iv hasil dan pembahasan 4.1 analisis kualitas bahan baku
TRANSCRIPT
32
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kualitas Bahan Baku
Bahan baku adalah bahan pokok atau bahan utama yang diolah dalam proses
produksi menjadi produk jadi. Sehingga bahan baku merupakan bahan yang
memiliki komposisi paling besar dalam sebuah produk. Oleh karena itu, sangat
penting memastikan kualitas dari bahan baku yang digunakan karena dapat
mempengaruhi mutu dari produk yang dihasilkan.
Analisa bahan baku pada penelitian dilakukan untuk mengetahui kondisi awal
bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan susu pasteurisasi. Bahan
baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu susu sapi segar diperoleh dari
Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Batu – Malang, Jawa Timur.
Parameter yang dianalisa terhadap bahan baku meliputi uji alkohol 70%, pH,
viskositas, kadar protein terlarut, kadar lemak, dan total mikroba (TPC). Data
hasil analisa bahan baku pada susu pasteurisasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data hasil analisis kualitas susu sapi segar
Parameter Susu Sapi Segar
Hasil Analisis Literatur
Uji alkohol 70% Negatif Negatifa
pH 6,47 6,3 - 6,8a
Viskositas (cP) 4 2b
Kadar Protein Terlarut (%) 0,70 Min 2,8a (protein total)
Kadar Lemak (%) 3,9 Min 3,0a dan 3,88
c
Total Mikroba (log CFU/mL) 5,68 Maks 6a
Sumber : SNI (2011)a, Warsito et al. (2015)
b, Hernawan (2007)
c
Tabel 4.1 menunjukkan data hasil analisis kualitas bahan baku susu sapi
segar yang dibandingkan dengan literatur. Data tersebut menunjukkan bahwa
komponen terbesar pada susu sapi segar yaitu protein. Uji alkohol 70%, pH,
kadar lemak, dan total mikroba hasil analisis susu sapi segar yang digunakan
pada penelitian ini memiliki nilai yang tidak berbeda jauh dengan syarat literatur.
Viskositas susu sapi segar hasil analisis menunjukkan nilai 4 cP dan susu segar
menurut literatur menunjukkan nilai 2 cP. Hasil analisis karakteristik kimia juga
menunjukkan bahwa kadar protein terlarut sedikit berbeda dibandingkan literatur.
Secara keseluruhan kualitas bahan baku susu sapi segar di BBPP Batu – Malang
33
telah memenuhi persyaratan SNI yaitu tidak melewati batas minimum dan
maksimum pada susu segar yang ditetapkan SNI no 01-3141.1 tahun 2011.
Uji alkohol dilakukan untuk menentukan kualitas susu segar dan layak
tidaknya susu untuk diproses. Keasaman susu akan menyebabkan rusaknya
susu, bila dengan uji alkohol 70% terjadi penggumpalan susu, berarti uji tersebut
positif atau susu telah rusak, sehingga kurang baik untuk dikonsumsi atau di
proses. Apabila pada uji alkohol tidak terjadi penggumpalan maka uji alkohol
negatif atau susu masih dalam keadaan baik dan layak untuk dikonsumsi atau di
proses (Soeparno et al., 2001). Standar ini menetapkan metode untuk
memeriksa dengan cepat derajat keasaman susu segar. Uji alkohol hanya dapat
dijadikan sebagai uji kasar terhadap jumlah bakteri total dan untuk mengetahui
jumlah bakteri secara kuantitatif. Berdasarkan hasil pengujian (uji alkohol 70%),
bahan baku susu sapi segar sesuai dengan literatur yang menyatakan apabila
tidak terjadi penggumpalan maka hasilnya negatif. Selain itu, bahan baku telah
memenuhi standar yang ditetapkan dengan mengacu pada SNI yaitu negatif
(SNI, 2011).
Menurut Hadiwiyoto (2003), pH di bawah 6,5 menunjukkan adanya kolostrum
atau kerusakan karena bakteri. Hal ini sesuai karena total mikroba pada bahan
baku termasuk tinggi. Tingginya total mikroba pada susu segar menunjukkan
kemungkinan adanya cemaran susu sapi dari luar atau dari sumber lainnya.
Sumber- sumber pencemaran bakteri dalam susu sapi dapat berasal dari saluran
puting susu, lingkungan kandang, tubuh sapi, feses sapi, pakan, peralatan
pemerahan, dan pekerja. Selain itu pencemaran juga dapat terjadi selama
penampungan, penyimpanan, pengangkutan, pemasaran dan transportasi
(Widarto, 1991 dalam Kusumaningsih dan Ariyanti, 2013). Namun nilai pH dan
total mikroba bahan baku masih memenuhi persyaratan SNI.
Fadela et al. (2009), menyatakan bahwa viskositas juga dipengaruhi oleh
kualitas susu, dimana kualitas susu dipengaruhi oleh psikologis ternak seperti
pakan, bangsa ternak, dan lingkungan. Lebih kentalnya susu dibandingkan air
adalah karena banyaknya bahan kering yang terdapat didalamnya, seperti lemak,
protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Viskositas susu juga bisa dipengaruhi
antara lain yaitu tercemar oleh kuman-kuman E.coli yang menyebabkan susu
berlendir karena alat yang tidak bersih dan susu lebih encer kemungkinan
adanya penambahan sejumlah air kedalam susu (Saleh, 2004). Viskositas dan
berat jenis merupakan sifat fisik susu yang dipengaruhi oleh komposisi susu, nilai
34
protein dan lemak susu. Viskositas susu akan meningkat diikuti meningkatnya
berat jenis susu. Semakin kental susu maka semakin banyak jumlah padatan
didalam susu yang akan meningkatkan berat jenis susu. Oleh karena itu,
viskositas dan berat jenis selalu berbanding positif. Menurut Herdiansyah (2011),
jika berat jenis susu rendah maka kekentalan susu tersebut sangat rendah,
namun sebaliknya jika viskositas kandungan bahan kering tinggi atau berat jenis
susu tinggi maka viskositas susu tersebut akan tinggi juga. Viskositas bahan
baku susu sapi segar pada penelitian lebih tinggi dari literatur diduga kandungan
bahan kering tinggi atau berat jenis susu tinggi.
Adanya perbedaan hasil analisis kualitas bahan baku susu sapi segar dengan
literatur dimungkinkan karena adanya perbedaan jenis ternak dan keturunannya
(hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, infeksi/peradangan pada ambing,
nutrisi/pakan ternak, lingkungan, dan prosedur pemerahan susu yang berbeda.
Keseluruhan faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu faktor-faktor
yang ditimbulkan oleh lingkungan, genetik dan manajemen (Saleh, 2004).
Perbedaan kadar protein dapat disebabkan karena adanya perbedaan metode
dalam analisis kadar protein, metode analisis yang digunakan untuk penelitian ini
adalah metode biuret yang hanya menghitung protein terlarut saja, sedangkan
kadar protein yang terdapat di literatur merupakan protein total. Pada penelitian
ini, kadar protein dihitung dengan menggunakan metode biuret untuk melihat
kadar protein terlarut dalam susu pasteurisasi. Selain itu, protein susu terbentuk
dari pakan konsentrat yang dikonsumsi oleh ternak kemudian akan disintesis
oleh mikroba rumen menjadi asam amino dan asam amino tersebut diserap
dalam usus halus dan dialirkan ke darah dan masuk ke sel-sel sekresi ambing
dan nantinya menjadi potein susu (Utari et al., 2012).
Kadar lemak bahan baku dalam penelitian lebih tinggi dari literatur yakni
3,93%. Sedangkan kadar lemak susu sapi FH hasil penelitian Hernawan (2007)
adalah 3,88% dan dinyatakan bahwa kadar lemak susu dipengaruhi oleh pakan
karena sebagian besar dari komponen susu disintesis dalam ambing dari
substrat sederhana yang berasal dari pakan. Hal ini dikarenakan kandungan
lemak susu berkaitan dengan jenis pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Pakan
yang banyak mengandung serat kasar (hijauan) akan mengakibatkan tingginya
kandungan lemak di dalam susu jika konsentrat lebih banyak diberikan maka
produksi susu akan meningkat dan kandungan lemak susu akan berkurang.
Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992), kadar lemak susu dipengaruhi oleh
35
beberapa faktor yaitu : 1) Makanan yaitu kadar lemak yang rendah dalam
makanan dapat menurunkan kadar lemak susu yang dihasilkan, 2) Pengaruh
iklim yaitu musim dingin kadar lemak susu lebih tinggi, 3) Waktu laktasi dan
prosedur pemerahan yaitu setelah hari kelima pemerahan maka kadar lemak
akan naik, 4) Umur sapi yaitu makin tua sapi maka akan rendah kadar lemak
susu yang dihasilkan, 5) Waktu pemerahan yaitu kadar lemak akan berbeda jika,
pemerahan pada pagi hari dan kemudian sore harinya. Akers (2002)
menambahkan bahwa kadar lemak susu lebih dipengaruhi oleh faktor kecukupan
nutrisi, genetik, bangsa, umur laktasi dan musim.
4.2 Kualitas Produk Susu Pasteurisasi
4.2.1 pH
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Nilai pH atau derajat
keasaman juga merupakan nilai yang menunjukkan konsentrasi ion H+ yang
berada pada suatu bahan (Rustan, 2013). Apabila nilai pH semakin rendah maka
semakin banyak ion H+ yang berada dalam bahan tersebut. Menurut Winarno
(1998), menyatakan bahwa nilai pH pada bahan pangan mempengaruhi
keaktifan enzim dan aktivitas mikroorganisme, sehingga pH dapat digunakan
sebagai acuan untuk menentukan tingkat kerusakan bahan pangan. Nilai pH
bervariasi dari 1 hingga 14. Rerata pH susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu
pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.1.
36
Gambar 4.1 Rerata pH susu pasteurisasi dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling)
dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan
Gambar 4.1 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin tinggi suhu
pengisian (filling) cenderung dapat menurunkan nilai pH dalam susu pasteurisasi.
Semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan juga cenderung menyebabkan
penurunan nilai pH. Nilai pH setelah hari ke-5 penyimpanan (refrigerator dan
freezer) paling tinggi terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu
pengisian (filling) 7oC dan kondisi penyimpanan freezer yaitu 6,52 sedangkan
nilai pH paling rendah terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu
pengisian (filling) 27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 6,43.
Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan suhu
pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH susu pasteurisasi,
sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap nilai pH.
Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut terhadap nilai pH susu
pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT perlakuan kondisi penyimpanan terhadap nilai
pH susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rerata nilai pH susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan
Kondisi Penyimpanan Rerata pH Urutan Notasi BNT (5%)
Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 6,58 6,58 a
0,05 Refrigerator (Hari ke-5) 6,45 6,51 ab
Freezer (Hari ke-5) 6,51 6,45 b
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
6,55±0,07
6,43±0,01
6,50±0,12
6,58±0,09
6,45±0,09
6,51±0,15
6,60±0,10
6,46±0,11
6,52±0,11
6.25
6.30
6.35
6.40
6.45
6.50
6.55
6.60
6.65
6.70
Tanpa Penyimpanan
Refrigerator Freezer
Nilai p
H
Kondisi Penyimpanan
27ᵒC
17ᵒC
7ᵒC
(Hari ke-0) (Hari ke-5) (Hari ke-5)
37
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa rerata nilai pH tertinggi diperoleh pada
perlakuan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) sebesar 6,58
sedangkan rerata nilai pH terendah diperoleh dari perlakuan kondisi
penyimpanan refrigerator (Hari ke-5) yaitu 6,45. Selisih penurunan rerata pH
tertinggi yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan refrigerator jika dibandingkan
dengan tanpa penyimpanan sebesar 0,13. Hal ini karena selama penyimpanan
dan makin tinggi suhu kondisi penyimpanan yang dilakukan akan menyebabkan
penurunan pH, yang menunjukkan bahwa tingkat keasaman susu semakin tinggi.
Perubahan pH susu pasteurisasi pada 5 hari pendinginan dalam refrigerator dan
freezer mengindikan diduga terjadinya proses metabolisme yang menghasilkan
asam organik terutama asam laktat yang semakin meningkat seiring
bertambahnya masa penyimpanan. Seiring dengan lamanya penyimpanan, pH
yang dicapai semakin menurun karena adanya aktivitas bakteri (Fauzan, 2011).
Hal ini juga sesuai dengan Legowo (2002), selama penyimpanan, keasaman
susu cenderung meningkat karena sebagian laktosa akan diubah oleh mikroba
menjadi asam laktat dan asam organik lainnya. Besarnya nilai keasaman
tersebut berbanding terbalik dengan pH. Artinya, bila keasaman susu meningkat
maka nilai pH menurun. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Buckle et al.
(1987) dan Suhendar et al. (2008), bahwa semakin lama waktu penyimpanan
maka semakin tinggi keasaman susu pasteurisasi. Hal tersebut disebabkan
aktivitas bakteri pembusuk asam laktat seperti Streptococcus thermophilus,
Lactobacillus laktis, dan Lactobacillus thermophilus. Tingginya nilai keasaman
karena pembentukan asam laktat laktosa dan menyebabkan turunnya pH susu.
Pasteurisasi susu dapat membunuh bakteri yang aktif memproduksi asam,
tetapi bakteri yang tahan panas seperti Enterococcus, Streptococcus
thermophillus, dan Lactobacillus masih dapat tumbuh dan menyebabkan
fermentasi asam laktat. Asam laktat tersebut menyebabkan susu menjadi asam
dan pH-nya semakin rendah dan susu pasteurisasi akan pecah, artinya emulsi
antara air dan komponen lainnya memisah karena emulgator alami didalam susu
yaitu kasein terdenaturasi (Sakinah et al., 2010).
Nilai pH dapat diartikan suatu kondisi yang bersifat kebasaan atau keasaman.
Pembentukan asam dalam susu disebabkan karena aktivitas bakteri yang
memecah laktosa membentuk asam laktat. Persentase asam dalam susu dapat
digunakan sebagai indikator umur dan penanganan susu (Soewedo, 1982 dalam
Umar et al., 2014). Proses keasaman susu juga dapat disebabkan oleh berbagai
38
senyawa yang bersifat asam seperti senyawa-senyawa fosfat yang kompleks,
asam sitrat, asam-asam amino dan karbondioksida yang larut dalam susu.
Penurunan pH ini sesuai dengan yang dikatakan Buckle et al. (1987), bahwa
adanya kegiatan mikroorganisme yang menghasilkan asam laktat, dapat
menurunkan pH susu menjadi 6,2-5,9.
Selain itu, menurunnya pH susu setelah dipasteurisasi diduga disebabkan
juga karena kandungan flavor dalam susu yang merupakan ester dapat
terhidrolisis di dalam kandungan air pada susu menjadi asam lemah sehingga
dapat menurunkan pH susu (Sastry, 2011). Penurunan suhu diketahui dapat
menurunkan kecepatan reaksi kimia. Oleh karena itu, semakin rendah suhu
kondisi penyimpanan maka nilai pH semakin tinggi. Pada suhu rendah (freezer),
kenaikan jumlah mikroorganisme yang terdapat pada susu pasteurisasi tidak
terlalu banyak karena pada suhu freezer dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme sehingga pH pada suhu freezer mengalami penurunan namun
tidak terlalu signifikan.
4.2.2 Viskositas (cP)
Viskositas didefinisikan sebagai gesekan internal dalam fluida atau
kecenderungan untuk menahan aliran. Viskositas sebagai salah satu sifat
rheologi fluida merupakan sifat fisik yang turut menentukan kualitas makanan
yang berbentuk cair. Pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap viskositas harus
diketahui untuk memahami satuan operasi, seperti perpindahan panas dan
evaporasi pemekatan makanan berbentuk cair (Aziz dan Wulandari, 2009).
Viskositas disebut juga dengan kekentalan. Pada umumnya, cairan yang
kental mempunyai viskositas yang lebih besar dibandingkan cairan yang encer.
Semua cairan, termasuk susu mempunyai viskositas lebih besar pada suhu
rendah dibandingkan pada suhu tinggi. Viskositas susu menurun ketika
dipanaskan selama proses pasteurisasi, tetapi susu dipanaskan dengan tekanan,
viskositasnya akan meningkat. Jika dilakukan pengadukan cukup lama,
viskositasnya akan menurun. Proses pengasaman dan pertumbuhan bakteri
tertentu pada susu menyebabkan kenaikan viskositas susu (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992). Rerata viskositas susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu
filling dan kondisi penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4.2.
39
Gambar 4.2 Rerata viskositas susu pasteurisasi dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan
Gambar 4.2 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin rendah
suhu pengisian (filling) cenderung dapat meningkatkan nilai viskositas dalam
susu pasteurisasi. Semakin rendah suhu kondisi penyimpanan juga cenderung
menyebabkan peningkatan nilai viskositas. Nilai viskositas setelah hari ke-5
penyimpanan (refrigerator dan freezer) paling tinggi terdapat pada susu
pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi
penyimpanan freezer yaitu 5 cP (5,33 cP) sedangkan nilai viskositas paling
rendah terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling)
27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 4 cP (4,33 cP).
Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan suhu
pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas susu
pasteurisasi, sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05)
terhadap nilai viskositas. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut
terhadap nilai viskositas susu pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT perlakuan kondisi
penyimpanan terhadap nilai viskositas susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel
4.3.
4±04±1
5±0
4±05±1
5±0
4±1
5±05±1
0
1
2
3
4
5
6
Tanpa Penyimpanan
Refrigerator Freezer
Nilai V
isko
sit
as (
cP
)
Kondisi Penyimpanan
27ᵒC
17ᵒC
7ᵒC
(Hari ke-0) (Hari ke-5) (Hari ke-5)
40
Tabel 4.3 Rerata nilai viskositas susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan
Kondisi Penyimpanan Rerata
Viskositas (cP) Urutan Notasi
BNT (5%)
Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 4 5 a
0,4 Refrigerator (Hari ke-5) 5 5 a
Freezer (Hari ke-5) 5 4 b
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rerata nilai viskositas tertinggi diperoleh pada
perlakuan kondisi penyimpanan freezer (Hari ke-5) sebesar 5 cP (5,33 cP)
sedangkan rerata nilai viskositas terendah diperoleh dari perlakuan suhu
penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) yaitu 4 cP. Selisih peningkatan
rerata pH tertinggi yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan freezer jika
dibandingkan dengan tanpa penyimpanan sebesar 1 cP (1,33 cP). Hal ini karena
semakin rendah suhu kondisi penyimpanan yang dilakukan akan menyebabkan
viskositas semakin tinggi diduga disebabkan terjadi clumping dari globula-globula
lemak. Selain itu, homogenisasi dapat meningkatkan susu penuh, tetapi sedikit
menurunkan viskositas susu skim. Hal ini disebabkan karena homogenisasi
menyebabkan globula lemak menjadi kecil, sehingga mempunyai luas permu-
kaan yang lebih besar. Luas permukaan yang lebih besar menyebabkan lapisan
film protein yang terserap pada permukaan globula lemak lebih banyak, sehingga
viskositas meningkat.
Menurut Warkoyo dan Hudyatmoko (2007) viskositas produk susu
pasteurisasi di pasaran yaitu sebesar 4 cP. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh hasil viskositas yang masih memenuhi standar produk susu
pasteurisasi yang beredar di pasaran. Berdasarkan nilai rataan tersebut dapat
dilihat bahwa pengaruh perlakuan penyimpanan dalam refrigerator dan freezer
terhadap viskositas susu pasteurisasi semakin lama semakin meningkat dengan
semakin rendahnya suhu. Hal ini diduga karena pengaruh suhu di dalam
refrigerator dan freezer semakin lama semakin dingin sehingga terjadi
penggumpalan di dalam susu. Asmoel (2009) dalam Ismanto et al. (2013),
memperkuat bahwa pengaruh pendinginan yang semakin lama maka suhunya
akan semakin rendah. Mas’ud (2012), memperjelas bahwa penurunan suhu
mengakibatkan konsistensi lemak susu menjadi lebih padat. Karena berat jenis
lemak yang padat lebih berat daripada lemak cair maka berat jenis susu akan
meningkat sehingga viskositas juga meningkat.
41
Array (2008) dalam Ismanto et al. (2013), menyatakan bahwa suhu rendah
akan menyebabkan kenaikan viskositas susu karena terjadi clumping (gumpalan)
dari globula-globula lemak. Kesmavet (2011), pada suhu yang tinggi kekentalan
dari air susu akan berkurang, sedangkan pada suhu yang rendah kekentalan air
susu akan bertambah. Michal (2010), mengemukakan bahwa semua cairan,
termasuk susu mempunyai viskositas lebih besar pada suhu rendah
dibandingkan pada suhu tinggi dan viskositas susu menurun ketika dipanaskan
selama proses pasteurisasi.
Selain itu, diduga viskositas memiliki hubungan berbanding lurus dengan
jumlah padatan dalam susu. Semakin kental susu maka semakin banyak jumlah
padatan didalam susu yang akan meningkatkan berat jenis susu. Sejalan dengan
Herdiansyah (2011), jika berat jenis susu rendah maka kekentalan susu tersebut
sangat rendah, namun sebaliknya jika viskositas kandungan bahan kering tinggi
atau berat jenis susu tinggi maka viskositas susu tersebut akan tinggi juga. Hal
ini sejalan dengan Abubakar et al. (2000), yang menyatakan bahwa kandungan
air di dalam susu pasteurisasi mengalami penurunan dan kandungan bahan
padat semakin meningkat dengan semakin lama waktu penyimpanan sehingga
berat jenis dan kekentalannya meningkat. Semakin tinggi konsentrasi padatan
terlarut dalam suatu cairan, maka semakin tinggi pula variasi nilai viskositasnya
(Saravacos, 1970 dan Rao et al., 1984 dalam Aziz dan Wulandari, 2009).
4.2.3 Kadar Protein Terlarut (%)
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh,
karena protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, zat pembangun, dan
zat pengatur. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung
unsure-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat.
Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, dan terdapat jenis protein
yang mengandung unsur logam, seperti besi, dan tembaga (Winarno, 2002).
Protein terlarut merupakan potein yang larut di dalam air. Protein terlarut
tersebut yaitu asam amino dalam rantai protein dapat berinteraksi dengan air,
sehingga protein dapat tersuspensi dengan air. Rerata kadar protein terlarut susu
pasteurisasi dengan suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan yang
42
berbeda yaitu antara 0,75% hingga 0,91%. Hasil analisa kadar protein terlarut
akibat perlakuan yang diberikan ditujukan pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Rerata kadar protein terlarut dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan
Gambar 4.3 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin tinggi suhu
pengisian (filling) cenderung dapat menurunkan jumlah protein terlarut dalam
susu pasteurisasi. Semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan juga cenderung
menyebabkan penurunan jumlah protein terlarut. Kadar protein terlarut setelah
hari ke-5 penyimpanan (refrigerator dan freezer) paling tinggi terdapat pada susu
pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi
penyimpanan freezer yaitu 0,91%, sedangkan jumlah protein terlarut paling
rendah terdapat pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling)
27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 0,75%.
Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan suhu
pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein terlarut susu
pasteurisasi, sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05)
terhadap kadar protein terlarut. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor
tersebut terhadap kadar protein terlarut susu pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT
perlakuan kondisi penyimpanan terhadap kadar protein terlarut susu pasteurisasi
ditunjukkan pada Tabel 4.4.
0,89±0,08
0,75±0,04
0,83±0,06
0,90±0,09
0,77±0,03
0,87±0,090,91±0,06
0,83±0,07
0,89±0,09
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
1.00
Tanpa Penyimpanan
Refrigerator Freezer
Kad
ar
Pro
tein
Terl
aru
t (%
)
Kondisi Penyimpanan
27ᵒC
17ᵒC
7ᵒC
(Hari ke-0)
(Hari ke-5) (Hari ke-5)
43
Tabel 4.4 Rerata kadar protein terlarut susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan
Kondisi Penyimpanan Rerata Protein
Terlarut (%) Urutan Notasi BNT (5%)
Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 0,90 0,90 a
0,19 Refrigerator (Hari ke-5) 0,78 0,86 ab
Freezer (Hari ke-5) 0,86 0,78 b
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 1. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda
nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa rerata kadar protein terlarut tertinggi diperoleh
pada perlakuan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) sebesar
0,90% sedangkan rerata kadar protein terendah diperoleh dari perlakuan kondisi
penyimpanan refrigerator (Hari ke-5) yaitu 0,78%. Selisih penurunan rerata kadar
protein terlarut tertinggi yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan refrigerator jika
dibandingkan dengan tanpa penyimpanan sebesar 0,12%. Hal ini karena
semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan yang dilakukan diduga akan
menyebabkan aktivitas mikroorganisme yang sangat besar sehingga
menyebabkan penurunan kadar protein terlarut yang cukup tinggi. Penurunan
kadar protein kemungkinan disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba
dalam susu pasteurisasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hadiwiyoto (1994),
bahwa penyimpanan susu dalam waktu lama memberikan peluang besar untuk
mempercepat pertumbuhan mikroba sehingga mengakibatkan penurunan kadar
protein susu.
Menurut Schroeder (2012), yang menyatakan bahwa persentase protein susu
umumnya menurun seiring dengan lamanya waktu simpan. Semakin lama susu
pasteurisasi disimpan, maka keasamannya akan semakin meningkat dan pH
semakin menurun yang dikarenakan terjadinya fermentasi pada susu. Susu
pasteurisasi yang asam akan menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi
protein tersebut dapat mengakibatkan terjadinya degradasi protein, sesuai
pendapat Tetriana et al. (2008), yang menyatakan bahwa degradasi protein
dapat mengakibatkan protein kehilangan fungsinya, sehingga mengakibatkan
protein pada susu pasteurisasi menjadi berkurang seiring dengan lamanya waktu
penyimpanan.
Hal ini didukung dengan pendapat Ophart (2013), bahwa denaturasi protein
dapat terjadi karena adanya susu yang asam, seiring dengan penyimpanan susu
dalam waktu yang lama sehingga mengakibatkan protein menjadi terkoagulasi
dan menggumpal. Menurut Heryansyah (2011) dalam Kartikasari (2016),
44
gumpalan pada susu terjadi karena reaksi proteolisis dipengaruhi oleh
penyimpanan pada suhu rendah, inaktivasi bakteri pembentuk asam oleh panas,
pemecahan asam yang terbentuk pada susu oleh kapang dan khamir, atau
netralisasi asam oleh produk mikroba lainnya. Proteolisis asam merupakan
pengerutan gumpalan susu dan pengeluaran whey yang berlebihan yang diikuti
dengan pemecahan gumpalan susu sehingga penampakan berubah dari keruh
menjadi bening. Bakteri yang mempunyai sifat proteolitik aktif pada susu yaitu
Micrococcus, Alcaligenes, Psuedomonas, Flavobacterium, Seratia, dan bakteri
pembentuk spora yaitu Bacillus dan Clostridium.
Ditambahkan oleh Sotya (2005), bahwa pengolahan susu dengan cara
pemanasan dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizi. Selama proses
pemanasan susu dengan suhu tinggi hingga mendekati titik didih menyebabkan
beberapa perubahan terhadap kandungan nutrisi susu, seperti karamelisasi,
reaksi maillard, penggumpalan protein, oksidasi lemak, terdegradasinya vitamin
dan perubahan warna pada produk susu.
Protein yang ada dalam susu sebagian besar adalah kasein (76%) dan
protein whey (18%) (Susilorini dan Sawitri, 2006). Kasein terdiri dari campuran
tiga komponen protein, yaitu protein alpha (40-60%), kasein beta (20-30%), dan
kasein gamma (3-7%). Sesudah kasein dipisahkan dari air susu, sisanya yang
merupakan larutan dinamakan whey. Kira-kira 0,5-0,7% dari bahan protein yang
dapat larut dan tertinggal dalam whey yaitu protein laktoglobulin dan laktalbumin
(Astuti, 1995). Menurut McGee (2004), menyatakan bahwa kasein dapat
mengendap (terkoagulasi) akibat adanya pertumbuhan bakteri di dalam susu,
karena terjadi proses fermentasi laktosa menjadi asam laktat, sehingga
menyebabkan susu menjadi asam dan kasein akan terkoagulasi sedangkan
whey tidak dapat mengendap. Protein dengan penambahan asam atau
pemanasan akan mengalami koagulasi. Pada pH isoelektrik kelarutan protein
sangat menurun. Pada temperatur diatas 60oC kelarutan protein akan berkurang
(koagulasi), karena pada temperatur yang tinggi energi kinetik molekul protein
meningkat sehingga terjadi getaran yang cukup kuat untuk merusak ikatan atau
struktur sekunder, tersier dan kuartener yang menyebabkan koagulasi
(Simanjuntak, 2008). Kadar protein terlarut hasil penelitian rendah karena diduga
protein kasein yang ada di susu terkoagulasi karena aktivitas mikroorganisme
selama penyimpanan maka pada saat analisis protein terlarut menggunakan
45
metode biuret (adanya proses pengendapan), sehingga kadar protein terlarut
menjadi rendah karena whey tidak dapat mengendap.
4.2.4 Kadar Lemak (%)
Lemak merupakan salah satu kandungan utama dalam makanan, dan
merupakan salah satu sumber utama energi dan mengandung lemak esensial.
Namun konsumsi lemak berlebihan dapat merugikan kesehatan, misalnya
kolesterol dan lemak jenuh. Komponen lemak memegang peranan penting yang
menentukan karakteristik fisik keseluruhan dalam makanan, seperti aroma,
tekstur, rasa, dan penampilan (Sudarmadji, 2003). Lemak juga merupakan target
untuk oksidasi yang menyebabkan pembentukan ketengikan, rasa tidak enak,
dan produk menjadi berbahaya. Sehingga semakin tinggi kandungan lemak
dalam suatu produk akan semakin pendek umur simpan dari produk tersebut
apabila juga tidak didukung dengan metode penyimpanan yang sesuai.
Kadar lemak dalam suatu bahan pangan dapat diketahui dengan cara
mengekstraksi lemak. Rerata kadar lemak susu pasteurisasi dengan suhu
pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan yang berbeda yaitu antara 3,3%
hingga 3,5%. Hasil analisa kadar lemak akibat perlakuan yang diberikan
ditujukan pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Rerata kadar lemak dengan perlakuan beda suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan dari 3 ulangan
3,5±0,01
3,3±0,023,4±0,01
3,5±0,01
3,3±0,023,4±0,01
3,5±0,02
3,4±0,013,4±0,02
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
Tanpa Penyimpanan
Refrigerator Freezer
Kad
ar
Lem
ak (
%)
Kondisi Penyimpanan
27ᵒC
17ᵒC
7ᵒC
(Hari ke-0) (Hari ke-5) (Hari ke-5)
46
Gambar 4.4 menunjukkan pada hari ke-5 penyimpanan, semakin tinggi suhu
pengisian (filling) cenderung dapat menurunkan kadar lemak dalam susu
pasteurisasi. Semakin tinggi suhu kondisi penyimpanan juga cenderung
menyebabkan penurunan kadar lemak. Kadar lemak setelah hari ke-5
penyimpanan (refrigerator dan freezer) paling tinggi terdapat pada susu
pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi
penyimpanan freezer yaitu 3,4%, sedangkan kadar lemak paling rendah terdapat
pada susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu pengisian (filling) 27oC dan
kondisi penyimpanan refrigerator yaitu 3,3%.
Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan suhu
pengisian (filling) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak susu
pasteurisasi, sedangkan kondisi penyimpanan berpengaruh nyata (α = 0,05)
terhadap kadar lemak. Tidak terdapat interaksi antara kedua faktor tersebut
terhadap kadar lemak susu pasteurisasi. Hasil uji lanjut BNT perlakuan kondisi
penyimpanan terhadap kadar lemak susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel
4.5.
Tabel 4.5 Rerata kadar lemak susu pasteurisasi akibat kondisi penyimpanan
Kondisi penyimpanan Rerata Lemak
(%) Urutan Notasi BNT (5%)
Tanpa penyimpanan (Hari ke-0) 3,5 3,5 a
0,1 Refrigerator (Hari ke-5) 3,3 3,4 ab
Freezer (Hari ke-5) 3,4 3,3 b
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa rerata kadar lemak tertinggi diperoleh pada
perlakuan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari ke-0) sebesar 3,5%
sedangkan rerata kadar lemak diperoleh dari perlakuan kondisi penyimpanan
refrigerator (Hari ke-5) yaitu 3,3%. Selisih penurunan rerata kadar lemak tertinggi
yakni terjadi pada hari ke-5 penyimpanan refrigerator jika dibandingkan dengan
tanpa penyimpanan sebesar 0,2%. Hal ini karena semakin lama perlakuan
penyimpanan dalam refrigerator dan freezer akan mengakibatkan kandungan
lemak susu pasteurisasi semakin menurun. Keadaan ini diduga disebabkan
lemak susu terhidrolisis. Lemak pada susu dapat mengalami dekomposisi oleh
bakteri, kapang, khamir yang mengeluarkan enzim lipase. Menurut Ali (2011),
menyatakan bahwa bakteri penghasil enzim lipase yang dominan terdapat pada
47
produk susu yakni Pseudomonas, Proteus, Achromobacter, Alcaligenes. Salah
satu contoh dari bakteri penghasil enzim lipase yaitu Alcaligenes dapat
mengakibatkan perubahan fisik pada susu berupa terjadinya pengentalan,
berlendir, dan menimbulkan ketengikan karena mengasilkan enzim lipase yang
menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol (Fadhillah, 2017).
Hastorini (2011) dan Maitimu et al. (2013), menyatakan bahwa enzim lipase
terbentuk oleh bakteri asam laktat, sehingga lemak yang dihidrolisis akan
bertambah banyak dan mengakibatkan penurunan kadar lemak pada susu
pasteurisasi. Selain terjadinya penurunan kadar lemak ini juga diduga karena
kadar lemak yang terkandung dalam susu pasteurisasi berubah menjadi flavor
dan energi yang digunakan bakteri patogen selama penyimpanan. Reaksi
lipolisis menjadi sumber penyebab terbentuknya flavor pada susu. Lipolisis
adalah proses penguraian lemak menjadi asam lemak bebas oleh enzim lipase
dalam susu yang merupakan pembentukan aroma susu. Lemak susu mengalami
hidrolisis oleh enzim lipase dan esterase menghasilkan asam lemak bebas,
digliserida, monogliserida, dan gliserol. Asam lemak bebas berkontribusi
terhadap aroma yang dihasilkan, selain hidrolisis, juga dapat terjadi reaksi
oksidasi yang dapat menyebabkan aroma tengik pada susu (Salles et al., 2002).
Diduga menurunnya kadar lemak juga disebabkan oleh suhu lingkungan,
suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar lemak.
Hal ini sependapat dengan pernyataan Mutamimah et al. (2013), mengatakan
bahwa suhu lingkungan dapat mempengaruhi kadar lemak susu dengan
perbedaan suhu lingkungan sebesar 10oC. Ditambahkan Abubakar et al. (2000),
kadar lemak susu cenderung menurun pada lama waktu penyimpanan tertentu.
Ketentuan kadar lemak pada susu pasteurisasi adalah minimal 2,8% (SNI,
1995), sedangkan susu pasteurisasi pada hari ke 5 penyimpanan refrigerator dan
freezer yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3,3% hingga 3,4%
yaitu masih memenuhi syarat dari SNI.
4.2.5 Total Mikroba (TPC) (log CFU/mL)
Total plate count (TPC) adalah pemeriksaan kualitas susu dengan cara
menghitung jumlah koloni pada beberapa pengenceran, kemudian ditumbuhkan
pada media Plate Count Agar dan diinkubasi 37oC selama 2 x 24 jam sehingga
48
diketahui jumlah koloni per mil sampel. Standar kualitas susu berdasarkan TPC
dijadikan landasan kepentingan perlindungan kesehatan publik, bukan hanya
semata untuk memaksimasi kepentingan produsen produk susu dengan
memperpanjang daya simpannya (Bray, 2008). SNI 01-3951-1995 mensyaratkan
pemeriksaan TPC perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas susu pasteurisasi.
Jumlah TPC 3 x 104 CFU/mL menyebabkan mikroba cepat berkembang dan
toksin sudah terbentuk. Pengujian TPC bertujuan untuk mengetahui jumlah
mikroba yang tumbuh dalam suatu produk. Jumlah mikroba ini merupakan
indikator terhadap sanitasi sebuah produk pangan. Nilai TPC susu pasteurisasi
pada penelitian ini berkisar antara 2,43 – 3,78 log CFU/mL. Hasil analisis ragam
(Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengisian (filling) dan kondisi
penyimpanan memberikan pengaruh nyata (α = 0,05) terhadap nilai total mikroba
(TPC) susu pasteurisasi yang dihasilkan sedangkan interaksi antara suhu filling
dan kondisi penyimpanan memberikan pengaruh nyata terhadap nilai total
mikroba. Hasil uji lanjut DMRT perlakuan suhu pengisian (filling) dan kondisi
penyimpanan terhadap total mikroba susu pasteurisasi ditunjukkan pada Tabel
4.6.
Tabel 4.6 Rerata total mikroba akibat suhu pengisian (filling) dan kondisi penyimpanan
Suhu Pengisian (Filling)
Kondisi Penyimpanan
Rerata Total Mikroba (log CFU/mL)
Urutan Notasi DMRT (5%)
27oC
Tanpa penyimpanan (Hari ke-0)
3,11 3,78 a
0,31 - 0,36
Refrigerator (Hari ke-5)
3,78 3,15 b
Freezer (Hari ke-5)
3,15 3,11 b
17oC
Tanpa penyimpanan (Hari ke-0)
2,89 3,05 b
Refrigerator (Hari ke-5)
3,05 2,99 bc
Freezer (Hari ke-5)
2,94 2,94 bc
7oC
Tanpa penyimpanan (Hari ke-0)
2,43 2,89 bc
Refrigerator (Hari ke-5)
2,99 2,85 bc
Freezer (Hari ke-5)
2,85 2,43 c
Keterangan: 1. Data yang diperoleh merupakan rata-rata dari 3 ulangan 2. Angka dengan huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
49
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa susu pasteurisasi dengan suhu pengisian
(filling) 27oC dan kondisi penyimpanan refrigerator (Hari ke-5) memiliki nilai total
mikroba yang tertinggi yaitu 3,78 log CFU/mL. Dan susu pasteurisasi dengan
suhu pengisian (filling) 7oC dan kondisi penyimpanan tanpa penyimpanan (Hari
ke-0) memiliki nilai total mikroba yang terendah yaitu 2,43 log CFU/mL.
Berdasarkan rerata hasil analisa diatas dapat dilihat bahwa nilai TPC susu
pasteurisasi meningkat seiring dengan tingginya suhu pengisian (filling) dan
tingginya suhu kondisi penyimpanan. Hal ini dikarenakan suhu merupakan salah
satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini
sejalan dengan Atlas (1989) dalam Wicaksono (2005), peningkatan suhu 10oC
akan meningkatkan kecepatan reaksi kimia menjadi dua kali lipat, demikian pula
sebaliknya. Penurunan suhu sebesar 10oC akan menurunkan kecepatan reaksi
kimia sebesar setengah kali. Brock et al. (1994), menyatakan bahwa semakin
rendah suhu inkubasi, kerja enzim dan reaksi kimia semakin diperlambat. Selain
itu, pada suhu rendah terjadi pula pengerasan membran sel yang menyebabkan
menurunnya proses transpor nutrisi sehingga pertumbuhan mikroorganisme juga
terhambat. Reaksi kimia berhubungan dengan proses metabolisme yang terjadi
pada mikroorganisme. Bila kecepatan reaksi kimia menurun, maka metabolisme
yang terjadi akan rendah, sehingga pertumbuhan juga akan rendah.
Suhu merupakan parameter ekstrinsik yang dapat mempengaruhi partum-
buhan mikroorganisme. Menurut Anonymous (2005) dalam Wicaksono (2005),
suhu rendah dapat menurunkan kecepatan reaksi enzimatis pada mikro-
organisme sehingga reaksi menjadi sangat rendah yang menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan. Jay (1992) menambahkan suhu berpengaruh
terhadap proses multiplikasi dari bakteri. Semakin tinggi suhu, kecepatan
membelah akan semakin tinggi sampai pada suhu optimumnya, dan semakin
rendah suhu, kecepatan membelah akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian bahwa suhu filling 27oC yang disimpan pada refrigerator memiliki
jumlah miroba lebih banyak dibandingkan dengan suhu filling 7oC yang disimpan
pada freezer. Karena pada dasarnya suhu freezer lebih rendah dibandingkan
suhu refrigerator yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mikroorga-
nisme sehingga jumlah mikroba dalam susu pasteurisasi dengan perlakuan suhu
filling 7oC dan kondisi penyimpanan freezer lebih sedikit.
Menurut Gaman dan Sherrington (1992), Kandungan lemak dan protein pada
susu dapat menyebabkan mikroba dapat bertahan (tidak mati) saat proses
50
pasteurisasi, karena lemak dan protein bersifat melindungi sel bakteri dari
pengaruh lingkungan. Didukung oleh Zaldi (2009), menyatakan bahwa mikro-
organisme termotrof (tergolong thermoduric) mempunyai membran sel yang
mengandung lipida jenuh, sehingga titik didihnya tinggi, selain itu mikroorga-
nisme ini dapat memproduksi protein termasuk enzim yang tidak terdenaturasi
pada suhu tinggi. Jay (1986) dalam Mirza (2016), menyatakan bahwa kandungan
air, karbohidrat, dan lemak pada bahan dapat meningkatkan ketahanan panas
mikroorganisme.
Menurut Fardiaz (1992), pencemaran bakteri setelah pasteurisasi dapat
terjadi karena adanya bakteri yang tahan pasteurisasi setelah proses
pasteurisasi dan selama penyimpanan, misalnya dari peralatan yang digunakan.
Selain itu, peningkatan derajat keasaman (oSH) dan penurunan pH pada susu
pasteurisasi dapat disebabkan oleh perubahan kimiawi dan aktivitas
mikrobiologis dalam susu. Pada dasarnya, produk susu pasteurisasi dihasilkan
dengan cara pemanasan bahan baku susu dengan suhu dan selama waktu
tertentu, kemudian segera didinginkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
Namun demikian ada kelompok bakteri yang disebut thermoduric, yakni bakteri
yang bertahan hidup pada suhu pasteurisasi, demikian juga ada bakteri yang
disebut psychrotrophic merupakan kontaminan utama pada produk susu, tetap
hidup pada suhu pendinginan. Ryan et al. (2000) menyatakan bahwa penggan-
daan TPC kemungkinan berasal dari spora yang tidak mati pada suhu
pasteurisasi, sehingga setelah mengalami penyimpanan, spora tersebut menga-
lami pertumbuhan. Bakteri psikotrofik spora juga sering terdapat pada susu
pasteurisasi dan ini menyebabkan masalah pada suhu rendah karena bakteri ini
dapat merusak susu pasteurisasi yang disimpan suhu rendah.
Penelitian Sawitri et al., (2010) mengenai kajian kualitas susu pasteurisasi
selama penyimpanan dalam refrigerator sampai hari ke-5 mengalami pening-
katan lebih dari 104 CFU/mL. Hasil ini mengindikasikan bahwa selama penyim-
panan susu pasteurisasi dalam refrigerator terjadi pertumbuhan mikroorganisme
yang signifikan. Banyaknya jumlah mikroorganisme dalam susu pasteurisasi
selama penyimpanan di refrigerator menurut Jay (1999) kemungkinan akibat
pertumbuhan bakteri thermoduric dan penghasil spora. Jenis dan jumlah bakteri
tersebut tergantung pada populasi mikroba susu segar dan bahan baku lainnya
seperti gula, kesempurnaan proses pasteurisasi, pengemasan sampai kecepatan
penyimpanan di refrigerator.
51
Hayoux et al. (2001), menyatakan bahwa kontaminasi juga berasal dari
kemasan yang digunakan suatu produk pangan. Kemasan yang digunakan pada
sampel yang diteliti menggunakan kemasan tidak vakum udara. Fardiaz (1993)
dalam Sufyanhadi (2012), menyatakan bahwa bahan pangan yang dikemas
dalam kemasan tidak vakum dan disimpan pada suhu rendah akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme dari golongan gram negatif psikotrof aerob.
Ketentuan total mikroba pada susu pasteurisasi adalah maksimal 4,48 log
CFU/mL (SNI, 1995), sedangkan susu pasteurisasi pada hari ke 5 penyimpanan
refrigerator dan freezer yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 2,85
log CFU/mL hingga 3,78 log CFU/mL yaitu masih memenuhi syarat dari SNI.
4.3 Penentuan Perlakuan Terbaik
Penentuan perlakuan terbaik pada susu pasteurisasi metode cold filling
menggunakan metode Multiple Atribute (Zeleny, 1982). Atribut merupakan sifat-
sifat obyek yang bersifat aktual atau sifat-sifat obyek secara nyata dapat
menentukan suatu atribut, level, dan kriteria minimum serta maksimum dari
atribut secara spesifik. Faktor yang penting dalam metode ini adalah kebutuhan
dan harapan pembuat keputusan dimana nilai ideal dari perlakuan terbaik adalah
nilai yang sesuai dengan harapan, yaitu minimal atau maksimal tiap parameter.
Metode ini dilakukan dengan cara menentukan parameter pembobotan serta nilai
asumsi idealnya, lalu menghitung jumlah kerapatan semua parameter (L1, L2,
dan Lmaksimum). Pengujian perlakuan terbaik dilakukan terhadap parameter
yang meliputi yaitu pH, viskositas, kadar protein terlarut, kadar lemak, dan total
mikroba. Perlakuan dengan total nilai L1, L2, dan L∞ terkecil merupakan perlakuan
terbaik dari hasil analisis. Pemilihan nilai ideal atau nilai pengharapan dari
masing-masing parameter kimia, fisik, dan mikrobiologi penyimpanan untuk
perlakuan terbaik ditampilkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi susu pasteurisasi perlakuan terbaik
Parameter Nilai Pengharapan Keterangan
pH Nilai Tertinggi 6,60 Viskositas (cP) Nilai Terendah 4 Kadar Protein Terlarut (%) Nilai Tertinggi 0,91 Kadar Lemak (%) Nilai Tertinggi 3,5 Total Mikroba (log CFU/mL) Nilai Terendah 2,43
52
Nilai pengharapan dari parameter pH adalah nilai tertinggi. Hal ini karena
apabila semakin rendah nilai pH susu pasteurisasi maka susu tersebut telah
banyak terdapat mikroba didalamnya. Pada umumnya kerusakan susu sebagian
besar disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Hadiwiyoto (1994), menyatakan
jika nilai pH lebih rendah dari 6,5 menunjukan kerusakan susu yang disebabkan
oleh bakteri. Semakin rendahnya nilai pH mengindikasikan bahwa jumlah
mikroba dalam susu tersebut banyak karena mikroba tersebut dapat mem-
fermentasi laktosa pada susu menjadi asam laktat sehingga nilai pH menjadi
rendah.
Nilai pengharapan dari parameter viskositas adalah nilai terendah. Hal ini
dikarenakan viskositas susu juga bisa dipengaruhi antara lain yaitu tercemar oleh
kuman-kuman E.coli yang menyebabkan susu berlendir karena alat yang tidak
bersih dan susu lebih encer kemungkinan adanya penambahan sejumlah air
kedalam susu (Saleh, 2004). Menurut Nasution (2012) dalam Ismanto (2013),
memperkuat bahwa pada susu, kekentalan menjadi indikator utama, semakin
kental maka susu tersebut diindikasikan semakin rusak, warna dan baunya pun
akan berubah pula. Perubahan sifat fisik dapat berpengaruh terhadap penolakan
konsumen meskipun perubahan tersebut hanya berakibat pada penampilan yang
tidak menarik dan tidak mengakibatkan terjadinya perubahan kimia atau
membahayakan kesehatan konsumen (Manab, 2008).
Nilai pengharapan dari parameter kadar protein terlarut adalah nilai tertinggi.
Hal ini karena diharapkan proses pasteurisasi dan penyimpanan tidak menurun-
kan zat gizi secara drastis atau dengan kata lain dapat mempertahankan zat gizi
dalam susu tersebut.
Nilai pengharapan dari parameter kadar lemak adalah nilai tertinggi. Hal ini
karena kadar lemak mempengaruhi rasa, semakin banyak kandungan lemak,
tentu semakin enak rasa sebuah makanan atau minuman (Veratamala, 2017).
Nilai pengharapan dari parameter total mikroba adalah nilai terendah. Hal ini
karena jumlah mikroba menentukan kualitas dan masa simpan suatu bahan
pangan. Berdasarkan pemilihan perlakuan terbaik dengan menggunakan metode
multiple attribute (Zeleny, 1982), diperoleh perlakuan terbaik pada penelitian ini
yaitu suhu filling 7oC tanpa penyimpanan (Hari ke-0) dan perlakuan terbaik pada
hari ke-5 penyimpanan yakni suhu filling 7oC kondisi penyimpanan freezer
karena penggunaan kondisi penyimpanan freezer dapat memperpanjang masa
simpan produk. Selain itu, konsumen BBPP Batu cenderung lebih menyukai
53
produk susu pasteurisasi beku (penyimpanan freezer). Hail ini disebabkan
karena pada umumnya masyarakat awam menganggap bahwa produk beku
dapat menjaga kandungan nutrisi dan memiliki masa simpan yang lebih lama.
Hasil pemilihan perlakuan terbaik dengan metode Zeleny dapat dilihat pada
Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil pemillihan perlakuan terbaik metode Zeleny
Parameter S1P1 S1P2 S1P3 S2P1 S2P2 S2P3 S3P1 S3P2 S3P3
Σ dk*λ 0,949 0,862 0,886 0,950 0,884 0,905 0,985 0,892 0,906
L1 0,051 0,138 0,114 0,050 0,116 0,095 0,015 0,108 0,094
L2 0,002 0,007 0,004 0,001 0,004 0,003 0,000 0,003 0,003
L∞ 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138 0,138
Total 0,191 0,283 0,256 0,189 0,258 0,236 0,153 0,250 0,235