soal ujian agama hindu

194
JAWABAN SOAL UJIAN STUDI AGAMA HINDU 1. PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDIA, INDONESIA DAN KALIMANTAN TENGAH a. Perkembangan Agama Hindu di India Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kali dikenal di India. Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 Jaman/fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang- orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa. 1. Jaman Weda–>Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti

Upload: wayoune

Post on 02-Jul-2015

3.908 views

Category:

Documents


26 download

TRANSCRIPT

Page 1: Soal Ujian Agama Hindu

JAWABAN SOAL UJIAN STUDI AGAMA HINDU

1. PERKEMBANGAN AGAMA HINDU DI INDIA, INDONESIA DAN

KALIMANTAN TENGAH

a. Perkembangan Agama Hindu di India

Agama Hindu merupakan agama yang mempunyai usia tertua dan merupakan

agama yang pertama kali dikenal oleh manusia. Agama Hindu pertama kali

dikenal di India.  Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya

dapat dibagi menjadi 4 Jaman/fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana,

Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala

di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal

di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah

satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan

perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran

Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap 

Dewa-dewa.

1. Jaman Weda–>Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di

Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum

Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke

dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka

menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan

sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah

manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal

dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang

disebut “Rta”. Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana,

Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

2. Jaman Brahmana–>Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana

amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang

mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman

Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya “Tata Cara Upacara” beragama

Page 2: Soal Ujian Agama Hindu

yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan

upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan

wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

3.Jaman Upanisad–>Pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya

terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada

pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam

gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan

falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini

muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan

pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan

Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

4.Jaman Budha–>pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana

yang bernama “Sidharta”, menafsirkan Weda dari sudut logika dan

mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk

menghubungkan diri dengan Tuhan.

Agama Hindu makin lama semakin menyebar mulai dari India Selatan hingga

keluar dari India dengan berbagai cara, sterutama melalui perdagangan bebas

Internasional.

Dalam suatu penggalian di Mesir ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui

berangka tahun 1200 SM. Isinya adalah perjanjian antara Ramses II dengan

Hittites. Dalam perjanjian ini “Maitra Waruna” yaitu gelar manifestasi Sang

Hyang Widhi Wasa menurut agama Hindu yang disebut- sebut dalam Weda

dianggap sebagai saksi.

Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi

adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara

artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara.

Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman

dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari

Page 3: Soal Ujian Agama Hindu

India.

Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang

bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di

daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan

agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang-

orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda.

Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan

“Aztec” yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya

sekarang ini.

Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat-

saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini

disebut Inca. Kata “Inca” berasal dari kata “Ina” dalam bahasa Sanskerta yang

berarti “matahari” dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya.

Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah

satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh

Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik

bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha

Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan

membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian

Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama

Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat

taman gunung abu (Ash Mountain Park).

Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian

tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu

dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda “Tri Kuta” atau

tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas

menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa

oleh agama Hindu.

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4

fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman

Page 4: Soal Ujian Agama Hindu

Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan

Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam

dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang

menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa.

Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada

jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.

Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah

Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah

mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi

Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah

Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya.

Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan

perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha

Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta".

Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan

Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada

kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan

orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula

mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab

Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya.

Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu

Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas

pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan

bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman

Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama,

yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah

ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada

Page 5: Soal Ujian Agama Hindu

ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan

sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana

yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan

mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk

menghubungkan diri dengan Tuhan.

Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui

beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga

di Nusantara

b. Perkembangan Agama Hindu di Indonesia

Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal Tarikh Masehi,

dibawa oleh para Musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya yang di

Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para

Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha Pahyien. Ini dapat diketahui

dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4

Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai

di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan

mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa:

“Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh

Mulawarman”. Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman

melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat

itu disebut dengan “Vaprakeswara“.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang

besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi

kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa

dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur

kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama

Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan

Page 6: Soal Ujian Agama Hindu

diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi,

Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut

berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa “Raja

Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja

yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki

Dewa Wisnu”

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya

yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa

Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja

Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti

sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu

berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di

lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf

Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang

menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan

Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa

sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh

Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala

berbunyi: “Sruti indriya rasa”, Isinya memuat tentang pemujaan terhadap

Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng

dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi

dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan

bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping

itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan

ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa

Page 7: Soal Ujian Agama Hindu

sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang

pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun

760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para

pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan

Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah

Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana

Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat

dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti

Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang

memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut

Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun

1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak

muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab

Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana.

Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman

kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi

Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan

Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan

Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan

masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan

Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran,

yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya

buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu

di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan

Page 8: Soal Ujian Agama Hindu

dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra

Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di

Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu

agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada

masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar.

Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan

dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan

dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad

inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga.

Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan

Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali

(tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam

teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong,

kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya

Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat

besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan

tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu

(Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali

pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun

mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha

di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta

tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali

tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja,

Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun

1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis

Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat

Page 9: Soal Ujian Agama Hindu

Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di

Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik

awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10

Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis

keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis

keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada

Hindu Dharma Indonesia.

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu

pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah

sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan

dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama

Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia

Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa

teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.

Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis",

menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui

penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang

(Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).

Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa

oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau

Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota

sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering

mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama

ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)

Page 10: Soal Ujian Agama Hindu

Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap

penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh

kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke

Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu

dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa

dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan

agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India

Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam

penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti

seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):

Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada

membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan

suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)

Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan

kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak

istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra,

artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam

pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena

mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

c. Perkembangan Agama Hindu di Kalimantan Tengah

Page 11: Soal Ujian Agama Hindu

2. EKSISTENSI KEBERADAAN AGAMA HINDU

Globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama

Hindu dan budaya Bali. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan

dunia ini yang tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian

tampak pesat mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah

merambah berbagai aspek kehidupan. Dampak positif budaya global sangat

dirasakan oleh masyarakat Bali. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Demikian pula alat-alat komunikasi,

transportasi, dan informasi yang sangat canggih memberikan peluang kepada

masyarakat Bali yang memang sangat terbuka, untuk berkomunikasi ke mana saja

di belahan bumi ini. Wawasan masyarakat Bali terbuka untuk memetik hal-hal

yang baik dari manapun berasal dan dengan kemampuannya yang selektif dan

adaptif, menggunakan hal-hal yang baik itu untuk merevitalisasi Agama Hindu

dan budaya Bali. Di balik dampak positif globalisasi, tidak dapat dihindari adalah

dampak negatif budaya global tersebut. Teknologi komunikasi dan informasi yang

demikian maju memberi peluang masuknya berbagai pengaruh budaya asing, ke

dalam rumah dan bahkan ke dalam kamar-kamar dan kepada pribadi masyarakat.

Dampak negatif budaya global tersebut merupakan dampak dari kehidupan

modern. Muncul berbagai masalah di antaranya masyarakat semakin individualis,

kurangnya solidaritas. Berkembangnya penyakit sosial seperti prostitusi,

penyalahgunaan obat-obat psikotropika (narkoba, ekstasi, dan sebagainya),

pencurian, perampokan, dan bahkan pemerkosaan.  

Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara

nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini

digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan

karena pengaruh nilai-nilai budaya global, terutama dengan adanya kemajuan

teknologi informasi mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi

telah pula merambah kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler, yang

dapat menimbulkan ketegangan bagi umat beragama. Nilai-nilai yang mapan

selama ini telah mengalami perubahan yang pada gilirannya menimbulkan

Page 12: Soal Ujian Agama Hindu

keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika,

2005:18).

Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam

respon masyarakat Bali. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan

globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir

terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Dalam situasi yang demikian,

mantan Duta Besar India, Vinod C. Khanna dan Malini Saran yang telah beberapa

kali mengunjungi Bali, dan menulis buku The Ramayana in Indonesia (2004)

seperti dikutip oleh Dharma Putra dan Widhu Sancaya (2005:XV) menyatakan

bahwa Bali dapat dijadikan satu contoh untuk Asia sebagai daerah yang memiliki

kemampuan untuk mengadaptasi budaya tradisional agar relevan dengan budaya

global.

The island of Balinever lost sight of this truth while facing up to the relentless

onslaught of tourism on its rich artistic heritage, and can be an example to the

rest Asia for its skill in adapting traditional cultural practices to suit a modern

context.

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Agama Hindu dan budaya

Bali mampu menghadapi budaya globabal, namun demikian kekhawatiran

sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan

untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu menjadi jiwa dan sumber

nilai budaya Bali, untuk itu kiranya perlu diketengahkan bagaimana sinergi dan

dinamika Agama Hindu dengan budaya Bali dan melakukan fungsinya sesuai

dengan budaya Bali. Sinergi dan dinamika Agama Hindu di Bali telah melahirkan

berbagai kearifan lokal. Agama Hindu dan tidak menghapuskan tradisi

masyarakat dan budaya Bali sebelumnya, tetapi sebaliknya memberikan

pencerahan kepada budaya lokal. Berbagai kearifan lokal telah terbukti mampu

menjadikan Agama Hindu dan budaya Bali eksis sepanjang masa

Page 13: Soal Ujian Agama Hindu

3. IMPLEMENTASI AGAMA HINDU YANG BERSIFAT UNIVERSAL

Hindu memang dikenal dengan banyaknya Upacara, banyak umat Non-Hindu

yang mengangap bahwa itu tidaklah praktis. Tapi bagi Umat Hindu itulah cara

mereka menunjukan rasa cinta dan kekaguman mereka pada sang pencipta. Hindu

percaya dalam menjaga dunia ini Tuhan juga berkorban untuk kita, dan bukan

Hindu saja yang percaya hal itu, umat Kristen percaya bahwa Yesus berkorban

untuk umatnya, Budha pun berkorban untuk kedamaiaan pengikutnya. Bagi Umat

Hindu tidak ada upacara yang ribet atau tidak praktis, karena semua dilakukan

dengan rasa bahagia dan keiklasan. Bukanya hanya berdoa pada Tuhan lalu

meminta berkahnya. Dalam mantra Hindu seperti maha mantra Hare Krisna dan

lain-lain jika diartikan disebutkan pada awalnya bukan meminta berkah sesuatu

seperti doa-doa ajaran yang lain, melainkan meminta untuk mengabdi dan

berbakti pada beliau.

Dalam Hindu tidak ada namanya perwakilan Tuhan di dunia, sunguh tidak

sempurnanya Tuhan jika harus memiliki perwakilan di dunia. Aneh bukan jika itu

ada, secara logika saja sudah agak aneh. Tapi memang agama tidak bisa

dilogikakan. Seperti kebayakan Non-Hindu mengatakan bahwa umat Hindu

mengangap Sri Satya Sai Baba sebagai wakil tuhan di dunia. Itu salah, karena

Umat Hindu tidak pernah mengangap seperti itu, umat Hindu mengangap Sri

Satya Sai Baba yang memiliki tidak saja pengikut dari Hindu melainkan juga

Umat Non-Hindu sebagai Guru Besar Spritual dalam Hindu. Umat Hindu percaya

bahwa beliau adalah Guru yang patut dihormati dan bukan berarti beliau diangap

sebagai tangan tuhan di dunia ini, karena walau beliau itu penuh dengan keajaiban

namun beliau tetap tidak sesempurna tuhan.

Hindu merupakan agama yang universal, yang mampu berdampingan dengan

agama lain. Agama Hindu tidak pernah mempersalahkan agama lain yang ada di

dunia ini.

Satu lagi mungkin juga yang membedakan Hindu dari agama yang lainya, Hindu

bukanlah agama yang membenarkan penghapusan Dosa, bagi Hindu dosa tidak

bisa hapus, dengan cara apapun. Namun perbuatan dosa bisa diimbangi dengan

perbuatan Baik. Tidak ada dalam Hindu memberi secarik kertas dari sebuah

Page 14: Soal Ujian Agama Hindu

perwakilan yang menyebut dirinya perwakilan Tuhan di dunia, kemudian dosa

bisa dikurangi, lalu masuk sorga, atau dengan membunuh orang dengan atas nama

Jihad kemudian masuk sorga. Dalam Hindu itu tidaklah ada, dan juga dalam

Hindu sorga bukanlah tujuan utama mereka, melainkan Moksha atau menyatu

dengan Tuhan (Brahma) . sekarang mungkin kita sedikit melihat bagaimana ke

agungan Hindu itu sendiri, Minoritas bukan berarti tidak berkualitas. Banggalah

kita menjadi Hindu. Jangan pernah kita merasa kita ini minoritas, karena

sebenarnya kita adalah mayoritas dalam ajaran keagamaan.

4. HINDU ADALAH SANATANA DHARMA

Dalam  upaya memantapkan pandangan kita  terhadap ajaran Hindu Dharma

terlebih dahulu kami ingin menekankan kembali nama dan sumber ajaran Hindu

atau Hindu Dharma yang kita kenal sebagai satu agama tertua yang masih dianut

oleh umat manusia. Hal ini kami pandang sangat perlu mengingat sampai

sekarang masih ada pandangan dan buku-buku yang mendiskreditkan agama

Hindu dan menganggap agama Hindu sebagai agama yang tidak bersumber pada

wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan Prof. Dr. Mukti Ali, sebagai tokoh ahli

perbandingan agama di Indonesia pada Kongres Agama-Agama di Indonesia,

tanggal 11 Oktober 1993 di Yogyakarta menyatakan bahwa agama Hindu tidak

mengenal missi karena dibatasi oleh sistem kasta. Bilama Hindu tidak mengenal

missi, bagaimana orang Indonesia di masa yang lalu memeluk agama Hindu?

Siapakah yang menyebarkan agama Hindu ke Indonesia? Selanjutnya tentang

kasta adalah bentuk penyimpanan dan interpretasi yang keliru dari pengertian

Varna sebagai tersebut dalam kitab suci Veda. Yang dimaksud dengan Varna

adalah pilihan profesi sesuai dengan Guóa  (bakat pembawaan orang) dan Karma

(kerja yang dia lakoni) oleh setiap orang.

Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa

kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan

pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia.  Dalam kontek pembicaraan kita

Page 15: Soal Ujian Agama Hindu

saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi agama Hindu sama

dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh

orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi  dengan  penduduk  di  lembah 

sungai  Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan

masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan

kemudian orang-orang Barat yang  datang kemudian menyebutnya dengan India.

Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Shindu sampai yang

kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama Bhàratavarsa

yang disebut juga Jambhudvìpa.   

Kata Sanàtana Dharma   berarti  agama yang bersifat abadi   dan  akan  selalu

dipedomani oleh umat manusia sepanjang Nama   asli  dari  agama ini masa,

karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal,

merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya

tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran

agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa

(Mahadevan, 1984: 13).

Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama Hindu.

Para åûi atau mahàrûi yakni orang-orang suci dan bijaksana di India jaman dahulu

telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka (Aparokûa-

Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya

langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman

para mahàrûi di jaman dahulu itu sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya).

Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para mahàrûi dan orang-

orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh

karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda,

1988: 4)

Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh

pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda,

1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh mahàrûi Yàûka

Page 16: Soal Ujian Agama Hindu

(Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi umat Hindu   kebenaran

Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa.

Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan tertinggi Úaýkara-math

yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya menegaskan : Dengan

pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam

atau non human being) maka para maharsi penerima wahyu disebut

Mantradraûþaá (mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya dari manusia. Bila

Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta

(karangan/buatan manusia) dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima

wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam) melalui kemekaran intuisi

(kedalaman dan pengalaman rohani)nya, merealisasikan kebenaran  Veda, bukan

dalam pengertian atau mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang

mengatakan bahwa Columbus menemukan Amerika ? Bukankah Amerika telah

ada ribuan tahun sebelum Columbus lahir? Einstein, Newton atau Thomas Edison

dan para penemu lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah

ada ketika alam semesta diciptakan. Demikian  pula para maharsi diakui sebagai

penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada

sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi

agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat Anadi-

Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh karena

kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi mampu

menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa

dihubungkan dengan Sùkta (himpunan mantra), Devatà (Manifestasi Tuhan Yang

Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair dari mantra Veda).

Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan

kepada para Devatà dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika mulai

membaca atau merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).

Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-

agama yang lain, melainkan terdiri dari beberapa kitab yang terdiri dari 4

kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità) yang dikenal dengan Catur Veda

Page 17: Soal Ujian Agama Hindu

(Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra

ini memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka dan Upaniûad) yang seluruhnya itu

diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa

Sanskerta disebut Úruti. Kata Úruti berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang

didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui

kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan

kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf)

dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi

Agung, yakni Vyàsa yang disebut Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya

menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada

berbagai Úàkha, Aúsrama, Gurukula atau Saýpradaya.

Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti)

yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki

sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu

adalah Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum Hindu), Úìla 

(yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai kitab Itihàsa (sejarah)

dan Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang

juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Àtmanastuûþi, yakni

kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharsi

dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu

dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis inilah yang

berhak mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan

sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber  ajaran Hindu yang

kedudukannya lebih tinggi.

Karakteristik Hindu Dharma

Hindu Dharma memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional

manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak

semestinya  terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari

pemikiran, perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang

Page 18: Soal Ujian Agama Hindu

paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu

agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan

berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang

mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk

pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu

doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun

dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada

setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh

karena itu, segala macam keyakinan/Úraddhà, bermacam-macam bentuk

pemujaan atau sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda,

memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma

dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang

satu dengan yang lainnya.    

Tentang kemerdekaan memberikan tafsiran terhadap Hindu Dharma di dalam

Mahabharata dapat dijumpai sebuah pernyataan : "Bukanlah seorang maharsi

(muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahami"

(Radhakrishnan, I, 1989: 27). Inilah salah satu ciri atau karakteristik dari Hindu

Dharma. Karakteristik atau ciri khas lainnya yang merupakan barikade untuk

mencegah berbagai pandangan yang memungkinkan tidak menimbulkan

pertentangan di dalam Hindu Dharma adalah Àdikara dan Iûþa atau Iûþadevatà

(Morgan, 1987: 5). Àdikara berarti kebebasaan untuk memilih disiplin atau cara

tertentu yang sesuai dengan kemampuan dan kesenangannya, sedangkan Iûþa atau

Iûþadevatà adalah kebebasan untuk memilih bentuk Tuhan Yang Maha Esa yang

dijelaskan daalam kitab suci dan susatra Hindu, yang ingin dipuja sesuai dengan

kemantapan hati.

Svami Sivananda, seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaya (kini

Malaysia) kemudian meninggalkan profesinya itu menjadi seorang Yogi besar

dan rohaniawan agung pendiri Divine Life Society menyatakan : Hindu Dharma

sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gaambaran indah tentang

Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar

Page 19: Soal Ujian Agama Hindu

tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma;

tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe

pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam

pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu

Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran

dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi

mereka (1984: 34).

Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan bahwa Hindu Dharma

mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma

merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan

Dr.K.M. Sen mengatakan bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan

kesulitan lain. Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tuumbuh perlahan

dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar padaa saat

tertentu (Natih: 1994: 116)

5. KOTA SUCI HINDU DI BHARATIYA

6. SANSKRTA MENYEBAR KE SELURUH UMAT HINDU

Bahasa Sanskerta adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih

dikenal dan sejarahnya termasuk yang terpanjang. Bahasa yang bisa menandingi

'usia' bahasa ini dari rumpun bahasa Indo-Eropa hanya bahasa Hitit. Kata

Sansekerta, dalam bahasa Sanskerta Saṃskṛtabhāsa artinya adalah bahasa yang

sempurna. Maksudnya, lawan dari bahasa Prakerta, atau bahasa rakyat.

Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa klasik India, sebuah bahasa liturgis

dalam agama Hindu, Buddhisme, dan Jainisme dan salah satu dari 23 bahasa

resmi India. Bahasa ini juga memiliki status yang sama di Nepal.

Posisinya dalam kebudayaan Asia Selatan dan Asia Tenggara mirip dengan posisi

bahasa Latin dan Yunani di Eropa. Bahasa Sanskerta berkembang menjadi banyak

Page 20: Soal Ujian Agama Hindu

bahasa-bahasa modern di anakbenua India. Bahasa ini muncul dalam bentuk pra-

klasik sebagai bahasa Weda. Yang terkandung dalam kitab Rgweda merupakan

fase yang tertua dan paling arkhais. Teks ini ditarikhkan berasal dari kurang lebih

1700 SM dan bahasa Sanskerta Weda adalah bahasa Indo-Arya yang paling tua

ditemui dan salah satu anggota rumpun bahasa Indo-Eropa yang tertua.

Khazanah sastra Sanskerta mencakup puisi yang memiliki sebuah tradisi yang

kaya, drama dan juga teks-teks ilmiah, teknis, falsafi, dan agamis. Saat ini bahasa

Sansekerta masih tetap dipakai secara luas sebagai sebuah bahasa seremonial pada

upacara-upacara Hindu dalam bentuk stotra dan mantra. Bahasa Sanskerta yang

diucapkan masih dipakai pada beberapa lembaga tradisional di India dan bahkan

ada beberapa usaha untuk menghidupkan kembali bahasa Sanskerta.

7. ETIKA HINDU

Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat

(Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari-

hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya

akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan

memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu

mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang

memegang teguh sendi-sendi kesusilaan. Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan

bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup

seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan

budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi

tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. Kata Susila terdiri dari dua suku kata:

"Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata

laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin

obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku

hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan

Page 21: Soal Ujian Agama Hindu

alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya),

keikhlasan dan kasih sayang.Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran

1. Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala

makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya

menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian

diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar

pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai

upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.

2 Tri Kaya Parisudha   Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang

merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap

individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya

3. Panca Yama dan Niyama Brata  

Lima Kebaikan yang harus dilakukan dan 5 keburukan yang harus dipantang.

  4 Tri Mala  

Tiga sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan

diredam sampai sekecil- kecilnya.

  5. Sad Ripu  

Sad Ripu adalah enam musuh di dalam diri manusia yang selalu menggoda,

yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi.

  6. Catur Asrama  

Empat tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan

tahapan- tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban

menunaikan dharmanya.

 

Page 22: Soal Ujian Agama Hindu

7. Catur Purusa Artha  

Empat dasar tujuan hidup manusia

8. Catur Warna  

Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan

berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.

9. Catur Guru

  Empat kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.

10. PANCA SRADHA

Sradha berarti "yakin", "percaya", yang melandasi umat Hindu dalam meyakini

keberadaan-Nya. Umat Hindu mendasari keyakinannya berjumlah lima, yang

disebut dengan panca Sradha. Panca Sradha meliputi:

Brahman — Widhi Tattwa, keyakinan terhadap Tuhan

Atman — Atma Tattwa, keyakinan terhadap Atman

Karmaphala — Karmaphala Tattwa, keyakinan pada Karmaphala (hukum

sebab-akibat).

Samsara — Keyakinan pada kelahiran kembali

Moksha — Keyakinan akan bersatunya Atman dengan Brahman

11. APLIKASI PANCA MAHA YAJNA

Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat

Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau

Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:

1. DewaYadnya.

Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa

Page 23: Soal Ujian Agama Hindu

dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha

Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha

Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan

persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta

Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut

dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang

tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya

Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain-

lain.

2. PitraYadnya.

lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh

suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan

menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan

sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana. Adapun tujuan dari

pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus

ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam

surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa

bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat

hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut

dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang

kepada orangtuanya (leluhur) seperti:

a. Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.

b. Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.

c. Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.

3. Manusa Yadnya.

Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup

manusia.

Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan,

di antaranya ialah:

Page 24: Soal Ujian Agama Hindu

a. Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi

yang baru lahir.

b. Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur

3 bulan (105 hari).

c. Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton).

d. Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/

Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.

Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan

spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata

demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang

pendidikan, kesehatan, dan lain- lain guna persiapan menempuh

kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan

dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu

(athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang

menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah

termasuk Manusa Yadnya.

4. ResiYadnya.

Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan

kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di

dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:

a. Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara

Diksa.

b. Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.

c. Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada

Sulinggih.

d. Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para

Sulinggih.

e. Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi

pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.

Page 25: Soal Ujian Agama Hindu

5. BhutaYadnya.

Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu

makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak

terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis

makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.

Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara

Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam

semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan

tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan

diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.

Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur- unsur Panca Yadnya

telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya

mana yang diutamakan.

12. DESA KALA PATRA

desa-kala-patra (tempat-waktu-suasana) adalah konsep kerja dalam kerifan

lokal di Bali memang mendasari proses bekerja di Mandiri. Denga cara kerja

Bertolak Dari Yang Ada, tak ada yang bisa menghalangi apa yang ingin

dikerjakan, asalkan mengadaptasi desa-kala-patra secara kreatif. Bahkan

konsep pun bila perlu akan kami langgar dan tolak sendiri, kalau memang

sudah tidak sesuai/terbukti tidak benar lagi dari sudut desa-kala-patra. Apakah

itu berarti tidak punya pendirian? Entahlah, kami hanya ingin tumbuh,

berkembang dan hidup yang wajar, tidak terkekang oleh dogma-dogma yang

salah atau kedaluwarsa.

13. FILSAFAT SIWA SIDANTA, SAKTA, WAISNAWA DAN PASUPATA

Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di

Bali pada umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata

itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses

Page 26: Soal Ujian Agama Hindu

mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja

agama Hindu memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di

Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak

dipaksa harus ikut ini atau itu.  

Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua

cara tersebut. Ini artinya penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap

penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari substansi

ajaran agama Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda.

Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap

penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada

zaman dahulu itu benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu

yang dijunjung tinggi.  

Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa

lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno

yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman

sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada orang lain yang

berbeda sistem penekanan beragamanya.  

Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya benar-benar sudah

memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu

merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu

ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang

tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda

ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti

itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal

yang dianut oleh dunia dewasa ini. 

Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan Buddha Mahayana di

Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali. Munculnya Sidharta

Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu yaitu Tithiyas

Page 27: Soal Ujian Agama Hindu

dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini bahwa

penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang

tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan

nafsu tersebut. 

Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus

dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus

dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap

maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran

Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan

fungsi alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-

indah saja maka mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang

terik. Lidah dibuat sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar

kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.  

Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah

muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan

pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila

berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara

Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu

didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik

hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi yang prima. Itulah

Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam menyelamatan umat dari

perbedaan yang dipertentangkan itu.  

Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu

dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya

keberadaan agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda

apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Siwa

Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa Gajah itu memang

berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya saja. Substansi

ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu

Page 28: Soal Ujian Agama Hindu

sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan

sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala. 

Waisnawa merupakan aliran dalam Hindu, yang dalam proses pemujaannya

lebih menitik beratkan pada pemujaan Wisnu (beserta awataranya) sebagai

dewa tertinggi. Waisnawa merupakan keyakinan dan ajaran yang juga

memiliki pelaksanaan kewajiban bagi penganutnya (dalam Hindu disebut

dengan Bakti Yoga), yang mana kesemua ajaran tersebut didasarkan pada

Veda dan susastra Purana seperti Bhagavad Gita, Isha Upanishad, serta Wisnu

Purana dan Bhagavata Purana.

14. PURNAMA DAN TILEM

Purnama dan Tilem adalah hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk

memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi. Hari Purnama, sesuai

dengan namanya, jatuh setiap malam bulan penuh (Sukla Paksa). Sedangkan

hari Tilem dirayakan setiap malam pada waktu bulan mati (Krsna Paksa).

Kedua hari suci ini dirayakan setiap 30 atau 29 hari sekali.

Pada hari Purnama dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Chandra,

sedangkan pada hari Tilem dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Surya.

Keduanya merupakan manifestasi dari Hyang Widhi yang berfungsi sebagai

pelebur segala kekotoran (mala). Pada kedua hari ini hendaknya diadakan

upacara persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya.

Beberapa sloka yang berkaitan dengan hari Purnama dan Tilem dapat ditemui

dalam Sundarigama yang mana disebutkan: 'Muah ana we utama parersikan

nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, Sanghyang Surya Candra, atita tunggal

we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama Sanghyang Wulan ayoga, yan

ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana ika, para purahita kabeh

tekeng wang akawangannga sayogya ahening-hening jnana, ngaturang wangi-

wangi, canang biasa ring sarwa Dewa pala keuannya ring sanggar,

Page 29: Soal Ujian Agama Hindu

Parhyangan, matirtha gocara puspa wangi"Ada hari-hari utama

penyelenggaraan upacara persembahyangan sejak dulu sama nilai

keutamaanya yaitu hari Purnama dan Tilem. Pada hari Purnama, bertepatan

dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari Tilem, bertepatan dengan

Sanghyang Surya beyoga memohonkan keselamatan kepada Hyang Widhi.

Pada hari suci demikian itu, sudah seyogyanya kita para rohaniawan dan

semua umat manusia menyucikan dirinya lahir batin dengan melakukan

upacara persembahyangan dan menghaturkan yadnya kehadapan Hyang

Widhi.

Pada hari Purnama dan Tilem ini sebaiknya umat melakukan pembersihan

lahir batin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja bhakti

kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrah-Nya, umat juga hendaknya

melakukan pembersihan badan dengan air. Kondisi bersih secara lahir dan

batin ini sangat penting karena dalam jiwa yang bersih akan muncul pikiran,

perkataan dan perbuatan yang bersih pula. Kebersihan juga sangat penting

dalam mewujudkan kebahagiaan, terutama dalam hubungan dengan pemujaan

kepada Hyang Widhi.

15. CATUR MARGA

Dari itu laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa harap

keuntungan sebab kerja tanpa keuntungan pribadi Membawa orang ke-

kebahagiaan

(Bhagavadgita III. 19)

Kerja yang dilakukan orang tanpa mengharapkan pahala bagi kepentingan diri

pribadi adalah mulia. Pekerjaan akan juga mulia bila dilakukan disertai tanda

bakti daripada yang mengangkat orang pada penyucian dan kesempurnaan

pikiran dan jiwanya. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dan

kegiatan kerja, namun dewasa ini orang bekerja hanyalah untuk memenuhi

kebutuhan materi. Materi itu perlu dan harus diusahakan untuk memilikinya

asalkan dengan jalan yang benar dan ditujukan untuk memperkokoh dharma.

Page 30: Soal Ujian Agama Hindu

Dalam agama Hindu ada dua pemikiran yaitu untuk kesejahteraan rohani dan

jasmani makhluk (“Bhukti & mukti”). Kesejahteraan jasmani sangat

diperlukan untuk kelangsungan hidup, namun harus diusahakan dan ditujukan

untuk dharma. Maksudnya harta yang diusahakan ditujukan bagi

kesejahteraan umum disamping untuk kepentingan diri sendiri. Namun karena

pengaruh ahamkara (ego) manusia lupa diri dan menjadi serakah, sehingga

mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta.

Seperti apa yang terjadi saat ini, orang lebih memikirkan hasil daripada

pekejaannya. Sehingga mereka mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang

sebanyak-banyaknya dengan mencuri, merampok, menjual narkoba atau juga

korupsi. Mereka tidak lagi menghiraukan apakah pekerjaannya merugikan

orang lain atau tidak, yang penting mereka bisa hidup mewah. Lagi-lagi

agama menanggung beban tanggung jawab untuk memperbaiki moral manusia

yang bobrok tersebut. Pada dasarnya agama telah memberikan patokan-

patokan terhadap perbuatan baik atau buruk, benar atau salah, sebagai

pedoman hidup. Namun ego (ahamkara) manusia telah menutup nurani kita

untuk berbuat jujur, berbuat sesuai kaidah-kaidah agama, sehingga tak ada

yang ditakuti. Mereka tanpa merasa bersalah untuk berbuat dosa, yang mereka

pikirkan hanyalah masalah keduniawian. Dalam ajaran Hindu bekerja

merupakan salah satu jalan untuk mencapai Tuhan yang biasa dikenal dengan

Karma Yoga. Karma Yoga merupakan bagian dan Catur Yoga (empat cara

menghubungkan diri dengan Tuhan) terdiri dari :

1)  Karma Yoga cara menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan kerja,

2)  Bhakti Yoga cara menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan Bakti,

3)  Jnana Yoga cara menghubungkan diri dengan Tuhan dengan jalan

mempelajari ilmu pengetahuan kerohanian dan

4) Raja Yoga cara menghubungkan diri dengan jalan penghayatan spiritual.

Apabila kerja merupakan salah satu cara menghubungkan diri dengan Tuhan

tentunya tujuan dan kerja itu adalah suci.

Page 31: Soal Ujian Agama Hindu

Karena pengaruh ahamkara tadi maka tujuan kerja pun menjadi bersifat

duniawi. Mereka terlalu berharap dan kerjanya sehingga ketika bekerja

mereka berpikir tentang apa yang akan mereka perbuat dengan hasil keijanya.

Dengan demikian kita hanya akan berpikir kuantitas bukan kualitas, bukankah

dengan hasil yang banyak uLaka imbalannya pun banyak. Menurut Karma

Yoga, tindakan yang dilakukan seseorang tidak dapat dihancurkan sebelum

tindakan itu mengeluarkari buahnya; tak ada kekuatan alam yang dapat

menghent.ikan tindakan itu mengeluarkan buahnya; tak ada kekuatan alam

yang dapat menghentikan tindakan itu hingga tidak menibawa akibat. Bila kita

berbuat sesuatu perbuatan jahat, maka kita harus menderita karenanya. Sama

juga bila kita berbuat hal-hal baik, maka tak ada kekuatan dalam alam yang

akan menghentikan keluarnya buah kebaikan. Sesuatu sebab membawa akibat,

tak ada yang dapat menghalangi atau menahannya. (Swami Vivekananda).

Mereka tertipu sifat guna Terikat pada keinginan yang dihasilkan olehnya

Tetapi yang mengerti jangan sampai menyesatkan Mereka yang

pengetahuannya tiada sempurna (Bhagavadgita III. 29)

Sloka 29 menjelaskan mereka yang terikat guna akan tertipu karena harapan

yang berlebihan terhadap kerjanya. Guna sebagai batas kebehasan manusia

yang diperoleh dari kelahiran dan lingkungan yang mempunyai kekuatan

membelenggu. Bila manusia dapat menguasai kekuatan guna tersebut maka

mereka dapat bekerja giat tanpa memikirkan hasil, itulah idealnya karma

yoga. Tentunya untuk dapat menguasai guna tersebut didapat dari pengalaman

kerja sehingga kita menemukan rahasia kerja.

Karma Yoga sebenarnya merupakan suatu ilmu pengetaliuan mengenai

rahasia pekerjaan. Karma Yoga mengajarkan rahasia dan pekerjaan, cara

bekenja, daya organisasi dan kerja. Dengan memahami cara kcrja manusia

dapat lebih mudah menyelesaikan pekeijaannya dan akan mendapatkan hasil

yang memuaskan. Bekeija secara terorganisir akan membuat pekerjaan

beijalan lancar karena sebelumnya telah membuat perencanaan, sudah

memperhitungkan hambatan-hambatan yang akan dihadapinya. Begitulah

Page 32: Soal Ujian Agama Hindu

manusia yang telab memahami rahasia pekenjaan, susah senang akan dihadapi

dengan tenang. Tentunya hal tersebut dicapai apabila kita telah mampu

melepaskan din dan belenggu guna. Kita harus bekerja, tidak boleh tidak,

namun harus dengan tujuan tertinggi. Bekeijalah tanpa berhenti, tapi lepaskan

segala pengikatan diri pada pekerjaan. Artinya jangan kita mempersamakan

diri dengan sesuatu, sehingga kesulitan-kesulitan yang kita hadapi dalam

bekerja pun tak akan kita rasakan. Kita harus menghancurkan sifat keakuan,

mampu mengekang diri agar tidak tenjerumus dalam pikiran keakuan. Dengan

demikian kita bisa bekerja sebanyak yang dapat kita lakukan, dapat bergaul

dengan siapa saja tanpa tertular sifat jahat.

Tunjukkan semua kerjamu kepada-Ku. Dengan pikiranmu terpusat pada

atman

Bebas dari nafsu keinginan dan ke-aku-an. Enyahkan rasa gentar dan,

bertempurlah!

(Bhagavadgita III.30).

Tujukan pekerjaan kita untuk Tuhan, karenanya kita akan bekerja tanpa terikat

akan hasil. Apa yang dirasa, dilihat, didengar dan dibuat adalah untuk Tuhan.

Dengan demikian kita akan bekerja bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Dengan tanpa memikirkan hasil pekerjaan kita akan berdaya guna, sebagai

ilustrasi dapat saya contohkan seorang pelukis yang bekerja hanya untuk

menghasilkan lukisan yang indah, dia tidak akan memikirkan apakah

dikerjakan berbulan-bulan, memakan bahan yang mahal, tapi yang dia

pikirkan adalah melukis untuk membuat karya seni. Dan tentunya orang-orang

mengerti akan hal seni tersebut akan memberikan harga yang mahal untuk

sebuah karya seni tersebut, tetapi si seniman pun tidak akan gusar apabila

hasil lukisannya tidak ada yang membeli. Kita sebagai manusia tidak dapat

lepas dari kegiatan kerja, namun untuk mencapai tujuan tertinggi kita harus

mampu mengendalikan ke-aku-an. Sesuatu yang bersifat ke-aku-an adalah

menyalahi kesusilaan (immoril) dan sesuatu yang bersifat tidak ke-aku-an

adalah bersusila (moral) [Swami Vivekananda]. Bekerjalah untuk mencapai

Page 33: Soal Ujian Agama Hindu

hasil sebaik-baiknya dengan memperhatikan moral. Bersabarlah karena

bekerja dengan tekun maka hasilpun akan mengikuti, tak perlu mencari jalan

pintas yang hanya akan menyebabkan penderitaan.ºWHD No. 510 Juni 2009.

16. AJARAN BHAKTI DAN PARA BHAKTI

Ada 4 (empat) jalan (Marga) menuju kepada Tuhan (Hyang Widhi) yaitu:

Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Yoga (Raja) Marga.

BHAKTI MARGA. Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti digunakan untuk

menunjukkan cinta kasih kepada subyek yang lebih tinggi statusnya, atau

lebih luas lingkupnya misalnya: orang tua, negara, bangsa, Tuhan (Hyang

Widhi). Kata cinta kasih digunakan untuk sesama misalnya tunangan, istri/

suami, umat sedharma, umat manusia. Orang yang ber-bhakti kepada Hyang

Widhi disebut Bhakta.

Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu PARA-BHAKTI dan

APARA-BHAKTI. Para artinya utama; jadi para-bhakti artinya cara berbhakti

kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara-bhakti artinya tidak

utama; jadi apara-bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang

tidak utama.

Apara-bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran

rohaninya kurang atau sedang-sedang saja.

Para-bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran

rohaninya tinggi.

Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara-bhakti antara lain banyak terlibat

dalam ritual (upacara Panca Yadnya) serta menggunakan berbagai simbol

(niyasa).

Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para-bhakti antara lain sedikit terlibat

dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa Agama dan kuat/ berdisiplin

Page 34: Soal Ujian Agama Hindu

dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama sehingga dapat mewujudkan

Trikaya Parisudha dengan baik di mana Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan)

dan Manacika (pikiran) selalu terkendali dan berada pada jalur dharma.

Bhakta yang seperti ini banyak melakukan Drwya Yadnya (ber-dana punia),

Jnana Yadnya (belajar-mengajar), dan Tapa Yadnya (pengendalian diri).

Pilihan menggunakan para atau apara bhakti tergantung dari tingkat

inteligensi dan kesadaran rohani masing-masing. Yang ditemukan di

masyarakat Hindu Indonesia dewasa ini adalah mix para dan apara-bhakti,

namun bobotnya berbeda. Umat Hindu di Bali banyak menggunakan apara-

bhakti, sedangkan umat Hindu di luar Bali banyak menggunakan para-bhakti.

Kenapa demikian? Apakah itu berarti umat Hindu di Bali inteligensi dan

kesadaran rohaninya kurang? Tidak selalu demikian. Ada umat Hindu di Bali

yang inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi tetapi dibelenggu oleh tradisi

beragama yang monoton dan feodalistis, sehingga menampakkan diri sebagai

apara-bhakti. Sebaliknya umat Hindu diluar Bali lebih moderat, demokrat,

rasional dan reformis, sehingga memudahkan mereka mencapai para-bhakti.

Mengupayakan umat Hindu di Bali menjadi sebagian besar para bhakta

tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena bottle-neck yang

menghadang ya itu tadi: tradisi beragama dan feodalisme. Itulah sedikit ulasan

kasus tentang para dan apara-bhakti.

Sekarang kita teruskan tentang BHAKTI MARGA Bhakti marga sering

disebut sebagai jalan menuju Hyang Widhi yang paling mudah karena dapat

dilaksanakan oleh setiap orang. Mungkin pendapat ini benar jika yang

dimaksud adalah apara-bhakti. Jika yang dimaksud adalah para-bhakti, justru

bhakti marga yang paling sulit dilaksanakan karena para bhakta harus benar-

benar mempunyai kesadaran rohani yang tinggi. Untuk mencapai kesadaran

rohani yang tinggi setidak-tidaknya sudah menempuh Karma-Jnana dan Yoga-

Marga dengan baik.

Page 35: Soal Ujian Agama Hindu

Seorang bhakta mempunyai keinginan-keinginan yang kuat yaitu: 1) Ingin dan

rindu selalu dekat bahkan bertemu dengan Hyang Widhi sehingga ia rajin

bersembahyang, bermeditasi, beryoga. 2) Ingin berkorban yang didasari oleh

rasa ikhlas, tulus dan welas asih dengan melepaskan ikatan dan keinginan

akan pahalanya. Maka mereka yang para-bhakti sering ber-dana punia,

menolong sesama tanpa menghitung untung-rugi, sedangkan mereka yang

apara-bhakti banyak melaksanakan upacara panca yadnya. Bhakti kepada

Hyang Widhi melenyapkan rasa takut, marah, benci, dan iri hati.

Bhagawadgita XII.17: Yo na hrishyati na dveshti, Na sochati na kankshati,

Bhaktiman ya same priyah. Artinya: Dia yang tiada bersenang dan membenci,

tiada berduka dan bernafsu apa, membebaskan diri dari kebathilan dan rasa

berbuat kebaikan, penuh dengan kebaktian, dialah yang Ku-kasihi.

Maksud dari sloka itu adalah: jika benar-benar kita bhakti kepada Hyang

Widhi, janganlah terpengaruh oleh kesenangan karena ketakutan itu timbul

bilamana kesenangan terancam. Juga jangan membenci karena kebencian

menimbulkan amarah dan irihati atau sebaliknya, amarah, iri hati dan nafsu

yang tidak tercapai bisa menimbulkan kebencian. Itulah hal-hal yang

menjauhkan rasa kasih sayang kepada semua mahluk ciptaan-Nya. Bila kita

cinta dan kasih kepada Hyang Widhi berarti juga kita harus cinta dan kasih

kepada semua ciptaan-Nya. Seorang bhakta juga tidak boleh berduka dan

kecewa jika ia yakin bahwa apapun yang kita alami di dunia ini semata-mata

adalah atas kehendak-Nya. Bebaskanlah dari kebathilan, karena itu

bertentangan dengan hakekat bhakti, dan bebaskanlah dari rasa berbuat

kebaikan karena itu sudah kewajiban seorang bhakta. Pengampunan akan

diberikan oleh Hyang Widhi kepada para Bhakta.

Bhagawadgita XII.6,7: Ye tu sarvanni karmani, mayi samnyasya matparah,

anayenai va yogena, mam dhyayanta upasale. Tesham aham samuddharta,

mrtyu samsara sagarat, bhavani nachirat partha, mayi avesita chetasam.

Artinya: Tetapi sesunguhnya mereka yang menumpahkan segala kegiatan

Page 36: Soal Ujian Agama Hindu

hidup mereka kepada-Ku, memikirkan bermeditasi hanya kepada-Ku dengan

kebaktian yang terpusatkan, yang pikiran mereka tertuju kepada-Ku, dengan

segera dan langsung Aku bebaskan mereka ini dari lautan sengsara hidup lahir

dan mati (artinya mencapai MOKSA),

17. ITHIASA MAHABARATA DAN RAMAYANA

Itihāsa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah-

kisah epik/kepahlawanan para Raja dan ksatria Hindu di masa lampau dan

dibumbui oleh filsafat agama, mitologi, dan makhluk supernatural. Itihāsa

berarti “kejadian yang nyata”. Itihāsa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana

dan Mahābhārata.

Kitab Itihāsa disusun oleh para Rsi dan pujangga India masa lampau, seperti

misalnya Rsi Walmiki dan Rsi Vyāsa. Cerita dalam kitab Itihāsa tersebar di

seluruh daratan India sampai ke wilayah Asia Tenggara. Pada zaman kerajaan

di Indonesia, kedua kitab Itihāsa diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa kuna

dan diadaptasi sesuai dengan kebudayaan lokal. Cerita dalam kitab Itihāsa

diangkat menjadi pertunjukkan wayang dan digubah menjadi kakawin.

Kitab Ramayana merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab Ramayana

terdiri dari 24.000 sloka dan memiliki tujuh bagian yang disebut Sapta Kanda.

Setiap Kanda merupakan buku tersendiri namun saling berhubungan dan

melengkapi dengan Kanda yang lain. Kitab Ramayana disusun oleh Rsi

Walmiki

Kitab Mahābhārata merupakan salah satu Itihāsa yang terkenal. Kitab

Mahābhārata berisi lebih dari 100.000 sloka. Mahābhārata berarti cerita

keluarga besar Bharata. Kitab Mahābhārata memiliki delapan belas bagian

yang disebut Astadasaparwa. Selayaknya Ramayana, setiap Parwa merupakan

buku tersendiri namun saling berhubungan dan melengkapi dengan Parwa

yang lain. Kitab Mahābhārata disusun oleh Rsi Vyāsa

Page 37: Soal Ujian Agama Hindu

18. MITOLOGI GARUDA

Garuda Mitologi garuda berasal dari kebudayaan Hindu. Garuda digambarkan

sebagai manusia burung dengan bulu keemasan, dan memiliki mahkota di

kepalanya. Konon ukuran tubuh garuda sangatlah besar sehingga mampu

menutupi matahari. Garuda juga sering digambarkan sebagai kendaraan

Vishnu. Menurut Mahabarata, konon saat Garuda lahir dari telurnya, bumi

gonjang ganjing (seperti waktu sun go kong lahir di film >.<) sehingga para

dewa memohon padanya untuk tenang. Garuda adalah anak Kasyapa dan

Vinata. Vinata memiliki hutang terhadap Kadru, ibu para ular karena suatu

pertaruhan. Untuk menghapus hutang tersebut, Garuda diminta Kadru untuk

memberikan obat keabadian yg disebut Amrita padanya.

Garuda kemudian mencuri Amrita dari tempat para dewa. Meskipun para

dewa bersatu menghadang Garuda, mereka bukanlah tandinganya. Dalam

perjalanan pulang, Garuda bertemu dengan Vishnu, Vishnu berjanji akan

memberikan keabadian pada Garuda biarpun tanpa meminum Amrita, sebagai

gantinya Garuda menjadi kendaraan Vishnu. Kemudian Garuda bertemu

dengan Indra dan sekali lagi dia mendapat penawaran. Garuda berjanji akan

memberikan Amrita pada Indra dan Indra akan memberikan para ular sebagai

makanan Garuda. Akhirnya Garuda memberikan Amrita pada para ular untuk

menghapus hutang ibunya, setelah Amrita diberikan, Indra turun dari langit,

merebut Amrita, dan menghabisi para ular. Sejak saat itu Garuda menjadi

rekan para dewa, tunggangan kebanggan Vishnu, sekaligus menjadi musuh

utama para ular.

Garuda ini ada hubungannya dengan ceritra Sang Garuda yang terdapat di

dalam Adi Parva. Ceritra ringkasnya adalah sebagai berikut : Bhagawan

Kacyapa mempunyai dua orang istri yaitu Sang Kadru dan Sang Winata.

Bhagawan Kacyapa menawarkan kepada kedua istri beliau berapa jumlah

anak yang ingin mereka miliki. Sang Kadru meminta 1000 anak sedangkan

Sang Winata meminta dua anak. Bhagawan Kacyapa memberikan seribu butir

telur pada Sang Kadru dan dua butir telur pada Sang Winata. Setelah telur

Page 38: Soal Ujian Agama Hindu

Sang Kadru menetas maka lahirlah seribu ekor ular. Melihat Sang Kadru

sudah melahirkan anak-anaknya maka Sang Winata ingin cepat juga punya

anak, maka dengan tidak sabar dipecahkanlah sebutir dari telurnya maka

lahirlah Aruna seekor burung yang belum sempurna bentuk tubuhnya karena

belum punya kaki. Suatu ketika Sang Kadru bertemu dengan Sang Winata

membicarakan tentang rupa dari kuda Ucchaisrawa yang keluar pada waktu

lautan air susu diaduk oleh para Dewa Raksasa. Sang Kadru menebak warna

kuda itu hitam dan Sang Winata menebak putih. Masing-masing kukuh

mempertahankan pendirianya, akhirnya mereka bertaruhan, siapa pun yang

kalah akan menjadi budak dari yang menang. Setelah itu Sang Kadru lalu

pulang dengan mengabarkan hal ikhwal taruhan itu kepada anak-anaknya.

“Wah ibu pasti kalah, karena kuda itu betul-betul putih mulus” kata ular-ular

itu. “Kalau demikian anakku berbuatlah sesuatu agar ibu tidak kalah sehingga

menjadi budak Sang Winata. Besok ibu akan datang bersama Sang Winata ke

tempat kuda itu untuk menyaksikan kebenaran kuda itu”. Maka para ular itu

pun memenuhi permintaan ibunya lalu semuanya menuju ke tempat kuda itu

berada. Mereka semua lalu menyemburkan bisa (wisa)-nya ke tubuh si kuda

sehingga warna bulu kuda itu menjadi berubah dari putih menjadi hitam

karena pengaruh dari bisa ular itu. Besok harinya ketika Sang Winata dan

Sang Kadru datang, mereka menyaksikan warna kuda Ucchaisrawa itu betul-

betul hitam, maka kalahlah Sang Winata. Sejak saat itu Sang Winata menjadi

budak Sang Kadru menjaga dan mengantarkan ular-ular itu mencari makanan

setiap hari dan sore hari baru pulang.

Sementara itu Sang Garuda pun lahir dengan tubuh sempurna. Setelah

beberapa lama kemudian Sang Garuda pun heran melihat ibunya pergi pagi

pulang sore, hingga ada keinginannya untuk menanyakan.

“lbu mengapa ibu pergi pagi pulang sore, apa pekerjaan ibu ?” tanya Sang

Garuda. “Ibu jadi budak para naga, saban hari kerja ibu adalah

menggembalakan ular-ular yang nakal, pergi ke sana ke mari sekehendaknya”.

jawab Sang Winata.

“Mengapa ibu menjadi budaknya ?” tanya Sang Garuda.

Page 39: Soal Ujian Agama Hindu

“Karena ibu kalah taruhan dengan Sang Kadru mengenai warna kuda

Ucchaisrawa”, kata Sang Winata.

“Kalau demikian biarlah saya saja menggantikan ibu menggembalakan ular”

demikian permintaan Sang Garuda yang kemudian diluluskan oleh Ibunya.

Lamalah sudah Sang Garuda menjadi budak dari para naga, akhirnya dia

menjadi bosan. Ia pun lalu menanyakan kepada naga apakah ada cara sebagai

pengganti atau menembus dirinya, agar dia bisa bebas dari perbudakan.

Setelah lama berpikir para Nagapun sepakat akan membebaskan Sang Garuda

dari perbudakan kalau bisa mencarikan tirtha amerta untuk mereka. Konon

barang siapa yang dapat minum amerta itu akan bisa bebas dari kematian.

Dengan demikian para naga beranggapan tidak perlu lagi ada penjaga seperti

Sang Garuda, karena tidak ada yang menyebabkan mereka bisa mati kalau

sudah minum tirtha Amerta.

Sang Garuda pergi ke sorga untuk mencari tirtha Amerta itu. Untuk itu dia

berhadapan dengan para Dewa yang menjaga Amerta itu. Dewata Nawa

Sanga dikalahkan semua. Akhirnya para Dewa lalu mohon bantuan kepada

Bhatara Visnu. Perang pun terjadi antara Dewa Visnu dengan Sang Garuda.

Perangpun berlangsung lama. Akhirnya Bhatara Wisnu menanyakan mengapa

Sang Visnu memerangi para Dewa dan untuk apa dia mencari Amerta.

Setelah Sang Garuda menjelaskan tujuannya mencari Amerta adalah untuk

membebaskan dirinya dan ibunya dari perbudakan para naga maka Bhatara

Visnu berkenan memberikan tirtha Amerta itu asal saja Sang Garuda bersedia

menjadi kendaraan Dewa Visnu. Sang Garuda menyetujui dan tirtha amerta

pun diserahkan oleh Dewa Visnu dengan syarat “barang siapa yang akan

meminumnya hendaknya bersuci-suci lebih dahulu, kalau tidak demikian

tirtha merta tidak akan sidhi atau bermanfaat”. Sang Garuda segera

menyerahkan tirtha Amerta itu kepada para naga dengan segala

persyaratannya. Para naga setelah menerimanya semua saling dahulu

mendahului pergi mandi menyucikan diri, takut tidak kebagian sehingga tirtha

itu begitu saja ditinggal di tengah rumput alang-alang. Mengetahui bahwa

tirtha itu ditinggalkan begitu saja oleh para naga maka Bhatara Visnu pun

Page 40: Soal Ujian Agama Hindu

mengambil tirtha itu kembali dibawa ke sorga. Dengan penuh kecewa para

naga hanya dapat menjilati sisa-sisa bekas tirtha yang ada di daun alang-alang

itu. Disebabkan tajamnya daun alang-alang itu maka lidah ular naga itupun

terbelah. Itulah asal mula ceritra mengapa alang-alang menjadi daun yang

dianggap suci karena terkena bekas tirtha amerta, demikian pula mengapa

lidah ular menjadi bercabang.

Marilah kita simak arti dan simbul dari ceritra Sang Garuda ini dihubungkan

dengan lontar Cri Purvana Tattva dan Stava yaitu Ananta bhoga stava, Basuki

stava dan Taksaka stava. Di muka telah dijelaskan bahwa inti bumi atau

magma api itu dibungkus oleh tanah, air dan udara. Ketiga jenis zat ini

disimbulkan dengan naga (ular). Kami beranggapan bahwa Sang Garuda itu

tidak lain dari simbul manusia yang mencari pembebasan dari perbudakan

benda-benda duniawi. Kenyataannya saban hari dari pagi sampai sore manusia

disibukkan untuk mendapatkan makan, minum dan udara bersih (simbul 3

naga di atas).

Pekerjaan yang tidak pernah selesai ini menjadikan manusia berpikir apakah

hidup ini hanya untuk makan minum dan mendapatkan udara bersih ? Apakah

manusia bisa membebaskan diri dari perbudakan benda ini. Jawabannya

adalah tirtha Amerta. Apa yang dimaksud dengan Amerta itu ? Amerta artinya

tidak mati-mati atau keabadian. Siapa yang tidak bisa mati ? Hanya Tuhan !

Barang siapa yang telah bisa mencapai Tuhan mereka tidak lagi terikat oleh

kemelekatan benda-benda dunia ini, mereka bebas dari perbudakan benda,

mereka mencapai moksa, moksa itu adalah kebebasan.

Hal yang menguatkan lagi bahwa gambar Garuda merupakan simbul

pembebasan dari perbudakan oleh benda-benda duniawi ialah : penggunaan

patung Garuda di “Bale Gede” yaitu bangunan yang biasanya diperuntukkan

untuk menempatkan mayat sebelum dibawa ke setra. Bale Gede umumnya

terdapat pada rumah keluarga-keluarganya yang mampu di Bali.

Gambar-gambar yang terdapat pada Bade atau wadah yang digunakan sebagai

kendaraan dari orang yang meninggal, pada waktu mayat itu dibawa dari

rumah kesetra. Gambar Garuda itu terdapa pada bagian belakang “wadah”

Page 41: Soal Ujian Agama Hindu

atau “bale” itu. Tujuannya tentu erat hubungannya dengan semacam petunjuk

atau perhatian kepada manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah

meninggal bahwa bila akan mencari Ida Sang Hyang Widhi hendaknya

berbuat seperti Sang Garuda yaitu membebaskan diri dari perbudakan naga

atau benda-benda dunia. Itulah mungkin sebabnya mengapa di Bale Gede

maupun di belakang wadah dilukiskan Garuda, agar roh orang yang

meningggal selalu teringat dengan ceritra sang Garuda yang mengandung

simbul kebebasan.

Di atas gambar Garuda yang kita lihat di belakang Padmasana itu, biasanya

kita menjumpai ada hiasan berbentuk angsa. Wujud angsa yang dilukiskan

baik di belakang Padmasana maupun wadah itu selalu berwujud angsa dengan

sayapnya yang mengepak-ngepak.

Menurut lontar “Indik tetandingan” wujud angsa dengan sayap mengepak itu

adalah simbul dari ardha candra windhu dan nada. Kedua sayap yang

mengepak menggambarkan ardha candra, kepala angsa menggambarkan

windu dan mulut atau cocor angsa menggambarkan nada.

Sumber yang lain kita jumpai di dalam Upanisad yang menyebutkan “Atma

yang ingin bersatu dengan Brahman itu seperti burung angsa yang mengepak-

ngepakan sayapnya”. Maka kesimpulannya, lukisan Garuda adalah simbul

manusia yang mencari kebebasan melalui pelepasan terhadap ikatan duniawi,

dan gambar angsa adalah simbul manusia yang ingin kembali kepada Ida Sang

Hyang Widhi, yang juga disebut amoring acintya.

19. FILSAFAT SAD DARSANA

Sad Darśana. Kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna

"melihat", menjadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan".

Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran.

Sad Darśana berarti Enam pandangan tentang kebenaran, yang mana

merupakan dasar dari Filsafat Hindu.

Page 42: Soal Ujian Agama Hindu

1. Samkhya, juga disebut dengan Sankhya adalah salah satu aliran dalam

filsafat Hindu. Para ahli meyakini bahwa ajaran ini berakar dari nilai-nilai

positif atheis. Kemudian Maharsi Kapila, putra Devaguti, membangun ajaran

Samkhya yang bersifat theistik, seperti yang disebutkan dalam

Bhagavatapurana[1].

Samkhya adalah ajaran filsafat tertua dalam filsafat India. Karya sastra

mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di

tulis oleh Īśvarakṛṣṇa sekitar 200 SM. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua

umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra

Śruti, smrti, itihasa dan purana. Saat ini ajaran Samkhya yang murni sudah

tidak eksis lagi, tapi ajaran ini banyak membawa pengaruh pada ajaran Yoga

dan Wedanta.

Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati. Ajaran

Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini

yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling

bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti.

2. Yoga berarti "penyatuan", yang bermakna "penyatuan dengan alam" atau

"penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu dari enam

ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau

tapa di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca

inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan. Masyarakat global umumnya

mengenal Yoga sebagai aktivitas latihan utamanya asana (postur) bagian dari

Hatta Yoga. Yoga juga digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif,

biasanya hal ini dilakukan dengan latihan pernapasan, oleh tubuh dan

meditasi, yang telah dikenal dan dipraktekkan selama lebih dari 5000 tahun.[1]

[2]

Orang yang melakukan tapa yoga disebut yogi, yogin bagi praktisi pria dan

yogini bagi praktisi wanita.

Page 43: Soal Ujian Agama Hindu

Sastra Hindu yang memuat ajaran Yoga, diantaranya adalah Upaishad,

Bhagavad Gita, Yogasutra, Hatta Yoga serta beberapa sastra lainnya.

Klasifikasi ajaran Yoga tertuang dalam Bhagavad Gita, diantaranya adalah

Karma Yoga/Marga, Jnana Yoga/Marga, Bakti Yoga/Marga, Raja

Yoga/Marga.

3. Mimamsa juga disebut dengan adalah salah satu aliran dalam filsafat

Hindu.

Ajaran Mimamsa didirikan oleh Maharsi Jaimini, disebut juga dengan nama

lain Purwa Mimamsa. Kata Mimamsa berarti penyelidikan. Penyelidikan

sistematis terhadap Veda. Mimamsa secara khusus melakukan pengkajian

pada bagian Veda: Brahmana dan Kalpasutra. Sumber ajaran ini tertuang

dalam Jaiminiyasutra. Kitab ini terdiri atas 12 Adhyaya (bab) yang terbagi

kedalam 60 pada atau bagian, yang isinya adalah aturan tata upacara menurut

Veda.

4. Nyaya (Logic), juga disebut dengan adalah salah satu aliran dalam filsafat

Hindu.

Ajaran Nyaya didirikan oleh Maharsi Aksapada Gotama, yang menyusun

Nyayasutra, terdiri atas 5 adhyaya (bab) yang dibagi atas 5 pada (bagian). Kata

Nyaya berarti penelitian analitis dan kritis. Ajaran ini berdasarka pada ilmu

logika, sistematis, kronologis dan analitis.

5.Vaisesika juga disebut dengan adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu.

Ajaran Vaisiseka dipelopori oleh Maharsi Kanada, yang menyusun

Vaisesikasutra. Meskipun sebagai sistem filsafat pada awalnya berdiri sendiri,

namun dalam perkembangannya ajaran ini menjadi satu dengan Nyaya.

6.Wedanta Védānta) adalah salah satu aliran dalam filsafat Hindu. Ajaran

Wedanta sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa, yaitu "penyelidikan yang

Page 44: Soal Ujian Agama Hindu

kedua", karena ajaran ini mengkaji salah satu bagian kitab Weda, yaitu kitab

Upanisad. Kata Wedanta berakar kata dari wedasya dan antah yang berarti "akhir

dari Weda". Sumber ajaran ini adalah kitab Wedantasutra atau dikenal juga

dengan nama Brahmasutra. Pelopor ajaran ini adalah Maharesi Byasa, atau

dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwaipayana.

20. FILOSOFI SAMUDRA, GIRI, PARWATA, NADI DAN WANA

Samudara yang sangat luas dan dalam itu berfilsafat dengan keluasan dan

kedalamannya, dengan kedinamisan gelombangnya, dengan keelokan

panoramanya seiring tiupan angin sejuk menyegarkan.

Dalam keluasan dan kedalamannya, samudera berfilsafat dengan

kemampuannya yang tak terbatas untuk menampung keluh kesah segala

muara. Silakan beribu muara dari setiap sungai menjadi tempat lewat jutaan

kubik air limbah yang keruh dan beracun setiap hari, namun lautan tak pernah

menolaknya. Tak berapa lama setelah air penuh limbah masuk ke rahim

samudera, segenap limbah dengan racun dan kekeruhan itu segera sirna.

Racun-racun itu menjadi netral oleh asinnya garam samudera. Kekeruhan itu

larut dan lenyap ditelan keluasan dan kedalaman samudera.

Permukaan laut begitu indah, keluasannya yang tak bertepi berpadu dengan

lengkung cakrawala, warna-warni awan, pantai yang berkelok-kelok sampai

jauh, nyiur melambai, gerumbul dan kehijauan menjadi panorama elok permai

yang sungguh-sungguh tidak pernah membosankan untuk dipandang.

Permukaan laut begitu indah, namun kedalaman samudera yang mengandung

terumbu karang, kerajaan batu karang dengan ganggang-ganggangnya yang

menari-nari dan milyaran ikan beraneka rupa dan warna, jauh lebih indah lagi.

Sungguh alangkah indahnya jika hati kita pun bisa seluas dan sedalam

samudera. Hati yang demikian ini, dilanda jutaan kubik kata-kata,sikap dan

perbuatan yang mengandung racun, kekeruhan limbah dan polusi fitnah dan

caci maki keji, tetap tidak bergeming, tidak teracuni, bahkan punya

kesanggupan untuk menawarkannya. Bisakah hati kita seluas dan sedalam

Page 45: Soal Ujian Agama Hindu

samudera?

Di samping memiliki panorama elok nian di permukaan dan kedalamannya, di

dasar samudera ada tiram, lokan yang menyimpan mutiara yang sangat

berharga. Ibarat samudera,di dasar jiwa kita pun hendaknya terbentang

mutiara-mutiara akhlak yang memperindah kehidupan.

Seumpama samudera, kuinginkan hatiku selalu sabar dan setia, bisa menjadi

tempat curhatan dan sharing, bisa memberikan solusi atas problem-problem

yang ada. Samudera tak pernah diam melantunkan gita persaudaraan.

Samudera dengan dinamis gelombangnya dengan kecipak ombaknya yang tak

pernah henti memeluki pesisir landai, tak kunjung henti mencapai pantai yang

berkelok-kelok, tak pernah diam, akan selalu menyapamu, melantunkan salam

padamu.

Samudara yang sangat luas dan dalam itu berfilsafat dengan keluasan dan

kedalamannya, dengan kedinamisan gelombangnya, dengan keelokan

panoramanya seiring tiupan angin sejuk menyegarkan.

Dalam keluasan dan kedalamannya, samudera berfilsafat dengan

kemampuannya yang tak terbatas untuk menampung keluh kesah segala

muara. Silakan beribu muara dari setiap sungai menjadi tempat lewat jutaan

kubik air limbah yang keruh dan beracun setiap hari, namun lautan tak pernah

menolaknya. Tak berapa lama setelah air penuh limbah masuk ke rahim

samudera, segenap limbah dengan racun dan kekeruhan itu segera sirna.

Racun-racun itu menjadi netral oleh asinnya garam samudera. Kekeruhan itu

larut dan lenyap ditelan keluasan dan kedalaman samudera.

Permukaan laut begitu indah, keluasannya yang tak bertepi berpadu dengan

lengkung cakrawala, warna-warni awan, pantai yang berkelok-kelok sampai

jauh, nyiur melambai, gerumbul dan kehijauan menjadi panorama elok permai

yang sungguh-sungguh tidak pernah membosankan untuk dipandang.

Permukaan laut begitu indah, namun kedalaman samudera yang mengandung

terumbu karang, kerajaan batu karang dengan ganggang-ganggangnya yang

menari-nari dan milyaran ikan beraneka rupa dan warna, jauh lebih indah lagi.

Sungguh alangkah indahnya jika hati kita pun bisa seluas dan sedalam

Page 46: Soal Ujian Agama Hindu

samudera. Hati yang demikian ini, dilanda jutaan kubik kata-kata,sikap dan

perbuatan yang mengandung racun, kekeruhan limbah dan polusi fitnah dan

caci maki keji, tetap tidak bergeming, tidak teracuni, bahkan punya

kesanggupan untuk menawarkannya. Bisakah hati kita seluas dan sedalam

samudera?

Di samping memiliki panorama elok nian di permukaan dan kedalamannya, di

dasar samudera ada tiram, lokan yang menyimpan mutiara yang sangat

berharga. Ibarat samudera,di dasar jiwa kita pun hendaknya terbentang

mutiara-mutiara akhlak yang memperindah kehidupan.

Seumpama samudera, kuinginkan hatiku selalu sabar dan setia, bisa menjadi

tempat curhatan dan sharing, bisa memberikan solusi atas problem-problem

yang ada. Samudera tak pernah diam melantunkan gita persaudaraan.

Samudera dengan dinamis gelombangnya dengan kecipak ombaknya yang tak

pernah henti memeluki pesisir landai, tak kunjung henti mencapai pantai yang

berkelok-kelok, tak pernah diam, akan selalu menyapamu, melantunkan salam

padamu.

Lontar Tantu Pangelaran menyiratkan bahwa gunung (giri, meru, parwata)

memberikan kerahayuan (amreta) kepada manusia yang hidup di kaki dan

datarannya. Selain itu, gunung merupakan pusat orientasi kesucian bagi umat

Hindu, gunung-gunung dipandang sebagai satu kesatuan sehingga muncul

konsepsi panca-giri. Kitab-kitab yang mengajarkan ajaran yoga, pertama-tama

menguraikan tentang Gunung Mahameru sebagai tempat Sthana Hyang Siwa

yang digambarkan sebagai pusat padma dunia raya. Bagi seorang sadhaka,

gunung itu terletak di sahasrara padma, di kepala manusia, tempat Hyang Siwa

menurunkan ajaran-ajaranNya yang kemudian dicatat dalam berbagai Yamala,

Damara, Siwasutra, dan Kitab Tantra dalam bentuk tanya jawab (dialogic

catekismus) antara Hyang Siwa dengan SaktiNya Dewi Parwati. Gunung dalam a!

am sakala maupun niskala sangat penting bagi umat Hindu, dipandang sebagai

lingga-acala, lingga yang tidak bergerak. Karena gunung yang tertinggi

(Mahameru. Gunung Agung) dinyatakan berada di pusat padma dunia, maka

gunung-gunung yang lain menempati posisi dik-widik. Dunia atau wilayah yang

Page 47: Soal Ujian Agama Hindu

lebih kecil digambarkan sebagai bunga padma, disebut padma-bhuwana atau padma-

mandala sehingga dalam konteks Bali, Gunung Agung menempati posisi di tengah

padma-mandala. Gunung Lempuyang di Timur, Gunung Andakasa di Selatan,

Gunung Batukaru di Barat, dan Gunung Batur di Utara. Di tempat tersebut

didirikan pura atau tempat suci utama, menempati posisi dik, sementara yang

menempati posisi widik adalah Pura Gua Lawah di Tenggara, Pura Luhur Uluwatu

di Baratdaya, Pura Pucak Mangu di Barat Laut. Pura Agung Besakih juga

menempati posisi Timur Laut (Airsanya). Pura yang biasa disebut Sad-Kahyangan

tersebut merupakan kesatuan. bagaikan sebuah bunga padma dengan delapan

helainya (dala) yang menunjuk delapan penjuru, dengan sarinya berada di tengah.

Pada sari bunga padma yang suci itu didirikan Padma Agung (Padma Tiga) yang

merupakan Linggih Beliau sebagai Paramashva, Sadasiwa, dan Siwa. Sementara

itu, Pura Panataran Agung Besakih masih memiliki dala pada posisi dik, masing-

masing Pura Gelap (Timur, Sadyojata, atau Iswara), Pura Kiduling Kreteg

(Selatan, Bhamadewa ahui Brahma), Pura Ulun Kulkul (Barat, Tatpurusa atau

Mahadewa), Pura Batu Madeg (Ulara. Aghora atau Wisnu) yang disebut Pura

Catur Lokaphala atau Catur-Dala. Secara holistik, maka Padma Tiga Pura

Penataran Agung Besakih, pertama-tama disangga oleh pura catur-dala, selanjutnya

ditopang lagi oleh pura Sad Kahyangan (pura utama) yang terletak di delapan

penjuru Pulau Bali atau asta-dala. Pura Kahyangan Jagat yang didirikan di seluruh

Nusantara dapat berfungsi sebagai sahasra-dala, seribu kelopak bunga padma.

21. MAHA PURANA DAN UPA PURANA

Purana-purana adalah kitab yang berisi cerita-cerita keagamaan yang

menjelaskan tentang kebenaran. Sama seperti cerita kiasan (parabel) yang

dikisahkan oleh Jesus Kristus, kisah-kisah ini diceritakan kepada orang

kebanyakan supaya mereka mengerti kebenaran-kebenaran dari kehidupan

yang lebih tinggi. Misteri alam semesta diungkapkan kepada orang-orang

yang secara spiritual sudah bangun tapi kepada yang lain misteri-misteri itu

harus dijelaskan dalam cerita kiasan Berdasarkan catatan ini, Purana-Purana

Page 48: Soal Ujian Agama Hindu

itu dapat dikatakan Weda-Weda dari orang kebanyakan, karena kitab-kitab itu

menyajikan seluruh misteri melalui mitos dan legenda. Kata Purana berarti

"purba" (ancient). Purana-Purana itu selalu menekankan bhakti kepada Tuhan.

Hampir semua Purana berkaitan dengan penciptaan dan penghancuran alam

semesta, garis keturunan atau asal-usul (genealogi) dari dewa-dewa dan para

orang suci, dan rincian mengenai dinasti Bulan (Lunar) dan Matahari (Solar).

Beberapa dari Purana-Purana itu, seperti Mahabbhagawatam, mempunyai

penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang sama seperti Kitab

Wahyu dalam Injil. Diantara sejumlah besar Purana-Purana itu, delapan belas

disebut Purana Besar atau Maha Purana. Masing-masing dari padanya

menyediakan satu daftar dari kedelapan belas Purana termasuk dirinya sendiri,

tapi nama-nama dalam daftar itu dalam beberapa Purana sedikit bervariasi,

oleh karena itu kita mempunyai satu daftar dari duapuluh Maha Purana. Dari

duapuluh Purana ini, enam ditujukan kepada Wishnu, enam kepada Siwa dan

enam kepada Brahma. Purana-Purana ini ditulis dalam bentuk "tanya jawab."

Mereka umumnya berisi kisah-kisah mengenai Dewa dan Dewi Hindu,

mahluk supernatural, orang suci dan manusia biasa. Purana-Purana ini tidak

memiliki catatan waktu kapan ia ditulis, tapi beberapa orang mengatakan

Purana-Purana itu ditulis mulai abad enam. Enam Purana yang ditujukan

kepada Wishnu adalah Wishnu Purana, Narada Purana, Srimad Bhawata

Purana, Garuda Purana, Padma Purana dan Waraha Purana.

Enam Purana yang ditujukan kepada Siwa adalah Matsya Purana, Kurma

Purana, Lingga purana, Wayu Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.

Enam Purana yang ditujukan kepada Brahma adalah Brahma Purana,

Brahmanda Purana, Brahma-Waiwaswata atau Brahma-Waiwarta Purana,

Markandeya Purana, Bhawishya Purana dan Wamana Purana.

Menurut banyak orang, Siwa (atau Saiwa atau Dewi-Bhagawata) Purana dan

Hariwamsa Purana adalah juga termasuk Maha Purana, sekalipun mereka

tidak termasuk dalam daftar dari delapan belas Maha Purana (Major Purana).

Ya memang. Purana kecil (Minor Purana) dikenal sebagai Upa Purana.

Percaya atau tidak, ada paling sedikit duapuluh Purana Kecil. Mereka adalah :

Page 49: Soal Ujian Agama Hindu

Aditya, Ascharya, Ausanasa, Bhaskara (Surya), Dewi, Saiwa (beberapa

menyebut ini Purana Besar), Durwasa, Kalika, Kalki, Kapila, Mahaswara,

Manawa, Marichi, Nandikeswara, Narada, Narasimha, Parasara, Samba,

Sanathkumara, Siwadharma, Surya, Suta-Samhita, Usanas, Waruna, Yuga,

Waya dan Wrihan. Aku yakin sekali bahwa daftar yang saya berikan

kepadamu tidak lengkap. Mungkin masih ada Purana dalam agama Hindu

yang tidak diketahui bahkan oleh rasul atau pemikir doktrin Hindu.

kitab suci yang penting bagi orang Hindu dan khususnya bagi para bhakta

Hare Krishna. Ia berisi 18,000 sloka. Ia mempunyai dua belas bab yang

disebut Skanda. Ia ditulis oleh Reshi Badarayana, yang juga dikenal sebagai

Veda Vyasa. Tokoh paling penting dari Srimad Bhawatam adalah Reshi Suka,

putra dari Veda Vyasa. Buku ini dibacakan kepada Raja Parikshit, dinasti

terakhir dari Pandawa, oleh Reshi Suka satu minggu sebelum kematian raja

karena gigitan ular yang telah diramalkan. Sebagian besar isi dari buku ini

merupakan dialog antara Raja Parikshit dengan Reshi Suka.

Srimad Bhagawatam memuat kisah-kisah seluruh Awatara dari Wishnu. Bab

sepuluh dari buku ini memuat kisah Krishna secara rinci. Bab terakhir secara

khusus menjelaskan mengenai Kali Yuga, zaman sekarang, dan Awatara

terakhir dari Wishnu yaitu, Kalki. Disini juga ada gambaran yang sangat jelas

mengenai Pralaya, atau Banjir Besar Buku ini merupakan sumber penting bagi

Sekte Waisnawa dan, seperti telah kukatakan sebelumnya, buku ini

merupakan kitab suci yang amat penting bagi pengikut Hare Krishna.

Menurut Srimad Bhawatam, alam semesta ini menjadi ada karena Tuhan

menghendakinya sebagai permainan atau Lila. Seorang pemuja yang sudah

tercerahkan (a realized devotee) melihat dirinya sendiri dan seluruh mahluk

sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan. Menurut kitab suci ini, ada

sembilan cara berbeda untuk menunjukkan bhakti kepada Tuhan, seperti

mendengarkan kisah-kisah tentang Tuhan, meditasi, melayani, dan akhirnya

penyerahan diri kepada kehendak Tuhan.

Page 50: Soal Ujian Agama Hindu

22. GANESHA

Ganesa (Sanskerta गणे�श ; ganeṣa dengarkan (bantuan·info)) adalah salah

satu dewa terkenal dalam agama Hindu dan banyak dipuja oleh umat Hindu,

yang memiliki gelar sebagai Dewa pengetahuan dan kecerdasan, Dewa

pelindung, Dewa penolak bala/bencana dan Dewa kebijaksanaan. Lukisan dan

patungnya banyak ditemukan di berbagai penjuru India; termasuk Nepal,

Tibet dan Asia Tenggara. Dalam relief, patung dan lukisan, ia sering

digambarkan berkepala gajah, berlengan empat dan berbadan gemuk. Ia

dikenal pula dengan nama Ganapati, Winayaka dan Pilleyar. Dalam tradisi

pewayangan, ia disebut Bhatara Gana, dan dianggap merupakan salah satu

putera Bhatara Guru (Siwa). Berbagai sekte dalam agama Hindu memujanya

tanpa mempedulikan golongan. Pemujaan terhadap Ganesa amat luas hingga

menjalar ke umat Jaina, Buddha, dan di luar India.[1]

Meskipun ia dikenal memiliki banyak atribut, kepalanya yang berbentuk gajah

membuatnya mudah untuk dikenali. Ganesa mahsyur sebagai "Pengusir segala

rintangan" dan lebih umum dikenal sebagai "Dewa saat memulai pekerjaan"

dan "Dewa segala rintangan" (Wignesa, Wigneswara), "Pelindung seni dan

ilmu pengetahuan", dan "Dewa kecerdasan dan kebijaksanaan". Ia dihormati

saat memulai suatu upacara dan dipanggil sebagai pelindung/pemantau tulisan

saat keperluan menulis dalam upacara.[2] Beberapa kitab mengandung anekdot

mistis yang dihubungkan dengan kelahirannya dan menjelaskan ciri-cirinya

yang tertentu.

Ganesa muncul sebagai dewa tertentu dengan wujud yang khas pada abad ke-4

sampai abad ke-5 Masehi, selama periode Gupta, meskipun ia mewarisi sifat-sifat

pelopornya pada zaman Weda dan pra-Weda.[3] Ketenarannya naik dengan cepat,

dan ia dimasukkan di antara lima dewa utama dalam ajaran Smarta (sebuah

denominasi Hindu) pada abad ke-9. Sekte para pemujanya yang disebut

Ganapatya, (Sanskerta: ग�णेपत्य; gāṇapatya), yang menganggap Ganesa sebagai

dewa yang utama, muncul selama periode itu.[4] Kitab utama yang didedikasikan

Page 51: Soal Ujian Agama Hindu

untuk Ganesa adalah Ganesapurana, Mudgalapurana, dan Ganapati

Atharwashirsa.

Etimologi dan nama lain

Ganesa memiliki banyak gelar dan nama pujian, termasuk Ganapati dan

Wigneswara. Gelar dalam agama Hindu yang dipakai sebagai penghormatan,

yaitu Sri (Sanskerta: श्री; śrī, juga dieja Shri atau Shree) seringkali ditambahkan di

depan namanya. Salah satu cara yang terkenal dalam memuja Ganesa adalah

dengan menyanyikan Ganesa Sahasranama, sebuah doa pengucapan "seribu

nama Ganesa". Setiap nama dalam sahasranama mengandung arti berbeda-beda

dan melambangkan berbagai aspek dari Ganesa. Sekurang-kurangnya ada dua

versi Ganesa Sahasranama; salah satu versi diambil dari Ganeshapurana, yaitu

sastra Hindu untuk menghormati Ganesa.

Nama Ganesa adalah sebuah kata majemuk dalam bahasa Sanskerta, terdiri dari

kata gana (Sanskerta: गणे; gaṇa), berarti kelompok, orang banyak, atau sistem

pengelompokan, dan isha (Sanskerta: ईश; īśa), berarti penguasa atau pemimpin.[5]

Kata gana ketika dihubungkan dengan Ganesa seringkali merujuk kepada para

gana, pasukan makhluk setengah dewa yang menjadi pengikut Siwa.[6] Istilah itu

secara lebih umum berarti golongan, kelas, komunitas, persekutuan, atau

perserikatan.[7] Ganapati (Sanskerta: गणेपति  ; gaṇapati), nama lain Ganesa,

adalah kata majemuk yang terdiri dari kata gana, yang berarti "kelompok", dan

pati, berarti "pengatur" atau "pemimpin".[7] Kitab Amarakosha, yaitu kamus

bahasa Sanskerta, memiliki daftar delapan nama lain Ganesa: Winayaka,

Wignaraja (sama dengan Wignesa), Dwaimatura (yang memiliki dua ibu),

Ganadipa (sama dengan Ganapati dan Ganesa), Ekadanta (yang memiliki satu

gading), Heramba, Lambodara (yang memiliki perut bak periuk, atau, secara

harfiah, yang perutnya bergelayutan), dan Gajanana (yang bermuka gajah).[8]

Winayaka (Sanskerta: ति�ना�यक ; vināyaka) adalah nama umum bagi Ganesa yang

muncul dalam kitab-kitab Purana Hindu dan Tantra agama Buddha.[9] Nama ini

Page 52: Soal Ujian Agama Hindu

mencerminkan sebutan terhadap delapan kuil Ganesa yang terkenal di

Maharashtra yang mahsyur sebagai astawinayaka. Nama Wignesa (Sanskerta:

ति�घ्ना�श; vighneśa) dan Wigneswara (Sanskerta: ति�घ्ना�श्वर; vighneśvara) (Penguasa

segala rintangan) merujuk kepada tugas utamanya dalam mitologi Hindu sebagai

pencipta sekaligus penyingkir segala rintangan (vighna).

Nama yang mahsyur bagi Ganesa dalam bahasa Tamil adalah Pille atau Pilleyar

("anak kecil"). A. K. Narain membedakan arti istilah-istilah tersebut dengan

mengatakan bahwa pille berarti seorang "anak" sementara pilleyar berarti seorang

"anak yang mulia". Dia menambahkan bahwa kata pallu, pella, dan pell dalam

bahasa-bahasa rumpun Dravida berarti "gigi atau gading gajah", namun lebih

lazim diartikan "gajah".[10] Seorang penulis buku yang bernama Anita Raina

Thapan menambahkan bahwa akar kata pille pada nama Pillaiyar mungkin

aslinya berarti "gajah muda", karena kata pillaka dalam bahasa Pali berarti "gajah

muda".[11]

Penggambaran

Ganesa adalah figur yang terkenal dalam kesenian India. Citra tentang Ganesa

menjamur di berbagai penjuru India sekitar abad ke-6.[12] Tidak seperti dewa-dewi

lainnya, penggambaran sosok Ganesa memiliki berbagai variasi yang luas dan

pola-pola berbeda yang berubah dari waktu ke waktu. Dia kadangkala

digambarkan berdiri, menari, beraksi dengan gagah berani melawan para iblis,

bermain bersama keluarganya sebagai anak lelaki, duduk di bawah, atau bersikap

manis dalam suatu keadaan.

Biasanya Ganesa digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Patungnya

memiliki empat lengan, yang merupakan penggambaran utama tentang Ganesa.

Dia membawa patahan gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa

kudapan manis, yang ia comot dengan belalainya, pada tangan kiri bawah. Motif

Ganesa yang belalainya melengkung tajam ke kiri untuk mencicipi manisan pada

tangan kiri bawahnya adalah ciri-ciri yang utama dari zaman dulu. Patung yang

Page 53: Soal Ujian Agama Hindu

lebih primitif di Gua Ellora dengan ciri-ciri umum tersebut, ditaksir berasal dari

abad ke-7.[13] Dalam perwujudan yang biasa, Ganesa digambarkan memegang

sebuah kapak atau angkus pada tangan sebelah atas dan sebuah jerat pada tangan

atas lainnya.

Pengaruh unsur-unsur kuno dalam susunan penggambaran tersebut masih bisa

diamati dalam penggambaran Ganesa secara kontemporer. Dalam sebuah

penggambaran modern, satu-satunya variasi terhadap unsur-unsur kuno adalah

tangan kanan bawah Ganesa tidak memegang patahan gading namun seolah-olah

terarah ke mata pengamat dengan gerak tangan yang melambangkan perlindungan

atau penyingkir ketakutan (abhaya mudra).[14] Kombinasi yang sama terhadap

empat lengan dan atribut, muncul pada patung Ganesa yang sedang menari, yang

merupakan tema terkenal.

Atribut umum

Ganesa digambarkan berkepala gajah semenjak awal kemunculannya dalam

kesenian India.[15] Mitologi dalam Purana memberi beberapa penjelasan mengenai

kejadian yang menyebabkannya berkepala gajah. Salah satu perwujudannya yang

terkenal, yakni Heramba-Ganapati, memiliki lima kepala gajah, dan variasi kecil

lainnya pada jumlah kepala diketahui. Sementara beberapa kitab mengatakan

bahwa Ganesa terlahir dengan kepala gajah, pada cerita yang terkenal dikatakan

bahwa ia memperoleh kepala gajah di kemudian hari. Motif utama yang terulang

dalam cerita-cerita tersebut adalah bahwa Ganesa lahir dengan tubuh dan kepala

manusia, kemudian Siwa memenggalnya ketika Ganesa mencampuri urusan

antara Siwa dan Parwati. Kemudian Siwa mengganti kepala asli Ganesa dengan

kepala gajah. Detail kisah pertempuran dan penggantian kepala, memiliki

beragam versi menurut sumber yang berbeda-beda. Dalam kitab

Brahmawaiwartapurana terdapat kisah yang cukup menarik. Saat Ganesa lahir,

ibunya, Parwati, menunjukkan bayinya yang baru lahir ke hadapan para dewa.

Tiba-tiba, Dewa Sani (Saturnus), yang konon memiliki mata terkutuk,

memandang kepala Ganesa sehingga kepala si bayi terbakar menjadi abu. Dewa

Page 54: Soal Ujian Agama Hindu

Wisnu datang menyelamatkan dan mengganti kepala yang lenyap dengan kepala

gajah. Kisah lain dalam kitab Warahapurana mengatakan bahwa Ganesa tercipta

secara langsung oleh tawa Siwa. Karena Siwa merasa Ganesa terlalu memikat

perhatian, ia memberinya kepala gajah dan perut buncit.

Nama Ganesa pada mulanya adalah Ekadanta (satu gading), merujuk kepada

gadingnya yang utuh hanya berjumlah satu, sedangkan yang lainnya patah.

Beberapa citra menunjukkan ia sedang membawa patahan gadingnya. Hal penting

di balik penampilan khusus ini dikandung dalam kitab Mudgalapurana, yang

mengatakan bahwa nama penjelmaan Ganesa yang kedua adalah Ekadanta. Perut

buncit Ganesa muncul sebagai ciri-ciri khusus pada kesenian patung sejak zaman

dulu, yang ditaksir sejak periode Gupta (sekitar abad IV-VI).[16] Penampilan ini

amat penting, karena menurut Mudgalapurana, dua penjelmaan Ganesa yang

berbeda memakai nama yang diambil dari Lambodara (perut buncit, atau, secara

harfiah, perut bergelantungan) dan Mahodara (perut besar).[17] Kedua nama

tersebut merupakan kata majemuk dalam bahasa Sanskerta yang melukiskan

bagaimana keadaan perutnya. Kitab Brahmandapurana mengatakan bahwa

Ganesa bernama Lambodara karena segala semesta (yaitu "telur alam semesta";

IAST: brahmāṇḍa) di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang ada di dalam

tubuhnya. Jumlah lengan Ganesa bervariasi; wujudnya yang terkenal memiliki

sekitar dua sampai enam belas lengan.[18] Banyak penggambaran tentang Ganesa

yang menampilkan ia bertangan empat, yang telah disebut dalam Purana dan

ditetapkan sebagai wujud standar dalam beberapa kitab tentang ikonografi.

Wujudnya pada masa awal memiliki dua lengan.[19] Wujud dengan 14 dan 20

lengan muncul di India Tengah selama abad ke-9 dan abad ke-10.[20] Ular adalah

tampilan yang umum dalam penggambaran tentang Ganesa dan muncul dalam

beragam bentuk.[21] Menurut Ganesapurana, Ganesa melilitkan ular Basuki di

lehernya. Penggambaran lain tentang ular meliputi kegunaannya sebagai benang

suci (IAST: yajñyopavīta) yang dililitkan melingkari perut sebagai sabuk,

dipegang di tangan, dililitkan di pergelangan kaki, atau dipakai sebagai mahkota.

Pada dahi Ganesa kemungkinan ada mata ketiga atau simbol sekte Siwa

Page 55: Soal Ujian Agama Hindu

(Sanskerta: tilaka), yang berupa tiga garis mendatar. Ganeshapurana mengatakan

bahwa tanda tilaka sama saja dengan bulan sabit pada dahi kepala. Wujud tertentu

dari Ganesa yang disebut Bhalachandra (IAST: bhālacandra; "Bulan di dahi")

memasukkan unsur penggambaran tersebut. Namun warna lain yang spesifik

dihubungkan dengan wujud tertentu.[22] Beberapa contoh mengenai hubungan

warna dengan gerakan meditasi tertentu dinyatakan dalam Sritattvanidhi, sebuah

buku tentang ikonografi dalam Hinduisme. Sebagai contoh, putih dihubungkan

dengan wujud Ganesa sebagai Heramba-Ganapati dan Rina-Mochana-Ganapati

(Ganapati yang membebaskan dari belenggu). Ekadanta-Ganapati digambarkan

berwarna biru selama bermeditasi dalam wujud itu.

Wahana

Citra Ganesa pada mulanya tidak disertai dengan wahana (tunggangan).[23] Pada

delapan penjelmaan Ganesa yang dinyatakan dalam Mudgalapurana, Ganesa lima

kali menggunakan tikus dalam lima penjelmaannya, menggunakan singa saat

menjelma sebagai Wakratunda, seekor merak saat menjelma sebagai Wikata, dan

menggunakan Sesa, naga ilahi, dalam penjelmaannya sebagai Wignaraja. Pada

empat penjelmaan Ganesa yang terdaftar dalam Ganesapurana, Mohotkata

menunggangi singa, Mayureswara menunggangi merak, Dumraketu menunggangi

kuda, dan Gajanana menunggangi tikus. Dalam pandangan agama Jaina terhadap

Ganesa, wahananya ada bermacam-macam, seperti misalnya tikus, gajah, penyu,

domba, atau merak.[24]

Ganesa seringkali digambarkan menunggangi atau diantar oleh seekor tikus.

Martin-Dubost mengatakan bahwa tikus muncul sebagai wahana yang utama

dalam sastra tentang Ganesa, di wilayah India Tengah dan Barat selama abad ke-

7; tikus juga selalu ditempatkan dekat dengan kakinya. Tikus sebagai wahana

muncul pertama kali dalam kitab Matsyapurana dan kemudian dalam

Brahmandapurana dan Ganesapurana, dimana Ganesa menggunakannya sebagai

kendaraan hanya pada inkarnasi terakhirnya. Ganapati Atharwashirsa

mengandung sloka tentang Ganesa yang menyatakan bahwa gambar tikus terdapat

Page 56: Soal Ujian Agama Hindu

dalam benderanya. Nama Musakawahana (berwahana tikus) dan Akuketana

(berbendera tikus) muncul dalam Ganesa Sahasranama.

Tikus ditafsirkan dalam berbagai pengertian. Seorang penulis buku tentang

Ganesa bernama John A. Grimes telah menafsirkan makna tikus sebagai atribut

Ganesa. Michael Wilcockson mengatakan bahwa tikus melambangkan orang-

orang yang ingin mengatasi keinginan dan mengurangi sifat egois. [25] Yuvraj

Krishan, seorang penulis buku Ganesa, mengatakan bahwa tikus itu bersifat

merusak dan mengancam pertanian. Kata Sanskerta mūṣaka (tikus) diambil dari

akar kata mūṣ (mencuri, merampok). Merupakan hal yang penting untuk

menaklukkan tikus sebagai hama penghancur, sejenis wighna (rintangan) yang

perlu untuk diatasi. Jadi menurut teori tersebut, Ganesa sebagai penguasa tikus

menunjukkan fungsinya sebagai Wigneswara (dewa segala rintangan) dan

memberi bukti terhadap perannya sebagai grāmata-devatā (dewa pedesaan) bagi

rakyat yang kemudian meningkat kemuliaannya.[26] Paul Martin-Dubost yang juga

pernah menulis buku tentang Ganesa memberi sebuah pandangan bahwa tikus

adalah simbol yang memberi sugesti bahwa Ganesa, seperti halnya tikus, mampu

menembus bahkan memasuki tempat-tempat rahasia.[27]

Asosiasi

Rintangan

Ganesa adalah Wigneswara atau Wignaraja, dewa segala rintangan, baik yang

bersifat material maupun spiritual. Ia mahsyur dipuja sebagai penyingkir segala

rintangan, meski ia juga memasang rintangan pada umatnya yang perlu diberi

cobaan. Paul Courtright mengatakan, "pekerjaannya adalah menempatkan dan

menyingkirkan rintangan. Itu merupakan kekuasaannya yang utama..."[28]

Yuvraj Krishan menyatakan bahwa beberapa nama Ganesa mencerminkan

perannya yang berkembang dari waktu ke waktu.[29] M. K. Dhavalikar

beranggapan bahwa karena cepatnya ketenaran Ganesa di antara dewi-dewi

Hindu, dan kemunculan para Ganapatya, sehingga ada perubahan tekanan suara

Page 57: Soal Ujian Agama Hindu

dari wignakartā (pencipta rintangan) menjadi wignahartā (penyingkir rintangan).[30] Bagaimana pun, dua fungsi tersebut menjadi amat penting dalam karakter

Ganesa, seperti yang dijelaskan Robert Brown, "bahkan setelah Ganesa dalam

Purana digambarkan dengan baik, Ganesa meninggalkan banyak hal-hal penting

untuk peran gandanya sebagai pencipta dan penyingkir rintangan, sehingga

memiliki aspek negatif maupun positif.".[31]

Buddhi

Ganesa dianggap sebagai Dewa Aksara dan Pelajaran. Dalam bahasa Sanskerta,

kata buddhi adalah kata benda feminin yang banyak diterjemahkan menjadi

kecerdasan, kebijaksanaan, atau akal.[32] Konsep buddhi erat dikaitkan dengan

kepribadian Ganesa, khususnya pada zaman Purana, ketika banyak kisah

menonjolkan kepintarannya dan cinta terhadap kecerdasan. Salah satu nama

Ganesa dalam Ganeshapurana dan Ganesa Sahasranama adalah Buddhipriya.

Nama ini juga muncul dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa Sahasranama yang

menurut Ganesa amat penting. Kata priya bisa berarti "yang tercinta", dan dalam

konteks suami-istri bisa berarti "kekasih" atau "suami",[33] maka nama

Buddhipriya bisa saja berarti "Yang dicintai oleh kecerdasan" atau "Suami

Buddhi".[34]

Aum

Ganesa diidentikkan dengan mantra Aum dalam agama Hindu (Simbol: ॐ, juga

dieja 'Om'). Istilah oṃ(ng)kāraswarūpa (Aum adalah wujudnya), ketika

diidentikkan dengan Ganesa, merujuk pada sebuah pemahaman bahwa ia

menjelma sebagai bunyi yang utama.[35] Kitab Ganapati Atharwashirsa memberi

penjelasan mengenai hubungan ini. Swami Chinmayananda menerjemahkan

pernyataan yang relevan berikut ini:

(O Hyang Ganapati!) Engkaulah (Tritunggal) Brahma, Wisnu, dan Mahesa.

Engkaulah Indra. Engakulah api (Agni) dan udara (Bayu). Engkaulah matahari

Page 58: Soal Ujian Agama Hindu

(Surya) dan bulan (Candrama). Engkaulah Brahman. Engkaulah (tiga dunia)

Bhuloka [bumi], Antariksa-loka [luar angkasa], dan Swargaloka [sorga].

Engkaulah Om. (Itu sebagai tanda, bahwa Engkaulah segala hal tersebut).[36]

Beberapa pemuja melihat kesamaan antara lekukan tubuh Ganesa dalam

penggambaran umum dengan bentuk simbol Aum dalam aksara Dewanagari dan

Tamil.[37]

Cakra pertama

Menurut Kundalini yoga, Ganesa menempati cakra pertama, yang disebut

muladhara. Mula berarti "asal, utama"; adhara berarti "dasar, pondasi". Cakra

muladhara adalah hal penting yang merupakan manifestasi atau pelebaran pokok-

pokok kekuatan ilahi yang terpendam.[38] Hubungan Gansea dengan hal ini juga

diterangkan dalam Ganapati Atharwashirsa. Courtright menerjemahkan

pernyataan sebagai berikut: "[O Ganesa,] Engkau senantiasa menempati urat

sakral di pondasi tulang punggung [mūlādhāra cakra]."[39] Maka dari itu, Ganesa

memiliki kediaman tetap dalam setiap makhluk yang terletak pada Muladhara.

Ganesa memegang, menopang dan memandu cakra-cakra lainnya, sehingga ia

mengatur kekuatan yang mendorong cakra kehidupan.[38]

Mitologi

Kelahiran

Meski Ganesa terkenal sebagai putera dari Siwa dan Parwati, mitos-mitos dalam

Purana memiliki ketidakpastian mengenai kelahirannya. Dia bisa saja diciptakan

oleh Siwa, atau oleh Parwati, atau oleh Siwa dan Parwati, atau muncul secara

misterius dan ditemukan oleh Siwa dan Parwati. Terdapat berbagai versi

mengenai kelahiran Ganesa, namun kisah yang paling terkenal berasal dari kitab

Siwapurana.

Page 59: Soal Ujian Agama Hindu

Dalam kitab Siwapurana dikisahkan, suatu ketika Parwati (istri Dewa Siwa) ingin

mandi. Karena tidak ingin diganggu, ia menciptakan seorang anak laki-laki. Ia

berpesan agar anak tersebut tidak mengizinkan siapapun masuk ke rumahnya

selagi Dewi Parwati mandi dan hanya boleh melaksanakan perintah Dewi Parwati

saja. Perintah itu dilaksanakan sang anak dengan baik.

Alkisah ketika Dewa Siwa hendak masuk ke rumahnya, ia tidak dapat masuk

karena dihadang oleh anak kecil yang menjaga rumahnya. Bocah tersebut

melarangnya karena ia ingin melaksanakan perintah Parwati dengan baik. Siwa

menjelaskan bahwa ia suami Parwati dan rumah yang dijaga si bocah adalah

rumahnya juga. Namun sang bocah tidak mau mendengarkan perintah Siwa,

sesuai dengan perintah ibunya untuk tidak mendengar perintah siapapun.

Akhirnya Siwa kehabisan kesabarannya dan bertarung dengan anaknya sendiri.

Pertarungan amat sengit sampai akhirnya Siwa menggunakan Trisulanya dan

memenggal kepala si bocah. Ketika Parwati selesai mandi, ia mendapati

puteranya sudah tak bernyawa. Ia marah kepada suaminya dan menuntut agar

anaknya dihidupkan kembali. Siwa sadar akan perbuatannya dan ia menyanggupi

permohonan istrinya.

Atas saran Brahma, Siwa mengutus abdinya, yaitu para gana, untuk memenggal

kepala makhluk apapun yang dilihatnya pertama kali yang menghadap ke utara.

Ketika turun ke dunia, gana mendapati seekor gajah sedang menghadap utara.

Kepala gajah itu pun dipenggal untuk mengganti kepala Ganesa. Akhirnya

Ganesa dihidupkan kembali oleh Dewa Siwa dan sejak itu diberi gelar Dewa

Keselamatan.

Keluarga dan istri

Dalam keluarga Ganesa ada saudaranya yang bernama Skanda, yang juga disebut

Kartikeya, Murugan, dan lain-lain. Perbedaan wilayah memberikan versi berbeda

tentang jenjang kelahiran mereka. Di India Utara, Skanda biasanya dianggap yang

lebih tua, sementara di India Selatan, Ganesa dianggap yang lebih dahulu lahir.

Page 60: Soal Ujian Agama Hindu

Skanda merupakan dewa perang yang mahsyur sekitar tahun 500 SM sampai 600

M, ketika pemujaan terhadapnya berkurang secara signifikan di India Utara.

Seiring dengan memudarnya Skanda, Ganesa mulai berkembang. Beberapa kisah

menceritakan persaingan antara kedua bersaudara tersebut dan bisa saja

mencerminkan ketegangan yang terjadi antar sekte (pemuja Ganesa dan pemuja

Skanda).[40]

Status orangtua Ganesa, subjek pembicaraan yang luas bagi para sarjana,

memiliki beragam versi dalam cerita-cerita mitos. Salah satu pola dalam mitos

mengidentifikasi Ganesa sebagai seorang brahmacarya yang tak menikah.[41]

Pandangan ini biasa terdapat di India Selatan dan di beberapa wilayah India

Utara. Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan konsep Buddhi (kecerdasan),

Siddhi (kekuatan spiritual), dan Riddhi (kemakmuran); tiga kualitas ini

kadangkala dipersonifikasikan sebagai para dewi, yang konon menjadi para istri

Ganesa. Dia bisa juga digambarkan dengan satu pasangan saja atau seorang

pelayan tanpa nama (Sanskerta: daşi). Dalam contoh lain, ia diasosiasikan dengan

dewi kebudayaan dan kesenian, yaitu Saraswati atau Śarda (umumnya di

Maharashtra).[42] Dia juga disangkutpautkan dengan dewi keberuntungan dan

kemakmuran, Laksmi.[43] Contoh lainnya, terutama yang menonjol di wilayah

Benggala, menghubungkan Ganesa dengan pohon pisang, Kala Bo.[44]

Kitab Siwapurana mengatakan bahwa Ganesa memiliki dua putera: Ksema

(kemakmuran) dan Laba (keuntungan). Menurut kisah versi India Utara,

puteranya seringkali disebut Suba (keselamatan) dan Laba. Film berbahasa Hindi

tahun 1975 berjudul Jai Santoshi Maa menampilkan Ganesa yang menikahi

Riddhi dan Siddhi lalu memiliki puteri bernama Santoshi Ma, dewi kepuasan.

Kisah ini tidak memiliki dasar dari kitab Purana.[45]

Pemujaan dan festival

Ganesa banyak dipuja saat acara kerohanian maupun kegiatan sehari-hari;

khususnya saat mulai berniaga seperti misalnya membeli kendaraan atau memulai

Page 61: Soal Ujian Agama Hindu

bisnis. K.N. Somayaji berkata, "jarang ada rumah (Hindu di India) yang tidak

memiliki arca Ganapati. [..] Ganapati, sebagai dewa yang termahsyur di India,

dipuja oleh hampir seluruh kasta dan di seluruh penjuru negara".[46] Pemujanya

percaya bila Ganesa dibuat senang, ia akan memberi kesuksesan, kemakmuran

dan perlindungan terhadap bencana.

Ganesa bukan dewa bagi sekte tertentu, dan umat Hindu dari seluruh denominasi

memanggil namanya saat memulai persembahyangan, memulai usaha yang

penting, dan upacara keagamaan. Penari dan musisi, khususnya di India Selatan,

memulai pertunjukkan seni seperti misalnya tari Bharatnatyam dengan terlebih

dahulu memuja Ganesa. Mantra-mantra seperti misalnya Om Shri Gaṇeshāya

Namah (Om, hormat pada Hyang Ganesa yang mahsyur-mulia) seringkali

dipakai. Salah satu mantra paling terkenal yang diasosiasikan dengan Ganesa

adalah Om Gaṃ Ganapataye Namah.

Pemujanya memberi persembahan berupa manisan seperti misalnya modaka dan

bola-bola kecil manis (laddu). Dia seringkali digambarkan memegang semangkuk

manisan, yang disebut modakapātra. Karena ia diidentifikasikan dengan warna

merah, ia seringkali dipuja dengan pasta cendana merah (raktacandana) atau

bunga merah. Rumput Dūrvā (Cynodon dactylon) dan benda lainnya sering

dipakai dalam memujanya.

Festival yang dikaitkan dengan Ganesa adalah Winayaka caturti (Ganesa Caturti)

pada śuklapakṣa (hari keempat bulan purnama) di bulan bhadrapada

(Agustus/September) dan Ganesa jayanti (ulang tahun Ganesa) dirayakan pada

cathurthī dalam kṛṣṇapakṣa (hari keempat bulan mati) di bulan magha

(Januari/Februari).

Page 62: Soal Ujian Agama Hindu

Ganesa Caturti

Festival tahunan untuk memuja Ganesa yang berlangsung selama sepuluh hari,

dimulai pada Ganesa Caturti, yang jatuh pada akhir bulan Agustus atau awal

September. Festival memuncak pada hari Ananta Caturdasi, ketika arca (murti)

Ganesa dicelupkan ke dalam air. Pada tahun 1893, Lokmanya Tilak mengubah

festival tahunan ini dari perayaan keluarga secara pribadi menjadi acara bagi

masyarakat luas.[47] Ia melakukannya untuk mengatasi kesenjangan antara

golongan Brahmana dan non-Brahmana dan menemukan konteks tak lazim yang

dimaksud untuk membangun akar persatuan di antara mereka, dalam cita-cita

nasional menentang penjajahan Inggris di Maharashtra.[48] Karena Ganesa dipuja

secara luas sebagai "dewa bagi semua orang", Tilak memilihnya sebagai tempat

menampung protes rakyat India terhadap pemerintahan Inggris.[49] Tilak adalah

orang pertama yang memasang citra Ganesa yang besar bagi masyarakat umum di

sebuah paviliun, dan menetapkan tradisi untuk mencelupkan semua citra Ganesa

pada hari kesepuluh.[50] Di masa kini, umat Hindu di penjuru India merayakan

festival Ganapati dengan semangat menyala, meskipun hal itu paling populer di

negara bagian Maharashtra. Festival itu juga mendapat proporsi yang besar di

Mumbai dan di sekitar kuil-kuil Astawinayaka.

Kuil

Dalam tempat suci Hindu, Ganesa dapat diuraikan beraneka macam: sebagai

dewa bawahan (parswadewata); sebagai dewa yang erat dengan dewa utama

(pariwaradewata); atau sebagai dewa utama di sebuah kuil (pradhana), dijamu

bagaikan dewa tertinggi di antara dewa-dewi Hindu.[51] Sebagai dewa keluar-

masuk, dia banyak ditempatkan di pintu gerbang kuil Hindu untuk menghalau hal-

hal buruk, yang sama dengan perannya sebagai penjaga pintu rumah Parwati. Dan

juga, beberapa kuil didedikasikan untuk Ganesa sendiri, misalnya Astawinayaka

(Sanskerta: अष्टति�ना�यक; aṣṭavināyaka; "delapan (kuil) Ganesa") di Maharashtra

yang paling mahsyur. Terletak di jarak sekitar 100 kilometer dari kota Pune,

masing-masing dari delapan kuil ini memuliakan wujud utama Ganapati, lengkap

Page 63: Soal Ujian Agama Hindu

dengan cerita dan legendanya; bersama-sama mereka membentuk sebuah

mandala, menandai wilayah suci Ganesa.

Ada banyak kuil Ganesa yang penting di tempat-tempat berikut ini: Wai di

Maharashtra; Ujjain di Madhya Pradesh; Jodhpur, Nagaur dan Raipur (Pali) di

Rajasthan; Baidyanath di Bihar; Baroda, Dhokala, dan Balsad di Gujarat dan Kuil

Dhundiraj di Benares, Uttar Pradesh. Kuil Ganesa yang utama di India Selatan

yaitu sebagai berikut: Kuil Jambukeśvara di Tiruchirapalli; di Rameshvaram dan

Suchindram di Tamil Nadu; Hampi, Kasargod, dan Idagunji di Karnataka; dan

Bhadrachalam di Andhra Pradesh.

T. A. Gopinatha berkata, "Setiap desa, meskipun desa kecil, memiliki citra

Wigneswara-nya sendiri dengan atau tanpa kuil untuk menempatkannya. Di jalan

masuk menuju desa atau sebuah benteng, di bawah pohon bodhi […], dalam

sebuah relung […], di kuil Wisnu maupun Siwa dan juga pada bangunan suci

yang khususnya dibangun dalam kuil Siwa […]; figur Wigneswara kelihatan tak

berubah-ubah."[52] Kuil Ganesa juga dibangun di luar India, termasuk Asia

Tenggara, Nepal, dan di beberapa negara barat.

Kemunculan pertama

Ganesa muncul dalam wujud klasiknya sebagai dewa yang mudah dikenali

dengan atribut-atribut yang tergambar dengan baik pada permulaan abad ke-4

sampai abad ke-5. Shanti Lal Nagar mengatakan bahwa arca paling awal, yang

diketahui sebagai wujud Ganesa ada dalam sebuah ceruk di kuil Siwa di Bhumra,

yang ditafsir berasal dari zaman kerajaan Gupta.[53] Pemujaan tersendiri

terhadapnya muncul sekitar abad ke-10.[54] Narain mengikhtisarkan kontroversi

antara pemuja Ganesa dan pandangan akademis terhadap perkembangan Ganesa

sebagai berikut:

[A]pa yang selama ini tak terduga adalah kemunculan Ganesa yang agak dramatis

menurut pandangan sejarah. Pelopornya tak jelas. Keterbukaan dan ketenarannya

yang luas, yang melampaui batas mahzab dan teritorial, sungguh menakjubkan.

Page 64: Soal Ujian Agama Hindu

Di satu sisi ada kepercayaan bagi umat yang ortodoks terhadap asal-usul Ganesa

dari zaman Weda dan dalam Purana terdapat penjelasan yang membingungkan,

namun merupakan mitologi yang cukup menarik. Di sisi lain terdapat keraguan

mengenai adanya gagasan dan arca tentang dewa ini sebelum abad keempat

sampai kelima Masehi. ...[54]

Pengaruh memungkinkan

Buku yang ditulis Thapan tentang perkembangan Ganesa mengandung sebuah

bab tentang spekulasi mengenai peran kepala gajah pada zaman awal di India,

namun berkesimpulan bahwa, "meski pada abad ke-2 Masehi ada perwujudan

yaksa berkepala gajah, itu tidak bisa dianggap menggambarkan Ganapati-

Winayaka. Tidak ada bukti mengenai dewa yang disebut memiliki wujud gajah

atau berkepala gajah pada permulaan zaman ini. Ganapati-Winayaka masih

membuat debutnya."[55]

Suatu teori mengenai asal-usul Ganesa mengatakan bahwa ia perlahan-lahan

menjadi tenar sehubungan dengan empat Winayaka.[56] Dalam mitologi Hindu,

para Winayaka adalah kelompok empat makhluk jahat yang membuat rintangan

dan kesulitan, namun mudah untuk ditenangkan. Nama Winayaka adalah nama

yang biasa bagi Ganesa, baik dalam Purana-Purana maupun Tantra Buddha.[57]

Krishan adalah salah satu sarjana yang menerima teori ini, yang berkomentar

datar tentang Ganesa, "Dia bukan dewa dalam Weda. Asal-usulnya mengikuti

jejak empat Winayaka, roh jahat, dari Manawagrehyasutra (abad VII-IV SM)

yang menyebabkan berbagai jenis kejahatan dan penderitaan".[58] Penggambaran

figur manusia berkepala gajah, yang beberapa di antaranya diidentifikasikan

dengan Ganesa, muncul dalam kesenian dan koin India pada permulaan abad ke-

2.[59]

Sastra Weda dan wiracarita

Gelar "Pemimpin kelompok" (Sanskerta: ganapati) muncul dua kali dalam

Regweda, namun keduanya tidak merujuk pada Ganesa yang sekarang. Istilah itu

Page 65: Soal Ujian Agama Hindu

muncul dalam Regweda (Rw 2.23.1) sebagai gelar untuk Brahmanaspati, menurut

para komentator.[60] Saat sloka itu tak diragukan lagi merujuk pada

Brahmanaspati, sloka itu kemudian diadopsi untuk memuja Ganesa dan masih

dipakai hingga sekarang.[61] Dalam pembantahan bahwa pernyataan tersebut

merupakan bukti keberadaan Ganesa dalam Regweda, Ludo Rocher mengatakan

bahwa itu dengan jelas merujuk kepada Wrehaspati—dewa himne-himne—dan

hanya Wrehaspati.[62] Hal yang juga mirip, yaitu pernyataan kedua (Rw 10.112.9)

merujuk pada Indra, yang diberi gelar 'ganapati', diterjemahkan menjadi

"Pemimpin perkumpulan (bagi para Marut)." Tetapi, Rocher menyatakan bahwa

sastra-satra Ganapatya terkini seringkali mengutip sloka-sloka Regweda untuk

menghormati Ganesa.[63]

Dua sloka dalam kitab yang termasuk Yajurweda hitam, yaitu Maitrayaniya

Samhita (2.9.1) dan Taittiriya Aranyaka (10.1), menyatakan permohonan kepada

dewa yang "bertaring satu" (Dantih), "bermuka gajah" (Hastimuka), dan

"berbelalai bengkok" (Wakratunda). Nama-nama ini mengingatkan kita pada

Ganesa, dan seorang komentator dari abad ke-14 bernama Sayana dengan tegas

memastikan identifikasi ini.[64] Deskripsi tentang Dantin, yang memiliki belalai

bengkok (wakratunda) dan memegang jagung, tebu, dan gada, merupakan

karakteristik Ganapati yang utama secara Purana, seperti yang dikatakan Heras,

"tidak bisa dibantahkan lagi untuk menerima identifikasinya (ciri-ciri Ganesa)

dengan (ciri-ciri) Dantin ini".[65] Tapi, Krishan menganggap bahwa himne-himne

ini adalah tambahan (carangan) pasca zaman Weda.[66] Thapan menambahkan

bahwa pernyataan-pernyataan itu lazimnya dianggap sebagai sebuah sisipan.

Dhavalikar mengatakan, "referensi mengenai dewa berkepala gajah di Maitrayani

Samhita telah terbukti sebagai sisipan paling akhir, maka tidak begitu berguna

dalam menentukan informasi paling awal mengenai sang dewa (Ganesa)".[67]

Ganesa tidak muncul dalam wiracarita India pada zaman Weda. Sebuah sisipan

pada wiracarita Mahabharata mengatakan bahwa Resi Byasa meminta Ganesa

untuk membantunya sebagai seorang penulis untuk mencatat wiracarita yang

didikte oleh sang resi kepadanya. Ganesa setuju namun dengan syarat bahwa

Page 66: Soal Ujian Agama Hindu

Byasa harus membeberkan wiracarita itu tanpa diselingi, yaitu, tanpa berhenti.

Sang resi setuju, namun sadar bahwa untuk melakukan jeda, ia perlu

menceritakan suatu pernyataan yang sangat kompleks sehingga Ganesa akan

bertanya untuk mengklarifikasi. Kisah tersebut tidak dianggap sebagai sebuah

bagian dalam kitab orisinilnya oleh editor dalam kitab Mahabharata edisi

kritikan. Hubungan antara Ganesa dengan ketangkasan pikiran dan pembelajaran

adalah salah satu alasan sehingga ia ditampilkan sebagai penulis dikte yang

dijabarkan Byasa tentang Mahabharata dalam sisipan tersebut.[68] Richard L.

Brown memperkirakan waktunya terjadi sekitar abad ke-8, dan Moriz Winternitz

menyimpulkan bahwa kisah itu dikenal pada awal th. 900, namun tidak

ditambahkan ke dalam Mahabharata sampai sekitar 150 tahun kemudian.

Winternitz juga menambahkan bahwa versi berbeda dalam naskah Mahabharata

di India Selatan adalah penghapusan terhadap legenda Ganesa tersebut.[69] Istilah

winayaka ditemukan dalam beberapa resensi dalam Santiparwa dan

Anusasanaparwa yang dianggap sebagai sisipan.[70] Sebuah referensi tentang

Wignakartrinam ("Pencipta rintangan") dalam Wanaparwa juga dipercaya

sebagai sebuah sisipan dan tidak muncul dalam edisi kritikan.[71]

.

Zaman Purana

Kisah mengenai Ganesa seringkali muncul dalam kitab-kitab Purana. Brown

mengatakan, sementara kitab-kitab Purana tidak menyebutkan kapan tepatnya

suatu peristiwa terjadi, penuturan kisah hidup Ganesa yang lebih detil ada dalam

kitab yang muncul belakangan, sekitar th. 600–1300.[72] Yuvraj Krishan

mengatakan bahwa mitos mengenai kelahiran Ganesa dan bagaimana ia

memperoleh kepala gajah, ada dalam Purana yang digubah dari th. 600 dan

seterusnya. Ia meneliti masalah dan mengungkapkan bahwa referensi tentang

Ganesa yang terdapat dalam Purana-purana awal, seperti misalnya Bayupurana

dan Brahmandapurana, adalah sisipan di kemudian hari yang dibuat dari abad ke-

7sampai abad ke-10.[73]

Page 67: Soal Ujian Agama Hindu

Bangkitnya ketenaran Ganesa dikodifikasikan pada abad ke-9, ketika secara

formal ia dimasukkan ke dalam lima dewa utama dalam aliran Smarta. Filsuf abad

ke-9 bernama Shankaracarya mempopulerkan "pemujaan terhadap lima wujud"

(pañcāyatana pūjā), sebuah sistem di antara kaum brahmana yang ortodoks dalam

tradisi Smarta. Dalam pemujaan ini dilakukan pemanggilan lima dewa yaitu

Ganesa, Wisnu, Siwa, Dewi, dan Surya. Shankaracarya mendirikan tradisi itu

dengan tujuan utama untuk menyatukan dewa-dewi utama dari lima sekte besar

pada status yang sama. Hal ini sungguh-sungguh membuat peran Ganesa sebagai

seorang dewa komplementer.

Buku dan sastra

Ketika Ganesa diterima sebagai salah satu dari lima dewa utama dalam

Brahmanisme, beberapa brahmana memilih untuk memuja Ganesa sebagai dewa

utama mereka. Mereka mengembangkan tradisi Ganapatya, seperti yang dapat

disimak dalam Ganeshapurana dan Mudgalapurana.

Masa penggubahan Ganeshapurana dan Mudgalapurana (dan waktunya tidak

tetap antara satu sama lain) telah mengobarkan perdebatan para sarjana. Kedua-

duanya berkembang dari waktu ke waktu dan mengandung isi yang bertumpuk-

tumpuk. Anita Thapan mengutarakan komentar tentang masa penggubahan dan

mengukuhkan pendapatnya. "Sepertinya, mungkin pokok-pokok isi dari

Ganeshapurana muncul sekitar abad keduabelas dan ketigabelas", dia berkata,

"namun kemudian diberi sisipan."[74] Lawrence W. Preston berpikir bahwa waktu

yang memungkinkan untuk penggubahan Ganeshapurana antara tahun 1100 dan

1400, bersamaan dengan waktu berdirinya tempat-tempat suci seperti yang

disebutkan dalam kitab itu.[75]

R.C. Hazra mengatakan bahwa Mudgalapurana lebih tua daripada

Ganeshapurana, yang menurutnya digubah pada tahun 1100 dan 1400.[76] Tetapi,

Phyllis Granoff menemukan masalah terhadap waktu yang tidak tetap ini dan

Page 68: Soal Ujian Agama Hindu

berkesimpulan bahwa Mudgalapurana adalah kitab filsafat terakhir yang

menyinggung masalah Ganesa. Ia mengemukakan alasannya berdasarkan sebuah

fakta bahwa, di antara bukti-bukti internal lainnya, Mudgalapurana secara

spesifik menyebut Ganeshapurana sebagai salah satu dari empat Purana

(Brahma, Brahmanda, Ganesha, dan Mudgalapurana) yang menyinggung

masalah Ganesa.[77] Sementara isinya sudah usang, kitab itu diberi sisipan sampai

abad ke-17dan ke-18, sehubungan dengan pemujaan Ganapati yang menjadi

penting dalam wilayah tertentu.[78] Kitab lain yang memuji Ganesa, yaitu

Ganapati Atharwashirsa, ada kemungkinan digubah pada abad ke-16 atau ke-17.[79]

Di luar India dan agama Hindu

Hubungan dagang dan budaya telah memperluas pengaruh India di Asia Barat dan

Tenggara. Ganesa adalah salah satu dari banyaknya dewa-dewi Hindu yang

menjamah negeri asing sebagai akibatnya.[80]

Ganesa khususnya disembah oleh para pedagang dan rombongannya, yang pergi

ke luar India untuk malakukan hubungan dagang. Periode dari sekitar abad ke-10

sampai seterusnya ditandai oleh perkembangan jaringan-jaringan baru terhadap

hal pertukaran, pembentukan serikat dagang, dan bangkitnya sirkulasi keuangan.

Selama masa ini, Ganesa menjadi dewa utama yang dikaitkan dengan para

pedagang.[81] Tulisan paling awal yang mengandung seruan kepada Ganesa

sebelum memanggil dewa-dewi lainnya dikaitkan dengan komunitas rombongan

pedagang.[82]

Umat Hindu bermigrasi ke nusantara dan membawa budaya mereka, termasuk

Ganesa, bersama mereka. Arca-arca Ganesa ditemukan di sepanjang wilayah

Nusantara dalam jumlah yang banyak, seringkali di samping kuil Siwa. Wujud

Ganesa didapati dalam kesenian Hindu di Jawa, Bali, dan Kalimantan yang

menunjukkan pengaruh regional yang spesifik.[83] Penyebaran budaya Hindu

Page 69: Soal Ujian Agama Hindu

secara perlahan-lahan ke Asia Tenggara telah membuat wujud Ganesa

dimodifikasi di Burma, Kamboja, dan Thailand. Di Indochina, agama Hindu dan

Buddha dijalankan dengan berdampingan, dan pengaruh timbal balik bisa dilihat

dalam penggambaran Ganesa di wilayah itu. Di Thailand, Kamboja dan di

Vietnam, Ganesa terutama dianggap sebagai penyingkir segala rintangan. Bahkan

kini oleh umat Buddha di Thailand, Ganesa dihormati sebagai penyingkir segala

rintangan, atau dewa keberhasilan.[84]

Sebelum kedatangan Islam, Afganistan memiliki ikatan budaya yang erat dengan

India, dan pemujaan terhadap dewa-dewi Hindu maupun Buddha sama-sama

dijalankan. Beberapa contoh arca dari abad ke-5 sampai abad ke-7 telah bertahan,

mencerminkan bahwa pemujaan Ganesa adalah hal yang populer di wilayah itu.[85]

Ganesa muncul dalam agama Buddha Mahayana, tidak hanya dalam wujud dewa

Vināyaka dalam agama Buddha, namun juga sebagai wujud raksasa dengan nama

yang sama.[86] Citranya muncul dalam arca-arca agama Buddha selama akhir masa

kerajaan Gupta. Sebagai dewa Vināyaka dalam agama Buddha, ia seringkali

digambarkan sedang menari. Wujud ini, disebut Nṛtta Ganapati, dan termahsyur

di wilayah India Utara, kemudian diadopsi di Nepal, lalu di Tibet.[87] Di Nepal,

wujud Ganesa secara Hindu, dikenal sebagai Heramba, sangat terkenal; ia

memiliki lima kepala dan menunggangi singa. Penggambaran Ganesa di Tibet

menunjukkan pandangan yang bertentangan terhadapnya.[88] Ganapati versi Tibet

adalah tshogs bdag.[89] Dalam versi Tibet, Ganesa digambarkan sedang diinjak

oleh kaki Mahākāla, yaitu dewa bangsa Tibet yang terkenal. Penggambaran lain

menampilkan wujudnya sebagai pemusnah segala rintangan, kadangkala dalam

wujud sedang menari. Ganesa muncul di Cina dan Jepang dalam wujud yang

menampilkan karakter wilayah yang berbeda. Di Cina Utara, ada patung batu dari

zaman awal yang dikenal sebagai Ganesa, disertai tulisan yang berangka tahun

531.[90] Di Jepang, pemujaan terhadap Ganesa pertama kali disebutkan pada tahun

806.[91]

Page 70: Soal Ujian Agama Hindu

Sastra agama Jaina (Jainisme) tidak menyebutkan adanya pemujaan terhadap

Ganesa. Namun, Ganesa dipuja oleh banyak umat Jaina, muncul sebagai

pengambil alih fungsi Kubera.[92] Hubungan Jaina dengan komunitas perdagangan

mendukung gagasan bahwa Jainisme mengambil tradisi pemujaan Ganesa sebagai

akibat dari hubungan perdagangan.[93] Patung Ganesa tertua versi Jaina ditaksir

berasal dari abad ke-9.[94] Sebuah kitab Jaina dari abad ke-15 memaparkan

prosedur untuk memasang citra Ganapati.[95] Citra Ganesa muncul dalam kuil

Jaina di Rajasthan dan Gujarat.[96]

23. SIWA LINGGA (LINGGA YONI)

Lingga merupakan lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti,

peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau,

khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya

peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di

tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada

goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh

masyarakat setempat.

 

Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam

jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami

arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian

lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga,

yang sudah tentu bersifat umum.

 

Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas,

bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa

dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat,

poros, sumbu (Zoetmulder, 2000 601).

 

Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga

Page 71: Soal Ujian Agama Hindu

diidentikkan dengan : linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak

jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa

lingga sebagai linggih Dewa Siwa.

Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah

terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai

penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah

terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan

ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada

peradaban Harappa. (Agastia, 2002 : 2) kemudian pada peradaban lembah Hindus

bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan.

 

Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa

terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut

anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga

dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya (Rao, 1916 : 69). Di India terutama

di India selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa

sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang

menamakan dirinya sekte linggayat (Putra, 1975 : 104).

 

Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti

Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa

dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah

memperingati didirikannya sebuah lingga (lambang Siwa) di atas sebuah bukit di

daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya (Soekmono, 1973 : 40). Dengan

didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah

lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal

sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut

dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa.

 

Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk

simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di

Page 72: Soal Ujian Agama Hindu

Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang

berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja

Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci

yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di

desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan

melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan

Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru.

(Soekmono. 1973 : 41-42).

 

Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari

abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa

Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter

dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini

dihubungkan dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959 102).

 

Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan

lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada

tempat atau pelinggih pura. Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih

hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai.

Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon

keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali

banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di

Bedahulu dan di Goa Gajah.

 

Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana

dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan

sebagai berikut:

”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam

sabdasparsadi warjitam”.

 

Artinya:

Page 73: Soal Ujian Agama Hindu

Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya

dikatakan sebagai prakrti (alam).

 

Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan yang erat

kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak

terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada

Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi

oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.

 

Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:”Bhatara

Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”.

 

Artinya:

Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang

bersemayam di alam Siwa.

Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa.

Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin

memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada

hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam

wujudnya sebagai Siwa.

 

Bentuk Lingga

Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan

mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada

Dewa Siwa atau sering disebut sebagai  ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:

 “Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”.

 

Artinya:

Page 74: Soal Ujian Agama Hindu

Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap

sebagai sumber siwa.

Dalam bahasa sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai

kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga

pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi

lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma,

Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu

bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri.

 

Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas.

Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar lingga paling bawah

yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat

carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian

lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian

tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas

berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan

konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya

dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah.

 

Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha.

Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam,

segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam

belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk

segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99).

 

Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain :

berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk telur (kukkutandakara), berbentuk

buah mentimun (tripusha kara), berbentuk bulan setengah lingkaran

(arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa) (Gopinatha Rao, 1916 :

93).

Page 75: Soal Ujian Agama Hindu

 

Jenis-Jenis Lingga

Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya

berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan

bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara

lain :

- Chalalingga

- Achalalingga

Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat

dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang

terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:

a. Mrinmaya Lingga

Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar.

Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari

tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah

dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah

beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab agama.

b. Lohaja Lingga

Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti : emas, perak, tembaga,

logam besi, timah dan kuningan.

c. Ratmaja Lingga

Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata,

mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa.

d. Daruja Lingga

Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara,

madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan

juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan

dewadara.

e. Kshanika Lingga

Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari

saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga

Page 76: Soal Ujian Agama Hindu

dan rudrasha.

 

Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat

dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-

Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat

yang sulit untuk dipindahkan.

 

I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul : “Cudamani, kumpulan kuliah-

kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan.

Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata

tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan

bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga

yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai

di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari

batu.

 

Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam

bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan,

sebagai berikut:

a. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa

diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci

dan lingga yang paling utama (uttamottama).b. Ganapatya lingga. Lingga ini

berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan

dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang menyerupai

bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.

c. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya

bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.

d. Daivika lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan

arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra (selempang tali atau benang

Page 77: Soal Ujian Agama Hindu

suci, dipakai oleh brahman).

e. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci,

karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang

bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma

bhaga (dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran

panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama.• WHD

No. 437 Juli 2003.

24. HARI RAYA HINDU

Pagerwesi

  Hari Raya Pagerwesi

Kata "pagerwesi" artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu

perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang

bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya

Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri

yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja

pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.

Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai

manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam

kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya

alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa

penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.

Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku

Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan

Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk

Page 78: Soal Ujian Agama Hindu

semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar

Sundarigama disebutkan:

"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru

kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah

sarwatumuwuh ring bhuana kabeh."

Artinya:

Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang

Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk

mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.

Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada

para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama

disebutkan:

Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka

Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha

Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.

Artinya:

Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya

memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan

yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta,

segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di

halaman sanggah (tempat persembahyangan).

Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada

pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan

Mapasang Lingga.

Page 79: Soal Ujian Agama Hindu

Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan

samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca

Lingga" sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan

Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga

samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib

ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan

Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita,

Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal

upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara

para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.

Makna Filosofi

Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang

jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang

Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang

makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya

sebagai guru sejati.

Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang

siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang

Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang

paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru

sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti

dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati.

Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan

memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada

Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan

pengetahuan sejati.

Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman

kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya

Page 80: Soal Ujian Agama Hindu

merupakan "pager besi" untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping

itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah

untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh."

Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan

atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.

Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada

keseimbangan.

Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:

Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).

Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua

hewan.

Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada

produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila

produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu

berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak

dikehendaki dharma.

Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan

sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda

kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi

adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada

Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri

manusia bermoral tanpa kesombongan.

Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari

manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya

Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan

meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma

Page 81: Soal Ujian Agama Hindu

tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah

Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang

purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga

Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat

menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada

pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam

agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat.

Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata.

Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:

Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu

pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan

kejujuran yang disebut satya.

Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak

diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi

spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari

kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari

Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.

Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum

membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan

pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha

yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-

upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan

dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh

lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus

melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan

Sanghyang Pramesti Guru.

Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima

manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam

Page 82: Soal Ujian Agama Hindu

menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban

menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh

Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya

"pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya

hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari

bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya selamat atau sejahtera.

Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut

memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa.

Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah

secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan

dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung

dalam lambang upacara Pagerwesi.

Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari

raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya

untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan

mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa

Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang

mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang

kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.

Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru

Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India

melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai

episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu

gurunya alam semesta.

Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari

Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang

amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka

Page 83: Soal Ujian Agama Hindu

Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari

Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata

suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000

sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi

Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta.

Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah

merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan

hawa nafsu jahat.

Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di

Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki

semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang

menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari

perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat

dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan

dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah

adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang

Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa

para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa

bagi umat Hindu di Indonesia.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka

Manikgeni)

Galungan dan Kuningan Hari Raya Galungan dan Kuningan

Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau

bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti

menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,

sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan.

Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam

Page 84: Soal Ujian Agama Hindu

rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang

artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini.

Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di

Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra

(mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI)

memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia

sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan

pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.

Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah

namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar

Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama

Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.

Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15,

isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari

Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka.

Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah.

Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba —

entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya

itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk

pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan

dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah

Page 85: Soal Ujian Agama Hindu

datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif

pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun

1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan

kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri

Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu

merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu

berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu

mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah

Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu

dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena

kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan

pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa.

Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya

selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu

Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali

merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi

yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat

Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum

Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan

adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan

kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak

Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan

lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar

mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana

dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Page 86: Soal Ujian Agama Hindu

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan

keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus

disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki

kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan

manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk

menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan

rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan

dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang

apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya

mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan

pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran

dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah

wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning

idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan

kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma

melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan

sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan

Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa

bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan

Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum

Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa

Page 87: Soal Ujian Agama Hindu

itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian

Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan

peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat

Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh

karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali

disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti

kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun

mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung

jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan.

Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci)

tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang

yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar

disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara

Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah

dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok

yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat

kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun

makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat

kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan

yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini

umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya

melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan

terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil

bergembira-ria.

Page 88: Soal Ujian Agama Hindu

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan

Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan

anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini

umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara

tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam

lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya

dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena

malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu

Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara

menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan

hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah

hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur

mwah maring Swarga).

Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan

upacaranya.

Macam-macam Galungan

Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib

melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-

sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah

dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel),

Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai

berikut:

Galungan

Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan

kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar

Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya,

Page 89: Soal Ujian Agama Hindu

Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu

dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan

adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta

Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut

Hari Raya Galungan.

Galungan Nadi

Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar

Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih

Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada

bulan Oktober.

Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama

itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan

pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya

upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat

Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama

maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin

atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama

mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.

Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang

diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang

(lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang

bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini

datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

Galungan Nara Mangsa

Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih

Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:

Page 90: Soal Ujian Agama Hindu

"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9,

tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."

Artinya:

Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan

bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa

namanya.

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir

sama sebagai berikut:

Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali

elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring

Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan

mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah

9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran.

Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan

tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira

Balagadabah.

Artinya:

Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi

manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan

wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan

Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan

sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9,

tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit

adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi

cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura

Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Page 91: Soal Ujian Agama Hindu

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan

tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa

pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang

artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara

Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu

pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan

sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng

Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan

caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.

Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di

Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang

lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma

melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan

adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja

yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara

agama.

Galungan di India

Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma

melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan

kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi

atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat

dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan"

dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan

Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan.

Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana

melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara

Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk

Page 92: Soal Ujian Agama Hindu

dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih

menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma.

Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya

Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan

untuk masyarakat luas.

Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun

Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka

(April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha

Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan

dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati

(Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh

Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang,

maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi

yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih

sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki

kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi

nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan

yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.

Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang

Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi

nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa

kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling

ampuh melawan adharma.

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama

Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai

Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan

yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan

rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari

Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada

Page 93: Soal Ujian Agama Hindu

hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai

lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana,

Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling

beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah

ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan

Anoman.

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak

panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur

sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama,

ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai

gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita,

Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat

Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan

panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun

yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua

perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang

itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan

adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada

Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau

pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya

Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih

sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh

menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya

kehidupan yang bahagia lahir batin.

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu

kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita

wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh

Page 94: Soal Ujian Agama Hindu

setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan,

umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

Nyepi

 

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka

Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti

berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra

Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-

mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra

langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan

yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang

tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi

Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam

membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan

dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan

penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua

kitab ini tergolong tafsir (human origin).

Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini

disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern

Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih

sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta,

Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka

Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi

Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang

serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.

Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903)

menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani

Page 95: Soal Ujian Agama Hindu

tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India

jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas.

Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup

permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku

bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku

bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-

suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain.

Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah

perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk

merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena

perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya

benar-benar memasyarakat.

Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk

kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah

perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang

dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun

kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada

di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi

kebudayaan kerajaan (negara).

Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa

Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak

itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu

membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan

persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran

agama Hindu.

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem

penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh

seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat

Page 96: Soal Ujian Agama Hindu

(India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456

Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman

Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di

Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati

dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala

desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik

yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.

Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara

Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI -

XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi

berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari

Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada

bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan

upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga.

Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan

harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah

Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma

Santi.

Tujuan Hidup

Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan

tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib

mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga

yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam

Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan

(Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu

berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III,

Page 97: Soal Ujian Agama Hindu

10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña

kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji

Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan

manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam

Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan

Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak

menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng

dharma, artha kama moksha."

Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha,

kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di

antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup

menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña)

turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-

tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang.

Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup,

Page 98: Soal Ujian Agama Hindu

yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem

kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa

melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga

orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini

diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada

saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri

Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah

Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah

upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar

Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan

kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-

tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam

serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang

lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra

kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata

penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

Page 99: Soal Ujian Agama Hindu

"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya

sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh

ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh

melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang

yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya,

tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang

sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu

Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk

umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati

lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada

umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan

yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa,

yoga, samadhi.

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian

hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan

dharma, artha, kama dan moksha.

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan

makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang.

Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya

merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur

Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual

dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri

manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti

mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu

mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan

Page 100: Soal Ujian Agama Hindu

mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan

mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan

dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma

wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna

memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan

dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu

nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini,

baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman

modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan

perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini

tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan

perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan

akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-

khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai

Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya.

Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Pelaksanaan Upacara

Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi.

Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini:

"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga

atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas,

tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci.

Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap

laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya

diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu,

dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

Page 101: Soal Ujian Agama Hindu

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di

India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida

Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima

itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu

berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk

menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah

adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat

kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan

upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di

tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan

(sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan

nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah,

dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat

menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut,

penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk

digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah

sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna

9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air

tawar.

Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang

belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan

natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan

pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat

desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari).

Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah

Page 102: Soal Ujian Agama Hindu

mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi

rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa

dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan

membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung

ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran

warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang

nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari

Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda

yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni

sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak

ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak

mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai

pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa

raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai

serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu

jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan

pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu

memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam

oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni

budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi

di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap

memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya,

pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali.

Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat

izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Page 103: Soal Ujian Agama Hindu

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh

Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

-Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan

upawasa (puasa).

- Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.

- Amati lelungan (tidak bepergian).

- Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah

dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang

dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang

memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi

pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan

yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap

untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan

memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-

sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa,

mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum

selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya

kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam.

Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai

keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat

suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu

tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak

didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan

Page 104: Soal Ujian Agama Hindu

terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan.

Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.

Anggara Wage Wuku Gumbreg bertepatan Sasih Kapitu (Selasa, 23 Januari

2001), merupakan hari suci bagi umat Hindu. Hari tersebut dikenal dengan nama

Siwalatri/Siwaratri atau Malam Siwa. Latri berarti malam (gelap). Dan bahkan

malam itu adalah malam tergelap dibanding malam-malam lainnya. Kalangan

krama Bali beragama Hindu umum menyebutnya "peteng pitu".

Pada hari Siwaratri umat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam

prabhawanya sebagai Siwa Mahadewa. Umat patut melaksanakan brata,

meningkatkan kesucian rohani dan latihan mengekang hawa nafsu. Tujuannya

agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di

dunia ini. Terbebas dari berbagai godaan yang bisa menjerumuskan dan

menyesatkan hidup, karena perbuatan menyimpang dari ajaran dharma atau

Agama.

Gelap bisa menakutkan dan menciutkan nyali bagi sebagian orang. Karena

menurut mereka di dalam gelap bercokol setan dan berbagai mahluk pemangsa

lainnya. Tetapi sebagaian orang lagi gelap merupakan media dalam mendapatkan

ketentraman batinnya. Dalam kegelapan malam ada keheningan kesunyian dan

kedamaian, makanya mereka memburu gelap, termasuk malam siswa malam

paling gelap sehari menjelang Tilem Kepitu 24 Januari 2001.

Adalah Lubdhaka si pemburu miskin yang berbahagia dalam perjalanan hidupnya,

sekalipun tidak disadari karena secara kebetulan. Dikatakan berbahagia, lantaran

sekalipun dalam sehari-hari selalu melakukan tindakan sadis, melakukan

pembunuhan satwa (binatang), tetapi bisa masuk surga sesudah meninggal.

Dari pandangan mata secara awam saja, tentu perbuatan membunuh,

menghilangkan nyawa mahluk lain di luar tujuan yadnya, adalah berdosa. Misteri

kematian dan perjalanan arwah Lubdhaka tidak banyak yang mengetahuinya.

Page 105: Soal Ujian Agama Hindu

Pemburu tersebut dalam mitologi HIndu meniggal beberapa hari setelah Siwaratri

lantaran menderita suatu penyakit. Istri dan anak-anaknya merasa kehilangan.

Apa yang dilakukan Lubdhaka sehingga memperoleh tiket masuk surga setelah

mati? Suatu hari lelaki itu seharian berburu, namun sama sekali tidak mendapat

binatang buruan. Waktu itu jangankan ia berhasil memanah seekor binatang untuk

dibawa pulang, melihat bayangan binatang saja tidak. Sangat apes hari itu

perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu profesional.

Dalam kehampaan, jengkel bercampur lelah fisik karena lapar dan harus

Lubdhaka memutuskan tidak bertolak pulang menemui istri dan anak-anak

kesayangannya. Dengan perasaan pasrah dan nekat ia memutuskan bermalam di

hutan, padang perburuannya seorang diri.

Waktu itu sebagai pemburu Lubdhaka tidak memiliki motip lain, bertahan di

hutan. Kecuali satu harapannya, malam itu ia akan menemukan binatang dan

berhasil memanahnya untuk dibawa pulang. Ia memilih berdiam di sebuah pohon

dekat telaga yang airnya sangat bening.

Lubdhaka boleh saja berharap, namun kenyataannya sampai tengah malam yang

sunyi senyap hasilnya tetap nihil. Malah dalam malam gelap ia dilanda ketakutan.

lantas Lubdhaka memilih memanjat sebuah pohon yang lumayan rindang,

antisipasinya supaya terhindar dari sergapan binatang buas. Untuk menahan

kantuknya tangan memetik satu persatu dahan pohon yang tidah. Ternyata malam

saat Lubdhaka menginap di hutan adalah Malam Siwa (Siwa Latri), yakni malam

payogan Hyang Siwa.

Dimana dibawah pohon tempatnya memanjat ada sebuah telaga dan perwujudan

Siwa beryoga. Pohon yang dinaiki adalah pohon Bila, serta dalam petikan lelaki

itu tpat mengenai patung Siwa tersebut. karena takut jatuh otomatis laki-laki tetap

terjaga (jagra) sampai pagi. Aktivitas Lubdhaka malam itulah mendapat pahala

dari Hyang Siwa, hingga ia berhak masuk sorga.

Page 106: Soal Ujian Agama Hindu

Aktivitasnya itu sama nilainya dengan yang dikerjakan Siwa. Beryoga, menahan

haus, lapar, tidak tidur dan menahan nafsu-nafsu lainnya. Di Khayangan rohnya

sempat menjadi rebutan, antara penguasa neraka dan surga. Perjalanan Lubdhaka

sebagai pemburu sampai masuk sorga cukup kontroversial.

Malahan di kalangan umat Hindu sendiri hal ini masih menjadi masalah yang

patut untuk didiskusikan, artinya begini, pantaskah seorang Lubdhaka yang

melakukan pembunuhan terhadap sarwa buron ini mendapatkan pengampunan

hanya karena melakukan kegiatan begadang semalam suntuk.

Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari

sekali menurut kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis

Watugunung.

Arti Kata Sarasvati, Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang

artinya mengalir. Sarasvati berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau

kolam.

Sarasvati dalam Veda Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari

delapan puluh re atau mantra pujaan. Ia juga sering dihubungkan dengan

pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga dipuja bersamaan dengan

Sarasvati.

Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia Tentang Sarasvati di Indonesia telah

dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama Tirtha, Five Studies in

Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber kajian

adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak

terlalu banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra

seperti halnya dengan menggunakan sarana banten (persembahan).

Apabila seorangpemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia

mengucapkan dua bait mantra berikut : Om Sarasvati namas tubhyam, varade

kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir bhavantu mesada.

Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,,

Sarasvati (n) namamy aham. Sarasvati 1-2.) Hanya Engkaulah yang

Page 107: Soal Ujian Agama Hindu

menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang

penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada.

Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap

istri yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia,

karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu Om Sarasvati

namotubhyam varade kama rupini, siddhirambha karisyami siddhir bhavantu

mesada Sarasvatistava I) Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi

Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih bagai seorang ibu sangat didambakan.

Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan selalu berhasil atas karuniaMu

Pendahuluan

Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan

dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa

yang sesungguhnya tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk

kepentingan Bhakti, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam

alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang Berpribadi (personal God). Berbagai

aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa dipuja dan diagungkan

serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia.

Makna Penggambaran Dewi Saraswati Tubuh dan busana putih bersih dan

berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan bahwa warna putih

merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika dalam

kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan

diidentikan dengan Sattvam-jnanam Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang

vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan sastra), aksamala (tasbih) dan

kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di tangan kanan

depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul

nadamelodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam

semesta atau musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang)

melambangkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini

manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih menunjukkanbahwa ilmu itu

selalu putih, emngingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni dan tidak tercela

(Shakunthala, 1989: 38). Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan

Page 108: Soal Ujian Agama Hindu

kendaraan angsa atau merak. Angsa adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan

dikatakan memiliki sifat kedewataan dan spiritual. Angsa yang gemulai

mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan sekam dengan biji-

bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu membedakan

antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain

adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala,

1989 : 38)..Penutup Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam

Veda pada mulanya adalah dewi Sungai yang diyakini amat suci. Dalam

perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi Ucap, dewi yang memberikan

inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu pengetahuan.

Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan

berbagai atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan

Yang Maha Esa adalah sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang

Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Catur Veda dan lain-lain

menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi dengan

latar belakang filosofis yang sangat dalam. Demikian semoga Ida Sang Hyang

Widhi senantiasa memberikan waranugrahanya berupa inspirasi, kejernihan

pikiran serta kerahayuan yang didambakan oleh setiap orang.

Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma

kascid duhkh bhag bhavet. Ya Tuhan Yang maha Esa, anugrahkanlah semoga

semuanya memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Semoga semuanya

memperoleh kedamaian. Semoga semuanya memperoleh keutamaan dan

semuanya terbebas dari segala duka dan penderitaan.

25. KONSEP KEPEMIMPINAN. EKONOMI, PENDIDIKAN DAN

KEBUDAYAAN AGAMA HINDU

Kepemimpinan Hindu

Dalam kehidupan manusia didunia ini banyak ditemui usaha kerjasama untuk

mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Keseluruhan proses

Page 109: Soal Ujian Agama Hindu

kerjasama itu dinamakan organisasi. Dengan kata lain organisasi adalah

proses atau rangkaian kegiatan kerja sama sejumlah orang, untuk mencapai

tujuan tertentu (Nawawi da Handari, 1995:8).

Setidaknya ada dua jenis organisasi yaitu Organisasi formal dan non formal.

Organisasi formal memiliki struktur yang relatif permanen, prosedur dan

mekanisme yang statis, pasti dan teratur. Sedangkan Organisasi non formal

memiliki struktur yang semi permanen, prosedur dan mekanismenya mudah

berubah sesuai dengan kebutuhan dan keputusannya cenderung ditentukan

oleh kesepakatan bersama.

Baik organisasi formal maupun non formal, pasti memeriukan seseorang

untuk menempati posisi pemimpin (leader). Seorang pemimpin didalam

sebuah organisasi mengemban tugas melaksanakan kepemimpinan. Dengan

kata lain pemimpin adalah orangnya dan kepemimpinan adalah kegiatannya.

Sehubungan dengan itu maka kepemimpinan dapat diartikan sebagai 

kemampuan / kecerdasan mendorong sejumiah orang agar bekerjasama dalam

melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Nawawi

dan Handari, 1 995:9). Kepemimpinan adalah proses mendorong dan

membantu orang lain untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan.

Kepemimpinan juga berarti aktivitas mempengaruhi orang lain untuk berusaha

mencapai tujuan kelompok secara sukarela. Dengan kata lain kepemimpinan

adalah proses mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang

diinginkan untuk dikerjakan oleh orang lain. Konsep demikian kelihatanya

sederhana, tetapi pada kenyataannya sering kali sangat kompleks, karena

didalam kepemimpinan hadir suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi

tugas-tugas yang berhubungan dengan kegiatan antar kelompok.

Dari uraian diatas ada empat implikasi penting, yaitu 1) Kepemimpinan selalu

melibatkan orang lain sebagai pengikutnya. Dengan keinginan mereka untuk

menerima pengarahan dari pimpinan, maka status pemimpin menjadi jelas dan

membuat proses kepemimpinan memungkinkan- tanpa ada yang

mengarahkan, semua kualitas kepemimpinan dari seorang manajer akan tidak

Page 110: Soal Ujian Agama Hindu

relevan. 2) Kepemimpinan melibatkan sebuah pembagian kekuatan yang tidak

seimbang antara pemimpin dan anggota kelompok. Seorang pemimpin harus

mempunyai kekuatan lebih dari kelompok yang dipimpin. 3) Kepemimpinan

adalah kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan yang berbeda

untuk mempengaruhi perilaku-perilaku pengikut dalam sejumlah cara. 4)

Aspek gabungan dari ketiganya yang mengakui bahwa kepemimpinan adalah

sebuah nilai (value). Ini adalah sebuah catatan berharga bahwa meskipun

kepemimpinan dihubungkan dalam kepetingan dalam manajemen,

kepemimpinan dan manajemen bukanlah konsep yang sama.

Politik Hindu

Banyak pihak yang beranggapan bahwa politik adalah kotor karena politik

selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala

cara. Akan tetapi, Hindu memandang politik tidak semata-mata sebagai cara

mencari, dan mempertahankan kekuasaan, melainkan adalah bagi penegakkan

Dharma. Hal ini banyak dijelaskan dalam percakapan antara Bhagawan

Bhisma dengan Yudhistira pasca perang Bharatayudha, yaitu dalam Santi

Parwal LXIII, hal 147, sebagai berikut:"manakala politik telah sirna, veda pun

sirna pula, semua aturan hidup hilang musnah, semua kewajiban manusia

terabaikan. Pada politiklah semua berlindung. Pada politiklah semua awal

tindakan diwujudkan, pada politikiah semua pengetahuan dipersatukan, pada

politiklah semua dunia terpusatkan".

Dalam bab yang lain dijelaskan pula bahwa:

"ketika tujuan hidup manusia - dharma, artha, kama, dan moksa semakin jauh.

Begitu juga pembagian masyarakat semakin kacau, maka pada politikiah

semua berlindung, pada politiklah semua kegiatan agama/yajna diikatkan,

pada politiklah semua pengetahuan dipersatukan, dan pada politiklah dunia

terpusatkan"

Page 111: Soal Ujian Agama Hindu

Untaian kalimat dalam Santiparwa tersebut mengisyaratkan bahwa antara

Politik dan Agama mempunyai kaitan yang sangat erat, yaitu politik Hindu

adalah untuk menjalankan dan menegakkan ajaran Dharma. Dharma adalah

hukum, kewajiban, dan kebenaran yang apabila dilanggar maka akan

berakibat pada kehancuran umat manusia, dan sebaliknya dharma yang dijaga

akan membawa kemuliaan (dharma raksatah raksitah).

Antara politik dan kepemimpinan merupakan sebuah mata uang yang tak

dapat dipisahkan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu

memberikan tauladan, selalu mengusahakan kesejahteraan rakyat (sukanikang

rat), dan menghindari kesenangan pribadi (agawe sukaning awak). Dalam

Kautilya Arthasastra dijelaskan pula bahwa "apa yang menjadikan raja senang

bukanlah kesejahteraan, tetapi yang membuat rakyat sejahtera itulah

kesenangan seorang raja". Kalimat ini menunjukkan bahwa sasaran pokok

dalam politik Hindu adalah kebahagiaan rakyat, bukanlah kesejahteraan

penguasanya karena penguasa yang berhasil membawa rakyatnya pada

kebahagiaan tertinggi, kemuliaan adalah pasti ("sang sura menanging

ranaggana, mamukti sukha wibawa, bogha wiryawan").

Selayang Pandang Kepemimpinan di Era Hindu Indonesia

Tanda-tanda tentang adanya pengaruh agama Hindu, dapat dibaca pada batu

tertulis (Prasasti) di Kalimantan dan di Jawa Barat. Dari peninggalan itu dapat

disimpulkan bahwa gaya huruf dari tulusan ini yang digolongkan sebagai

huruf Pallawa dan bila diperhitungkan umurnya kira-kira abad keempat

Masehi. Kerajaan pribumi pada waktu itu, menjalin hubungan dengan

perdagangan dengan kerajaan India dan mengadopsi konsep-konsep Hindu,

baik untuk mengatur negara maupun kerohanian. Yang sangat mencolok

adalah pengaruh kepada organisasi negara, yang diatur sangat Hirarkis,

berorientasi ke atas, sebagai aktualisasi dari konsepsi "raja adalah keturunan

Dewa". Melalui konsep "raja adalah keturunan Dewa" maka kekuasaan raja

menjadi absolut.

Para pemimpin waktu itu berusaha dengan bantuan para Pendeta Hindu, untuk

Page 112: Soal Ujian Agama Hindu

menarik garis keturunan kepada Dewa (Brahma, Wisnu, Siwa dan Dewa

lainnya) pada dirinya guna melegitimasi kekuasaanya. Waktu itu diyakini,

bahwa hanya keturunan Dewa bisa menjadi pemimpin. Tetapi yang terjadi

tidak selalu demikian. Pemimpin yang ingin diakui oleh masyarakat adalah

mereka yang berhasil "Mbrojol selaning Garu" (Iolos dari seleksi yang ketat).

Kepemimpinan dalam Sastra-Sastra Hindu

Dalam ajaran Agama Hindu banyak sekali ditemukan ajaran tentang

kepemimpinan. Ia tersebar mulai dari Weda sampai pada berbagai sastra

Hindu. dalam kitab Atharva Veda: 3.4.1 dijelaskan tentang tugas seorang

pemimpin sebagai berikut:

Wahai pemimpin negara, datanglah dengan cahaya, lindungilah rakyat dengan

penuh kehormatan, hadirlah sebagai pemimpin yang utama, seluruh penjuru

mamanggil dan memohon perlindunganmu, raihlah kehormatan dan pujian

dalam negara ini.

Disamping sebagai pelindung rakyat, pemimpin juga harus memperhatikan

kesejahteraan masyarakat. Hal ini nampak jelas dalam kutipan sebagai

berikut:

Bilamana seorang pemimpin dalam sebuah negara selalu mengikuti

kebenaran dan dharma, serta mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka

semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti dan

menyebarkan dharma kepada masyarakat luas (Atharva Veda: 3.4.2).

Bila seorang pemimpin memperhatikan masalah kesejahteraan rakyat serta

mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka rakyatpun akan

melindungi pemimpin itu sendiri ibaratnya Singa dan hutan yang saling

melindungi, demikianlah keberadaan pemimpin dengan yang dipimpinnya.

Page 113: Soal Ujian Agama Hindu

Pemimpin yang tidak terkalahkan, melindungi rakyatnya dengan selalu

meminta perlindungan Tuhan, sebaliknya rakyatpun akan selalu

menghormati, dan melindungi pemimpin tersebut. (Rg Veda: 4.50.9)

Bila seorang pemimpin yang pemarah dengan kesombongannya ingin

menghancurkan dan menghina para Brahmana yang ahli Veda, maka

negara tersebut akan hancur. (Atharva Veda: 5.19.6)

Dalam Nitisastra 1. 1 1 disebutkan bahwa :

Orang tidak boleh tanpa Asraya (tempat mohon bantuan) namun usahakanlah

Mahasraya. Lihatlah itu si ular naga yang mencari tempat berlindung pada

Bhatara Siwa karena Baktinya ia dijadikan kalung oleh Bhatara Siwa. Ketika

burung Garuda datang (musuh ular) terpaksa ular itu dihormati pula.

Dalam Tantri Kamandaka, si gajah yang besar dan kuat namun angkuh, mati

dibunuh oleh persekutuan si burung siung, lalat dan katak. Persekutuan dan

persatuan merupakan suatu kekuatan yang maha besar sehingga akan mampu

menumbangkan kekuatan sebesar apapun.

Penguasa-penguasa di Bali jaman dahulu rupa-rupanya memaklumi hal ini

sehingga beliau melaksanakan strategi menggalang persatuan rakyat dalam

wilayahnya. Warga-warga disatukan, dipersaudarakan dengan menyatukan

pura kawitannya dalam satu kompleks pura dengan pura raja dan menyebut

mereka wargi sang raja. Pada hari-hari tertentu wargi-wargi itu bertemu di

Pura, yang menggalang rasa kelompok dan rasa bakti kepada raja. Namun

dalam hal ini raja harus cerdik melaksanakan segala upaya mempersatukan

rakyatnya. Dalam sastra Jawa Kuno dikatakan bahwa Raja harus

melaksanakan taktik Catur Upaya Sandhi, yaitu Sama, Beda, Dana dan Danda.

Diatas pundak seorang pemimpin terletak tanggung jawab yang berat.

Ditangan pemimpin tergenggam nasib segenap rakyat atau kelompok yang

dipimpinnya. Nasehat Rama kepada Wibhisana dalam Kekawin Ramayana

(XXIV, 51-61) yang disebut Asta Brata merupakan cerita pemimpin yang

Page 114: Soal Ujian Agama Hindu

ideal. Asta Brata itu sesungguhnya ajaran dari Manawa Dharmasastra VII.3-4

yang digubah dalam bentuk yang indah sehingga menjadi populer di

Indonesia. Adapun terjemahan isi dari Astabrata dalam Kekawin Ramayana

adalah:

"Dan ia disuruh untuk menghormatinya, karena Ida Bhatara ada pada dirinya,

delapan banyaknya berkumpul pada diri sang Prabhu, itulah sebabnya ia amat

kuasa tiada bandingnya. Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera,

Baruna, Agni, demikian delapan jumlahnya, beliau-beliau itulah sebagai

pribadi sang raja, itulah sebabnya disebut Asta Brata"

1. Indra brata, Sang Hyang Indra usahakan pegang, Ia menjatuhkan hujan

menyuburkan bumi, inilah hendaknya engkau contoh lndrabrata, sumbangan-

sumbanganmu itulah bagaikan hujan membanjiri rakyat.

2. Yamabrata menghukum segala perbuatan jahat, ia memukul pencuri sampai

mati, demikianlah engkau ikut memukul perbuatan jahat, setiap yang

merintangi usahakan musnahkan.

3. Bhatara Surya selalu menghisap air, tiada rintangan, pelan-pelan olehnya,

demikianlah engkau mengambil penghasilan, tiada cepatcepat demikian Surya

Brata.

4. Sasi Brata adalah menyenangkan rakyat semuanya, perilaku lemah lembut

tampak, senyummu manis bagaikan amerta, setiap orang tua dan pendeta

hendaknya engkau hormati.

5. Bagaikan anginiah engkau waktu mengamati perangai orang, hendaklah

engkau mengetahui pikiran rakyat semua, dengan jalan yang baik sehingga

pengamatanmu tidak kentara, inilah Bayu brata, tersembunyi namun mulia.

6. Nikmatilah hidup dengan nikmat, tidak membatasi makan dan minum,

berpakaian dan berhiaslah, yang demikian disebut Dhanabrata patut

diteladani.

7. Bhatara Baruna memegang senjata yang amat beracun berupa Nagapasa

yang membelit, itulah engkau tiru Pasabrata, engkau mengikat orang-orang

jahat.

8. Selalu membakar musuh itu perilaku api, kejammu pada musuh itu

Page 115: Soal Ujian Agama Hindu

usahakan, setiap engkau serang cerai berai dan lenyap, demikianlah yang

disebut Agnibrata.

Dari uarian-uraian diatas jelas menunjukkan bahwa tujuan raja memimpin

negaranya ialah untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Tuntunan

Niti dan hukum menjadi pedoman bagi sang pemimpin.

"sakanikang rat kita yan wenang manut, manupadesa prihatah rumaksa ya,

Ksaya nikang papa nahan prayojana, Jananuragadi tuwi kapangguha.

Artinya:

Tiang negaralah engkau jika bisa mengikuti Petunjuk-petunjuk hukum Manu

(Manawa dharmasastra) usahakan pegang Hilangnya penderitaan itulah

tujuannya

Cinta orang tentu akan kita jumpai.

Petunjuk-petunjuk seperti ini sangat banyak dijumpai dalam sastra sastra Jawa

Kuna, yang memberikan petunjuk bahwa seorang pemimpin tidak boleh

bertidak sesuka hatinya ketika ia memegang kekuasaan. Dari semua hukum-

hukum yang harus dipedomani oleh seorang pemimpin, disimpulkan dalam

dharma yang mengandung pengertian segala sesuatu yang mendukung orang

untuk mendapatkan kerahayuan. Dalam kakawin Ramayana, Bhismaparwa

dan lain-lain dijumpai uraian dharma sebagai pedoman raja (pemimpin) dalam

memimpin negaranya.

Ika ta prassidha dharma ulahaning kadiKita prabhu, si mangraksa rat juga,

Mtangian mangkana,asihning wwang ringSarwa bhuta marikang dharma

mangkana ngaranyaKotamaning asih ika pagawenta piratrana ring rat,ika ta

sang prabu, Makambek mangakana

Terjemahan:

Page 116: Soal Ujian Agama Hindu

Demikianlah dharma yang sempurna engkau kerjakan sebagai raja melindungi

negara, sebabnya demikian,sayangmu pada semua makhluk dharma

namanya,penampilan kasih sayang itulah kamu kerjakan, untuk melindungi

negara, demikianiah sang prabhu (pemimpin) seharusnya bertingkah laku.

Kutipan diatas diambil dari Bhismaparwa,yang merupakan nasehat Bhagawan

Bhisma kepada Prabhu Yudistira. Apabila sang Prabhu tidak melaksanakan

tugas-tugasnya sebagai raja yang melindungi rakyat dan negara, tidak menjadi

panutan yang dipimpinnya, maka ia akan kehilangan kekuasaannya karena

ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya. Petunjuk tentang itu dapat diketahui

dari kutipan berikut:

"Laku bhrtya matinggal ratunya, yan hana ratu akeras mapanas ing gawe,

byakta sira tininggal ing wadwa nira, leheng ikang ratu makeras swapadi

ngrutu makumed tar paradanda, yan hana ratu mangkana tininggal kawulanira,

ya leheng makumed paradanda swapadi ratu awisesa, awisesa ngaranya

manarub, ya hana wwang kulina janma sinoraken, yang hana wang adhahjati

dinuhuraken, yeka anarub ngaranya, yan hana ratu mangkana tininggal sira de

ning janma wwang kulina janma, (slokantara 40)

Terjemahan :

Pelayan dapat meninggalkan rajanya, bila raja kejam dan bengis tindakannya.

Raja yang demikian tentu akan ditinggalkan rakyatnya. Lebih baik raja yang

kejam daripada raja yang kikir dan sewenang-wenang. Raja yang kikir dan

sewenang-wenang lebih baik daripada raja awisesa, yaitu raja yang

mencampurbaurkan persoalan. Orang-orang yang arif bijaksana direndahkan

dan orang yang hina dimuliakan, itulah mencampur-baurkan namanya. Bila

ada raja yang demikian akan ditinggalkan oleh orang-orang arif.

Kutipan ini menunjukkan beberapa hal yang harus dihindari oleh seorang

pemimpin agar tak ditinggalkan oleh para pengikutnya. Seorang pemimpin

yang baik menurut ajaran Hindu haruslah memperhatikan masalah

Page 117: Soal Ujian Agama Hindu

kesejahteraan para pengikutnya. Petunjuk tentang itu dapat dilihat pada

nasehat Rama kepada Wibisana berikut ini:

Dewa kusala salam mwang dharma ya pahayun,Mas ya ta pahawreddhin

bhaya ring hayu kekesan, Bhukti akaharepta wehing bala kasukan, Dharma

kalawan artha mwang kama ta ngaranika. (Kakawin Ramayana III, 54)

Terjemahan:

Pura-pura (tempat suci), rumah sakit dan pedarman supaya diperbaiki, supaya

diperbanyak untuk biaya pembangunan disimpan baik-baik. Nikmatilah apa

yang kamu ingini berilah kesejahteraan. Dharma, artha, dan kama namanya

demikian itu.

Santasih nitya thaganan Kasih sayang hendaknya engkau selalu lakukan.

(Ramayana III, 65)

Kutipan ini juga mengandung makna bahwa raja atau pemimpin harus

mengembangkan nilai kejujuran (satya ta sira mojar) dan karena itu semua

rakyat akan segan terhadap raja atau pemimpinnya.

Kepemimpinan Yang Paripurna Menurut Hindu "Gunamanta Sang Dasarata

Wruh Sira Ring Weda Bhakti Ring Dewa Tarmalupueng Pitra Puja

Masih Ta Sireng Swagotra Kabeh"

Kutipan bait Ramayana di atas, menegaskan bahwa seorang pemimpin yang

sempurna dalam konsep Hindu adalah seorang Rajarsi atau satria pandita.

Artinya, seorang pemimpin harus memiliki kedua sifat dalam dirinya, yaitu

sifat seorang Ksatria yang gagah berani dalam menegakkan dharma, dan

seorang pandita yang arif bijaksana, selalu dalam kesucian, dan penuh cinta

kasih.

26. KERAGAMAN RITUAL

Page 118: Soal Ujian Agama Hindu

ritual Hindu adalah representasi dari Upanishad yang melanjutkan pekerjaan

Brahmana dan Aranyakas dalam menafsirkan makna dari ritual srauta. With

these texts the increasing importance of knowledge of esoteric

correspondences are observed as compared to ritual action. Dengan teks-teks

ini semakin pentingnya pengetahuan esoterik korespondensi diamati

dibandingkan dengan tindakan ritual. The sections on knowledge

(jnanakanda) take precedence over sections on ritual (karmakanda). Bagian-

bagian pada pengetahuan (jnanakanda) didahulukan dari bagian pada ritual

(karmakanda). The earlier Upanisads continue the magical speculations of the

Brahmanas, which maintained that knowledge of the correspondences

between ritual and cosmos is a kind of power. The Upanisads sebelumnya

melanjutkan spekulasi magis dari Brahmanas, yang berpendirian bahwa

pengetahuan tentang korespondensi antara ritual dan kosmos adalah semacam

kekuasaan. desa-kala-patra (tempat-waktu-suasana) adalah konsep kerja

dalam kerifan lokal di Bali memang mendasari proses bekerja di Mandiri.

Denga cara kerja Bertolak Dari Yang Ada, tak ada yang bisa menghalangi apa

yang ingin dikerjakan, asalkan mengadaptasi desa-kala-patra secara kreatif.

Bahkan konsep pun bila perlu akan kami langgar dan tolak sendiri, kalau

memang sudah tidak sesuai/terbukti tidak benar lagi dari sudut desa-kala-

patra. Apakah itu berarti tidak punya pendirian? Entahlah, kami hanya ingin

tumbuh, berkembang dan hidup yang wajar, tidak terkekang oleh dogma-

dogma yang salah atau kedaluwarsa.

27. APLIKASI WEDA DI KALTENG

Sebelum datangnya agama-agama tradisi besar dan resmi diakui oleh

pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri,

yang disebut Kaharingan. Kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan

kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi

juga ajaran untuk berperilaku. Kepercayaan Kaharingan ini tidak memiliki

kitab suci dan ajarannya hanya disampaikan secara lisan dan turun-temurun.

Page 119: Soal Ujian Agama Hindu

Menurut kepercayaan Kaharingan, masyarakat Dayak mempercayai banyak

dewa di sekitar mereka, seperti dewa-dewa yang menguasai tanah, sungai,

pohon, batu, dan sebagainya. Dari dewa-dewa tersebut, terdapat dewa yang

tertinggi, yang sebutannya berbeda-beda antara Sub suku Dayak satu dengan

yang lainnya, misalnya Dayak Ot Danum menyebut dewa yang tertinggi

Mahatara, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya Ranying Mahatalla Langit.

Setiap orang yang akan melakukan sesuatu pekerjaan harus meminta ijin

terhadap dewa-dewa yang bersangkutan agar tidak terjadi bencana, kesialan,

sakit, dan sebagainya. Orang Dayak juga mengenal isyarat-isyarat alam

apabila hendak bepergian jauh, seperti arah terbang burung, suara burung-

burung tertentu, ada ular yang melintas di depannya, dan sebagainya. Hal ini

bukan karena orang Dayak tidak percaya adanya Tuhan. Mereka percaya

adanya Tuhan, tetapi Tuhan tidak berbicara langsung kepada manusia,

melainkan dengan perantara alam atau isyarat-isyarat alam tersebut.

Suku Dayak sangat terbuka dengan pengaruh budaya luar, termasuk di

antaranya kehadiran agama-agama tradisi besar. Dengan keterbukaannya

tersebut, maka dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk menyebarkan

agamanya. Islam telah masuk ke Kalimantan sejak abad ke-13, dibawa oleh

kaum pendatang yang berasal dari daerah lain, seperti Jawa, Melayu, Bugis,

dan sebagainya. Suku Dayak yang tinggal di daerah pesisir dan banyak

berhubungan dengan para pendatang dari suku-suku lain, banyak yang

kemudian memeluk agama Islam. Sedangkan kegiatan misionaris agama

Kristen Katholik dan Kristen Protestan telah masuk ke pedalaman Kalimantan

dan berjalan dengan gencar sejak abad ke-19. Dalam upaya Kristenisasi dan

Katholikisasi terhadap Suku Dayak di pedalaman, mereka banyak

menggunakan media pelayanan sosial, seperti bantuan pendidikan, bantuan

ekonomi, dan pelayanan kesehatan. Upaya penyebaran agama-agama tradisi

besar ini cukup berhasil, terutama dalam merekrut generasi mudanya sehingga

pada saat ini sebagian besar generasi muda Dayak telah memeluk agama

Islam, Kristen, maupun Katholik. Akan tetapi sebagian dari mereka tetap

Page 120: Soal Ujian Agama Hindu

bertahan pada kepercayaan Kaharingan. Kedatangan agama-agama tradisi

besar tersebut di atas ternyata juga membawa dampak buruk terhadap

kehidupan orang-orang Suku Dayak. Hal ini dikarenakan agama-agama tradisi

besar pada umumnya memandang kepercayaan-kepercayaan di luar mereka

sebagai sesuatu yang eksotik, salah, dan harus diluruskan sesuai dengan ajaran

agama mereka. Seorang Dayak yang sudah menganut Islam akan merasa malu

mengakui dirinya sebagai orang Dayak. Ia akan mengidentifikasi dirinya

sebagai orang Melayu Menurut pandangan mereka, orang Melayu dengan

agama Islamnya identik dengan kemajuan dan kemoderenan, sedangkan orang

Dayak dengan kepercayaan Kaharingan-nya identik dengan ketertinggalan

dan kekolotan. Sementara itu keberadaan agama Kristen dan Katholik juga

tidak mendukung pelestarian adat-istiadat dan tradisi Suku Dayak. Banyak

upacara Suku Dayak yang berhubungan dengan upacara kematian, pemujaan

roh nenek moyang yang telah meninggal, dan pemujaan alam lingkungan

yang dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen dan

Katholik, seperti upacara Tewah/Dalo, upacara penolak bala dan sebagainya.

Dengan hilangnya upacara-upacara tersebut, hilang pula nilai-nilai dan norma-

norma yang terkandung di dalam tatanan masyarakat Dayak, seperti

pelestarian hutan, rasa menghargai terhadap semua makhluk hidup yang ada

di alam lingkungan, penghormatan terhadap leluhur, dan sebagainya.

 Pada jaman Orde Baru pemerintah memberlakukan lima agama besar yang

resmi diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu Dharma, dan

Budha. Hal ini mengakibatkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat Dayak

yang menganut kepercayaan Kaharingan. Di satu pihak mereka harus memilih

salah satu dari agama-agama yang diakui pemerintah, sementara di pihak lain

ajaran-ajaran yang ditawarkan oleh para misionanis dan penyebar agama

tersebut dianggap tidak dapat mewadahi kepercayaan asli mereka. Pada

akhirnya para penganut kepercayaan Kaharingan memilih agama Hindu

Dharma sebagai agama resmi mereka karena adanya persamaan mendasar

antara keduanya, khususnya dengan yang masih dipraktikkan oleh masyarakat

Suku Bali sebagai penganut agama Hindu Dharma mayoritas di Indonesia.

Page 121: Soal Ujian Agama Hindu

Persamaan antara kepercayaan Kaharingan dengan ajaran Hindu Dharma

adalah sebagai berikut 1) Percaya Reinkarnasi, yaitu percaya bahwa roh yang

telah meninggal dapat lahir kembali, baik ke dalam tubuh manusia, binatang,

tumbuhan, atau bersemayam pada benda-benda mati, misalnya batu besar,

pertemuan sungai, puncak-puncak gunung, dan sebagainya.

2) Upacara kematian dan pemujaan terhadap arwah leluhur. Orang-orang

Dayak memiliki tradisi yang beraneka ragam dalam memperlakukan jenazah

dengan tiga cara, yaitu dikubur di dalam tanah, disemayamkan di atas tanah

atau diatas pohon di dalam hutan, dan dikremasi. Sedangkan Dayak Ngaju

menguburkan jenazah di dalam tanah terlebih dahulu, setelah beberapa tahun

kemudian digali kembali dan tulang-tulangnya dibakar. Upacara ini

mempunyai persamaan dengan di Bali, di mana jenazah orang yang

meninggal ada yang dikremasi dikubur di dalam tanah, atau disemayamkan di

atas tanah. Arwah leluhur yang telah meninggal pada masyarakat Dayak

dipercayai bersemayam di puncak-puncak pegunungan atau di hutan-hutan

dan mempunyai kekuatan untuk melindungi keturunannya. Sedangkan di Bali

arwah leluhur dipuja di mrajan (pura milik keluarga).

3) Upacara yang berkaitan dengan pemujaan kepada lingkungan alam.

Lingkungan alam yang paling dekat dengan Suku Dayak adalah lingkungan

hutan. Manfaat hutan bagi orang Dayak, antara lain:

a. berkaitan dengan kepercayaan hutan sebagai tempat tinggal dewa penguasa

hutan dan arwah nenek moyang yang melindungi manusia.

b. berkaitan dengan sumber mata pencaharian : hutan sebagai sumber

kehidupan karena merupakan tempat untuk berburu binatang dan mencari

makanan.

 Di Bali praktik upacara-upacara yang berhubungan dengan lingkungan alam

masih berjalan lestari sampai saat ini, seperti upacara Tawur Agung, Panca

Wali Krama, Eka Dasa Rudra, dan sebagainya Setelah bergabung dengan

agama Hindu Dharma, maka secara tidak resmi muncul istilah Hindu

Kaharingan, yaitu untuk menyebut orang-orang Dayak yang telah memeluk

agama Hindu Dharma. Konsekuensi logis dan bergabungnya mereka ke dalam

Page 122: Soal Ujian Agama Hindu

agama Hindu Dharma adalah dilakukannya pembinaan oleh Parisada Hindu

Dharma Indonesia (PHDI) sebagai majelis tertinggi Agama Hindu Dharma di

Indonesia.

 Ketika kekuasaan Orde Baru runtuh dan bergulir semangat reformasi, maka

timbul perpecahan di antara umat Hindu Kaharingan. Sebagian dari mereka

menyatakan tetap bergabung dengan agama Hindu Dharma dengan tetap

mengakui PHDI sebagai lembaga tertinggi umat Hindu yang resmi diakui oleh

pemerintah. Sebagian lagi menyatakan bahwa Hindu Kaharingan sebagai

agama yang berdiri sendiri, terpisah dari agama Hindu Dharma. Pada saat ini

mereka tengah memperjuangkan kepada pemerintah agar agama Hindu

Kaharingan dapat diakui sebagai agama resmi oleh pemerintah, sejajar dengan

agama-agama lainnya. Mereka juga telah membuat majelis umat tersendiri di

luar PHDI. Namun tampaknya juga belum ada kesepakatan bersama dalam

membentuk “PHDI Tandingan” ini. Hal ini terlihat dari beberapa nama

majelis yang ditawarkan sebagai wadah umat Hindu Kaharingan, antara lain

BAKDI (Badan Agama Kaharingan Dayak Indonesia) dan Majelis Hindu

Kaharingan.

 Dari uraian di atas, dapat diketahui permasalahannya, yaitu mengapa umat

Hindu Kaharingan terpecah menjadi dua? Di satu pihak menyatakan tetap

bergabung dengan agama Hindu Dharma, di lain pihak menginginkan Hindu

Kaharingan berdiri sebagai agama tersendiri, lepas dari agama Hindu Dharma,

dan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah. Kebijakan apa yang

sebaiknya ditempuh pemerintah untuk mengatasi hal ini?

Antara umat Hindu Kaharingan yang tetap ingin bergabung dan yang ingin

keluar dari agama Hindu Dharma tersebut tentu memiliki pemahaman yang

berbeda mengenai ajaran Hindu Dharma itu sendiri. Pihak yang ingin keluar

dari agama Hindu Dharma menganggap ajaran Hindu Dharma tidak cocok

diterapkan pada kepercayaan Kaharingan. Di pihak lain, sebagian dari mereka

menganggap ajaran Hindu Dharma cocok dan relevan untuk diterapkan pada

kepercayaan Kaharingan. Untuk itu perlu dibahas satu demi satu aspek-aspek

ajaran Hindu Dharma yang relevan dengan kepercayaan Kaharingan.

Page 123: Soal Ujian Agama Hindu

Konsep-Konsep Upacara dalam Ajaran Hindu Dharma 

Di dalam ajaran agama Hindu Dharma, upacara-upacara keagamaan terbagi

dalam lima kelompok besar, atau sering disebut dengan Panca Yadnya.

Kelima kelompok hesar tersebut adalah:

a) Dewa Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Tuhan beserta seluruh

manifestasinya (perwujudan Tuhan dalam bentuk dewa-dewa);

b) Rsi Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para rsi, pandita, nabi

atau kaum ulama, karena berjasa sebagai perantara dalam menjalin hubungan

antara manusia dengan Tuhan dan untuk memberikan ajaranajaran suci

kepada manusia c) Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada para

leluhur atau orang tua yang sudah meninggal sebagai perantara kelahiran

manusia d) Manusa Yadnya, yaitu upacara yang berkaitan dengan daur hidup

manusia, seperti kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian e) Bhuta

Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk menjalin keharmonisan dengan

segala sesuatu yang ada di alam semesta, seperti gunung, laut, sungai, dan

sebagainya. Termasuk pula di dalamnya kehidupan yang lebih rendah dan

manusia, yaitu makhluk halus, binatang dan tumbuhan. Di samping konsep

Panca Yadnya, ajaran Hindu Dharma juga mengenal konsep Tri Hita Karana,

yaitu konsep keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia

dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Upacara adalah sarana

untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan elemen-elemen yang ada di

dalam Tri Hita Karana tersebut. Dalam hal ini upacara Dewa Yadnya adalah

untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan; upacara

Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya untuk menjalin hubungan

harmonis antara manusia dengan manusia; sedangkan Bhuta Yadnya untuk

menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta. Dengan

demikian jenisjenis upacara tradisional pada agamaagama tradisi kecil

sebenarnya telah tercakup di dalam konsep Panca Yadnya dan Tri Hita

Karana.

-------------- Suksma --------------

Page 124: Soal Ujian Agama Hindu