(isi)peradilan agama pada masa orde baru

31
B. PEMBAHASAN 1. Sejarah Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru a. Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru 1 Suatu niatan Orde Baru yang utama dan patut kita dukung bersama adalah keinginan untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen, sehingga pada waktu itu hukum harus menempati tempat yang tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara (supremasi hukum). Dalam Bab IX Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang ini (UUD 1945 Pra Amandemen). Pada masa Orde Baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan yaitu dengan di Undangkannya Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mana dalam Undang-Undang ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan 1 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia; pasca Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal 23. 1

Upload: tohari

Post on 28-Dec-2015

466 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

B. PEMBAHASAN

1. Sejarah Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

a. Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru1

Suatu niatan Orde Baru yang utama dan patut kita dukung bersama

adalah keinginan untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen,

sehingga pada waktu itu hukum harus menempati tempat yang tertinggi

dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara (supremasi

hukum).

Dalam Bab IX Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan

kekuasaan kehakiman adalah sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan

kehakiman menurut Undang-Undang ini (UUD 1945 Pra Amandemen).

Pada masa Orde Baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif)

mengalami perkembangan yang signifikan yaitu dengan di Undangkannya

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman yang mana dalam Undang-Undang ini kekuasaan kehakiman

dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu Peradilan

Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara

yang semuanya berada di bawah Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 merupakan produk hukum yang

didalamnya memuat bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang

merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Hal ini sejalan dengan

Pasal 24 UUD 1945. Ketentuan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan

bahwa Kekuasaa Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan

1 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia; pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal 23.

1

Page 2: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.

Kemudian mengenai penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang

menyatakan bahwa Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam

Pasal 1 diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan

Undang-Undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan

mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Dengan demikian Mahkamah Agung di sini berperan sebagai pengawas

tertinggi atas perbuatan hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun

1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi, dan

keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan

melakukan lima fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak

Hooggerechtshof, yaitu sebagai berikut:2

1) Fungsi Peradilan

Mengingat negara kita menganut sistem kontinental yang mengenal

lembaga kasasi, maka Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan

tertinggi merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman

dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan Undang-

Undang diseluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan adil. Kasasi

disini diartikan sebagai kewenangan Mahkamah Agung untuk membatalkan

semua putusan-putusan dari pengadilan bawahan yang dianggap mengandung

kesalahan dalam penerapan hukum.

Dalam proses kasasi ini Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan

dan penetapan dari pengadilan yang lebih rendah dengan alasan:

a) Lalai memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya

perbuatan yang bersangkutan.

2 Anonim, 2006, Sejarah Lembaga Peradilan, Jakarta; Mahkamah Agung, www.mari.go.id, tanggal akses 21 September 2006. Ibid., hal 24.

2

Page 3: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

b) Karena melampaui batas wewenangnya.

c) Karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturan-

peraturan hukum yang berlaku (diatur dalam Pasal 51 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1965)

Kewenangan lain dari Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi

peradilan adalah melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan

dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Uji materiil ini lebih

dikenal dengan istilah judicial review. Sedangkan uji materiil undang-undang

terhadap undang-undang dasar menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.

Mengenai uji materiil perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang ini dapat kita baca dalam ketentuan pasal 26

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu:

(1) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sahnya peraturan

perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-

undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

(2) Putusan tantang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-

undangan tersebut dapat diambil berhubung dalam pemeriksaan

dalam tingkat kasasi.

2) Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan ini diberikan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 yaitu dalam Bab II Pasal 10 ayat (4) yang berbunyi “Mahkamah Agung

melakukan pengawasab tertinggi atas perbuatan pengadilan yang lain,

menurut ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang”.

3) Fungsi Pengaturan

Fungsi pengaturan ini bagi Mahkamah Agung adalah bersifat sementara

yang artinya bahwa selama undang-undang tidak mengaturnya Mahkamah

Agung dapat “mengisi” kekosongan tersebut sampai pada suatu saat Undang-

Undang mengaturnya. Pasal 131 Undang-Undang No. 1 tahun 1950

3

Page 4: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

memberikan kesempatan bagi Mahkamah Agung untuk membuat peraturan

secara sendiri bilamana dianggap perlu untuk melengkapi undang-undang

yang sudah ada.

4) Fungsi Memberi Nasihat

Mahkamah Agung dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945

mempunyai fungsi untuk memberikan nasihat (advice) kepada Presiden atau

Pemerintah dalam pembuatan kebijakan di bidang hukum. Seperti pada saat

Presiden hendak memberikan grasi dan rehabilitasi kepada para narapidana.

5) Fungsi Administrasi

Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 11 berbunyi

sebagai berikut:

(1) Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut (Pasal 10 ayat (1))

secara organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah

kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan.

(2) Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan

tersendiri.3

Pada masa pemerintahan Orde Baru, ketika Menteri Agama RI

dipegang oleh Letnan Jenderal TNI Alamsyah Ratuprawiranegara,

Departemen Agama yang dari segi organisasi kelembagaan memayungi

peradilan agama, mulai melakukan langkah maju, yaitu dengan

menyeragamkan nomenklatur peradilan agama sebagai upaya ke arah

unifikasi hukum4. Hal itu dibuktikan dengan keluarnya Surat Keputusan

Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980, yang pada prinsipnya mengatur bahwa

sebutan peradilan agama tingkat pertama di seluruh wilayah Indonesia, yaitu

pengadilan agama di Jawa-Madura, Kerapatan Qadhi di sebagian residen

3 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia; pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal 24-26.

4Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, dari kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hal 144.

4

Page 5: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dan Mahkamah Syar’iyah di luar

wilayah Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan-Kalimantan Timur mnjadi

Pengadilan Agama (PA). Sedangkan peradilan agama tingkat banding, yaitu

Mahkamah Islam Tinggi di wilayah Jawa-Madura, Kerapatan Qadhi Besar di

wilayah sebagian Kalimantan Selatan-sebagian Kalimantan Timur, dan

Mahkamah Syar’iyah Provinsi di wilayah luar Jawa-Madura dan luar

sebagian Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur menjadi

Pengadilan Tinggi Agama (PTA).5

Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun

1980 itu, maka sejak itu sebutan nama (nomenklatur) pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama diseragamkan, yaitu sebutn pengadilan agama

(PA) sebagai pengadilan tingkat pertama dan sebutan pengadilan tinggi

agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding yang berlaku di seluruh

wilayah Indonesia. Dengan demikian, berbagai celoteh dan komentar miring,

yang mencemooh eksistensi peradilan agama sebagai peradilan “semu” mulai

dapat dihentikan. Memang sangat tidak lazim, sebagai sebuah lembaga negara

yang sangat berwibawa dalam negara hukum justru memiliki sebutan yang

beragam, yang dari segi teori hukum di pandang tidak mencerminkan

unifikasi hukum. Belum lagi segi susunan tidak didukung oleh struktur yang

memadai, yaitu dengan tidak dimilikinya salah satu unsur penting dalam

pengadilan, yaitu institusi juru sita yang berperan sebagai eksekutor

pengadilan.6

Dalam kurun waktu sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan terdapat

keanekaragaman dasar penyelenggaraan, kedudukan, susunan, dan kekuasaan

pengadilan dalam lingkungan PADI. Dengan berlakunya UU Nomor 14

Tahun 1970 memberi tempat kepada PADI sebagai salah satu peradilan

dalam tata peradilan di Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5Anonimous, Peradilan Agama di Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ditbinbapera Departemen Agama RI, 1999) hlm 6, ...Ibid.,

6 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam.............145.

5

Page 6: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Dalam perkembangannya, kekuasaan dan kewenangan peradilan

agama itu mulai mendapat porsi, sejalan dengan lahirnya UU No. 1 Tahun

1974, yang pelaksanaannya duiatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975, dengan

melimpahkan segala jenis perkara perkawinan orang-orang yang beragama

Islam ke Pengadilan Agama. Begitu pula PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang

Perwakafan, memberikan kekuasaan kepada peradilan agama untuk

menyelesaikan perkara perwakafan tanah milik.

Ketentuan UU No. 14/1970 tersebut merupakan awal proses

penyusunan RUU-PA. Menurut prosedur yang telah ditetapkan dalam

INPRES No. 15/1970 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang dan Peraturan Pemerintah RI, terlebih dahulu harus diajukan

permohonan izin prakarsa membuat Rancangan Undang-Undang kepada

presiden. Maka Menteri Agama K.H. Moh. Dachlan mengajukan permohonan

membuat RUU tersebut kepada presiden dengn suratnya No. MA/242/197

tanggal 31 Agustus 1971. RUU yang diajukan prakarsanya adalah tentang

Susunan dan Kekuasaan serta Acara Peradilan Agama. Setahun kemudian,

Menteri Agama Prof. Dr. H. A. Mukti Ali mengirim surat lagi kepada

presiden, menyusul surat Menteri Agama sebelumnya, yaitu dengan suratnya

tanggal 9 Agustus 1972 No. MA/288/1972.7

Dua tahun kemudian, Menteri Kehakiman Prof. Dr. Mochtar

Kusumaatdja, SH. mengirim surat kepada sekretaris Negara tanggal 18

Desember 1974 No. 188/MK/K/XII/1974 yang isinya mendukung prakarsa

Menteri Agama untuk mempersiapkan RUU tersebut. Pada 4 Juli 1975, surat

Menteri Agama tahun 1972 dijawab oleh Sekneg melalui suratnya No. B.

1379/Set-Kab/anl/VII/1975, yang isinya bahwa RUU Mahkamah Agung dan

RUU tentang Peradilan Umum. Hingga tahun 1981 belum ada kemajuan yang

berarti tentang perkembangan RUU tersebut.8

7 Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) hal 254.8 St. Roestam, Zafrullah Salim, M.S Wijaya, Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum

dan Syari’at Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, cet. Pertama, 1992) hal 514, Ibid.,

6

Page 7: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Selanjutnya, dengan berlekunya UU Nomor 7 Tahun 1989 Posisi

PADI semakin kuat, dan dasar penyelenggaraannya mengacu kepada

peraturan perundang-undangan yang unifikatif. Selain itu, dengan perumusan

KHI yang meliputi bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, maka

salah satu masalah yang di hadapi oleh pengadilan dalam lingkungan PADI,

yaitu keanekaragaman rujukan dan ketentuan hukum, dapat diatasi.

Berkenaan dengan hal itu, maka dalam uraian berikutnya dikemukakan

tentang UU Nomor 7 tahun 1989 serta Instruksi Presiden Nomor 1 tahun

1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.9

Undang-Undang nomor 7 ini disahkan dan diundangkan tanggal 29

Desember Tahun 1989 ditempatkan dalam lembaran Negara RI nomor 49

tahun 1989 dan tambahan dalam lembaran negara nomor 3400. Isi dari

undang-undang nomor 7 tahun 1989 terdiri atas tujuh Bab, meliputi 108

pasal. Ketujuh Bab tersebut adalah ketentuan umum, susunan pengadilan,

kekuasaan pengadila, hukum acara, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan

peralihan dan ketentuan penutup.

Perubahan pertama, tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan,

sebelum UU nomor 7 tahun 1989 berlaku dasar penyelenggaraan peradilan

braneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintahan belanda, dan

sebagian merupakan produk pemerintah republik indonesia. Sejak berlakunya

UU nomor 7 tahun 1989 semua peraturan perundang-undangan dinyatakan

tidak berlaku lagi. 

Perubahan kedua, tentang kedudukan pengadilan.. Berdasarkan UU

Nomor 7 tahun 1989 kedudukan pengadilan dalam lingkungan peradilan

agama sejajar dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan

lainnya,khususnya dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Perubahan ketiga, tentang kedudukan hakim. Menurut ketentuan pasal

15 ayat (1), hakim diagkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala

negara atas usul menteri agama berdasarkan persetujuan mahkamah agung.

9 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003). Hal 125.

7

Page 8: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kebebasan untuk membuat

putusan terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pihak lainnya.

Perubahan keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut

ketentuan pasal 49 ayat (1), “pengadilan agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara untuk orang

Islam”.

Perubahan kelima, tentang hukum acara. Hukum acara yang berlaku

pada pengadilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur

secara khusus dalam undang-undang-undang ini.

Perubahan keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan.

Di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama ada dua jenis administrasi

yaitu,administrasi peradilan dan administrasi umum.

Perubahan ketujuh, tentang perlindungan terhadap wanita. Ketentuan

tidak berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, dan tidak

pula dihapuskan.10

2. Kedudukan, Kekuasaan dan Kewenangan Hakim Peradilan

Agama Pada Masa Orde Baru

a. Kedudukan dan Kewenangan Hakim Peradilan Agama

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai

perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini. Kekuasaan

Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan

Agama, Pengadilan Tinggi Agama. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan

Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan

Negara Tertinggi.11

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 menyebutkan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan Mahkamah Agung RI dan lain-lain badan peradilan

10 www.pa-slemankab.go.id/component/content/article/27-artikel/72-sejarah-pa.html, tanggal akses 26 Februari 2014.

11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

8

Page 9: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

menurut undang-undang. Sebagai realisasi pasal 24 Undang-Undang Dasar

1945 itu, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Titik awal pembaruan peradilan agama baru dimulai sejak ditetapkan

UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, pemerintah lebih mempertegas keberadaan peradilan agama.

Paling tidak, ada dua prinsip pokok pembaruan peradilan agama yang diatur

UU No. 14 Tahun 1970. Pertama, menetapkan Peradilan Agama sebagai salah

satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga badan peradilan

lainnya. Kedua, penghapusan sistem “fiat eksekusi”12 oleh peradilan umum

atas putusan peradilan agama. Sehingga menyebabkan kedudukan peradilan

agama yang “inferior” di hadapan peradilan umum.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ini telah menempatkan

Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan pelaksanaan kekuasaan

kehakiman, secara konstitusional, Pengadilan Agama merupakan salah satu

badan peradilan yang mandiri dan sederajat dengan lembaga perdilan yang

lain. Wewenang Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili

dan menyelesaikan perkara tertentu dan bagi kelompok tertentu, yaitu

perselisihan di antara orang-orang yang beragama Islam. Ditetapkan pula

bahwa pembinaan dan pengawasan fungsi Pengadilan Agama dilaksanakan

oleh Mahkamah Agung RI, sedangkan organisasi, administrasi, finansial

berada di bawah Departemen Agama RI.13

Kemudian, peradilan agama lebih diperkuat lagi dengan keluarnya

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/1977 tentang Kasasi bagi putusan

Pengadilan Agama. Penyeragaman istilah untuk seluruh Indonesia baru

12 Dalam kenyataannya, peradilan agama masih memerlukan pengakuan dan pengesahan dari pengadilan negeri, bahkan pengadilan negeri dapat meninjau keputusan pengadilan agama tersebut. Sekalipun pada tahun 1974 lahir UU No. 1 tentang Perkawinan, yang juga mengatur yurisdiksi peradilan agama, seluruh keputusan pengadilan agama tetap harus meminta pengukuhan eksekusi (executoir verklaaring) dari pengadilan negeri. Hal ini dapat dikatakan bahwa keputusan pengadilan agama di bawah pengadilan negeri. Di dalam bukunya Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2013), hal 136.

13Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta; Kencana 2010) hal 171.

9

Page 10: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

dilakukan setelah keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 6

Tahun 1980, yaitu Pengadilan Agama untuk pengadilan tingkat pertama dan

Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding. Pada 29 Desember 1989,

Presiden Republik Indonesia mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Nomor 49 Tahun

1989 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400.14

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pembinaan Peradilan Agama

diarahkan untuk menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum dalam

bidang kekeluargaan bagi masyarakat yang beragama islam. Disamping itu,

pembinaan Peradilan Agama juga diarahkan untuk meningkatkan keterpaduan

dalam pembinaan dan penyelenggaraan Peradilan Agama dengan ketiga

badan peradilan yang lain. Kemudian disisipkan pula hakim Peradilan Agama

yang berkualitas dan profesional dalam penegakan hukum, kepastian hukum,

dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Suasana dan peran Peradilan Agama pada pasca-Stbl. Nomor 116,

yurisdiksinya tetap kabur balik dalam bidang perkawinan dan kewarisan.

Demikian juga dalam pasal 63 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 masih ada kesan melecehkan Pengadilan Agama, yaitu putusannya

mesti harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, seolah-olah Peradilan

Agama bukan peradilan yang mandiri.15

Setelah disahkannya UU No. 7 Tahun 1989, peradilan agama

memiliki UU yang lebih maju dari ketentuan-ketentuan UU yang ada

sebelumnya.16 Namun, dari segi aspek kedudukan dan status sebagai satu

14 www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/08/06/m8c43n-sejarah-peradilan-agama-di-indonesia, tanggal akses 25 Februari 2014.

15M. Yahya Harahap, Beberapa Masalah Hukum Acara pada Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 1993), hal 57, Lihat Ibid., Hal 172

16 Dari sekian banyak perubahan, hal yang strategis dari UU tersebut adalah tentang kedudukan pengadilan. Sebelum berlakuny UU No. 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara peradilan agama dengan peradilan lainny, khususnya dengan lingkungan peradilan umum. Hal itu tercermin dengan adanya pranata pengukuhan putusan pengadilan agama oleh Pengadilan Negeri. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 kedudukan Peradilan Agama sejajaran dengan Peradilan Umum. Ketentuan pengukuhan putusan pengadilan agama oleh Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1974 dinyatakan dicabut. Dengan demikian, pengadilan agama memiliki kemandirian untuk melaksanakan putusannya

10

Page 11: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

kesatuan pelaksana kekuasaan kehakiman di negara hukum Indonesia, ia

belum bisa dikatakan mandiri, karena masih berada di bawah Departemen

Agama sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Akibatnya, proses dan

perjalanan peradilan agama menjadi tidak normal.17 Bukan saja karena adanya

intervensi dari kekuatan politik di eksekutif, tetapi juga perhatian pihak

eksekutif terhadap peradilan agama jauh dari memadai.

Menurut sumber dari Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama

dalam periode tahun 1970-1989 baru ada 158 Pengadilan Agama dan 10

Pengadilan Tingkat Banding, hakim agama baru ada sebanyak 155 orang

sehingga tugas-tugas dalam penyelesaian perkara dibantu oleh hakim honorer

dari para kiai dan para tokoh masyarakat yang ahli dalam bidang hukum

Islam. Hukum acara masih berserak dan terserak dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang ditinggal pemerintah kolonial Belanda yang masih

dinyatakan berlaku.18

Perlu dicatat bahwa pada masa-masa awal Peradilan Islam itu,

wewenangnya sangat luas dan tidak terbatas hanya pada urusan ahwal al-

syakhsiyah saja, seperti nikah, talak rujuk, waris, hadanah, tetapi juga

mencakup hukum pidana (jinayah), sehingga Peradilan Islam ketika itu betul-

betul merupakan peradilan umum bagi umat Islam.19

Dengan diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan Agama,

maka pada saat itu ada dua macam status hakim pada Pengadilan Agama

yaitu, (1) Hakim Agama Tetap, yaitu hakim yang diangkat dari lulusan

fakultas syariah, minimal lulusan PHIN yang diangkat langsung oleh Menteri

Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim yang direkrut dari para

Alim Ulama atau orang yng dipandang mampu dalam bidang hukum Islam,

yang mengangkatnya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding atas

sendiri yng dilaksanakan oleh juru sita. Di dalam bukunya Jaenal Aripin, Jejak Langkah.......138.17 Tidak normal dalam pengertian ini adalah pengangkatan hakim dan para pegawai

termasuk pejabat dilingkungan peradilan agama dilakukan oleh presiden. Bahkan mengelola badan peradilan agama yang ketika itu hampir menacapai 300-an. Ibid,...

18 Ibid......,hal 172.19 M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta:

Bulan Bintang, 1983), hal 9.

11

Page 12: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

nama Menteri Agama RI. Honorarium mereka dibayar oleh negara,

disamping mendapat uang sidang seperlunya dari Pengadilan Agama tempat

mereka bersidang.

Sehubungan dengan tradisi majelis sidang yang ditetapkan dalam Stbl.

1957, Nomor 116 dan Nomor 610, juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor

45 Tahun 1957, maka Menteri Agama RI mengangkat hakim honorer agar

sidang-sidang Pengadilan Agama memenuhi kuorum majelis. Jabatan wakil

ketua pada Pengadilan Agama belum terisi karena personelnya belum ada,

maka wakil ketua honorer diangkat dengan tugas apabila ketua berhalangan

sidang, maka sidang-sidang Pengadilan Agama dapat dipimpin oleh wakil

ketua honorer tersebut. Walaupun demikian, kenyataan menunjukan lain

yaitu, kesempatan mereka untuk menghadiri sidang Pengadilan Agama

menjadi tertunda, dan lambat penyelesaiannya. Antisipasi kelembagaan

terhadap kondisi ini, maka Mahkamah Agung RI dengan suratnya Nomor

0/TUADA-AG/III/-Um/ 1987 tanggal 10 Januari 1987 mengijinkan untuk

dilaksanakan sidanag-sidang di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi

Agama dengan hakim tunggal.

Atas dasar keputusan Musyawarah Alim Ulama Terbatas itu Menteri

Agama RI mengngkat wanita menjadi hakim pada Pengdilan Agama. Bahkan

sekarang ada wanita hakim Pengadilan Agama menjadi Ketua Pengadilan

Agama. Sebenarnya apa yang dilaksanakan oleh Menteri Agama RI itu

bukanlah hal yang baru, sebab jauh sebelumnya Departemen Agama telah

melaksanakan Kursus Calon Hakim Agama Wanita berdasarkan Keputusan

Menteri Agama RI atas desakan pihak Kongres Wanita Indonesia (KWI)

kedua di Bandung pada tanggal 22-24 November 1956. Dalam merekrut

hakim agama wanita pada waktu itu mata pelajaran yang di uji adalah Wanita

Islam, Wanita dalam Hukum Adat, Sistem Pengadilan di Indonesia, dan

Pengantar Ilmu Hukum.20

20 Wawancara dengan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama tanggal 5 September 1996. Lihat pula H. Ichtijanto, SA. Ikatan Hakim Agama, Organisasi Perjuangan di Bidang Hukum, (Jakarta: Panitia Munas Luar Biasa IKAHA, 1995), hlm. 43 di dalam bukunya Abdul Manan, Ibid.., hal 174.

12

Page 13: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Usaha kerja sama antara Departemen Agama RI dan Mahkamah

Agung RI berpengaruh besar terhadap badan Pengadilan Agama. Pada tahap

pertama di tunjuk beberapa Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus

perkara kasasi dari lingkungan Peradilan Agama, yaitu, Ny. Sri Widoyanti

Wiratmo Sukito, Z. Asikin Kusumaatmadja, Ronindyopuro, dan Busthanul

Arifin. Setelah itu lahir Keputusan Presiden Nomor 33/M/1982 tanggal 22

Februari 1982 tentang Pengangkatan Prof. H. Bustanul Arifin, SH. Sebagai

Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama.

Efektivitas pola strategi pembinaan tersebut mendorong diadakan

rapat kerja sama antara Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI

yang kedua. Beberapa hal yang perlu dicatat sebagai realisasi dan keputusan

kerja tersebut adalah: (1) penandatanganan empat buah Surat Keputusan

Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI

pada Januari 1983. Salah satu SKB tersebut adalah tentang pengawasan

terhadap hakim Peradilan Agama dalam rangka meningkat disiplin dan

wibawa hakim; (2) pembentukan tim inti pembahasan dan penyusunan

Rancangan Undang-Undang tentang Acara Paeradilan Agama, pembentukan

tim ini dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor G.

164, PR. 0903 Tahun 1982, kemudian dikuatkan dengan izin Sekretaris

Negara RI Nomor 736/-Mensesneg/9/1983 tanggal 13 September 1983.

Langkah strategis lain yang dirancang sebagai tindak lanjut hasil raker

tadi adalah pembentukan hukum materil yang akan dijadikan pegangan bagi

hakim Pengadilan Agama. Ide pembentukan hukum materil dalam wujud

Kompilasi Hukum Islam (KHI) timbul setelah beberapa tahun setelah

Mahkamah Agung RI membina bidang teknis yutisial Peradilan Agama.

Disana disarankan adanya beberapa kelemahan antara lain soal hukum Islam

yang tetap di lingkungan Peradilan Agama cenderung beragam disebabkan

oleh perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk itu

diperlukan satu buku yang menghimpun semua hukum yang dapat dijadikan

pegangan oleh hakim Peradilan Agama dalam melaksanakan tugasnya,

sehingga terjamin adanya kesatuan hukum. Langkah-langkah strategis itu

13

Page 14: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

diorganik dengan pembentukan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung

RI dengan Menteri Agama RI Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun

1985 tanggal 15 Maret 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek

Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi.

Setelah mengalami proses kerja yang saksama dan memakan waktu

yang cukup panjang, maka rancangan Kompilasi Hukum Islam tersusun dan

diterima baik dalam lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 2-5

Februari 1988. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku, yaitu buku

pertama Hukum Perkawinan, kedua Hukum Kewarisan dan buku ketiga

memuat Hukum Perwakafan. Presiden RI dengan Intruksi Nomor 1 Tahun

1991 tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan Menteri Agama untuk

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam itu kepada seluruh instansi

pemerintah, dan masyarakat yang memerlukannya.

Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, tidak ada masalah lagi tentang: (1) Wewenang; (2) Hukum

Acara; (3) Susunan Peradilan Agama. Dan kekurangan lainnya seperti hukum

material tertulis yang disusun secara sistematis dalam bahasa dan Peraturan

Perundang-undangan yang dapat dijadikan pegangan oleh semua pihak yang

mencari keadilan di Pengadilan Agama, juga telah lahir dalam bentuk

instruksi presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.21

Tentang kedudukan Hakim Peradilan Agama dalam kurun waktu ini,

dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua Mahkamah Agung

RI dalam simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982 di

Jakarta bahwa Hakim Peradilan Agama sekarang bukan lagi “Penghulu

Rechter” zaman dahulu. Sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 dimana dijelaskan bahwa Peradilan Agama termasuk salah satu

lingkungan peradilan yang diakui negara, maka hakim yang bekerja di

21 A. Basiq Djajil, Peradilan Agama di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, (Jakarta: Kencana, 2006) hal 19.

14

Page 15: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Peradilan Agama adalah hakim negara dengan tugas mengadili perkara

tertentu yang masuk kewenangannya.22

Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 tahun 1970 tentang

Penegasan Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang

mempertanyakan apakah hakim agama termasuk hakim negara? Sehubungan

dengan hal ini Kepala Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang

dilaksanakan pada bulan September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim

Pengadilan Agama termasuk juga dalam ketentuan instruksi tersebut, apabila

berstatus sebagai pegawai negeri dan mendapat gaji dari kas negara.

Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua Mahkamah Agung RI

dengan Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA/00/1/1983 dan

Nomor 4 Tahun 1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha

membantu memperlancar rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama sebagai

hakim negara tidak perlu di persoalkan lagi. Kedudukannya sama dengan

hakim yang bekerja di lingkungan peradilan yang lain.23

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi

negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum.24 Kekuasaan

kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari

pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam

melaksanakan tugasnya. Kekuasaan kehakiman juga merupakan instrument

penting untuk menjamin hak-hak asasi dalam mempertahankan keadilan yang

merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi.

Kekuasaan kehakiman bukan suatu lembaga yang dapt menuntaskan

segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek

22 A. Manan Chik Lamkuta, Hakim di Lingkungan Peradilan Agama, Artikel dalam Harian Pelita, terbitan hari Rabu tanggal 7 Maret 1984, hlm. 3. Lihat di dalam bukunya Abdul Manan, Ibid., hal 176.

23 Ibid.,24 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1999 tentang

Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Ing. Bachruddin Jusuf Habibie dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun 1999, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 1999) hal. 45-50. Di dalam bukunya Sugihanto Hasanuddien, Hukum & Peradilan Islam di Indonesia, (Ponorogo: STAIN Po PRESS 2007) hal. 123.

15

Page 16: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

yang sering menjadi persoalan di dalam kekuasaan kehakiman adalah

menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan

atau hukuman terhadap hakim.

Perlunya suatu lembaga khusus yang memiliki fungsi-fungsi tertentu

yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesungguhnya bahkan

merupakan gagasan yang benar-benar baru di Indonesia. Pada tahun 1968,

ketika dilaksanakan diskusi membahas RUU tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman sempat diusulkan pembentukan lembaga yang

diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini

mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil

keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan

dengan pengangkatan, promosi, mutasi pemberhentian, dan tindakan atau

hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun

Departemen Kehakiman.25

Hakim sebagai pebegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas

tersebut dibebankan kepada hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan

perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar.

Mukti Ali, ketika menjabat Menteri Agama RI pada penutupan latihan

hakim agama mengemukakan bahwa hakim agama harus dapat menggali,

memahami, dan mengahayati hukum yang hidup dalam masyarakat dengan

cara meningkatkan ilmu pengetahuan. Sangat besar bahayanya apabila hakim

tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup.26 Dalam kaitan ini dimana

Rasulullah SAW mengatakan bahwa hakim itu ada tiga golongan, satu

golongan dimasukan kedalam surga, dua golongan dimasukan kedalam

neraka. Hakim yang memegang kebenaran itulah dimasukan kedalam surga,

hakim yang mengetahui kebenaran tapi berlaku curang dalam memberikan

keputusan hukum terhadap suatu perkara, dimasukan kedalam neraka. Begitu

25 Abdul Rahman Saleh, “Status, komposisi, jumlah serta beberapa masalah Komisi Yudisial Indonesia di Bidang SDM” Makalah disampaikan dalam Workshop Penyusunan Policy Paper dan Draft RUU tentang Komisi Yudisial, di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 Agustus 2002, hal 2. Didalam bukunya Ibid.,,.hal 124.

26 A. Manan Chik Lamkuta, Hakim di Lingkungan Peradilan Agama, .... 177.

16

Page 17: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

pula apabila ia dalam mengambil keputusan lalu ia berijtihad, kemudian

ternyata ijtihadnya itu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, tetapi jika

ia bersalah mendapat satu pahala.27

Dengan demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan

hukum-hukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah

ditentukan oleh hukum syara’, sehingga putusan-putusan yang ditetapkan

mempunyai bobot keadilan yang dapat diandalkan. Putusan yang ditetapkan

oleh Hakim Peradilan Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di

Indonesia yang sesuai dengan falsafah Pancasila.

A. PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian makalah diatas maka kami menagmbil kesimpulan

dari makalah ini sebagai berikut:

Pertama, Pada masa Orde Baru kekuasaan dari lembaga peradilan

(yudikatif) mengalami perkembangan yang signifikan yaitu dengan di

Undangkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

27 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Kuwait: Darul Bayan, Cetakan V, 1971) JILID III, hal 339, Ibid.,

17

Page 18: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Kekuasaan Kehakiman yang mana dalam Undang-Undang ini kekuasaan

kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan yang ada yaitu

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata

Usaha Negara yang semuanya berada di bawah Mahkamah Agung.

Ketentuan UU No. 14/1970 tersebut merupakan awal proses

penyusunan RUU-PA. Menurut prosedur yang telah ditetapkan dalam

INPRES No. 15/1970 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang dan Peraturan Pemerintah RI, terlebih dahulu harus diajukan

permohonan izin prakarsa membuat Rancangan Undang-Undang kepada

presiden. Maka Menteri Agama K.H. Moh. Dachlan mengajukan permohonan

membuat RUU tersebut kepada presiden dengn suratnya No. MA/242/197

tanggal 31 Agustus 1971. RUU yang diajukan prakarsanya adalah tentang

Susunan dan Kekuasaan serta Acara Peradilan Agama. Setahun kemudian,

Menteri Agama Prof. Dr. H. A. Mukti Ali mengirim surat lagi kepada

presiden, menyusul surat Menteri Agama sebelumnya, yaitu dengan suratnya

tanggal 9 Agustus 1972 No. MA/288/1972.

Kedua, Dengan diangkatnya Hakim Agama Honorer pada Pengadilan

Agama pada masa orde baru, maka pada saat itu ada dua macam status hakim

pada Pengadilan Agama yaitu, (1) Hakim Agama Tetap, yaitu hakim yang

diangkat dari lulusan fakultas syariah, minimal lulusan PHIN yang diangkat

langsung oleh Menteri Agama RI; (2) Hakim Agama Honorer, yaitu hakim

yang direkrut dari para Alim Ulama atau orang yng dipandang mampu dalam

bidang hukum Islam, yang mengangkatnya dilakukan oleh Ketua Pengadilan

Tingkat Banding atas nama Menteri Agama RI. Honorarium mereka dibayar

oleh negara, disamping mendapat uang sidang seperlunya dari Pengadilan

Agama tempat mereka bersidang.

Usaha kerja sama antara Departemen Agama RI dan Mahkamah

Agung RI berpengaruh besar terhadap badan Pengadilan Agama. Pada tahap

pertama di tunjuk beberapa Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus

perkara kasasi dari lingkungan Peradilan Agama, yaitu, Ny. Sri Widoyanti

Wiratmo Sukito, Z. Asikin Kusumaatmadja, Ronindyopuro, dan Busthanul

18

Page 19: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Arifin. Setelah itu lahir Keputusan Presiden Nomor 33/M/1982 tanggal 22

Februari 1982 tentang Pengangkatan Prof. H. Bustanul Arifin, SH. Sebagai

Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori Abdul Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia; pasca Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), Yogyakarta:

UII Press, 2007.

Mukhlas Oyo Sunaryo, Perkembangan Peradilan Islam, dari kahin di Jazirah

Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

19

Page 20: (Isi)Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru

Manan Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian

dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta; Kencana 2010.

Djajil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum

Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama

Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan

Syariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana, 2006.

M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia,

Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/08/06/m8c43n-

sejarah-peradilan-agama-di-indonesia, tanggal akses 25 Februari 2014.

Koto Alaidin , Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

www.pa-slemankab.go.id/component/content/article/27-artikel/72-sejarah-

pa.html, tanggal akses 26 Februari 2014.

Bisri Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2003.

Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi Revisi Jakarta:PT Raja

Grafindo Persada, 2006.

Aripin Jaenal, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana

2013.

Hasanuddien Sugihanto, Hukum & Peradilan Islam di Indonesia, Ponorogo:

STAIN Po PRESS 2007.

20