jawaban agama hindu

7
1. Dalam kitab suci agama hindu dikatakan melahirkan seorang anak suputra jauh lebih besar nilaianya dari seribu yadnya karena anak yang suputra akan dapat memimpin, membahagiakan dan menyelamatkan orang banyak, umat dan bangsa. Veda menggariskan aturan-aturan khusus dalam proses mencetak seorang anak. Dikatakan bahwa proses mencetak anak yang tepat adalah pada masa subur sang istri atau pada pertengahan masa haid, misalnya jika siklus haid sang istri adalah 28 hari. Maka sekitar 14 hari setelah haid adalah hari yang tepat. Tapi, harus diperhatikan agar tidak bertepatan dengan : 1. Malam kesebelas (ekadasi) dan ketigabelas (trayodasi) pada setiap bulannya. 2. Hari-hari puasa (vrata), bulan penuh (purnima) dan bulan baru (amavasya) 3. Selama tithi astami dan tithi caturdasi (tithi kedelapan belas dan keempat belas etiap bulannya) 4. Ketika salah satu atau kedua suami istri dalam kondisi sakit. 5. Ketika istri sudah dalam kondisi hamil 6. 96 jam (4 hari) pertama setelah haid. 7. Pada saat sandya (sandikala) 4. Idealnya dalam setiap keluarga, suami sebagai kepala rumah tangga (disebut Grhapatya, Grhapati atau disingkat dengan Pati) sedang istri adalah ratu rumah tangga yang disebut Rajni atau Patni. Suami istri sering disebut Patipatni atau Dhampati. Sebelum membahas perana ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagian, marilah kita tinjau tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya . Di dalam Manavadharmasastra IX.2,3,9 dan 11 dapat dirangkumkan sebagai berikut : a. Suami wajib melindungi istri dan anak-anak serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.

Upload: akoe-sii-atiex

Post on 12-Sep-2015

222 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

JAWABAN

TRANSCRIPT

1. Dalam kitab suci agama hindu dikatakan melahirkan seorang anak suputra jauh lebih besar nilaianya dari seribu yadnya karena anak yang suputra akan dapat memimpin, membahagiakan dan menyelamatkan orang banyak, umat dan bangsa.Veda menggariskan aturan-aturan khusus dalam proses mencetak seorang anak. Dikatakan bahwa proses mencetak anak yang tepat adalah pada masa subur sang istri atau pada pertengahan masa haid, misalnya jika siklus haid sang istri adalah 28 hari. Maka sekitar 14 hari setelah haid adalah hari yang tepat. Tapi, harus diperhatikan agar tidak bertepatan dengan :

1. Malam kesebelas (ekadasi) dan ketigabelas (trayodasi) pada setiap bulannya.2. Hari-hari puasa (vrata), bulan penuh (purnima) dan bulan baru (amavasya)3. Selama tithi astami dan tithi caturdasi (tithi kedelapan belas dan keempat belas etiap bulannya)4. Ketika salah satu atau kedua suami istri dalam kondisi sakit.5. Ketika istri sudah dalam kondisi hamil6. 96 jam (4 hari) pertama setelah haid. 7. Pada saat sandya (sandikala)

4. Idealnya dalam setiap keluarga, suami sebagai kepala rumah tangga (disebut Grhapatya, Grhapati atau disingkat dengan Pati) sedang istri adalah ratu rumah tangga yang disebut Rajni atau Patni. Suami istri sering disebut Patipatni atau Dhampati. Sebelum membahas perana ibu dalam mewujudkan keluarga sejahtra dan bahagian, marilah kita tinjau tugas suami sebagai kepala rumah tangga dan ayah bagi anak-anaknya . Di dalam Manavadharmasastra IX.2,3,9 dan 11 dapat dirangkumkan sebagai berikut :a. Suami wajib melindungi istri dan anak-anak serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.b. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaannya dan menugaskan istrinya untuk mengurusnya juga urusan dapur, upacara agama dalam rumah tangga dan dalam upacara-upacara yang besar bersama suaminya.c. Suami berusaha menjamin klehiodupan istrinya serta memberikan nafkah, terutama bila dalam suatu urusan atau ketika ia harus melaksanakan tugas ke luar daerah.d. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian peribadi dan keturunannya serta menjauhkan diri dari segala unsur yang mengakibatkan perceraian.e. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena bila dalam rumah tangga suami istri selalu merasa puas, maka rumah tangga itu akan terpelihara kelangsungannya.f. Suami wajib menjalankan Dharma Grhastha denganbaik, Dharma kepada keluarga (Kula Dharma), terhadap masyarakat dan bangsa (Vamsa Dharma) serta wajib mengawinkan putra-putrinya pada waktunya.g. Suami berkewajiban melaksanakan Sraddha, Pitrapuja kepada leluhurnya, memelihara anak cucunya serta melaksanakan Yajna.Demikian antara lain tugas dan tanggung jawab suami sebagai Bapak atau sebagai kepala rumah tangga. Bila dilaksanakan dengan baik, kelangsungan dan kebahagiaan rumah tangga atau keluarga akan dapat diwujudkan.

Peranan Ibu dalam keluargaDi dalam Vanaparva Mahabharata (VIII.29) terdapat dialog antara Yudhistira dengan Yaksa yang menanyakan apakah yang lebih berat dari pada bumi dan lebih tinggi dari langit. Yudhistira menjawab : Ibu lebih berat dari bumi dan ayah lebih tinggi dari langit. Penjelasan yang sama dapat kita jumpai dalam Sarasamuccaya 240. Mengapa ibu dilambangkan dengan bumi dan ayah dengan langit. Pengorbanan ibu demikian besar dan tulus.Masyarakat Bali membandingkan saat seorang ibu melahirkan seperti tergantung pada sehelai rambut, sangat berbahaya dan bila salah sedikit ibu atau bayi atau keduanyapun akan korban. Penderitaan ibu saat melahirkan dari ibu tiada taranya. Seorang anak mungkin bisa melupakan kasih ibunya, tetapi seorang ibu tidak akan tidak mencintai anaknya : "Demikianlah Ibu, dalam kasih sayang kepada anaknya sama rata, sebab baik anaknya mampu atau tidak mampu, yang baik budi pekertinya atau yang tidak baik, yang miskin atau kaya, anak-anaknya itu semua dicintai dan dijaganya, diasuhnya mereka itu, tidak ada yang melebih kecintaan ibu dalam mencintai dan mengasuh anak-anaknya' (Sarasamuccaya 245).Di dalam kitab suci Veda suami hendaknya mengucapkan janji dan harapan kepada istrinya sebagai berikut: "Wahai istriku menjadilah pelopor dalam hal kebaikan, cerdas, teguh, mandiri, mampu merawat dan memelihara rumah, senantiasa taat kepada hukum seperti halnya bumi pertiwi. Aku memilikimu untuk kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga (Yajurveda XIV.22). "Seorang istri sesungguhnya adalah seorang cendekiawan dan mampu membimbing keluarganya"(Rgveda VIII.33.19).Seorang wanita, istri atau ibu juga diminta berpenampilan lemah lembut :"Wahai wanita, bila berjalan lihatlah ke bawah, jangan menengadah dan bila duduk tutuplah kakimu rapat-rapat"(Rgveda VIII.33.19)."Wahai istri, tunjukkan keramahanmu, keberuntungan dan kesejahtraan, usahakanlah melahirkan anak. setia dan patuhlah kepada suamimu (Patibrata), siap sedialah menerima anugrah-Nya yang mulia" (Atharvaveda XIV.1.42)."Wahai para istri, senantiasalah memuja Sarasvati dan hormatlah kamu kepada yang lebih tua" (Atharvaveda XIV.2.20)."Hendaknya istri berbicara lembut terhadap suaminya dengan keluhuran budi pekerti" (Atharvaveda , III.30.2).Sesungguhnya untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan keluarga tidaklah semata tanggung jawab ibu, istri atau suami saja, tapi kedua belah pihak berusaha mewujudkan hal tersebut :"Wahai suami istri, binalah keluhuran keluarga, bekerjalah keras untuk meningkatkan kesejahtraan hidupmu. semoga kemashuran dan kekayaan yang engkau peroleh memberikan kebahagiaan" (Rgveda V.28.3). "Wahai suami-istri, tekunlah dan tetaplah laksanakan kebajikan, hanya orang yang memiliki Sradha (keimanan) yang teguh akan sukses di dunia ini" (Atharvaveda VI.122.3).Suami istri tidak dibenarkan terlalu menurutkan hawa nafsunya dan senantiasa tekun untuk mewujudkan kesejahtraan dan kebahagiaan :"Hendaknya dorongan nafsu seksual tidak menodai kesucian pribadi"(Atharva istri tahan ujilah kamu, rawatlah dirimu, lakukan tapa brata, laksanakan Yajna di dalam rumah, bergembiralah kamu, bekerjalah keras kamu, engkau akan memperoleh kejayaan" (Yajurveda XVII.85)."Jadikanlah rumahmu itu seperti sorga, tempat pikiran-pikiran mulia, kebajikan dan kebahagiaan berkumpul di rumahmu itu"(Atharvaveda VI.120.3)."Hendaknya dewi kemakmuran bersedia tinggal disini, tempat yang menyenangkan di rumah ini, dalam keluarga dan juga pada ternakmu" (Yajurveda VI.120.3).

5. Mitologi Wayang Sapuh Leger(Supartha, 2008) apabila orang yang lahir pada wuku wayang belum diupacarai pertunjukkan Wayang Sapuh Leger, maka ia akan disakiti oleh kekuatan negatif Bhatara Kala selama hidupnya. Oleh karenanya sebagai bahan pertimbangan bagi umat Hindu yang lahir pada wuku wayang, di bawah akan dicuplikkan sebuah cerita sapuh leger yang berguna sebagai pegangan dalam menyikapi keunikan nilai yang terkandung dalam cerita itu. Sehingga nantinya dapat dipakai sebagai bahan acuan di kala mengambil upacara Wayang Sapuh Leger. Terutama bagi anak yang lahir pada wuku atau hari tumpek wayang. Tersebutlah Dewa Siwa dan Dewi Uma sedang bersedih, meratapi putranya yang bungsu yaitu Sang Hyang Rare Kumara yang lahir tepat pada dina salah wadi atau tumpek wayang. Kelahirannya menyamai Hyang Kala (kakak kandungnya). Yang menjadi pemasalahan bagi Sang Hyang Siwa adalah karena beliau terlanjur merestui Hyang Kala untuk memangsa orang yang lahir menyamai kelahiran Hyang Kala yang bertepatan pada wuku salah wadi atau tumpek wayang. Hal tersebut lama telah ditunda-tunda oleh Dewa Siwa, oleh karena sayangnya beliau pada Sang Rare Kumara yang masih terbilang kecil (belum tanggal gigi). Karena terlalu lama Hyang Kala menunggu, maka ia memaksa Sang Hyang Siwa untuk menyerahkan Sang Rare Kumara untuk dimangsa mengingat ia lahir pada dina salah wadi (tumpek wayang).Akhirnya dengan perasaan yang amat gundah Dewa Siwa mengabulkan permohonan Hyang Adi Kala untuk memangsa Hyang Rare Kumara. Sebelum pembunuhan terjadi terlebih dahulu Hyang Siwa telah mengutuk Hyang Rare Kumara supaya tetap anak-anak (Rare) atau tidak pernah dewasa. Serta disuruhlah ia pergi dan bersembunyi atau minta pertolongan kepada Prabhu Kerta Negara yang sangat sakti (wisesa). Tak berselang waktu yang lama, pergilah segera Sang Rare Kumara dengan tangis tak henti-hentinya sepanjang perjalanan menuju Negeri Prabhu Kerta Negara pada pagi buta. Didengar Sang Kumara pergi secara tiba-tiba, maka segeralah Hyang Kala mengejar sedapat mungkin melintasi desa-desa, hutan, gunung, dan sawah- sawah yang terhampar sangat luas. Dari kejauhan diciumlah bau Sang Kumara berada pada tumpukan sampah, dan ketika itu pula Hyang Kala mengobrak-abrik gundukan sampah sehingga berserakan tak tentu arah. Mengetahui kekacauan itu disebabkan oleh Hyang Kala maka segera Hyang Rare Kumara lari dengan segera menghindari kejaran kakaknya. Hyang Kala sangat marah dan mengutuk barang siapa yang menumpuk sampah menggunung dan lama-lama maka ia akan katadah (dimakan) Kala. Hyang kala berjalan terengah-engah sambil memikirkan upaya atau tipu muslihat. Pada waktu tertentu sampailah Hyang Kala pada sebuah desa yang sedang sibuk mengadakan upacara pengabenan, di sana Hyang Kala melihat Sang Kumara sedang bersembunyi pada potongan bambu yang disisakan oleh undagi bade (seniman pembuat bade). Ketika hendak ditangkap, Sang Kumara secepat kilat lari melalui lubang bambu yang sebelahnya. Kejadian itu membuat Hyang Kala sangat murka, seraya mengutuk undagi bade tersebut apabila kelak memotong bambu tidak menyisakan bukunya (berlubang tembus) maka akan ditadah (dimakan) Kala. Selanjutnya lagi Hyang Kala lari memburu Hyang Kumara, tanpa disangka ia dilihat bersembunyi pada tungku api (bungut pawon) orang yang habis memasak tidak membiarkan priuknya tetap di tengah-tengah tungku api. Sehingga Sang Kumara yang akan ditangkap dengan mudah lari menghindari tangkapan Hyang Kala. Akhirnya Sang Kumara segera mendatangi Prabhu Kerta Negara seraya minta tolong agar dilindungi dari kejaran Hyang Kala. Hal tersebut disanggupi oleh Prabhu Kerta Negara, dan sebagai baktinya pada Hyang Siwa ia mengerahkan semua kekuatan dan kesaktiannya untuk melindungi Sang Hyang Rare Kumara, dari intaian Hyang Kala.Setelah Hyang Kala datang pada Prabhu Kerta Negara untuk mencari Hyang Kumara, yang disembunyikannya. Maka mau tak mau harus berhadapan dengan Hyang Kala, karena dianggap berani pada kekuasaannya. Tentu saja karena baktinya kepada Dewa Siwa, Sang Kerta Negara tidak menyerah begitu saja. Maka tak lama kemudian terjadilah perang tanding antara Hyang kala dengan Prabhu Kerta Negara. Kedua pendekar itu bertengkar dengan sengitnya saling pukul dengan senjata pedang. Namun naas menimpa sang Prabhu Kerta Negara, karena ia berhasil disibak dadanya oleh Hyang Kala hingga tewas.Melihat kekalahan Sang Kerta Negara maka larilah Sang Kumara secepat-cepatnya tak tentu arah. Tanpa disadari dalam pelariannya, didengarlah suara pertunjukkan wayang kulit yang sangat merdu. Maka diputuskanlah ia menonton pertunjukkan wayang. Setelah dilihat sampai di sana ternyata Dalang Samerana sedang ngewayang untuk orang yang lahir pada dina salah wadi (tumpek wayang). Lalu Sang Kumara bersembunyi pada pelawah gender yang sedang pentas. Tentu saja atas izin Dalang Samerana. Bersamaan dengan persembunyian Sang Kumara, kemudian datanglah Hyang Kala pada pertunjukkan tersebut dengan terengah-engah dan rasa lapar yang tak tertahankan. Kemudian seraya memakan upakara atau banten wayang Sang Mangku Dalang Samerana sampai habis. Melihat banten wayangnya habis dimakan oleh Hyang Kala, maka Dalang Samerana mengakhiri pentasnya, dan bertanya pada Hyang Kala. Dengan bertanya: kenapa banten hamba Paduka Bhatara habiskan, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Dan hamba harap Tuanku sudi kiranya mengembalikan banten Hamba! Mendengar permintaan Sang Dalang itu, maka Hyang Kala bingung karena tidak bisa membuat banten. Serta meminta pada Dalang Samerana untuk memaafkan perilakunya yang tanpa etika. Dalam perdebatan itu ada permintaan Sang Dalang pada Hyang Kala, yaitu agar Hyang Kala berhenti mengejar dan memangsa Hyang Kumara yang tanpa dosa itu. Mendengar permintaan Dalang Samerana tersebut, maka Hyang Kala menyanggupi bahkan tidak berani mengganggu orang yang telah diruwat dengan tirta dalam pertunjukan Wayang Sapuh Leger. Tidak itu saja janji Hyang Kala, beliau bersanggup agar Dalang Samerana beserta keturunannya kelak mendapatkan kesucian lahir batin, serta diberikan kewenangan untuk meruwat atau menyucikan oleh yang kemalaan. Demikian seklumit mitologi Wayang Sapuh Leger, sehingga sampai saat ini diyakini oleh masyarakat Jawa dan Bali membawa suatu berkah kesucian utama bagi orang yang lahir bertepatan dengan wuku salah wadi atau tumpek wayang (Yudabakti, 2007).