jawaban dk pemicu 2

43
Pertanyaan Terjaring Pemicu 2 1. Sindrom Nefrotik 2. Glomerulonefritis 3. Interpretasi data Tambahan 4. Mekanisme bengkak di seluruh tubuh akibat sindrom nefrotik 5. Mengapa bengkak pada siang hari menghilang 6. Edema (definisi, jenis,) 7. Hubungan kaitan kadar albumin di darah dan protein di urin 8. Metode analisis protein pada urin 9. Mekanisme BAK berkurang dan keruh pada pemicu 10. Hiperlipidemia kaitan dengan pemicu 11. Edema berdasarkan kausa (hepatal, kardial,nutritional,renal) 12. Perbedaan pitting edema dan non pitting edema

Upload: azkarizky

Post on 16-Dec-2015

277 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Pertanyaan Terjaring Pemicu 21. Sindrom Nefrotik2. Glomerulonefritis3. Interpretasi data Tambahan4. Mekanisme bengkak di seluruh tubuh akibat sindrom nefrotik5. Mengapa bengkak pada siang hari menghilang6. Edema (definisi, jenis,)7. Hubungan kaitan kadar albumin di darah dan protein di urin8. Metode analisis protein pada urin9. Mekanisme BAK berkurang dan keruh pada pemicu10. Hiperlipidemia kaitan dengan pemicu11. Edema berdasarkan kausa (hepatal, kardial,nutritional,renal)12. Perbedaan pitting edema dan non pitting edema

1. Sindrom NefrotikDefinisiSindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak. Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemiaEtiologiBerdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder.1) KongenitalPenyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah:- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)- Denys-Drash syndrome (WT1)- Frasier syndrome (WT1)- Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)- Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)- Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, -actinin-4; TRPC6)- Nail-patella syndrome (LMX1B)- Pierson syndrome (LAMB2)- Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1) - Galloway-Mowat syndrome- Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome2) PrimerBerdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah sebagai berikut :- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)- Nefropati Membranosa (GNM)3) SekunderSindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :- lupus erimatosus sistemik (LES)- keganasan, seperti limfoma dan leukemia- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious) glomerulonephritisKlasifikasi Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)patofisiologiKelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, -actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.1) ProteinuriaProtenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein 40 mg/jam/m2luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.2) HipoalbuminemiaAbnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin.Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat. Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor sintesis protein. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis albumin di hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada subjek yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang adekuat.Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu dikemukakan bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami saturasi pada level a lbumin terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan dikatabolisme.

EdemaTerdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.Kelainan glomerulusAlbuminuriaHipoalbuminemiaTekanan onkotik koloid plasma Volume plasma Retensi Na renal sekunder Edema

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.Kelainan glomerulusRetensi Na renal primerVolume plasma Edema

HiperkolesterolemiaHampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain:1) Urinalisis dan bila perlu biakan urinBiakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).2) Protein urin kuantitatifPemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.3) Pemeriksaan darah- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED)- Albumin dan kolesterol serum- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatininPengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG). eLFG = k x L/ScreLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)L : tinggi badan (cm)Scr : serum kreatinin (mg/dL)k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja putra:0,7) - Kadar komplemen C3Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA

KomplikasiKomplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial peritonitisadalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumoniamerupakan organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga ditemukan sebagai penyebab.

Penatalaksanaan1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan2) Pengukuran tekanan darah3) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch Schonlein.4) Pencarian fokus infeksiSebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap infeksi, seperti infeksi di gigi -geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan.5) Pemeriksaan uji MantouxApabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama ste roid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).2.1.9 Pengobatan kortikosteroid1) Terapi inisialBerdasarkan International Study of Kidney Disease in Children(ISKDC), terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis 60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi. Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien dinyatakan resisten steroid.

Pengobatan sindrom nefrotik relapsPada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis penuh hingga terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian dosis alternating selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan prednison pada pasien.

Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroidTerdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid :a. Pemberian steroid jangka panjangb. Pemberian levamisolc. Pengobatan dengan sitostatikad. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah atau kecacingan.Penjelasan mengenai empat opsi di atas adalah sebagai berikut :a. Steroid jangka panjang Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid pada anak, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian steroid dosis 1,5 mg/kgBBsecara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis tersebut merupakan dosis threshold dan dapat dipertahankan AD 4 minggu RemisiFD Prednison FD : 60 mg/m2LPB/hariPrednison AD : 40 mg/m2LPB/hari selama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu dicoba untuk dihentikan. Pada anak usia sekolah umumnya dapat menoleransi prednison dengan dosis 0,5 mg/kgBB dan pada anak usia pra sekolah dapat menoleransi hingga dosis 1 mg/kgBB secara alternating.Apabila pada prednison dosis 0,1-0,5 mg/kgBB alternating terjadi relaps, terapi diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi diberikan setiap hari hingga remisi. Apabila telah remisi dosis prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB secara alternating. Setiap 2 minggu diturunkan 0,2 mg/kgBB hingga satu tahap (0,2 mg/kgBB) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya.Apabila pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternatingterjadi relaps tetapi pada dosis < 1,0 mg/kgBB alternating tidak menimbulkan efek samping yang berat maka dapat diikombinasikan dengan levamisol dengan selang satu hari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan atau dapat langsung diberikan siklofosfamid.Pemberian siklofosamid (2-3 mg/kgBB/hari) selama 8-12 minggu, apabila pada keadaan berikut :- Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgBB alternating, atau- dosis rumat < 1 mg/kgBB tetapi disertai : efek samping steroid yang berat pernah relaps dengan gejala yang berat, yaitu hipovolemia, trombosis, dan sepsis.b. LevamisolPeran levamisol sebagai steroid sparing agent terbukti efektif. Dosis yang diberikan yaitu 2,5 mg/kgBB dosis tunggal, dengan selang satu hari dalam waktu 4-12 bulan. Levamisol mempunyai efek samping antara lain mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.c. Sitostatikad. Siklosporin (CyA)e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)Prednison FD : 60 mg/m2 LPB/hari Prednison AD : 40 mg/m2 LPB/hari CPA oral : 2-3 mg/kgBB/hari Pemantauan Hb, leukosit, trombosit setiap minggu Leukosit < 3000/L stop dulu Leukosit > 5000/L terapi dimulai lagi 8 minggu AD 8 minggu Remisi FD CPA oral selama 12 minggu tap. Off AD 12 minggu FD Remisi CPA puls 1 2 3 4 5 6 7 tap. Off FD Remisi AD 12 minggu

4) Pengobatan sindrom nefrotik dengan kontraindikasi steroidApabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau kreatinin, infeksi berat, dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Pemberian siklofosfamid per oral diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls dosisnya adalah 500-750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval 1 bulan.

5) Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang memuaskan. Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah:a. Siklofosfamid (CPA)b. Siklosporin (CyA)c. Metilprednisolon puls

Hipoalbuminemia pada Sindrom NefrotikHipoalbuminemia pada sindrom nefrotik mempunyai karakteristik yaitu hilangnya albumin urin dalam jumlah yang besar dan reduksi pada total exchangeable albumin pool. Laju pecahan katabolisme albumin meningkat pada pasien nefrotik yang kemungkinan disebabkan peningkatan katabolisme albumin oleh ginjal. Namun, tingkat katabolik albumin absolut menurun pada pasien nefrotik. Sintesis albumin dapat meningkat tetapi tidak cukup untuk mempertahankan konsentrasi serum albumin normal atau albumin pool. Augmentasi diet protein pada tikus nefrotik langsung merangsang sintesis albumin dengan meningkatkan konten mRNA albumin di hati, tetapi juga menyebabkan peningkatan permea bilitas glomerulus terhadap makromolekul. Ketika diet protein dibatasi, laju sintesis albumin tidak meningkat, baik pada pasien nefrotik atau tikus nefrotik, meskipun hipoalbuminemia berat. Meskipun suplemen protein dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, tetapi pemberian suplemen protein saja tidak dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi albumin serum, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan deplesi albumin pool yang lebih lanjut karena perubahan yang diinduksi dalam rejeksi glomerulus.

Albumin Albumin merupakan protein sederhana tetapi menjadi protein utama dalam plasma manusia, yaitu terdapat 3,4-4,7 g/dL. Struktur albumin berupa globular dan tersusun dari ikatan polipeptida tunggal dengan susunan asam amino. Kurang lebih 40% albumin terdapat dalam plasma dan 60% terdapat di ruang ekstrasel.Albumin dihasilkan oleh hati sekitar 12 gram per hari. Produksi albumin tersebut sekitar 25% dari semua jenis sintesis protein oleh hati dan separuh dari jumlah protein yang diekskresikannya. Album in mula-mula dibentuk sebagai suatu praproprotein. Peptida sinyal akan dikeluarkan sewaktu protein ini masuk ke dalam sisterna retikulum endoplasma kasar dan heksapeptida di terminal amino yang terbentuk, kemudian diputuskan ketika protein ini menempuh jal ur sekretorik. Pada manusia, albumin terdiri dari satu rantai polipeptida dengan 585 asam amino dan mengandung 17 ikatan disulfida. Albumin dapat dibagi dengan menggunakan protease sehingga menjadi tiga domain yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Bentuk elips albumin mengandung arti bahwa albumin tidak meningkatkan viskositas plasma sebanyak peningkatan yang dilakukan oleh molekul dengan bentuk panjang, seperti halnya fibrinogen. Albumin memiliki massa molekul 69 kDa, yang berarti relatif rendah, dan konsentrasi yang tinggi. Hal ini menjadikan albumin dapat menentukan sekitar 75-80% tekanan osmotik plasma manusia.Selain berfungsi sebagai penentu tekanan osmotik plasma manusia, albumin juga mempunyai beberapa fungsi vital lain, salah satunya yaitu mengikat berbagai ligan. Ligan-ligan tersebut antara lain asam lemak bebas ( free fatty acid/FFA), kalsium, hormon steroid tertentu, bilirubin, dan sebagian triptofan plasma. Fungsi lain albumin yaitu sebagai pengangkut tembaga dalam tubuh man usia. Albumin juga memiliki peran dalam farmakologis, yaitu berikatan dengan sulfonamid, penisilin G, dikumarol, dan aspirin.PrognosisPrognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis yang ringan 90% penderita anak memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat sering kambuh.

Komplikasi Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas Infeksi sekunder, terutama infeksi kulit yang disebabkan oleh Streptokokus, Stafilokokus Hambatan pertumbuhan Gagal ginjal akut atau kronikEfek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku

2. GlomerulonefritisDefinisi Glomerulonefritis adalah suatu terminologi umum yang menggambarkan adanya inflamasi pada glomerulus, ditandai oleh proliferasi sel sel glomerulus akibat proses imunologi. Glomerulonefritis terbagi atas akutdan kronis. Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronis dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar bersifat imunologis ( Noer , 2002 )Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar dari dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam agen infeksi.Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi dalam sirkulasi atau in situ pada membran basalis glomerulus.Glomerulonefritis akut yang paling sering terjadi pada anak di negara berkembang adalah setelah infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, yaitu Glomerulonefritis Akut Pasca infeksi Streptokokus (GNAPS). Manifestasi klinis yang paling sering dari GNAPS berupa sindrom nefritik akut, manifestasi klinis lainnya dapat berupa sindrom nefrotik, atau glomerulonefritis progresif cepat.Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala klinis akibat penurunan secara tiba-tiba dari laju filtrasi glomerulus dengan disertai retensi air dan garam, pada analisis urin ditemukan eritrosit, cast eritrosit dan albumin. Meskipun penyebab umum (80%) dari sindrom nefris akut adalah GNAPS, tetapi karena penyebabnya beragam, maka perlu difikirkan diagnosa diferensial yang lain. Pada penderita sindrom nefritik akut yang mempunyai gambaran klinis klasik GNAPS harus dibedakan dengan penderita yang mempunyai gambaran klinis unusual GNAPSGambaran klinis unusual tersebut adalah: riwayat keluarga dengan glomerulonefritis, umur < 4 tahun dan > 15 tahun, mempunyai riwayat gejala yang sama sebelumnya, ditemukan penyakit ekstrarenal (seperti arthritis, rash, kelainan hematologi), ditemukan bukti bukan infeksi kuman streptokokus dan adanya gejala klinis yang mengarah kepenyakit ginjal kronis/CKD (anemia, perawakan pendek, osteodistrofi, ginjal yang mengecil, atau hipertrofi ventrikel kiri).

PatogenesisMekanisme dari pathogenesis terjadinya jejas glomerulus pada GNAPS sampai sekarang belum diketahui, meskipun telah diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman streptokokus yang berhubungan dalam terjadinya GNAPS.

EtiologiGlomerulonefritis akut paska streptokokus menyerang anak umur 5 15 tahun, anak laki laki berpeluang menderita 2 kali lebih sering dibanding anak perempuan , timbul setelah 9 11 hari awitan infeksi streptokokus.( Noer . 2006. Nelson .2002 ) Timbulnya GNA didahului oleh infeksi bakteri streptokokus ekstra renal, terutama infeksi di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh bakteri streptokokus golongan A tipe 4, 12, 25. Hubungan antara GNA dengan infeksi streptokokus dikemukakan pertama kali oleh Lohleintahun 1907 dengan alasan; a. Timbul GNA setelah infeksi skarlatina b. Diisolasinya bakteri streptokokus hemolitikus c. Meningkatnya titer streptolisin pada serum darah Faktor iklim, keadan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi terjadinya GNA, setelah terjadi infeksi kuman streptokokus. ( Hasan . 1991 ).

Gejala klinis Gejala yang sering ditemukan berupa hematuria, kadang dijumpai edema pada daerah sekitar mata atau seluruh tubuh. Gambaran GNAPS yang paling sering ditemukan adalah: hematuria, oligouria, edema dan hipertensi. Gejala gejala umum yang berkaitan dengan permulaan penyakit seperti rasa lelah, anoreksia, demam, mual, muntah dan sakit kepala. Hipertensi dijumpai 60 70 % GNA pada hari pertama, dijumpai juga gejala gastrointestinal berupa muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare. ( Noer . 2002 )

Mekanisme terjadinya jejas renal pada GNAPSGNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-antibodi yang terjadi dalam sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Mekanisme terjadinya inflamasi yang mengakibatkan terjadinya jejas renal didahului oleh proses sebagai berikut:1. Terbentuknya plasmin sebagai akibat pemecahan plasminogen oleh streptokinase yang akan menaktivasi reaksi kaskade komplemen.2. Terperangkapnya kompleks Ag-Ab yang sudah terbentuk sebelumnya kedalam glomerulus.3. Antibodi antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya berikatan dengan molekul tiruan (molecul mimicry) dari protein renal yang menyerupai Ag Streptokokus (jaringan glomerulus yang normal yang bersifat autoantigen).Sistem imun humoral dan kaskade komplemen akan aktif bekerja apabila terdapat deposit subepitel C3 dan IgG dalam membran basal glomerulus. Kadar C3 dan C5 yang rendah dan kadar komplemen jalur klasik (C1q, C2 dan C4) yang normal menunjukkan bahwa aktivasi komplemen melalui jalur alternatif. Deposisi IgG terjadi pada fase berikutnya yang diduga oleh karena Ab bebas berikatan dengan komponen kapiler glomerulus, membran basal atau terhadap Ag Streptokokus yang terperangkap dalam glomerulus. Aktivasi C3 glomerulus memicu aktivasi monosit dan netrofil. Infiltrat inflamasi tersebut secara histologik terlihat sebagai glomerulonefritis eksudatif. Produksi sitokin oleh sel inflamasi memperparah jejas glomerulus.Hiperselularitas mesangium dipacu oleh proliferasi sel glomerulus akibat induksi oleh mitogen lokal. Mekanisme cell-mediated turut terlibat dalam pembentukan GNAPS. Infiltrasi glomerulus oleh sel limfosit dan makrofag, telah lama diketahui berperan dalam menyebabkan GNAPS. Intercellular leukocyte adhesion molecules seperti ICAM-I dan LFA terdapat dalam jumlah yang banyak di glomerulus dan tubulointersisial dan berhubungan dengan intensitas infiltrasi dan inflamasi. Hipotesis lain yang sering disebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh Streptokokus, mengubah IgG menjadi autoantigenic sehingga terbentuk autoantibodi terhadap IgG itu sendiri. Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleksimun, ditemukan endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik pada mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam endapan-endapan ini.Hasil penelitian-penelitian pada binatang dan penderita GNAPS menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab, diantaranya sebagai berikut:1. Terperangkapnya kompleks antigen-antibodi dalam glomerulus yang kemudian akanmerusaknya.2. Proses auto-imun kuman Streptokokus yang bersifat nefritogenik dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.3. Streptokokus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis glomerulus.

Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks yang dideposit. Bila deposit pada mesangium respon mungkin minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan matrik yang dapat meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis, serta menghambat fungsi filtrasi glomerulus. Jika kompleks terutama terletak di subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus deposit komplek imun di subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur-angsur menebal dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis glomerulus.Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus membran basalis kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler di bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk ke dalam mesangium.MANIFESTASI KLINISGejala klinis GNAPS terjadi secara tiba-tiba, 714 hari setelah infeksi saluran nafas (faringitis), atau 3-6 minggu setelah infeksi kulit (piodermi). Gambaran klinis GNAPS sangat bervariasi, kadang-kadang gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali, kelainan pada urin ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin. Pada anak yang menunjukkan gejala berat, tampak sakit parah dengan manifestasi oliguria, edema, hipertensi, dan uremia dengan proteinuria, hematuria dan ditemukan cast. Kerusakan pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria., Gejala overload cairan berupa sembab (85%), sedangkan di Indonesia6 76.3% kasus menunjukkan gejala sembab orbita dan kadang-kadang didapatkan tanda-tanda sembab paru (14%), atau gagal jantung kongestif (2%).Hematuria mikroskopik ditemukan pada hampir semua pasien (di Indonesia 99.3%). Hematuria gros (di Indonesia6 53.6%) terlihat sebagai urin berwarna merah kecoklatan seperti warna coca-cola. Penderita tampak pucat karena anemia akibat hemodilusi. Penurunan laju filtrasi glomerulus biasanya ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar kreatinin (45%). Takhipnea dan dispnea yang disebabkan kongesti paru dengan efusi pleura sering ditemukan pada penderita glomerulonefritis akut. Takikardia, kongesti hepar dan irama gallop timbul bila terjadi gagal jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia 98.5%) biasanya bukan tipe proteinuria nefrotik. Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi pada kurang dari 5% pasien. Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 60-80% pasien ( di Indonesia 61.8%) yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit. Tingkat hipertensi beragam dan tidak proporsional dengan hebatnya sembab. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengan jelas. Kadang-kadang terjadi krisis hipertensi yaitu tekanan darah mendadak meningkat tinggi dengan tekanan sistolik > 200 mm Hg, dan tekanan diastolik > 120 mmHg. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami ensefalopati hipertensi (di Indonesia 9.2%), dengan keluhan sakit kepala hebat, perubahan mental, koma dan kejang. Patogenesis hipertensi tidak diketahui, mungkin multifaktorial dan berkaitan dengan ekspansi volume cairan ekstraseluler. Ensefalopati hipertensi meskipun jarang namun memerlukan tindakan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa pasien. Kadang kadang terdapat gejala-gejala neurologi karena vaskulitis serebral, berupa sakit kepala dan kejang yang bukan disebabkan karena ensefalopati hipertensi.Adanya anuria, proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal yang lebih parah, mungkin suatu glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada 1% kasus GNAPS. Gejala-gejala GNAPS biasanya akan mulai menghilang secara spontan dalam 1-2 minggu. Kelainan urin mikroskopik termasuk proteinuria dan hematuria akan menetap lebih lama sekitar beberapa bulan sampai 1 tahun atau bahkan lebih lama lagi.Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.

PENATALAKSANAANPenatalaksanaan pasien GNAPS meliputi eradikasi kuman dan pengobatan terhadap gagal ginjal akut dan akibatnya.AntibiotikPengobatan antibiotik untuk infeksi kuman streptokokus yang menyerang tenggorokan atau kulit sebelumnya, tidak mempengaruhi perjalanan atau beratnya penyakit. Meskipun demikian, pengobatan antibiotik dapat mencegah penyebaran kuman di masyarakat sehingga akan mengurangi kejadian GNAPS dan mencegah wabah.Pemberian penisilin pada fase akut dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama tidak dianjurkan. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali. Jika alergi terhadap golongan penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari.Beberapa klinisi memberikan antibiotik hanya bila terbukti ada infeksi yang masih aktif, namun sebagian ahli lainnya tetap menyarankan pemberian antibiotik untuk menghindarkan terjadinya penularan dan wabah yang meluas. Pemberian terapi penisilin 10 hari sekarang sudah bukan merupakan terapi baku emas lagi, sebab resistensi yang makin meningkat, dan sebaiknya digantikan oleh antibiotik golongan sefalosporin yang lebih sensitif dengan lama terapi yang lebih singkat.

SuportifTidak ada pengobatan spesifik untuk GNAPS, pengobatan hanya merupakan simptomatik. Pada kasus ringan, dapat dilakukan tirah baring, mengatasi sembab kalau perlu dengan diuretik, atau mengatasi hipertensi yang timbul dengan vasodilator atau obat-obat anti hipertensi yang sesuai. Pada gagal ginjal akut harus dilakukan restriksi cairan, pengaturan nutrisi dengan pemberian diet yang mengandung kalori yang adekuat, rendah protein, rendah natrium, serta restriksi kalium dan fosfat. Kontrol tekanan darah dengan hidralazin, calcium channel blocker, beta blocker, atau diuretik. Pada keadaan sembab paru atau gagal jantung kongestif akibat overload cairan perlu dilakukan restriksi cairan, diuretik, kalau perlu dilakukan dialisis akut atau terapi pengganti ginjal.Pembatasan aktivitas dilakukan selama fase awal, terutama bila ada hipertensi. Tirah baring dapat menurunkan derajat dan durasi hematuria gross, tetapi tidak mempengaruhi perjalanan penyakit atau prognosis jangka panjang.

Edukasi penderitaPenderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan dan prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan (95%), masih ada kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan memburuk (5%). Perlu dielaskan rencana pemantauan selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan urine untuk protein dan hematuria dilakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai hematuria dan proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk selama 1 tahun. Kadar C3 yang telah kembali normal setelah 8-10 minggu menggambarkan prognosis yang baik.

KOMPLIKASIOliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari, terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia. Walau oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan. Hipertensi ensefalopati, didapatkan gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun.

PROGNOSISSebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian besar pasien. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.

PEMERIKSAAN PENUNJANGUrinalisisPada pemeriksaan urin rutin ditemukan hematuri mikroskopis ataupun makroskopis (gros), proteinuria. Proteinuri biasanya sesuai dengan derajat hematuri dan berkisar antara sampai 2+ (100 mg/dL). Bila ditemukan proteinuri masif (> 2 g/hari) maka penderita menunjukkan gejala sindrom nefrotik dan keadaan ini mungkin ditemukan sekitar 2-5% pada penderita GNAPS. Ini menunjukkan prognosa yang kurang baik. Pemeriksaan mikroskopis sedimen urin ditemukan eritrosit dismorfik dan kas eritrosit, kas granular dan hialin (ini merupakan tanda karakteristik dari lesi glomerulus) serta mungkin juga ditemukan leukosit. Untruk pemeriksaan sedimen urin sebaiknya diperiksa urin segar pagi hari.

DarahKadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Komplemen C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen. Penurunan C3 sangat mencolok pada penderita GNAPS kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan komplemen C3 tidak berhubungan dengan derajat penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen C3 akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Bila setelah waktu tersebut kadarnya belum mencapai normal maka kemungkinan glomerulonefritisnya disebabkan oleh yang lain atau berkembang menjadi glomerulonefritis kronik atau glomerulonefritis progresif cepat. Anemia biasanya berupa normokromik normositer, terjadi karena hemodilusi akibat retensi cairan. Di Indonesia 61% menunjukkan Hb < 10 g/dL. Anemia akan menghilang dengan sendirinya setelah efek hipervolemiknya menghilang atau sembabnya menghilang. Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba sebelumnya. Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O, sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus, titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara serial. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.

PencitraanGambaran radiologi dan USG pada penderita GNAPS tidak spesifik. Foto toraks umumnya menggambarkan adanya kongesti vena sentral daerah hilus, dengan derajat yang sesuai dengan meningkatnya volume cairan ekstraseluler. Sering terlihat adanya tanda-tanda sembab paru (di Indonesia 11.5%), efusi pleura (di Indonesia 81.6%), kardiomegali ringan (di Indonesia 80.2%), dan efusi perikardial (di Indonesia 81.6%). Foto abdomen dapat melihat adanya asites. Pada USG ginjal terlihat besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat ginjal yang kecil, mengkerut atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik yang mengalami eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada USG menunjukkan peningkatan echogenisitas yang setara dengan echogenisitas parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan pada penyakit ginjal lainnya.

3. Interpretasi data tambahan

4. Edema pada seluruh tubuhEdemaTerdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.

Kelainan glomerulusAlbuminuriaHipoalbuminemiaTekanan onkotik koloid plasma Volume plasma Retensi Na renal sekunder Edema

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.Kelainan glomerulusRetensi Na renal primerVolume plasma Edema

5. Edema Menghilang pada siang hariHipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan air. (lihat skema)Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut : a. Jalur langsung/direkPenurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.b. Jalur tidak langsung/indirekPenurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut: Aktivasi system rennin angiotensin aldosteronKenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun. Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin, menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma rennin dan angiotensin.

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu. Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.Reaksi Ag-abPeradangan glomerulus

Permeabilitas membran basalis meningkat

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Tekanan osmotik Lipid serum meningkatKapiler menurun

Transudasi keDalam interstisium hipovolemiaADH meningkatGFR menurunaldesteronmeningkatRetensiNa+ & H2O

edema

Edema menghilang pada saat siang di akibatkan pengaruh gravitasi dimana cairan akan menempati bagian terbawah dari tubuh. Edema akan hilang jika pasien melakukan aktivitas sehingga cairan akan berpidah posisi menjadi di bagian tungkai bawah sehingga edema di kelopak mata menghilang. Edema yang menetap pada kelopak mata terjadi karena cairan mengisi bagian jaringan ikat longgar yang banyak terdapat pada sekitar kelopak mata. Lama kelamaan, pada tubuh yang lain sudah terjadi edema sehingga air akan tetap menetap pada kelopak mata.

6. EdemaEdema adalah pembengkakan yang dapat diamati dari akumulasi cairan dalam jaringan-jaringan tubuh. Edema paling umum terjadi pada feet (tungkai-tungkai) dan legs (kaki-kaki), dimana ia dirujuk sebagai peripheral edema. Pembengkakan adalah akibat dari akumulasi cairan yang berlebihan dibawah kulit dalam ruang-ruang didalam jaringan-jaringan. Semua jaringan-jaringan dari tubuh terbentuk dari sel-sel dan connective tissues (jaringan-jaringan penghubung) yang menjaga kesatuan dari sel-sel. Jaringan penghubung sekitar sel-sel dan pembuluh-pembuluh darah dikenal sebagai interstitium. Kebanyakan dari cairan-cairan tubuh yang ditemukan diluar sel-sel normalnya disimpan dalam dua ruang-ruang; pembuluh-pembuluh darah (sebagai bagian yang cair atau serum dari darah anda) dan ruang-ruang interstitial (tidak dalam sel-sel). Pada berbagai penyakit-penyakit, cairan yang berlebihan dapat berakumulasi dalam satu atau dua dari bagian-bagian ruangan (kompartemen) ini.

Organ tubuh mempunyai ruang-ruang interstitial dimana cairan dapat berakumulasi. Akumulasi cairan dalam ruang-ruang udara interstitial (alveoli) dalam paru-paru terjadi pada penyakit yang disebut pulmonary edema. Sebagai tambahan, kelebihan cairan adakalanya berkumpul dalam apa yang disebut ruang ketiga, yang termasuk rongga-ronga dalam perut (rongga perut atau peritoneal - disebut "ascites") atau di dada (rongga paru atau pleural - disebut "pleural effusion"). Anasarca merujuk pada akumulasi cairan yang parah yang tersebar luas dalam semua jaringan-jaringan dan rongga-rongga tubuh pada saat yang bersamaan.Mekanismeterjadinya oedema1)Adanya kongestiPada kondisi vena yang terbendung (kongesti), terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intra vaskula (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskula oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi edema).

2)ObstruksilimfatikApabila terjadi gangguan aliran limfe pada suatu daerah (obstruksi/penyumbatan), maka cairan tubuh yang berasal dari plasma darah dan hasil metabolisme yang masuk ke dalam saluran limfe akan tertimbun (limfedema). Limfedema ini sering terjadi akibat mastek-tomi radikal untuk mengeluarkan tumor ganas pada payudara atau akibat tumor ganas menginfiltrasi kelenjar dan saluran limfe. Selain itu, saluran dan kelenjar inguinal yang meradang akibat infestasi filaria dapat juga menyebabkan edema pada scrotum dan tungkai (penyakit filariasis atau kaki gajah/elephantiasis).

3)Permeabilitaskapiler yang bertambahEndotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat melaluinya sedikit atau terbatas. Tekanan osmotic darah lebih besar dari pada limfe. Daya permeabilitas ini bergantung kepada substansi yang mengikat sel-sel endotel tersebut. Pada keadaan tertentu, misalnya akibat pengaruh toksin yang bekerja terhadap endotel, permeabilitas kapiler dapat bertambah. Akibatnya ialah protein plasma keluar kapiler, sehingga tekanan osmotic koloid darah menurun dan sebaliknya tekanan osmotic cairan interstitium bertambah. Hal ini mengakibatkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan menimbulkan edema. Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada kondisi infeksi berat dan reaksi anafilaktik.

a)HipoproteinemiaMenurunnya jumlah protein darah (hipoproteinemia) menimbulkan rendahnya daya ikat air protein plasma yang tersisa, sehingga cairan plasma merembes keluar vaskula sebagai cairan edema. Kondisi hipoproteinemia dapat diakibatkan kehilangan darah secara kronis oleh cacing Haemonchus contortus yang menghisap darah di dalam mukosa lambung kelenjar (abomasum) dan akibat kerusakan pada ginjal yang menimbulkan gejala albuminuria (proteinuria, protein darah albumin keluar bersama urin) berkepanjangan. Hipoproteinemia ini biasanya mengakibatkan edema umum

b)Tekanan osmotic koloidTekanan osmotic koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali, sehingga tidak dapat melawan tekanan osmotic yang terdapat dalam darah. Tetapi pada keadaan tertentu jumlah protein dalam jaringan dapat meninggi, misalnya jika permeabilitas kapiler bertambah. Dalam hal ini maka tekanan osmotic jaringan dapat menyebabkan edema.Filtrasi cairan plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan (tissue tension). Tekanan ini berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada jaringan subcutis yang renggang seperti kelopak mata, tekanan sangat rendah, oleh karena itu pada tempat tersebut mudah timbul edema.

c)Retensi natrium dan airRetensi natrium terjadi bila eksresi natrium dalam kemih lebih kecil dari pada yang masuk (intake). Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan terjadi hipertoni. Hipertoni menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) bertambah. Akibatnya terjadi edema. Retensi natrium dan air dapat diakibatkan oleh factor hormonal (penigkatan aldosteron pada cirrhosis hepatis dan sindrom nefrotik dan pada penderita yang mendapat pengobatan dengan ACTH, testosteron, progesteron atau estrogen).

Oedema bisa bersifat lokal dan bisa menyebar. Oedema lokal bisa terjadi pada kebanyakan organ dan jaringan-jaringan, bergantung pada penyebablokalnyaedema yang menyebar mempengaruhi seluruh bagian tubuh tapi yang paling parah mungkin tubuh bagian bawah karena adanya gravitasi yang menarik air ke bawah sehingga terakumulasi di bagian bawah tubuh misalnya oedema pada exstremitas bawah, terjadi hanya di dalam rongga perut (hydroperitoneum atau ascites), rongga dada (hydrothorax), di bawah kulit (edema subkutis atau hidops anasarca), pericardium jantung (hydropericardium) atau di dalam paru-paru (edema pulmonum).Sedangkan edema yang ditandai dengan terjadinya pengumpulan cairan edema di banyak tempat dinamakan edema umum (general edema). Kenaikan tekanan hidrostatik terjadi pada gagal jantung, penurunan tekanan osmotic terjadi sindrom nefrotik dan gagal hati. Hal ini biasanya mengajarkan bahwa fakta-fakta ini menjelaskan terjadinya oedema dalam kondisi ini. Penyebab oedema yang umum seluruh tubuh dapat menyebabkan oedema dalam berbagai organ dan peripherally. Sebagai contoh, gagal jantung yang parah dapat menyebabkan oedema paru, efusi pleura, asites dan oedema perifer, yang terakhir dari efek yang dapat juga berasal dari penyebab kurang serius.

7. Hubungan kaitan kadar albumin di darah dan protein di urinProteinuria (albuminuria)Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria(albuminuria). Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria(albuminuria) sangat komplek

Konsentrasi plasma protein Berat molekul protein Electrical charge protein Integritas barier membrane basalis Electrical charge pada filtrasi barrier Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus Degradasi intratubular dan urin

HipoalbuminemiaPlasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan ekstravascular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul 69.000.Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vascular(EV) dan intra vascular(IV).NORMAL SINDROM NEFROTIKSintesis albumin dalam hepar normal sintesis albumin meningkat

EVIVEVIV

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini mungkin disebabkan beberapa factor : kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus (protein losing enteropathy) Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-mual Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjalBila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretic yang mengandung antagonis aldosteron.8. Metode analisis protein dalam urinPenentuan Protein dalam Urin Setiap hari sedikit protein (50mg-150mg/24 jam) akan terdapat di dalam urina normal. Sebagian protein tersebut berasal dari albumin yang disaring di dalam glomerulus tetapi tidak diserap di dalam tubula, sedangkan sisanya adalah glikoprotein dari lapisan sel saluran urogenitalia. Normalnya jumlah protein dalam urina kurang dari 10 mg/dL dan tidak akan terdeteksi dengan metode urinalisis yang biasa digunakan. Proteinuria (adanya protein dalam jurnlah yang, dapat terdeteksi) biasanya menjadi petunjuk adanya luka pada membran glomerulus sehingga terjadi filtrasi atau lolosnya molekul protein ke dalam air kemih. Keadaan ini harus dibedakan dengan proteinuria sementara yang mungkin terjadi pada keadaan demam atau keadaan lain yang tidak membahayakan (disebut proteinuria ortostatis).Uji Koagulasi dengan pemanasan. Urin contoh disaring lebih dahulu, pipet sebanyak 5 mL dan panaskan sampai mendidih. Kekeruhan yang timbul dan berwarna putih dapat disebabkan oleh pretein, tetapi bisa juga oleh fosfat. Tambahkan 1-3 tetes asam asetat 6%. Bila cairan menjadi jemih kembali maka kekeruhan disebabakan oleh fosfat. Bila setelah penambahan asam itu kekeruhan makin nyata, penyebabnya adalah protein di dalam urina. Perkiraan kadar protein dalam air kemih menurut ujiini: Cairan tetap jernih seperti awalnya = negatif (-) Kekeruhan sangat tipis () = 0.01% Kekeruhan jelas terlihat (+) = 10-30 mg/dL Kekeruhan lebih banyak (sedang) (++) = 40-100 mg/dL Sangat keruh (+++) = 200-500 mg/dL Ada endapan (++++) = 500 mg/dL atau lebihUji Bang Pipet 5 mL urin yang telah disaring lalu tambah dengan 2 mL pereaksi Bang, campur baik-baik dan panaskan. Bandingkan ujiini dengan uji koagulasi. Pereaksi Bang adalah larutan bufer asetat pH 4.7. Uji Asam Sulfosalisilat Pipet urin yang telah disaring sebanyak 3 mL ke dalam tabung reaksi dan miringkan tabung tersebut. Tambahkan perlahan-lahanpada dinding tabung reaksi 3 tetes pereaksi (25% asam sulfosalisilat). Asam ini akan membentuk lapisan di bawah cairan urina; jangan digoyang/dicampur. Perhatikan setelah 1 menit kekeruhan yang timbul di pertemuan antara lapisan asam dan urina. Kekeruhan yang sangat tipis, hampir tak terlihat = (biasanya 5 mg/dL) Kekeruhan selanjutnya = 1+ hingga 4+

9. BAK menurun dan keruhProduksi urin berkurang karena pada gangguan glomerulus terjadi proses proliferasi yang akan mengakibatkan laju filtrasi glomerulus menjadi menurun sehingga urin yang dihasilkan juga ikut menurun.Retensi natrium oleh ginjal dan edema : Hipoalbuminemia dapat mengurangi volume intravaskular serta menyebabkan hipoperfusi ginjal dan hiperaldosteronisme yang dimediasi renin. Renin akan mengaktivasi angiotensin sehingga terjadi retensi natrium dan air. Akibat terjadi retensi, makanya BAK berkurang dan tampak keruh, yang lama kelamaan akan terjadi edema.

Peradangan glomerulus

Permeabilitas membran basalis meningkat

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Penurunan Volume Intravaskular dan hipoperfusi ginjal

Aktivasi angiotensin oleh renin dan terjadi retensi Na+ dan H2O

10. HiperlipidemiaHiperlipidemia dan Lipiduria Hiperlipidemia merupakan temuan yang sering dijumpai pada pasien dengan proteinuria berat dan dianggap sebagai tanda klinis pada sindrom nefrotik. Kolesterol serum, VLDL, LDL, trigliserida meningkat sedangkan HDL dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan karena peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer. Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. Tanda klinis dari hiperlipidemia misalnya terjadi xanthelasma pada mata. Pada hiperlipidemia tidak jarang didapatkan konsetrasi serum kolesterol melebihi 500 mg/dl(13 mmol/L) dan kadar serum trigliserid yang tinggi. Terdapat penelitian yang membuktikan bahwa hiperlipidemia berkontribusi pada kejadian penyakit ginjal progresif melalui berbagai mekanisme. Meskipun demikian bukti klinik yang mendukung peran statin dalam menurunkan penyakit ginjal kronik tidak meyakinkan.Lemak bebas sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrate lipoprotein melalui membrane basalis glomerulusyang permeabel. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dapat dilihat pada Gambar 2.

12.Pitting edema dan Non Pitting edemaPitting edema dapat ditunjukan dengan menggunakan tekanan pada area yang membengkak dengan menekan kulit dengan jari tangan. Jika tekanan menyebabkan lekukan ang bertahan untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan, edema dirujuk sebagai pitting edema. Segala bentuk dari tekanan, seperti dari karet kaos kaki, dapat menginduksi pitting (lekukan) dengan tipe edema ini.

Pada non-pitting edema, yang biasanya mempengaruhi tungkai-tungkai (legs) atau lengan-lengan, tekanan yang digunakan pada kulit tidak berakibat pada lekukan yang gigih. Non-pitting edema dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu dari sistim lymphatic seperti lymphedema, dimana gangguan dari sirkulasi lymphatic yang mungkin terjadi setelah operasi mastectomy, lymph node, atau congenitally. Penyebab lain dari non-pitting edema dari legs disebut pretibial myxedema, yang adalah pembengkakan diatas tulang kering pada beberapa pasien-pasien dengan hyperthyroidism. Non-pitting edema dari legs adalah sulit untuk dirawat. Obat-obat diuretic umumnya tidak efektif, meskipun menaikan legs secara periodik sepanjang hari dan alat-alat penekan mungkin mengurangi pembengkakan.

TambahanHipoalbumineaDampak utama dari gangguan filtrasi ginjal adalah hipoalbuminemia. Hepar merespon dengan meningkatkan sintesis albumin, tetapi mekanisme kompensasi ini tidak dapat bertahan lama pada sindrom nefrotik, mencapai batasnya hingga pada akhirnya serum albumin menurun drastis. Tanda klinis dari hipoalbuminemia adalah adanya garis-garis putih pada kuku yang disebut Muehrckes bands. Sebagai respon terhadap proteinuria maka tubuh mengkompensasi dengan meningkatkan sintesis protein, protein yang tidak keluar lewat urin akan diabsorbsi kembali oleh tubuh dan meningkat konsentrasinya dalam plasma. Mekanisme ini sangat tergantung pada berat molekul protein, molekul protein yang besar tidak akan keluar lewat urin dan akan meningkat dalam plasma, sedangkan molekul protein yang kecil akan masuk ke dalam urin dan menghilang dari plasma.

EdemaEdemaTerdapat dua mekanisme yang berpengaruh dalam pembentukan nefritik edema. Mekanisme pertama, dimana lebih sering terjadi pada anak dengan Minimal Change Disease, edema muncul sebagai konsekuensi dari turunnya tekanan onkotik plasma oleh karena serum albumin yang rendah dimana terjadi transudasi cairan dari dalam pembuluh darah menuju ke ruang ekstraseluler sesuai dengan hukum Starling. Terjadinya penurunan volume darah yang bersirkulasi menstimulasi sistem renin-angiotensin yang mengakibatkan aldosteron-induced sodium retention di tubulus distal.Pada banyak pasien sindrom nefrotik, tampaknya ada defek utama dalam kemampuan nefron distal untuk mengekskresi sodium, kemungkinan berhubungan dengan aktivasi epithelial sodium channel oleh enzim proteolitik yang masuk ke lumen tubulus pada keadaan proteinuria berat. Sebagai hasilnya terdapat peningkatan volume darah,penekanan rennin-angiotensin dan vasopresin, serta tendensi kearah terjadinya hipertensi daripada hipotensi. Peningkatan volume darah bersamaan dengan rendahnya tekanan onkotik plasma memicu terjadinya transudasi cairan ke ruang ekstraseluler dan terjadi edema. Mekanisme terjadinya edema dapat dilihat pada Gambar 1.