ispa dan batubara
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) adalah penyebab utama morbiditas
dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal
akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan
bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut
usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan
menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi
atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama di tingkat puskesmas
(pusat kesehatan masyarakat).
Terus munculnya ancaman kesehatan dalam bentuk penyakit menular
membuat langkah pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan sama sekali tidak boleh diabaikan. Penyakit/patogen yang menular
merupakan masalah yang terus berkembang, dan penularan patogen yang
menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) tidak terkecuali. Cara
penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tapi penularan
melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh inokulasi tak
sengaja) dan aerosol pernapasan infeksius berbagai ukuran dan dalam jarak dekat
bisa juga terjadi untuk sebagian patogen. Karena banyak gejala ISPA merupakan
gejala nonspesifik dan pemeriksaan diagnosis cepat tidak selalu dapat dilakukan,
penyebabnya sering tidak langsung diketahui. Selain itu, intervensi farmasi
(vaksin, antivirus, antimikroba) untuk ISPA mungkin tidak tersedia.
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya penyakit atau gangguan
pada saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain adalah faktor debu yang
meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi,daya larut dan sifat kimiawi, serta
lama paparan. Faktor individual meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi
dan fisiologi saluran napas dan faktor imunologis. Partikel debu yang dapat
dihirup berukuran 0,1 sampai kurang dari 10 mikron. Debu yang berukuran antara
5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian
atas; yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran napas
1
tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron disebut debu respirabel
merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari
bronkiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron
tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1 - 0,5 mikron
berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli; bila membentur alveoli, debu
dapat tertimbun disitu.
Kecamatan Merapi sebagai salah satu daerah penghasil batubara di
Indonesia juga mengalami berbagai masalah kesehatan, terutama saluran nafas.
Masalah yang cukup mengemuka sementara ini terutama berkenaan dengan debu
batubara yang berterbangan. Debu batubara mengandung bahan kimiawi yang
dapat mengakibatkan terjadinya penyakit paru-paru. Penyakit tersebut muncul bila
masyarakat yang berada di lokasi tambang batubara, atau di kawasan lalu-lintas
pengangkutan batubara, menghirup debu batubara secara terus-menerus, dan yang
paling berisiko adalah pekerja penambangan batubara itu sendiri.
Oleh karena itu, pada laporan kasus ini akan disajikan mengenai prevalensi
angka kejadian infeksi pernafasan akut sebelum penambangan batubara muncul,
yaitu tahun 2010 dan saat penambangan batubara mencapai jumlah yang cukup
untuk menimbulkan polusi udara, yaitu tahun 2011.
B. Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui adakah
peningkatan prevalensi angka kejadian infeksi saluran pernafasan akut sebelum
dan sesudah adanya penambangan batubara di Kecamatan Merapi Barat.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan
akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung
kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi
kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan
atau berurutan (Muttaqin, 2008).
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih
dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan
adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut
akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang
berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
B. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Corynebakterium. Virus penyebab
ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Coronavirus,
Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2007).
Selain oleh infeksi kuman, ISPA dapat disebabkan oleh asap pembakaran
bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar
kayu ini banyak menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama
ibu-ibu rumah tangga selalu melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan
bahan bakar kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa
disadarinya telah mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh
batuk, sesak nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut
mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen
dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2002).
3
C. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2
bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):
a. Golongan Umur Kurang 2 Bulan
1) Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau
napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu
6x per menit atau lebih.
2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari
½ volume yang biasa diminum)
b) Kejang
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Wheezing
f) Demam / dingin.
b. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
1) Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah
ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus
dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
2) Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
b) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
3) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun yaitu :
a) Tidak bisa minum
b) Kejang
4
c) Kesadaran menurun
d) Stridor
e) Gizi buruk
Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. ISPA ringan
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek
dan sesak.
b. ISPA sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390 C dan
bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. ISPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan
menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.
D. Faktor resiko
Faktor resiko timbulnya ISPA menurut Dharmage (2009) :
a. Faktor Demografi
Faktor demografi terdiri dari 3 aspek yaitu :
1) Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih
banyak terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki
merupakan perokok dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering
terkena polusi udara.
2) Usia
Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit
ISPA. Hal ini disebabkan karena banyaknmya ibu rumah tangga yang
memasak sambil menggendong anaknya.
3) Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam
kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta
pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala dan upaya
penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang kesarana
5
pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang mengerti
bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit
ISPA.
b. Faktor Biologis
Faktor biologis terdiri dari 2 aspek yaitu (Notoatmodjo, 2007):
1) Status gizi
Menjaga status gizi yang baik, sebenarnya bisa juga mencegah atau
terhindar dari penyakit terutama penyakit ISPA. Misal dengan
mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna dan memperbanyak minum air
putih, olah raga yang teratur serta istirahat yang cukup. Karena dengan
tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh akan semakin menigkat, sehingga
dapat mencegah virus ( bakteri) yang akan masuk kedalam tubuh.
2) Faktor rumah
Syarat-syarat rumah yang sehat (Suhandayani, 2007):
a) Bahan bangunan
a) Lantai : Ubin atau semen adalah baik. Syarat yang penting di sini
adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim
hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat
ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda-
benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan
berdebu merupakan sarang penyakit gangguan pernapasan.
b) Dinding : Tembok adalah baik, namun disamping mahal tembok
sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila
ventilasinya tidak cukup. Dinding rumah di daerah tropis khususnya di
pedesaan lebih baik dinding atau papan. Sebab meskipun jendela tidak
cukup, maka lubang-lubang pada dinding atau papan tersebut dapat
merupakan ventilasi, dan dapat menambah penerangan alamiah.
c) Atap Genteng : Atap genteng adalah umum dipakai baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Disamping atap genteng cocok untuk
daerah tropis, juga dapat terjangkau oleh masyarakat dan bahkan
masyarakat dapat membuatnya sendiri. Namun demikian, banyak
masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk itu, maka atap daun
6
rumbai atau daun kelapa pun dapat dipertahankan. Atap seng ataupun
asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, di samping mahal juga
menimbulkan suhu panas didalam rumah.
d) Lain-lain (tiang, kaso dan reng)
Kayu untuk tiang, bambu untuk kaso dan reng adalah umum di pedesaan.
Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan lama. Tapi perlu
diperhatikan bahwa lubang-lubang bambu merupakan sarang tikus yang
baik. Untuk menghindari ini cara memotongnya barus menurut ruas-ruas
bambu tersebut, maka lubang pada ujung-ujung bambu yang digunakan
untuk kaso tersebut ditutup dengan kayu.
b) Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini
berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2 (oksigen) didalam rumah
yang berarti kadar CO2 (karbondioksida) yang bersifat racun bagi
penghuninya menjadi meningkat. Tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara didalam ruangan naik karena terjadinya
proses penguapan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri-
bakteri penyebab penyakit)
c) Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan
tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk kedalam ruangan
rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga
merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya
didalam rumah akan menyebabkan silau, dam akhirnya dapat merusakan
mata.
c. Faktor Polusi
Adapun penyebab dari faktor polusi antara lain yaitu (Lamsidi, 2003) :
7
1) Cerobong asap
Cerobong asap sering kita jumpai diperusahaan atau pabrik-pabrik industri
yang dibuat menjulang tinggi ke atas (vertikal). Cerobong tersebut dibuat
agar asap bisa keluar ke atas terbawa oleh angin. Cerobong asap sebaiknya
dibuat horizontal tidak lagi vertikal, sebab gas (asap) yang dibuang melalui
cerobong horizontal dan dialirkan ke bak air akan mudah larut. Setelah larut
debu halus dan asap mudah dipisahkan, sementara air yang asam bisa
dinetralkan oleh media Treated Natural Zeolid (TNZ) yang sekaligus bisa
menyerap racun dan logam berat. Langkah tersebut dilakukan supaya tidak
akan ada lagi pencemaran udara, apalagi hujan asam. Cerobong asap juga
bisa berasal dari polusi rumah tangga, polusi rumah tangga dapat dihasilkan
oleh bahan bakar untuk memasak, bahan bakar untuk memasak yang paling
banyak menyebabkan asap adalah bahan bakar kayu atau sejenisnya seperti
arang.
2) Kebiasaan merokok
Satu batang rokok dibakar maka akan mengelurkan sekitar 4.000 bahan
kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen
cianida, ammonia, acrolein, acetilen, benzol dehide, urethane, methanol,
conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresorperyline dan lainnya, sehingga di
bahan kimia tersebut akan beresiko terserang ISPA.
3) Debu
Faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut
dan sifat kimiawi, serta lama paparan. Faktor individual meliputi
mekanisme pertahanan paru, anatomi dan fisiologi saluran napas dan faktor
imunologis. Partikel debu yang dapat dihirup berukuran 0,1 sampai kurang
dari 10 mikron. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan
tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas; yang berukuran
antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah.
Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron disebut debu respirabel merupakan
yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bronkiolus
terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang dari 1 mikron tidak
8
mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1- 0,5 mikron
berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli; bila membentur
alveoli, debu dapat tertimbun disitu (Yunus, 1997).
d. Faktor timbulnya penyakit
Faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit menurut Bloom dikutip dari
Effendy (2004) menyebutkan bahwa lingkungan merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, sehat atau
tidaknya lingkungan kesehatan, individu, keluarga dan masyarakat sangat
tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Disamping itu, derajat
kesehatan juga dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya membuat ventilasi
rumah yang cukup untuk mengurangi polusi asap maupun polusi udara,
keturunan, misalnya dimana ada orang yang terkena penyakit ISPA di situ
juga pasti ada salah satu keluarga yang terkena penyakit ISPA karena
penyakit ISPA bisa juga disebabkan karena keturunan, dan dengan
pelayanan sehari-hari yang baik maka penyakit ISPA akan berkurang dan
kesehatannya sedikit demi sedikit akan membaik, dan pengaruh
mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
E. Manifestasi Klinis
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema
mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur
fungsi siliare (Muttaqin, 2008).
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia
(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea
(kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang
oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan
dan mengakibatkan kematian. (Nelson, 2003).
9
Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau
lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Batuk
2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal
pada waktu berbicara atau menangis).
3) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba.
b. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumurkurang dari
satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun
atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah
tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji.
2) Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan termometer).
3) Tenggorokan berwarna merah.
4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
6) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
7) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
c. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala
ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:
1) Bibir atau kulit membiru.
2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.
3) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
4) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak
gelisah.
5) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
10
6) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
7) Tenggorokan berwarna merah.
F. Penatalaksanaan
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus yang
benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program (turunnya
kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik dan obat batuk
yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA).
Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar
pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan
antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat
batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula
petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan
penunjang yang penting bagi pederita ISPA . Penatalaksanaan ISPA meliputi
langkah atau tindakan sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2002) :
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan
anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila
menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak
tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa
membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit
untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju
anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop
penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklassifikasi.
b. Klasifikasi ISPA
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut
:
1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada
kedalam (chest indrawing).
2) Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
11
3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai
demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis,
faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia..
c. Pengobatan
1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigendan sebagainya.
2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di
rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain
yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan
dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan
didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah
bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman
streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.
Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan
perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.
d. Perawatan di rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang
menderita ISPA.
1) Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan memberikan
parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam
harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2
hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian
digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain
bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
12
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu
jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh ,
diberikan tiga kali sehari.
3) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang
yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI
pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
4) Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan
cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
5) Lain-lain
a) Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.
b) Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat
kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
c) Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi
cukup dan tidak berasap.
d) Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka
dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.
e) Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas
usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5
hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan
agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk
pemeriksaan ulang.
G. Pencegahan
Menurut Depkes RI, (2002) pencegahan ISPA antara lain:
a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita atau
terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA. Misalnya
13
dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum
air putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang cukup, kesemuanya itu
akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka
kekebalan tubuh kita akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah
virus / bakteri penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.
b. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya
tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus /
bakteri.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan mengurangi
polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga dapat
mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan terkena
penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara
(atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.
d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang
ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus /
bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang
melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari
sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan
melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit penyakit).
B. Ventilasi
1. Pengertian
Ventilasi adalah tempat sebagai proses penyediaan udara segar ke dalam dan
pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun
mekanis. Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan
manusia, sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang
14
baik dan over crowded maka akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan
kesehatan (Lamsidi, 2003).
2. Fungsi Ventilasi
Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut (Suhandayani, 2007) :
a. Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang
optimum bagi pernapasan.
b. Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat
pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
c. Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d. Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
e. Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh,
kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
f. Mendisfungsikan suhu udara secara merata.
3. Jenis Ventilasi Rumah
Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu
(Notoatmodjo, 2007):
a. Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas,
gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi
alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan
kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi
pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding
ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat
mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin,
exhauster dan AC (air conditioner).
4. Syarat Ventilasi
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut (Mukono, 2000) :
a. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan
luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas
lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
15
b. Ventilasi sering di buka untuk keluar masuk udara
c. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik,
knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
d. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang
ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang
oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain.
5. Penilaian Ventilasi Rumah
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan
antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter.
Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Notoatmodjo, 2007)
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari
luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya
konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat
racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi
akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-
bakteri patogen termasuk kuman (Notoatmodjo, 2007). Selain itu, luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses
pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya
kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama
udara pernafasan.
Rumah yang memenuhi syarat ventilasi baik akan mempertahankan
kelembaban yang sesuai dengan temperature kelembaban udara. Berdasarkan hasil
penelitian Ratnawati (2002) diperoleh sebanyak 17,2% responden tidak ISPA dan
sebanyak 82,8% menderita ISPA pada ventilasi kurang. Hal ini menunjukkan
bahwa pada ventilasi rumah yang kurang baik, jumlah kejadian ISPA pada balita
lebih banyak jika ventilasi rumah yang baik.
16
6. Akibat Yang Ditimbulkan Karena Ventilasi Yang Kurang
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 (oksigen) di dalam
rumah yang berarti kadar CO2 (karbondioksida) yang bersifat racun bagi
penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran aliran
udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman yang ada
di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
17
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Perbandingan Angka Kejadian ISPA Tahun 2010 dan Tahun
2011 Berdasarkan Umur
Telah dilakukan pendataan pasien yang didiagnosa menderita ISPA di
Puskesmas Merapi II pada periode tahun 2010 dan tahun 2011. Data kasus ISPA
diambil pada tahun 2010 karena pada tahun tersebut dimana tambang batubara
mulai muncul dan dianggap kasus ISPA belum dipengaruhi oleh dampak negatif
tambang batubara, yaitu debu. Tahun 2011 juga diambil sampel sebagai data
pembanding setelah pertambangan batubara dianggap mencapai jumlah yang
cukup berarti untuk menimbulkan polusi udara yang menjadi salah satu faktor
risiko timbulnya penyakit ISPA. Berdasarkan data kunjungan pasien Puskesmas
Rawat Inap Merapi II, jumlah pasien yang didiagnosa menderita ISPA di tahun
2010 sebanyak 596 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah kasus pada tahun
2011, yaitu 787 orang, terdapat peningkatan jumlah penderita ISPA di wilayah
Puskesmas Rawat Inap Merapi II sebanyak 191 orang (32%).
Pasien yang diambil dalam kasus ini dikategorikan ke dalam 6 kelompok
umur berdasarkan kriteria WHO dan Depkes 2002, yaitu kelompok umur balita
(0-4 tahun), kanak-kanak (5-11 tahun), remaja (12-17 tahun), dewasa (18-40
tahun), tua (41-65 tahun), dan lanjut usai (>65 tahun). Adapun perbandingan
jumlah penderita ISPA menurut karakteristik umur pada tahun 2010 dan 2011
adalah sebagai berikut.
18
Gambar1. Diagram Perbandingan Distribusi Pasien ISPA Tahun 2010 dan 2011
Berdasarkan Kategori Umur
Berdasarkan kategori umur di atas, kelompok umur yang paling banyak
mengalami ISPA baik pada tahun 2010 maupun tahun 2011 adalah kelompok usia
balita (0-4 tahun), yang masing-masing penderitanya sebanyak 184 anak (31%)
dan 242 anak (31%). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada
anak, karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit
batuk-pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang
berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk-pilek sebanyak 3 sampai
6 kali setahun. Pada bayi, antibodi belum bisa disintesis oleh tubuhnya sendiri,
melainkan didapat dari ASI (air susu ibu). Namun, setelah usia 24 bulan, anak
baru bisa membentuk antibodi sendiri. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia
(radang paru-paru) sering terjadi pada anak-anak terutama apabila terdapat gizi
kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak sehat. Risiko
terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi
19
Balita Kanak-kanak Remaja Dewasa Tua Lanjut Usia0
50
100
150
200
250
184
70
38
120135
49
242
73
25
159
223
65
2010 2011
silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit
dan cacing, serta tidak tersedianya atau malah berlebihannya pemakaian
antibiotik.
Selain itu, penyakit infeksi sangat juga dipengaruhi oleh status
sosioekonomi dan pendidikan orangtua. Status sosioekonomi dan pendidikan
orangtua yang kurang akan menyebabkan kemiskinan, ketidaktahuan tentang gizi,
higienitas, sanitasi lingkungan, dan penyakit yang diderita oleh anak maupun
dirinya sendiri.
Hingga saat ini angka kematian akibat ISPA yang berat masih sangat
tinggi, terutama pada usia yang ekstrim yaitu usia pediatrik (bayi dan anak) dan
geriatrik (usia lanjut). Pada kaum geriatri disebabkan oleh sistem imunitas yang
mulai menurun seiring dengan bertambahnya usia Kematian seringkali
disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam keadaan parah/lanjut dan
sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi.
B. Gambaran Perbandingan Angka Kejadian ISPA Tahun 2010 dan Tahun
2011 Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pasien ISPA yang berobat ke
Puskesmas Rawat Inap Merapi II, jumlah pasien berjenis kelamin laki-laki, yaitu
374 orang (63%) di tahun 2010 dan 428 orang (54%) di tahun 2011 lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan, yaitu 374 orang (63%) pada tahun 2010
dan 222 orang (37%) pada tahun 2011. Adapun rasio pasien ISPA laki-laki dan
perempuan adalah 1,68 : 1 pada tahun 2010 dan 1,19 : 1 pada tahun 2011.
20
Gambar 2. Diagram Distribusi Perbandingan Pasien ISPA Tahun 2010 dan 2011
Menurut Jenis Kelamin
Menurut WHO 2009 dan NCBI literature, jenis kelamin tidak
mempengaruhi timbulnya penyakit ISPA. Tetapi pada beberapa penelitian
kesehatan, pasien laki-laki cenderung lebih banyak menderita ISPA karena faktor
kebiasaan dan pajanan. Sebagian besar pasien laki-laki memiliki kebiasaan
merokok yang juga faktor risiko ISPA terbesar. Selain itu, mayoritas pekerja
tambang batubara tersebut adalah laki-laki, sehingga hal ini berpotensial
menentukan lama dan besarnya pajanan seseorang terhadap debu.
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhus dilapisi oleh membran
mukosa bersilia, udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan
dan dilembabkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang
terdapat dalam hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam
lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior ke rongga
hidung dan ke arah superior menuju faring.
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh
bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran
pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas
sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran
pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan.
21
Laki-laki63%
Perempuan37%
Tahun 2010
Laki-laki54%Perempuan
46%
Tahun 2011
Menurut WHO, sekresi lendir atau gejala pilek terjadi juga pada
penyakit common cold disebabkan karena infeksi kelompok virus jenis rhinovirus
dan atau coronavirus.Penyakit ini dapat disertai demam pada anak selama
beberapa jam sampai tiga hari. Sedangkan pencemaran udara diduga menjadi
pencetus infeksi virus pada saluran nafas bagian atas.
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udarapernafasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernafasannya.
C. Gambaran Perbandingan Angka Kejadian ISPA Tahun 2010 dan Tahun
2011 Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal
Berdasarkan wilayah tempat tinggal, jumlah pasien yang berobat ke
Puskesmas Merapi II dan didiagnosa sebagai ISPA, baik pada tahun 2010 maupun
2011, terbanyak berasal dari desa Merapi, yaitu 154 orang (25,84%) pada tahun
2010 dan 176 orang (22,36%) pada tahun 2011.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2 1 6 819
30
1021 15
3340 36
64 6047 50
154
5 311 15
3932
18
5039
5447 48 53
6472
61
176
2010 2011
Gambar 3. Diagram Distribusi Perbandingan Pasien ISPA Tahun 2010 dan 2011
Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal
22
Salah satu faktor yang memungkinkan jumlah pasien dari wilayah Merapi
merupakan yang paling banyak adalah karena jarak tempuh lebih dekat dan waktu
yang lebih singkat untuk ke Puskesmas. Mengenai jarak dan waktu tempuh desa
ke puskesmas dapat dilihat pada Tabel 4. Diperkirakan jumlah penderita ISPA
lebih besar lagi karena data tidak termasuk pasien yang berobat ke bidan desa
ataupun tempat lain.
Tabel 1. Daftar Jarak dan Waktu Tempuh Desa ke Puskesmas Merapi II
No Nama Desa Jarak (±km) Waktu Tempuh (±menit)
1 Muara Temiang 18 30
2 Lubuk Kepayang 17 30
3 Tanjung Telang 16 25
4 Karang Endah 15 25
5 Payo 14 15
6 Suka Marga 9,5 30
7 Tanjung Pinang 9 30
8 Gunung Agung 8,4 25
9 Suka Cinta 7,5 20
10 Ulak Pandan 6 30
11 Negeri Agung 6,2 35
12 Lebak Budi 6,5 40
13 Tanjung Baru 3 15
14 Kebur 2,5 5
15 Telatang 1,5 10
16 Muara Maung 1 10
17 Merapi 0,5 3
Selain itu, berdasarkan jumlah penyebaran tempat penambangan batubara,
Desa Merapi merupakan salah satu desa dengan tingkat polutan debu tertinggi
akibat batubara. Berdasarkan jumlah lokasi penambangan batubara, terdapat
beberapa desa yang memiliki kadar debu tinggi akibat batubara, antara lain Desa
23
Suka Marga, Negeri Agung, Tanjung Baru, Kebur, Telatang, Muara Maung, dan
Merapi. Semakin banyak jumlah penambangan, semakin tinggi pula kadar polusi
udara yang ditimbulkannya. Hal ini menyebabkan penduduk terpajan lebih lama
terhadap salah satu faktor risiko ISPA ini. Terdapat tiga mekanisme penimbunana
debu di dalam paru-paru :
a. Pengaruh inersia
Pengaruh inersia akan timbul kelembaban dari debu itu sendiri dimana
pada saat bergerak dan melalui belokan-belokan, maka akan lebih didorong oleh
aliran udara. Pada sepanjang jalan pernapasan yang lurus akan langsung ikut
dengan aliran lurus kedalam. Sedangkan partikel-partikel yang besar kurang
sempat ikut dalam aliran udara, akan tetapi mencari tempat-tempat yang lebih
ideal untuk menempel atau mengendap seperti pada tempat lekuk-lekuk pada
selaput lender dalam saluran napas.
b. Pengaruh sedimentasi
Pengaruh sedimentasi terjadi di saluran-saluran pernapasan dimana
kecepatan arus udara kurang dari 1 cm/detik, sehingga partikel-partikel tersebut
melalui gaya berat dan mengendap.
c. Gerakan Brown
Gerakan Brown berlaku untuk debu-debu berukuran kurang dari 0.1
mikron dimana melalui gerakan udara dan permukaan partikel debu yang masuk
ke dalam tubuh khususnya, akan mengganggu alveoli kemudian mengendap.
Selain itu, ada empat alternatif pengaruh fisik dari partikel debu yang mengendap,
yaitu :
a. Debu berukuran 5 mikron yang mengendap pada saluran pernapasan bagian
atas dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis.
b.Debu berukuran 2-3 mikron yang mengendap lebih dalam pada
bronkus/bronkiolus dapat menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma.
c.Debu yang berukuran 1-3 mikron yang mengendap di alveoli, dimana
gerakannya sejalan dengan kecepatan konstan.
d. Debu yang berukuran 0.1-1 mikron karena terlalu ringan tidak dapat menempel
pada saluran napas tetapi mengikuti gerak brown dan berada dalam bentuk
suspensi (Fume atau Smoke)
24
Menurut WHO 1996 ukuran debu partikel yang membahayakan adalah berukuran
0,1 – 5 atau 10 mikron. Depkes mengisaratkan bahwa ukuran debu yang
membahayakan berkisar 0,1 sampai 10 mikron.
Faktor kebersihan lingkungan masing-masing desa, termasuk kondisi
rumah juga sangat menentukan besarnya risiko penduduk terkena penyakit ISPA.
Desa dengan slum area menjadi tempat yang mudah bagi kuman penyebab ISPA
untuk berkembang biak. Sedangkan rumah dengan ventilasi yang buruk, juga
meningkatkan risiko timbulnya penyakit ini.
D. Gambaran Perbandingan Angka Kejadian ISPA Tahun 2010 dan Tahun
2011 Berdasarkan Musim
Dari hasil pendataan pasien ISPA yang berobat ke Puskesmas Merapi II,
didapatkan distribusi penderita berdasarkan waktu (bulan) dengan jumlah
penderita terbanyak di bulan September pada tahun 2010, yaitu sebanyak73 orang
(12,24%) dan bulan Agustus di tahun 2011, yaitu sebanyak 80 orang (10,16%).
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
0
10
20
30
40
50
60
70
80
48
3641
58
4347
5963
73
55
42
31
67 68
62
75
65 67 70
8076
61
44
52
20102011
Gambar 4. Diagram Distribusi Perbandingan Pasien ISPA Tahun 2010 dan 2011
Berdasarkan Waktu
25
Dari data distribusi penderita ISPA menurut waktu ini dapat dikelola
menjadi data berdasarkan musim. Adapun musim yang ada di Indonesia dapat
dikategorikan menjadi 2 musim, yaitu musim hujan, yang berlangsung dari bulan
Oktober – Maret, dan musim kemarau, dari bulan April – September. Maka
berdasarkan karakteristik musim, pasien ISPA yang berobat ke Puskesmas Merapi
II, baik sepanjang tahun 2010 maupun 2011, terbanyak pada musim kemarau,343
orang (58%) dan 433 orang (55%).
Gambar 5. Diagram Distribusi Perbandingan Pasien ISPA Tahun 2010 dan 2011
Berdasarkan Karakteristik Musim
Dari pendataan pasien rawat jalan di Puskesmas Merapi II tahun 2010 dan
2011, angka kejadian penyakit ISPA rata-rata menunjukkan angka yang lebih
tinggi di bulan-bulan musim kemarau, yaitu antara bulan April – September. Pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa musim mempengaruhi angka kejadian
ISPA. Hal ini berkaitan dengan temperatur harian, kelembapan, dan kecepatan
angin. Pada musim kemarau, dimana suhu yang meningkat akan menyebabkan
berat jenis droplet dan debu respirabel menjadi lebih ringan, didukung oleh
kecepatan angin yang rata-rata lebih tinggi pada siang hari menimbulkan partikel
ini lebih mudah tditerbangkan angin, sehingga tingkat penularan ke manusia
menjadi lebih tinggi. Selain itu, kelembaban udara di musim kemarau yang juga
menurun akan mendukung kondisi tersebut. Oleh sebab itu, ISPA akan lebih
mudah meningkat di musim kemarau.apalagi didukung dengan maraknya
26
Musim Hujan42%
Musim Hujan58%
Tahun 2010
Musim Hujan45%
Musim Ke-marau55%
Tahun 2011
penambangan batubara di Kecamatan Merapi semakin meningkatkan kadar debu
di udara yang dapat menimbulkan kelainan faal paru. Kegiatan penimbunan
batubara dalam bentuk gunungan akan menimbulkan dampak terhadap penurunan
kualitas udara, berupa peningkatan debu udara ambien. Dispersi debu batubara
terjadi karena bantuan yang berhembus mengenai tumpukan batubara, saat
penurunan dan penaikan batubara ke kendaraan pengangkut. Lalu lintas kendaraan
pengangkut itu sendiri pun akan meningkatkan pergerakan debu yang dilaluinya.
27
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Terdapat peningkatan prevalensi angka kejadian ISPA di Puskesmas
Merapi II setelah adanya penambangan batubara, yaitu dari tahun 2010 ke tahun
2011 yaitu sebanyak 191 orang (32%). Kelompok usia balita (0-4 tahun)
merupakan kategori umur dengan prevalensi tertinggi pasien ISPA, yaitu
sebanyak 184 anak (31%) pada tahun 2010 dan 242 anak (31%) pada tahun 2011.
Adapun rasio pasien ISPA laki-laki dan perempuan adalah 1,68 : 1 pada tahun
2010 dan 1,19 : 1 pada tahun 2011. Berdasarkan wilayah tempat tinggal, jumlah
pasien yang berobat ke Puskesmas Merapi II dan didiagnosa sebagai ISPA, baik
pada tahun 2010 maupun 2011, terbanyak berasal dari desa Merapi, yaitu 154
orang (25,84%) pada tahun 2010 dan 176 orang (22,36%) pada tahun 2011.
Berdasarkan waktunya, pasien ISPA terbanyak saat musim kemarau, dimana
paling banyak di bulan September pada tahun 2010, yaitu sebanyak73 orang
(12,24%) dan bulan Agustus di tahun 2011, yaitu sebanyak 80 orang (10,16%).
B. Saran
1. Sebagai upaya mengatasi peningkatan angka kejadian ISPA akibat debu
penambangan batubara, perlu dilakukannya analisis kadar debu dan studi analitik
mengenai pajanan debu batubara dan gangguan pernafasan pada masyarat.
Hendaknya penelitian bersifat follow up dan tidak hanya cross sectional.
Penelitian ini diharapkan menjadi bukti otentik tingkat pencemaran penambangan
batubara di Kecamatan Merapi II yang bisa berguna bagi masyarakat dan pekerja
tambang sebagai upaya penanggulangan gangguan kesaehatan yang ditimbulkan.
2. Perlu dilakukannya usaha untuk meminimalisir kadar debu respirabel yang
berisiko terhirup penduduk yang lebih bermakna , antara lain menggunakan alat
pelindung diri (masker) atau pengadaan hujan buatan, mengingat penyiraman
jalan dirasakan tidak adekuat untuk mengontrol debu yang terbang. Usaha ini
sebaiknya melibatkan pengusaha tambang dan pemerintah daerah setempat.
28
3. Standardisasi proses penambangan batubara. Hal ini dirasakan perlu karena
rendahnya kualitas penambangan batubara di wilayah Kecamatan Merapi II.
Rendahnya kualitas penambangan batubara ini disebabkan oleh tidak diawasinya
pembangunan batubara, sehingga risiko untuk menimbulkan polusi sangat tinggi.
4. Dilakukannya studi hazard mengenai tambang batubara mengingat
penambangan batubara banyak menimbulkan masalah kesehatan. Masalah yang
cukup mengemuka sementara ini terutamaberkenaan dengan debu batubara yang
berterbangan. Debu batubara mengandung bahan kimiawi yang dapat
mengakibatkan terjadinya penyakit paru-paru. Penyakit tersebut muncul bila
masyarakat yang berada di lokasi tambang batubara, atau di kawasan lalu-lintas
pengangkutan batubara, menghirup debu batubara secara terusmenerus, dan yang
paling beresiko adalah pekerja penambangan batubara itu sendiri .
5. Perlu terjalinnya dukungan dari pihak pemerintah (camat, bupati, atau
gubernur) dan badan pemerhati lingkungan, seperti majelis kedokteran okupasi,
departemen kesehatan,badan kesehatan dunia (WHO). Hal ini mengingat
kepemilikan penambangan di Kecamatan Merapi Barat juga berasal dari kalangan
tertentu, sehingga diperlukan dukungan yang kuat agar topik permasalahan bisa
diangkat.
6. Edukasi kepada masyarakat dan para pekerja tambang mengenai penyakit ISPA
dan pencegahannya, higienitas diri dan sanitasi lingkungan yang penting
diperhatikan, serta sosialisasi dampak negatif penambangan batubara.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Carmem L, Wing-Hong. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan. WHO, 2007.
2. Eric A, dkk.Disease Control Prioritiesin Developing Country: Acute
Respiratory Infections in Children. Ch 25, 483-497.
3. Qomariyatus S, Laily K, Ratna S. Pajanan Debu Batubara dan Gangguan
Pernafasan pada Pekerja Lapangan Tambang Batubara. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, Vol 4, No.2, 2008: 1-8.
4. Tan Malaka. Modul Blok 20: Kualitas Udara dan Kesehatan. FK Unsri, 2009.
30