fenomenologi agama isi

27
I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Realitas dunia adalah plural. Pluralitas ini mewujud dalam bentuk budaya, bangsa, suku, agama, serta lainnya. Kesadaran manusia akan realitas dunia yang plural ini terus berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Realitas dunia yang plural ini dalam perjalanan selanjutnya kemudian berkembang menjadi sebuah pluralisme, sebuah paham yang mengakui adanya kemajemukan. Indonesia merupakan negara potensial karena pluralitas suku, agama, ras, golongan, dan bahasa yang dimilikinya. Pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut dapat bernilai positif bila rakyat dan pemerintah Indonesia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam perbedaan dan keragaman. Di sini pulralitas agama dapat menjadi perekat bagi umat beragama bila penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya dilakukan secara bertanggungjawab. Mengingat agama manapun tidak ada yang mengajarkan permusuhan. Tetapi sebaliknya, pluralitas tersebut dapat berubah menjadi potensi konflik dahsyat bagi negara dan bangsa ini bila tidak mampu mengelolanya dengan baik. Di sini salah satu faktor pemicunya adalah bila agama ditafsirkan sesuai dengan kehendak segelintir manusia yang ingin mendapatkan keuntungan dan kekuasaan dengan menggunakan media agama. Ingat! Belajar dari tradisi postkolonial, teks, termasuk di dalamnya tafsir agama, tidak hanya bersifat gendered, tetapi 1

Upload: iwan-setiawan

Post on 25-Jun-2015

681 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Realitas dunia adalah plural. Pluralitas ini mewujud dalam bentuk budaya, bangsa,

suku, agama, serta lainnya. Kesadaran manusia akan realitas dunia yang plural ini terus

berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Realitas dunia yang

plural ini dalam perjalanan selanjutnya kemudian berkembang menjadi sebuah pluralisme, sebuah

paham yang mengakui adanya kemajemukan.

Indonesia merupakan negara potensial karena pluralitas suku, agama, ras,

golongan, dan bahasa yang dimilikinya. Pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut dapat

bernilai positif bila rakyat dan pemerintah Indonesia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan

dalam perbedaan dan keragaman. Di sini pulralitas agama dapat menjadi perekat bagi umat

beragama bila penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya

dilakukan secara bertanggungjawab. Mengingat agama manapun tidak ada yang mengajarkan

permusuhan. Tetapi sebaliknya, pluralitas tersebut dapat berubah menjadi potensi konflik dahsyat

bagi negara dan bangsa ini bila tidak mampu mengelolanya dengan baik. Di sini salah satu faktor

pemicunya adalah bila agama ditafsirkan sesuai dengan kehendak segelintir manusia yang ingin

mendapatkan keuntungan dan kekuasaan dengan menggunakan media agama. Ingat! Belajar dari

tradisi postkolonial, teks, termasuk di dalamnya tafsir agama, tidak hanya bersifat gendered,

tetapi juga classed, racialised, dan seterusnya (Yasir Alimi, 2002:viii-ix).

Sebagai bangsa yang religius, kita dituntut untuk mempunyai kemampuan

mengelola pluralitas agama menjadi perekat seluruh warga negaranya. Ia telah menjadi bagian

dari sejarah bangsa ini. Secara historis nenek moyang bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang

percaya adanya kekuatan yang ada di luar dirinya. Sebelum datang agama baru, nenek moyang

bangsa ini telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dasar kepercayaan animisme

dan dinamisme ini memudahkan agama baru tersebut masuk, diterima secara damai berkembang

dengan subur tanpa ada perlawanan dan kekerasan.

Dalam konteks agama-agama kajian pluralisme agama menjadi sangat relevan.

Berangkat dari paham tentang kemajemukan agama ini, kesadaran akan pluralitas agama dapat

dijadikan medium dialog antar budaya (termasuk di dalamnya agama) bukan sebaliknya sebagai

Clash of Civilization? sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington.

Kesadaran pluralitas agama yang mengalami peningkatan dewasa ini, dalam kenyataannya, masih

1

Page 2: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

mengalami banyak problem dan tantangan yang cukup serius. Secara fungsional agama-agama

dalam perspektif sejarah sosial bangsa-bangsa di dunia dapat menjadi faktor disintegrasi dan

disharmoni tatanan sosial yang berlaku pada masyarakat, negara, dan bangsa tertentu.

Bukti-bukti sejarah dapat digunakan untuk mendukung adanya ketegangan,

konflik, perang antar agama, karena alasan agama. Pada abad pertengahan, misalnya, telah terjadi

perang salib antara Islam dengan kristen yang menjadi noda hitam bagi hubungan keduanya.

Memasuki abad modern, perang ini pun sesungguhnya hingga kini masih terjadi, walaupun

mengambil bentuk yang berbeda.

I.2 Tujuan Penulisan

Paper ini dibuat untuk memenuhi dua hal penting, yaitu memenuhi tugas mata

kuliah fenomenologi agama yang dibimbing oleh Dosen Pdt. Hada Andriata, DPS dan juga untuk

menjawab pro dan kontra yang terjadi akibat adanya pluralitas agama khususnya di Indonesia,

serta mencapai kesejahteraan di tengah pluralitas di masyarakat ini.

2

Page 3: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

II. PEMBAHASAN

II.1 Pluralitas agama masih menjadi barang haram

Pluralitas agama masih dipandang sebagai barang haram dan belum diterima

secara total oleh umat beragama. Hal ini ditandai oleh beberapa hal :

Pertama, masih adanya toleransi basa-basi antar pemeluk agama seperti dapat

dilihat pada penampilan pemimpin dan tokoh agama pada acara formal ketika meredam konflik

yang terjadi di masyarakat akar rumput. Ia masih sebatas ceremonial, bersifat pemikiran, belum

menyentuh pada tindakan faktual, dan masih dalam taraf usaha untuk melakukan penyamaan

persepsi dikalangan elit agama.

Kedua, masih adanya konflik atau bahkan perang antar agama. Banyak contoh

mengenai fenomena ini, seperti konflik etnik di negara eks Yugoslavia dan Albania, Irlandia

Utara, di Lebanon antara milisi Syi’ah dan Druz, pertentangan masyarakat Persia di Iran dan

masyarakat Arab di Saudi Arabia di zaman Ayatullah Ruhullah Khomaini, penindasan suku

Aborijin oleh warga kulit putih Australia, sengketa yang terjadi antara pemerintah Philipina

dengan muslim Moro, dan pertentangan kultural antara suku Kreol dan budaya Perancis di

Amirika Laten. Contoh tersebut mengukuhkan anggapan bahwa dalam sejarah umat manusia,

agama sering dijadikan alasan untuk menindas bahkan memerangi kelompok lain yang seagama

maupun tidak seagama.

Drama konflik agama ini terjadi dalam setiap kehidupan umat beragama. Bahkan

di abad modern ini, perang Amerika-Irak, dapat dipahami sebagai perang atas nama agama,

karena dalam pidatonya, George W. Bush, menyebutnya dengan istilah “Crusade”, perang suci

atas nama agama.

Ketiga, adanya klaim kebenaran (truth claim). Inilah problem terberat umat

beragama dalam menampilkan diri di tengah-tengah pluralitas agama yang juga menjanjikan

jalan kebenaran dan keselamatan yang seringkali memunculkan truth claim. Ajith Fernando

menyatakan: ”Other relegions are false paths that mislead their followers” (B.M. Rahman, 2001:

34). Hugh Goddard dalam Christians & Muslims: From Double Standards to Mutual

Understanding (1995), mengatakan bahwa dalam seluruh sejarah hubungan Kristiani-Islam: apa

yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman dan saling menjadi

ancaman diantara keduanya adalah suatu kondisi adanya standar ganda (Double Standars).

3

Page 4: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

Menurut saya (penulis), standar ganda ini pada akhirnya memunculkan prasangka-prasangka

teologis dan memperkeruh hubungan diantara keduanya. Anggapan ada-tidaknya keselamatan

dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan ini. Standar itu adalah bahwa agama kita

adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedang agama lain adalah hasil pemikiran

manusia. Kalaupun berasal dari Tuhan, tetapi telah dipalsukan oleh manusia. Melalui standar

ganda inilah dapat disaksikan perang klaim kebenaran dan janji penyelamatan yang berlebihan

dari suatu agama atas agama yang lain terus berjalan hingga sekarang.

II.2 Pluralitas agama sebagai realitas sosial dan

toleransi

Ragam agama dengan berbagai kitab suci yang dimilikinya baik yang bersifat ardi

maupun samawi merupakan bukti empiris adanya pluralitas agama. Pluralitas agama ini

kemudian mewujud menjadi realitas sosial yang menyejarah dalam kehidupan umat manusia.

Karena itu, secara historis dikenal banyak umat agama dan kepercayaan.

Eksistensi pluralitas agama sebagai sebuah realitas sosial dengan demikian

menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap umat agama manapun. Menurut saya

(penulis) (penulis), menolak nalar baku berarti menolak realitas dan ini berarti lari dari kenyataan

hidup, lari dari ayat-ayat kawniyah yang diberikan oleh Tuhan, Sang Pencipta pluralitas itu

sendiri. Juga berarti menegasikan eksistensi kemanusiaannya sendiri, yakni sebagai makhluk

individu sekaligus makhluk sosial. Dalam hidup seseorang tidak mungkin terlepas dari interaksi

4

Page 5: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

dengan orang lain. Karena itu, bagi umat agama manapun, pluralitas agama harus dikaji dan

dimanfaatkan dalam konteks mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial.

Pengalaman spiritual kita seringkali membuktikan ketika kedua realitas itu tidak mampu

disatukan maka akan mudah sekali memicu terjadinya konflik antar umat beragama. Dalam

konteks demikian, kemampuan dalam memposisikan dan memanfaatkan kedua realitas tersebut

sebagai bagian obyektif dari pemenuhan kebutuhan dan kepentingan menjadi keharusan bagi

setiap umat agama. Dengan metode ini setiap umat agama senantiasa mampu mengantisipasi cara

terbaik untuk hidup bersama dalam keberagaman secara rukun dan damai.

Kemampuan mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial

dalam bingkai pluralitas agama menjadi sangat penting (urgent), sebab hubungan manusiawi

biasanya sulit dilakukan antar individu-individu yang berlainan keyakinan vertikalnya.

Keberadaan agama biasanya merupakan variabel penyebab munculnya beragam rintangan

komunikasi antar sesama umat manusia dalam melakukan interaksi sosial. Kenyataan di lapangan

memperkuat asumsi ini, seperti kasus kekerasan yang menimpa Islam Ahmadiyah dan aliansi

Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang masih hangat dalam ingatan

kita, kasus Ketapang, Kupang, Ambon, dan daerah lain di Indonesia serta kasus kekerasan yang

menimpa suku Uighur, Xinjiang, China, beberapa bulan yang lalu. Ketidakmampuan umat

beragama mengakui kedua realitas tersebut mendorong pelembagaan dan pembudayaan sikap

serta perilaku individual dan sosial untuk melakukan pembenaran terhadap kepentingan

keyakinan keagamaannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan umat agama lain. Akibatnya

terbentuk sikap individual dan sosial yang tidak siap menerima kehadiran umat dan agama lain

yang bukan termasuk kelompok dan agamanya. Sikap seperti ini akan merusak pranata sosial,

politik, serta merobek-robek pluralitas, yang bila dicermati secara mendalam akan melahirkan

sikap toleransi terhadap sesama umat beragama. Bila kesadaran akan pluralitas agama naik, maka

naik pula sikap toleransi yang dimiliki umat beragama. Demikian juga sebaliknya, bila kesadaran

akan pluralitas agama turun, maka turunlah sikap toleransi tersebut.

Kurangnya sikap toleransi terhadap sesama umat beragama akibat melemahnya

kesadaran akan pluralitas agama ini menjadi pemicu banyaknya konflik agama di berbagai

belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini memperkuat asumsi bahwa sikap toleransi dan

relegiusitas bangsa ini sesungguhnya baru berada pada kulit luarnya saja belum menyentuh

kesadaran terdalamnya. Andai telah menyentuh kesadaran terdalamnya tentu tidak akan terjadi

konflik di negeri ini. Negeri yang beragam agama dan realitas sosialnya.

5

Page 6: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

II.3 Pluralitas agama dan konflik di Indonesia

Pluralitas agama di negeri ini terjadi akibat beragamnya keyakinan yang dianut

oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan Islam bahwa Allah

menciptakan makhluknya dalam kondisi beragam. Banyak ayat yang mendukung pernyataan ini.

Ia memang sengaja membuat mereka berbeda (heterogen) dan tidak seragam, bukan karena Ia

tidak mampu untuk membuatnya seragam (homogen), tetapi Ia ingin menguji siapa diantara

mereka yang terbaik dalam menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi sebagaimana

kontrak premordial yang telah disepakati oleh keduanya.

Heterogenitas oleh Tuhan tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justeru diberi ruang

untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi. Tetapi ingat! Saling bekerjasama tidak akan

pernah terjadi begitu saja tanpa ada usaha. Ia dapat terwujud bila tercipta kondisi saling

mengenal, menghormati, dan menerima. Saling mengenal artinya adalah lebih dalam dari sekedar

tahu, tetapi berlanjut kepada mengerti, saling menghargai, memberi ruang dan peluang yang

proporsional dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk sosial.

Kondisi demikian harus selalu diusahakan, baik oleh individu maupun lembaga, termasuk juga

pemerintah. Namun sayang, pesan agung tersebut sering terabaikan. Manusia cenderung memilih

homogenitas dan pengelompokan (polarisasi) demi untuk membedakan dirinya dengan yang lain.

Agama sebagai jembatan pengatur cara hidup sesamanya.

Pluralitas agama ini belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia yang

multietnis dan multi agama. Mereka masih enggan menerimanya secara total. Kecenderungan

homogenitas dalam arti sebenarnya masih tampak dimana-mana. Masih banyak kesulitan

melakukan dialog diantara kelompok-kelompok yang ada. Andaikan ada dialog, hal itu masih

bersifat ceremonial-formalistik yang belum menyentuh pada core problem yang dihadapi.

Drama konflik dan tindakan kekerasan akibat rendahnya kesadaran pluralitas

agama terus menghiasi lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang konon sangat toleran

dan akomodatif hingga hari ini. Drama tersebut dapat di saksikan di Indonesia dan daerah-daerah

yang semula masuk wilayahnya (Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI,

Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia: 53, 227; Profetika, 1999: ii-iii). Menurut saya

(penulis), kekerasan demi kekerasan di negeri ini dengan mengatasnamakan agama terus diputar

oleh kelompok agama tertentu. Masyarakat menjadi terkotak-kotak dan integarsi sosial

6

Page 7: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

masyarakat kian melemah sementara pemilahan masyarakat semakin menguat. Dan ini tentu akan

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

II.4 Menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial

Dengan melihat paparan mengenai kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang

ternyata menganut banyak agama, ada satu pertanyaan yang dapat dimunculkan di sini:

Bagaimana menjadikan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia sebagai

media integrasi sosial agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam kerangka memperkokoh

persatuan dan kesatuan bangsa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu harus

diketahui gambaran mengenai sikap keberagamaan yang ditampilkan oleh umat beragama.

Mengingat sikap keberagamaan tersebut sangat menentukan bagaimana pandangan mereka

terhadap umat agama lain. Setidaknya ada tiga sikap keberagamaan yang dapat disebutkan di sini,

yaitu: sikap eksklusivisme, inklusivisme, dan paralelisme (B.M.Rahman, 2001: 44).

Pertama, sikap eksklusif. Sikap anti pluralitas. Sikap ini merupakan pandangan

yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut sampai saat ini. Agama saya-lah yang

paling benar, sedangkan agama lain. Bagi agama Islam inti pandangan ini adalah bahwa agama

yang paling absah dan diterima di sisi Tuhan (Allah) adalah Islam. Diantara ayat yang dipakai

sebagai ungkapan eksklusifitas Islam adalah Q.S.3:85, 3:19, 5:3. Sedangkan bagi agama Kristen,

Yesus merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan (Yohanes 14:6).

Kedua, sikap inklusif. Pandangan ini membedakan antara kehadiran penyelamatan

dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelematan dan aktivitas Tuhan

dalam Yesus Kristus. “Menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-

Kristiani mengacu kepada Kristus”. Teolog terkemuka yang menganut pandangan ini adalah Karl

Rahner. Ia memunculkan satu pertanyaan: Bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum

dokumen Konsili Vatikan II yang memuat pandangan inklusif itu hadir, atau orang-orang yang

sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh injil? Untuk menjawabnya ia memunculkan istilah

inklusif, the anonymous christian, yaitu orang-orang non Kristiani.

Dalam pandangannya, mereka selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati

terhadap Tuhan, karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah

mendengar kabar baik. Tetapi pandangan ini dikritik oleh pandangan pluralis, karena membaca

agama lain dengan kacamata agama sendiri. Sementara kalangan Islam inklusif berpandangan

7

Page 8: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

bahwa agama semua Nabi adalah satu. Mereka adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak,

namun agama mereka satu. Kalangan ini menganut pandangan al-Qur’an tentang adanya titik

temu agama-agama (Q.S. 3:64), dimana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah dan

minhaj. Menurut kalangan ini, Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala

hal (monolitisisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah

akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (Q.S. 5:48).

Ketiga, sikap paralelisme. Saya berpendapat bahwa pandangan ini percaya bahwa

setiap agama (di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim

bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi

jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis.

Tokoh utama yang sependapat dengan pandangan saya (penulis) adalah John Harwood Hicks

dalam karyanya, God and the Universe Faiths [1973](B.M. Rahman, 2001: 48) Sementara Islam

Pluralis adalah pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Banyak upaya yang

ditempuh untuk mengembangkan paham ini. Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen serta

agama lain diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara perumusan iman dan

pengalaman iman.

Menurut kalangan Islam pluralis, seperti: Frithjof Schuon dan Sayed Husein Nasr,

setiap agama pada dasarnya distruktur oleh keduanya. Hanya saja setiap agama selalu

menganggap yang satu mendahului yang kedua. Persis dalam pembedaan ini, sikap pluralis bisa

diterima, karena misalnya antara Islam dan Kristen perbedaannya terletak dalam menaruh mana

yang lebih penting antara keduanya. Islam mendahulukan perumusan iman (tawhid) dan

pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sementara Kristen, mendahulukan

pengalaman iman (pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang

tersimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini,

dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Menurut saya (penulis), perbedaan dalam struktur

perumusan keduanya hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami

Tuhan yang sama. Jadi pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan

yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan mengenai pluralisme

agama berdiri diantara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik, seperti kata

Raimundo Panikkar.

8

Page 9: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

Beberapa kasus ketegangan dan konflik-kekerasan berjumlah puluhan kasus.

Untuk kasus pengkafiran telah dilakukan FUI terhadap saudara U.A. Abdalla, Koordinator JIL,

yang dianggap murtad, kafir, dan melenceng dari ajaran Islam sehingga darahnya halal

ditumpahkan. Selain itu ada buku yang ditulis oleh Hartono A. Jaiz yang intinya menuduh ada

pemurtadan di IAIN. Kecenderungan keberagamaan yang monolitik seperti itu saat ini semakin

gencar disuarakan oleh mereka yang bersikap dan berpandangan eksklusif yang memancing

kerusuhan, keonaran, dan bahkan memakan korban. Peledakan hotel JW. Marriot dan Ritz

Carlton baru-baru ini juga akibat sikap dan pandangan keberagamaan model ini. Akibat dari

sikap dan pandangan keberagamaan model ini, pluralitas agama akhirnya menjadi sesuatu yang

terkorbankan. Menurut saya (penulis), mestinya ia menjadi inspirasi bagi setiap pemeluk agama

berlomba menampilkan kualitas amal terbaiknya dan menjadi media integrasi sosial. Bukan

menjadi momok yang menakutkan bagi setiap umat beragama kerena menjadi sumber

perpecahan, konflik, dan kekerasan. Kondisi demikian, berimplikasi terhadap tatanan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Kasatuan masyarakat semakin lama semakin melemah atau bahkan

hilang sama sekali. Tidak hanya antar umat beragama saling curiga, umat seagama pun juga

melakukan hal yang sama. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, terpilah-pilah ke dalam kelompok

yang saling berhadap-hadapan dan mudah tersulut amarahnya. Harmonisasi kehidupan menjadi

sesuatu yang mahal di negeri ini dan bila ini biarkan, maka bangsa dan negara ini ada diambang

kehancuran. Untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam kerangka

memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus ada upaya merubah sikap dan

pandangan yang semula eksklusif menjadi sikap dan pandangan keberagamaan yang pluralis.

Menurut saya (penulis), sikap dan pandangan ini cocok untuk dijadikan sebagai alat dalam

menyikapi pluralitas agama untuk kemudian dikelola menjadi media integrasi social masyarakat

bangsa Indonesia. Diantara upaya tersebut adalah pertama, kaharusan menggunakan metode dan

pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Selama ini studi agama lebih banyak

dilakukan dengan hanya menggunakan metode dan pendekatan tertentu, seperti: pendekatan

teologis. Kedua, keharusan mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal

dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan

bentrokan antar pengikut agama.

Dialog antar agama dilakukan umumnya ketika sudah dalam kondisi tersebut.

Kondisi ini mengingatkan saya pada suatu peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nunukan pada

tahun 2007 antara etnis Dayak dan Bugis yang hampir saja terjadi pertumpahan darah, saat

9

Page 10: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

melakukan penelitian mengenai integrasi sosial masyarakat Kalimantan Timur. Beruntung

pertumpahan darah batal terjadi berkat dialog yang diprakarsai semua pihak termasuk tokoh

agama dan aparat penegak hukum di sana. Berdasarkan investigasi yang saya lakukan terhadap

penduduk di sana ternyata memang dialog antar penganut agama jarang/tidak pernah terjadi

sebelum ketegangan tersebut terjadi. Pemimpin agama korang berperan dalam membangun

kesadaran akan pluralitas agama. Baru setelah ketegangan itu terjadi penggalakan dialog antar

umat agama dilakukan secara intensif. Peran FKUB harus terus ditingkatkan. Selama ini,

keberadaannya lebih bersifat ceremonial dan secara praksis masih terbatas pada daerah

kota/kabupaten, serta belum menyentuh masyarakat pedesaan yang secara kultur masih

berwawasan sempit sehingga mudah dipengaruhi, digiring, dimobilisasi, untuk melakukan

tindakan kekerasan atas nama agama.

Melalui paper ini, dapat disampaikan berbagai pandangan mengenai kemajemukan

yang menjadi bagian dari realitas masyarakat dunia, yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik

agama, suku, daerah, adat kebiasaan dan sebagainya. Dalam suasana kemajemukan seperti ini

diharapkan tumbuh sikap saling menerima sebagaimana adanya, komunikasi semakin intensif,

tumbuh sikap bersama yang sehat, mengakui segi-segi kelebihan orang lain dan mendorong

sama-sama melakukan kebajikan dalam masyarakat. Perbedaan yang ada diterima dalam

kerangka perbedaan atau setuju dalam perbadaan. Pluralitas dipandang sebagai sesuatu yang

wajar. Tidak ada hidup tanpa pluralitas dalam arti antar ummat, kecuali kota tertentu seperti

Vatikan dan Makkah. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala

perbedaan, dan pluralis, harus ditanamkan sejak usia dini melalui lembaga pendidikan baik

formal maupun non formal. Menurut saya (penulis), ini menjadi tugas orang tua dan pemerintah

dengan cara melakukan reevaluasi proses pendidikan dan pengajaran akidah baik ditingkat

sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, menyangkut materi, guru, dan dosen yang

mengampu mata pelajaran/kuliah tersebut. Guru dan dosen harus benar-benar mempunyai

wawasan yang luas dan keahlian dibidang tersebut.

Guru dan dosen diwajibkan dapat membentuk sikap sebagaimana dimaksud bagi

siswa/mahasiswa yang diajar dan dididiknya. Menurut saya (penulis), reevaluasi ini sangat

penting mengingat selama ini telah terjadi kesalahan dalam proses pendidikan dan pengajarannya

sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam membentuk sikap toleran, akomodatif, terbuka

terhadap segala perbedaan belum sepenuhnya berhasil. Misalnya guru mata pelajaran akidah

adalah lulusan syari’ah bukan lulusan ushuludin dengan konsentrasi akidah filsafat. Menurut saya

10

Page 11: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

(penulis) ini juga termasuk dari kesalahan kebijakan Departemen Agama sebagai kepanjangan

tangan pemerintah. Mestinya perekrutan guru itu harus terbuka, yang diterima mendaftar tidak

hanya lulusan tarbiyah, tetapi juga lulusan syari’ah, dakwah, dan ushuluddin, sesuai dengan

keahlian masing-masing. Karena mata pelajaran agama Islam banyak jumlahnya. Jika ini

dilakukan, maka harus ada kebijakan baru mengenai perekrutan tenaga pengajar dan kurikulum

yang di ajarkan di fakultas-fakultas yang ada di lingkup Perguruan Tinggi Agama, yakni dengan

menambah mata kuliah tentang kependidikan di fakultas selain selain tarbiyah. Sehingga lulusan

selain tarbiyah juga mempunyai wawasan tentang kependidikan dan kepengajaran yang baik.

Menurut saya (penulis), guru/dosen ilmu tauhid di perguruan tinggi harus doktor sedangkan di

sekolah dasar/menengah harus magister, sebagai parameter mereka ahli dibidangnya dan

mempunyai kemampuan untuk mantransformasikan sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap

segala perbedaan, kepada peserta didiknya. Keempat, membuka forum kajian mengenai agama-

agama yang melibatkan semua agama yang diakui dan berhak hidup dan berkembang di negeri

ini.

Dalam paper ini dapat dikembangkan kajian mengenai teologi agama-agama di

dunia yang selama ini mungkin masih dianggap tabu, karena sudah masuk dalam ranah dasar

agama. Dengan adanya dialog teologi ini para pengikut agama semakin memahami dan mengerti

konsep dasar teologi agamanya sendiri dan pada saat yang sama juga mengenal dan memahami

konsep dasar teologi agama lainnya. Menurut saya (penulis), dengan cara ini sikap saling

pengertian dan hormat menghormati semakin bertambah.

II.5 Sikap Orang Sunda terhadap pluralitas agama

Alur pandangan hidup orang Sunda diasumsikan bahwa sejak awal mula Orang

Sunda telah bertoleransi dengan siapa saja asalkan Visi dan Misi mereka sealur dengan

pandangan hidup Orang Sunda. Karena alur pikir Rawayan Jati terdiri atas 7 strata yang dalam

Bahasa Sunda dikenal dengan Sapta Mandala Panta-Panta yang dapat diartikan sebagai tujuh

tingkat/maqomat/terminant yang sakral. Maka pada setiap tingkat/mandala akan bersentuhan

dengan orang-orang yang berlainan agama/religinya. Karenanya Orang Sunda, tidak menjadikan

masalah yang mengganggu, asal saja mereka ada keselarasan dalam beberapa Mandala yang

bertahap tadi.

11

Page 12: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

Toleransi kebersamaan yang paling awal dalam bermasyarakat adalah starata

Mandala Paling Bawah yakni prinsip manusia yang 4 R. Bila dalam kehidupan keseharian telah

terwujud, maka dengan siapa dan agama apa pun, Orang Sunda bisa bertoleransi yang merupakan

pengejawantahan dari pluralitas suku/agama. Sebenarnya konsep Rawayan Jati ini bisa berlaku

umum maupun pribadi. Inilah alur yang dikatakan orang sebagai Filsafat Perenial, yakni

Kerinduan Abadi, Tao, Brahman. Jawidan Khirad, Universal Agreement, Tradisi Primordial,

Filsafat Toleransi. Pandangan hidup Orang Sunda Rawayan Jati inilah yang saya (penulis)

anggap mendasari sikap toleransi Orang Sunda dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Pengkajian secara cermat dan tawadhu harus mencakup tiga tataran fondamental yaitu:

Kajian mengenai alam idea Orang Sunda dimana hal ini merupakan fondasi.

Kajian normatif masyarakat sunda sekaligus rambu dan pilar-pilar budaya.

Kajian perilaku budaya orang Sunda sebagai assesoris kebudayaan.

Dengan paradigma bersendikan Islam dalam berbagai tataran religius, Orang

Sunda harus tetap menyiasati agar tetap terjaga Islaminya. Untuk mewujudkan masyarakat Sunda

yang Madani dan Mardotillah, berikut adalah beberapa aspek Budaya Sunda yang

menggambarkan hasil sentuhan budaya religi, diantaranya :

Dari Agama Budha. Cukup banyak norma-norma hidup (peraturan hidup/etika hidup,bukan

ideanya) yang diambil dari khazanah Agama Budha, misalnya muatan yang terkandung dalam

Naskah Sewaka Darma, Siksa Kanda’ng Karesian dan Kawih Paningkes. Dalam hal ini yang

diserap hanya sebatas Etika Hidup serta diwujudkan dalam banyak aturan perilaku hidup seperti

dalam hal berkesenian dan berkebudayaan.

Dari Agama Hindu. Antara lain yang diserap adalah istilah dewa-dewi. Tetapi itupun diletakkan

di bawah Hyang yang berarti mahluk gaib versi kepercayaan Sunda. Ngahiyang, yang dapat

diterapkan pada sistem pemerintahan, upacara dan lain sebagainya.

Dari Kepercayaan Kejawen. Bila kejawen diartikan sebagai “abangan”, maka pengaruh yang

memasuki pandangan hidup Orang Sunda, yaitu pada tataran “adat kepercayaan” hal ini

merupakan imbas terhadap peri laku yang disebut tirakatan dengan nuansa Kejawen seperti

halnya kungkum atau berendam, matigeni, dan perilaku lainnya. Dalam norma kehidupanpun ada

12

Page 13: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

pula pengaruhnya. Misalnya saja di beberapa tempat ada kebiasaan untuk mengadakan perayaan

1 Syuro. Konsep yang bernuansa Budaya Jawa yang Islami pun banyak ditemui; misalnya konsep

Manunggaling Kaula Gusti (Dewaruci), Ngelmu (biasa menggunakan Bahasa Jawa - Arab).

Tetapi yang perlu dibedakan adalah istilah Kejawen (Ka-Jawi-An) dengan Kasundaan. Pengertian

Kasundaan lebih mengacu kepada Etika Hidup, Perilaku Berkehidupan, tidak diartikan sebagai

Aliran Kepercayaan. Contohnya dalam penggunaan kalimat : “Kudu Nyunda atuh! Henteu

Nyunda kalakuan kitu mah! Kumaha ari Sundana!”

Dari Agama Islam. Pengaruh dan daya akulturasi dari Agama Islam sangat mewarnai dan

menjiwai sebagian besar idea, norma dan perilaku Orang Sunda. Hal ini merupakan bias dari

berbagai kejadian, sejauh mana kesejajaran dari Idea/Norma dan Perilaku Islam dengan Rawayan

Jati sebagai konsep pandangan hidup Orang Sunda.

Dari Agama Kristen. Bila kita perhatikan mungkin hanya sebatas perilaku dan sedikit mengenai

norma-norma. Tidak menjangkau tataran idea, yang merupakan fondasi keimanan yang paling

mendasar.

Satu bukti artefak/situs yang unik dan menunjukkan bagaimana toleransi Orang

Sunda dalam berkehidupan religi, terdapat di Candi Cangkuang – Garut. Menurut para ahli,

Candi Cangkuang itu satu-satunya candi yang ada di Tatar Sunda.

Fondasinya berstrukturkan pengaruh Budha (seperti halnya Candi Borobudur)

Arsitektur beserta arca atau patungnya dipengaruhi Hindu berupa Patung Syiwa

Di sisinya bersandar makam Syeh Arif Muhammad Penyebar Agama Islam pada masa

abad ke 17/18.

Situs ini terletak di Kampung Pulo yang bersendikan adat Khas Sunda apabila dilihat dari

tata letak kampung, peraturan adat yang semuanya bercirikan khas Sunda.

Di situs Candi Cangkuang pengaruh empat religi bisa berdampingan begitu indah

dan damai. Hanya bila kita perhatikan dengan seksama ada sesuatu yang dapat mengundang

tanda tanya karena disini tidak tergambarkan sentuhan suasana Nasrani. Selain itu juga perlu

dikaji aspek Budaya Sunda yang merupakan hasil sinkretisme dan akulturasi dari religi lainnya.

13

Page 14: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

14

Page 15: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

III. KESIMPULAN & SARAN

Berdasarkan ulasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagaimana

dijelaskan di bawah ini :

- Pertama, kesadaran umat beragama tentang pluralitas agama masih rendah, dengan bukti,

pertama, masih terjadinya toleransi basa-basi antar pemeluk agama.

- Kedua, masih adanya konflik dan perang antar agama.

- Ketiga, adanya klaim kebenaran. Pluralitas agama masih dipahami sebagai sumber

bencana, konflik, serta anti integrasi sosial.

- Keempat, pluralitas agama harus diyakini sebagai bagian dari realitas dunia dan sosial. Ia

menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap umat agama manapun. Menolak nalar

baku berarti menolak realitas dan berarti lari dari kenyataan hidup dan ayat-ayat kawniyah

Tuhan, Sang Pencipta pluralitas itu sendiri. Juga berarti menegasikan eksistensi

kemanusiaannya sendiri, yakni sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.

Dalam hidup seseorang tidak mungkin terlepas dari interaksi dengan orang lain. Karena

itu, pluralitas agama harus dikaji dan dimanfaatkan dalam konteks mengkaitkan secara

positif kedua realitas tersebut.

- Kelima, ketidakmampuan mengelola kedua realitas tersebut mendorong pelembagaan dan

pembudayaan sikap serta perilaku individual dan sosial untuk melakukan pembenaran

terhadap kepentingan keyakinan keagamaannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan

umat agama lain. Akibatnya muncul sikap tidak toleran dan tidak siap menerima

kehadiran yang lain. Sikap demikian menjadi pemicu konflik agama di berbagai belahan

dunia termasuk Indonesia.

- Keenam, sikap dan pandangan keberagamaan masyarakat Indonesia masuk kategori sikap

dan pandangan eksklusif dengan indikasi adanya nalar agama yang tidak toleran, tidak

akomodatif terhadap segala perbedaan, serta lebih suka mencari titik perbedaan, yang

lebih cenderung menegasikan integrasi sosial. Akibatnya, pluralitas agama menjadi

sesuatu yang terkorbankan.

- Ketujuh, untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam

kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus dilakukan upaya

kongkrit untuk merubah sikap dan pandangan keagamaan masyarakat Indonesia yang

semula eksklusif menjadi pluralis. Pertama, keharusan menggunakan metode dan

15

Page 16: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Kedua, keharusan

mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal dengan baik. Tidak

hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar

pengikut agama. Dialog antar agama yang selama ini dilakukan umumnya ketika sudah

dalam kondisi tersebut. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap

segala perbedaan, serta pluralis, harus ditanamkan sejak usia dini melalui lembaga

pendidikan baik formal maupun non formal. Tugas ini menjadi kuwajiban orang tua dan

pemerintah dengan cara melakukan reevaluasi terhadap materi akidah ditingkat

pendidikan dasar, menengah, maupun kurikulum perguruan tinggi, proses pendidikan dan

pengajaran, dan perekrutan tenaga pengajar serta keahliannya. Keempat, membuka forum

kajian mengenai agama-agama yang melibatkan semua agama yang diakui dan berhak

hidup dan berkembang di negeri ini.

- Ada kata bersayap dalam buku Tafsir Kebudayaan (Clifford Geertz, 1992) orang Bali

berkata “Sungguh aneh kalau orang Bali tidak beragama Hindu”. Sedangkan bagi Orang

Sunda ada pemeo: “Kacida anehna lamun Orang Sunda henteu ngagem Agama Isalam”.

Meskipun Orang Sunda bisa bertoleransi terhadap pluralitas agama, tetapi dalam keluarga

harus tetap satu keimanan yakni Iman Islam.

Adapun saran-saran yang akan saya sampaikan dari ulasan diatas, yaitu :

- Pertama, hargailah pluralitas agama yang ada saat ini dan yang akan datang sehingga

kehidupan yang kita jalani hari lepas hari dapat berlangsung dengan tertib, harmonis, dan

sejahtera tak ada konflik yang mengganggu.

- Kedua, jika terjadi konflik lebih baik diselesaikan dengan cara kekeluargaan sehingga

tidak terjadi perpecahan. Dan semoga paper yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang membaca dan memperhatikannya.

Ada pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu,

mohon maaf apabila ada kesalahan kata, atas perhatian Anda kami mengucapkan terima

kasih.

16

Page 17: FENOMENOLOGI AGAMA ISI

DAFTAR PUSTAKA

B.M. Rahman, Religy, Shahidur, 2001.

Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, terj oleh Sukino, Graha Mulia, Jakarta, 1992.

Hugh Goddard, Christians & Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding, 1995.

John Harwood Hicks, God and the Universe Faiths, 1973.

Michael H.Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj oleh H. Mahbub

Djunaidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1987.

S. Hidayat, Profetika, Pusdiklat, Jakarta, 1999.

Kitab suci Agama Kristen Alkitab, LAI, Lembaga Alkitab Indonesia, 1974

Pidato G.Bush tentang perang Amerika-Irak, http://www.google.co.id/, diakses pada Kamis, 12

Agustus 2010 pk 10.00 wib.

Tesis Samuel P. Huntington tentang Clash of Civiization, http://www.google.com/, diakses pada

Kamis, 12 Agustus 2010 pk 10.00 wib.

Adian Husaini, Pluralitas agama sebagai realitas dunia dan toleransi, http://www.insistnet.com/,

diakses pada Kamis, 12 Agustus 2010 pk. 10.00 wib.

Milis Kisundan, Sikap hidup Orang Sunda, http://www.sundanet.mail.everyone.net/, diakses pada

Kamis, 12 Agustus 2010 pk. 10.00 wib.

17