isi agama & konflik

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar orang memandang agama sebagai media penghubung antara Tuhan dan manusia. Ia memiliki suatu perangkat hukum tertentu yang diklaim berasal dari Tuhan dan berfungsi untuk mengatur hidup manusia untuk bertaqwa kepadanya, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya, sebutlah kitab suci. KH. Hasyim Muzadi mengungkapkan bahwa pengertian dan persepsi yang salah terhadap agama, baik agama sendiri maupun agama orang lain telah menyebabkan konflik di kalangan umat Islam. Salah pengertian terhadap agama mengakibatkan kesalahan dalam penggunaan agama. "Salah penggunaan agama ini bisa berwujud eksklusifisme sehingga menimbulkan rawan konflik atau liberalisasi yang menumbuhkan rawan peniadaan terhadap pelaksaan agama itu sendiri," imbuhnya. 1 Perlu kesadaran bahwa agama adalah sebuah kesucian, tetapi pemeluk agama bukanlah orang suci. Sehingga ada jarak antara kualitas pemeluk agama dengan kesucian mutlak agama itu sendiri. "Dengan demikian, klaim seseorang bahwa dia mewakili keseluruhan kesucian agama sukar 1 http://www.inilah.com/read/detail/560841/hasyim-muzadi- salah-persepsi-biang-konflik-agama. diakses pada Senin, 5 Desember 2011. Pkl. 08.00 1

Upload: azmy-habibullah

Post on 25-Nov-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagian besar orang memandang agama sebagai media penghubung antara Tuhan dan manusia. Ia memiliki suatu perangkat hukum tertentu yang diklaim berasal dari Tuhan dan berfungsi untuk mengatur hidup manusia untuk bertaqwa kepadanya, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya, sebutlah kitab suci.KH. Hasyim Muzadi mengungkapkan bahwa pengertian dan persepsi yang salah terhadap agama, baik agama sendiri maupun agama orang lain telah menyebabkan konflik di kalangan umat Islam. Salah pengertian terhadap agama mengakibatkan kesalahan dalam penggunaan agama. "Salah penggunaan agama ini bisa berwujud eksklusifisme sehingga menimbulkan rawan konflik atau liberalisasi yang menumbuhkan rawan peniadaan terhadap pelaksaan agama itu sendiri," imbuhnya. Perlu kesadaran bahwa agama adalah sebuah kesucian, tetapi pemeluk agama bukanlah orang suci. Sehingga ada jarak antara kualitas pemeluk agama dengan kesucian mutlak agama itu sendiri. "Dengan demikian, klaim seseorang bahwa dia mewakili keseluruhan kesucian agama sukar untuk dimengerti, yang sama dan sebangun antara ajaran agama dengan pelakunya hanyalah para Nabi.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami rumuskan permasalahan sebagai berikut;

1. Apa pengertian agama?

2. Apa unsur konflik dalam agama?

3. Bagaimana solusi penyelesaian konflik antar agama?C. Tujuan MasalahDari rumusan masalah tersebut, maka tujuan masalahnya sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian agama.

2. Mengetahui unsur konflik agama3. Mengetahui solusi penyelesaian konflik agama.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama

Agama adalah suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktek-praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang sacred, yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang mengajarkan moral yang tinggi ke dalam suatu komuniti.

Perlu kita ketahui, telah lama diyakini bahwa pada tahap perkembangan masyarakat yang telah relatif maju dalam proses evolusi, aturan-aturan moral dan legal tidak bisa lagi dibedakan dari resep ritual. Hal ini mengingat, bahwa hampir semua instusi-institusi sosial yang besar dilahirkan dalam agama. Oleh karenanya kekuatan agama adalah kekuatan manusia, kekuatan moral.

Tidak mudah bagi kita untuk menentukan pengertian agama, karena agama bersifat batiniah, subyektif, dan individualistis. Kalau kita membicarakan agama akan dipengaruhi oleh pandangan pribadi, juga dari pandangan agama yang kita anut. Untuk mendapatkan pengertian tentang agama, religi, dan din kita mengutip pendapat seperti: Bozman, bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan-aturan dari pada kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.

H. Moenawar Cholil dalam bukunya Definisi dan sendi agama kata dien itu masdar dari kata kerja daana yad i enu. Menurut Jughat kata dien mempunyai arti :

1. Cara atau adat kebiasaan

2. Peraturan

3. Nasihat

4. Agama dan lain-lainDari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan :

1. Baik agama, religi, dan dien kesemuanya mempunyai pengertian yang sama.

2. Aktivitas dan kepercayaan agama, religi, dan dien mencakup masalah: kepercayaan kepada Tuhan.

Agama bertitik tolak dari adanya suatu kepercayan terhadap suatu yang lebih berkuasa, lebih agung, lebih mulia dari pada makhluk. Agama berhubungan dengan masalah ketuhanan, dimana manusia yang mempercayainya harus menyerahkan diri kepada-Nya, mengabdikan diri sepenuhnya karena manusia mempercayainya, ada 4 ciri yang dapat kita kemukakan yaitu :

1. Adanya kepercayaan terhadap yang ghaib, kudus dan Maha Agung dan pencipta alam semesta (Tuhan).

2. Melakukan hubungan dengan berbagai cara seperti dengan mengadakan upacara ritual, pemujaan, pengabdian dan do'a.

3. Adanya suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya.

4. Ajaran Islam ada Rasul dan kitab suci yang merupakan ciri khas daripada agama.

5. Agama tidak hanya untuk agama, melainkan untuk diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya.Penganut agama adalah orang yang meyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk-bentuk perubahan baik atau buruk, yang dalam pandangan Islam disebut amal perbuatan. Dari mana mereka meyakini bahwa suatu perbuatan itu baik atau buruk. Keyakinan ini dimiliki dari suatu rangkaian proses memahami dan mempelajari ajaran agamatersebut. Oleh karena itu, setiap penganut akan berbeda dan memiliki kadar interpretasi yang beragam dalam memahami ajaran agamanya, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

B. Unsur Konflik dalam AgamaBagi sebagian besar orang, agama seringkali dipandang sebagai media penghubung antara Tuhan dan manusia. Ia memiliki suatu perangkat hukum tertentu yang diklaim berasal dari Tuhan dan berfungsi untuk mengatur hidup manusia untuk bertaqwa kepadanya, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.

Akan tetapi, hampir tidak pernah orang berpikir apakah agama itu diciptakan Tuhan atau manusia itu sendiri? Memang, dapat diterima sebuah asumsi bahwa agama diciptakan untuk menertibkan pemeluknya dalam kehidupan spiritual masyarakat. Agama melalui pemimpin spiritualnya berusaha menafsirkan ajaran-ajaran Tuhan untuk kepentingan pemeluknya. Namun apakah tidak ada orientasi subjektif dalam penciptaan lembaga agama ini? Pada kenyataanya, agama bukan saja menunjukkan fungsi positif, tetapi juga menunjukkan adanya ekses-ekses negatif, yang tentunya dipengaruhi oleh orientasi subjektif dari manusia yang menjadi pencipta agama tersebut.

Para ahli teori fungsional telah menekankan sumbangan yang diberikan oleh agama demi kesinambungan masyarakat, khususnya yang tidak sengaja oleh pelaku manusia yang terlibat. Fungsi laten yang positif hanya menunjukkan salah satu pengaruh agama terhadap masyarakat. Para sarjana lainnya, para ahli sejarah dan filosof nasional misalnya, menunjukkan bahwa agam sering mempunyai efek negative terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu. Isu-isu keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap tidak toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan lainnya.

Secara sosiologis agama tidak bisa dilepas dari citranya sebagai pencipta konflik. Dalam sejarah Perang Salib, agama dilihat sebagai faktor yang berperan di dalamnya. Meskipun motif politik dan ekonomi juga dapat ditetapkan sebagai pemicunya, namun agama memiliki posisi penting dalam meningkatkan dan mengkristalkan peperangan tersebut. Di situ, agama dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda, tetapi berangkat dari keinginan yang sama: masing-masing ingin menaklukkan lawannya yang dipersepsi sebagai pihak yang bersalah. 1) Pemicu Konflik

Dalam realitas kontemporer pun masih ditemukan adanya keterlibatan agama dalam kerusuhan sosial dan konflik destruktif. Beberapa kasus konflik antar-pemeluk agama di tanah air sepanjang delapan tahun terakhir mengisyaratkan bahwa agama punya andil cukup signifikan. Sebagaimana dapat dilihat dalam benturan antaragama di Ambon, Kalimantan, bahkan di Jakarta. Konflik tersebut tidak dalam bingkai konstruktif seperti yang dikonsepsikan oleh Hegel. Menurut Hegel, konflik adalah suatu dialektika yang akan bermuara pada kemajuan, yaitu benturan antara tesa dan anti-tesa yang kemudian memunculkan sintesa, suatu gagasan atau keadaan yang melampaui keadaan sebelumnya (1999). Konflik destruktif justru akan melahirkan kerusakan dan kerugian bagi kehidupan. Dalam banyak kasus peperangan dan kerusuhan, agama dinilai berperan sebagai pemicunya.

Citra bahwa agama identik dengan konflik dan perang tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Konflik sebetulnya lebih disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik. Hanya saja agama memiliki sistem simbol yang sangat mudah digunakan untuk memobilisasi massa, sehingga konflik ekonomi dan politik itu terlihat seperti benturan suci yang digerakkan oleh agama.

Namun juga tidak bisa dielakkan bahwa agama berperan dalam menimbulkan konflik. Sejarah perjuangan para Nabi dalam menghadapi kekuasaan para raja dan bangsawan mengisyaratkan adanya benturan. Para Nabi berada dalam posisi mengkritisi perilaku despotik penguasa. Dalam kritisisme tersebut para Nabi berpihak kepada rakyat yang teraniaya (mustadhafin). Dengan demikian, agama pada awal kemunculannya lebih bersemangat pembebasan dan keberpihakan terhadap kaum tertindas. Agama semacam ini dalam kajian sosiologi disebut sebagai agama profetik. Biasanya, posisi agama profetik berjarak dengan kekuasaan, sehingga memungkinkan para tokohnya melakukan kritik terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Konflik sosial yang berselimutkan agama sesungguhnya terjadi karena adanya political interest tertentu, misalnya kekuasaan. Disinilah perlunya kesadaran dan keaspadaan terhadap pihak-pihak tertentu yang menjustifikasi agama bagi kepentingan kekuasaan, terutama pelembagaan agama terhadap struktur formal, sebab secara historis agama memang merupakan salah satu bentuk legitimasi yang paling efektif.

Kiprah agama profetik dapat ditemukan dalam sejarah agama Islam di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Betapa gerakan-gerakan perlawanan dan pemberontakan terhadap Belanda banyak dilakukan jamaah tarekat dan jamaah Islam lainnya yang tergabung dalam pesantren atau komunitas sejenis (Martin Van Bruinessen, 1995). Tidak heran jika pemerintah kolonial Belanda pada saat itu berinisiatif melakukan penelitian intensif terhadap tarekat-tarekat di Jawa dan pengaruhnya terhadap gerakan perlawanan. Hingga kini hasil-hasil penelitian yang jumlahnya ratusan tersebut dapat ditemukan di beberapa universitas Belanda.

2) Pencipta Harmoni

Di samping perannya sebagai pencipta konflik, agama juga ikut andil dalam membangun harmoni. Peran seperti ini biasanya ditemukan dalam agama yang hidup dalam masyarakat yang mapan, dimana agama diposisikan sebagai pemberi legitimasi terhadap kebijakan penguasa. Kiprah agama Islam dalam kekuasaan Turki Ustmani menggambarkan peran agama sebagai penjaga stabilitas dan persatuan. Dan kiprah semacam ini dapat ditemukan di sepanjang sejarah dinasti Islam selama ratusan tahun di Timur Tengah. Kekuasaan para khilafah di masa Umayyah maupun Abbasiyah memosisikan agama sebagai agen penguat legitimasi politik sekaligus penjaga stabilitas politik. Kasus Mihnah (inkuisisi) terhadap akidah tokoh-tokoh Islam pada masa Khalifah al-Mamun, mengindikasikan hal itu. Loyalitas tokoh-tokoh publik ditunjukkan lewat kesamaan akidah. Pancasila adalah idiologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas idiologi sosioal-politik, etnis dan budaya. Melalui pancasila seyogyanya bisa ditemukan suatu sintesis harmonis antra pluralitas agama dan kemajemukan etnis budaya, serta idiologi social politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

Di satu sisi, peran tersebut akan membuat agama menjadi stagnan, karena agama dibakukan sebagai alat penjaga kekuasaan. Perkembangan internal agama lebih pada upaya membangun ketaatan dan loyalitas rakyat terhadap penguasa. Selebihnya, agama digunakan sebagai pengawet tradisi. Sisi ini bisa dikategorikan sebagai sisi lemah dari jenis agama ini.

Di lain sisi, peran penjaga tradisi tersebut justru dapat menjadi alat untuk membangun solidaritas mekanik. Karena dalam rekam jejak kiprah agama, kekuatannya terletak pada kemampuan menyediakan kerangka simbolik yang dapat menyatukan masyarakat. Emile Durkheim mengatakan bahwa kualitas kepaduan dan keharmonisan sebuah masyarakat akan memancarkan kualitas keagamaan. Semakin harmonis sebuah masyarakat akan semakin meningkatkan kualitas keagamaannya. Hal itu bisa menjadi suatu lingkaran korelasi, bahwa semakin tinggi kualitas keagamaan, akan semakin mencerminkan adanya keharmonisan di masyarakat. (CMM)

3) Sumber Konflik dalam Agama-Agama Besar di DuniaDalam perjalannya sejarah, sejak kepercayaan animisme dan dinamisme sampai monotheisme menjadi agama yang paling banyak dianut di muka bumi ini agama hampir selalu menciptakan perpecahan. Sebagai contoh, dalam agama India, khususnya Hindu-Budha, agama yang dibawa Sidharta Gautama ini merupakan rekasi dari ekses negative yang di bawa oleh agama Hindu. Walaupun agama Budha disebarkan dengan damai namun dapat dengan jelas terlihat bahwa masalah pembagian kasta dalam bingkai caturvarna menjadi masalah utama. Pada awalnya memang pembagian kasta ini merupakan spesialisasi pekerjaan, ada yang menjadi pemimpin agama, penguasa dan prajurit, dan rakyat biasa. Namun, dalam perjalannya terjadi penghisapan terutama dari pemimpin agama, prajurit, dan penguasa terhadap rakyat jelata. Implementasi yang salah dari caturvarna inilah yang diprotes dengan halus oleh Budha yang pada awalnya tidak menyebut diri mereka sebagai agama, tetapi berfungsi menebarkan cinta kasih terhadap sesama mahluk hidup, bukan saja manusia, tetapi juga hewan, dan tumbuhan. Sebagai reaksi dari meluasnya pengaruh Budha, Otoritas Hindu kemudian mengadakan pembersihan terhadap pengaruh Budha ini. Namun demikian, karena ajaran Budha lebih bersifat egaliter, usaha otoritas hindu ini menemui jalan buntu, bahkan agama Bundha sendiri dapat berkembang jauh lebih pesat dari pada agama Hindu, dan mendapat banyak pemeluk di Negara Tiongkok di kemudian hari.

Selain itu unsur konflik yang terbesar terjadi pula pada pengikut agama terbesar di dunia yaitu Abraham Religions, atau agama yang diturungkan oleh Abraham, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Tulisan ini hanya membatasi pada penggambaran konflik di antara ketiga agama tersebut, bukan pada konflik intern dalam masing-masing agama tersebut. Inti dari agama-agama Abraham ini adalah akan datang nabi terakhir yang akan menyelamatkan dunia ini. Hal yang menjadi masalah utama adalah tidak ada kesepakatan diantara ketiga agama tersebut tentang siapa nabi yang akan datang tersebut. Pihak Yahudi menyatakan belum datang nabi terakhir itu, sedangkan pihak Nasrani mengatakan Nabi Isa (Yesus Kristus) adalah nabi terakhir, lalu Islam mengklaim Nabi Muhhamad sebagai nabi terakhir. Keadaan ini kemudian semakin diperparah ketika tidak ada pengakuan dari masing-masing agam yang masih bersaudara tersebut. Ketika berbagai unsure non-theologis, khususnya politik, ekonomi, dan budaya, menyusup ke dalam masalah ini, konflik memang tidak dapat dielakkan. Berbagai konflik diantara agama-agama ini akan dipaparkan secara khusus.

Pertama, konflik antara Yahudi dan Nasrani. Walaupun sumber konflik ini didasarkan atas kitab suci namun justru unsur dogmatis agama ini sangat mendukung pengambaran konflik yang terjadi. Menurut versi Yahudi, Nasrani adalah agama yang sesat karena menganggap Yesus sebagai mesias (juru selamat). Dalam pandangan Yahudi sendiri Yesus adalah penista agama yang paling berbahaya karena menganggap dirinya adalah anak Allah, sampai akhirnya otoritas Yahudi sendiri menghukum mati Yesus dengan cara disalibkan, sebuah jenis hukuman bagi penjahat kelas kakap pada waktu itu. Sedangkan menurut pandangan Kristen, umat Yahudi adalah umat pilihan Allah yang justru menghianati Allah itu sendiri. Untuk itu Yesus datang ke dunia demi menyelamatkan umat tersebut dari murka Allah. Dalam beberapa kesempatan, misalnya, ketika Yesus mengamuk di bait Allah karena dipakai sebagai tempat berjualan, atau dalam kasus lain yaitu penolakan orang Israel terhadap ajaran Yesus.

Kedua, konflik Islam-Kristen. Konflik ini pada awalnya diilhami oleh kepercayaan bahwa Islam memandang Nasrani sebagai agama kafir karena mempercayai Yesus sebagai anak Allah, padahal dalam ajaran Islam Nabi Isa (Yesus) merupakan nabi biasa yang pamornya kalah dari nabi utama mereka Muhammad S.A.W. Konflik ini pada awalnya hanya pada tataran kepercayaan saja, namun ketika unsur politis, ekonomi, dan budaya masuk, maka konflik yang bermuara pada pecahnya Perang Salib selama beberapa abad menegaskan rivalitas Islam-Kristen sampai sekarang. Konflik itu sendiri muncul ketika Agama Kristen dan Islam mencapai puncak kejayaannya berusaha menunjukkan dominasinya. Ketika itu Islam yang berusaha meluaskan pengaruhnya ke Eropa, mendapat tantangan dari Nasrani yang terlebih dahulu ada dan telah mapan. Puncak pertempuran itu sebenarnya terjadi ketika perebutan Kota Suci Jerusalem yang akhirnya dimenangkan tentara salib. Sebagai balasan, Islam kemudian berhasil merebut Konstatinopel yang merupakan poros dagang Eropa-Asia pada saat itu.

Ketiga, konflik antara Yahudi-Islam yang masih hangat dalam ingatan kita. Konflik ini berawal dari kepercayaan orang Yahudi akan tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka yang dipercayai terletak di daerah Israel, termasuk Yerusalem, sekarang. Pasca perbudakan Mesir, ketika orang Yahudi melakukan eksodus ke Mesir namun kemudian malah diperbudak sampai akhirnya diselamatkan oleh Musa, orang Yahudi kemudian kembali ke tanah mereka yang lama, yaitu Israel. Akan tetapi, pada saat itu orang Arab telah bermukim di daerah itu. Didasarkan atas kepercayaan itu, kemudian orang Yahudi mulai mengusir Orang Arab yang beragama Islam itu. Inilah sebenarnya yang menjadi akar konflik Israel dan Palestina dalam rangka memperebutkan Jerusalem. Konflik ini semakin panas ketika unsure politis mulai masuk. Israel yang dibentengi oleh AS kemudian menganiaya Palestina yang kedudukannya sangat lemah dan hanya mendapat dukungan moral dari negara-negara Islam. Walaupun beberapa jalan damai berusaha dicapai namun konflik ini belum dapat diakhiri.

Ketika agama telah dimanfaatkan sebagian orang demi kepentingan di luar ranah theologis, apakah kita masih memercayai agama. Ataukah kita dapat bertaqwa kepada Tuhan tanpa media agama? Bertuhan Tanpa Agama jauh lebih baik daripa menggunakan agama untuk kepentingan tertentu.

C. Cara Penyelesaian Konflik Antar Agama (Dialog Antarumat Beragama)Guna mengakomodasi hubungan antara agama-agama pada level internasional, maka pada tahun 1958, di Tokyo, diadakan kongres internasional oleh The International Association for The History of Religion, dalam Konggres itu Friedrich Heiler dari Marburg menerangkan bahwa memberi penerangan tentang kesatuan semua agama merupakan salah satu dari tugas-tugas yang amat penting dari ilmu agama. Orang yang mengakui kesatuan agama, menurutnya, harus memegangnya dengan serius dengan toleransi dalam kata-kata dan perbuatan. Di sini Heiler melihat betapa dekatnya agama-agama itu satu sama lainnya; dengan membandingkan strukturnya, keyakinan dan amalan-amalannya, ia dibawa kepada suatu yang transenden yang melampaui semua namun tetap imanen dalam hati manusia. Oleh karena itu, studi ilmu perbandingan agama merupakan pencegah paling baik untuk melawan eksklusivisme, karena ia mengajarkan cinta; di mana ada cinta tentu di situ ada kesatuan dalam jiwa.

Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan kompleks.

Dalam kasus dialog antara Islam dan Kristen, menurut Hassan Hanafi keduanya mempunyai dua karakteristik ideal (ideal types) yang kaya untuk dikomparasikan dan selanjutnya bisa mengantarakan kepada suatu common platform. Dialog perlu dilakukan dengan mengedepankan prinsip humanisme, karena antara Islam dan Kristen mempunyai pandangan yang kosmopolit mengenai manusia yang lebih memudahkan untuk melakukan komparasi antara dua dimensi: antropologis dan teologis. Tuhan dan manusia, menurut Hanafi, merupakan kata kunci bagi timbulnya persatuan dan perpecahan antara kultur modernitas dan kultur tradisional atau antara Kristen dan Muslim di Timur.

Ada beberapa alasan keraguan sementara orang-orang muslim menanggapi dialog agama ini. Gerakan dialog ini adalah murni inisiatif Kristen Barat dan orang-orang Islam merasa diri mereka sebagai tamu yang diundang, tidak memiliki agenda dan merasa hasil yang bisa dicapai dari dialog ini sedikit. Keyakinan mereka bahwa misi Kristen merupakan agenda tambahan atas kolonialisme yang sering dilakukan orang-orang Kristen menambah ketidakpercayaan terhadap agenda Kristen dan dialog tersebut ditakutkan oleh orang-orang muslim sebagai agenda tersembunyi dari agenda evangelism. Ketidakpercayaan ini ditambah dengan ketidakadilan global Barat, khususnya dalam konflik Israel-Palestina.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam dialog ini menurut Hans Kung adalah, bahwa setiap orang beragama harus membuktikan keimanannya masing-masing. Terlepas dari semua perbedaan yang ada menurut Kung, orang Kristen dan Islam harus bertanggung jawab terhadap Tuhan dan melayani masyarakat manusia dengan penuh penghormatan satu sama lain.

Demi mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut, maka pemahaman terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama, tetapi harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam kehidupan sehari-hari.

Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama orang lain merupakan prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena tanpa ini dialog mustahil dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama dipergunakan untuk memperlancar dialog ini dan dialog antar agama sendiri merupakan media untuk memahami agama lain secara benar dan komprehensif.

Dialog antarumat beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama. Dalam dialog ini diperlukan sikap saling terbuka antarpemeluk agama yang berdialog. Sebenarnya menganggap bahwa agama yang dipeluk itu adalah agama yang paling benar bukanlah anggapan yang salah, bahkan yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, dan orang lainpun dipersilahkan untuk meyakini bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar. Malapetaka akan timbul apabila orang yang yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, lalu beranggapan bahwa karena itu orang lain harus ikut ia untuk memeluk agama yang ia peluk.

Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa model dialog antarumat beragama (tripologi), yaitu: Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog yang melibatkan ratusan peserta, seperti dialog Worlds Parliament of Religions pada tahun 1873 di Chicago, dan dialog-dialog yang pernah diselenggarakan oleh World Conference on Religion and Peace (WCRP) pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kedua, dialog kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog diantara wakilwakil institusional berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan ini sering dilakukan untuk membicarakan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat beragama yang berbeda. Dialog seperti ini biasanya melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darmadan Perwalian Umat Budha Indonesia(WALUBI). Ketiga, dialog teologi (theological dialogue). Dialog ini mencakup pertemuan-pertemuan reguler maupun tidak, untuk membahas persoalan-persoalan teologis dan filosofis. Dialog teologi pada umumnya diselenggarakan kalangan intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk untuk mengembangkan dialog antaragama, seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA, dan lain-lain. Keempat, dialog dalam masyarakat (dialogue in community), dialog kehidupan (dialogue of live), dialog seperti ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama dan berbangsa dan bernegara. Dialog dalam kategori ini biasanya diselenggarakan kelompok-kelompok kajian dan LSM atau NGO. Kelima, dialog kerohanian (spritual dialogue), yaitu dialog yang bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spritual di antara berbagai agama.

BAB III

A. KESIMPULAN

Tidak ada agama didunia ini yang mengajarkan pada perilaku kekerasan, seperti yang sering kita temui dimedia massa baik Koran, TV, dll. Kekerasan yang terjadi seperti pada kasus WTC 11 September 2001 disusul bom bali serta berturut-turut oleh kerusehan bernuansa agama yang lain ini semata-mata bukan konflik murni yang agama menjadi dasarnya, tetapi karena ada beberapa kepentingan yang menyeret agama didalamnya, semisal kepentingan politik, kelompok, etnis dsb. Kata agama sendiri telah banyak didefinisikan oleh para ahli, dan dari sekian banyak yang mendefinisikan agama. Mereka sepakat bahwasannya agama merupakan system kepercayaan dan sarana untuk menuju kebahagiaan. Secara normative agama selalu mengajarkan harmoni dan kasih sayang. Guna mengakomodasi hubungan antara agama-agama dan mengatasi berbagai macam konflik yang timbul, maka perlu adanya jalan tengah dari berbagai pemuka agama untuk berdiskusi bersama dalam rangka mengurangi gejolak-gejolak konflik yang ada saat ini. Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan kompleks

DAFTAR PUSTAKARobertson, Roland. 1995. Agama Dalam AnalisaDan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).

http://teguhmanurung.wordpress.com/2008/12/04/unsur-konflik-dalam-agama-agama-besar-di-duniahttp://www.google.co.id/search?client=firefox-a&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&channel=s&hl=id&source=hp&q=konflik+dalam+agama&meta=&btnG=Penelusuran+Googlehttp://www.inilah.com/read/detail/560841/hasyim-muzadi-salah-persepsi-biang-konflik-agama HYPERLINK "http://www.inilah.com/read/detail/560841/hasyim-muzadi-salah-persepsi-biang-konflik-agama" http://www.inilah.com/read/detail/560841/hasyim-muzadi-salah-persepsi-biang-konflik-agama. diakses pada Senin, 5 Desember 2011. Pkl. 08.00

Roland Robertson, ed, Agama Dalam AnalisaDan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 41.

Ibid, hlm.44.

Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. (Jakarta: Rajawali Pers, 1993) hlm. xiii

Thomas F. Odea. 1996. Sosiologi agama Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm: 139

Pusat Informasi Kompas (PIK). 2001. Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman. Jakarta: Buku Kompas. Hlm: 125

Ibid,. hlm: 126

11