materi kuliah agama hindu (3)
DESCRIPTION
Materi kuliah Agama Hindu sebagai latar belakang Arsitektur tradisional BaliTRANSCRIPT
4.3 Kegiatan Belajar 3
PANCA – SRADHA
4.3.1 Uraian dan Contoh
Panca Sradha adalah lima keyakinan dalam ajaran filsafat ajaran Hindu.
Panca Lima Sradha : keyakinan Panca Sradha meliputi : Brahman, Atman,
Karman, Samsara, dan Moksa.
A. Brahman
Keyakinan terhadap adanya Tuhan (Widhi Sraddha). Widhi Berarti Yang
Menakdirkan dan Tattwa berarti filsafat. Widhi Tattwa berarti filsafat yang
menakdirkan atau filsafat Tuhan. Untuk mencapai kesempurnaan, kebersihan hati,
keluruhan hati, Bhaktimarga, yaitu sujud bakti kepada Tuhan adalah jalan yang
termudah. Bhaktimarga tidak memerlukan kebijaksanaan (Jnana), oleh karena itu
sebagian besar umat manusia dapat melakukannya. Dengan menyembah Icawara
sebagai Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang, Pelindung keadilan dengan hati
yang tulus, hati kita akan dibersihkan. Kebersihan hati adalah sumber budi dan
sila yang luhur (Dharma), kebahagiaan hati dan kebebasan roh dari penjelmaan
(Moksa). Innamarga agak berat dan abstrak hingga sukar diterima oleh umat
biasa. Dengan mendoa dan memuja Tuhan untuk mohon restu hendaknya Ia
menuntut kita untuk mencapai kesempurnaan dan berterima kasih atas
perlindungan-Nya, maka Icawara Mahadewa, pelindung sekalian makhluk akan
membimbing kita untuk menjadi manusia ber-Dharma (bersila dan berbudi
luhur). Untuk menimbulkan rasa sujud bakti kepada Tuhan yang berwujud
Suksma (abstrak), perlu yakin dulu dengan ada-Nya. Andaikata kita tiada percaya
dengan adanya Tuhan bagaimana kita dapat sujud bakti kepada Dia. Oleh karena
itu perlu Craddha (keyakinan) dulu. Banyak fakta-fakta yang menyebabkan
keyakinan terhadap Tuhan itu timbul di dalam diri manusia. Bagi umat
kebanyakan keyakinan itu timbul berdasarkan Agama dan berdasarkan ajaran
Castra (dogma). Tetapi terdapat juga beberapa orang yang yakin adanya Tuhan
karena Anumana. Misalnya sering kita kagum mengenangkan betapakah besar
1
angkasa, andaikata terdapat ribuan matahari dan planit yang lebih besar dari dunia
kita sebagai yang diterangkan oleh sarjana ilmu falak. Siapakah yang mengadakan
benda-benda angkasa yang demikian besarnya itu ? Ahli tumbuh-tumbuhan
mengatakan bahwa maksud bunga berwarna indah tidak lain daripada untuk
menarik kumbang, hendaknya kumbang, hendaknya kumbang datang bertengger
di atas bunga untuk menghisap madu. Madu adalah upah bagi kumbang karena
jasanya dalam memindahkan tepung sari bunga jantan yang melekat pada bulu
kaki kumbang jantan itu ke dalam putik bunga betina, sehingga timbul
perkawinan bunga, pembuahan dan pembiakan. Konon di Himalaya terdapat
tumbuh-tumbuhan yang amat berbisa. Andaikata bisa daun tumbuh-tumbuhan itu
mengenai kulit manusia atau binatang mungkin manusia atau binatang itu akan
pingsan karena gatal bisanya. Tetapi aneh du mana tumbuh pohon berdaun
berbisa itu di sebelahnya tentu tumbuh pohon yang daunnya menjadi obat
penawar bisanya, hingga bila manusia atau binatang tersentuh oleh pohon itu
segera ia makan atau menggosokkan daun obat yang tumbuh di sebelahnya itu
maka gatal bisa itu tidak akan menjadi. Andaikata kita mengenangkan keanehan-
keanehan alam, maka timbullah keheranan di dalam hati, seolah-olah ada
kekuatan yang bijaksana dan cerdas yang mengadakan dan mengatur alam
semesta. Apa gerangan kekuatan itu ? Ada yang menyebut hukum alam, tetapi ada
yang mengatakan hukum kebijaksanaan Tuhan.
Dengan Anumana atau menarik kesimpulan berdasarkan gejala-gejala
keanehan alam kita percata akan adanya Tuhan. Makin banyak kita menemui dan
mengalami keanehan alam, berdasarkan pengalaman biasa maupun berdasarkan
keanehan-keanehan yang timbul karena penyelidikan ilmu pengetahuan, makin
kuat keyakinan kita akan adanya Tuhan Maha Kuasa. Selain daripada itu di antara
ribuan juta umat manusia terdapat beberapa orang yang dapat mengenal Tuhan
dengan Pratyaksa langsung merasakan atau mengalami ada-Nya, bagaikan
menjumpai manusia gaib yang tiada berbadan, tetapi dirasakan ada-Nya dengan
pengalam-pengalam gaib yang mengherankan. Kepada mereka itu, Tuhan
melimpahkan ajaran suci untuk membimbing umat manusia mencapai
kesempurnaan hidup lahir batin. Hanya orang beriman yang alat wahyu
2
(intuisinya) tajam karena amal kebajikan dan kesucian rohaninya dapat bermuka-
muka (Fratyaksa) dengan Tuhan dengan pengalaman gaib. Para Rsi dan Nabi
adalah orang suci yang dapat mengalami dan merasakan adanya Tuhan. Tuhan
membuka tabir kebesaran dan keagungan-Nya di hadapan mereka. Bagi para
Mahpurusa atau orang suci yang mendapatkan rahmat itu, Tuhan tidak menjadi
objek keyakinan lagi, melainkan pengalaman. Ia tidak menjadi objek agama atau
Anumana, Tetapi Pratyaksa. Andaikata para Rsi dan Nabi tidak mengalami dan
bermuka-muka dengan Tuhan bagaimanakah dapat dikatakan mereka itu
menerima wahyu, semua orang dapat mengatakan diri menerima wahyu dan
dapat menyusun kitab suci dan menyebut diri pesuruh Tuhan.
Petikan 1 : Sasiwimbha aneng ghata mesi banu,
ndan asing suci nirmala mesi wulan,
iwa mangkana rakwa kiteng kadadin
ring angambeki yoga kiteng sakala.
(Arjuna Wiwaha 11.1)
Arti : Bagaikan bulan di dalam tempayan berisi air
di dalam air yang suci jernih terdapatlah bulan,
Demikianlah konon dikau pada makhluk,
pada orang yang melakukan yoga Engkau menampakkan diri.
Petikan 2 : Katemunta marika, sitam katemu
kahidepta marika sitan kahidep
kawenang ta marika, sitan kawenang
paramartha Ciwatwa nirawarana.
(Arjuna Wiwaha 11.2)
Arti : Dijumpai (Engkau) oleh mereka (Yogi) yang berjiwa suci, yang
tidak dijumpai oleh umat biasa.
terasa (Engkau) oleh mereka (para Yogi) yang tidak dirasakan oleh
umat biasa, tercapai (Engkau) oleh mereka (Yogi) yang tidak dapat
dicapai oleh umat biasa.
3
(Karena Dikau), yang bersifat Maha Mulia (Siwatwa) dan tak terbayangkan
(Nirawarana), dijadikan tujuan yang tertinggi (Paramartha).
Dengan memperhatikan sajak di atas dapat kiranya kita menginsafi bahwa
ajaran kerohanian adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui bukan sebagai
Karma Phala, Swarga-neraka, Moksa dan sebagainya, tetapi penciptanya, dan alat
untuk mengetahuinya bukan kecerdasan akal tetapi budi luhur yang memekarkan
alat wahyu (intuisi), yaitu salah satu bagian dari alam pikiran (psycho) yang
terdapat dalam diri manusia.
1) Wujud dan Sifat Agung Hyang Widhi Wasa sebagai Hyang Tunggal (Tuhan
Yang Maha Esa)
Dengan memperhatikan keanehan-keanehan dan luas semesta berjuta-
juta jenis isinya serta seimbang (harmony) jalinan antara yang satu dengan
yang lain, maka timbullah kekaguman di dalam hati bagaimana besarnya
kekuasaan Pencipta dan pengaturnya, bagaimana agung sifat Pencipta dan
Pengatur Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan, Hyang Widhi Wasa, Ciwa
atau Brahma. Di dalam kitab filsafat kerohanian Hindu sebagai Upanisad dan
Tattwa-Tattwa ajaran Ciwa banyaklah tercantum renungan-renungan
mengenai wujud dan sifat agung Tuhan Hyang Widhi Wasa (Siwa atau
Brahma itu). Di dalam Rg. Weda Samhita tercantum suatu sloka yang
berbunyi sebagai berikut :
“Ekah Sat wipra bahudha wadanti,
Agnim, Yman, Matariswanam”
“Hanya terdapat satu kebenaran yang mutlak.
Orang bijaksana menyebut dengan berbagai-bagai nama
Agni, Yama, Matariswan”.
Demikian juga Upanishad bagian Weda yang terakhir menyebut suatu rumus :
“Ekam Ewa adwityam Brahma”
Hanya ada satu Tuhan (Brahman) tidak ada yang kedua.
4
Memperhatikan wahyu yang dilimpahkan kepada para maka Rsi yang
terdapat dalam Weda sebagai yang tersebut di atas teranglah bahwa hanya
terdapat satu kekuasaan yang mengadakan (Utpati), memelihara (Sthiti) dan
mengembalikan kepada asalnya (Pralina) segala yang ada di dalamnya. Tuhan
hanya satu, umat Hindu di Bali memberi Dia gelar Sanghyang Widhi Wasa,
Widhi artinya takdir dan Wasa, Yang Maha Kuasa. Widhi Wasa berarti Yang
Maha Kuasa yang menakdirkan segala yang ada. Dia disebut juga Bhatara
Siwa (Pelindung Yang Mulia). Dia diberi gelar juga Sanghyang Mahadewa
(Dewa Yang Tertinggal). Banyak gelar lagi yang dipersembahkan oleh umat
Hindu di Bali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai Sanghyang
Parameswara (Raja Termulia), Parama Wisesa (Maha Kuasa), Jagat Karana
(Pencipta Alam) dan lainnya. Sebagai pencipta Ia bergelar Brahma (Utpatti) di
dalam aksara Ia disimpulkan dengan huruf “A”. Sebagai pemelihara dan
pelindung (Shatiti) Ia disebut Wisnu, sebagai simbolnya ialah huruf “U” dan
sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi alam kepada sumber asalnya
(Paralina) Ia bernama Siwa Rudra. Siwa Rudra sering juga disebut Iswara,
simbolnya dalam aksara ialah “M”. Di dalam perwujudannya sebagai Brahma
(Pencipta), Wisnu (Pemelihara) dan Siwa Rudra (Pengembali ke asalnya) Ia
disebut Trimurti. Trimurti adalah tiga perwujudan Tuhan Siwa Yang Maha
Tunggal. Tuhan Siwa Mahadewa, Yang Maha Esa dan Maha Kuasa
disimbolkan dengan aksara “OM” (AUM) yang disebut juga Omkara atau
“Pranawa”. Oleh karena itu tiap-tiap mantera harus dimulai dengan suara OM.
Sebagai inti kekuatan doa mantera itu hendaknya dapat menggetarkan dan
menggerakkan alam semesta. Tuhan Yang Maha Tunggal, Siwa Mahadewa,
adalah Tuhan yang kekal dan abadi tiada berawal dan berakhir (Anandi dan
Ananta) tidak ada yang menciptakan atau melahirkan, melainkan mencipta
atau melahirkan diri sendiri. Oleh karena itu Ia disebut “Swayambhu”.
(Wayam-sendiri dan bhu-lahir). Di dalam perwujud-Nya sebagai sumber
kekuatan hukum alam dan sumber hidup segala makhluk Ia disebut Parama
Siwa (Nirguna Brahma). Parama Siwa (Nirguna Brahma) adalah Roh
(Paramatma) Bhuwana Agung (Cosmos) dan Jitwatma atau Atma (Siwaatma)
5
adalah baginya yang menjadi roh tiap-tiap makhluk. Parama Siwa (Nirguna
Brahma) bersenyawa dengan kekuatan hukum kodratnya (Cakti) yang juga
disebut Maya Tattwa atau Acetana, hingga menjadi maha kuasa dan bergelar
Sada Siwa (Saguna, Brahma) atau Icawara yang mengadakan, memelihara
pada alam tercipta (Srsti) dan melenyapkan alam semesta ke dalam
kekosongan pada waktu kiamat (Pralaya).
2) Cadu Sakti dan Astaiswarya
Sada Siwa (Hyang Widhi Wasa, Saguna Brahma) tersebut sebagai
Tuhan yang mempunyai empat sifat Maha Kuasa yang disebut Catur atau
Cadu Cakti. Adapun keempat sifat Maha Kuasa (Cadu Cakti) Tuhan (Siwa)
itu ialah Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Inana Sakti, dan Kriya Sakti. Wibhu Sakti
berarti bersifat Maha Ada meresap memenuhi buana. Tiada ada tempat yang
tidak dipenuhi oleh Tuhan (Siwa), di mana-mana Dia selalu hadir.
Kekosongan ruang angkasa dipenuhi oleh wujud-Nya yang Maha Sukma
gaib. Prabhu Sakti artinya sifat Maha Kuasa sebagai Pencipta (Utpatti)
Pemelihara Sthiti dan dapat menghilangkan segala isi alam pada hari kiamat
(Pralaya atau Pralina). Segala sesuatu terjadi karena kodrat dan kekuasaannya.
Jnana Sakti berarti Maha Tahu. Tuhan mengetahui segala kejadian dan segala
yang ada di alam yang kelihatan maupun yang gaib (Skala Niskala). Tiada
suatu perbuatan dan kerja makhluk yang tidak diketahui-Nya. Oleh karena itu
di dalam ajaran kerohanian Agama Dia disebut Sakti Agung yang mengetahui
tingkah laku, gerak langkah, amal dan dosa semua makhluk, hingga manusia
tidak dapat mengingkari dosa perbuatannya. Kriya Sakti Maha Karya, dapat
melakukan apa yang dikehendaki-Nya.
Petikan : Utpadaka na sadhakah
tat tasya anugrahaparah
wirocanakaro nityah
sarmajana sarwakrdwibhuh
Sawyaparah, Bhatara Sada Siwa,
6
hana padmasana pinakapalungguhanira
aparan ikang padmasana ngaranya
Saktinira, Sakti ngaranya Wibhu sakti,
Prabhu Sakti, Jnana Sakti, Kriya Sakti,
Nahan Hyang Cadu Sakti.
(Wrhaspati tattwa 12)
Terliput (oleh kekuasaan kodrat maha kuasa)
Bhatara Sada Siwa (Hyang Widhi Wasa). Ada
singgasana teratai (Padmasana) sebagai tempat-Nya,
apa gerangan yang dimaksud dengan singgasana
teratai (Padmasana) itu tidak lain daripada
sakti-Nya/kekuatan kodrat-Nya, Sakti tersebut
ialah Wibhu Sakti (Maha Ada), Prabhu Sakti
(Maha Kuasa), Jnana Sakti (Maha Tahu), Kriya –
Sakti (Maha Karya), demikianlah Cadu Sakti (Empat Maha Kuasa) itu.
Selain dari keempat Sakti itu, Sada Siwa (Saguna Brahma) mempunyai
delapan sifat maha kuasa yang disebut Astaiswarya (Asta berarti delapan :
aiswarya berarti Maha Kuasa). Adapun Astaiswarya itu ialah :
1) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Anima
2) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Laghima
3) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Mahima
4) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Prapti
5) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Prakarya
6) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Icitwa
7) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Wacitwa
8) Terdapat (kesaktian Tuhan) yang disebut Yatta Kamawasaytwa
Petikan : Anima laghima caiwa
mahima prapti ewaca
prakamyan ca icitwamca
wacitwam yatrakamatwam
7
Hana Anima ngaranya
hana Mahima ngaranya
hana prepti ngaranya
hana prakamya ngaranya
Hana Icitwa ngaranya
hana Wacitwa ngaranya
hana Yatrakamawasa yitwa ngaranya.
(Wrhaspati Tattwa 14)
Kalau dijelaskan secara singkat kedelapan sifat agung Sada Siwa itu,
Anima berasal dari kata Anu yang berarti kekuatan “atom” Anima dari As-
taiswarya, ialah sifat yang halus bagaikan kehaluan atom yang dimiliki oleh
Tuhan. Laghima berasal dari kata laghu berarti ringan. Laghima berarti sifat-
Nya yang amat ringan lebih dari ether. Mahima berasal dari kata Maha yang
berarti Maha Besar, di sini berarti Tuhan Sada Siwa meliputi semua tempat,
tidak ada tempat yang kosong (vacuum) bagi Tuhan. Semua ruang angkara
dipenuhi-Nya. Prapti berasal dari Prapta yang artinya tercapai. Prapti berarti
segala tempat tercapai oleh-Nya, ke mana Ia hendak perti di sana Dia telah
ada. Prakamya (Pra Kama) berarti segala kehendak-Nya selalu terlaksana atau
terjadi. Isitwa (Isi Raja) merajai segala-galanya dalam segala hal paling utama.
Wisitwa artinya paling berkuasa dan Yatrakamawasayitwa berarti tidak ada
yang dapat menentang kehendak dan kodrat-Nya.
Kedelapan sifat keagungan Sada Siwa, Tuhan Yang Maha Kuasa,
Saguna Brahma (Hyang Widhi Wasa) ini, disimpulkan dengan singgasana
teratai (Padmasana) yang berdaun bunga delapan (Astadala). Singgasana
teratai (Padmasana) Hyang Widhi Wasa, Sada Siwa adalah lambang simbol
kemahakuasaan-Nya dan daun bunga teratai berjumlah delapan helai
(Astadala) itu adalah lambang sifat agung kemahakuasaan (Ataicwarya) Sada
Siwa, Raja yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.
8
3) Kegaiban dan keajaiban sifat Tuhan (Widhi Suksma)
Hyang Widhi Wasa (Brahma) Tuhan seru sekalian alam, walaupun ada
dan Mahakuasa, dapat mencipta, mengatur alam beserta isinya dengan kodrat
kekuasaan-Nya sukar dibayangkan karena gaib (abstrak) dan ajaib wujud-Nya.
Sedangkan alam pikiran kita sebagai perasaan cinta, sedih, gembira yang kita
rasakan sehari-hari sukar dibayangkan apalagi wujud Tuhan yang amat abstrak
itu. Bila kita bayangkan wujud perasaan cinta, marah, gembira, dengki, yang
kita rasakan dalam hidup sehari-hari sungguh mengherankan. Walaupun unsu-
unsur pikiran itu ada namun seolah-olah tidak ada, dan sukar dibayangkan
karena suksma wujudnya. Demikian juga wujud Tuhan Hyang Widhi Wasa,
Siswa (Brahma) Dia sering disebut wujud “hana tan hana” yaitu wujud yang
ada tetapi tidak ada, karena gaibnya sering di dalam sastra-sastra atau tattwa-
tattwa, wujud-Nya itu dipersoalkan sebagai teka-teki belaka. Walaupun tidak
bertubuh, tidak berdarah, tidak pernah makan, tidak pernah bernafas namun
Tuhan hidup. Tuhan Siwa (Brahma) tidak berotak tetapi dapat berpikirm
tidak beralat perasaan atau berurat saraf namun dapat merasakan, tidak
bertangan tetapi dapat melakukan pekerjaan, tidak bermata dapat melihat,
tidak berhidung dapat mencium, tidak bertelinga dapat mendengar walaupun
kata hati segala makhluk sekalipun dapat didengarnya Ia bermata, bertelinga,
berhidung, beralat perasaan gaib di segala tempat.
Petikan 1 : Siwas sarwagata suksmah
bhutanan antarikswat
acintyam maharyanta naindriyam parigrhyate
Bhatara Siswa sira wyapaka
Sira suksma tar kneng – agen-agen
Kadyangganing aksara sira
tan kagrahita dening manah mwang indriya
(Bhuwanokosa)
9
Arti : Bhatara Siwa, Dia ada di mana-mana
Dia gaib sukar dibayangkan, bagaikan angkasa
(ether) Dia itu, tidak dapat ditangkap oleh
akal maupun panca indra
Petikan 2 : Ya iku sungguh tanakku sira ta nunggalaken bhuwana
ngaranika. Nihan ta upamanta sira waneh, kalinganya
kadyangganing manuk sang Manon, mur tan pahelar, melesat
tan pasikara, manon ndatan pamata, mangrengo tan patalingan,
mengambu tan pagrana, magamelan tan pantangan, lumaku tan
pasuku, rumasa-rasa tan paidep, tan pagurus ya jana-prawarti,
tantan panak yaya wriddhi tan paweteng yaya mambekan tatan
pasangkem yaya amangan, tanpailat, yaya mangrasa ni.
(Dangdang Bang Bungalan)
Arti : Ya itulah anakku disebutlah Ia yang menunggalkan buana.
Adapun perumpamaannya, jelaslah lagi, Yang Maha Tahu
(Tuhan) bagaikan burung, terbang dengan tiada bersayap, kian
kemari dengan tiada berkepala, melihat tiada dengan bermata,
mendengar tiada dengan bertelinga, membau dengan tiada
berhidung, memegang dengan tiada bertangan, bergerak dengan
tiada berkaki, merasakan rasa dengan tiada berperasaan,
melahirkan dengan tidak bertanda (jantan atau betina) tiada
beranak namun membiak, tiada berperut tetapi hidup, tiada
bermulut namun Ia dapat menikmati, tidak berlidah tetapi dapat
nerasakan.
Petikan 3 : Ndan sira sang malekasing rat kabeh
pinangan sari-sari awaknira, sira pinaka
doning sang wiku, sira ta luputing taya,
luputing bayu, apan bayunira ikang bayu,
luputing cabba apan cabbanira ikang cabba.
luputing idep apan idepira ikang idep
luputing tutur sira, apan tutur ira ikang tutur
(Dangdang Bang Bungalan)
10
Arti : Maka Dia yang mengodratkan alam semesta, yang dimakan-
Nya ialah sari-sari wujudnya, Dialah yang menjadi tujuan orang
beriman. Ia tiada terkena (memerlukan) hawa, oleh karena (Ia)
hawa dari hawa, tiada memerlukan suara, karena (Ia) suara dari
suara, tiada berperasaan, karena (Ia) perasaan dari perasaan,
tidak memerlukan kesadaran, karena (Ia) sumber kesadaran.
Demikianlah kegaiban dan keajaiban Hyang Widhi karena abstrak
(Suksma) wujud-Nya sukar dibayangkan dan sangat mengherankan.
B. Keyakinan Terhadap Atma
Atma adalah merupakan percikan-percikan kecil dari parama Atma yaitu
Sanghyang Widhi Wasa yang berada di dalam makhluk hidup. Atma badan
manusia disebut : Jitman yang menghidupkan manusia. Atma dengan badan ini
adalah sebagai kusir dengan kereta api. Kusir adalah atman yang mengemudikan
dan kereta adalah badan. Demikianlah atma itu menghidupkan sarwa prani
(makhluk) di dalam alam semesta ini. Indria tak dapat bekerja bila tak ada Atman.
Misalnya telinga tak dapat mendengar bila tak ada Atmannya, mata tak dapat
melihat bila tak ada Atmannya kulit tak dapat merasakan bila tak ada Atmannya
dan seterusnya.
Jadi kiranya sudah jelas bahwa Atman itu berasal dari Sanghyang Wdhi
sebagai Sang Matahari dengan sinar-sinarnya yang terpancar memasuki dalam
hidupnya semua makhluk. Atau dapat diumpamakan Widhi atau Brahma itu
sebagai sumber tenaga listrik yang dapat menghidupkan setiap bola lampu besar
atau kecil di mana pun ia berada. Dalam hal ini bola lampu dapat diumpamakan
sebagai tubuh setiap makhluk dan aliran listriknya adalah atman. Jika bola
lampunya rusak, lampu tidak akan menyala (mati) walaupun aliran listriknya
maish tetap.
Adapun sifat-sifat Atman itu, antara lain menurut Bhagawadgita
(II.24.25)
11
- Achodya (tak terlukai oleh senjata)
- Adahya (tak terbakar oleh api)
- Akeldya (tak terkeringkan oleh angin)
- Acesyah (tak terbasahkan oleh air)
- Nitya (abadi)
- Sarwagatah (di mana-mana ada)
- Sthanu (tak berpindah-pindah)
- Acala (tak bergerak)
- Sanatana (selalu sama)
- Awyakta (tak dilahirkan)
- Achintya (tak terpikirkan)
- Awikara (tak berubah dan sempurna tidak laki-laki dan perempuan)
Memang Atma itu sempurna tetapi manusia itu tidaklah sempurna,
walaupun yang menghidupi Atma. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan
persatuan atma dengan badan jasmani menimbulkan awidya (kegelapan). Jadi
manusia lahir dalam keadaan awidya yang menyebabkan ketidaksempurnaannya.
Atman tetap sempurna tetapi manusia tidaklah sempurna, bahkan bisa mati.
Walaupun manusia mati, atma tetap tidak bisa mati, hanya badan yang mati dan
hancur sedangkan atman kekal. Badan berpisah dengan atmannya waktu mati,
sedangkan atma yang tidak mati itu mengalami surga atau neraka sesuai dengan
perbuatan baik atau buruknya. Tetapi atma (Jiwatma) itu tidak menetap di sana
untuk selama-lamanya, ia akan punarbhawa atau lahir kembali mengambil wujud
baru sesuai dengan karma phalanya. Dan bukan sekali saja, tetapi lahir berulang
kali. Penjelmaan terus lanjut sampai manunggal dengan Sanghyang Widhi.
C. Karman, Keyakinan Terhadap Hukum Karma Phala
Karena bersatunya Atma dengan badan manusia menyebabkan manusia itu
hidup. Di dalam melangsungkan hidupnya itu, maka manusia ini senantiasa
melakukan bermacam-macam gerak dan aktivitas yang dilaksanakan itu pada
umumnya diperlukan adalah untuk dapat memenuhi segala kepuasan dan
12
kenikmatan hidupnya lahir batin, sesuai dengan ide dan dasar pandangan dan
kebutuhan hidupnya masing-masing.
Adapun segala gerak dan aktivitas yang dilakukan itu baik, yang disengaja
ataupun tidak, yang disadari maupun di luar kesadaran itu dalam ajaran agama
Hindu disebut “Karma”. Kata Karma adalah kata dalam bahasa Sansekerta berasal
dari urat kata kera “Kr” yang berarti berbuat atau bertingkah laku. Kemudian
menjadi kata “Karma” artinya adalah perbuatan atau tingkah laku baik jasmani
maupun rohani. Menurut hukum sebab dan akibat maka sebab pastilah akan
menimbulkan suatu akibat. Demikian pula halnya suatu sebab yang berupa
perbuatan pasti akan menimbulkan akibat atau hasil perbuatan pula. Hukum rantai
sebab akibat atau hasil perbuatan itu disebut “karma phala”. Adapun akibat atau
hasil perbuatan itu disebut “Karma Phala”
Karma phala ngaranika
phalaning gawe hala hayu
(Slokantara 68)
Karma phala itu namanya
hasil perbuatan baik buruk.
Karma phala ini sangat besar sekali pengaruhnya terhadap keadaan
kehidupan seseorang, karena karma phala, itulah yang menentukan kebahagiaan
atau penderitaan hidupnya, baik dalam masa hidup di dunia ini, di akirat maupun
dalam penjelmaan yang akan datang. Nasib manusia tergantung kepada
perbuatannya, kepada karmanya. Barang siapa yang berbuat baik akan mengalami
yang baik yang berbuat jahat akan mendapat hukuman. Apa saja yang dibuatnya,
begitulah hasilnya. Bagaimana dicetak begitulah hasilnya. Apa yang ditanam
begitulah tumbuhnya, menanam jagung tentu tumbuh jagung, menanam ketela
tumbuhlah ketela dan sebagainya.
Siapa karitan temunghayu sarwa hayu
Nyata katemuaning hala masadhana sarwa hala
Twasillisih menang saya purakrata tapa tinut
13
Sakeharipan kasidan maka darsana Pandhu suta
(Arjuna Wiwaha)
Siapakah masih tertinggal belum menemukan kebahagiaan bagi yang
memerlukan kebaikan, Nyata akan menemukan kesengsaraan bila berdasarkan
keburukan. Pikiran yang ragu-ragu akan keadaan Si Karma Phala yang baiklah
dilaksanakan segala kehendak akan tercapai sebagaimana halnya Sang Arjuna.
Pengaruh hukum karma itu pulalah yang menentukan corak serta nilai daripada
watak manusia. Oleh karena itu karma bermacam-macam jenisnya dan tak
terhitung banyaknya, maka watak manusianya beraneka macam pula ragamnya.
Karma yang baik menciptakan watak yang baik dan karma yang buruk akan
mewujudkan watak yang buruk pula. Segala macam karma yang dilakukan oleh
makhluk, terutama manusia akan tercatat selalu dalam alam pikirannya yang
kemudian akan menjadi watak dan berpengaruh terhadap atma atau rohnya.
Hukum karma yang mempengaruhi seseorang bukan saja diterimanya
sendiri, akan tetapi juga akan diwarisi oleh anak cucu atau keturunan. Banyak kita
melihat contoh-contoh di dunia ini mengenai hal tersebut, misalnya ada seseorang
yang dapat hidup mewah karena mendapatkan kekayaan yang berlimpah dengan
jalan yang tidak halal atau dengan jalan kejahatan seperti menipu, mencuri,
mengolok-olok atau memeras orang lain. Namun setelah orang itu mati kekayaan
itu lalu diwarisi oleh anak cucunya. Maka tidak jarang anak cucunya ini
mempunyai watak tidak yang baik atau tidak waras. Misalnya ada yang gila, atau
menghamburkan kekayaannya itu dengan sesuka hatinya. Lambat laun harta
warisnya itu bisa habis sehingga yang mewarisi menjadi miskin melarat serta
selalu menderita tekanan batin. Ini adalah disebabkan oleh pengaruh karma dari
leluhurnya yang langsung dapat mempengaruhi keturunannya.
Sarwesam anyatha rupam jnanam
anyatprawartate matru Jnananubhawena
prajawai wasubhasubha
(Agastia Parwa. 382.4)
14
Semua makhluk berbeda-beda rupa dan wataknya karena watak dan
keadaan hidup ibunya (leluhurnya), maka makhluk itu memenuhi bahagia
dan penderitaan (baik dan buruk).
Papam karma hrtam kimeid
waditasmin na drasyatetastya pasresu
patreswapi ca naptran
(Santi Parwa 129-31)
Walaupun pahala kejahatan perbuatan seseorang tiada terlihat pada orang
itu sendiri, meskipun raja, namun pasti terlihat pada anak cucu sampai
buyutnya juga.
Jadi dengan demikian hukum karma itu tidak saja memberi pengaruh pada
orang yang bersangkutan baik dalam hidup di dunia ini, di akhirat maupun dalam
penjelmaannya yang akan datang, namun juga berpengaruh besar terhadap
keturunan. Namun hal ini tidaklah berarti bahwa seseorang harus tinggal diam
atau tidak berbuat atau berkarma. Karma Bhagawad Gita menegaskan bahwa
orang tidak akan mencapai kebebasan karena diam tidak bekerja juga ia tidak
mencapai kesempurnaan karena menghindari kegiatan kerja.
Oleh karena itu ajaran agama menekankan benar hendaknya manusia
berlaku tidak menyimpang dari petunjuk kerohanian atau Dharma. Karena akibat
perbuatan jahat atau dosa itu sangat berat hukumannya dan hukum itu akan
dijatuhkan dari pengadilan yang tidak tampak oleh manusia yang dapat
menjerumuskan orang jahat itu ke dalam api nereka di akhirat. Demikianlah juga
penderitaan batin atau tekanan hidup yang datangnya tidak disadari dan datangnya
perlahan-lahan, kalau tidak pada waktu hidup ini, mungkin di akirat dan dalam
perjalanan yang datang atau akan diterima oleh anak cucunya. Namun orang yang
mempergunakan dharma sebagai tujuan hidupnya yang utama, dan mengabdi
terhadap sesama makhluk dan beramal saleh untuk kesejahteraan sesama makhluk
serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, maka orang itu akan mendapat
berkah dari, Ida Sanghyang Widhi yakni kebahagiaan akhirat (surga). Jika roh
15
(atma) itu akan menjelma kembali maka ia akan dapat mengenyam kebahagiaan
hidup di dunia.
Banyak terdapat orang yang walaupun hidupnya nampaknya sederhana
tetapi ia mempunyai jiwa yang tenang dan bahagia. Di samping itu banyak pula
orang yang nampaknya dari pandangan luar sangat bahagia karena Ia memiliki
timbunan harta kekayaan yang banyak serta menghambur-hamburkan nafsu
duniawi, namun hatinya penuh dengan penderitaan dan kedukaan yang berjenis-
jenis misalnya pikiran tidak tenang, selalu merasa was-was lantaran berbuat
kurang baik dalam mencari kepuasan duniawi itu dan sebagainya. Karena hal
tersebut itu adalah disebabkan oleh buruk perbuatannya masing-masing.
Macam-macam Karma Phala
Tiada sebab yang tanpa akibat dan tiada karma yang tanpa pahala. Setiap
perbuatan pasti ada pahalanya. Perbuatan baik pasti berakibat baik dan perbuatan
buruk berakibat buruk. Namun demikian, dalam kenyataan hidup sehari-hari
sering kita melihat bahwa orang yang selalu berbuat baik namun ia tetap
menderita yang selalu berlaku curang tetapi nampak hidupnya bahagia. Seperti
misalnya dalam ceritera Pewayangan antara Pandawa dengan Kaurawa. Pandawa
yang terkenal menegakkan dharma namun sepanjang hidupnya penuh dengan
penderitaan dan duka nestapi sebaliknya Kaurawa yang terkenal curang yang
nampak hidupnya bermewah gembira ria. Apakah dalam hal ini hukum karma
tidak berlaku ?
Hal ini terjadi karena demikian. Setiap mengalami masa kehidupan
tertentu, manusia tidak akan henti-hentinya pula menikmati karma phalanya. Ada
yang dapat dinikmati pada masa hidupnya sekarang. Ada pula yang akan
dinikmati dalam hidupnya yang akan datang serta ada halnya juga akan dinikmati
kelak. Berdasarkan atas cepat lambatnya untuk menikmati hasil dari karma itu
maka karma phala itu dibedakan atas tiga macam yaitu :
1) Sancita Karma Phala : adalah pahala perbuatan yang terdahuli yang belum
habis dinikmati dan masih merupakan benih untuk menentukan keadaan
16
kehidupan sekarang. Jadi orang lahir ke dunia ini membawa pahala dari
karmanya yang lampau.
2) Prarabda Karma Phala : karma yang dilakikan pada saat hidup sekarang ini
dan hasilnya pun telah pula dapat dinikmati dalam masa penjelmaan hidup ini
juga.
3) Kriyamana Karma Phala : yaitu perbuatan yang hasilnya belum sempat
dinikmati dalam waktu berbuat dan akan dinikmati kelak pada masa hidul
penjelmaan yang akan datang.
Dengan adanya tiga macam karma phala tersebut maka jelaslah bahwa
orang yang dalam hidupnya itu berbuat baik, berpedoman pada dharma atau
kebajikan akan tetapi hidupnya menderita atau sengsara mungkin akibat dari
Sancita karma yang buruk, yang mau tak mau ia harus merasakan buahnya
sekarang. Dan karma baik yang ia lakukan itu merupakan simpanan untuk dapat
dinikmati kelak. Sedangkan orang yang selalu berbuat buruk namun tampaknya
bahagia berarti hasil dari karma baiknya terdulu namun kelak pastilah mendapat
hukuman.
Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan kini atau kemudian segala
pahala dari suatu perbuatan pasti akan diterima karena hal ini sudah merupakan
hukum. Patut diingat di dalam hidup kita ini bahwa disamping kita menikmati
karma yang bersifat Sancita juga sebagian ada yang Prarabda dan sebagian lagi
yang bersifat Kriyamana.
Jadi dengan demikian maka karma dan karma phala yang disebut
hukum karma itu tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga oleh makhluk apa
pun juga. Karena makhluk yang hidup pasti akan berbuat atau
melakukan bermacam-macam karma, yang sudah tentu pula akan menerima
hasilnya yang disebut Karmaphala. Dan ini akan menentukan untung
malangnya nasib setiap makhluk itu masing-masing. Seseorang yang telah yakin
17
dan menyadari akan kebenaran hukum karma itu kendatipun
hidupnya menderita di dunia ini, maka ia pun tidak menyesal. Karena hal itu
telah dianggapnya merupakan Sancita karma phalanya sendiri sehingga dia
pun tidak sudi lagi akan berbuat jahat dalam mengulangi penderitaan hidup
yang sedang dialaminya. Justru karena itu maka ia ia pun malah anak lebih bergiat
lagi berusaha melakukan karma yang baik, demi kebaikan daripada Prarabda dan
Kriyamana Karmaphala kelak. Sebab meyakin bahwa hidup ini adalah
merupakan suatu perbuatan yang (suci) (subha karma) dan dengan subha karma
itu sajalah orang
dapat membebaskan dirinya dari belenggu Samsara atau penderitaan rohani
maupun jasmani. Jadi hukum karma itu tidak akan manberi efek negatif juga tidak
membawa akibat fatalistis terhadap umat manusia melainkan akan membentuk
manusia susila dan bermental atau bermoral tinggi.
Subba dan Asubha Karma
Suhha asubha karma artinya perbuatan baik atau buruk atau amal dosa
perbuatan. Jika ditinjau dari segi nilainya, maka segala perbuatan karma dan tiap-
tiap makhluk itu ada baik dan buruknya. Tidak yang seluruhnya baik atau tidak
ada pula yang buruk semuanya. ‘Tan hana wang wasta mulus” dada gading yang
retak. Kendatipur dernikian kita sebagai umat beragama. sebagai makhluk
termulia yang berbudi berakal dan sebagainya, hendaknya selalu berusaha dapat
berbuah baik serta mengurangi bahkan melenyapkan segala perbuatan yang tidak
baik atau subha karma. Kita perlu berbuat baik, sebenarnya adalah untuk
menolong diri kita sendiri, sebab perbuatan baik dan perbuatan atau subba asub
karma itulah yang menjadi penentuan dan buruk atau kemalangan nasib kita lahir
batin, Subha dan asubha karma itu yang merupakan tema hidup yang tersedia dan
18
yang erat serta pernah berpissah. Hal ini dengan jelas diuraikan dalam Sarasamuci
sebagai berikut:
Apanikang kadang warga rakwa ring tunwam
hingan ikang pnagteraken, kiriang ikang tumut
sahayan ikang dadi hyang dening para gawenya
subhastbha juga, matangnyan pihen tiking gae
hayu sahayan ta anuntunakene ri pona dlaha
(Sarasamccaya 32)
Sebab kaum kerabat dan keluarga itu hanya sampaipada tempat
pembakaran mayat batasnya mengantarkan sedangkan yang terus ikut sebagai.
teman sewaktu menjadi hyang di akhirat adalah perbuatan buruk itu juga. Oleh
karena itu usahakanlah berbuat baik untuk teman penuntun di akhirat kelak. Pada
bagian lain dari kitab Sarasamuccaya itu menyebutkan sebagai berikut
Apa ikang jadma mangke, pagawayan subha-subha
Karma juga ya, kalingnya, ikang subhasubha karma
Mangke ri pona ikag kabhukti pahanya,
ring karmapala , ya tinit rin pribahasa, swarga cyuta
neraka, cyuta, kunang ikang subha karma ri pona
tan paphala ikang matangyan mangke juga pengponga subha-subha
karma
(Sarasamuccaya 18).
Maksudnya :
sebab menjadi manusia sekarang ini adalah merupakan hasil pelaksanaan
karma yang baik dan buruk itu juga. Tegasaya petbuatan yang baik. buruk
sekarang ini, di alam akhiratakan dinikmati phalanya. Setelah selesai
19
dinikmatinya, menjelmalah ia kembali, menuruti karma phalanya itu. Wasana
artinya bekas, seperti bau samar-samar. Itulah yang menentukan keadaannya
dialam lain. (akhirat) itu, tidak berphala. Oleh karena itu maka pada. saat ini
juga harus diperhatikan baik buruknya perbuatan kita. Jika perbuatan baik
yang dilakukan, maka phalanya atau akibatnya adalah baikjuga. Demikian
pula sebaliknya, jika perbuatan buruk yang diperbuat, maka kasil atau
pahalanya pun adalah buruk juga
Karma Wasana
Sebagaimana biasanya, bahwa segala sesuatu yang telah pernah ada,
pastilah meninggalkan bekas, seperti misalnya sehabis memasak makanan paras
masih berbekas pada panci, kendatipun api itu sudah dipadamkan, temperatur
dingin pada waktu malam, masin berbekas juga pada logam sampai besok
paginya, walaupun walaupun matahari wsudah mulai terbit, demikian halnya air
akan meninggalkan bekas pada dan sebagainya. Begitu tiap-tiap karma atau gerak
yang dilakukan sadar atau tidak sadaranya akan berbekas di dalam pikiran. Inilah
yang menyebthkan tiap-tiap makhluk terutama manusa tidak dapat menghindari
dan mengingkari snuba shuba karma atau phala daripada baik buruknya perbuatan
itu,
Ilmu pengetahuan juga mengatakan bahwa walaupun gerak tubuh yang
tidak disadari pun berpusat pula dalam suatu bagian dalan pikiran apalagi.
perbuatan (aktivitas) yang dilakukan dengan sadar dengan sendirinya melekat
dalam alam pikiran dan banyak di antaranya yang teringat sampai ajal menjelang
tiba. Pada saat makhluk terutama manusia itu meninggal maka yang hancur adalah
hanya sthula Sarira (badan vadag)nya sedangkan Atma tetap hidup dan dari dalam
pikiran atau cita (budi, manas, aharnakara indria) panca tanmatra dan prana.
Dengan Sadirinya pula segala bekas-bekas dan gerak atau perbuatan-perbuatan
yang melekat pada alan pikiran semasih manusia ini hidup, turut menjadi
Suksama samranya bila manusia meninggal.
20
Adapun segala bekas-bekas atau kesan-kesan dari gerak atau perbuatan
yang tercatat atau melekat pada susma sarira atau alam pikiran itu disebut “Karma
Wasana” karma berarti perbuatan dan wasana berarrti bekas – belas atau sisa –
sisa perbuatan yang masih melekat sebagai diuraikan dalam wrahaspati Tattwa
sebagai berikut.
Kandayangganing dyun wawadah ring hinggu
huwus hilang hinggunta pinahalilang
kawekas ta ya ambonya
gandhanya rumaket iringkang dyun
samangkana tekang karma wasana hana ring atam
rumaket ikang karma wasana negaranya
ya tika umuparengga irikang atma
(Waraspati tattwa 35)
Maksudnya :
Bagaikan tempayan tempat kemenyan setelah habis kemenyanya
dihidangkan. maka masih berbekas jugalah baunya, wanginya melekat pada
tempayan begitulah umpamanya yang disebut was Demikianlah halnya
karena wasana berada pada Atma yakni melekat jugalah keadaannya karma
wasana itu jugalah menghiasu atma
Di atas telah dikatakan bahwa segala gerak dan perbuatas bersumber pada
dalan, pikiran (cita) dan segala bakas gerak-gerak atau segala catatan – catatan di
alam pikiran di dalam alam pikiran itu. Maka roh itu akan mendapat neraka dan
21
kesengsaraan. Tetapi jika catatan – catatan yang terdapat di dalam alam pikiran itu
penuh dengan buha karma roh itu pikirannya mendapatkan kebahagiaan akhirat
atau kebahagiaan dalam penjelmaannya yang akan dating. Akan tetapi bila alam
pikiran itu dapat terlepas dari ikatan keduniawian serta penuh dengan sifat – sifat
kebajikan atau dharma maka alam pikiran dan panca tanmtra itu tidak lagi
membalut atma sehingga atma bebas kembali ke asalnya yaitu paramat,a inilah
yang dinamakan moksa.
D. Samsara, Keyakinan pada kelahiran kembali punarbhawa
Menurut pandangan dilsafat Hindu bahwa atma yang masih dibungkus
oleh sarira atma masih tetap dipengaruhi dipengaruhi oleh unsure maya. Dengan
adanya pengaruh maya ini menyebabkan atma itu menjadi awidya serta masih
tetap pula terkait oleh pengaruh hukuman karma. Hukuman karma itu tidak saja
mempengaruhi keadaan kehidupan semasa hidup di dunia sekarang ini, tetapi juga
keadaan di akhirat, bahkan tidak terbatas sampai di mana saja melainkan masih
ada kelanjutannya lagi. Seperti kita ketahui bahwa macam dan jenis daripada
karma itu adalah sangat banyak sekali. Demikian pula pahala yang akan diniati
oleh subjeknya adalah banya pula ragamnya. Ada yang patut dinikmati di akhirat
serta ada pula yang patut dinikmati di dunia ini.
Setelah selesai batas waktu mengalami sorga ataupun neraka sesuai degan
ketentuan jenis karma phala yang patut dinikmati di akhirat maka atma akan
menjelma kembali ke dunia. Proses kelahiran bentuk kehidupan berikutnya dalam
ajaran filsafat Hindu di sebut “punaribhan”. Dan rangkaian dari semua
Punarbhawa itu disebut “samsara”. Dalam bhagawad Gita disebutkan sebagai
berikut:
a. Bahuni me wyatini
Jarmanitawa ca arjuna
Tam aham weda sarwani
22
Ne twan wettha paramitapa
(Bhagawad Gita IV.5)
Artinya :
Banyak kehidupan yang ku-telah jalani dan demikian pula engkau arjuna.
Semua kelahiran itu aku ketahui tetapi engkau tidak dapat mengetahuinya
arjuna.
b. Ajo pi sannawyayatma
Bhutanam iswaro pi san
Prakthim syam adhisthaya
Sambhawany atmamayaya
(Bhagawad Gita IV.6)
Artiya :
Meskipun aku tidak terlahir dan sikap-ku kekal serta menjadi iswara dari
segala mahluk akan tetapi aku, dengan memegang teguh pada sifat-ku sendiri.
Ak dating menjelma dengan jalan maya-ku
Berdasarkan penjelasan seperti tersebut di atas berkali – kali menjalani
kelahiran atau punarbhawa, akan tetapi manusia tidak mengetahui hal tersebut.
Hanya tuhanlah yang maha mengetahui.
Apabila kita menginta kembali mengenai sifat-sifat atma seperti tersebut
dalam Bab di depan yang antara lain ditingkatkan bahwa atma tidak pernah lahir
pun juga tidak pernah mati, kekal abadi. Maka seolah – olah tampak adanya
pertentangan sifat-sifat atma itu dengan teori kelahiran kembali atau penjelmaan
kembali yang disebut punarbhawa itu.
Dalam hubungan ini patut diingat bahwa yang dimaksud dengan kelahiran
atau npenjelmaan kembali dalam pengertian punarbhawa adalah suatu peristiwa
atau keadaan di mana jiwatma yang kekal itu bertemu kembali dengan badan baru
23
setelah meninggalkan badan yang lama sebagaimana seorang melepaskan bajunya
yang sudah robek dan memakai yang baru demikian juga keadaan yang sejati,
jiwatma, membuang yang telah hancur dan engambil yang lainnya adalah
pengalanan karma itu sendiri yang langka dapat dialihya oleh jiwatma.
Bukti-bukti yang dapat meyakinkan adanya punabhawa
Untuk dapat meyakinkan tentang kebenaran adanya Punarbhawa itu di bawah
ini dikemukakan beberapa bukti sebagat berikut.
Kilau kita perhatikan keadaan kehidupan manusia dalam masyarakat maka
akan terlihat bermacam-macam keadaan yang berbeda-beda dalam manusia yang
satu dengan lainnya. Misalnya, ada orang yang di tempat yang mewah, tak kurang
suatu apa pun, bertata saila, dalam berbagai bidang, keadaan jasmani yang
sempurna sehat walau berpribadi mulia.
Sentara yang lainnya lahir di dalam kemiskinan panuh derita kurang berbakat
dalam berbagai pentuk Kejahatan, sakit-sakitan, berhati kolot dan bercacat tubuh.
Ada orang yang mempunyai kemampuan batin luar biasa sedangkan yang lainnya
bodoh dan idiot. Ada orang berbakat untuk menjadi orang suci atau Yogi,
sedangkan yang lainnya berbakat dalam bidang judi, pemabuk, perampok, dan
sejenisnya. Ada pula orang yang sejak kanak-kanak sudah tampak mempunyai
baka-bakat seperti kesenian, bahasa, ilmu pasti, kesusastraan, musik, pertukangan.
lain-lain. Berdasarkan adanya kenyataan kehidupan tersebut timbullah pertanyaan.
Faktor apakah yang menyebabkan perbedaan itu mungkin dapat timbul
bermacam-macam jawaban antara Lain.
1. Perbedann keadann kehidupan tersebut terjadi karena suatu kebetulan saja.
Tentu jawaban ini tidak dapat diterima kebenarannya, sebab menurut hukum
karma ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tampa sebab.
2. Perbedaan keadaan tersebut disebabkan oleh takdir atau kehendak Tuhan.
Kalau ini benar maka orang-orang miskin, sengsara, menderita cacat atau lahir
buta dan lain-lain, atau keadaan yang tidak menyenangkan hatinya berhak
mengeluh dan menyesali Tuhan sebagai pencipta. Karena dianggap kurang
24
adil memberikan takdir. Dan dalam ajaran agama dikatakan bahwa proses
penciptaan itu adalah secara umum atau “menyeluruh sangat netral dan
universal, yang penuh dengan suasana kesucian dan keadilan cinta kasih yang
meilputi semua alam.
3. Perbedaan keadaan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor keturunan jasmani
pengaruh lingkungan, pendidikan yang berbeda. Andaika perbedaan keadaan
kehidupan tersebut disebabkan hanya karena faktor-faktor tersebut, maka
bagaimanakah halnya dengan Orang kembar. Mereka dari keturunan yang
sama, lingkungan pendidikan juga sama. Tetapi nyatanya mereka punya bakat
kesenangan yang berbeda. hal ini karena pengaruh keadaan jasmani mengenal
berat tinggi, warna, kesuburan, atau umur, bentuk, dan sebagainya diatur oleh
suatu genes. Ada pula yang menyebabkan carakerja genes berbeda. Apakah
juga masalah peringai yang diatur oleh genes? jawabannya tidak dapat
dipastikan.
Di balik jawaban tersebut maka yang jelas bahwa perbedaan-perbdaan
keadaan kehidupan itu bukan karena kebetulan, bahkan bukan karena Tuhan dan
juga tidak semata-mata karena faktor keturunan, pendidikkan dan. karena faktor
“karma di masa hidup yanglampau. Bakat atau pembawaan adalah suatu
pengalaman yang dibawa dari kelahirany di masa lampau. ini berarti pula ada
kelahiran sebelum sekarang selanjutnya secara logika itu berarti jula ada kelahiran
yang akan datang. Karena yang lampau itu berasal dari sekarang yang telah lalu
atau sekarang ini akan menjadi lampau di masa ujian. Dengan kata lain hal itu
berarti jelas ada Punarbhawa.
Purnabhawa dengan Karma pala
Sebenarnya antara punarbhawa dengan Karma phala rnerupakan suatu ikatan
yang terjalin erat satu dengan lainnya. Punarohawa sangat ditentukan oleh
subhasubha karma dalam masa hidupnya yang lain. Dapat pula dikatakan bahwa
puaarbhawa itu adalah perwujudan dari subhasubha phala itu sendiri.
25
Setiap karma yang dilakukan atas dasa hanya untuk pemuas dorongan
kenafsuan/indera belaka, adalah bersifat asubha karma, yang akibatnya
menimbulkan dosa, serta atma itu akan menjadi neraka dan selanjutnya akan
megalami Punarbhawa dalan tingkatan yang lebih rendah. demikian pula
sebaliknya, bahwa karma yang dilakukan atas dosa budhi satwam adalah besifat
subba karma, yang mengakibatkan akan dapat mencapai Sorga pun jika menjelma
kembali maka akan mengalami tingkat penjelmaan yang lebih sempurna.
Atma yang menjelma dari surga akan menjadi manusia hidupnya berbahagia
lahir di dunia. Kebahagiaan yang dialami dalam penjelmaan ini disebut “Swarga
cyuta’. sedangkan atma yang menjelma dari neraka akan menjadi makhluk yang
maha kuasa dan akan mengalami bermacam-macam penderitaan hidup ini disebut
neraka “Cuta”.
Dengan demikian maka jelaslah bagi kita bahwa keadaan serta macam-macam
tingkatnya penjelmaan itu adalah berleda-beda tergantung daripada jenisnya
penilaian subha karma phala yang patut diterima oleh atma bersangkutan sesuai
dengan takdir yang ditentukan oleh Tuhan yang maha Kuasa. Dalam hubungan ini
Slokantara menyebutkan sebagai berikut,
dewanam naraka jantur jantunam naraka pasuh,
pasunan neraka mrgo mrgahan eraka khagah.
Paskinam narakam wyalo wyamlam nerakah damstri
Damstruam narakam wisiwesinam maramarane.
(Slokantara 13.14).
Artinya:
Dewa neraka mijelma menjadi manusia,
manusia sengsara menjadi ternak,
26
ternak itu neraka menjadi binatang,
binatang buas itu neraka manjadi burung,
burung neraka menjadi ular,
ular itu neraka menjadi Cacing,
serta taring yang jahat menjadi bisa, yang menyakiti/membunuh manusia.
Demikian merosotnya, tingkat penjelmaan yang dialami oleh atma neraka,
sebagai akibat daripada sutha karmanya. Jika sudah sampai limit penjelmaan yang
terhina akibat dari dosanya maka ia tetap menjadi dasar terbawah dari kawah
neraka. Sedangkan makhluk nyata sekalipun jika telah dapat melakukan subha
karma maka kelak penjepenjelmaannya akan bisa meningkat lebih tinggi lagi,
dengan yang sebaliknya daripada apa yang tersebut dalam sloka tersebut di atas
tadi.
Jika direnungkan alangkah niscanya dan betapa pula berati pendenitaan, yang
dalami dalam. situasi penjelmaan yang diakibatkan asubha karma tersebut. Kita
yang telah dapat menjadi manusia dalam penjelmaan ini patutlah merasa bersukur
karna tingkat penjelmaan yang kita alami ini adalah tingkat penjelmaan yang
tentinggi demikian jalan yang kita tempuh untuk mencapai tingkatan berakhirnya
penjelmaan itu adalah lebih pendek, jika dibandingkan dengan tingkat penjelmaan
daripada menjadi makhluk yang lebih rendah lainnya.
Apan ikang dadi mwang, uttama juga ya,
nimittaning mangkana, wenang yang tumulung
awaknya sangkeng angsara maka sadhanang
subha-karma, hingning kottasaning dadi mwang ika
(Sarasanuacaya 10).
Arttnya:
Sebab menjelima menjadi manusia ini adalah utama juga
27
sebabnya demikian, karena itu dapat menolong dirinya
dari sengsara dengan jalan berbuat baikk.
Demikian balasan keutamaan menjadi makhluk.
E. Moksa, keyakinan anak kebahagiaan yang abadi bebas dari kelahiran kembali
Tujuan hidup umat Hindu adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir batin
moksartham jagathita. Kebahagiaan batin yang terdalam ialah bersatunya atman
dangan Brahman, yang disebut Moksa. Moksa inilah juan terakhir dan tertinggi
dari umat Itindu. Moksa berarti kebebasan atau kelepasan. Moksa dalam istilah
lainnya sering pula disebut Mukti atau Nirwana. adapun yang dimaksud dengan
“Kebebasan atau Kelepasan” dalam arti kata Moksa itu adalah bebasnya atau
terlepasnya Atma dari segala ikatan, bebas atau terlepas dari belenggu ikatan
maya, bebas dari ikatan hukum karma dan Samsara atau Punarbhawa, sehingga
atma dapat kembali degan asalnya yaitu Ida Sanghyang Widli Wasa serta dapat
pula mencapai kebenaran tertinggi, mergalami keteneraman dan kebahagiaan yang
kekal dan abadi yang disebut Sat= kebenaran Cit= kesadaran (Sat= kthenaraman,
Cit= kesadaran, ananda=kebahagiaan). Kebahagiaan dalam Moksa adalah sukha
tari pawali dukha yaitu suatu keadaan kebahagtaan yang tiada disusul oleh
kedukaan. dalam hidup kita sehari-hari maka setiap kebahagiaan atau kegenbiraan
senantiasa diikuti oleh kedukaan atau suka duka itu selalu bergan dengan tangan.
Hal inilah yang perlu
Seperti kita ketahui bahwa pada hakikatnya semua makhluk ingin untuk
membebaskan dirinya dari kurugan untuk bersatu kembali dengan asalnya. Seekor
burung yang dikurung dalam sangkar senantiasa ia mengais-ngaiskan cakarhya
pada dinding sangkar karena ingin lepas dari kurungan itu. Seekor kera yang
diikat sebagai kegemaran senantiasa pula ingin bebas dari ikantan itu. Bahkan
28
beda sekalipun juga rupa-rupanya ingin bebas dari bentuk kurungan. Misalnya api
yang dikurung dengan Lapisan gunung berapi ia mendesak-desak atau menekan
lapisan tanah tersebut dan suatu saat dalam bentuk letusan. Air yang dikurung
dangan gelas senantiasa ia mendesak dinding gelas itu karena ingin bebas dan
kembali bersatu dengan asalnya yaitu:
Tingkatan – tingkatan Moksa
1) Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai terutana oleh para Maha
Rsi. Pada waktu sedang melakukan samdh,. segala unsure-unsur maya sperti,
emosi, pikiran jasmani itu telah dapat dikendalikannya dan disertai kemekaran
intuisinya, sehingga beliau dapat langsung kembali keadaan demkian itu Atma
dapat berdek intimacy dengan Tuhan. Sedangkan setelah selesai renungan
spiritual atau samadhi itu maka keadaan beliau lagu. sebagai biasa di mana
emosi, pikiran dan organ jasmani aktif kembali. Jadi kebebasan yang dapat
dicapat bersifat mementara
2) Sarupya/Sadharnya adalah suatu kebebasan di dunia di mana atma telah dapat
mengatasi pengaruhnya unsur-unsur maya itu, karena dalam hal ini atma
merupakan pancaran/refleksi dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri
Kresna yang tersebut Bhagawad Gita. Dalam keadaan seperti ini kendatipun
atma mgambil suatu perwujudan tertentu, nanun tidak akan terikat oleh
sesuatu.
3) Salokya dalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atma di atma itu
sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang dengan Tuhan, akan
tetapi belum dapat bersatu padu dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu
dapat dikatakan bahwa atma itu mencapai tingkatan yang merupakan
manifestasi dari sinarNya Tuhan
4) Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, di mana telah dapat
bersatu padu atau bersemayam dengan secara ide dengan Tuhan dan tidak
terbebaskan ole siapa pun juga, sehingga benar-benar telah mencapai
29
“Braknna Atma aikyam” yakni Atma dengan Tuhan betul-betul telah menjadi
tunggal.
Lain daripada yang telah tersebut di atas maka ada lagi istilah lain yang untuk
membedakan tingkat kebebasan atau moksa yang dibedakan atas tiga tingkatan
yaitu
1) Jiwa mukti ialah satu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidup, di mana
atma terengaruh oleh indriya dan unsur-unsur maya lainnya. Dengan demikian
maka jiwa mukti sifatnya sama dengan samapya dan sarupya/ sadharnya.
2) Weidaha-mukti/ Karma ialah suatu kebebasan yang dapat di capai setelah
mati, di mana atma telah pergi dari sthula-sarira, tetapi wasana maya atau
bekas-bekas unsur maya itu tidak kuat mengingat atma itu. Dalam keadaan ini
tingkat keaadaan yang oleh atma sudah setarap dengan Tuhan, tetapi belum
dapat bersatu dengan Parama Siwa karena masih ada imbas: dari unsure maya.
Dengan demikian maka Wideha Mukti/Karma mukti ini dapat disamakan
dengan sakya.
3) Purna-Mukti ialah suatu kebebasan yang paling sempurna dan tinggi, di mana
atma telah dapat bersatupadu dengan Parama. Jadi Purna-Mukti sama dengaan
sifatnya Sayujya.
Demikian tingkatan-tingkatan kebebasan atau moksa yang dialami oleh atma
dari tahap permulaan sampai dengan tahap terakhir/tertinggi sesuai dengan
keadaan dan posisi. atma itu sendiri.
CATUR MARGA
Uraian dan Contoh
Catur marga yog adalah empat jalan atau cara untuk mencapai kebebasan atau
untuk menuju bersatunya atman dengan Paramata. Catur Marga yang meliputi
1. Bhakti yoga
30
2. Karma yoga
3. Jnana Yoga
4. Raja yoga
Bhakti marga yoga
Bhakti marga yoga adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan (moksa)
dengan jalan sujud bakti kepada Tuhan. Dengan sujud dan cinta kepada Iswara
Tuhan pelindung dan pemelihara semua makhluk, maka Iswara akan menuntun
seorang bahta, yakni orang yang cinta dan sujud bakti kepadanya untuk mencapai
kesempurnaan. Dengan menyembah dan berdoa mohon perlindungan dan
ampunan atas dosa-dosanya yang pernah dilaksanakannya, serta mengucap syukur
atas perlindungannya, kian hari cinta baktinya kian mendalam, hingga Tuhan
Iswara akan muncul (manifest) dihadapan Bhakta itu. Iswara akan membimbing
dia di dalam segala gerak langkahnya dan memurnikan hatinya hendaknya ia
dapat memiliki sifat dharma (kebijakan) dan budi luhur, dan dapat mencapai
kebahagiaan hidup kini, kebahagiaan akhirat (swarga) dan kebahagiaan dalam
penjelmaan yang akan datang (swarga cyuta). Karena rakhmat Tuhan yang
dicintainya seorang Bhakta akan merasakan hidup tenang dan tenteram dan bila
atmanya meninggalkan jasmaninya atmanya itu akan mencapai brahmaloka atau
Sila Loka dan menunggal dengan Brahma atau Siwa. Dengan menyerahkan diri
atau sujud terhadap Tuhan, Tuhan akan menuntun dia ke jalan yang lurus hingga
sempurna sila dan budinya. Orang yang betul-betul cinta dan menyerahkan diri
kepada Tuhan Mahadewa (Tuhan Raja Alam yang Pengasih dan Penyayang) tiada
akan berpaling dari kebenaran kelurusan laksana dan kesucian batin dan tiada
akan jatuh ke lembah dosa dan malapetaka. Iswara akan memelihara dan
melindungi orang yang beriman itu supaya hidupnya tetap tenang dan tenteram.
31
Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah
Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas. Bila perasaan bakti melekat dan mendalam,
Tuahn akan dijumpai berhadap-hadapan, bagai sahabat Agung yang Maha Murah,
yang menolong di waktu kesusahan. Dia dalam bakti Marga iswara akan dijumpai
tidak sebagai sumber alam yang abstrak tetapi sebagai wujud hidup yang tiada
berbadan kasar tetapi terasa adanya. Alangkah bahagia seseorang dapat berhadap-
hadapan dengan pencipta alam Yang Maha Besar tiu sedangkan dapat berjumpa
dengan tokoh besar saja orang telah merasa bangga. Tetapi seberapakah gerangan
orang yang dapat bertemu dan mengalami (pratyaksa) wujudnya yang suksma dan
amat sukar dialami dan dijumpai itu. Di antara ratusan juta manusia, mungkin
hanya satu dua yang dapat bertemu dengan Dia. Beberapa Rsi-Risi dan nabi-nabi
yang alat wahyu atau instuisinya mekar karena kemuliaan pribadinya dan karena
rahmat Tuhan, dapat mengalami wujud-Nya. Dengan jalan sujud bakti Iswara
akan membuka pintu-Nya, maka umat yang cinta kepada-Nya dapat berjumpa
dengan Dia.
Petikan 1 : Na’han wedair na tapasa na danena cjyaya sakya ewam widhu
drastum drastawan as imam yatha. (Bhagawadgita II. 53)
Artinya : tiada karna Weda, tiada karena tapa, tidak sedekah pun tidak karena
pemujaan berupa kurban aku dijumpai berujud sebagai yang kau lihat
itu.
Petikan 2 : Bhaktya twanyaya sakya, aham ewam widho’rjuna, jnatum drastum ca
tattwena, prawestum ca Parantapa (Bg. 11. 54)
Artinya : Hanya dengan sujud bakti, Arjuna, Aku dapat dijumpai berwujud
sebagai ini. Setelah benar-benar mengenal dan melihat wujud-ku akan
kembali bersatu dengan Aku, Parantapa.
Petikan 3 : Sat Kamakrn mat parama, mat bhaktah sanggawarjitah, nir wairah
sarwahutesu, yah sa mameti Pandawa. (Bg. 11. 55)
32
Artinya : Orang yang bekerja untuk-Ku, memakai Aku sebagai tujuan, dan
sujud bakti kepada-Ku, terlepas dari ikatan duniawi, dan tiada pernah
membeci makhluk apa pun, dia akan mencapai Aku, wakau Pandawa.
Bakti marga adalah jalan yang termudah untuk mencapai kesempurnaan.
Keinsyafan sungguh berat bagi kebanyakan, oleh karena itu Bakti marga
merupakan jalan yang paling biasa ditempuh oleh umat agama untuk mencapai
kesempurnaan itu. Walaupun dosa-dosa yang dilakukan oleh umat manusia dapat
dilebur dengan kebijaksanaan (Jnana Marga), tetapi pelebur dosa yang paling
mudah adalah dengan sujud bhakti kepada Tuhan dengan sembah dan doa
memohon ampun dan restu kepada-Nya, niscaya Ia mengampuni umatnya dan
menyalakan kesadarannya (widyajnya) hingga ia tidak jatuh lagi ke jurang dosa.
Tuhan akan mengampuni umatnya yang tobat, yang memuja dia dengan cinta
bakti.
Di dalam kekawin Arjuna Wiwaha tersebut sajak yang mengandung ajaran
Bhakti marga yang menyatakan dengan mencintai Tuhan seseorang dapat
menjupai-Nya.
Petikan : OM sembahning anatha, tinghalana de tri loka sarana, wahya dhya
tmika sembahning hulun, I Jengta tan hana waneh, sang iwit Agni
sangken tahen, kadi mihak saking dadhi kita, sakast metu yan hana
wang, amutur tutur pina hayu.
(Arjuna wiwaha 10.1)
Artinya: OM Tuhan mohon disaksikan sujudku, 0 pelindung tri buana, lahir batin
sembahku kepada Mu, Tiada lain yang bagaikan api di dalam kayu,
bagaikan minyak dalam susu, yang nyata-nyata Muncul (manifest) pada
orang yang beriman yang mengamalkan ajaran suci.
Karma Yoga
33
Karma yoga atau karma marga adalah jalan untuk mencapai kesempurnaan
(moksa) dengan kelakuan berbuat kebajikan ; namun tidak terikat oleh nafsu
hendak mendapat hasilnya terutama yang berupa kemasyuran, kewibawaan,
keberuntungan dan sebagainya, melainkan melakukan kewajiban demi untuk
mengabdi, berbuat amal dan kebajikan, untuk kesejahteraan umat manusia dan
makkluk lainnya. Selain daripada itu karma marga berhampiran inti ajarannya
dengan bhakti marga, yang manyerahkan segala usaha di tangan Tuhan, dan
memandang segala usaha pengabdian kebajikan, amal dan pengorbanan itu bukan
dari dirinya sendiri melainkan dari Tuhan. Dengan memandang segala usaha
untuk kesejahteraan bersama manusia dan makhluk adalah semua dari Tuhan dan
bukan dari dirinya sendiri dan melakukan kewajiban tanpa ikatan, maka jiwa
karma yogi, orang yang beriman yang menempuh karma marga sebagai jalan akan
dapat menunggal dengan Parama Siwa atau (Brahma). Di dalam kekawin
Ramayana, Rama bernasihat kepada Wibisana bagaimana seharusnya menjadi
abdi, giat melakukan kewajiban untuk melakukan kesejahteraan rakyat tanpa
ikatan nafsu untuk mendapatkan kekayaan, kenikmatan hidup dan kemasyuran,
atau untuk mendapatkan kewibawaan, nasihatnya sebagai berikut:
Petikan 1: Prihen temen dharma dumaranang sarat, saraga sang sadhu sireke
tutana, tan artha tan kamaPidonya tan yasa, ya sakti sang sajana dharma
raksaka. (Ramayana 24081)
Artinya : utamakan benar hukum keadilan dan kebajikan yang melindungi dunia,
hendaknya cita-cita orang budiman itu di turuti, yang tidak hendak
(gelisah ) mendapat harta, nafsu dan kemasyuran, adpun kemuliaan
orang budiman adalah sebagai pelindung dharma ( beramal dan
mengabdi, mempertahankan keadilan )
Petikan 2 : sakan ikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatan
rumaksa ya, ksayan ikang papa nahan prayojana, jana nuraga di tiwin
kapangguha. (Ramayana 24.28)
34
Artinya : Dharma sebagai tiang Negara itulah hendaknya Kau turuti,
utamakanlah ajaran Manu untuk mengabdi Negara, lenyapnya
kesengsaraan itu hendaknya menjadi tujuan, kecintaan rakyat, dan lain
– lainnya pasti akan Kau jumpai.
Tidak hanya rakyat yang yang cinta tetapi Tuhan pelindung dharma pun
akan merahmati orang yang berbudi mulia, yang melakukan kewajiban dengan
berpedoman sepi ing pamrih rame ing gawe (pengabdian) untuk masyarakat, dan
umat manusia. Selain daripada itu Tuhan akan membuka pintunya, sehingga
penganit Karma Yoga dapat berhadapan dan menyatu dengan-Nya.
Dengan memakai Karma Marga sebagai pedoman hidup, seorang akan
dapat mencapai ketentraman batin dan kebahaagiaan abadi, karena hidupnya
bagaikan daun talas, walaupun dimasukkan ke dalam lumpur tetapi lumpur tidak
aakn melekat. Seorang Karma Yogi yang menempuh Karma Marga sebagai jalan,
tidak akan diombang – ambingkan oleh pasang surut gelombang hidup yang dapat
melemahkan jiwa perjuangannya untk mengabdi dan untuk mempertahankan
keadilan, prikemanusiaan, melindungi yang lemah dan membasmi yang jahat dan
curang. Seorang Karma Yogi akan tetap tenang menghadapi segala kesulitan yang
menghalang dan tiada akan gentar menghadapi pahit getirnya perjuangan hidup
untuk kebenaran, keadilan, dan kesucian.
Petikan : Yad rocalabhasamstutah, dwandwatito winatsarah, samah
sidhawasiddhau ca, krtwapi nanibandhyate. (Bhagawad gita 4.22)
Artinya: tetap tenang dengan apa yang menimpa, dapat mengatasi pasang surut
perasaan, tiada mementingkan diri dan memandang, dengan perasaan
yang sama, menghasilkan atau tidak usahanya, seseorang tidak akan
terbelenggu oleh Karma.
Petikan: Gatangsangsya muktasya, Jnana wasthita cetasah, yajnaya caracah
karma, samagram prawiliyate. (Bhagawadgita 4.23)
35
Artinya: orang terlepas dari ikatan nafsu, bebas, yang di jiwanya tegak dalam
kebijaksanaan, dan melakukan kewajiban demi untuk pengorbanan,
segala karmanya akan mendidih.
Petikan: Karmanaiwa hi samsidhim, astitha janakadayah, lokasanggrahan ewapi,
sampasyam kartum arhasi (Bhagawadgita 3.20)
Artinya: Hanya dengan melakukan Karma Marga, raja Janaka dan lain – lain
(orang yang berjiwa besar) mendapat kesempurnaan, hanya araahkanlah
perhatianterhadap kesejahteraan rakyat (umat manusia) kamu harus
melakukan kewajiban.
Demikianlah nasihat Kresna dalam Bhagawadgita umtuk meneguhkan
imannya, sebagai pelindung keadilan dan pembela kebenaran. Kresna menasihati
hendaknya Arjuna tidak gentar menghadapi manusia yang melakukan kejahatan,
ketidakadilan dan sebagainya walaupun denganmengalami pahit getir perjuangan
hidup dan mengorbankan jiwa untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan itu.
Demikianlah untuk mencapai kesempurnaanatau moksa dapat dicapai
dengan kewajiban yang dilaksanakan dengan tanpa ikatan nafsu duniawi.
Jnana Yoga
Jnana Yoga atau Jnana Marga adalah suatu jalan atau usaha untuk
mencapai kesempurnaan (Moksa) dengan mempergunakan kebijaksanaan filsafat.
Di dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan dengan kebijaksanaan itu, terdapat
para arif bijaksana (jnanin) yang berusaha mencapainya dengan keinsyapan,
bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersumber pada suatu
sumber alam yang di dalam kitab suci weda disebut purusa atau brahma, dan
36
didalam ajaran suci siwapaksa disebut siwa. “sarwam idam khalu Brahman”
segala yang ada di alam tidak lain daripada Brahman. Demikianlah disebut
didalam upanisad, bagian weda yang menerangkan Brahman atau purusa, sebagai
sumber unsur-unsur rohani maupun jasmani semua makhluk dan sumber segala
benda yang ada di alam. Brahma (siwa) sebagai sumber segala, mempunyai
kekuatan yang dapat dikatakan hukum kodrat atau sifatnya, yang menyebabkan
brahma (siwa) berubah menjadi serba segala rohaniah maupun jasmaniah (skala
niskala). Kekuatan hukum kodrat atau sifat bharma itu disebut maya atau Prakerti
dan untuk siwa disebut sakti, maya tatwa atau juga acetana. Bila Brahma tidak
dipengaruhi oleh hukum kodrat (sifat )-Nya yang disebut maya atau Prakerti
(Sakti), Maya Tatwa atau Acetana itu, ia disebut nirguna (Parama) dan Brahma
(siwa) dipengaruhi oleh hukum kodrat (sifat)-Nya itu disebut Saguna (Sada).
Nirguna Bharma (Parama Siwa) adalah roh (Paramatma) alam semesta yang
menjadi inti penggerak hukum peredaran alam, dan seguna Brahma (Sada Siwa)
ialah perwujudan Brahma (Siwa) yang disebut Iswara (Raja alam), Sang Hyang
Widhi Wasa penggerak peredaran alam maha kuasa sehingga dapat mencipta
(Utpatti), mengatur (Stiti), dan melebur mengembalikan pada asalnya (Pralina).
Denan menginsyafi bahwa segala yang baik jasmani maupun rohani benda
yang berwujud (Sthula) maupun absrak (Sukma) bersumber pada Brahma atau
Siwa, maka bijaksanawan (Jnanin), memandang bahwa benda jasad dan wujud
rohani (alam pikiran dan sebagainya), yang timbul dari Brahman (sanifes) adalah
benda dan wujud sementara (relatif). Hanya sumbernya yaitu Brahma (Siwa) yang
Maha Agung yang sungguh-sungguh ada dan mutlak (absolut). Apalah artinya
serba benda yang terdapat di alam bagi orang yang bijaksana yang mengenal
keabadian, kemutlakan dan keagungan Bharma itu, bagaikan tetesan embun
dengan samudera, demikianlah kecilnya serba benda kalau dibandingkan dengan
Brahma (Siwa). Apalah manfaat dunia yang serba nisbi (relatif) itu bagi orang
bijaksana (Jnanin) yang insyaf dengan keagungan wujud Brahma (Siwa). Hanya
awidya (kurang bijaksana) menyebabkan manusia terikat oleh benda-benda
keduniawian itu. Sedangkan kalau direnungkan justru manusia sering diombang-
ambingkan oleh pasang surut gelombang benda uniawi yang menimbulkan
37
perasaan duka (Dukna), dengki (Irsya) marah (Krodha, dwesa), gelap (Moha) dan
lain-lainnya. Bagi orang bijaksana (Jnanin) kenikmatan duniawi hanya memberi
kenikmatan dan kebahagiaan sementara, yang sering menimbulkan perasaan duka,
marah, dengki dan sebagainya, andai kata kenikmatan yang berdasar serba benda
itu tiada menjelang lagi. Bagi para Jnanindunia beserta isinya adalah maya,
bayangkan sementara dari yang mutlak dan Yang Maha Agung yaitu Brahma
(Siwa). Oleh karena itu sungguh sia-sia andai kata manusia terikat oleh benda
kenikmatan duniawi yang sering menggoncangkan hidup dan ketentraman
sukmanya.
Selain daripada itu kitab suci Weda mengatakan bahwa atma atau
jiwatman bahwa roh tiap-tiap makhluk sama wujud dan sifatnya dengan Nirguna
Brahma (Paramatma) atau (Parama Siwa). Brahma atma akyam, Brahma dan atma
tunggal. Tunggalnya atma dan Nirguna Brahma bagaikan udara dalam ruangan
dengan udara di angkasa, sedangkan ikatan perasaan dengan benda duniawi
adalah penghalang untuk menunggalkan atama (Siwatma) dengan Nirguna
Brahma (Paramatma atau Parama Siwa) itu. Oleh karena itu, para Jnanin
(bijaksanawan) berusaha menghindarkan diri dari ikatan nafsu (Indriya) terhadap
objek keduniawian (Wisaya) yang bersifat nisti (ksanika) itu. Mereka berusaha
mengarahkan pikiran dan perasaannya terhadap Yang Maha Agung dan mutlak
yakni Brahma (Siwa), hingga mereka dapat kebahagiaan abadi dan ketentraman
yang cerah gemilang disebut ananda dan akhirnya Jiwatmanya (roh) manunggal
dengan Nirguna Brahma (Paramatma, Paramasiwa). Para Jnanin (bijaksana)
berdikit dikit dapat melepaskan diri dari belenggu nafsu duniawi hingga jiwanya
murni bagaikan teratai, waalupun tumbuh dalam lumpur tetapi tidak terkena
kotornya. Dengan Jnana (kebijaksanaan) mereka dapat mencapai dharma dan
member kebahgiaan lahir bathin dalam hidupnya sekarang, di akhirat (swarga)
dan dalam penjelmaan yang akan datang. Dalam putaran hidup selanjutnya, pada
akhirnya tentu mereka dapat menginjak alam moksa yaitu kebahagiaanyang kekal
yang menyebabkan roh (atma) bebas dari penjelmaan kembali.
38
Petikan 1: Na prahrayet priyan prapya, nodwijet prapya cha priyan sthirabudhir
asammudho, Brahmawid brahmani sthitah,
(Bhagawad gita 5.20)
Artinya: Orang bijaksana yang insyaf dengan wujud Brahma selalu
memadukan sukmanya dengan Brahma, tetap tenteram dan tidak
terabui oleh kebodohan, tiada rasa bahagia dapat kenikmatan yang
digemarinya dan tiada bersedih dapat yang tiada yang
menyenanginya.
Petikan 2: Bahyasparses wasak tatma, windat/ yatmaniyat sukham, sa
Brahmayoga yuktatma, sukham akshayam asnute.
(Bhagawad gita 5.2)
Artinya: Orang yang jiwanya tidak terikat oleh sentuhan duniawi, mendapat
kebahagiaan batin, orang yang sukmanya selalu menunggal dengan
Brahma itu, dapat mengenyam kebahagiaan yang abadi.
Petikan 3: Yo’ntah suklo, ntaramas, tat hi antar jyotir ewa yah, sa yogi brahma
nirwanam, Brahmabhuto’dhigacchati.
(Bhagawad gita 5.24)
Artinya: Orang yang menikmati kebahagiaan batin yang kesenangannya
bersumber dalam hatinya dan yang rohaninya cerah bersinar orang
beriman yang selalu menunggalkan sukma dengan brahma mencapai
kesatuan roh dengan brahma.
Dia dalam batin yang cerah tenteram yang disebut ananda itu, Brahma
sumber segala, yang juga disebut sat (kebenaran yang Maha Agung) dapat dialami
dan diketahui langsung (Pratyaksa Pramana). Selain daripada itu, terdapat juga
orang bujaksana (Jnanin) yang tidak memikirkan keagungan Brahma (Siwa)
melainkan menempuh jalan pendek, yaitu dengan memandang bahwa nafsu
adalah musuh yang paling buas, yang menggoncangkan ketentraman batin. Nafsu
memperbudak manusia sehingga terjerumus ke lembah dosa dan malapetaka.
39
Nafsu timbul karena awidya (kurang bijaksana). Dari nafsu yang disebut raga,
muncullah marah (dwesa) iri hati (matsarya) mabuk atau angkuh (mada) dan
kegelapan pikiran maupun kesusahan (moha). Orang bijaksana (Jnanin)
memandang nafsu, kemarahan, iri hati, angkuh, kegelapan pikiran dan susah itu
sebagai enam musuh di dalam diri yang perlu dibasmi yang disebut sda ripu.
Petikan 4: Ragadi musuh maparo, rihatya tonggwanya, tan madoh ring awak.
(Ramayana sarga 14.1)
Artinya: Nafsu dan sebagainya (kemarahan), iri, dengki, angkuh, dan
kegelapan pikiran, di hatilah tempatnya, tiada jauh dari diri.
Andaikata dapat membasmi keenam musuh dalam diri itu, jiwa (roh) tentu
akan murni (suci) dan dapat mencapai dharma (sila dan budi luhur) dan akhirnya
kebahagiaan abadi dan kebebasan roh dari penjelmaan akan dicapai.
Raja Yoga
Raja yogi adalah cara atau jalan untuk dapat mengetahui kerahasiaan dan
berhubungan dengan Sanghyang Widdhi dengan melalui tapa, brata, yoga dan
semadhi. Tapa dan brata dapat dirtikan suatu latihan yang tidak henti-hentinya
untuk mengendlikan indria. Yoga dan Semadhi merupakan latihan untuk
menghubungkan dan menyatukan atma dengan Paramatma.
Dalam Bhagawad gita Kresna menjelaskan tentang raja rahasia dari ilmu
pengetahuan. Kerahasiaan kebenaran brahmaitu tidak dapat dimengerti hanya
dengan berteori atau berargumentasi saja. Hal itu hanya dapat dimengerti hanya
dengan pengalaman atau pengamatan langsung (pratyaksa pramana). Orang yang
dapat menumbuhkan kesadaran diri serta mengabdikan dirinya sepenuhnya
kepada Sanghyang Widdhi akan dapat mengetahui hakikat kebenaran Brahma.
Orang seperti itulah disebut seorang raja yogin.
40
Setelah menyatakan bahwa ada pengetahuan yang maha tinggi, rahasia
yang maha tinggi, kesucian yang maha tinggi, namun akan dapat diketahui dengan
pengalaman langsung apabila manusia telah tiba pada tingkat kesadaran yang
tinggi, selanjutnya dijelaskan:
Petikan: Maya tatam idam sarwam jagad awyakta murtina, matsthani sarwa
bhutani na cha’ham tesw awasthitah.
(Bhagawad gita IX.4)
Artinya: Aku berada dimana-mana dalam alam semesta ini dengan bentuk Ku
yang tidak terwujud, semua makhluk berada dalam Ku, tetapi Aku
tidak berada di dalam mereka.
Pengetahuan tentang sarwam idam kalu Brahman atau segala yang ada di
alam tidak lain dari Brahman, atau Brahman atman aikyam artinya Brahman dan
atman itu tunggal adalah suatu pengetahuan yang di dapat secara langsung oleh
seorang raja yogin. Pengetahuan itu didapatnya antara lain melalui yoga dan
sanadhinya. Dengan demikian orang yang menempuh jalan raja yoga untuk
mendapatkan kebahagiaan yang abadi dalam penunggalan dengan Ida Sanghyang
Widdhi akan melalui suatu disiplin yang keras, baik beberapa tapa brata yoga
ataupun Samadhi.
Setiap orang dapat memilih salah satu jalan yang disediakan dengan
terlebih dahulu menyesuaikan dengan tingkat kemampuan diri sendiri. Perlu pula
diingat bahwa tujuan yang dicari dan akan dicapai adalah sama dan satu yaitu
berupa kebahagiaan abadi diri penunggalan dengan Sanghyang Widdhi.
Pemgetahuan filsafat sebenarnya dapat memberikan kejelasan bagi setiap orang
tentang akekat hidup. Bagi orang-orang yang telah memahami dan menghayati
ajaran-ajaran filsafat kerohanian akan mengerti apa yang mesti dikerjakannya, apa
yang tidak patut dikerjakannya. Selanjutnya ia akan menyadari bahwa tujuan
hidupnya adalah untuyk melepaskan atmanya dari ikatan maya lalu dapat bersatu
kembali kepada sangkan paramnya yaitu Sanghyang Widdhi . Untuk dapat
41
mencapai kesadaran tentang hakikat ilmu pengetahuan dan filsafat itu tentu mesti
ada usaha belajar yang terus menerus. Dimana dengan ketekunan dan usaha yang
tidak kenal henti pada saatnya tentu akan tercapai tujuan yaitu kebebasan yang
abadi, bebas dari penjelmaan kembali menunggal dengan Brahman, mencapai
moksa.
4.4.3 Rangkuman
Catur narga yoga adalah 4 ajaran yang masing-masing ajaran mempunyai
penekanan di dalam mencapai tujuan yang sama yakni kebebasan abadi. Secara
bhakti yoga menekankan pada kesujudan kepada Tuhan, cara karma marga
menekankan pengabdian yang ikhlas pada etiap kebajikan, cara Jnana
menekankan pada kebijaksanaan penguasaan diri dan cara Raja yoga menekankan
pada pelaksanaan yoga untuk mencapai alam Samadhi, semuanya harus didukung
dengan disiplin dan kesusilaan, barulah tujuan akan tercapai yakni moksa.
BUKU MATERI POKOK 4
KEMASYARAKATAN HINDU
MKDU4204/2SKS/04
42
PENDIDIKAN AGAMA HINDU
OLEH:
Letkol. Inf I Ketut Bantas
Kapten Inf. I Nengah Dana
KEMASYARAKATAN HINDU
1. Pengantar
Di dalam modul-modul sebelumnya anda telah mempelajari mengenai
sejarah, sumber, ruang lingkup, tujuan dan filsafat agama hindu. Semuia itu akan
dapat menuntun anda untuk memperjelas pengertian didalam pembahasan
berbagai masalah kehidupan kemasyarakatan/Pranata sosial yang terdapat di
dalam ajaran Hindu, yang akan anda pelajari pada modul 4 ini.
Mempelajari masalah kehidupan kemasyarakatan Hindu tidak dapat
dipisahkan dari sumbernya yaitu ajaran yang dianut, karena ajaran itulah yang
akan menentukan arah tingkah lakunya yang diwujudkan dalam bentuk
kebudayaan, untuk mencapai tujuan hidupnya sebagai umat beragama.
43
Walaupun kehidupan beragama merupakan persoalan individu namun
untuk mencapai tujuan hidup beragama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, karena itu lalu timbul Pranata Sosial dalam
berbagai bentuk dan coraknya.
Dalam sejarah pertumbuhannya kadang-kadang terjadi penyimpangan dari
yang ditetapkan menurut ajaran agama Hindu, sehingga menimbulkan kesan
negatif sementara pihak terhadap agama Hindu itu sendiri. Seperti misalnya
masalah catur wulan. Yang berubah ke dalam pengertian kasta, kemudian
berpengaruh terhadap sistem kekeluargaan (kula, wamsa) dan lembaga
Perkawinan Hindu, serta status sosial lainnya.
Karena itu di dalam modul ini akan diuraikan berbagai masalah kehidupan
masyarakat Hindu sesuai dengan ajaran yang benar menurut Dharma.
2. Tujuan Instruksional Umum
Dengan mempelajari modul ini anda akan memperoleh pengertian yang
jelas, dan mampu memahami tentang berbagai masalah kehidupan
kemasyarakatan sesuai ajaran agam Hindu, sehingga mantap di daloam
melaksanakan tugas dan kewajiban.
3. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah menyelesaikan modul ini, anda diharapkan:
a) Menjelaskan sistem Asrama di dalam agama Hindu.
b) Menjelaskan pengertian Warna yangsebenarnya menurut agama Hindu.
c) Menjelaskan secara singkat tentang Parisada Hindu Dharma dan
kedudukannya sebagai lembaga tertinggi Agama Hindu.
d) Menjelaskan tentang Lembaga Perkawinan Hindu dan kedudukan anggota
keluarga dan kewajibannya.
44
CATUR ASRAMA
4.1.1 Uraian dan contoh
Di dalam modul 2 andatelah mempelajari mengenai dasar dan tujuan hidup
menurut agama Hindu yang dipisahkan antara tujuan agama dan tujuan hidup
manusia. Tujuan agama adalah Moksartam Jagadhita, yaitu tercapainya
kebahagiaan hidup maupun kesejahteraan masyarakat yang disebut Jagadhita, dan
tercapainya kedamaian abadi atau kebahagiaan hakiki dan sejati, menunggal
dengan asal yang disebut Moksa. Sedangkan tujuan hidup manusia adalah Catur
Purusartha, yang mengikat menjadi satu jalinan sebagai dasar hubungan harmonis
di dalam kehidupan ini, yaitu Dharma Artha, Kama, dan Moksa.
Dasar dan tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusartha itu
didasarkan atas tujuan dan segi metafisikanya yaitu di dalam hubungan adanya
manusia dengan adanya yang umum universal. Atma (jiwa) itu kekal sifatnya
sedangkan badan wadag bersifat sementara. Karena itu jiwa yang kekal sifatnya
diharapkan dapat bersatu dengan hakikat kekal yang universal (Paramatha
mencapai Moksa).
Sedangkan kalau ditinjau dari segi manusianya sendiri yang selalu
berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan alam lingkungan, menghadapi
persoalan sejak kelahirannya sampai akhir hayatnya, maka agama hindu membagi
tingkat masa kehidupan manusia menjadi empat yang disebut Catur Asrama.
Adapun empat masa kehidupan atau tingkat hidup itu masing-masing
disebut:
45
a) Brahmacari asrama;
b) Grihastha asrama;
c) Wanaprastha asrama;
d) Samyasa asrama (Bhiksuka).
Brahmacari Asrama
Kata Brahmacari berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Brahma “ dan
cari “ atau “ carya “, Brahma berarti ilmu pengetahuan tentang Ketuhanan atau
ilmu pengetahuan kerohanian, sedangkan caria artinya gerak atau tingkah laku.
Kata “asrama” berasal dari kata “srama” yang berarti usaha seseorang. Jadi
brahmacari asrama berarti gerak atau tingkah laku dalam mengejar ilmu
pengetahuan kerohanian atau Ketuhanan. Secara umum brahmacari asrama berarti
hidup berguru aguron-guron yaitu masa kehidupan menuntut ilmu pengetahuan
suci keagamaan/kerohanian.
Yang di maksud dengan ilmu pengetahuan suci keagamaan adalah weda
dalam arti luas. Di samping Catur Weda, juga diajarkan enem cabang pengetahuan
Weda yang disebut Sadangga Weda terdiri dari:
a) Siksha (fonetika)
b) Wyakarana (tata bahasa)
c) Nirukta (etimologi, ilmu asal kata)
d) Chanda (ilmu irama)
e) Kalpa (peraturan tentang yadya, upacara)
f) Jyotisa (astronomi, ilmu falak)
Sedangga weda merupakan pengetahuan pokok sedangkan pengetahuan
lain yang diberikan pula pada brahmacari asrama adalah:
46
a) Itihasa (sejarah)
b) Kala (berbagai macam keselian)
c) Bhuta Widya (demologi)
d) Ayur Weda (ilmu obat-obatan)
e) Tarka Sastra (ilmu logika)
f) Wakswakyam (ilmu dialektika)
g) Ganitam (ilmu hitung)
h) Ksatria Widya (ilmu kemiliteran, taktik perang)
i) Dhanur Widya (ilmu memanah)
j) Nitisastra (ilmu etika dan politik)
k) Atma Widya (ilmu jiwa)
l) Mantra Wijaya (ilmu mantra – mantra)
Nilai – nilai luhur dan mendasar yang dianut dalam Brahmacari Asrama
adalah nilai moral dan spiritualnya berupa disiplin berguru dengan peraturan-
peraturan yang dilakukan secara ketat.
Setiap Brahmacarin (siswa kerohanian) yang akan memasuki brahmacari
asrama harus diketahui asal-usulnya terlebih dahulu, kemudian baru diterima
sebagai siswa. Penerimaan siswa didahului dengan suatu upacara yang disebut
Upanayana.
Mengenai pelaksanaan upacara upanayana, di dalam kitab Sathapatha
Brahmana disebutkan bahwa apabila seorang guru (Acarya) menerima siswa
(sisya) maka, pada saat upacara upanayana seorang Acarya meletakkan telapak
tangannya di ubun-ubun Sisya sebagai simbul persatuan dan pencurahan seluruh
personalitetnya kepada sisya. Setelah itu kepada para sisya diberikan pelajaran
yang diawali dengan mantram Sawitri oleh Acarya (Guru).
Menurut kitab Grihya Sutra dan Manu Smerti dikatakan bahwa setelah
upacara upanayana para sisya diberikan Mekhala yaitu semacam ikat pinggang. Di
Bali tradisi seperti itu kita jumpai juga di mana seorang Guru (Nabe) memberikan
Yadnyapawitra (pepetan) kepada sisyanya.
47
Selanjutnya setelah upacara itu selesai maka para sisya mengucapkan janji
untuk menaati peraturan-peraturan Brahmacari asrama. Kemudian barulah mereka
resmi menjadi Dwijati.
Dwijati berarti lahir yang kedua kali. Lahir yang pertama kali dari perut
Ibu, sedangkan lahir yang kedua lahir dari Dharma (ilmu pengetahuan suci) atau
lahir sevara rohaniah.
Sebagai seorang Dwijati para sisya harus taat pada peraturan-peraturan
yang berlaku baginya dan memahami kewajibannya sebagai sisya (Brahmacarin).
Adapun peraturan-peraturan yang yang harus ditaati dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh Brahmacarin manyangkut dua hal pokok yaitu:
a) Kewajiban yang dilakukan sisya terhadap gurunya
b) Kewajiban dan peraturan sehari-hari yang menyangkut diri sisya itu
sendiri.
Mengenai kewajiban ataupun etika sisya terhadap guru (acarya) dijelaskan
dalam lontar Silakrama sebagai berikut:
“Nihun ta silakramaning aguron-guron, haywa tan akti ring guru, haywa
himaniman, haywa tan sakti ring sang guru, haywa tan sadhu tuhwa,
haywa nikelana sapatuduhing sang guru, haywa angideki wayangan sang
guru, haywa anglungguhi palungguhaning sang guru.
Artinya:
Beginilah tata tertib berguru, jangan tidak hormat terhadap guru, jangan
mencaci maki, jangan segan kepada guru, jangan tidak percaya dan tulus,
jangan menentang perintah guru, jngan menginjak bayangan guru, jangna
mendudukintempat duduk guru.
48
Pengertian kalimat “jangan segan kepada guru” dimaksudkan adalah
bahwa sisya harus berani menanyakan sesuatu yang ia belum mengerti ataupun
bertanya ilmu kepada gurunya agar sisya menjadi kritis.
Sedangkan kalimat “jangan menginjak bayangan guru” dimaksudkan
sebagai pernyataan hormat sisya kepada gurunya. Apabila kita perhatikan etiket
yang masih tampak dalam masyarakat dewasa ini dalam hal berdiri, berjalan,
duduk dan sebagainya maka seorang siswa akan berada di sebelah kiri gurunya;
begitu pula kebiasaan dalam kehidupan kemiliteran misalnya, yang lebih
tua/senior selalu berada di sebelah kanan yuniornya apalagi terhadap
dosen/gurunya. Jadi secara normal secrangsisya harus selalu patuh, hormat, dan
menghargai gurunya.
Selain peraturan dan kewajiban tersebut masih adfa lagi aturan yang harus
dilakukan/ditaati sisya, antara lain:
1) Hidup sederhana;
2) Tidak boleh lengah di hadapan guru;
3) Tidur belakangan dan bangun duluan dari guru;
4) Tidak mau mendengar bila ada orang yang menghina gurunya (pariwada
ninda wadi);
5) Menunggu guru (upasita) sebelum pelajaran mulai;
6) Dan sebagainya.
Di dalam kitab Manu Smerti IV.162 disebutkan pula tentang bagaimana
sikap seorang sisya terhadap guru dan orang-orang yang patut dihormati, seperti
dinyatakan dalam slokanya yang berbunyi sebagai berikut:
“Acaryam ca prawaktaram,
Pitaram mataram guru,
Na himsyad brahmananggasca,
Sarwamscaiwa tapaswinah”.
49
Artinya:
Hendaklah ia tidak menentang guru yang menasbihkan, yang
menerangkan Weda, ibu bapaknya, tidak juga guru lainnya, para brahmana, dan
para pertapa.
Di samping peraturan mangenai kewajiban sisya terhadap guru terdapat
pula kewajiban yang berlaku bagi sisya sendiri merupakan pengendalian diri yang
harus ditaati, guna mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian batin.
Pengendalian diri itu dilakukan dengan mengamalkan Yama Brata dan Niyama
Brata, sebagaimana dinyatakan di dalam kitab Wrihaspati Tattwa sebagai berikut:
“Ahimsa brahmacaryanaca,
Satyam awyawaharikam,
Astainyam iti pancaite,
Yama rudrena bhasicah.
Akrodho guru susrusa,
Sancam aharalaghawan,
Apramadasca pancaite,
Niyamah parikirtitah”.
Artinya:
Yang disebut Yama Brata ialah Ahimsa, Brahmacarya, Satya,
Awyawaharika dan Astainya, ini lima jumlahnya. Yang dinamakan Niyama Brata
ialah Akroda, Gurususrusa, Sanca,Aharalaghawa, dan Apramada, ini lima
jumlahnya.
50
a. Panca Yama Brata :
1) Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyiksa segala makhluk.
2) Brahmacarya artinya tekun menuntut ilmu pengetahuan suci dan tidak
melakukan hubungan seksual.
3) Satya artinya tidak dusta, baik dalam pikiran, kata-kata maupun perbuatan.
4) Awyawahara artinya tidak suka bertengkar, tidak berjual beli, dan tidak
sombong.
5) Astainya artinya tidak mengambil milik orang lain tanpa persetujuan
kedua pihak (tidak mencuri), tidak berhasrat jahat kepada orang lain dan
terhadap binatang sekalipun.
b. Panca Nyama Brata :
1) Akrodha artinya tidak suka marah karena pemarah itu merupakan sumber
derita.
2) Guru susrusa artinya hormat dan dekat dengan guru guna dapat menerima
ilmu pengetahuan dengan sempurna, sebagai jalan utama menuju
kebahagian (Adhaya) ataupun kebebasan abadi (Nisaya).
3) Sauca artinya bersih lahir batin seorang sisya setiap hari harus
membersihkan dirinya secara fisik dan tubuh dibersihkan dengan air,
dibersihkan dengan kejujuran, juga dibersihkan dengan ilmu pengetahuan
pengendalian nafsu, sedangkan akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
4) Aharalaghawa artinya makanan tidak sembarang makan, makan hanya
makanan yang bermanfaat bagi diri tidak boleh melebihi batas kemampuan
pencernaan (Atibhojanam).
5) Apramada artinya tidak melakukan/meninggalkan kewajiban yang
ditetapkan dalam agama guna mencapai kesempurnaan.
51
Demikianlah kewajiban-kewajiban atau peraturan-peraturan yang harus
ditaati oleh para sisya (Brahmacari) di dalam masa Brahmacari Asrama atau hidup
berguru sebagai dasar pendidikan moral. Apabila moral baik maka penerimaan
pelajaran berupa ilmu pengetahuan (Jnana) akan mudah karena seseorang sisya
benar-benar patuh dan yakin kepada gurunya. Ilmu pengetahuan yang diperoleh di
Asrama dan moral yang dimiliki sebagai hasil latihan pengendalian diri akan
membawa Brahmacari kepada kematangan rohani, menjadi manusia cerdas dan
bijaksana.
Setelah para sisya lulus mengikuti pelajaran maka dilakukanlah upacara
wisudha yang disebut Samawartana, kemudian kepada mereka masing-masing
diberi gelar Snataka.
Kepada mereka diberikan istirahat selama 3 hari kmudian melanjutkan
kegiatannya sehari-hari sebagai snataka, dengan menjalankan Dharma, hidup suci,
demikian dinyatakan did alam kitab Manu Smerti IV.119.
Dengan berakhirnya masa Brahmacari asrama maka seorang Snataka
boleh terus hidup menyendiri (tidak kawin), atau dapat melanjutkan ke tingkat
kehidupan berikutnya yaitu hidup berumah-tangga, yang disebut Grihastha
Asrama.
Grihastha Asrama
Kata “grihastha” berasal dari bahasa Sanskerta dari kata griha dan stha.
“Griha berarti rumah tempat tinggal atau griyo bahasa Jawa, griya bahasa Bali,
graha bahasa kawi/Jawa Kuno. “Stha” berarti berdiri, mendirikan. Jadi kata
grihastha berarti mendirikn tempat tinggal atau rumah.
Menurut Hindu Dharma setiap orang yang berkeluarga harus berpisah dari
orang tuanya, bertanggung jawab sendiri. Oleh karena itu pengertian mendirikan
tempat tinggal berkaitan dengan membentuk rumah tangga baru. Maka dengan
demikian grihastha asrama berarti mengalami masa hidup berumah tangga, dan
52
mulai mengadakan sanggama karma atau hubungan seksual, guna melanjutkan
keturunan.
Masa grihastha asrama didahului dengan Wiwaha yaitu upacara
perkawinan yang merupakan peristiwa penting dan bersifat sakral. Perkawinan
bukanlah semata-mata ditujukan untuk pemenuhan kama atau nafsu melainkan
untuk memenuhi kewajiban suci (Dharma). Di dalam masa grihasta asrama inilah
seorang grihasthin dapat melaksanakan tugasnya dengan sempurna apabila semua
ketentuan hidup berkeluarga dipatuhi.
Melalui kehidupan grihasta setiap keluarga dapat melaksanakan Tri Rnam
secara lengkap. Tri Rnam adalah tiga hutang manusia yang harus dibayar/ditebus
dalam tiga kehidupan ini, yaitu :
a. Dewa Rnam adalah hutang jiwa (hidup kepada Sanghyang Widhi Wasa).
b. Resi Rnam adalah hutang ilmu pengetahuan kepada para Maharesi.
c. Pitra Rnam adalah hutang jasa kepada para leluhur dan orang tua.
Ketiga hutang itu dapat ditebus melalui pelaksanaan atau amalan Panca
Yadnya, yang telah anda pelajari pada modul dua, dan akan diuraikan secara
mendalam pada modul....
Hidup berumah tangga dinyatakan amat penting menurut ajaran agama
Hindu, oleh karena seluruh lapisan atau golongan dapat hidup dengan menerima
bantuan dari kepala rumah tangga (Grihastha). Hal ini disebutkan di dalam kitab
Manawa Dharma Sastra III.77 dan 88 yang berbunyi sebagai berikut :
“Yatha wayum samasritya,
Wartante sarwa jantawah,
Tatha grihastam asrama sritya,
Wartante sarwa asramah.
Rsayah pitaro dewah,
Bhutani atithayastatha,
53
Acasate kutumbibhi
Astebhyah karyam wijanata”
Artinya :
Semua makhluk menerima bantuan dari Wahyu (kekuatan hidup), maka
demikianlah semua golongan dapat hidup dengan menerima bantuan dari
kepala rumah tangga.
Para Rsi, leluhur, dewa, butha, dan para tamu menerima persembahan dari
kepala rumah tangga, karena itu ia yang tahu hukumnya akan memberikan
persembahan yang sesuai kepadanya.
Selanjutnya hal yang penting dalam kehidupan grihastha asrama ialah
melanjutkan keturunan. Anda tentu mengetahui bahwa setiap orang yang
melaksanakan perkawinan dan hidup berumah tangga pasti ingin mempunyai
putra (keturunan). Suatu keluarga yang tanpa anak akan terasa sepi.
Dalam hal ini agama Hindu mengajarkan bahwa setiap keluarga
(grihasthin) yang dikarunia putra hendaknya mendidik putranya menjadi orang
yang berguna dalam masyarakat, dan menjadi putra sejati, yaitu seorang putra
yang sadhu gunawan (Gagah bijaksana dan berpengetahuan), serta dapat menjadi
pelita di tengah-tengah keluarga; demikian dinyatakan dalam kitab Nitisastra.
Begitu pula di dalam kitab Mahabharata dikatakan bahwa putra yang saleh akan
menyeberangkan orang tuanya dari kesengsaraan, ini sesuai dengan arti “putra”
itu sediri.
Masih banyak, lagi kewajiban grihasthin yang ditentukan dalam ajaran
agama Hindu yang harus dipatuhi. Kemudian dinyatakan pula bahwa melalui
kehidupan berumah tangga seseorang akan mencapai kebajikan jagadhita dan
moksa.
54
Wanaprastha Asrama
Kata “Wana” berarti hutan dan kata “prastha” berarti menetap, tinggal.
Wanaprastha berarti hidup di hutan, hidup di tempat sunyi. Hal ini dimaksudkan
hidup mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan duniawi menyepi diri, guna
mencari hikmah hidup yang paling dalam atau bertapa, melakukan pengekangan
dan pengendalian nafsu, mencari hakikat kebenaran, serta melakukan hidup suci.
Di dalam masa Wanaprastha asrama ini peranan Dharma sebagai bagian
dari Catur Purusartha sangat dominan, sedangkan Artha dan Kama mulai
dikesampingkan. Walaupun demikian seorang wanaprasthin masih tetap
berkewajiban melakukan Panca Maha Yadnya (Panca Karma) secara spiritual.
Kitab Agastya Parwa menguraikan secara singkat tentang Wanaprastha ini
sebagai berikut :
“...ri telas nira grihasthadharma ginawayaken ira wanaprastha ta sira,
mur sakeng grama mwang munggwing suci desa, makadi wukir, magawe
patapan sthananira, gumawayaken panca karma, mwang malwangi
wisaya, mwang mangdesanaken dharma...”.
Artinya :
Setelah ia melewati masa hidup berumah tangga, dilakukannya kehidupan
Wanaprastha, pergi dari desa dan menetap di tempat yang bersih suci
terutama di gunung, membangun tempat bertapa, melakukan Panca
Karma, mengurangi nafsu keduniawian serta mengamalkan kewajiban suci
agama.
Pada masa Wanaprastha asrama ini seorang wanaprasthin mengajarkan
ajaran-ajaran suci kerohanian kepada sisya (murid-muridnya). Sesuai
kedudukannya sebagai seorang Dwijati ia harus memiliki sifat-sifat arif yang
55
disebtu Dasa Dharma, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Manu Smerti IV.92
yang berbunyi sebagai berikut :
“Dhritih ksama damo, steyam
Sancam indriyanigrahah,
Dhirwidya satyam akrodha
Dasakam dharma laksanam”.
Artinya :
Dhriti, ksama, dama, asteyam,
Sancam, indriyanigraha, dhira, widya
Satyam, akrodha, adalah sepuluh
Kewajiban suci yang menjadi prilaku/sifatnya.
Adapun arti dari kesepuluh dharma itu ialah
a. Dhriti artinya memiliki keseimbangan jiwa, teguh hat
b. Ksama artinya suka mengampuni, tahan uji
c. Dama artinya rendah hati, dapat menasihati diri sendiri
d. Asteyam artinya tidak curang, tidak berdusta
e. Sancam artinya taat pada peraturan suci, kesucian lahir batin.
f. Indriyamigraha artinya mampu mengendalikan hawa nafsu
g. Dhira artinya berani dan bijaksana
h. Widya artinya memiliki pengetahuan yang luas
i. Satya artinya jujur, berpegang teguh pada kebenaran
j. Akrodha artinya menjauhi atau tidak pemarah.
56
Kesepuluh kewajiban tersebut harus ditaati dan diamalkan dalam
kehidupannya sebagai Wanaprasthin. Dengan memenuhi dan menaati kewajiban
itu maka ia akan mencapai kebajikan tertinggi.
Dalam kehidupan wanaprastha asrama ini telah diletakkan landasan
dharma sebagai dasar mencapai cita-cita Moksa.
Selanjutnya di dalam kitab Manu Smerti ini pula (pada bab VI sloka 94)
dinyatakan bahwa setelah memenuhi sepuluh kewajiban suci yang bersifat
rohaniah seorang wanaprasthin dapat melanjutkan kehidupannya sebagai pertapa
pengembara yang disebut Sanyasa asrama.
Sanyasa Asrama
Menurut kitab Manu Smerti, Sanyasa merupakan tingkatan hidup
kerohanian yang keempat setelah Brahmacari, Grihastha dan Wanaprastha. Dalam
kehidupan sebagai Sanyasin mereka tidak terikat oleh duniawi, melainkan hidup
bebas, tidak ingin lagi memiliki sesuatu yang dapat mengikat pikirannya dalam
mencapai cita-cita terakhir yang disebut Moksa.
Seorang Sanyasin telah pasrah dengan segala yang dialaminya pikirannya
hanya tertuju kepada Sanghyang Wwidhi Wasa. Dengan pendirian yang teguh
jiwanya diserahkan kepada Sang Pecipta untuk mencapai kemanunggalan Atman
dengan Paramatman (Hakikat hidup dengan Pencipta).
Kehidupan Sanyasin hanya berpedoman pada Dharma dan selalu
memusatkan pikiran dan jiwanya pada satu tujuan hidup yang tertinggi yaitu
Moksa, bebas dari rasa suka-duka, mencapai kebahagian abadi yang hakiki dan
sejati, di mana Atman manunggal dengan Paramatman.
57
Rangkuman
Manusia di dalam hidupnya menghadapi berbagai persoalan baik bersifat
jasmani maupun rohani. Menurut agama Hindu manusia sebagai individu tidak
dapat melepaskan diri dari alam lingkungannya atau dalam kehidupan
bermasyarakat, namun setiap umat Hindu harus berusaha mencapai tujuan
hidupnya yang disebut Catur Purusartha yaitu dharma, artha, kama, dan moksa,
atau untuk mencapai tujuan agama “moksartham jagadhirtyaca iti dharmah”
(tercapainya kesejahteraan hidup bermasyarakat dan kebahagiaan yang hakiki dan
sejati atau moksa).
Sehubungan dengan itu agama Hindu membagi membagi tingkat
kehidupan manusia ke dalam sistem asrama yang disebut “Catur Asrama”.
a. Brahmacari asrama ialah masa hidup berguru atau menuntut ilmu
pengetahuan.
b. Grihastha asrama ialah masa hidup berumah tangga.
c. Wanaprastha asrama ialah masa hidup menjauhkan diri dari hiruk pikuk
keduniawian menyepi diri, bertapa dan melakukan hidup suci.
d. Sanyasa asrama ialah masa hidup sebagai pertapa pengembara, hanya
berpedoman pada Dharma, selalu memusatkan pikiran dan jiwanya pada satu
tujuan hidup yang tertinggi yang disebut Moksa, bebas dari rasa suka-duka,
mencapai kebahagiaan abadi yang hakiki dan sejati, di mana Atman
Manunggal dengan Paramatman.
CATUR WARNA
Di dalam kehidupan masyarakat Hindu, kita sreing mendengar adanya
perbedaan status sosial yang didasarkan atas sistem kasta. Sepintas lalu orang
58
akan membenarkan kenyataan itu, tetapi apakah memang demikia menurut ajaran
Weda? Ataukah hal itu berkembang sebagai pranata sosial yang brsifat kaku dan
ortodoks karena penafsiran yang keliru dari ajaran weda? Inilah yang perlu
dijelaskan agar pengertian yang keliru itu dapat diluruskan sesuai dengan yang
dimaksudkan dalam kitab suci Hindu.
Menurut Bahasa Sansekerta (bahasa yang dipakai dalam kitab suci weda)
kata “kasta” (kasta) berarti “kayu”, jadi bukan berarti pembedaan golongan status
sosial berdasarkan keturunan seperti pengertian kata “caste” dalam bahasa
Portugis (caste = pemisah, tembok atau batas).
Dalam ajaran agama Hindu yang dapat kita jumpai adalah penjelasan
mengenai warnai, yaitu “catur warna”. Kata “warna” berasal dari bahasa
Sansekerta dari urat kata “wri” yang artinya “memilih” (lapangan kerja) sesuai
dengan bakat dan kualitas yang dimiliki. Kempat warna itu ialah Brahmana,
Ksatriya, Waisya, dan Sudra. Masing-masing warna itu mempunyai tugas
kewajiban yang berbeda sesuai dengan guna (bahasa dan sifat) serta karmanya
(amal perbuatannya), jadi bukanlah didasarkan atas keturunan semata-mata.
Kitab Suci Bhagawad Gita Adhyaya XVIII sloka 41 sampai dengan sloka
44 menjelaskan mengenai catur warna dan fungsinya, yang berbunyi sebagai
berikut :
“Brahmana ksatriya wisam
Sudranam ca paramtapa
Karmani prawibhaktani
Swabhawa prabhawair gunaih
Samo damas tapah sancam
Ksantir arjawam ewaca
Jnanam wijnanam astikyam
Brahma karma swabhawajam
59
Sauryam tejo dhritir daksyam
Yuddhe ca’py apalayanam
Danam iswarabhawasca
Ksatram karma swabhawajam.
Krisi gauraksya wanijyam
Waisya karma swabhawajam
Paricaryatmakam karma
Saudrays’pi swabhawajam”
Artinya :
Hai Paramtapa, tugas kewajiban brahmana, ksatriya, waisya, dan sudra
telah dibagi-bagikan menurut guna (bakat dan sifat) serta wataknya.
Tenteram, menguasai indria, suka melakukan pantangan agama, suci lahir
batin, suka mengampuni, lurus hati, bijaksana berilmu, yakin kepada
ajaran Weda adalah karma seorang brahmana menurut bakatnya.
Berani, perkasa, teguh hati, cekatan, tak mundur dalam peperangan,
dermawan, berwibawa dalam memimpin, adalah karma ksatriya menurut
bakatnya.
Bertani, berternak dan berekonomi adalah karma waisya menurut
bakatnya, kegiatan kerja tergolong pelayanan (buruh) adalah karma sudra
menurut bakatnya.
60
Demikianlah masing-masing warna itu sebagai golongan karya
mempunyai tugas kewajiban yang berbeda menurut bakat dan sifat yang lahir dari
mereka, tetapi bukan didasarkan atas genealogis secara turun-temurun.
Memang kalau ditinjau secara psikologis bakat dan sifat seseorang
cenderung menurun karena manusia dibentuk sejak masa prenatal dan besar dalam
lingkungannya, sehingga anak cucu seorang, brahmana akan cenderung menjadi
brahmana, begitu pula pada keluarga ksatriya, waisya, ataupun sudra. Dari sinilah
kemudian timbul istilah brahmana wangsa dengan predikat nama tertentu sebagai
identitas keluarganya. Demikian pula bagi ksatriya terdapat ksatriya wangsa dan
pada waisya ada waisya wangsa.
Brahmana wangsa lebih dihormati daripada wangsa lainnya sebagai akibat
dari sifat dan bakat yang melekat pada dirinya, begitu pula terdapat ksatriya
wangsa dan waisya wangsa secara berturut-turut memperoleh status secara
gradual.
Walaupun demikian perkembangannya, selama peraturan dan kewajiban
bagi masing-masing warna secara ketat dilaksanakan maka pngertian warna itu
masih sesuai menurut weda. Akan tetapi bila kewajibannya dilanggar, sementara
mereka mempertahankan status warna itu secara genealogis (wangsa) maka hal ini
sangat keliru dan menyimpang dari ajaran Weda.
Kitab Manu Smerti I. 157 dan X.65 menyebutkan :
“Yatha kastamayo hasti
Yatha carmamayo mrigah
Yasca wipro nadiyanas
Trayaste nama dharakah”.
“Sudro brahmanatam eti
Brahmanas caiwa sudratam
Ksatriya jatam ewantu
Widyad waisyat tatha iwaca”.
61
Artinya :
Bagaikana gajah terbuat dari kayu
Bagaikan rusa terbuat dari kulit
Demikianlah seorang brahmana yang tidak terpelajar
Ketiga-tiganya hanya membawa nama saja.
Seorang sudra menjadi brahmana
Brahmana menjadi sudra, ketahuilah
Bahwa sama halnya dengan keturunan ksatriya, waisya
Maupun sudra.
Sebagai butki bahwa seseorang dari keluarga sudra berubah menjadi
brahmana atau dari ksatriya menjadi brahmana karena bakat, sifat dan karmanya
dapat kita jumpai nama-nama para Resi/Maharesi terkenal pada zaman dahulu,
seperti antara lain :
1. Resi SatyaKama Jabala disebutkan dalam Chandogya Umpanisad, berasal dari
anak seorang buruh miskin.
2. Resi Kawasa dan Resi Aitareya adalah pengarang kitab Brahmana dan
Upanisa berasal dari ibu sudra.
3. Bhagawan Parasara ayah Maharesi Wyasa yang terkenal sebagai penghimpun
kitab suci Catur Weda, lahir dari keluarga candala.
4. Resi Wasistha sendiri berasal dari anaks eorang pelacur.
5. Resi Wiswamitra, Dewapi, Sindhudwipa berasal dari keluarga ksatriya.
Kemudian secara lebih tegas dan jelas kitab Maha Bharata III. XL.
XXX.21, 25, 26 menyebutkan :
62
“Satyam danam ksama silam
Anrisamsya tapo ghrina
Drisyanti yatra nagendra
Sa brahmana iti smritah”.
“Sudra ta yadbawel laksyam
Dwiji tasya na widyate
Naiwa sudre baweccudro
Brahmana na ca brahmana”
“Yatra itallaksyate sarpa
Writtam sa brahmanah smritah
Yabra naitat bhawet sarpa
Tam sudram iti nirdiset”.
Artinya :
Pada siapa jujur, dermawan, suka mengampuni,
bersifat baik, sopan, suka melakukan pantangan
agama, dan pemurah. Dialah hendaknya dipandang
brahmana, hai Nagendra.
Bila sifat ini terdapat pada sudra dan tidak
pada brahmana, maka sudra itu bukanlah sudra
dan brahmana itu bukanlah brahmana.
Pada siapa sifat ini terdapat hai Sarpa;
63
dialah harus dipandang brahmana, dan
bila sifat ini tidak terdapat padanya
maka dia dipandang sebagai sudra
Dari seluruh uraian yang terdapat pada kitab-kitab atau sastra suci agama
Hindu yang telah dikemukakan itu, maka jelaslah bahwa Catur warna merupakan
pembagian tugas dalam hidup bermasyarakat sesuai dengan bakat dan sifat serta
watak seseorang yang ditunjukkan dalam sikap perbuatannya.
Maka di dalam kitab Upadesa kita jumpa pada uraian tentang catur warna
itu sebagai berikut :
a. Brahmana ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki ilmu
pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk menyejahterakan
masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu
pengetahuannya, dan dapat memimpin upacara keagamaan (krya widhi yoga
dan krya aroana). Contoh : Guru, rohaniwan dan sebagainya.
b. Ksatriya ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kewibawaan,
cinta tanah air, berbakat memimpin dan mempertahankan kesejahteraan
masyarakat, negara dan umat manusia berdasarkan dharma. Contoh : pimpinan
negara, angkatan bersenjata dan sebagainya.
c. Waisya ialah golongan karya yang setiap orang memiliki watak tekun,
terampil, hemat, cermat, memiliki keahlian dan bakat kelahiran untuk
menyelenggarakan kemakmuran masyarakat, negara dan kemanusiaan.
Contoh : Usahawan, ekonom dan sebagainya.
d. Sudra ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan
jasmaniah, ketaatan, dan bakat kelahiran sebagai pelaku utama dalam tugas-
tugas memakmurkan masyarakat, negara dan umat manusia atas petunjuk
golongan karya lainnya. Contoh : pekerja kasar, buruh, dan sebagainya.
64
Keempat golongan karya itu saling memerlukan dalam menunaikan tugas
atau swadharmanya. Mereka besar di dalam tugas kewajibannya masing-masing
(menurut swadarmanya/karena sesungguhnya setiap manusia mempunyai hakikat
yang sama). Jadi di hadapan Sanghyang Widhi manusia itu sama, keempat warna
itu pun sama. Mereka akan dihargai dan dihormati kalau memiliki sifat, sikap dan
perbuatan yang mulia.
Kitab Sarasamuscaya sloka 161 mengatakan :
“Yadyapi brahmana tuha tuwi, yan
dussila, tan yogya katwangana, mon sudra
tuwi, dharmika susila, pujan katwangana
jugea ling Sanghyang aji.
Artinya :
Meski keturunan brahmana yang berusia
lanjut, jika perilakunya tidak susila,
tidak patut disegani. Walaupun keturunan
sudra, jika perilakunya berpegang pada
Dharma dan kesusilaan, patutlah ia
dihormati dan disegani. Demikian kata
sastra suci
Selanjutnya pada sloka 63 dari kitab Sarasamuscaya disebutkan perilaku
yang patut dilaksanakan oleh keempat golongan atau warna itu, yang dsebut Catur
Prawri yaitu :
a. Arjawa berarti jujur dan berterus terang
b. Anrisangsya artinya tidak mementingkan diri sendiri
c. Dama artinya dapat menasihati dirinya sendiri.
65
d. Indriyanigraha artinya dapat mengendalikan hawa nafsu, itulah perilaku yang
harus dibiasakan oleh catur warna.
RANGKUMAN
Catur warna adalah pembagian kewajiban dalam berkarya (swadharma)
dalam kehidupan masyarakat Hindu sesuai dengan guna (bakat dan sifat) serta
karma (amal perbuatannya) menjadi empat golongan karya, yaitu Brahmana,
Ksatriya, Waisya, dan Sudra.
Brahmana ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki ilmu
pengetahuan suci dan mempunyai bakat kelahiran untuk menyejahterakan
masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu
pengetahuannya, dan dapat memimpin upacara keagamaan (kryawidhi yoga dan
krya arcani).
Ksatriya ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki
kewibawaan, cinta tanah air, berbakat memimpin dan mempertahankan
kesejahteraan masyarakat, negara, umat manusia berdasarkan dharmanya.
Waisya ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki watak tekun,
terampil, hemat, dan cermat memiliki keahlian dan bakat kelahiran untuk
menyelenggarakan kemkmuran masyarakat negara, dan kemanusiaan.
Sudra ialah golongan karya yang setiap orangnya memiliki kekuatan
jasmaniah, ketaatan dan bakat kelahiran sebagai pelaku utama dalam tugas-tugas
memakmurkan masyarakat, negara dan umat manusia atas petunjuk golongan
karya lainnya.
Keempat warna itu statusnya sama sedangkan penghormatan kepadanya
tergantung dari sifat dan sikap perbuatannya. Seseorang brahmana dalam arti
genealogis dapat berubah menjadi ksatriya, waisya, atau sudra tergantung dari
bakat dan sifat serta perilaku hidupnya.
66
LEMBAGA SOSIAL
Dalam kehidupan beragama Hindu anda akan menjumpai berbagai
lembaga sosial, baik berupa lembaga adat, lembaga pendidikan, dan sebagainya.
Lembaga dibentuk sebagai upaya menjaga harmonisasi antarhubungan kehidupan
manusiawi di tengah masyarakat, atau dengan kata lain untuk megatur dan
menjagab tertib kehidupan masyarakat dalam pengamalan ajaran agama Hindu.
Lembaga-lembaga sosial itu memperoleh pengakuan kuat dari anggota
masyarakat sehingga semua aturan yang berlaku pada kelembagaan itu benar-
benar dipatuhi. Lembaga itu dibentuk bersama secara musyawarah mufakat
berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianutnya. Lembaga tersebut memegang
peranan penting dalam rangka menjaga stabilitasi dan sosialisasi kehidupan
masyarakat, mengingat tata cara pengamalan ajaran agama Hindu berbeda-beda
atau beraneka ragam menurut desa (tempat), kala (waktu), patra (kondisi lokal),
dan hal ini dibenarkan menurut hukum agama Hindu (Manu Smerti VII.10).
Misalnya lembaga adat di Bali akan berbeda dengan lembaga adat di Jawa,
walaupun hakikat tujuan dan landasan filosofinya (tattwa) sama. Begitu pula
mengenai lembaga pendidikan yang secara sepintas telah disinggung dalam uraian
catur warna, khususnya dalam uraian brahmacari asrama.
Adapun lembaga lainnya yang perlu diketahui dan memegang peranan
penting dalam kehidupan beragama Hindu ialah lembaga “Parisada”.
Dalam agama Hindu lembaga Parisada merupakan badan legislatif yaitu
Majelis Ulama atau Majelis Wipra yang menurut kitab Manu Smerti lembaga ini
berfungsi mengatasi pertikaian-pertikaian bila ada dua peraturan yang
bertentangan satu dengan yang lain. Lembaga ini juga diterapkan ada zaman
Majapahit.
Jadi kalau dibandingkan dengan tata negara modern Parisada adalah
lembaga legislatif agama Hindu yang membantu Raja (Pemerintah) dalam
menemukan kebenaran kaidah-kaidah yang bertentangan secara intern. Selain itu
67
Parisada dapat menentukan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan
pelaksanaan keagamaan bila untuk sesuatu hal tertentu tidak terdapat ayat-ayat
yang mengaturnya.
Sehubungan dengan itu maka di dalam Kitab Manu Smerti XII. 111 dan
112 disebutkan mengenai keanggotaan dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk
bisa menjadi anggota Parisada. Keanggotaan Parisada minimal sepuluh orang
yang terdiri dari para ahli Weda yang tidak diragukan kemampuannya baik dari
segi pengetahuan maupun psiko-spiritualnya.
Mengenai lembaga Parisada yang ada di Negara Republik Indonesia
disebut “Parisada Hindu Dharma” sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu
Parisada Hindu Dharma secara resmi telah berdiri pada tanggal 23 Februari 1959.
Sebelum bernama Parisada Hindu Dharma Majelis ini bernama Parisada Dharma
Hindu Bali. Lembaga Parisada ini bertugas mengatur, memupuk,
mengembangkan dan membina kehidupan umat yang memeluk agama Hindu
dalam lapangan keagamaan menurut ajaran sastra-sastranya.
Lembaga Parisada Hindu Dharma adalah satu-satunya majelis tertinggi
agama Hindu di Indonesia, dan untuk tiap daerah yang banyak umat Hindunya
didirikan Parisada Hindu Dharma Tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya,
sampai tingkat kecamatan.
Apabila di suatu daerah terjadi suatu masalah menyangkut bidang
keagamaan Hindu, maka Parisada Hindu Dharma setempat berkewajiban
menangani masalah tersebut. Kalau tidak teratasi barulah diteruskan ke Parisada
tingkat yang lebih tinggi. Misalnya masalah tempat ibadah (Pura), kuburan,
kremasi, dan masalah-masalah lain yang menyangkut bidang keagamaan.
RANGKUMAN
68
Lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat Hindu dibentuk berdasarkan
musyawarah mufakat berdasarkan ajaran agama Hindu. Lembaga tersebut pada
umumnya bertujuan untuk menjaga stabilisasi dan dinamisasi kehidupan
masyarakat, guna mencapai tujuan hidup menurut agama Hindu.
Parisada Hindu Dharma adalah majelis tertinggi agama Hindu yang
bertugas kewajiban mengatur, memupuk, mengembangan dan membina
kehidupan umat yang beragama Hindu berdasarkan ajaran sastra-sastranya.
Lembaga Pendidikan Hindu menganut sistem asrama.
KULA DHARMA
Anda tentu sering mendengar istilah atau kata kula maupun kata dharma
dalam buku-buku agama Hindu. Kata kula dapat diterjemahkan keluarga atau
family, walaupun istilah family yang digunakan oleh orang-orang Barat berbeda
pengertian dengan keluarga/kula dalam masyarakat Hindu kalau ditinjau dari segi
tujuannya. Misalnya E.W. Burgers dan H.J. Locke dalam bukunya “The Family”
mengatakan bahwa famili adalah kelompok orang-orang yang mempunyai
hubungan perkawinan, darah keturunan, adopsi, dan lain-lain untuk kebudayaan
mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa tujuan famili itu adalah untuk
mengesahkan atau membenarkan adanya hubungan seks berdasarkan hukum.
Sedangkan dalam masyarakat Hindu, untuk mewujudkan lahirnya suatu
famili harus terlebih dahulu melakukan Agni homa (mendirikan Sanggar Kawitan
bagi orang Bali). Sebelum melakukan agni homa walaupun seseorang telah kawin
masih tetap dianggap sebagai anggota keluarga orang tuanya; jadi belum berdiri
sendiri.
Di dalam agama Hindu tujuan berkeluarga adalah untuk melanjutkan garis
keturunan sehingga terpenuhi segala tugas dan kewajiban kemanusiaan dengan
sempurna di mana kehadiran seseorang putra dianggap sebagai penyelamat bagi
69
orang tuanya. Kata “Putra” itu sendiri berarti penolong atau penuntun dari
kesengsaraan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Itulah pengertian dan tujuan kula atau famili dalam masyarakat Hindu.
Kemudian kata “dharma” adalah seperti anda terpelajari pada modul 2, yang
berarti kewajiban. Jadi kula dharma berarti kewajiban famili dalam kehidupan
berkeluarga berdasarkan ajaran agama Hindu.
Sehubungan dengan itu berikut ini anda dapat ikuti uraian mengenai
perkawinan Hindu (wiwaha), kedudukan/kewajiban wanita, suami, istri, anak dan
orang tua dalam famili.
Perkawinan
Menurut ajaran agama Hindu perkawinan itu suci sifatnya karena hal itu
merupakan dharma atau kewajiban suci yang dinyatakan di dalam Weda. Kawin
dan mempunyai anak adalah merupakan perintah agama yang dimuliakan,
sehingga setiap perkawinan harus dilaksanakan dengan keyakinan sebagai bagian
dari pengabdian kepada Sanghyang Widhi Wasa. Setiap perkawinan harus melalui
upacara keagamaan yang disebut ‘wiwaha samskara” dan barulah mereka diakui
sebagai seorang Grihastin (Grihastha Asrama).
Mengenai cara memperoleh istri disebutkan dalam kitab Manu Smerti
Adhyaya III Sloka 21 sebagai berikut :
Brahmo daiwastatha iwarsah
Prajapatyastathasurah
Gandharwo raksascaiwa
Paisacasca astamo ‘dharmah’.
Artinya :
Ada delapan macam cara perkawinan ialah
70
Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, arsa wiwaha,
Prajapatya wiwaha, gandharwa wiwaha, asura,
Wiwaha, raksasa wiwaha dan Paisaca wiwaha.
Kedelapan cara itu digolongkan lagi ke dalam dua golongan yaitu yang
dibenarkan dan yang disalahkan atau tidak boleh dilakukan. Golongan yang
dibenarkan ialah Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsa Wiwaha, Prajapatya
Wiwaha, dan Gandharwa Wiwaha, dan Asura Wiwaha. Sedangkan yang
disalahkan adalah Raksasa Wiwaha, dan Paisaca Wiwaha.
Adapun yang dimaksudkan dengan cara-cara perkawinan itu dapat
diterangkan sebagai berikut :
1. Brahma wiwaha ialah suatu cara terhormat yang dilakukan oleh pihak
keluarga wanita dengan mengawinkan anaknya kepada seorang pria yang
berpendidikan dan berbudi luhur.
2. Daiwa wiwaha ialah memperoleh istri dengan jalan menerima seorang gadis
dari suatu keluarga yang menyerahkan anaknya sebagai pemberian karena jasa
yang dilakukan oleh pemuda itu. Biasanya pemberian ini dilakukan kepada
pendeta yang berjasa menyelesaikan upacara di rumah keluarga wanita.
Pemberian ini disebut “kanya dana”.
3. Arsa wiwaha ialah suatu perkawinan yang terjadi atas kehendak timbal-balik
kedua belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak pria.
4. Prajapatya wiwaha ialah suatu perkawinan yang dilakukan dengan cara pihak
wanita melepaskan anak gadisnya untuk dikawinkan dengan pemuda yang
disetujuinya, dengan diiringi doa restu.
5. Gandharwa wiwaha ialah suatu bentuk perkawinan berdasarkan cinta di mana
pihak orang tua tidak ikut campur walaupun orang tuanya mengetahui
sebelumnya hubungan cinta mereka. Di Bali perkawinan semacam ini disebut
ngerorod, di Lombok disebut merangka di Sulawesi Selatan disebut selarian.
71
6. Asura wiwaha ialaha suatu perkawinan dengan syarat pihak pria harus
memberikan sejumlah uang yang diminta oleh pihak wanita.
7. Raksasa wiwaha ialah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan secara paksa
oleh pria terhadap wanita. Di Bali perkawinan semacam ini disebut
melegandang dan dianggap tidak terpuji sehingga dilarang oleh adat.
8. Paisaca wiwaha ialah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memaksa wanita secara halus, misalnya dengan memberi obat tidur, minuman
yang memabukkan atau dengan kelicikan sehingga wanita itu dapat
diperdayakan. Perkawinan semacam ini sangat dilarang dan dinyatakan
sebagai dosa besar.
Di dalam agama Hindu ditentukan pula mengenai wanita yang tidak boleh
dikawini, yaitu antara lain :
1. Wanita yang melalaikan dharma
2. Wanita yang tidak mengakui Weda
3. Wanita cacat rohani
4. Wanita cacat jasmani seperti berpenyakit menular (lepra, epilepsy, tidak
pernah menstruasi, dan sebagainya).
5. Wanita yang mempunyai nama jelek
6. Wanita yang lama disembunyikan dan dirahasiakan
7. Wanita yang telah dipertunangkan
8. Wanita yang kesuciannya ternoda
9. Wanita yang mengandung
10. Wanita dari hubungan genealogis secara vertikal (ibu kandung, ibu tiri,
saudara perempuan dari ayah atau ibu, anak, dan sebagainya).
11. Wanita dari hubungan genealogis secara horisontal (kakak kandung, kakak
riti, dan sebagainya).
72
Mengenai perkawinan antarwangsa atau warna dibenarkan menrutu ajaran
agama Hindu walaupun masih mendapatkan tantangan dan hambatan dari
masayrakat Hindu ortodoks.
Untuk itu baik pemerintah India maupun Parisada Hindu Dharma pusat
telah mengeluarkan keputusan yang membenarkan dan membolehkam perkawinan
antar waysa atau warna.
Suatu perkawinan dinyatakan sah apabila telah diresmikan melalui
Sakramen (pembersihan) yang disebut “wiwaha samskara”. Upacara perkawinan
atau wiwaha samskara ini pelaksanaannya tidak sama untuk semua daerah.
Perbedaan itu diakui sah sesuai prinsip desa-kala-patra dan desa-mawa-cara
(disesuaikan dengan tempat, waktu, keadaan dan tradisi tiap-tiap daerah). Namun
demikian ada hal-hal yang umum yang menjadikan ikatan perkawinan itu abadi,
yaitu :
1. Persaksian atau perwalian
2. Dana (maskawin)
3. Wiwaha homa (upacara perkawinan) disertai mantra-mantra Weda Bali
upacara ini disebut widhi widhana.
Kedudukan Wanita
Kedudukan wanita dalam masyarakat Hindu pada dasarnya mendapat
tempat yang sejajar dengan kaum pria, hanya saja hal ini tidak hanya dikenal
karena jumlah wanita yang terkenal atau populer dalam masyarakat Hindu tidak
sebanyak kaum pria.
Sejak zaman Weda kedudukan wanita dan pria itu sejajar hal itu dapat kita
lihat dalam kitab suci Reg Weda yang menyatakan bahwa istri menempati atau
menduduki tempat yang sama dalam setiap Yadnya begitu pula dalam rumah
tangga maka mereka disebut dampati. Disebut pula bahwa Wiswawaca wanita
dari keluarga Atri sangat terkenal sebagai filsuf (brahma wadini), mahir dalam
73
mantra-mantra dan merupakan salah seorang penggubah lagu pujaan yang
terdapat dalam kitab Reg Weda. Namun demikian diakui pula dalam Kitab
Satapata Brahmana bahwa wanita memiliki sifat yang lemah-lembut dan lebih
emosional dari kaum pada umumnya.
Di dalam kitab Itihasa (Mahabharata dan Ramayana) kita jumpai nama-
nama wanita terkenal seperti Dewi Sita yang teguh iman, Dropadi, dan lain-lain.
Begitu pula dalam ktab Anuasana Parwa dikatakan Bhisma telah menjelaskan
kepada Yudhistira agar terhadap wanita diberikan pujian dengan penuh kecintaan.
Lebih tegas lagi dinyatakan dalam kitab Santi Parwa bahwa apabila
seseorang raja gugur di medan prang maka anak perempuannya dapat dinobatkan
sebagai Ratu (Raja Putri) apaila raja itu tidak mempunyai anak laki-laki, dan
wanita tidak boleh dipaksa kawin dengan pria bukan pilihannya.
Setelah anda mempelajari uraian di depan mengenai perkawinan tentu
anda akan menanyakan bagaimana suatu perceraian bisa terjadi menurut ajaran
Hindu. Pertanyaan seperti itu memang agak sulit dijawab karena pada dasarnya
agama Hindu tidak menghendaki suatu perceraian itu terjadi. Hal ini dapat kita
analisis berdasarkan ketatnya syarat-syarat wanita yang boleh dikawini. Namun
demikian bukan berarti perceraian itu tidak boleh sama sekali melainkan kalau ada
hal-hal luar biasa di luar kemampuannya maka perceraian dapat dilakukan dan
pada umumnya tidak rujuk lagi.
Perceraian itu dapat terjadi karena ;
1. Istri tidak bisa punya anak sedangkan suami istri menghendaki adanya
keturunan.
2. Suami meninggalkan istri lebih dua tahun tanpa berita.
3. Suami meninggal dunia atau menjadi pertapa sedangkan istri menghendaki
kawin lagi.
4. Suami cacat yang sebelumnya tidak diketahui oleh istri, misalnya impoten.
5. Cacat istri yang baru diketahui setelah kawin dan sebelumnya dirahasiakan,
misalnya berpenyakit menular.
74
6. Suami mempunyai tabiat buruk yang membahayakan nyawa istrinya.
7. Salah satu meninggalkan dharmanya sebagai istri atau suami dan tidak dapat
diluruskan kembali.
Dengan dibenarkan adanya perceraian maka perkawinan jnda juga
dibenarkan tetapi bukan kawin kembali dengan bekas suaminya. Lebih lanjut di
dalam kitab Weda Smerti III, 55-57 dapat dijumpai tentang kedudukan wanita,
sebagai berikut :
“Pitribhir bhratribiscaitah
patibhir dewaraistatha
pujya bhuksayita wyasca
bahu kalyan nipsublih
yatra naryastu pujyante
ramante tatra dewatah
yatraitastu na pujyante
sarwas tatra phalah kriyah
sosanti jamoyo yatra
winasya tyacu tat kulam
na sosanti tu yatraita
wardhate taddhi sarwada”
Artinya :
75
Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya, suaminya
dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan.
Di mana wanita dihormati, di sanalah dewata merasa senang.
Tetapi bila mereka tidak dihormati maka tiada kerja yang mendatangkan
pahala.
Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan
hancur. Tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu
bahagia.
Demikianlah kedudukan wanita dalam masyarakat Hindu yang mendapat
penghormatan dan kedudukan yang sejajar dengan kaum pria, tanpa mengurangi
swadarmanya sebagai wanita secara kodrati.
Kedudukan dan Kewajiban Suami
Menurut kitab Weda Smerti dan Mahabharata bahwa suami istri dalam
rumah tangga harus hidup untuk dharma. Segala yadnya yang harus dilakukan
sebagai kewajiban harus dikerjakan bersama-sama dan dengan istrinya. Ini
menunjukkan bahwa kedudukan suami sederajat dengan istrinya. Namun
demikian dalam swadharmanya (secara krodati) peranan suami dalam hal tertentu
lebih menonjol. Suami adalah sebagai bapak dan sebagai raja karena itu ia
berkedudukan sebagai kepala keluarga yang harus dihormati.
76
Di samping itu suami mempunyai kewajiban yang berat pula, sebagaimana
dinyatakan dalam Weda Smerti IX sloka 3 – 7,11 74, 101 dan 102 yang intinya
sebagai berikut :
1. Seorang suami harus melidungi istri dan anak-anaknya, serta mengawinkan
anaknya bila saatnya tiba.
2. Ia harus menyerahkan harta dan mempercayakan kepada istri untuk mengurus
rumah tangga.
3. Menjamin hidup dengan memberi nafkah istrinya bila karena sesuatu urusan
penting (tugas) harus meninggalkan istri keluar daerah.
4. Memelihara hubungan kesuciannya dengan istri saling mempercayai sehingga
terjamin keharmonisan rumah tangga.
5. Menggauli istri, dan berusaha menjaga kelestarian rumah tangga dengan jalan
tidak melanggar kesuciannya masing-masing.
Keharmonisan rumah tangga (suami-istri) digambarkan oleh Yajnawalkya
(kulit kerang yang tak boleh berpisah satu sama lain, karena perpisahan itu akan
mengakibatkan kehancuran.
Kedudukan dan Kewajiban Istri
Kehadiran seorang istri adalah merupakan warga baru dalam keluarga laki-
laki, karena itu ia harus cepat dan pandai menyesuaikan diri. Kalau tidak demikian
maka suatu perkawinan tidak akan ada artinya. Di samping itu kehadiran seorang
istri dikatakan sebagai penyejuk yang menghilangkan kesepian rumah tangga.
Dengan demikian maka istri harus memegang peranan dalam membina
rumah tangga sehingga kedudukannya amat penting, tanpa istri pengabdian suami
takkan sempurna dan tujuan hidup (purusartha) sulit tercapai.
77
Di dalam Weda telah ditentukan kewajiban yang harus dilakukan oleh
seorang istri, yaitu :
1. Seorang istri tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan suami.
2. Ia harus pandai membawa diri, mengatur dan memelihara rumah tangga
harmonis.
3. Ia harus setia kepada suami dengan berusaha tidak melanggar hukum suci.
4. Seorang istri harus selalu mengendalikan pikiran, perkataan, dan tindakannya
dengan selalu mengingat Sanghyang Widhi Wasa, merenungkan kebenaran
dan mengingat suaminya. Istri yang demikian kelak setelah mati ia akan
mencapai sorga.
5. Seorang istri wajib menegur atau menasihati suaminya bila ia berbuat keliru
yang mengakibatkan dosa dan kehancuran rumah tangga.
Demikianlah kewajiban istri di samping kedudukannya sebagai wanita
seperti yang telah diuraikan.
Kedudukan Anak Laki-laki
Kelahiran seorang anak laki-laki di dalam keluarga Hindu merupakan
kebahagian, karena mempunyai anak laki-laki adalah tujuan utama dari setiap
keluarga Hindu.
Anak laki-laki disebut putra dan dipandang sebagai juru selamat nenek
moyangnya yang telah meningga, menyelamatkannya dari neraka. Demikian
dijelaskan dalam kitab Adiparwa.
Walaupun memperoleh anak laki-laki merupakan anugerah utama bagi
keluarga, tetapi tentang kedudukan anak laki-laki berbeda-beda antara yang satu
dengan yang lain. Dikatakan bahwa yang berhak melaksanakan upacara Sraddha
(upacara ulang tahun kematian nenek moyangnya) adalah anak laki-laki yang
78
sulung. Putra sulung itulah yang dapat menebus hutang ayahnya yang disebut
Pitra Rinam.
Apabila ayahnya meninggal maka saudara-saudaranya dapat hidup bawah
asuhannya. Ia harus membimbing adik-adiknya, memberi pandangan dan
pertimbangan bila diminta. Jadi keselamatan keluarga tergantung dari baik
buruknya sifat anak laki-laki tertua itu. Maka kedudukan putra sulung menempati
posisi yang utama dalam suatu keluarga Hindu.
Kedudukan Anak Perempuan
Berbeda halnya dengan kedudukan anak laki-laki maka kedudukan
perempuan dianggap sebagai kesayangan. Orang tua tidak boleh bertengkar
dengan anaknya yang perempuan karena dianggap sebagai tempat dewi
kemakmuran bertahta.
Apabila dalam satu keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka orang
tuanya berhak menunjuk anak perempuannya untuk melakukan upacara sraddha,
dan selanjutnya bertindak sebagai ahli waris yang berhak mewarisi semua harta
peninggalan orang tuanya. Sedangkan bila mempunyai saudara laki-laki maka ia
berhak pula mewarisi setengah dari yang diterima oleh laki-laki.
Jadi dalam keluarga Hindu kedudukan anak perempuan mendapat tempat
yang istimewa pula.
Kedudukan orang tua dalam keluarga
79
Di samping kedudukannya sebagai seorang suami atau seorang istri
seperti telah diuraikan di depan namun secara umum orang tua mempunyai
kedudukan sebagia pelindung keluarga (Pitri), karena itu seseorang anak
berhutang hidup kepada kedua orang tuanya. Selain itu orang tua juga dianggap
sebagai guru, karena itu mereka dihormati.
Di dalam agama Hindu dikenal ajaran Catur Guru yang harus dihormati
dan ditaati segala perintahnya, yaitu :
1. Guru Swadhyaya adalah guru yang memberi kehidupan dan mengatur alam
semesta, yaitu Sanghyang Widhi Wasa.
2. Guru Wisesa adalah guru yang mengatur kemakmuran negara, yaitu
Pemerintah.
3. Guru Pengajian adalah guru yang mengajar ilmu pengetahuan, yaitu
Nabe/guru spiritual.
4. Guru Rupaka adalah guru yang memberikan hidup atau yang
membesarkannya sejak kecil, yaitu kedua orang tuanya.
Bagi keluarga Hindu rasa bakti kepada orang tua dilakukan dengan penuh
kesadaran tanpa memandang status sosial orang tuanya, karena orang tua itu
sesungguhnya adalah guru dan mediator penciptaan manusia.
Dalam hal ini suatu keluarga/rumah tangga/grihastha merupakan tempat
pemeliharaan keharmonisan hidup atau sebagai tempat seseorang untuk
memperoleh kesempurnaan hidupnya, atau dengan kata iain tempat mencapai
purusartha. Dalam keluarga itulah dharma, artha dan kama dapat dicapai dengan
sebaik-baiknya.
Dengan demikian maka jalan menuju moksa akan terbuka bagi setiap
keluarga Hindu, apabila kula dharma atau kewajiban keluarga telah dapat
dilaksanakan dengan penuh disiplin.
80
81