).
Pengertian Filsafat
Filsafat secara etimologis dari bahasa Yunani PHILOSOPHIA, Pilos artinya
suka cinta atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sofia artinya
kebijaksanaan. Definisi Filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak
dan fungsinya ialah sebagai berikut:
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan
alam yang biasanya diterima secara tidak keritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan
sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, artinya
filsafat berusaha untuk mengobinasikan hasil bermacam-macam sanis dan
pengalaman kemanusiaan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata
dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga
logosentrisme.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung yang mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli
filsafat.
(Drs. Rizal Mustansyir, M.Hum, 2002:2).
Hubungan Filsafat dengan Psikologi Pembelajaran
Filsafat adalah hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya, filsafat
memang berangkat dari apa yang dialami manusia, karena tidak ada
pengetahuan jika tidak bersentuhan dahulu dengan indra sedangkan ilmu yang
hendak menelaah hasil pengindraan itu tidak mungkin mengambil keputusan
dengan menjalankan pikiran, tanpa menggunakan dalil dan hukum pikiran yang
tidak mungkin dialaminya bahkan ilmu dengan amat tenang menerima sebagai
kebenaran bahwa pikiran manusia itu ada serta mampu mencapai kebenaran
dan tidak pernah diselidiki oleh ilmu sampai dimana dan bagaimana budi
manusia dapat mencapai kebenaran ilmu itu.
Filsafat memerlukan data dari ilmu, jika ahli filsafat manusia hendak
menyelidiki adakah manusia itu, Ia harus mengetahui gejala tindakan manusia.
Dalam hal ini, ilmu yang bernama Psikologi akan menolong filsafat dengan
sebaik-baiknya dengan hasil penelitiannya. Kesimpulan filsafat tentang
manusia akan sangat pincang dan mungkin jauh dari kebenaran jika tidak
menghiraukan hasil psikologi sebagai literatur disebutkan, sebelum menjadi
disiplin ilmu yang mandiri, psikologi memiliki akar-akar yang kuat dalam ilmu
pembelajaran dan filsafat yang hingga sekarang masih nampak pengaruhnya.
Filsafat sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya membantu manusia
dalam mengorientasikan diri dalam dunia. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut
secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat
mungkin, semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Dengan
demikian ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai suatu kesatuan yang
dinamis. Dalam hal ini, peranan filsafat terhadap semua disiplin ilmu termasuk
psikologi, hanya sebagai penggagas dan peletak dasar, dan selanjutnya ilmu-
ilmu itulah yang berkembang sesuai dengan objek kajianya masing-masing.
K. Bertens memberikan lima hal yang menyangkut peranan dari filsafat
bagi perkembangan ilmu-ilmu yang lain :
1) Filsafat dapat menyumbang untuk memperlancar integrasi antara
ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan, yang disinyalir kecondongan
ilmu pengetahuan untuk berkembang ke arah spesialisasi yang
akhirnya menimbulkan kebuntuan. Tetapi pada filsafat tidak ada
spesialisasi khusus, filsafat bertugas untuk memperhatikan
keseluruhan dan tidak berhenti pada detail-detailnya.
2) Filsafat dapat membantu dalam membedakan antara ilmu
pengetahuan dan scientisme. Dengan scientisme dimaksudkan
pendirian yang tidak mengakui kebenaran lain daripada kebenaran
yang disingkapkan oleh ilmu pengetahuan dan tidak menerima
cara pengenalan lain daripada cara pengenalan yang dijalankan
oleh ilmu pengetahuan, dengan demikian ilmu pengetahuan
melewati batas-batasnya dan menjadi suatu filsafat.
3) Tidak dapat disangkal bahwa hubungan antara filsafat dengan ilmu
pengetahuan lebih erat dalam bidang pengetahuan manusia
daripada bidang ilmu pengetahuan alam.
4) Salah satu cabang filsafat yang tumbuh subur sekarang ini adalah
apa yang disebut “foundational research“ suatu penelitian kritis
tentang metode-metode, pengandaian-pengandaian dan hasil ilmu
pengetahuan positif.
5) Peranan filsafat dalam kerja sama interdisipliner pasti tidak dapat
dibayangkan sebagai semacam “pengetahuan absolut“.
Manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan objek dari filsafat yang
antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, tujuan hidup manusia,
dan sebagainya. Sekalipun psikologi pada akhirnya memisahkan diri dari
filsafat, karena metode yang ditempuh sebagai salah satu sebabnya, tetapi
psikologi masih tetap mempunyai hubungan dengan filsafat. Bahkan
sebetulnya dapat dikemukakan bahwa ilmu-ilmu yang telah memisahkan diri
dari filsafat itupun tetap masih ada hubungan dengan filsafat terutama
mengenai hal-hal yang menyangkut sifat hakikat dan tujuan dari ilmu
pengetahuan.
Seperti telah dikemukakan diatas, psikologi mempunyai hubungan antara
lain dengan biologi, sosiologi, filsafat, ilmu pengetahuan, tetapi ini tidak berarti
bahwa psikologi tidak mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain diluar
ilmu-ilmu tersebut. Justru karena psikologi memilki mempelajari manusia
sebagai makhluk bersegi banyak, makhluk yang bersifat kompleks maka
psikologi harus bekerjasama dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi sebaliknya setiap
cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia akan kurang
sempurna bila tidak mengambil pelajaran dari psikologi. Dengan demikian,
akan terdapat hubungan yang timbal balik.
Setelah psikologi berpisah dengan filsafat dan berdiri sendiri sebagai
sebuah cabang ilmu yang baru; nampaknya psikologi, melalui berbagai
penelitiannya berusaha memberikan gambaran bahwa psikologi mengikuti
aturan-aturan penelitian yang berlaku dengan menggunakan cara yang
sistematik dan metodologis sehingga hasil penelitiannya dapat
dipertanggungjawabkan secara empirik.
Kebutuhan keilmiahan psikologi tersebut nampaknya baru terpecahkan
ketika Wilhelm Wundt (1832-1920) dan kawan-kawannya memulai
menerapkan metode yang baru dalam bidang psikologi eksperimen. Dalam
laboratorium eksperimen pertama yang didirikannya pada tahun 1879 di
Universitas Leipzig (Jerman), Wundt kemudian mulai melakukan serangkaian
eksperimen untuk menguji fenomena-fenomena yang dulunya merupakan
bagian dari filsafat.
Namun demikian, meskipun pengaruh filsafat bagi perkembangan ilmu
psikologi masih dapat dirasakan dalam setiap penelitian yang dihasilkan, hal
ini tentunya tidak terlepas dari bidang garapan yang lebih banyak mempunyai
kesamaan dengan filsafat itu sendiri. Dengan diakuinya psikologi sebagai ilmu
pengetahuan yang berusaha menempatkan metode penelitian yang sistematis
dan ilmiah, psikologi menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu cabang ilmu
yang mampu menempatkan metode-metode ilmiah sebagai bagian dari
penelitiannya.
Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang filsafat, memberikan
sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat ilmu adalah
cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan
begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan
kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini
penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya
sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog
sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang
ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap
sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak,
melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa
menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya,
dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan
sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
Sebagai cabang ilmu, psikologi termasuk dalam ilmu-ilmu kemanusiaan,
khususnya ilmu-ilmu sosial. Ciri ilmu-ilmu kemanusiaan adalah memandang
manusia secara keseluruhan sebagai objek dan subjek ilmu. Ciri lainnya
terletak pada titik pandang dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-
ilmu alam. Ciri lain lagi muncul sebagai akibat ciri tersebut yaitu bahwa antara
subjek dan objek ilmu-ilmu kemanusiaan terdapat proses saling
mempengaruhi. Psikologi sebagai bagian dari ilmu kemanusiaan juga memiliki
ciri-ciri tersebut . Berhadapan dengan ilmu-ilmu itu salah satu tugas pokok
filsafat ilmu adalah menilai hasil ilmu-ilmu pengetahuan dilihat dari sudut
pandang pengetahuan manusia seutuhnya. Ada dua bidang sehubungan dengan
masalah pengetahuan yang benar, yaitu (1) ikut menilai apa yang dianggap
tepat atau benar dalam ilmu-ilmu; (2) memberi penilaian terhadap sumbangan
ilmu-ilmu pada perkembangan manusia guna mencapai pengetahuan yang
benar.
Dengan demikian, filsafat ilmu dapat berperan dalam menilai secara
kritis apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang benar dalam ilmu
psikologi. Sebagaimana telah diungkapkan, ilmu-ilmu mempunyai sumbangan
yang sangat besar bagi manusia. Sumbangan-sumbangan itu mendukung
peradaban manusia, karena itu patut dihargai. Namun demikian kadang
terdapat kelemahan yang perlu dicermati, yakni apabila para pelaku ilmu
berpendapat bahwa di luar ilmu-ilmu mereka tidak terdapat pengetahuan yang
benar. Kelemahan lainnya adanya anggapan tentang kebenaran dikemukakan
secara eksplisit dengan mengabaikan bidang filsafat yang dengan demikian
sebenarnya sudah dimasuki oleh para pelaku ilmu yang bersangkutan.
Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan
suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dalam penyelidikannya filsafat
berangkat dari apa yang dialami manusia. Ilmu psikologi menolong
filsafat dalam penelitiannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan
‘pincang’ dan jauh dari kebenaran jika tidak mempertimbangkan hasil
psikologi.
Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu,
psikologi, dan semua ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam
filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam
tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat
ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat
modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar
historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi
di dalamnya.
Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi
perkembangan ilmu psikologi, yakni etika. Yang dimaksud etika disini adalah
ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang
terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktik ilmiah, para ilmuwan
membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar
nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai
praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja
mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik
profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral,
hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik
tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu,
termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran
etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia.
Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.
Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi
adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich
Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme
sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu
bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu
yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam
hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai
individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup.
Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi
pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi
eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang
manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi,
terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu. Saya pernah
memberikan kuliah psikologi eksistensial, dan menurut saya, temanya sangat
relevan, supaya ilmu psikologi menjadi lebih manusiawi. Ini adalah pendekatan
alternatif bagi psikologi klinis.
Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode
fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi.
Fenomenologi sendiri memang berkembang di dalam filsafat. Tokoh yang
berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred Schultz, dan
Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang mau
secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-
asumsi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan.
Fenomenologi ingin memahami benda sebagai mana adanya. Slogan
fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi
ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada peneliti.
Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif,
yang memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia.
Dengan menggunakan metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin
manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa yang sesungguhnya
terjadi di dalam realitas.
Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu
psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi
kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu
kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi
bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu
memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi
tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis.
Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus
menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi
kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis
terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih
manusiawi.
Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa
memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-
teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu
cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang
fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara,
legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang
membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar
bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu
yang komprehensif.
Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal,
sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, bagi para psikolog, baik
praktisi maupun akademisi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke
lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Dengan ilmu logika, yang
merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir
yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu
pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode
pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-
prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa
mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan rasional.
Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan
cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.
Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa
diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih
percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara
berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’
teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan
kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu
contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini
sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti
teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang
menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.
Berdasarkan uraian beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa
filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang berusaha untuk menjawab
pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis,
epistemelogis maupun aksiologisnya guna memperolah suatu kebenaran. Dan
psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam interaksi
dengan lingkungannya. Hubungan antara filsafat ilmu dengan psikologi
pembelajaran, diantaranya :
a. Filsafat ilmu dapat berperan dalam menilai secara kritis apa yang dianggap
sebagai pengetahuan yang benar dalam ilmu psikologi pembelajaran.
b. Filsafat itu mempertanyakan jawaban, sedangkan psikologi pembelajaran
menjawab pertanyaan (masalah). Jadi dengan berfilsafat, tenaga pendidik
mendapatkan solusi dari permasalahan peserta didiknya.
c. Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi; dalam metode,
filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif
pendekatan di dalam ilmu psikologi pembelajaran.
Disetiap cabang ilmu pastilah terdapat koherensi antara ilmu satu dan ilmu
yang lainnya. Maka dalam mempelajari suatu ilmu janganlah terpaku dalam
satu bidang ilmu tersebut. Seperti contoh dalam filsafat ilmu yang berkaitan
dengan psikologi pembelajaran, dalam menyimpulkan secara filsafat tentang
manusia tidak akan memperoleh suatu kebenaran apabila tidak
mempertimbangkan segi hasil psikologisnya. Oleh sebab itu setiap orang
dituntut untuk bisa berpikir secara filsafat, yaitu secara rasional, berdasar
empirik, pragmatis dan mendasar. Psikologi pembelajaran bertujuan memberi
bekal kepada para profesional sebagai pendidik (guru) untuk menguasai
konsep-konsep dan teori-teori psikologi serta menerapkannya dalam kegiatan
pembelajaran.
Dalam realitasnya Psikologi pembelajaran menitik beratkan kajiannya pada
pemahaman berbagai tingkah laku peserta didik dalam situasi belajar mengajar.
Dengan menguasai teori-teori psikologi ini, diharapkan para guru kelak dapat
melaksanakan KBM secara efektif dan produktif serta memiliki kualitas yang
baik dalam berkomunikasi maupun dalam memperlakukan peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA :
Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana
Prima
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan
Bercorak Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. M. 2003. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
2. Jelaskan arti istilah kognitif, alasan apa yang mendasari Jean Piaget membagi
perkembangan kognitif menjadi empat tahapan dan apa hubungan kognitif
dengan tingkah laku.
Penjelasan:
© Pengertian Kognitif:
Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara
umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari tahapan
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan
(aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation).
Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk
mengembangkan kemampuan rasional (akal).
Selain itu istilah kognitif seringkali dikenal dengan istilah intelek. Intelek
berasal dari bahasa Inggris “intellect” yang menurut Chaplin (1981) diartikan
sebagai:
a. Proses kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan
menilai dan kemampuan mempertimbangkan.
b. Kemampuan mental atau inteligensi.
Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk
mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain.
Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih
menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara
kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif. Dari
aspek tenaga pendidik misalnya. Seorang guru diharuskan memiliki
kompetensi bidang kognitif. Artinya seorang guru harus memiliki kemampuan
intelektual, seperti penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara
mengajar, pengetahuan cara menilai siswa dan sebagainya.
Menurut Piaget (Hetherington & Parke, 1975) menyebutkan bahwa
“Kognitif adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek
dan kejadian-kejadian di sekitarnya”. Piaget memandang bahwa anak
memainkan peran aktif di dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas,
anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya walaupun proses berpikir
dan konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalamannya
dengan dunia sekitar dia, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi
yang ia peroleh dari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada
pengetahuan dan konsepsi. Dengan kata lain, anak dapat membangun secara
aktif dunia kognitif mereka sendiri.
Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari
perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian
(adaptasi). Kecenderungan organisasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan
bawaan setiap organisme untuk mengintegasi proses-proses sendiri menjadi
sistem-sistem yang koheren. Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan
bawaan setiap organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
keadaan sosial.
Untuk menyesuaikan diri terbagi ke dalam dua cara, yaitu: asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru
ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah
terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru.
© Alasan Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi 4 :
Sekitar umur 2-4 tahun, anak-anak cenderung menunjukkan banyak
kebingungan antara simbol dengan objek yang mereka hadirkan. Pada tingkat
perkembangan kognitif, mereka tidak mau mengakui bahwa kata-kata
merupakan simbol yang berubah-ubah pada objek dan kejadian, dan bahwa
orang dapat berkumpul serta memutuskan untuk menggunakan kata-kata yang
berbeda untuk benda-benda. Bahkan mereka cenderung untuk berpikir tentang
kata-kata sebagai milik yang melekat pada objek dan kejadian.
Jean Piaget, ahli psikologi dari Swiss, memandang banyak persoalan
perkembangan kognitif termasuk cara anak-anak memahami hubungan antara
simbol dan objek, bagaimana anak-anak berusaha untuk memecahkan masalah,
pengetahuan anak-anak tentang sebab akibat, dan kemampuan mereka untuk
mengelompokkan objek dan mengikutsertakan pemikiran yang pasti.
Perkembangan kognitif berpusat pada perkembangan cara penerimaan dan
mental anak. Menurut Piaget, anak-anak mencoba berusaha memahami hal-hal
baru untuk mengembangkan pola pikir anak dan jika pemahaman anak tidak
tercapai, maka anak akan berusaha untuk menyesuaikannya dengan cara
membatasinya.
Oleh karena itu Piaget mengidentifikasi 4 (empat) tahapan utama
perkembangan kognitif yaitu sensorimotor, pra-operasional, operasional
konkrit dan operasional formal.
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Walaupun tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi
urutannya selalu sama. Tidak ada tahapan yang diloncati dan tidak ada
urutan yang mundur.
- Universal (tidak terkait budaya).
- Bisa digeneralisasi:representasi dan logika dari opreasi yang ada dalam diri
seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan.
- Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara
logis.
- Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen
dari tahapan sebelumnya, tapi lebih bersifat terdiferensiasi dan terintegrasi).
- Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model
berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif.
Implementasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran:
- Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena
itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara
berpikir anak.
- Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan
dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan
lingkungan sebaik-baiknya.
- Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak
asing.
- Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangan.
- Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara
dan diskusi dengan teman-temannya.
Inti dari Implementasi teori Piaget dalam pembelajaran, antara lain:
- Memfokuskan pada proses berpikir atau proses mental anak tidak sekedar
pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus
memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban
tersebut.
- Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali
dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi
penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya
sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
- Tidak menekankan pada praktik-praktik yang diarahkan untuk menjadikan
anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
- Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan,
teori piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui
urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan
kecepatan yang berbeda.
Tujuan teori Piaget adalah untuk menjelaskan mekanisme dan proses
perkembangan intelektual sejak masa bayi dan kemudian masa kanak-kanak
yang berkembang menjadi seorang individu yang dapat bernalar dan berpikir
menggunakan hipotesis-hipotesis. Piaget menyimpulkan dari penelitiannya
bahwa organisme bukanlah agen yang pasif dalam perkembangan genetik.
Perubahan genetik bukan peristiwa yang menuju kelangsungan hidup suatu
organisme melainkan adanya adaptasi terhadap lingkungannya dan adanya
interaksi antara organisme dan lingkungannya.
Hal ini dikarenakan setiap bertambahnya usia anak yang dimulai dari sejak
bayi, akan berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan intelek si anak.
Perkembangan intelek ini sebagai gambaran untuk mengatasi atau menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi, baik itu secara fisik maupun intelektualnya.
Akan tetapi hal ini tidak akan terjadi kepada anak yang terlahir cacat fisik
maupun mental.
Berlandaskan pemikiran ini pula Jean Piaget membagi perkembangan
kognitif menjadi empat tahapan, supaya setiap perkembangan anak, kita dapat
memberikan perlakuan yang berbeda sesuai jenjang usianya.
Kritik terhadap teori Piaget:
- Pada sebuah studi klasik, McGrarrigle dan Donalson (1974) menyatakan
bahwa anak sudah mampu memhami konservasi (conservation) dalam usia
yang lebih muda daripada usia yang diyakini oleh Piaget.
- Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru
mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan.
Balillargeon dan De Vos (1991). 104 anak diamati sampai mereka berusia
18 tahun dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal berdasarkan
tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas
anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini
sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donalson serta Baillargeon dan
De Vos, yang mengatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan
anak-anak kecil dan terlalu tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua.
- Bradmetz (1999) menguji pernyataan piaget bahwa mayoritas anak
mencapai formal pada akhir masa kanak-kanak tidak pernah terbukti.
© Hubungan kognitif dengan tingkah laku :
Pendekatan perilaku dan kognitif. Kata “kognitif-perilaku” mencerminkan
pentingnya kedua pendekatan kognitif dan perilaku untuk memahami dan
membantu manusia. Kognitif-perilaku merupakan pencampuran dari strategi
perilaku dan proses kognitif yang bertujuan untuk mencapai perubahan kognisi
dan perilaku manusia. (Capuzzi, 2009).
Konseling kognitif-perilaku menekankan bagaimana masalah emosi dan
perilaku dapat diatasi secara efektif melalui restrukturisasi kognitif dan
menunjukkan bagaimana keyakinan irasional atau distorsi kognitif mengganggu
mereka dan bagaimana mereka dapat mengubah pemikiran tidak akurat dengan
menggunakan berbagai metode. (Corey dalam Erford, 2004).
Jean Piaget dalam Mohammad Asrori (2008:58) mengemukakan
hubungan kognitif dengan tingkah laku adalah bahwa intelegensi merupakan
pernyataan dari tingkah laku adaptif yang terarah kepada kontak dengan
lingkungan dan kepada penyusunan pemikiran (interactionism theory).
Sedangkan menurut teori kognitif yang dikemukakan oleh Greenwald
(1968) dan Petty, Ostrom & Brack (1981) dalam Baron & Byme (1991)
memusatkan perhatiannya pada analisis respons kognitif, yaitu: “Suatu usaha
untuk memahami apa yang difikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada
stimulus persuasif, dan bagaimana pikiran serta proses kognitif menetukan
apakah mereka mengalami perubahan sikap & sejauhmana perubahan itu
terjadi” (Azwar, 1997:18).
Teori kognitif meliputi kegiatan-kegiatan mental yang sadar seperti
berpikir, mengetahui, memahami, dan dan kegiatan konsepsi mental seperti:
sikap, kepercayaan, dan pengharapan, yang kemudian itu merupakan faktor
yang menentukan di dalam perilaku. Di dalam teori kognitif ini terdapat suatu
interes yang kuat dalam jawaban (response) atas akibat dari perilaku yang
tertutup. Sebab di dalam hal ini sulit mengamati secara langsung proses berpikir
dan pemahaman, dan juga sulit menyentuh dan melihat sikap, nilai, dan
kepercayaan.
Ada tiga hal yang umum terdapat di dalam pembicaraan teori kognitif,
antara lain:
a) Elemen kognitif
Teori kognitif percaya bahwa perilaku seseorang itu disebabkan adanya
satu rangsangan (stimulus), yakni suatu objek fisik yang mempengaruhi
seseorang dalam banyak cara. Teori ini mencoba melihat apa yang terjadi
diantara stimulus dan jawaban seseorang terhadap rangsangan tersebut.
Atau dengan kata lain, bagaimana rangsangan tersebut diproses dalam diri
seseorang. Menurut teori kognitif, semua perilaku itu tersusun secara
teratur. Individu mengatur pengalamannya ke dalam aktivitas untuk
mengetahui (cognition) yang kemudian mamacaknya ke dalam susunan
kognitifnya (cognitive structure). Susunan ini menentukan jawaban
(response) seseorang.
Cognition menurut Neisser adalah “Aktivitas untuk mengetahui, misalnya
kegiatan untuk mencapai yang dikehendaki pengaturannya, dan
penggunaan pengetahuan. Hal ini adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan
baik oleh organisme atau pun oleh orang perorang” (Thoha,1993:49).
Kognisi adalah dasar dari unit teori kognitif ia merupakan representasi
internal yang terjadi antara suatu jawaban (response), dan yang bias
menyebabkan terjadinya jawaban. Hubungan ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Stimulus----------Cognition----------Response
Seseorang mengetahui adanya stimulus kemudian memprosesnya ke dalam
kognisi, yang pada akhirnya kognisi ini menghasilkan dan menyebabkan
jawabannya.
b) Struktur Kognitif
Menurut teori kognitif, aktivitas mengetahui dan memahami sesuatu
(cognition) itu tidaklah berdiri sendiri. Aktivitas ini selalu dihubungkan
dengan rencana disempurnakan oleh kognisi yang lain. Proses penjalinan
dan tata hubungan diantara kognisi-kognisi ini membangun suatu struktur
dan sistem. Struktur dan sistem ini dinamakan struktur kognitif. Sifat yang
pasti dari sistem kognitif ini tergantung akan (1) karakteristik dari stimulus
yang diproses kedalam kognisi, (2) pengalaman dari masing-masing
individu.
c) Fungsi Kognitif
Sistem kognitif mempunyai beberapa fungsi. Diantara fungsi-fungsi, antara
lain:
1. Memberikan pengertian
Pada kognitif baru menurut teori kognitif, pengertian terjadi jika suatu
kognitif baru dihubungkan dengan sistem kognitif yang telah ada.
Kognisi membentuk atribut-atribut tertentu, tergantung pada bagaimana
ia berinteraksi dengan satu atau lebih sistem kognitif.
2. Menghasilkan emosi
Interaksi antara kognisi dan sistem kognitif tidak hanya memberikan
pengertian pada kognisi saja, tetapi dapat pula memberikan pengertian
pada kognisi saja, tetapi dapat pula memberikan konsekuensi-
konsekuensi yang berupa perasaan, misalnya perasaan senang dan tidak
senang, baik atau buruk, dan lain sebagainya.
3. Membentuk Sikap
Menurut teori kognitif jika suatu sistem kognitif dari sesuatu
memerlukan komponen-komponen yang mengandung efektif emosi,
maka sikap untuk mencapai suatu tujuan atau objek itu telah terbentuk.
Bersatunya sistem kognitif dan komponen afektif menghasilkan
tendensi perilaku untuk mencapai suatu objek sikap seseorang itu
mempunyai kognitif (pengetahuan), afektif (emosi), dan tindakan
(tendensi perilaku).
4. Memberikan motivasi terhadap konsekuensi perilaku
Relevansi teori kognitif untuk menganalisa dan memahami perilaku
manusia yang mudah diamati adalah terletak pada motivasi dari
perilaku seseorang. Hal ini disebabkan karena:
a. Perilaku tidak hanya terdiri dari tindakan-tindakan yang terbuka saja,
melainkan juga termasuk faktor-faktor internal, seperti: berpikir,
emosi, persepsi, dan kebutuhan
b. Perilaku itu dihasilkan oleh ketidakselarasan yang timbul dalam
struktur kognitif.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemampuan kognitif seseorang
berpengaruh secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terkait
dengan pola pikir dalam melakukan kegiatan dalam kesehariannya. Kapasitas
perkembangan kognitif anak sudah dapat terbentuk pada usia dini jauh di
bawah usia sekolah. Sehingga perubahan tingkah laku itu akan tampak berkat
pengaruh dari penyesuaian organisme yang saling mengisi, yaitu melalui
asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah suatu proses individu memasukkan dan menggabungkan
pengalaman-pengalamn dengan struktur psikologis yang telah ada pada diri
individu. Struktur psikologis dalam diri individu ini disebut dengan istilah
“skema” yang berarti kerangka mental individu yang digunakan untuk
menafsirkan segala sesuatu yang dilihat atau didengarnya. Skema mampu
menyusun pengamatan-pengamatan dan tingkah laku sehingga terjadilah suatu
rangkaian tindakan fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.
Proses penyesuaian skema dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman baru ini dikenal dengan istilah “akomodasi”. Dengan
demikian, proses asimilasi dan akomodasi merupakan dua proses yang
berlawanan. Jika dalam asimilasi proses yang terjadi adalah menyesuaikan
pengalaman-pengalaman baru yang diperolehnya dengan struktur skema yang
ada dalam diri individu, sedangkan akomodasi merupakan proses penyesuaian
skema dalam diri individu dengan fakta-fakta baru yang diperoleh melalui
pengalaman dari lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA :
Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Cafuzzi. 2009. Child Development. Sixth Edition. New York : Mc. Graw Hill. Inc.
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psiko Paedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Erford. 2004. Exploring Child Behavior. New York : HoltRinehartand Winston.
Hadis, Fawzia Aswin, (2008). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Seifert, Kelvin L. & Hoffnung, Robert J. (1991). Child and Adolescent Development, Second Edition. Boston : Houghton Mifflin Company.
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kreativitas, hal-hal apa saja yang
mencakup fungsi kreativitas dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kreativitas serta apa pengaruhnya bagi kehidupan seseorang.
Penjelasan:
© Pengertian Kreativitas:
Perkembangan kreativitas berkaitan erat dengan fungsi belahan otak
kanan, yang berarti berkaitan pula dengan perkembangan intelek.
a. Kreativitas sebagai Proses
- Kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru,
apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau
susunan yang baru (Hurlock 1978).
- Proses kreatif sebagai “ munculnya dalam tindakan suatu produk baru
yang tumbuh dari keunikan individu di satu pihak, dan dari kejadian,
orang-orang, dan keadaan hidupnya dilain pihak” (Rogers, 1982).
Penekanan pada :
- aspek baru dari produk kreatif yang dihasilkan
- aspek interaksi antara individu dan lingkungannya / kebudayaannya
- Kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk
membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya. Tujuan
pembangunan diri itu ialah untuk menikmati kualitas kehidupan yang
semakin baik (Alvian, 1983).
- Kretaivitas adalah suatu proses yang tercermin dalam kelancaran,
kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas dalam berfiir (Utami
Munandar, 1977).
- Guilford (1986) menekankan perbedaan berpikir divergen ( disebut
juga berpikir kreatif) dan berpikir konvergen.
Berpikir Divergen : bentuk pemikiran terbuka, yang menjajagi
macam-macam kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan/
masalah.
Berpikir Konvergen: sebaliknya berfokus pada tercapainya satu
jawaban yang paling tepat terhadap suatu persoalan atau masalah.
Dalam pendidikan formal pada umumnya menekankan berpikir
konvergen dan kurang memikirkan berpikir divergen.
Torrance (1979) menekankan adanya ketekunan, keuletan, kerja keras,
jadi jangan tergantung timbulnya inspirasi.
b. Kreativitas sebagai Produk
- Kreativitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru
(1965).
- Kecuali unsur baru, juga terkandung peran faktor lingkungan dan
waktu (masa). Produk baru dapat disebut karya kreatif jika
mendapatkan pengakuan (penghargaan) oleh masyarakat pada waktu
tertentu (Stein, 1963). Namun menurut ahli lain pertama-tama bukan
suatu karya kreatif bermakna bagi umum, tetapi terutama bagi si
pencipta sendiri.
- Kreativitas atau daya kreasi itu dalam masyarakat yang progresif
dihargai sedemikian tingginya dan dianggap begitu penting sehingga
untuk memupuk dan mengembangkannya dibentuk laboratorium atau
bengkel-bengkel khusus yang tersedia tempat, waktu dan fasilitas
yang diperlukan (Selo Sumardjan 1983).
Beliau mengingatkan pentingnya bagian Desain dan Penelitian dan
Pengembangan sebagai bagian yang vital dari suatu industri
c. Kreativitas ditinjau dari segi Pribadi (person)
- Kreativitas merupakan ungkapan unik dari seluruh pribadi sebagai
hasil interaksi individu, perasaan, sikap dan perilakunya.
- Kreativitas mulai dengan kemampuan individu untuk menciptakan
sesuatu yang baru. Biasanya seorang individu yang kreatif memiliki
sifat yang mandiri. Ia tidak merasa terikat pada nilai-nilai dan norma-
norma umum yang berlaku dalam bidang keahliannya. Ia memiliki
sistem nilai dan sistem apresiasi hidup sendiri yang mungkin tidak
sama yang dianut oleh masyarakat ramai.
Dengan perkataan lain, “Kreativitas merupakan sifat pribadi seorang
individu (dan bukan merupakan sifat sosial yang dihayati oleh
masyarakat) yang tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan
sesuatu yang baru (Selo Soemardjan 1983).
d. Kreativitas ditinjau dari segi Press (pendorong)
Setiap orang memiliki potensi kreatif dalam derajat yang berbeda-beda dan
dalam bidang yang berbeda-beda. Potensi ini perlu dipupuk sejak dini agar
dapat diwujudkan. Untuk itu diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong,
baik dari luar (lingkungan) maupun dari dalam individu sendiri.
Perlu diciptakan kondisi lingkungan yang dapat memupuk daya kreatif
individu, dalam hal ini mencakup baik dari lingkungan dalam arti sempit
(keluarga, sekolah) maupun dalam arti kata luas (masyarakat,
kebudayaan). Timbul dan tumbuhnya kreativitas dan selanjutnya
berkembangnya suatu kresi yang diciptakan oleh seseorang individu tidak
dapat luput dari pengaruh kebudayaan serta pengaruh masyarakat tempat
individu itu hidup dan bekerja (Selo Soemardjan 1983).
Tetapi ini tidak cukup, masyarakat dapat manyediakan berbagai
kemudahan, sarana dan prasarana untuk menumbuhkan daya cipta
anggotanya, tetapi akhirnya semua kembali pada bagaimana individu itu
sendiri, sejauhana ia merasakan kebutuhan dan dorongan untuk bersibuk
diri secara kretif, suatu pengikatan untuk melibatkan diri dalam suatu
kegiatan lreatif, yang m,ungkin memerlukan waktu lama. Hal ini
menyangkut motivasi internal
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai
kreativitas:
1. Definisi kreativitas sangatlah banyak dan beraneka ragam karena dapat
ditinjau dari berbagai sudut pandang.
2. Definisi konsepsional kreativitas dan definisi operasional kreativitas
ada dua hal yang saling melengkapi. Definisi konsepsional adalah dari
kata konsepsional yaitu hubungan antara konsep khusus yang akan
diteliti. Istilah konsepsional adalah pengarah atau pedoman yang masih
abstrak sehingga membutuhkan pelengkapnya yaitu definisi
operasional.
3. Secara konsep, kreativitas dimunculkan dari suatu ide atau dasar
pemikiran dan untuk dapat mewujudkan secara nyata dibutuhkan suatu
petunjuk atau cara kerja yang sering dikenal dengan operasional.
4. Kreativitas bisa dimiliki semua orang dengan membangun potensi
kreatif dalam dirinya.
Wallas dalam bukunya “The Art of Thought” menyatakan bahwa proses
kreatif meliputi 4 tahap :
1. Tahap Persiapan , memperisapkan diri untuk memecahkan masalah dengan
mengumpulkan data/ informasi, mempelajari pola berpikir dari orang lain,
bertanya kepada orang lain.
2. Tahap Inkubasi , pada tahap ini pengumpulan informasi dihentikan,
individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut. Ia tidak
memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya’
dalam alam pra sadar.
3. Tahap Iluminasi , tahap ini merupakan tahap timbulnya “insight” atau “Aha
Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru.
4. Tahap Verifikasi , tahap ini merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru
tersebut terhapad realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan
konvergen. Proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti proses
konvergensi (pemikiran kritis).
Unsur Kreativitas
Karakteristik dan aspek kreativitas yang demikian inilah yang
menempatkan kreativitas dan pimpinan sebagai faktor dinamis daram
kehidupan organisasi. Sejalan dengan paparan di atas Sidney Pames dalam
Evans (1990:34-36) mengemukakan unsur-unsur kreativitas yaitu ;
1. Sensitivitas (sensitifity), adalah kesadaran dan persepsi untuk mengenali
masalah dan menemukan solusinya
2. Sinergi (synergy), merupakan pelaku total sistem yang tidak terprediksi
oleh perilaku setiap komponennya atau kemampuan menentukan totalitas
sistem dengan memadukan elemenen-elemennya
3. Serendivitas (serendipity), merujuk pada kesadaran untuk menghubungkan
kejadian-kejadian yang terjadi secara kebetulan, atau kemampuan
menangkap esensi dan suatu kejadian yang terjadi secara kebetulan.
Metode Mencapai Kreativitas
Ada beberapa metode yang digunakan untuk mencapai tahapan kreativitas:
1. Evolusi : Prinsip penting dalam metode ini adalah setiap masalah yang
telah diselesaikan dapat diselesaikan lagi dengan cara yang lebih baik.
2. Sintesis : Dalam metode ini, cara yang digunakan adalah dengan
menggabungkan dua atau lebih ide yang sudah ada menjadi suatu ide
baru.
3. Revolusi : Terkadang ide – ide baru yang paling baik adalah yang sama
sekali berbeda dan tidak berhubungan langsung dengan masalah yang
harus diselesaikan.
4. Reapplication : Metode ini melihat sesuatu yang lama dengan cara yang
baru dan memikirkan cara bagaimana menemukan sesutau dengan cara
yang baru.
5. Mengubah arah : Banyak pemecahan yang kreatif terjadi ketika perhatian
dialihkan dari satu sudut masalah ke yang lain. Hal ini disebut juga
wawasan kreatif.
© Hal-hal yang mencakup fungsi kreativitas
Menyadari peran fungsi kreativitas dalam proses inovatif merupakan hal
yang penting. Kreativitas adalah pembangkitkan ide yang menghasilkan
penyempurnaan efektivitas dan efesiensi pada suatu sistem. Ada dua aspek
penting pada kreativitas yaitu proses dan manusia. Proses yang berorientasi
tujuan, yang di desain untuk mencapai solusi suatu problem. Manusia
merupakan sumber daya yang menentukan solusi. Proses tetap sama, namun
pendekatan yang digunakan dapat bervariasi.
Pendekatan itu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pendekatan
psikologis dan pendekatan sosiologis (Torrance, 1981; Dedi Supriadi, 1989).
Pendekatan psikologis lebih melihat kreativitas dari segi kekuatan-kekuatan
yang ada dalam diri individu sebagai faktor-faktor yang menentukan
kreativitas, seperti: intelegensi, bakat, motivasi, sikap, minat, dan disposisi
kepribadian lainnya. Salah satu pendekatan psikologis yang digunakan untuk
menjelaskan kreativitas adalah pendekatan holistik.
Clark (1988) menggunakan pendekatan holistik untuk menjelaskan konsep
kreativitas dengan berdasarkan pada fungsi-fungsi berpikir, merasa,
mengindera, dan intuisi. Clark menganggap bahwa kreativitas itu mencakup
sintesis dari fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Thinking
2. Feeling
3. Sensing
4. Intuiting.
Thinking merupakan berpikir rasional dan dapat diukur serta dapat
dikembangkan melalui latihan-latihan yang dilakukan secara sadar dan
sengaja. Feeling menunjuk pada suatu tingkat kesadaran yang melibatkan segi
emosional dari individu untuk kemudian dipindahkan kepada individu lain
sehingga muncul respon emosional. Sensing menunjuk pada suatu keadaan di
mana dengan bakat yang ada diciptakan suatu produk baru yang dapat dilihat
atau didengar oleh orang lain. Ini memungkinkan bila mmeiliki perkembangan
fisik, mental, dan keterampilan yang tinggi di bidang yang menjadi bakatnya.
Intuiting menuntut adanya suatu tingkatan kesadaran yang tinggi yang
dihasilkan dengan cara membayangkan, berfantasi, dan melakukan terobosan
ke daerah prasadar dan tak sadar.
Adapun pendekatan sosiologis berasumsi bahwa kreativitas individu
merupakan hasil dari proses interaksi sosial, di mana individu dengan segala
potensi dan disposisi kepribadiannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial
tempat individu itu berada, yang meliputi ekonomi, politik, kebudayaan, dan
peranan keluarga.
© Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas dan pengaruhnya bagi
kehidupan seseorang
Utami Munandar (1988) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kreativitas adalah:
1. Usia
2. Tingkat pendidikan orang tua
3. Tersedianya fasilitas
4. Penggunaan waktu luang.
Clark (1983) mengkategorikan faktor-faktor yang mempengaruhi
kreativitas ke dalam dua kelompok, yakni faktor yang mendukung dan yang
menghambat. Faktor-faktor yang dapat mendukung perkembangan kreativitas
adalah:
1. Situasi yang menghadirkan ketidaklengkapan serta keterbukaan.
2. Situasi yang memungkinkan dan mendorong timbulnya banyak
pertanyaan.
3. Situasi yang dapat mendorong dalam rangka menghasilkan sesuatu.
4. Situasi yang mendorong tanggungjawab dan kemandirian.
5. Situasi yang menekankan inisiatif diri untuk menggali, mengamati,
bertanya, merasa, mengklasifikasikan, mencatat, menerjemahkan,
memprakirakan, menguji hasil prakiraan, dan mengkomunikasikan.
6. Kedwibahasaan yang memungkinkan untuk mengembangkan potensi
kreativitas secara lebih luas karena akan memberikan pandangan dunia
secara lebih bervariasi, lebih fleksibel dalam menghadapi masalah, dan
mampu mengekspresikan dirinya dalam cara yang berbeda dari
umumnya orang lain yang dapat muncul dari pengalaman yang
dimilikinya.
7. Posisi kelahiran (berdasarkan tes kreativitas, anak sulung laki-laki lebih
kreatif daripada anak laki-laki yang lahir kemudian).
8. Perhatian dari orang tua terhadap minat anaknya, stimulasi dari
lingkungan sekolah, dan motivasi diri.
Sedangkan faktor-faktor yang menghambat berkembangnya kreativitas
adalah sebagai berikut:
1. Adanya kebutuhan akan keberhasilan, ketidakberanian dalam
menanggung risiko atau upaya mengejar sesuatu yang belum diketahui.
2. Konformitas terhadap teman-teman kelompoknya dan tekanan sosial.
3. Kurang berani dalam melakukan eksplorasi, menggunakan imajinasi, dan
penyelidikan.
4. Stereotip peran seks/jenis kelamin.
5. Diferensiasi antara bekerja dan bermain.
6. Otoritarianisme.
7. Tidak menghargai terhadap fantasi dan hayalan.
Menurut Rogers (dalam Munandar, 1999) Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kreativitas adalah:
a. Faktor internal individu
Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yang dapat
mempengaruhi kreativitas, diantaranya :
1. Keterbukaan terhadap pengalaman dan rangsangan dari luar atau
dalam individu. Keterbukaan terhadap pengalaman adalah
kemampuan menerima segala sumber informasi dari pengalaman
hidupnya sendiri dengan menerima apa adanya, tanpa ada
usaha defense, tanpa kekakuan terhadap pengalaman-pengalaman
tersebut. Dengan demikian individu kreatif adalah individu yang
mampu menerima perbedaan
2. Evaluasi internal, yaitu kemampuan individu dalam menilai produk
yang dihasilkan ciptaan seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri,
bukan karena kritik dan pujian dari orang lain. Walaupun demikian
individu tidak tertutup dari kemungkinan masukan dan kritikan dari
orang lain.
3. Kemampuan untuk bermaian dan mengadakan eksplorasi terhadap
unsur-unsur, bentuk-bentuk, konsep atau membentuk kombinasi
baru dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya.
b. Faktor eksternal (Lingkungan)
Faktor eksternal (lingkungan) yang dapat mempengaruhi kreativitas
individu adalah lingkungan kebudayaan yang mengandung keamanan dan
kebebasan psikologis. Peran kondisi lingkungan mencakup lingkungan
dalam arti kata luas yaitu masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan dapat
mengembangkan kreativitas jika kebudayaan itu memberi kesempatan adil
bagi pengembangan kreativitas potensial yang dimiliki anggota
masyarakat. Adanya kebudayaan creativogenic, yaitu kebudayaan yang
memupuk dan mengembangkan kreativitas dalam masyarakat, antara lain :
1. tersedianya sarana kebudayaan, misal ada peralatan, bahan dan
media,
2. adanya keterbukaan terhadap rangsangan kebudayaan bagi semua
lapisan masyarakat,
3. menekankan pada becoming dan tidak hanya being, artinya tidak
menekankan pada kepentingan untuk masa sekarang melainkan
berorientasi pada masa mendatang
4. memberi kebebasan terhadap semua warga negara tanpa
diskriminasi, terutama jenis kelamin,
5. adanya kebebasan setelah pengalamn tekanan dan tindakan keras,
artinya setelah kemerdekaan diperoleh dan kebebasan dapat
dinikmati,
6. keterbukaan terhadap rangsangan kebudayaan yang berbeda,
7. adanya toleransi terhadap pandangan yang berbeda,
8. adanya interaksi antara individu yang berhasil, dan
9. adanya insentif dan penghargaan bagi hasil karya kreatif.
Sedangkan lingkungan dalam arti sempit yaitu keluarga dan
lembaga pendidikan. Di dalam lingkungan keluarga orang tua
adalah pemegang otoritas, sehingga peranannya sangat menentukan
pembentukan krativitas anak. Lingkungan pendidikan cukup besar
pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir anak didik untuk
menghasilkan produk kreativitas, yaitu berasal dari pendidik.
Selain itu Hurlock (1993), mengatakan ada enam faktor yang
menyebabkan munculnya variasi kreativitas yang dimiliki individu, yaitu:
1. Jenis kelamin
Anak laki-laki menunjukkan kreativitas yang lebih besar dari anak
perempuan, terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Untuk
sebagian besar hal ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan terhadap
anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diberi kesempatan
untuk mandiri, didesak oleh teman sebaya untuk lebih mengambil
resiko dan didorong oleh para orangtua dan guru untuk lebih
menunjukkan inisiatif dan orisinalitas.
2. Status sosioekonomi
Anak dari kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi cenderung lebih
kreatif dari anak kelompok yang lebih rendah. Lingkungan anak
kelompok sosioekonomi yang lebih tinggi memberi lebih banyak
kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang
diperlukan bagi kreativitas.
3. Urutan kelahiran
Anak dari berbagai urutan kelahiran menunjukkan tingkat kreativitas
yang berbeda. Perbedaan ini lebih menekankan pada lingkungan
daripada bawaan. Anak yang lahir ditengah, belakang dan anak tunggal
mungkin memiliki kreativitas yang tinggi dari pada anak pertama.
Umumnya anak yang lahir pertama lebih ditekan untuk menyesuaikan
diri dengan harapan orangtua, tekanan ini lebih mendorong anak untuk
menjadi anak yang penurut daripada pencipta.
4. Ukuran keluarga
Anak dari keluarga kecil bilamana kondisi lain sama cenderung lebih
kreatif daripada anak dari keluarga besar. Dalam keluarga besar cara
mendidik anak yang otoriter dan kondisi sosiekonomi kurang
menguntungkan mungkin lebih mempengaruhi dan menghalangi
perkembangan kreativitas.
5. Lingkungan
Anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif dari anak lingkungan
pedesaan.
6. Intelegensi
Setiap anak yang lebih pandai menunjukkan kreativitas yang lebih besar
daripada anak yang kurang pandai. Mereka mempunyai lebih banyak
gagasan baru untuk menangani suasana sosial dan mampu merumuskan
lebih banyak penyelesaian bagi konflik tersebut.
Pengaruhnya bagi kehidupan seseorang (bagi peserta didik):
Jika kita membicarakan tentang perkembangan peserta didik, salah satu
yang tidak boleh terlewatkan adalah perihal kreativitas dan bagaimana
menumbuhkembangkan kreativitas serta permasalahan yang dihadapi dalam
menumbuhkembangkan kreativitas. Kreativitas merupakan hal yang sangat
penting bagi manusia apalagi pada saat peserta didik atau seseorang sedang
mengalami perkembangan, pertumbuhan dan perkembangan kreativitas
peserta didik sangat penting untuk diperhatikan. Jika kreativitas peserta didik
dapat optimal, maka diharapkan akan memberikan pengaruh yang positif bagi
kehidupannya dimasa yang akan datang. Tetapi jika kreativitas peserta didik
tidak berkembang atau bahkan dibatasi, maka kemampuan yang dimilkinya
tidak akan tersalurkan dengan baik dan akan memberikan peran yang kurang
optimal dalam kehidupanya di masa yang akan datang.
Sedemikian pentingnya peran kreativitas untuk peserta didik khususnya
atau sesorang pada umumnya, sangat dianggap perlu untuk bagaimana
caranya agar kreativitas peserta didik atau seseorang dapat
ditumbuhkembangkan secara baik dan bisa optimal. Untuk mencapai
perkembangan yang baik dan optimal tentunya tidak mudah, karena untuk
mencapai hal itu, beberapa masalah sudah tentu akan muncul. Namun
demikian, para pendidik atau orang tua pada umumnya harus bisa mengatasi
masalah yang muncul itu mengingat penting dan pengaruh kreativitas pada
kehidupan peserta didik atau seseorang.
Dengan kata lain, kreativitas merupakan faktor penting yang mendukung
seseorang untuk mencapai kesuksesan. Bila kita mengamati orang-orang yang
sukses, kita mendapati bahwa kesuksesan mereka bukan semata-mata karena
inteligensi mereka yang tinggi, namun lebih merupakan hasil keberanian
mereka untuk membuat lompatan yang tidak biasa. Mereka berani membuat
sesuatu yang baru, berpikir lain dari pada kebiasaan orang, atau bisa dikatakan
memanfaatkan kreativitas mereka untuk membuat sesuatu terobosan yang
unik.
Proses pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kreativitas
seorang anak. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan di sekolah,
melainkan juga pendidikan di rumah oleh orang tua. Orang tua, sebagai
pendidik pertama dan utama bagi seorang anak, mempunyai kesempatan
istimewa untuk membangkitkan kreativitas anak, sebab dari figur orang tua
lah seorang anak pertama kali mengembangkan cara berpikir dan membentuk
sikap belajarnya. Berikut beberapa alasan pentingya kreativitas:
1. Untuk menemukan gagasan, ide, peluang dan inspirasi baru.
2. Untuk merubah masalah, kesulitan, kegagalan, untuk menjadi sesuatu yang
berguna untuk melangkah di masa depan.
3. Untuk menemukan solusi yang inovatif.
4. Untuk menemukan hal yang belum pernah terjadi, hingga memunculkan
sesuatu yang baru.
5. Untuk menmukan teknologi baru.
6. Untuk merubah keterbatasan atau kelemahan menjadi sebuah kekuatan
atau keunggulan.
Cara menumbuhkembangkan kreativitas:
Mengingat begitu pentingya kreativitas bagi kehidupan seseorang, maka
sangat dianggap perlu untuk membangkitkan kemampuan kreativitasnya.
Terdapat beberapa cara yang bisa ditempuh untuk membangkitkan
kemampuan kreativitas seseorang, diantaranya seperti yang tercantum di
bawah ini:
1. Berimajinasi.
2. Berpikir berbeda dari yang lain.
3. Berpikir optimis bukan pesimis dalam menghadapi persoalan yang belum
terpecahkan.
4. Selalu membuat konsep.
5. Berpikir, melihat, memvisualisasikan dari segala aspek.
6. Berpikir lebih detail.
7. Mengamati perubahan-perubahan yang terjadi.
8. Berpikir bahwa segala sesuatu bisa lebih disempurnakan lagi.
Sejalan dengan penjelasan di atas, Torrance (1981) juga menekankan
pentingnya dukungan dan dorongan dari lingkungan agar individu dapat
berkembang kreativitasnya. Menurutnya, salah satu lingkungan yang pertama
dan utama dapat mendukung atau menghambat berkembangnya kreativitas
adalah lingkungan keluarga, terutama interaksi dalam keluarga tersebut. Ini
dapat dimungkinkan karena sebagian besar waktu kehidupan anak
berlangsung dalam keluarga.
DAFTAR PUSTAKA:
Asrori, Mohmmad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Cafuzzi. 2009. Child Development. Sixth Edition. New York : Mc. Graw Hill. Inc.
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psiko Paedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Erford. 2004. Exploring Child Behavior. New York : HoltRinehartand Winston.
Hadis, Fawzia Aswin, (2008). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Munandar, Utami. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Seifert, Kelvin L. & Hoffnung, Robert J. (1991). Child and Adolescent Development, Second Edition. Boston : Houghton Mifflin Company.
4. Kesuksesan seseorang dalam belajar banyak ditentukan faktor kemandirian.
a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kemandirian.
b. Tingkatan dan karakteristik kemandirian.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian
d. Bagaimana upaya Anda sebagai pendidik dan pengajar mewujudkan peserta
didik yang mandiri.
Penjelasan:
a. Pengertian Kemandirian
Kata “kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan
“ke” dan akhiran “an” yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata
benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan
mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai
perkembangan “diri” itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan
istilah “self” karena “diri” itu merupakan inti dari kemandirian.
Istilah kemandirian, diantaranya adalah: self-determinism, autonomus
morality, ego integrity, the creative self, self-actualization, self-system, real self,
self-efficacy, self-expansion, self-esteem, self-pity, self-respect, self-sentience, self-
sufficiency, self-expression, self-direction, self-structure, self-contempt, self-
control, self-righteousness, self-effecement.
Konsep yang sering digunakan atau yang berdekatan dengan kemandirian
adalah yang sering disebut dengan istilah “autonomy”. Namun demikian, berpijak
dari pengertian maupun konsep yang ada, kemandirian dapat dikatakan suatu
sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan
sesuatu atas dorongan sendiri dan untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan
dari orang lain, maupun berpikir dan bertindak original/kreatif, dan penuh
inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan
memperoleh kepuasan dari usahanya.
b. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian
Sebagai suatu dimensi psikologi yang kompleks,kemandirian dalam
perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan. Perkembangan kemandirian
seseorang berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan
kemandirian tersebut. Menurut Lovinger (dalam Mohammad Asrori, 2008),
mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristiknya, yaitu:
1. Tingkat pertama, adalah tingkatan implusif dan melindungi diri. Tingkatan
ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari
interaksinya dengan orang lain.
b. Mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik.
c. Berfikir tidak logis dan tertegun pada cara berfikir tertentu ( stereotype).
d. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games.
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkunganya.
2. Tingkat kedua, adalah konformistik. Ciri-cirinya adalah :
a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial.
b. Cenderung berpikir stereotype dan klise.
c. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.
d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian.
e. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya intropeksi.
f. Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.
g. Takut tiadak diterima kelompok.
h. Tidak sensitif terhadap keindividualan.
i. Merasa berdosa jika melanggar aturan.
3. Tingkatan ketiga, adalah tingkat sadar diri. Ciri-cirinya adalah:
a. Mampu berfikir alternatif
b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.
c. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada.
d. Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah.
e. Memikirkan cara hidup.
f. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.
4. Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-ciri nya
adalah :
a. Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.
b. Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan.
c. Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri
maupun orang lain.
d. Sadar akan tanggung jawab.
e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.
f. Peduli akan hubungan mutualistik.
g. Memiliki tujuan jangka panjang.
h. Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial.
i. Berfikir lebih kompleks dan atas dasar pola analisis
5. Tingkatan kelima, adalah tingkat individualistik. Ciri-cirinya adalah:
a. Peningkatan kesadaran individualitas.
b. Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan
ketergantungan.
c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain.
d. Mengenal eksistensi perbedaan individual.
e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan.
f. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya.
g. Mengenal kompleksitas diri.
h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
6. Tingkatan keenam, adalah tingkatan mandiri. Ciri-cirinya adalah:
a. Memiliki pandangan hidup sesuai suatu keseluruhan
b. Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri maupun
orang lain.
c. Peduli terhadap faham-faham abstrak, seperti keadilan sosial.
d. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e. Toleran terhadap ambiguitas.
f. Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment)
g. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h. Respek terhadap kemandirian orang lain.
i. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
j. Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan
keceriaan.
Sementara itu, Steiberg (1993) membedakan karakteristik kemandirian
atas tiga bentuk, yaitu: 1) kemandirian emosional (emotional autonomy); (2)
kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy); dan 3) kemandirian nilai
(valve autonomy). Lengkapnya, Steiberg menulis: The first emotional
autonomy, that aspect of independence related to changes in the individual’s
close relationship, especially with parent. The second behavioral autonomy,
the capacity to make independent decisions and follow trough with them. The
third char acterization involves an aspect of independence referred to as value
autonomy-which is more than simply being able to resist pressures to go along
with the demands of other; it means having a set a principles about right and
wrong, about what is important and what is not.
Kutipan di atas menunjukkan karakteristik dari ketiga aspek kemandirian,
yaitu:
1. Kemandirian emosional, yakni aspek kemandirian yang menyatakan
perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan
emosional peserta didik dengan guru atau dengan orang tuannya.
2. Kemandirian tingkah laku, yakni suatu kemampuan untuk membuat
keputusan-keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya
secara bertanggung jawab.
3. Kemandirian nilai, yakni kemampuan memaknai seperangkat prinsip
tentang benar dan salah tentang apa yang penting dan apa yang tidak
penting.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian pada remaja
menurut Masrun, (1986:4) yaitu:
1. Usia
Pengaruh dari orang lain akan berkurang secara perlahan-lahan pada
saat anak menginjak usia lebih tinggi. Pada usia remaja mereka lebih
berorientasi internal, karena percaya bahwa peristiwa-peristiwa dalam
hidupnya ditentukan oleh tindakannya sendiri. Anak-anak akan lebih
tergantung pada orang tuanya, tetapi ketergantungan itu lambat laun
akan berkurang sesuai dengan bertambahnya usia.
2. Jenis kelamin
Keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan dirinya sendiri
merupakan kecenderungan yang ada pada setiap remaja. Perbedaan
sifat-sifat yang dimiliki oleh pria dan wanita disebabkan oleh perbedaan
pribadi individu yang diberikan pada anak pria dan wanita. Dan
perbedaan jasmani yang menyolok antara pria dan wanita secara psikis
menyebabkan orang beranggapan bahwa perbedaan kemandirian antara
pria dan wanita.
3. Konsep diri
Konsep diri yang positif mendukung adanya perasaan yang kompeten
pada individu untuk menentukan langkah yang diambil. Bagaimana
individu tersebut memandang dan menilai keseluruhan dirinya atau
menentukan sejauh mana pribadi individualnya. Mereka yang
mmandang dan menilai dirinya mampu, cenderung memiliki
kemandirian dan sebaliknya mereka yang memandang dan menilai
dirinya sendiri kurang atau cenderung menggantungkan dirinya pada
orang lain.
4. Pendidikan
Semakin bertambahnya pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang,
kemungkinan untuk mencoba sesuatu baru semakin besar, sehingga
orang akan lebih kreatif dan memiliki kemampuan. Dengan belajar
seseorang dapat mewujudkan dirinya sendiri sehingga orang memiliki
keinginan sesuatu secara tepat tanpa tergantung dengan orang lain.
5. Keluarga
Orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam melatarkan
dasar-dasar kepribadian seorang anak, demikian pula dalam
pembentukan kemandirian pada diri seseorang.
6. Interaksi sosial
Kemampuan remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan social serta
mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik akan mendukung
perilaku remaja yang bertanggung jawab, mempunyai perasaan aman
dan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dengan
baik tidak mudah menyerah akan mendukung untuk berperilaku
mandiri.
Sedangkan Mohammad Asrori (2008) membagi faktor yang
mempengaruhi perkembangan kemandirian; yaitu:
1. Gen atau keturunan orang tua
Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali
menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor
keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat
bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu
menurun kepada anaknya melainkan sifat orang tuanya itu muncul
dalam cara-cara orang tua mendidik anaknya.
2. Pola asuh orang tua.
Cara-cara orang tua mengasuh atau mendidik anak akan
mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remajanya. Orang tua
yang terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kata “jangan” kepada
anak tanpa disertai dengan penjelasan yang rasional akan menghambat
perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya, orang tua yang
menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarganya akan dapat
mendorong kelancaran perkembangan anak. Demikian juga, orang tua
yang cenderung sering membanding-bandingkan anak yang satu
dengan lainnya juga akan berpengaruh kurang baik terhadap
perkembangan kemandirian anaknya.
3. Sistem pendidikan di sekolah.
Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan
demokratisasi pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi
tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian
remaja. Demikian juga, proses pendidikan yang banyak menekankan
pentingnya pemberian sanksi atau hukuman (punishment) juga dapat
menghambat perkembangan kemandirian remaja. Sebaliknya, proses
pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap
potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi positif akan
memperlancar perkembangan kemandirian remaja.
4. Sistem kehidupan di masyarakat.
Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu menekankan pentingnya
hirarkhi struktur sosial, kurang terasa aman atau bahkan mencekam,
dan kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan-
kegiatan produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan
kemandirian remaja. Sebaliknya, lingkungan masyarakat yang aman,
menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan
dan tidak terlalu hirarkhis akan merangsang dan mendorong bagi
perkembangan kemandirian remaja.
Dari uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
mencapai kemandirian seseorang tidak dapat terlepas dari faktor-faktor yang
mendasari terbentuknya kemandirian itu sendiri. Faktor-faktor ini mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan yang selanjutnya akan
menentukan seberapa jauh seorang individu bersikap dan berpikir cara mandiri
dalam menjalani kehidupan lebih lanjut.
d. Upaya pendidik mewujudkan peserta didik yang mandiri
Menurut Mohammad Asrori (2008) upaya mewujudkan kemandirian
remaja adalah:
1. Penciptaan partisiapasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga
2. Penciptaan keterbukaan
3. Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasi lingkungan
4. Penerimaan positif tanpa syarat
5. Empati terhadap remaja
6. Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja
Pentingnya Kemandirian bagi Peserta Didik
Hal ini dapat terlihat dari situasi kompleksitas kehidupan dewasa ini, yang
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kehidupan peserta didik.
Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta didik terlihat dari berbagai
fenomena yang sangat membutuhkan perhatian dunia pendidikan, seperti
perkelahian antarpelajar, peyalahgunaan obat dan alkohol, perilaku agresif dan
berbagai perilaku menyimpang yang sudah mengarah pada tindak kriminal.
Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang
kurang mandiri dalam belajar yang dapat menimbulkan gangguan mental
setelah memasuki pendidikan lanjutan, kekiasan belajar yang kurang baik
(seperti tidak betah belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian,
membolos, menyontek dan mencari bocoran soal-soal ujian).
Fenomena-fenomena di atas, menuntut dunia pendidikan untuk
mengembangkan kemandirian peserta didik. Sunaryo Kartadinata (1988)
menyebutkan beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan
kemandirian yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu:
1. Ketergantungan disiplin kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang
ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku formalistik,
ritualistik dan tidak konsisten, yang pada gilirannya akan menghambat
pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu
ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.
2. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah
manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang
bertransenden terhadap lingkungannya. Ketidakpedulian terhadap
lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif, yang menunjukkan
bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.
3. Sikap hidup konformistis tanpa pemahaman dan konformistik dengan
mengorbankan prinsip. Mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang
berkembang dalam masyarakat menunjukkan adanya ketidakjujuran dalam
berpikir dan bertindak serta kemandiriann yang masih rendah.
Gejala-gejala tersebut merupakan bagian kendala utama dalam
mempersiapkan individu-individu yang mengarungi kehidupan masa
mendatang yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Oleh sebab itu,
perkembangan kemandirian peserta didik menuju ke arah kesempurnaan
menjadi sangat penting untuk dilakukan secara serius, sistematis dan
terprogram.
Dengan demikian, upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk
mewujudkan peserta didik yang mandiri, antara lain:
1. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang
memungkinkan peserta didik merasa dihargai.
2. Mendorong peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan
keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah. Seperti memberikan
kepercayaan mereka dalam mengorganisasi sebuah kegiatan.
3. Memberi kebebasan kepada peserta didik untuk mengeksplorasi
lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka.
4. Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan peserta didik,
tidak membeda-bedakan perserta didik yang satu dengan yang lain.
5. Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan peserta didik, baik
dalam proses kegiatan belajar mengajar maupun di limgkungan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori, Mohammad. 2008. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
B, Clark. 1998. Growing Up Gifted. Third Edition. Ohio: A Bell and Howell Information Company.
Buchori, Mochtar. 1994. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia. Yogjakarta: Tiara Wacana.
E.B. Hurlock. 1991. The Psichology of Adolescence. New York: Houghton Mifflin.
Engkoswara. 2001. Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung: Yayasan Amal Keluarga, cetakan kedua.
Kartadinata, Sunaryo. 1988. Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa serta Kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Nilai Rujukan. Bandung: IKIP Bandung.
Steiberg. 1993. Counseling the Gifted and Talent. Denver, Colorado: Love Publishing.
5. Pada awal perkuliahan Anda telah mempelajari berbagai teori pembelajaran
a. Di antara berbagai teori pembelajaran tersebut teori pembelajaran yang
manakah yang paling baik menurut Anda, dan berikan alasannya.
b. Alasan apakah yang mendasari banyaknya teori pembelajaran yang disusun
oleh para ahli.
c. Rumuskan sebuah teori belajar yang paling sesuai dengan kondisi sekarang
menurut pengalaman dan pengetahuan Anda sebagai pendidik yang di
dalamnya memuat; paradigma teori, definisi teori, karakteristik teori, proses
pelaksanaan teori dan hasil yang diharapkan dari teori tersebut.
Penjelasan:
a. Teori pembelajaran yang paling baik
Kriteria teori pembelajaran yang baik (ideal) yaitu; formal, akurat,
konsisten secara internal, dan memiliki cakupan yang luas mengenai
pembelajaran dan motivasi. Di antara teori-teori pembelajaran yanga ada
tidak ada teori yang paling baik. Setiap teori memiliki kekurangan dan
kelebihan.Teori itu dikombinasikan dalam proses pembelajaran agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Guru menggunakan teori pembelajaran sesuai dengan pemahaman
mereka. terkadang guru menggunakan lebih dari satu teori pembelajaran
dalam proses pembelajaran. Hal ini dilakukan agar tujuan dari pembelajaran
dapat tercapai.
Teori-teori pembelajaran yang mereka gunakan yaitu, teori behavioristik
dalam pembelajaran, teori pemrosesan informasi, teori metakognisi, teori
belajar sosial, teori problem solving (berdasarkan masalah), dan teori
konstruktivisme.
Teori Behavioristik dalam Pembelajaran:
Teori ini menjelaskan terjadinya proses pembelajaran adalah
“pengkondisian klasik (classical conditioning) yang dipelopori oleh Ivan
Pavlov dan “pengkondisian operan” (operant conditioning) yang dipelopori
oleh Burrhus F. Skinner.
Teori behavioristik lebih menekankan pada perubahan tingkah sebagai
hasil belajar. Teori behavioristik menganut model hubungan stimulus-
respon yang mendudukan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat
diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh
guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat
diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
meruapakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan
tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
(reinforcement). Jika sesuatu yang tidak mengenakkan pebelajar sehingga
membuat ia melakukan kesalahan itu dikurangi bukan malah ditambah dan
pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif
adalah penguatan positif (positive reinforcement). Kedua penguatan ini
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif
menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respon.
Aplikasi teori pembelajaran behavioristik dalam pembelajaran:
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik
adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
1. Mementingkan pengaruh lingkungan
2. Mementingkan bagian-bagian (elementalistik)
3. Mementingkan peranan reaksi
4. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur
stimulus respon
5. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuknya
sebelumnya.
6. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan
7. hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan
Peran Guru:
1. Menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap (modul,
instruksi, dll).
2. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat diikuti
contoh-contoh (dilakukan sendiri/simulasi).
3. Bahan pelajaran disusun sederhana menuju kompleks.
4. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai
dengan pencapaian suatu keterampilan tertentu.
5. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
6. Kesalahan harus diperbaiki.
7. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
8. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang
kurang sesuai mendapat penghargaan negatif.
9. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Peran Siswa:
1. Berlaku (doing) sesuai instruksi.
2. Meniru perilaku yang dicontoh.
3. Mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan (positif-diulangi, negatif-
dihilangkan).
4. Berlatih melalui pengulangan dan pembiasaan.
5. Menguasai keterampilan dasar sebagai persyaratan penguasaan
keterampilan selanjutnya.
Teori pembelajaran behavioristik memang merupakan teori yang paling
dulu dikenal dibandingkan teori-teori pembelajaran lainnya. Walaupun
demikian bukan berarti teori ini tidak dapat dapat diterapkan pada masa
sekarang. Dalam penerapannya pada masa kini, sebagai contoh: ketika
siswa baru saja mendapatkan pelajaran Shalat, guru menuntunnya untuk
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai rutinitas secara tepat
sesuai dengan norma agama. Selain itu, guru perlu menerangkan dan
membangun penghayatan makna shalat. Berdasarkan contoh tersebut
terlihat bahwa meskipun teori behavioristiknya masih sangat besar, namun
melibatkan teori lain seperti konstruktivisme yaitu tatkala guru berupaya
membangun pengetahuan siswa melalui pengalamannya mengerjakan
Shalat. Pengetahuan yang dibangun berupa makna Shalat yang hadir melalui
perasaannya akibat penghayatan ketika melakukan Shalat.
Teori Pemrosesan Informasi dalam Pembelajaran:
Model pemprosesan informasi pada mulanya dilakukan dengan
menggunakan sistem komputer sebagai analogi. Bagaimanapun disadari
bahwa penggunaan sistem komputer sebagai analogi cara manusia
memproses, menyimpan dan mengingat kembali informasi sesungguhnya
kurang tepat karena terlalu menyederhanakan manusia. Cara manusia
memproses informasi sesungguhnya lebih kompleks dibandingkan dengan
komputer.
Teori pembelajaran pemrosesan informasi adalah bagian dari teori belajar
Sibernetik. Secara sederhana pengertian belajar menurut belajar sibernetik
adalah pengolahan informasi. Dalam teori ini, seperti psikologi kognitif,
bagi sibernetik mengkaji proses belajar penting dari hasil belajar, namun
yang lebih penting dari kajian proses belajar itu sendiri adalah sistem
informasi, sistem informasi inilah yang pada akhirnya akan menentukan
proses belajar.
Teori sibernetik berasumsi bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang
ideal untuk segala situasi, dan cocok untuk semua siswa. Asumsi ini
didasarkan pada suatu pemahaman yaitu cara belajar sangat ditentukan oleh
sistem informasi. Dengan penjelasan saat seorang siswa dapat memperoleh
informasi dengan satu proses dan siswa yang lain juga dapat memperoleh
informasi yang sama namun dengan proses belajar yang berbeda.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu;
(1) motivasi, (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5)
ingatan kembali; 96) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan Balik.
Menurut Slavin (2000: 175), teori pemrosesan informasi adalah teori
kognitif tentang belajar yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan dan
pemanggilan kembali pengetahuan dari otak. Teori ini menjelaskan
bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan dapat diingat
dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, perlu menerapkan suatu
strategi belajar tertentu yang dapat memudahkan semua informasi diproses
di dalam otak melalui beberapa indera.
Analisis Kelebihan: dengan menggunakan teori pemprosesan informasi
dalam pembelajaran akan membantu meningkatkan keaktifan siswa untuk
berpikir dalam kegiatan pembelajaran. Siswa akan berusaha mengaitkan
suatu kejadian atau proses pembelajaran yang menarik dengan materi yang
disampaikan, karena dalam teori pemprosesan informasi guru atau pendidik
dituntut untuk kreatif dalam memberikan pengajaran terhadap peserta didik.
Yang dimaksud guru kreatif tersebut adalah guru mampu menyajikan materi
pembelajaran dengan menggunakan alat bantu dan metode penyampaian
yang dapat menarik siswa sehingga, siswa akan mudah mengingat dan
memahami materi yang disampaikan.
Analisis Kelemahan: Jika seseorang guru tidak bisa menyampaikan
materi pembelajaran dengan metode dan alat bantu yang dapat menarik
siswa, maka pembelajaran akan terasa membosankan. Sehingga tidak akan
menarik perhatian siswa yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan
pembelajaran. Selain itu, apabila menghadapi siswa atau peserta didik yang
benar-benar tidak mampu diajak untuk aktif berpikir maka akan terjadi
ketidaksingkronan antara pendidik dan peserta didik sehingga tujuan
pembelajaran tidak akan tercapai
Teori Metakognisi dalam Pembelajaran:
Istilah metakognisi yang dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan
metacognition berasal dari dua kata yang dirangkai yaitu Meta dan Kognisi
(cognition). Istilah Meta berasal dari bahasa Yunani μετά yang dalam
bahasa Inggris diterjemahkan dengan (after, beyond, with, adjacent), adalah
suatu prefik yang dugunakan dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan
pada suatu abstraksi dari suatu konsep. (Wikipedia, Free Encyclopedia,
2008). Sedangkan cognition, menurut Ensklopedia tersebut berasal dari
bahasa Latin yaitu cognoscere, yang berarti mengetahui (to know) dan
mengenal (to recognize).
Kognisi, disebut juga gejala-gejala pengenalan, merupakan “The act or
process of knowing including both awareness and judgement” (Webster’s
Seventh New Collegiate Dictionary, 1972 : 161). Sementara itu Huitt
(2005) menyatakan “Cognition refers to the process of coming to know and
understand; the process of encoding, storing, processing, retrieving
information.” .
Metakognisi (metacognition) merupakan suatu istilah yang diperkenalkan
oleh Flavell pada tahun 1976. Menurut Flavell, sebagaimana dikutip oleh
Livingston (1997), metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognitif
(metacognitive knowledge) dan pengalaman atau regulasi metakognitif
(metacognitive experiences or regulation). Pengetahuan metakognitif
menunjuk pada diperolehnya pengetahuan tentang proses-proses kognitif,
pengetahuan yang dapat dipakai untuk mengontrol proses kognitif.
Sedangkan pengalaman metakognitif adalah proses-proses yang dapat
diterapkan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan mencapai
tujuan-tujuan kognitif.Sedangkan Livingstone (1997) mendefinisikan
metakognisi sebagai thinking about thinking atau berpikir tentang berpikir.
Metakognisi, menurut tokoh tersebut adalah kemampuan berpikir di
mana yang menjadi objek berpikirnya adalah proses berpikir yang terjadi
pada diri sendiri. Ada pula beberapa ahli yang mengartikan metakognisi
sebagai thinking about thinking, learning to think, learning to study,
learning how to learn, learnig to learn, learning about learning (NSIN
Research Matters No. 13, 2001).
Sementara itu Margaret W. Matlin (1998: 256) dalam bukunya yang
diberi judul Cognition, menyatakan : “Metacognition is our knowledge,
awareness, and control of our cognitive process” . Metakognisi, menurut
Matlin, adalah pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap proses kognitif
yang terjadi pada diri sendiri.
Wellman (1985) sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Usman Mulbar
(2008) menyatakan bahwa: Metacognition is a form of cognition, a second
or higher order thinking process which involves active control over
cognitive processes. It can be simply defined as thinking about thinking or
as a “person’s cognition about cognition” Metakognisi, menurut Wellman,
sebagai suatu bentuk kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih
yang melibatkan pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu,
metakognisi dapat dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya
sendiri atau kognisi seseorang tentang kognisinya sendiri.
William Peirce mendefinisikan metakognisi secara umum dan secara
khusus. Menurut Peirce (2003), secara umum metakognisi adalah berpikir
tentang berpikir. Sedangkan secara khusus, dia mengutip definisi
metakognisi yang dibuat oleh Taylor, yaitu “an appreciation of what one
already knows, together with a correct apprehension of the learning task
and what knowledge and skills it requires, combined with the ability to
make correct inferences about how to apply one’s strategic knowledge to a
particular situation, and to do so efficiently and reliably.” (Peirce, 2003).
Tokoh berikut yang juga mendefinisikan metakognisi antara lain Hamzah B.
Uno. Menurut Uno (2007: 134) metakognisi merupakan keterampilan
seseorang dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya.
Taccasu Project (2008) mendiskripsikan pengertian metakognisi sebagai
berikut ini:
Metacognition is the part of planning, monitoring and evaluating the
learning process.
Metacognition is is knowledge about one’s own cognitive system;
thinking about one’s own thinking; essential skill for learning to
learning.
Metacognition includes thoughts about what are we know or don’t know
and regulating how we go about learning.
Metacognition involves both the conscious awareness and the conscious
control of one’s learning.
Metacognition is learning how to learn involves possessing or acquiring
the knowledge and skill to learn effectively in whatever learning
situation learners encounters.
Metakognisi, sebagaimana dideskripsikan pengertiannya oleh Taccasu
Project pada dasarnya adalah kemampuan seseorang dalam belajar, yang
mencakup bagaimana sebaiknya belajar dilakukan, apa yang sudah dan
belum diketahui, yang terdiri dari tiga tahapan yaitu perencaan mengenai
apa yang harus dipelajari, bagaimana, kapan mempelajari, pemantauan
terhadap proses belajar yang sedang dia lakukan, serta evaluasi terhadap apa
yang telah direncanakan, dilakukan, serta hasil dari proses tersebut.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan pada uraian di
atas dapat diidentifikasi pokok-pokok pengertian tentang metakognisi
sebagai berikut.
Metakognisi merupakan kemampuan jiwa yang termasuk dalam
kelompok kognisi.
Metakognisi merupakan kemampuan untuk menyadari, mengetahui,
proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri.
Metakognisi merupakan kemampuan untuk mengarahkan proses kognisi
yang terjadi pada diri sendiri.
Metakognisi merupakan kemampuan belajar bagaimana mestinya belajar
dilakukan yang meliputi proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Metakognisi merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Dikatakan
demikian karena aktivitas ini mampu mengontrol proses berpikir yang
sedang berlangsung pada diri sendiri.
Teori Belajar Sosial dalam Pembelajaran:
Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana konsep
dari teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman
dan evaluasi. Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung
atau pengamatan (mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia baca,
dengar, dan lihat di media, dan juga dari orang lain dan lingkungannya.
(Sihnu Bagus).
Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak
tentang perilaku melalui peniruan/modeling, bahkan tanpa adanya penguat
(reinforcement) sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini
disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan.
Albert Bandura (1971), mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial
membahas tentang (1) Bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan
melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) Cara
pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) Begitu pula
sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan
menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses
pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang
mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan
hukuman yang diberikan kepada orang lain.
Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses
pengamatan atau modeling proses yang terjadi dalam observational learning
tersebut antara lain :
1. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian
terhadap model dengan cermat.
2. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang
ditampilkan oleh model yang diamati maka seseorang perlu memiliki
ingatan yang bagus terhadap perilaku model.
3. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan
perhatian untuk mengamati dengan cermat dan mengingat kembali
perilaku yang telah ditampilkan oleh modelnya maka berikutnya adalah
mencoba menirukan atau mempraktekkan perilaku yang dilakukan oleh
model.
4. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki
motivasi untuk belajar dari model.
Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan dengan teori belajar
sebelumnya, karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku
seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut. Bandura
memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks atas stimulus,
melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi-interaksi antara
lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.
Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya
condisioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan). Selain itu,
pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya penelitian empiris dalam
mempelajari perkembangan anak-anak. Penelitian ini berfokus pada proses
yang menjelaskan perkembangan anak-anak, faktor sosial dan kognitif.
Ada beberapa manfaat dari modeling atau belajar observasional,
contohnya yaitu:
a. Mereduksi atau mengeliminasi hambatan
Belajar observasi melalui model ini, bisa menghilangkan hambatan yang
dialami oleh seseorang. Misalnya, seseorang sangat takut akan ular.
Dengan proses pengamatan terhadap model yang dengan mudah
memegang dan menyentuh ular. Si pengamat akan berpendapat bahwa
ular bukan merupakan hewan yang terlalu menakutkan, dan hasil yang
didapatkan bahwa si pengamat mulai belajar untuk tidak takut terhadap
ular.
b. Mengajarkan keahlian baru
Dengan mengamati model, si pengamat dapat memperoleh keahlian
baru, dengan cukup mengamati.
c. Menghambat respons
Melihat model mendapatkan ganjaran hukuman atas perbuatan yang
dilakukannya, dapat membuat respons si pengamat terhadap situasi yang
sama menjadi terhambat.
d. Memfasilitasi respons
Memfasilitasi di sini berupa dengan proses pengamatan yang dilakukan
dapat meningkatnya kemungkinan si pengamat untuk melakukan respon
yang sama.
e. Mengajarkan kreativitas
Mengajarkan kreativitas ini dapat dilakukan dengan cara menunjukkan
kepada pengamat beberapa model yang menyebabkan pengamatan
mengadopsi kombinasi berbagai karakteristik atau gaya.
f. Mengajarkan kaidah dan aturan umum
Penggunaan modeling, tidak selalu memicu imitasi dari pengamat.
Pengamat bisa mempelajari apa kaidah atau prinsip yang dicontohkan
dalam berbagai pengalamn modeling, kemudian prinsip dan kaidah yang
telah dipahami bisa dipakai secara efektif untuk memecahkan problem
yang berbeda dari situasi sebelumnya. Dalam prosesnya, pengamat
harus mengamati berbagai macam situasi yang memiliki kaidah atau
prinsip yang sama, mengambil inti sari kaidah atau prinsip dari berbagai
pengalaman berbeda, lalu menggunakan kaidah atau prinsip itu dalam
situasi yang baru dan berbeda.
Kelebihan dan kekurangan teori Sosial Albert Bandura:
Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang
membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsure kecepatan
spontanitas kelenturan daya tahan dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang
tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada
guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang
pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga
guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.
Teori Problem Solving dalam Pembelajaran
Problem solving atau penyelesaian suatu masalah dalam proses
pembelajaran melibatkan pelbagai jenis pemikiran atau kognisi seperti
mengidentifikasi, mengkategori, menyusun, membuat inferensi,
merumuskan analogi, dan mengingat kembali.
Strategi penyelesaian masalah:
a. Algoritma: adalah prosedur langkah demi langkah yang bersifat
sistematik dan konsisten serta menghasilkan penyelesaian yang sama
setiap kali digunakan.
b. Heuristik: adalah jalan pintas yang memiliki kemungkinan tinggi untuk
membawa kepada penyelesaian yang tepat (rules of thumb). Ini
merupakan butir-butir informasi lama yang pernah digunakan dalam
membantu penyelesaian masalah pada masa lalu.
c. Merumuskan Sub-Tujuan: adalah strategi memperincikan suatu masalah
yang kompleks ke dalam beberapa sub-tujuan atau sub-masalah
sehingga memudahkan dalam penyelesaiannya.
Keunggulan dan kelemahan teori belajar Problem Solving dalam
pembelajaran:
Sebagai salah satu alternatif teori pembelajaran, pemecahan masalah
(problem solving) memiliki beberapa keunggulan (Wina Sanjaya, 2006:
220), diantaranya:
a. Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teori pembelajaran
yang mencakup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kepuasan
tersendiri untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa dalam setiap
mata pelajaran yang mereka hadapi.
c. Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas
pembelajaran siswa agar aktif.
d. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk
mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam
pembelajaran yang mereka lakukan serta mengarahkan cara belajar
mandiri.
e. Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa menunjukkan
kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran khususnya akuntasi, pada
dasarnya merupakan cara berpikir, dan sesuatu yang harus dimengerti
oleh siswa, bukan hanya sekadar dari guru saja.
f. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan
dan memberikan pengalaman belajar sehingga merangsang minat serta
disukai siswa.
g. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan
kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan
kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
h. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan
pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki
dalam dunia nyata.
i. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat
siswa untuk terus-menerus (kontinuitas) belajar sekalipun belajar pada
pendidikan formal telah berakhir atau belajar sepanjang hayat.
Kelemahan teori pembelajaran Problem Solving:
a. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap oleh para siswa sebagai
suatu hal yang merepotkan karena harus melalui tahapan-tahapan.
b. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai
kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan
maka mereka akan merasa ragu untuk mencoba.
c. Keberhasilan teori pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem
solving) membutuhkan cukup waktu yang lama untuk persiapan.
d. Karena siswa cenderung untuk bekerja sendiri, mereka mungkin tidak
dapat “menemukan” semua hal yang seharusnya mereka dapatkan.
e. Siswa yang menggunakan pemecahan masalah (problem solving) yang
tidak tepat mungkin akan membuat kesimpulan yang salah.
Teori Konstruktivisme dalam pembelajaran:
Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat
kepada siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran daripada guru atau
instruktur. Teori berpandangan bahwa siswa yang berinteraksi dengan
berbagai objek dan peristiwa sehingga mereka memperoleh dan memahami
pola-pola penanganan terhadap objek dan peristiwa tersebut. Dengan
demikian, siswa sesungguhnya mampu membangun konseptualisasi dan
pemecahan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu, kemandirian dan
kemampuan berinisiatif dalam proses pembelajaran sangat didorong untuk
dikembangkan.
Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme:
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh
teori konstruktivisme, yaitu:
a. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar.
b. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
c. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin
dicapai.
d. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan
menekankan pada hasil.
e. Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
f. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
g. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
h. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.
i. Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip teori kognitif.
j. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses
pembelajaran; seperti: prediksi, inferensi, kreasi, dan analisis.
k. Menekankan pentingnya “bagaimana” siswa belajar.
l. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi
dengan siswa lain dan guru.
m. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.
n. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata.
o. Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.
p. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar.
q. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan
dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata.
Kelebihan teori pembelajaran konstrutivisme:
Murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, menjandi idea dan
membuat keputusan. paham karena murid terlibat secara langsung dalam
membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan boleh
mengapliksikannya dalam semua situasi. Selian itu murid terlibat secara
langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru
dalam membina pengetahuan baru; Adanya motivasi untuk siswa bahwa
belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri; Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya; Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan
pemahaman konsep secara lengkap; Mengembangkan kemampuan siswa
untuk menjadi pemikir yang mandiri; Lebih menekankan pada proses
belajar bagaimana belajar itu.
Kelemahan teori konstruktivisme:
Kelemahan bisa kita lihat dalam proses belajarnya di mana peran guru
sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung; siswa berbeda
persepsi satu dengan yang lainnya.
b. Alasan apakah yang mendasari banyaknya teori pembelajaran yang
disusun oleh para ahli
Dalam melakukan sebuah proses pembelajaran, seorang guru perlu
memahami berbagai gaya saat mengajar. Gaya-gaya tersebut merupakan
cerminan dari model suatu teori pembelajaran. Teori-teori tersebut memiliki
konstribusi yang sama dalam pembelajaran, karena semuanya bertujuan
melahirkan sesosok manusia yang mampu bersaing menghadapi fenomena
dunia yang tak pandang bulu. Namun, tak ada yang benar-benar sempurna.
Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan yang nantinya akan
saling melengkapi. Penting bagi terciptanya kualitas manusia unggulan.
Kemajuan teknologi dan globalisasi menuntut segalanya harus canggih dan
modern. Hal itu harus diimbangi pula dengan manusia-manusia maju yaitu
cerdas, kritis, dan inovatif.
Pergeseran teori pembelajaran disebabkan karena kurang mampunya
sebuah teori melahirkan sosok manusia yang diharapkan. Memang di dunia
ini tidak ada yang sempurna, namun berusaha untuk mencapainya itu perlu.
Pergeseran teori pembelajaran itu akibat sifatnya yang terlalu idealis atau
masing-masing hanya menganggap dirinya sebagai satu-satunya teori yang
paling baik. Kemudian adanya keingintahuan dari pada ahli untuk
memecahkan dan menutup kekurangan yang ada, adanya sikap kritis dari para
ahli untuk mencari kebenaran dari ilmu pengetahuan. Lalu apa tujuan
diadakannya pergeseran tersebut? Yakni, untuk menutupi kesalahan yang
telah lalu dan penyempurnaan teori yang sekarang ada.
Teori pembelajaran merupakan suatu sarana yang dapat mendukung
pembelajaran. Namun, teori tersebut bukan satu-satunya pendukung
melainkan hanya sebagai salah satu dari banyak pendukung. Sehingga,
sebagai seorang pendidik jangan hanya berpedoman pada teori-teori
pembelajaran tetapi berusaha mengekspresikan pikiran dan gagasannya untuk
menghasilkan sebuah inovasi dalam pembelajaran, atau dari berbagai teori
dapat dikombinasikan dan diambil sisi manfaat untuk menghasilkan sesuatu
yang baru. Jadi, jika hanya terpacu pada sebuah teori pembelajaran tentu tidak
akan menghasilkan suatu pembelajaran yang optimal dan tidak melahirkan
bibit-bibit manusia berkualitas. Sang pendidik harus memiliki jiwa berpikir
kritis untuk memiliah-memilah hal yang sesuai untuk para siswanya dalam
mengajar, bukan hanya sesuai untuk dirinya.
Selanjutnya, masa depan adalah masa perkiraan di mana semua orang
mengharapkan sesuatu yang baru dan lebih baik. Sesuatu tidak dapat disebut
baru tanpa hal yang baru. Sebagai pendidik, perlu mengadakan inovasi
terhadap pembelajaran. Inovasi tersebut bukan berarti harus hal yang rumit
atau susah, tetapi kunci utamanya adalah cocok untuk siswa. Memancing
siswa untuk kritis, kreatif, dan inovatif tidak dapat terwujud jika pendidik
juga tak mampu melakukannya. Tidak ada sesuatu yang bagus jika berdiri
sendiri. Jadi, di masa depan bukan berarti teori harus benar-benar baru, tetapi
bisa berpedoman dari kombinasi teori-teori lama dan menghasilkan teori baru
yang sesuai dengan siswa.
Hal ini dikarenakan pada dasarnya semua teori itu tidak ada yang sama,
hanya saja penerapannya dalam pembelajaran serta pandangan terhadap
peserta didik yang berbeda. Jadi penggunaan teori belajar dan pembelajaran
dalam proses pembelajaran merupakan acuan dalam menjalankan proses
pembelajaran di kelas agar tercipta kondisi sesuai yang diinginkan.
c. Rumuskan sebuah teori belajar yang paling sesuai dengan kondisi
sekarang menurut pengalaman dan pengetahuan Anda sebagai pendidik
yang di dalamnya memuat; paradigma teori, definisi teori, karakteristik
teori, proses pelaksanaan teori dan hasil yang diharapkan dari teori
tersebut
Isu utama dunia pendidikan kita sekarang ini menyangkut pendidikan
karakter. Pendidikan seperti ini dipercaya selain menjadi bagian dari proses
pembentukan akhlak anak bangsa, juga dianggap mampu menjadi pondasi
utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Maka tidak heran kalau
dalam perspektif Kemdiknas, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan
di seluruh jenjang pendidikan yang dibinanya, tidak kecuali di pendidikan
tinggi.
Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof dr Fasli Jalal, PhD menyatakan
bahwa pendidikan karakter sangat erat dan dilatarbelakangi keinginan
mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD
1945.
Konsensus tersebut selanjutnya diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003
tentang Sistim Pendidikan Nasional, yang berbunyi “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”
Jika dihubungkan dengan pendidikan karakter dan teori pembelajaran
yang ada sekarang, ada beberapa pendekatan yang dapat menjelaskan
perkembangan kognitif dalam dunia pendidikan guna membentuk karakter
peserta didik yang seperti diharapkan sesuai dengan UU No.20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Teori pembelajaran itu salah satunya adalah teori konstruksi pemikiran
sosial yang merupakan suatu perspektif yang menyatakan bahwa lingkungan
sosial dan budaya akan memberikan pengaruh terbesar terhadap pembentukan
kognisi dan pemikiran anak.
Dalam teori Perkembangan Sosial Kognitif dikembangkan Lev
Vygotsky, memiliki implikasi langsung pada dunia pendidikan. Teori
Vygotsky menyatakan bahwa anak belajar secara aktif lebih baik daripada
secara pasif. Teori ini kerap dijadikan salah satu bahasan kajian. Alasannya,
ia memiliki penilaian tersendiri yang membedakannya dengan para tokoh
yang lain.
Vygotsky merupakan satu di antara tokoh konstruktivis. Di mana
konstruktivisme adalah argumen bahwa pengetahuan merupakan konstruksi
dari seseorang yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar dipahami
sebagai seseorang yang membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif dan
terus-menerus.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya
pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi
antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya
pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori ini, fungsi kognitif
berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu berada
dalam zone of proximal development mereka. Ini adalah zona jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan
potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Teori ini menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya.
Pertama, menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah
yang efektif dalam masing-masing zone of proximal development mereka.
Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding.
Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga
sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model
pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa
dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-
konsep dan pemecahan masalah.
Dalam aplikasinya, teori ini menuntut pada penekanan interaksi antara
peserta didik dan tugas- tugas belajar. Mengedepankan suatu proses belajar
dimana siswa lebih berperan aktif. Dengan demikian peran guru lebih
bergeser lebih menjadi fasilitator konstruksi siswa.
Pembelajaran juga dituntut menggunakan zone of proximal development.
Dengan penyesuaian terus menerus. Selanjutnya adalah dengan banyak
menggunakan teman sebaya sebagai guru. Artinya bahwa memang bukan
hanya orang dewasa yang mampu membantu seorang anak dalam
perkembangan kognitifnya. Karena faktanya memang bahasa teman sebaya
lebih mudah untuk dipahami dalam interaksinya.
Analisis awal adalah langsung membandingkan inti teori Vygotsky. Hal
pertama yang menjadi sorotan kita adalah tentang argumen bahwa interaksi
sosial dan budaya lebih berperan dalam pengembangan kognitif anak. Inti
penekanan teori adalah bahwa interaksi sosial dengan sesuatu di luar dirinya
yang membuat kognitif anak berkembang. Dengan demikian, zone proximal
development anak semakin meningkat.
Pada intinya dapat disimpulkan bahwa dalam teori ini mengandung
banyak unsur psikologi pendidikan, khususnya pokok bahasan pendidikan
dan budaya. Jika dalam teori ini anak perlu berinteraksi dengan budaya.
Maka dalam filsafat pendidikan pun dapat kita temukan bahwa bahasa,
sebagai hasil budaya juga menjadi sangat sentral bagi berkembangnya
kognitif. Bahasa menjadi alat transfer ilmu. Beberapa konsep dalam psikologi
pendidikan juga selaras dengan teori pengembangan kognitif Vygotsky.
Psikologi pendidikan telah memberikan landasan filosofis bagi teori-teori
pengembangan intelektual.
Kebutuhan
Kita mencoba mengelaborasi pemikiran Abraham Maslow terkait
kebutuhan di sekolah. Paparan Maslow tentang Teori Hierarki Kebutuhan
Individu coba kita aplikasikan ke dalam kebutuhan sekolah atau untuk
kepentingan proses pendidikan.
Kita tahu, Maslow membagi kebutuhan manusia ke dalam lima
kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari
yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga
yang sulit untuk dicapai atau didapat. Lima kebutuhan dasar Maslow berikut
ini disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak
terlalu krusial.
Pertama, kebutuhan fisiologis seperti sandang, pangan, papan, dan
kebutuhan biologis. Kedua, kebutuhan keamanan dan keselamatan seperti
tidak terancam lain sebagainya. Ketiga, kebutuhan sosial seperti memiliki
teman, memiliki keluarga dan lain-lain. Keempat, kebutuhan penghargaan
seperti penghargaan, hadiah dan lainnya. Kelima, kebutuhan aktualisasi diri
yakni kebutuhan bertindak sesuai dengan bakat dan minatnya.
Aplikasi kebutuhan fisiologi dalam dunia pendidikan bisa berupa
penyediaan infrastruktur pendidikan yang memadai. Sebutlah, bangunan yang
representatif, ruang kelas, ruang kamar mandi, ruang istirahat, ruang
pertemuan yang nyaman.
Kebutuhan rasa aman diaplikasikan dengan sikap guru yang melakukan
pendekatan pertemanan dengan peserta didik. Lebih memposisikan diri
sebagai teman ketimbang hakim ataupun polisi dengan tetap mengendalikan
suasana kelas, menegaskan disiplin dan aturan reward and punishment secara
konsisten.
Kebutuhan sosial diaplikasikan dengan sinergi antara hubungan antara
guru dengan siswa, hubungan antara siswa dengan siswa. Dalam hubungan
antara guru dengan siswa misalnya, guru menunjukkan sikap peduli, sabar
dan terbuka hingga menimbulkan ketertarikan siswa. Guru lebih banyak
memberikan umpan balik positif, menghormati setiap keputusan siswanya
dan bisa diandalkan setiap munculnya masalah pada diri siswa. Sedangkan
dalam hubungan antar siswa adalah mendorong sikap saling percaya antar
siswa, seperti membentuk berbagai forum disukusi, olahraga dan lainnya.
Aplikasi kebutuhan akan penghargaan misalnya dilakukan dengan
scaffolding atau pengembangan pengetahuan baru berdasarkan latar
pengetahuan dan kebutuhan peserta didik. Mengembangkan strategi
pembelajaran yang bervariasi, melibatkan seluruh isi kelas untuk
berpartisipasi dan bertanggungjawab.
Sedangkan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri seperti dengan
memberikan kesempatan kepada bagi peserta didik melakukan yang
terbaiknya dan menjelajah kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
Pembelajaran dilakukan secara momentum atau dikaitkan dikaitkan dengan
kondisi yang sedang terjadi.
Penutup
Adalah suatu keniscayaan bahwa pendidikan karakter itu harus didahului oleh
karakter pendidikan itu sendiri. Kalau pendidikan karakter adalah prosesnya
dan peserta didik yang berkarakter kebangsaan itu adalah outputnya, maka
karakter pendidikan itu adalah bahan bakunya.
A. Pembelajaran Kontekstual
Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Pembelajaran kontekstual menerapkan sejumlah prinsip belajar. Prinsip-prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini.
1.Konstruktivisme (Constructivism)
Konstrukstivisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa orang menyusun atau membangun pemahaman mereka dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal dan kepercayaan mereka. Seorang guru perlu mempelajari budaya, pengalaman hidup dan pengetahuan, kemudian menyusun pengalaman belajar yang memberi siswa kesempatan baru untuk memperdalam pengetahuan tersebut.
Pemahaman konsep yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar autentik dan bermakna yang mana guru mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk mendorong aktivitas berpikirnya. Pembelajaran hendaknya dikemas menjadi proses ‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Pembelajaran dirancang dalam bentuk siswa bekerja, praktik mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan gagasan, dan sebagainya.
Tugas guru dalam pembelajaran konstruktivis adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan:
(a) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,(b) memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri,(c) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
belajar.
Penerapan teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain berfikir kritis dan logis, mandiri, cinta ilmu, rasa ingin tahu, menghargai orang lain, bertanggung jawab, dan percaya diri.
2.Bertanya (Questioning)
Penggunaan pertanyaan untuk menuntun berpikir siswa lebih baik daripada sekedar memberi siswa informasi untuk memperdalam pemahaman siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang fenomena, belajar bagaimana menyusun pertanyaan yang dapat diuji, dan belajar untuk saling bertanya tentang bukti, interpretasi, dan penjelasan. Pertanyaan digunakan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa.
Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
(a) menggali informasi, baik teknis maupun akademis(b) mengecek pemahaman siswa(c) membangkitkan respon siswa(d) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa(e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa(f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru(g) menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Pembelajaran yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk menuntun siswa mencapai tujuan belajar dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain berfikir kritis dan logis, rasa ingin tahu, menghargai pendapat orang lain, santun, dan percaya diri.
3.Inkuiri (Inquiry)
Inkuiri adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman, yang diawali dengan pengamatan dari pertanyaan yang muncul. Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut didapat melalui siklus menyusun dugaan, menyusun hipotesis, mengembangkan cara pengujian hipotesis, membuat pengamatan lebih jauh, dan menyusun teori serta konsep yang berdasar pada data dan pengetahuan.
Di dalam pembelajaran berdasarkan inkuiri, siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis saat mereka berdiskusi dan menganalisis bukti,
mengevaluasi ide dan proposisi, merefleksi validitas data, memproses, membuat kesimpulan. Kemudian menentukan bagaimana mempresentasikan dan menjelaskan penemuannya, dan menghubungkan ide-ide atau teori untuk mendapatkan konsep.
Langkah-langkah kegiatan inkuiri:
a) merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun)b) Mengamati atau melakukan observasic) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan,
bagan, tabel, dan karya laind) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca,
teman sekelas, guru, atau yang lain
Pembelajaran yang menerapkan prinsip inkuiri dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain berfikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif, rasa ingin tahu, menghargai pendapat orang lain, santun, jujur, dan tanggung jawab.
4.Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terikat dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk bicara dan berbagi ide, mendengarkan ide siswa lain dengan cermat, dan bekerjasama untuk membangun pengetahuan dengan teman di dalam kelompoknya. Konsep ini didasarkan pada ide bahwa belajar secara bersama lebih baik daripada belajar secara individual.
Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi jika tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu. Semua pihak mau saling mendengarkan.
Praktik masyarakat belajar terwujud dalam:
(a) Pembentukan kelompok kecil
(b) Pembentukan kelompok besar(c) Mendatangkan ‘ahli’ ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, petani,
polisi, dan lainnya)(d) Bekerja dengan kelas sederajat(e) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya(f) Bekerja dengan masyarakat
Penerapan prinsip masyarakat belajar di dalam proses pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter, antara lain kerjasama, menghargai pendapat orang lain, santun, demokratis, patuh pada turan sosial, dan tanggung jawab.
5.Pemodelan (Modeling)
Pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemonstrasikan apa yang akan dikerjakan siswa. Pada saat pembelajaran, sering guru memodelkan bagaimana agar siswa belajar. Guru menunjukkan bagaimana melakukan sesuatu untuk mempelajari sesuatu yang baru. Guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Contoh praktik pemodelan di kelas:
a) Guru olah raga memberi contoh berenang gaya kupu-kupu di hadapan siswa
b) Guru PKn mendatangkan seorang veteran kemerdekaan ke kelas, lalu siswa diminta bertanya jawab dengan tokoh tersebut
c) Guru Geografi menunjukkan peta jadi yang dapat digunakan sebagai contoh siswa dalam merancang peta daerahnya
d) Guru Biologi mendemonstrasikan penggunaan thermometer suhu badan
Pemodelan dalam pembelajaran antara lain dapat menumbuhkan rasa ingin tahu, menghargai orang lain, dan rasa percaya diri.
6.Refleksi (Reflection)
Refleksi memungkinkan cara berpikir tentang apa yang telah siswa pelajari dan untuk membantu siswa menggambarkan makna personal siswa sendiri. Di dalam refleksi, siswa menelaah suatu kejadian, kegiatan, dan
pengalaman serta berpikir tentang apa yang siswa pelajari, bagaimana merasakan, dan bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru tersebut. Refleksi dapat ditulis di dalam jurnal, bisa terjadi melalui diskusi, atau merupakan kegiatan kreatif seperti menulis puisi atau membuat karya seni.
Realisasi refleksi dapat diterapkan, misalnya pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Hal ini dapat berupa:
(a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh siswa hari ini(b) catatan atau jurnal di buku siswa(c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari ini(d) diskusi(e) hasil karya
Refleksi dalam pembelajaran antara lain dapat menumbuhkan kemampuan berfikir logis dan kritis, mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, dan menghargai pendapat orang lain.
7.Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Penilaian autentik sesungguhnya adalah suatu istilah yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif. Berbagai metode tersebut memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan masalah, atau mengekspresikan pengetahuannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan sekolah. Berbagai simulasi tersebut semestinya dapat mengekspresikan prestasi (performance) yang ditemui di dalam praktek dunia nyata seperti tempat kerja. Penilaian autentik seharusnya dapat menjelaskan bagaimana siswa menyelesaikan masalah dan dimungkinkan memiliki lebih dari satu solusi yang benar. Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian.
Penilaian autentik dalam pembelajaran dapat mengembangkan berbagai karakter antara lain kejujuran, tanggung jawab, menghargai karya dan prestasi orang lain, kedisiplinan, dan cinta ilmu.
hanya menghasilkan Pe
Anonim. 2010. Belajar Sosial. http://id.wikipedia.org.
Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
Anonim. 2010. Teori Belajar Sosial. http://depe.blog.uns.ac.id.
Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
Bagus, Sihnu. 2010. Definisi Teori Belajar Sosial.
http://all-about-theory.blogspot.com. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
Bintang. 2008. Teori Belajar Sosial. http://bintangbangsaku.multiply.com.
Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
Endriani, Ani S.Pdi, MA. 2011. Faktor-Mempengaruhi-Sikap-Sosial.
http://aniendriani.blogspot.com. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
Nawawi, Hadori. 2000. Intereksi Sosial. Jakarta : Gunung Agung.
Nazlah. 2008. Sikap Sosial Pada Anak yang Mengikuti Pendidikan Apresiasi Seni.
http://etd.eprints.ums.ac.id. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2011.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1997. Psikologi Sosial. Yogyakarta : Andi.
Soetjipto dan Sjaefieoden,. 1994. Metodologi Ilmu Sosial. Jakarta.