iv hasil dan pembahasan 4.1 analisis kualitas bahan baku

22
32 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku Bahan baku adalah bahan pokok atau bahan utama yang diolah dalam proses produksi menjadi produk jadi. Sehingga bahan baku merupakan bahan yang memiliki komposisi paling besar dalam sebuah produk. Oleh karena itu, sangat penting memastikan kualitas dari bahan baku yang digunakan karena dapat mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan. Analisa bahan baku pada penelitian dilakukan untuk mengetahui kondisi awal bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan susu pasteurisasi. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu susu sapi segar diperoleh dari Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Batu Malang, Jawa Timur. Parameter yang dianalisa terhadap bahan baku meliputi uji alkohol 70%, pH, viskositas, kadar protein terlarut, kadar lemak, dan total mikroba (TPC). Data hasil analisa bahan baku pada susu pasteurisasi dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Data hasil analisis kualitas susu sapi segar Parameter Susu Sapi Segar Hasil Analisis Literatur Uji alkohol 70% Negatif Negatif a pH 6,47 6,3 - 6,8 a Viskositas (cP) 4 2 b Kadar Protein Terlarut (%) 0,70 Min 2,8 a (protein total) Kadar Lemak (%) 3,9 Min 3,0 a dan 3,88 c Total Mikroba (log CFU/mL) 5,68 Maks 6 a Sumber : SNI (2011) a , Warsito et al. (2015) b , Hernawan (2007) c Tabel 4.1 menunjukkan data hasil analisis kualitas bahan baku susu sapi segar yang dibandingkan dengan literatur. Data tersebut menunjukkan bahwa komponen terbesar pada susu sapi segar yaitu protein. Uji alkohol 70%, pH, kadar lemak, dan total mikroba hasil analisis susu sapi segar yang digunakan pada penelitian ini memiliki nilai yang tidak berbeda jauh dengan syarat literatur. Viskositas susu sapi segar hasil analisis menunjukkan nilai 4 cP dan susu segar menurut literatur menunjukkan nilai 2 cP. Hasil analisis karakteristik kimia juga menunjukkan bahwa kadar protein terlarut sedikit berbeda dibandingkan literatur. Secara keseluruhan kualitas bahan baku susu sapi segar di BBPP Batu Malang

Upload: others

Post on 22-Apr-2022

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

32

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

Bahan baku adalah bahan pokok atau bahan utama yang diolah dalam proses

produksi menjadi produk jadi. Sehingga bahan baku merupakan bahan yang

memiliki komposisi paling besar dalam sebuah produk. Oleh karena itu, sangat

penting memastikan kualitas dari bahan baku yang digunakan karena dapat

mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan.

Analisa bahan baku pada penelitian dilakukan untuk mengetahui kondisi awal

bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan susu pasteurisasi. Bahan

baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu susu sapi segar diperoleh dari

Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Batu – Malang, Jawa Timur.

Parameter yang dianalisa terhadap bahan baku meliputi uji alkohol 70%, pH,

viskositas, kadar protein terlarut, kadar lemak, dan total mikroba (TPC). Data

hasil analisa bahan baku pada susu pasteurisasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data hasil analisis kualitas susu sapi segar

Parameter Susu Sapi Segar

Hasil Analisis Literatur

Uji alkohol 70% Negatif Negatifa

pH 6,47 6,3 - 6,8a

Viskositas (cP) 4 2b

Kadar Protein Terlarut (%) 0,70 Min 2,8a (protein total)

Kadar Lemak (%) 3,9 Min 3,0a dan 3,88

c

Total Mikroba (log CFU/mL) 5,68 Maks 6a

Sumber : SNI (2011)a, Warsito et al. (2015)

b, Hernawan (2007)

c

Tabel 4.1 menunjukkan data hasil analisis kualitas bahan baku susu sapi

segar yang dibandingkan dengan literatur. Data tersebut menunjukkan bahwa

komponen terbesar pada susu sapi segar yaitu protein. Uji alkohol 70%, pH,

kadar lemak, dan total mikroba hasil analisis susu sapi segar yang digunakan

pada penelitian ini memiliki nilai yang tidak berbeda jauh dengan syarat literatur.

Viskositas susu sapi segar hasil analisis menunjukkan nilai 4 cP dan susu segar

menurut literatur menunjukkan nilai 2 cP. Hasil analisis karakteristik kimia juga

menunjukkan bahwa kadar protein terlarut sedikit berbeda dibandingkan literatur.

Secara keseluruhan kualitas bahan baku susu sapi segar di BBPP Batu – Malang

Page 2: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

33

telah memenuhi persyaratan SNI yaitu tidak melewati batas minimum dan

maksimum pada susu segar yang ditetapkan SNI no 01-3141.1 tahun 2011.

Uji alkohol dilakukan untuk menentukan kualitas susu segar dan layak

tidaknya susu untuk diproses. Keasaman susu akan menyebabkan rusaknya

susu, bila dengan uji alkohol 70% terjadi penggumpalan susu, berarti uji tersebut

positif atau susu telah rusak, sehingga kurang baik untuk dikonsumsi atau di

proses. Apabila pada uji alkohol tidak terjadi penggumpalan maka uji alkohol

negatif atau susu masih dalam keadaan baik dan layak untuk dikonsumsi atau di

proses (Soeparno et al., 2001). Standar ini menetapkan metode untuk

memeriksa dengan cepat derajat keasaman susu segar. Uji alkohol hanya dapat

dijadikan sebagai uji kasar terhadap jumlah bakteri total dan untuk mengetahui

jumlah bakteri secara kuantitatif. Berdasarkan hasil pengujian (uji alkohol 70%),

bahan baku susu sapi segar sesuai dengan literatur yang menyatakan apabila

tidak terjadi penggumpalan maka hasilnya negatif. Selain itu, bahan baku telah

memenuhi standar yang ditetapkan dengan mengacu pada SNI yaitu negatif

(SNI, 2011).

Menurut Hadiwiyoto (2003), pH di bawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum

atau kerusakan karena bakteri. Hal ini sesuai karena total mikroba pada bahan

baku termasuk tinggi. Tingginya total mikroba pada susu segar menunjukkan

kemungkinan adanya cemaran susu sapi dari luar atau dari sumber lainnya.

Sumber- sumber pencemaran bakteri dalam susu sapi dapat berasal dari saluran

puting susu, lingkungan kandang, tubuh sapi, feses sapi, pakan, peralatan

pemerahan, dan pekerja. Selain itu pencemaran juga dapat terjadi selama

penampungan, penyimpanan, pengangkutan, pemasaran dan transportasi

(Widarto, 1991 dalam Kusumaningsih dan Ariyanti, 2013). Namun nilai pH dan

total mikroba bahan baku masih memenuhi persyaratan SNI.

Fadela et al. (2009), menyatakan bahwa viskositas juga dipengaruhi oleh

kualitas susu, dimana kualitas susu dipengaruhi oleh psikologis ternak seperti

pakan, bangsa ternak, dan lingkungan. Lebih kentalnya susu dibandingkan air

adalah karena banyaknya bahan kering yang terdapat didalamnya, seperti lemak,

protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Viskositas susu juga bisa dipengaruhi

antara lain yaitu tercemar oleh kuman-kuman E.coli yang menyebabkan susu

berlendir karena alat yang tidak bersih dan susu lebih encer kemungkinan

adanya penambahan sejumlah air kedalam susu (Saleh, 2004). Viskositas dan

berat jenis merupakan sifat fisik susu yang dipengaruhi oleh komposisi susu, nilai

Page 3: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

34

protein dan lemak susu. Viskositas susu akan meningkat diikuti meningkatnya

berat jenis susu. Semakin kental susu maka semakin banyak jumlah padatan

didalam susu yang akan meningkatkan berat jenis susu. Oleh karena itu,

viskositas dan berat jenis selalu berbanding positif. Menurut Herdiansyah (2011),

jika berat jenis susu rendah maka kekentalan susu tersebut sangat rendah,

namun sebaliknya jika viskositas kandungan bahan kering tinggi atau berat jenis

susu tinggi maka viskositas susu tersebut akan tinggi juga. Viskositas bahan

baku susu sapi segar pada penelitian lebih tinggi dari literatur diduga kandungan

bahan kering tinggi atau berat jenis susu tinggi.

Adanya perbedaan hasil analisis kualitas bahan baku susu sapi segar dengan

literatur dimungkinkan karena adanya perbedaan jenis ternak dan keturunannya

(hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, infeksi/peradangan pada ambing,

nutrisi/pakan ternak, lingkungan, dan prosedur pemerahan susu yang berbeda.

Keseluruhan faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor-faktor

yang ditimbulkan oleh lingkungan, genetik dan manajemen (Saleh, 2004).

Perbedaan kadar protein dapat disebabkan karena adanya perbedaan metode

dalam analisis kadar protein, metode analisis yang digunakan untuk penelitian ini

adalah metode biuret yang hanya menghitung protein terlarut saja, sedangkan

kadar protein yang terdapat di literatur merupakan protein total. Pada penelitian

ini, kadar protein dihitung dengan menggunakan metode biuret untuk melihat

kadar protein terlarut dalam susu pasteurisasi. Selain itu, protein susu terbentuk

dari pakan konsentrat yang dikonsumsi oleh ternak kemudian akan disintesis

oleh mikroba rumen menjadi asam amino dan asam amino tersebut diserap

dalam usus halus dan dialirkan ke darah dan masuk ke sel-sel sekresi ambing

dan nantinya menjadi potein susu (Utari et al., 2012).

Kadar lemak bahan baku dalam penelitian lebih tinggi dari literatur yakni

3,93%. Sedangkan kadar lemak susu sapi FH hasil penelitian Hernawan (2007)

adalah 3,88% dan dinyatakan bahwa kadar lemak susu dipengaruhi oleh pakan

karena sebagian besar dari komponen susu disintesis dalam ambing dari

substrat sederhana yang berasal dari pakan. Hal ini dikarenakan kandungan

lemak susu berkaitan dengan jenis pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Pakan

yang banyak mengandung serat kasar (hijauan) akan mengakibatkan tingginya

kandungan lemak di dalam susu jika konsentrat lebih banyak diberikan maka

produksi susu akan meningkat dan kandungan lemak susu akan berkurang.

Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992), kadar lemak susu dipengaruhi oleh

Page 4: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

35

beberapa faktor yaitu : 1) Makanan yaitu kadar lemak yang rendah dalam

makanan dapat menurunkan kadar lemak susu yang dihasilkan, 2) Pengaruh

iklim yaitu musim dingin kadar lemak susu lebih tinggi, 3) Waktu laktasi dan

prosedur pemerahan yaitu setelah hari kelima pemerahan maka kadar lemak

akan naik, 4) Umur sapi yaitu makin tua sapi maka akan rendah kadar lemak

susu yang dihasilkan, 5) Waktu pemerahan yaitu kadar lemak akan berbeda jika,

pemerahan pada pagi hari dan kemudian sore harinya. Akers (2002)

menambahkan bahwa kadar lemak susu lebih dipengaruhi oleh faktor kecukupan

nutrisi, genetik, bangsa, umur laktasi dan musim.

4.2 Kualitas Produk Susu Pasteurisasi

4.2.1 pH

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Nilai pH atau derajat

keasaman juga merupakan nilai yang menunjukkan konsentrasi ion H+ yang

berada pada suatu bahan (Rustan, 2013). Apabila nilai pH semakin rendah maka

semakin banyak ion H+ yang berada dalam bahan tersebut. Menurut Winarno

(1998), menyatakan bahwa nilai pH pada bahan pangan mempengaruhi

keaktifan enzim dan aktivitas mikroorganisme, sehingga pH dapat digunakan

sebagai acuan untuk menentukan tingkat kerusakan bahan pangan. Nilai pH

bervariasi dari 1 hingga 14. Rerata pH susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu

pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Page 5: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

36

Gambar 4.1 Rerata pH susu pasteurisasi dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling)

dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan

Gambar 4.1 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin tinggi suhu

pengisian (filling) cenderung dapat menurunkan nilai pH dalam susu pasteurisasi.

Semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan juga cenderung menyebabkan

penurunan nilai pH. Nilai pH setelah hari ke-5 penyimpanan (refrigerator dan

freezer) paling tinggi terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu

pengisian (filling) 7oC dan kondisi penyimpanan freezer yaitu 6,52 sedangkan

nilai pH paling rendah terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu

pengisian (filling) 27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 6,43.

Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan suhu

pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH susu pasteurisasi,

sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap nilai pH.

Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap nilai pH susu

pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT perlakuan kondisi penyimpanan terhadap nilai

pH susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rerata nilai pH susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan

Kondisi Penyimpanan Rerata pH Urutan Notasi BNT (5%)

Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 6,58 6,58 a

0,05 Refrigerator (Hari ke-5) 6,45 6,51 ab

Freezer (Hari ke-5) 6,51 6,45 b

Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)

6,55±0,07

6,43±0,01

6,50±0,12

6,58±0,09

6,45±0,09

6,51±0,15

6,60±0,10

6,46±0,11

6,52±0,11

6.25

6.30

6.35

6.40

6.45

6.50

6.55

6.60

6.65

6.70

Tanpa Penyimpanan

Refrigerator Freezer

Nilai p

H

Kondisi Penyimpanan

27ᵒC

17ᵒC

7ᵒC

(Hari ke-0) (Hari ke-5) (Hari ke-5)

Page 6: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

37

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa rerata nilai pH tertinggi diperoleh pada

perlakuan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) sebesar 6,58

sedangkan rerata nilai pH terendah diperoleh dari perlakuan kondisi

penyimpanan refrigerator (Hari ke-5) yaitu 6,45. Selisih penurunan rerata pH

tertinggi yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan refrigerator jika dibandingkan

dengan tanpa penyimpanan sebesar 0,13. Hal ini karena selama penyimpanan

dan makin tinggi suhu kondisi penyimpanan yang dilakukan akan menyebabkan

penurunan pH, yang menunjukkan bahwa tingkat keasaman susu semakin tinggi.

Perubahan pH susu pasteurisasi pada 5 hari pendinginan dalam refrigerator dan

freezer mengindikan diduga terjadinya proses metabolisme yang menghasilkan

asam organik terutama asam laktat yang semakin meningkat seiring

bertambahnya masa penyimpanan. Seiring dengan lamanya penyimpanan, pH

yang dicapai semakin menurun karena adanya aktivitas bakteri (Fauzan, 2011).

Hal ini juga sesuai dengan Legowo (2002), selama penyimpanan, keasaman

susu cenderung meningkat karena sebagian laktosa akan diubah oleh mikroba

menjadi asam laktat dan asam organik lainnya. Besarnya nilai keasaman

tersebut berbanding terbalik dengan pH. Artinya, bila keasaman susu meningkat

maka nilai pH menurun. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Buckle et al.

(1987) dan Suhendar et al. (2008), bahwa semakin lama waktu penyimpanan

maka semakin tinggi keasaman susu pasteurisasi. Hal tersebut disebabkan

aktivitas bakteri pembusuk asam laktat seperti Streptococcus thermophilus,

Lactobacillus laktis, dan Lactobacillus thermophilus. Tingginya nilai keasaman

karena pembentukan asam laktat laktosa dan menyebabkan turunnya pH susu.

Pasteurisasi susu dapat membunuh bakteri yang aktif memproduksi asam,

tetapi bakteri yang tahan panas seperti Enterococcus, Streptococcus

thermophillus, dan Lactobacillus masih dapat tumbuh dan menyebabkan

fermentasi asam laktat. Asam laktat tersebut menyebabkan susu menjadi asam

dan pH-nya semakin rendah dan susu pasteurisasi akan pecah, artinya emulsi

antara air dan komponen lainnya memisah karena emulgator alami didalam susu

yaitu kasein terdenaturasi (Sakinah et al., 2010).

Nilai pH dapat diartikan suatu kondisi yang bersifat kebasaan atau keasaman.

Pembentukan asam dalam susu disebabkan karena aktivitas bakteri yang

memecah laktosa membentuk asam laktat. Persentase asam dalam susu dapat

digunakan sebagai indikator umur dan penanganan susu (Soewedo, 1982 dalam

Umar et al., 2014). Proses keasaman susu juga dapat disebabkan oleh berbagai

Page 7: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

38

senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa fosfat yang kompleks,

asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu.

Penurunan pH ini sesuai dengan yang dikatakan Buckle et al. (1987), bahwa

adanya kegiatan mikroorganisme yang menghasilkan asam laktat, dapat

menurunkan pH susu menjadi 6,2-5,9.

Selain itu, menurunnya pH susu setelah dipasteurisasi diduga disebabkan

juga karena kandungan flavor dalam susu yang merupakan ester dapat

terhidrolisis di dalam kandungan air pada susu menjadi asam lemah sehingga

dapat menurunkan pH susu (Sastry, 2011). Penurunan suhu diketahui dapat

menurunkan kecepatan reaksi kimia. Oleh karena itu, semakin rendah suhu

kondisi penyimpanan maka nilai pH semakin tinggi. Pada suhu rendah (freezer),

kenaikan jumlah mikroorganisme yang terdapat pada susu pasteurisasi tidak

terlalu banyak karena pada suhu freezer dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme sehingga pH pada suhu freezer mengalami penurunan namun

tidak terlalu signifikan.

4.2.2 Viskositas (cP)

Viskositas didefinisikan sebagai gesekan internal dalam fluida atau

kecenderungan untuk menahan aliran. Viskositas sebagai salah satu sifat

rheologi fluida merupakan sifat fisik yang turut menentukan kualitas makanan

yang berbentuk cair. Pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap viskositas harus

diketahui untuk memahami satuan operasi, seperti perpindahan panas dan

evaporasi pemekatan makanan berbentuk cair (Aziz dan Wulandari, 2009).

Viskositas disebut juga dengan kekentalan. Pada umumnya, cairan yang

kental mempunyai viskositas yang lebih besar dibandingkan cairan yang encer.

Semua cairan, termasuk susu mempunyai viskositas lebih besar pada suhu

rendah dibandingkan pada suhu tinggi. Viskositas susu menurun ketika

dipanaskan selama proses pasteurisasi, tetapi susu dipanaskan dengan tekanan,

viskositasnya akan meningkat. Jika dilakukan pengadukan cukup lama,

viskositasnya akan menurun. Proses pengasaman dan pertumbuhan bakteri

tertentu pada susu menyebabkan kenaikan viskositas susu (Muchtadi dan

Sugiyono, 1992). Rerata viskositas susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu

filling dan kondisi penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Page 8: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

39

Gambar 4.2 Rerata viskositas susu pasteurisasi dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan

Gambar 4.2 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin rendah

suhu pengisian (filling) cenderung dapat meningkatkan nilai viskositas dalam

susu pasteurisasi. Semakin rendah suhu kondisi penyimpanan juga cenderung

menyebabkan peningkatan nilai viskositas. Nilai viskositas setelah hari ke-5

penyimpanan (refrigerator dan freezer) paling tinggi terdapat pada susu

pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi

penyimpanan freezer yaitu 5 cP (5,33 cP) sedangkan nilai viskositas paling

rendah terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling)

27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 4 cP (4,33 cP).

Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan suhu

pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas susu

pasteurisasi, sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05)

terhadap nilai viskositas. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut

terhadap nilai viskositas susu pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT perlakuan kondisi

penyimpanan terhadap nilai viskositas susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel

4.3.

4±04±1

5±0

4±05±1

5±0

4±1

5±05±1

0

1

2

3

4

5

6

Tanpa Penyimpanan

Refrigerator Freezer

Nilai V

isko

sit

as (

cP

)

Kondisi Penyimpanan

27ᵒC

17ᵒC

7ᵒC

(Hari ke-0) (Hari ke-5) (Hari ke-5)

Page 9: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

40

Tabel 4.3 Rerata nilai viskositas susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan

Kondisi Penyimpanan Rerata

Viskositas (cP) Urutan Notasi

BNT (5%)

Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 4 5 a

0,4 Refrigerator (Hari ke-5) 5 5 a

Freezer (Hari ke-5) 5 4 b

Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata nilai viskositas tertinggi diperoleh pada

perlakuan kondisi penyimpanan freezer (Hari ke-5) sebesar 5 cP (5,33 cP)

sedangkan rerata nilai viskositas terendah diperoleh dari perlakuan suhu

penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) yaitu 4 cP. Selisih peningkatan

rerata pH tertinggi yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan freezer jika

dibandingkan dengan tanpa penyimpanan sebesar 1 cP (1,33 cP). Hal ini karena

semakin rendah suhu kondisi penyimpanan yang dilakukan akan menyebabkan

viskositas semakin tinggi diduga disebabkan terjadi clumping dari globula-globula

lemak. Selain itu, homogenisasi dapat meningkatkan susu penuh, tetapi sedikit

menurunkan viskositas susu skim. Hal ini disebabkan karena homogenisasi

menyebabkan globula lemak menjadi kecil, sehingga mempunyai luas permu-

kaan yang lebih besar. Luas permukaan yang lebih besar menyebabkan lapisan

film protein yang terserap pada permukaan globula lemak lebih banyak, sehingga

viskositas meningkat.

Menurut Warkoyo dan Hudyatmoko (2007) viskositas produk susu

pasteurisasi di pasaran yaitu sebesar 4 cP. Berdasarkan hasil penelitian

diperoleh hasil viskositas yang masih memenuhi standar produk susu

pasteurisasi yang beredar di pasaran. Berdasarkan nilai rataan tersebut dapat

dilihat bahwa pengaruh perlakuan penyimpanan dalam refrigerator dan freezer

terhadap viskositas susu pasteurisasi semakin lama semakin meningkat dengan

semakin rendahnya suhu. Hal ini diduga karena pengaruh suhu di dalam

refrigerator dan freezer semakin lama semakin dingin sehingga terjadi

penggumpalan di dalam susu. Asmoel (2009) dalam Ismanto et al. (2013),

memperkuat bahwa pengaruh pendinginan yang semakin lama maka suhunya

akan semakin rendah. Mas’ud (2012), memperjelas bahwa penurunan suhu

mengakibatkan konsistensi lemak susu menjadi lebih padat. Karena berat jenis

lemak yang padat lebih berat daripada lemak cair maka berat jenis susu akan

meningkat sehingga viskositas juga meningkat.

Page 10: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

41

Array (2008) dalam Ismanto et al. (2013), menyatakan bahwa suhu rendah

akan menyebabkan kenaikan viskositas susu karena terjadi clumping (gumpalan)

dari globula-globula lemak. Kesmavet (2011), pada suhu yang tinggi kekentalan

dari air susu akan berkurang, sedangkan pada suhu yang rendah kekentalan air

susu akan bertambah. Michal (2010), mengemukakan bahwa semua cairan,

termasuk susu mempunyai viskositas lebih besar pada suhu rendah

dibandingkan pada suhu tinggi dan viskositas susu menurun ketika dipanaskan

selama proses pasteurisasi.

Selain itu, diduga viskositas memiliki hubungan berbanding lurus dengan

jumlah padatan dalam susu. Semakin kental susu maka semakin banyak jumlah

padatan didalam susu yang akan meningkatkan berat jenis susu. Sejalan dengan

Herdiansyah (2011), jika berat jenis susu rendah maka kekentalan susu tersebut

sangat rendah, namun sebaliknya jika viskositas kandungan bahan kering tinggi

atau berat jenis susu tinggi maka viskositas susu tersebut akan tinggi juga. Hal

ini sejalan dengan Abubakar et al. (2000), yang menyatakan bahwa kandungan

air di dalam susu pasteurisasi mengalami penurunan dan kandungan bahan

padat semakin meningkat dengan semakin lama waktu penyimpanan sehingga

berat jenis dan kekentalannya meningkat. Semakin tinggi konsentrasi padatan

terlarut dalam suatu cairan, maka semakin tinggi pula variasi nilai viskositasnya

(Saravacos, 1970 dan Rao et al., 1984 dalam Aziz dan Wulandari, 2009).

4.2.3 Kadar Protein Terlarut (%)

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,

karena protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun, dan

zat pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung

unsure-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.

Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, dan terdapat jenis protein

yang mengandung unsur logam, seperti besi, dan tembaga (Winarno, 2002).

Protein terlarut merupakan potein yang larut di dalam air. Protein terlarut

tersebut yaitu asam amino dalam rantai protein dapat berinteraksi dengan air,

sehingga protein dapat tersuspensi dengan air. Rerata kadar protein terlarut susu

pasteurisasi dengan suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan yang

Page 11: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

42

berbeda yaitu antara 0,75% hingga 0,91%. Hasil analisa kadar protein terlarut

akibat perlakuan yang diberikan ditujukan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Rerata kadar protein terlarut dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan

Gambar 4.3 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin tinggi suhu

pengisian (filling) cenderung dapat menurunkan jumlah protein terlarut dalam

susu pasteurisasi. Semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan juga cenderung

menyebabkan penurunan jumlah protein terlarut. Kadar protein terlarut setelah

hari ke-5 penyimpanan (refrigerator dan freezer) paling tinggi terdapat pada susu

pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi

penyimpanan freezer yaitu 0,91%, sedangkan jumlah protein terlarut paling

rendah terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling)

27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 0,75%.

Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan suhu

pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein terlarut susu

pasteurisasi, sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05)

terhadap kadar protein terlarut. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor

tersebut terhadap kadar protein terlarut susu pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT

perlakuan kondisi penyimpanan terhadap kadar protein terlarut susu pasteurisasi

ditunjukkan pada Tabel 4.4.

0,89±0,08

0,75±0,04

0,83±0,06

0,90±0,09

0,77±0,03

0,87±0,090,91±0,06

0,83±0,07

0,89±0,09

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

1.00

Tanpa Penyimpanan

Refrigerator Freezer

Kad

ar

Pro

tein

Terl

aru

t (%

)

Kondisi Penyimpanan

27ᵒC

17ᵒC

7ᵒC

(Hari ke-0)

(Hari ke-5) (Hari ke-5)

Page 12: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

43

Tabel 4.4 Rerata kadar protein terlarut susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan

Kondisi Penyimpanan Rerata Protein

Terlarut (%) Urutan Notasi BNT (5%)

Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 0,90 0,90 a

0,19 Refrigerator (Hari ke-5) 0,78 0,86 ab

Freezer (Hari ke-5) 0,86 0,78 b

Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 1. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda

nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rerata kadar protein terlarut tertinggi diperoleh

pada perlakuan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) sebesar

0,90% sedangkan rerata kadar protein terendah diperoleh dari perlakuan kondisi

penyimpanan refrigerator (Hari ke-5) yaitu 0,78%. Selisih penurunan rerata kadar

protein terlarut tertinggi yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan refrigerator jika

dibandingkan dengan tanpa penyimpanan sebesar 0,12%. Hal ini karena

semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan yang dilakukan diduga akan

menyebabkan aktivitas mikroorganisme yang sangat besar sehingga

menyebabkan penurunan kadar protein terlarut yang cukup tinggi. Penurunan

kadar protein kemungkinan disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba

dalam susu pasteurisasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hadiwiyoto (1994),

bahwa penyimpanan susu dalam waktu lama memberikan peluang besar untuk

mempercepat pertumbuhan mikroba sehingga mengakibatkan penurunan kadar

protein susu.

Menurut Schroeder (2012), yang menyatakan bahwa persentase protein susu

umumnya menurun seiring dengan lamanya waktu simpan. Semakin lama susu

pasteurisasi disimpan, maka keasamannya akan semakin meningkat dan pH

semakin menurun yang dikarenakan terjadinya fermentasi pada susu. Susu

pasteurisasi yang asam akan menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi

protein tersebut dapat mengakibatkan terjadinya degradasi protein, sesuai

pendapat Tetriana et al. (2008), yang menyatakan bahwa degradasi protein

dapat mengakibatkan protein kehilangan fungsinya, sehingga mengakibatkan

protein pada susu pasteurisasi menjadi berkurang seiring dengan lamanya waktu

penyimpanan.

Hal ini didukung dengan pendapat Ophart (2013), bahwa denaturasi protein

dapat terjadi karena adanya susu yang asam, seiring dengan penyimpanan susu

dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan protein menjadi terkoagulasi

dan menggumpal. Menurut Heryansyah (2011) dalam Kartikasari (2016),

Page 13: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

44

gumpalan pada susu terjadi karena reaksi proteolisis dipengaruhi oleh

penyimpanan pada suhu rendah, inaktivasi bakteri pembentuk asam oleh panas,

pemecahan asam yang terbentuk pada susu oleh kapang dan khamir, atau

netralisasi asam oleh produk mikroba lainnya. Proteolisis asam merupakan

pengerutan gumpalan susu dan pengeluaran whey yang berlebihan yang diikuti

dengan pemecahan gumpalan susu sehingga penampakan berubah dari keruh

menjadi bening. Bakteri yang mempunyai sifat proteolitik aktif pada susu yaitu

Micrococcus, Alcaligenes, Psuedomonas, Flavobacterium, Seratia, dan bakteri

pembentuk spora yaitu Bacillus dan Clostridium.

Ditambahkan oleh Sotya (2005), bahwa pengolahan susu dengan cara

pemanasan dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizi. Selama proses

pemanasan susu dengan suhu tinggi hingga mendekati titik didih menyebabkan

beberapa perubahan terhadap kandungan nutrisi susu, seperti karamelisasi,

reaksi maillard, penggumpalan protein, oksidasi lemak, terdegradasinya vitamin

dan perubahan warna pada produk susu.

Protein yang ada dalam susu sebagian besar adalah kasein (76%) dan

protein whey (18%) (Susilorini dan Sawitri, 2006). Kasein terdiri dari campuran

tiga komponen protein, yaitu protein alpha (40-60%), kasein beta (20-30%), dan

kasein gamma (3-7%). Sesudah kasein dipisahkan dari air susu, sisanya yang

merupakan larutan dinamakan whey. Kira-kira 0,5-0,7% dari bahan protein yang

dapat larut dan tertinggal dalam whey yaitu protein laktoglobulin dan laktalbumin

(Astuti, 1995). Menurut McGee (2004), menyatakan bahwa kasein dapat

mengendap (terkoagulasi) akibat adanya pertumbuhan bakteri di dalam susu,

karena terjadi proses fermentasi laktosa menjadi asam laktat, sehingga

menyebabkan susu menjadi asam dan kasein akan terkoagulasi sedangkan

whey tidak dapat mengendap. Protein dengan penambahan asam atau

pemanasan akan mengalami koagulasi. Pada pH isoelektrik kelarutan protein

sangat menurun. Pada temperatur diatas 60oC kelarutan protein akan berkurang

(koagulasi), karena pada temperatur yang tinggi energi kinetik molekul protein

meningkat sehingga terjadi getaran yang cukup kuat untuk merusak ikatan atau

struktur sekunder, tersier dan kuartener yang menyebabkan koagulasi

(Simanjuntak, 2008). Kadar protein terlarut hasil penelitian rendah karena diduga

protein kasein yang ada di susu terkoagulasi karena aktivitas mikroorganisme

selama penyimpanan maka pada saat analisis protein terlarut menggunakan

Page 14: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

45

metode biuret (adanya proses pengendapan), sehingga kadar protein terlarut

menjadi rendah karena whey tidak dapat mengendap.

4.2.4 Kadar Lemak (%)

Lemak merupakan salah satu kandungan utama dalam makanan, dan

merupakan salah satu sumber utama energi dan mengandung lemak esensial.

Namun konsumsi lemak berlebihan dapat merugikan kesehatan, misalnya

kolesterol dan lemak jenuh. Komponen lemak memegang peranan penting yang

menentukan karakteristik fisik keseluruhan dalam makanan, seperti aroma,

tekstur, rasa, dan penampilan (Sudarmadji, 2003). Lemak juga merupakan target

untuk oksidasi yang menyebabkan pembentukan ketengikan, rasa tidak enak,

dan produk menjadi berbahaya. Sehingga semakin tinggi kandungan lemak

dalam suatu produk akan semakin pendek umur simpan dari produk tersebut

apabila juga tidak didukung dengan metode penyimpanan yang sesuai.

Kadar lemak dalam suatu bahan pangan dapat diketahui dengan cara

mengekstraksi lemak. Rerata kadar lemak susu pasteurisasi dengan suhu

pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan yang berbeda yaitu antara 3,3%

hingga 3,5%. Hasil analisa kadar lemak akibat perlakuan yang diberikan

ditujukan pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Rerata kadar lemak dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan

3,5±0,01

3,3±0,023,4±0,01

3,5±0,01

3,3±0,023,4±0,01

3,5±0,02

3,4±0,013,4±0,02

3.1

3.2

3.3

3.4

3.5

3.6

3.7

Tanpa Penyimpanan

Refrigerator Freezer

Kad

ar

Lem

ak (

%)

Kondisi Penyimpanan

27ᵒC

17ᵒC

7ᵒC

(Hari ke-0) (Hari ke-5) (Hari ke-5)

Page 15: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

46

Gambar 4.4 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin tinggi suhu

pengisian (filling) cenderung dapat menurunkan kadar lemak dalam susu

pasteurisasi. Semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan juga cenderung

menyebabkan penurunan kadar lemak. Kadar lemak setelah hari ke-5

penyimpanan (refrigerator dan freezer) paling tinggi terdapat pada susu

pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi

penyimpanan freezer yaitu 3,4%, sedangkan kadar lemak paling rendah terdapat

pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 27oC dan

kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 3,3%.

Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan suhu

pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak susu

pasteurisasi, sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05)

terhadap kadar lemak. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut

terhadap kadar lemak susu pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT perlakuan kondisi

penyimpanan terhadap kadar lemak susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel

4.5.

Tabel 4.5 Rerata kadar lemak susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan

Kondisi penyimpanan Rerata Lemak

(%) Urutan Notasi BNT (5%)

Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 3,5 3,5 a

0,1 Refrigerator (Hari ke-5) 3,3 3,4 ab

Freezer (Hari ke-5) 3,4 3,3 b

Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rerata kadar lemak tertinggi diperoleh pada

perlakuan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) sebesar 3,5%

sedangkan rerata kadar lemak diperoleh dari perlakuan kondisi penyimpanan

refrigerator (Hari ke-5) yaitu 3,3%. Selisih penurunan rerata kadar lemak tertinggi

yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan refrigerator jika dibandingkan dengan

tanpa penyimpanan sebesar 0,2%. Hal ini karena semakin lama perlakuan

penyimpanan dalam refrigerator dan freezer akan mengakibatkan kandungan

lemak susu pasteurisasi semakin menurun. Keadaan ini diduga disebabkan

lemak susu terhidrolisis. Lemak pada susu dapat mengalami dekomposisi oleh

bakteri, kapang, khamir yang mengeluarkan enzim lipase. Menurut Ali (2011),

menyatakan bahwa bakteri penghasil enzim lipase yang dominan terdapat pada

Page 16: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

47

produk susu yakni Pseudomonas, Proteus, Achromobacter, Alcaligenes. Salah

satu contoh dari bakteri penghasil enzim lipase yaitu Alcaligenes dapat

mengakibatkan perubahan fisik pada susu berupa terjadinya pengentalan,

berlendir, dan menimbulkan ketengikan karena mengasilkan enzim lipase yang

menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol (Fadhillah, 2017).

Hastorini (2011) dan Maitimu et al. (2013), menyatakan bahwa enzim lipase

terbentuk oleh bakteri asam laktat, sehingga lemak yang dihidrolisis akan

bertambah banyak dan mengakibatkan penurunan kadar lemak pada susu

pasteurisasi. Selain terjadinya penurunan kadar lemak ini juga diduga karena

kadar lemak yang terkandung dalam susu pasteurisasi berubah menjadi flavor

dan energi yang digunakan bakteri patogen selama penyimpanan. Reaksi

lipolisis menjadi sumber penyebab terbentuknya flavor pada susu. Lipolisis

adalah proses penguraian lemak menjadi asam lemak bebas oleh enzim lipase

dalam susu yang merupakan pembentukan aroma susu. Lemak susu mengalami

hidrolisis oleh enzim lipase dan esterase menghasilkan asam lemak bebas,

digliserida, monogliserida, dan gliserol. Asam lemak bebas berkontribusi

terhadap aroma yang dihasilkan, selain hidrolisis, juga dapat terjadi reaksi

oksidasi yang dapat menyebabkan aroma tengik pada susu (Salles et al., 2002).

Diduga menurunnya kadar lemak juga disebabkan oleh suhu lingkungan,

suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar lemak.

Hal ini sependapat dengan pernyataan Mutamimah et al. (2013), mengatakan

bahwa suhu lingkungan dapat mempengaruhi kadar lemak susu dengan

perbedaan suhu lingkungan sebesar 10oC. Ditambahkan Abubakar et al. (2000),

kadar lemak susu cenderung menurun pada lama waktu penyimpanan tertentu.

Ketentuan kadar lemak pada susu pasteurisasi adalah minimal 2,8% (SNI,

1995), sedangkan susu pasteurisasi pada hari ke 5 penyimpanan refrigerator dan

freezer yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3,3% hingga 3,4%

yaitu masih memenuhi syarat dari SNI.

4.2.5 Total Mikroba (TPC) (log CFU/mL)

Total plate count (TPC) adalah pemeriksaan kualitas susu dengan cara

menghitung jumlah koloni pada beberapa pengenceran, kemudian ditumbuhkan

pada media Plate Count Agar dan diinkubasi 37oC selama 2 x 24 jam sehingga

Page 17: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

48

diketahui jumlah koloni per mil sampel. Standar kualitas susu berdasarkan TPC

dijadikan landasan kepentingan perlindungan kesehatan publik, bukan hanya

semata untuk memaksimasi kepentingan produsen produk susu dengan

memperpanjang daya simpannya (Bray, 2008). SNI 01-3951-1995 mensyaratkan

pemeriksaan TPC perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas susu pasteurisasi.

Jumlah TPC 3 x 104 CFU/mL menyebabkan mikroba cepat berkembang dan

toksin sudah terbentuk. Pengujian TPC bertujuan untuk mengetahui jumlah

mikroba yang tumbuh dalam suatu produk. Jumlah mikroba ini merupakan

indikator terhadap sanitasi sebuah produk pangan. Nilai TPC susu pasteurisasi

pada penelitian ini berkisar antara 2,43 – 3,78 log CFU/mL. Hasil analisis ragam

(Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengisian (filling) dan kondisi

penyimpanan memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap nilai total mikroba

(TPC) susu pasteurisasi yang dihasilkan sedangkan interaksi antara suhu filling

dan kondisi penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap nilai total

mikroba. Hasil uji lanjut DMRT perlakuan suhu pengisian (filling) dan kondisi

penyimpanan terhadap total mikroba susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel

4.6.

Tabel 4.6 Rerata total mikroba akibat suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan

Suhu Pengisian (Filling)

Kondisi Penyimpanan

Rerata Total Mikroba (log CFU/mL)

Urutan Notasi DMRT (5%)

27oC

Tanpa penyimpanan (Hari ke-0)

3,11 3,78 a

0,31 - 0,36

Refrigerator (Hari ke-5)

3,78 3,15 b

Freezer (Hari ke-5)

3,15 3,11 b

17oC

Tanpa penyimpanan (Hari ke-0)

2,89 3,05 b

Refrigerator (Hari ke-5)

3,05 2,99 bc

Freezer (Hari ke-5)

2,94 2,94 bc

7oC

Tanpa penyimpanan (Hari ke-0)

2,43 2,89 bc

Refrigerator (Hari ke-5)

2,99 2,85 bc

Freezer (Hari ke-5)

2,85 2,43 c

Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)

Page 18: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

49

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa susu pasteurisasi dengan suhu pengisian

(filling) 27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator (Hari ke-5) memiliki nilai total

mikroba yang tertinggi yaitu 3,78 log CFU/mL. Dan susu pasteurisasi dengan

suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari

ke-0) memiliki nilai total mikroba yang terendah yaitu 2,43 log CFU/mL.

Berdasarkan rerata hasil analisa diatas dapat dilihat bahwa nilai TPC susu

pasteurisasi meningkat seiring dengan tingginya suhu pengisian (filling) dan

tingginya suhu kondisi penyimpanan. Hal ini dikarenakan suhu merupakan salah

satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini

sejalan dengan Atlas (1989) dalam Wicaksono (2005), peningkatan suhu 10oC

akan meningkatkan kecepatan reaksi kimia menjadi dua kali lipat, demikian pula

sebaliknya. Penurunan suhu sebesar 10oC akan menurunkan kecepatan reaksi

kimia sebesar setengah kali. Brock et al. (1994), menyatakan bahwa semakin

rendah suhu inkubasi, kerja enzim dan reaksi kimia semakin diperlambat. Selain

itu, pada suhu rendah terjadi pula pengerasan membran sel yang menyebabkan

menurunnya proses transpor nutrisi sehingga pertumbuhan mikroorganisme juga

terhambat. Reaksi kimia berhubungan dengan proses metabolisme yang terjadi

pada mikroorganisme. Bila kecepatan reaksi kimia menurun, maka metabolisme

yang terjadi akan rendah, sehingga pertumbuhan juga akan rendah.

Suhu merupakan parameter ekstrinsik yang dapat mempengaruhi partum-

buhan mikroorganisme. Menurut Anonymous (2005) dalam Wicaksono (2005),

suhu rendah dapat menurunkan kecepatan reaksi enzimatis pada mikro-

organisme sehingga reaksi menjadi sangat rendah yang menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan. Jay (1992) menambahkan suhu berpengaruh

terhadap proses multiplikasi dari bakteri. Semakin tinggi suhu, kecepatan

membelah akan semakin tinggi sampai pada suhu optimumnya, dan semakin

rendah suhu, kecepatan membelah akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian bahwa suhu filling 27oC yang disimpan pada refrigerator memiliki

jumlah miroba lebih banyak dibandingkan dengan suhu filling 7oC yang disimpan

pada freezer. Karena pada dasarnya suhu freezer lebih rendah dibandingkan

suhu refrigerator yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mikroorga-

nisme sehingga jumlah mikroba dalam susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu

filling 7oC dan kondisi penyimpanan freezer lebih sedikit.

Menurut Gaman dan Sherrington (1992), Kandungan lemak dan protein pada

susu dapat menyebabkan mikroba dapat bertahan (tidak mati) saat proses

Page 19: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

50

pasteurisasi, karena lemak dan protein bersifat melindungi sel bakteri dari

pengaruh lingkungan. Didukung oleh Zaldi (2009), menyatakan bahwa mikro-

organisme termotrof (tergolong thermoduric) mempunyai membran sel yang

mengandung lipida jenuh, sehingga titik didihnya tinggi, selain itu mikroorga-

nisme ini dapat memproduksi protein termasuk enzim yang tidak terdenaturasi

pada suhu tinggi. Jay (1986) dalam Mirza (2016), menyatakan bahwa kandungan

air, karbohidrat, dan lemak pada bahan dapat meningkatkan ketahanan panas

mikroorganisme.

Menurut Fardiaz (1992), pencemaran bakteri setelah pasteurisasi dapat

terjadi karena adanya bakteri yang tahan pasteurisasi setelah proses

pasteurisasi dan selama penyimpanan, misalnya dari peralatan yang digunakan.

Selain itu, peningkatan derajat keasaman (oSH) dan penurunan pH pada susu

pasteurisasi dapat disebabkan oleh perubahan kimiawi dan aktivitas

mikrobiologis dalam susu. Pada dasarnya, produk susu pasteurisasi dihasilkan

dengan cara pemanasan bahan baku susu dengan suhu dan selama waktu

tertentu, kemudian segera didinginkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

Namun demikian ada kelompok bakteri yang disebut thermoduric, yakni bakteri

yang bertahan hidup pada suhu pasteurisasi, demikian juga ada bakteri yang

disebut psychrotrophic merupakan kontaminan utama pada produk susu, tetap

hidup pada suhu pendinginan. Ryan et al. (2000) menyatakan bahwa penggan-

daan TPC kemungkinan berasal dari spora yang tidak mati pada suhu

pasteurisasi, sehingga setelah mengalami penyimpanan, spora tersebut menga-

lami pertumbuhan. Bakteri psikotrofik spora juga sering terdapat pada susu

pasteurisasi dan ini menyebabkan masalah pada suhu rendah karena bakteri ini

dapat merusak susu pasteurisasi yang disimpan suhu rendah.

Penelitian Sawitri et al., (2010) mengenai kajian kualitas susu pasteurisasi

selama penyimpanan dalam refrigerator sampai hari ke-5 mengalami pening-

katan lebih dari 104 CFU/mL. Hasil ini mengindikasikan bahwa selama penyim-

panan susu pasteurisasi dalam refrigerator terjadi pertumbuhan mikroorganisme

yang signifikan. Banyaknya jumlah mikroorganisme dalam susu pasteurisasi

selama penyimpanan di refrigerator menurut Jay (1999) kemungkinan akibat

pertumbuhan bakteri thermoduric dan penghasil spora. Jenis dan jumlah bakteri

tersebut tergantung pada populasi mikroba susu segar dan bahan baku lainnya

seperti gula, kesempurnaan proses pasteurisasi, pengemasan sampai kecepatan

penyimpanan di refrigerator.

Page 20: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

51

Hayoux et al. (2001), menyatakan bahwa kontaminasi juga berasal dari

kemasan yang digunakan suatu produk pangan. Kemasan yang digunakan pada

sampel yang diteliti menggunakan kemasan tidak vakum udara. Fardiaz (1993)

dalam Sufyanhadi (2012), menyatakan bahwa bahan pangan yang dikemas

dalam kemasan tidak vakum dan disimpan pada suhu rendah akan terjadi

pertumbuhan mikroorganisme dari golongan gram negatif psikotrof aerob.

Ketentuan total mikroba pada susu pasteurisasi adalah maksimal 4,48 log

CFU/mL (SNI, 1995), sedangkan susu pasteurisasi pada hari ke 5 penyimpanan

refrigerator dan freezer yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 2,85

log CFU/mL hingga 3,78 log CFU/mL yaitu masih memenuhi syarat dari SNI.

4.3 Penentuan Perlakuan Terbaik

Penentuan perlakuan terbaik pada susu pasteurisasi metode cold filling

menggunakan metode Multiple Atribute (Zeleny, 1982). Atribut merupakan sifat-

sifat obyek yang bersifat aktual atau sifat-sifat obyek secara nyata dapat

menentukan suatu atribut, level, dan kriteria minimum serta maksimum dari

atribut secara spesifik. Faktor yang penting dalam metode ini adalah kebutuhan

dan harapan pembuat keputusan dimana nilai ideal dari perlakuan terbaik adalah

nilai yang sesuai dengan harapan, yaitu minimal atau maksimal tiap parameter.

Metode ini dilakukan dengan cara menentukan parameter pembobotan serta nilai

asumsi idealnya, lalu menghitung jumlah kerapatan semua parameter (L1, L2,

dan Lmaksimum). Pengujian perlakuan terbaik dilakukan terhadap parameter

yang meliputi yaitu pH, viskositas, kadar protein terlarut, kadar lemak, dan total

mikroba. Perlakuan dengan total nilai L1, L2, dan L∞ terkecil merupakan perlakuan

terbaik dari hasil analisis. Pemilihan nilai ideal atau nilai pengharapan dari

masing-masing parameter kimia, fisik, dan mikrobiologi penyimpanan untuk

perlakuan terbaik ditampilkan pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi susu pasteurisasi perlakuan terbaik

Parameter Nilai Pengharapan Keterangan

pH Nilai Tertinggi 6,60 Viskositas (cP) Nilai Terendah 4 Kadar Protein Terlarut (%) Nilai Tertinggi 0,91 Kadar Lemak (%) Nilai Tertinggi 3,5 Total Mikroba (log CFU/mL) Nilai Terendah 2,43

Page 21: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

52

Nilai pengharapan dari parameter pH adalah nilai tertinggi. Hal ini karena

apabila semakin rendah nilai pH susu pasteurisasi maka susu tersebut telah

banyak terdapat mikroba didalamnya. Pada umumnya kerusakan susu sebagian

besar disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Hadiwiyoto (1994), menyatakan

jika nilai pH lebih rendah dari 6,5 menunjukan kerusakan susu yang disebabkan

oleh bakteri. Semakin rendahnya nilai pH mengindikasikan bahwa jumlah

mikroba dalam susu tersebut banyak karena mikroba tersebut dapat mem-

fermentasi laktosa pada susu menjadi asam laktat sehingga nilai pH menjadi

rendah.

Nilai pengharapan dari parameter viskositas adalah nilai terendah. Hal ini

dikarenakan viskositas susu juga bisa dipengaruhi antara lain yaitu tercemar oleh

kuman-kuman E.coli yang menyebabkan susu berlendir karena alat yang tidak

bersih dan susu lebih encer kemungkinan adanya penambahan sejumlah air

kedalam susu (Saleh, 2004). Menurut Nasution (2012) dalam Ismanto (2013),

memperkuat bahwa pada susu, kekentalan menjadi indikator utama, semakin

kental maka susu tersebut diindikasikan semakin rusak, warna dan baunya pun

akan berubah pula. Perubahan sifat fisik dapat berpengaruh terhadap penolakan

konsumen meskipun perubahan tersebut hanya berakibat pada penampilan yang

tidak menarik dan tidak mengakibatkan terjadinya perubahan kimia atau

membahayakan kesehatan konsumen (Manab, 2008).

Nilai pengharapan dari parameter kadar protein terlarut adalah nilai tertinggi.

Hal ini karena diharapkan proses pasteurisasi dan penyimpanan tidak menurun-

kan zat gizi secara drastis atau dengan kata lain dapat mempertahankan zat gizi

dalam susu tersebut.

Nilai pengharapan dari parameter kadar lemak adalah nilai tertinggi. Hal ini

karena kadar lemak mempengaruhi rasa, semakin banyak kandungan lemak,

tentu semakin enak rasa sebuah makanan atau minuman (Veratamala, 2017).

Nilai pengharapan dari parameter total mikroba adalah nilai terendah. Hal ini

karena jumlah mikroba menentukan kualitas dan masa simpan suatu bahan

pangan. Berdasarkan pemilihan perlakuan terbaik dengan menggunakan metode

multiple attribute (Zeleny, 1982), diperoleh perlakuan terbaik pada penelitian ini

yaitu suhu filling 7oC tanpa penyimpanan (Hari ke-0) dan perlakuan terbaik pada

hari ke-5 penyimpanan yakni suhu filling 7oC kondisi penyimpanan freezer

karena penggunaan kondisi penyimpanan freezer dapat memperpanjang masa

simpan produk. Selain itu, konsumen BBPP Batu cenderung lebih menyukai

Page 22: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku

53

produk susu pasteurisasi beku (penyimpanan freezer). Hail ini disebabkan

karena pada umumnya masyarakat awam menganggap bahwa produk beku

dapat menjaga kandungan nutrisi dan memiliki masa simpan yang lebih lama.

Hasil pemilihan perlakuan terbaik dengan metode Zeleny dapat dilihat pada

Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil pemillihan perlakuan terbaik metode Zeleny

Parameter S1P1 S1P2 S1P3 S2P1 S2P2 S2P3 S3P1 S3P2 S3P3

Σ dk*λ 0,949 0,862 0,886 0,950 0,884 0,905 0,985 0,892 0,906

L1 0,051 0,138 0,114 0,050 0,116 0,095 0,015 0,108 0,094

L2 0,002 0,007 0,004 0,001 0,004 0,003 0,000 0,003 0,003

L∞ 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138

Total 0,191 0,283 0,256 0,189 0,258 0,236 0,153 0,250 0,235