fenomenologi agama isi
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Realitas dunia adalah plural. Pluralitas ini mewujud dalam bentuk budaya, bangsa,
suku, agama, serta lainnya. Kesadaran manusia akan realitas dunia yang plural ini terus
berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Realitas dunia yang
plural ini dalam perjalanan selanjutnya kemudian berkembang menjadi sebuah pluralisme, sebuah
paham yang mengakui adanya kemajemukan.
Indonesia merupakan negara potensial karena pluralitas suku, agama, ras,
golongan, dan bahasa yang dimilikinya. Pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut dapat
bernilai positif bila rakyat dan pemerintah Indonesia mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan
dalam perbedaan dan keragaman. Di sini pulralitas agama dapat menjadi perekat bagi umat
beragama bila penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya
dilakukan secara bertanggungjawab. Mengingat agama manapun tidak ada yang mengajarkan
permusuhan. Tetapi sebaliknya, pluralitas tersebut dapat berubah menjadi potensi konflik dahsyat
bagi negara dan bangsa ini bila tidak mampu mengelolanya dengan baik. Di sini salah satu faktor
pemicunya adalah bila agama ditafsirkan sesuai dengan kehendak segelintir manusia yang ingin
mendapatkan keuntungan dan kekuasaan dengan menggunakan media agama. Ingat! Belajar dari
tradisi postkolonial, teks, termasuk di dalamnya tafsir agama, tidak hanya bersifat gendered,
tetapi juga classed, racialised, dan seterusnya (Yasir Alimi, 2002:viii-ix).
Sebagai bangsa yang religius, kita dituntut untuk mempunyai kemampuan
mengelola pluralitas agama menjadi perekat seluruh warga negaranya. Ia telah menjadi bagian
dari sejarah bangsa ini. Secara historis nenek moyang bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang
percaya adanya kekuatan yang ada di luar dirinya. Sebelum datang agama baru, nenek moyang
bangsa ini telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Dasar kepercayaan animisme
dan dinamisme ini memudahkan agama baru tersebut masuk, diterima secara damai berkembang
dengan subur tanpa ada perlawanan dan kekerasan.
Dalam konteks agama-agama kajian pluralisme agama menjadi sangat relevan.
Berangkat dari paham tentang kemajemukan agama ini, kesadaran akan pluralitas agama dapat
dijadikan medium dialog antar budaya (termasuk di dalamnya agama) bukan sebaliknya sebagai
Clash of Civilization? sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington.
Kesadaran pluralitas agama yang mengalami peningkatan dewasa ini, dalam kenyataannya, masih
1

mengalami banyak problem dan tantangan yang cukup serius. Secara fungsional agama-agama
dalam perspektif sejarah sosial bangsa-bangsa di dunia dapat menjadi faktor disintegrasi dan
disharmoni tatanan sosial yang berlaku pada masyarakat, negara, dan bangsa tertentu.
Bukti-bukti sejarah dapat digunakan untuk mendukung adanya ketegangan,
konflik, perang antar agama, karena alasan agama. Pada abad pertengahan, misalnya, telah terjadi
perang salib antara Islam dengan kristen yang menjadi noda hitam bagi hubungan keduanya.
Memasuki abad modern, perang ini pun sesungguhnya hingga kini masih terjadi, walaupun
mengambil bentuk yang berbeda.
I.2 Tujuan Penulisan
Paper ini dibuat untuk memenuhi dua hal penting, yaitu memenuhi tugas mata
kuliah fenomenologi agama yang dibimbing oleh Dosen Pdt. Hada Andriata, DPS dan juga untuk
menjawab pro dan kontra yang terjadi akibat adanya pluralitas agama khususnya di Indonesia,
serta mencapai kesejahteraan di tengah pluralitas di masyarakat ini.
2

II. PEMBAHASAN
II.1 Pluralitas agama masih menjadi barang haram
Pluralitas agama masih dipandang sebagai barang haram dan belum diterima
secara total oleh umat beragama. Hal ini ditandai oleh beberapa hal :
Pertama, masih adanya toleransi basa-basi antar pemeluk agama seperti dapat
dilihat pada penampilan pemimpin dan tokoh agama pada acara formal ketika meredam konflik
yang terjadi di masyarakat akar rumput. Ia masih sebatas ceremonial, bersifat pemikiran, belum
menyentuh pada tindakan faktual, dan masih dalam taraf usaha untuk melakukan penyamaan
persepsi dikalangan elit agama.
Kedua, masih adanya konflik atau bahkan perang antar agama. Banyak contoh
mengenai fenomena ini, seperti konflik etnik di negara eks Yugoslavia dan Albania, Irlandia
Utara, di Lebanon antara milisi Syi’ah dan Druz, pertentangan masyarakat Persia di Iran dan
masyarakat Arab di Saudi Arabia di zaman Ayatullah Ruhullah Khomaini, penindasan suku
Aborijin oleh warga kulit putih Australia, sengketa yang terjadi antara pemerintah Philipina
dengan muslim Moro, dan pertentangan kultural antara suku Kreol dan budaya Perancis di
Amirika Laten. Contoh tersebut mengukuhkan anggapan bahwa dalam sejarah umat manusia,
agama sering dijadikan alasan untuk menindas bahkan memerangi kelompok lain yang seagama
maupun tidak seagama.
Drama konflik agama ini terjadi dalam setiap kehidupan umat beragama. Bahkan
di abad modern ini, perang Amerika-Irak, dapat dipahami sebagai perang atas nama agama,
karena dalam pidatonya, George W. Bush, menyebutnya dengan istilah “Crusade”, perang suci
atas nama agama.
Ketiga, adanya klaim kebenaran (truth claim). Inilah problem terberat umat
beragama dalam menampilkan diri di tengah-tengah pluralitas agama yang juga menjanjikan
jalan kebenaran dan keselamatan yang seringkali memunculkan truth claim. Ajith Fernando
menyatakan: ”Other relegions are false paths that mislead their followers” (B.M. Rahman, 2001:
34). Hugh Goddard dalam Christians & Muslims: From Double Standards to Mutual
Understanding (1995), mengatakan bahwa dalam seluruh sejarah hubungan Kristiani-Islam: apa
yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman dan saling menjadi
ancaman diantara keduanya adalah suatu kondisi adanya standar ganda (Double Standars).
3

Menurut saya (penulis), standar ganda ini pada akhirnya memunculkan prasangka-prasangka
teologis dan memperkeruh hubungan diantara keduanya. Anggapan ada-tidaknya keselamatan
dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan ini. Standar itu adalah bahwa agama kita
adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedang agama lain adalah hasil pemikiran
manusia. Kalaupun berasal dari Tuhan, tetapi telah dipalsukan oleh manusia. Melalui standar
ganda inilah dapat disaksikan perang klaim kebenaran dan janji penyelamatan yang berlebihan
dari suatu agama atas agama yang lain terus berjalan hingga sekarang.
II.2 Pluralitas agama sebagai realitas sosial dan
toleransi
Ragam agama dengan berbagai kitab suci yang dimilikinya baik yang bersifat ardi
maupun samawi merupakan bukti empiris adanya pluralitas agama. Pluralitas agama ini
kemudian mewujud menjadi realitas sosial yang menyejarah dalam kehidupan umat manusia.
Karena itu, secara historis dikenal banyak umat agama dan kepercayaan.
Eksistensi pluralitas agama sebagai sebuah realitas sosial dengan demikian
menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap umat agama manapun. Menurut saya
(penulis) (penulis), menolak nalar baku berarti menolak realitas dan ini berarti lari dari kenyataan
hidup, lari dari ayat-ayat kawniyah yang diberikan oleh Tuhan, Sang Pencipta pluralitas itu
sendiri. Juga berarti menegasikan eksistensi kemanusiaannya sendiri, yakni sebagai makhluk
individu sekaligus makhluk sosial. Dalam hidup seseorang tidak mungkin terlepas dari interaksi
4

dengan orang lain. Karena itu, bagi umat agama manapun, pluralitas agama harus dikaji dan
dimanfaatkan dalam konteks mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial.
Pengalaman spiritual kita seringkali membuktikan ketika kedua realitas itu tidak mampu
disatukan maka akan mudah sekali memicu terjadinya konflik antar umat beragama. Dalam
konteks demikian, kemampuan dalam memposisikan dan memanfaatkan kedua realitas tersebut
sebagai bagian obyektif dari pemenuhan kebutuhan dan kepentingan menjadi keharusan bagi
setiap umat agama. Dengan metode ini setiap umat agama senantiasa mampu mengantisipasi cara
terbaik untuk hidup bersama dalam keberagaman secara rukun dan damai.
Kemampuan mengkaitkan secara positif realitas teologis dengan realitas sosial
dalam bingkai pluralitas agama menjadi sangat penting (urgent), sebab hubungan manusiawi
biasanya sulit dilakukan antar individu-individu yang berlainan keyakinan vertikalnya.
Keberadaan agama biasanya merupakan variabel penyebab munculnya beragam rintangan
komunikasi antar sesama umat manusia dalam melakukan interaksi sosial. Kenyataan di lapangan
memperkuat asumsi ini, seperti kasus kekerasan yang menimpa Islam Ahmadiyah dan aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang masih hangat dalam ingatan
kita, kasus Ketapang, Kupang, Ambon, dan daerah lain di Indonesia serta kasus kekerasan yang
menimpa suku Uighur, Xinjiang, China, beberapa bulan yang lalu. Ketidakmampuan umat
beragama mengakui kedua realitas tersebut mendorong pelembagaan dan pembudayaan sikap
serta perilaku individual dan sosial untuk melakukan pembenaran terhadap kepentingan
keyakinan keagamaannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan umat agama lain. Akibatnya
terbentuk sikap individual dan sosial yang tidak siap menerima kehadiran umat dan agama lain
yang bukan termasuk kelompok dan agamanya. Sikap seperti ini akan merusak pranata sosial,
politik, serta merobek-robek pluralitas, yang bila dicermati secara mendalam akan melahirkan
sikap toleransi terhadap sesama umat beragama. Bila kesadaran akan pluralitas agama naik, maka
naik pula sikap toleransi yang dimiliki umat beragama. Demikian juga sebaliknya, bila kesadaran
akan pluralitas agama turun, maka turunlah sikap toleransi tersebut.
Kurangnya sikap toleransi terhadap sesama umat beragama akibat melemahnya
kesadaran akan pluralitas agama ini menjadi pemicu banyaknya konflik agama di berbagai
belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini memperkuat asumsi bahwa sikap toleransi dan
relegiusitas bangsa ini sesungguhnya baru berada pada kulit luarnya saja belum menyentuh
kesadaran terdalamnya. Andai telah menyentuh kesadaran terdalamnya tentu tidak akan terjadi
konflik di negeri ini. Negeri yang beragam agama dan realitas sosialnya.
5

II.3 Pluralitas agama dan konflik di Indonesia
Pluralitas agama di negeri ini terjadi akibat beragamnya keyakinan yang dianut
oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan Islam bahwa Allah
menciptakan makhluknya dalam kondisi beragam. Banyak ayat yang mendukung pernyataan ini.
Ia memang sengaja membuat mereka berbeda (heterogen) dan tidak seragam, bukan karena Ia
tidak mampu untuk membuatnya seragam (homogen), tetapi Ia ingin menguji siapa diantara
mereka yang terbaik dalam menjalankan tugas kekhalifahannya di muka bumi sebagaimana
kontrak premordial yang telah disepakati oleh keduanya.
Heterogenitas oleh Tuhan tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justeru diberi ruang
untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi. Tetapi ingat! Saling bekerjasama tidak akan
pernah terjadi begitu saja tanpa ada usaha. Ia dapat terwujud bila tercipta kondisi saling
mengenal, menghormati, dan menerima. Saling mengenal artinya adalah lebih dalam dari sekedar
tahu, tetapi berlanjut kepada mengerti, saling menghargai, memberi ruang dan peluang yang
proporsional dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Kondisi demikian harus selalu diusahakan, baik oleh individu maupun lembaga, termasuk juga
pemerintah. Namun sayang, pesan agung tersebut sering terabaikan. Manusia cenderung memilih
homogenitas dan pengelompokan (polarisasi) demi untuk membedakan dirinya dengan yang lain.
Agama sebagai jembatan pengatur cara hidup sesamanya.
Pluralitas agama ini belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia yang
multietnis dan multi agama. Mereka masih enggan menerimanya secara total. Kecenderungan
homogenitas dalam arti sebenarnya masih tampak dimana-mana. Masih banyak kesulitan
melakukan dialog diantara kelompok-kelompok yang ada. Andaikan ada dialog, hal itu masih
bersifat ceremonial-formalistik yang belum menyentuh pada core problem yang dihadapi.
Drama konflik dan tindakan kekerasan akibat rendahnya kesadaran pluralitas
agama terus menghiasi lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang konon sangat toleran
dan akomodatif hingga hari ini. Drama tersebut dapat di saksikan di Indonesia dan daerah-daerah
yang semula masuk wilayahnya (Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI,
Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia: 53, 227; Profetika, 1999: ii-iii). Menurut saya
(penulis), kekerasan demi kekerasan di negeri ini dengan mengatasnamakan agama terus diputar
oleh kelompok agama tertentu. Masyarakat menjadi terkotak-kotak dan integarsi sosial
6

masyarakat kian melemah sementara pemilahan masyarakat semakin menguat. Dan ini tentu akan
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
II.4 Menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial
Dengan melihat paparan mengenai kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang
ternyata menganut banyak agama, ada satu pertanyaan yang dapat dimunculkan di sini:
Bagaimana menjadikan pluralitas agama yang dianut oleh masyarakat bangsa Indonesia sebagai
media integrasi sosial agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam kerangka memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu harus
diketahui gambaran mengenai sikap keberagamaan yang ditampilkan oleh umat beragama.
Mengingat sikap keberagamaan tersebut sangat menentukan bagaimana pandangan mereka
terhadap umat agama lain. Setidaknya ada tiga sikap keberagamaan yang dapat disebutkan di sini,
yaitu: sikap eksklusivisme, inklusivisme, dan paralelisme (B.M.Rahman, 2001: 44).
Pertama, sikap eksklusif. Sikap anti pluralitas. Sikap ini merupakan pandangan
yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut sampai saat ini. Agama saya-lah yang
paling benar, sedangkan agama lain. Bagi agama Islam inti pandangan ini adalah bahwa agama
yang paling absah dan diterima di sisi Tuhan (Allah) adalah Islam. Diantara ayat yang dipakai
sebagai ungkapan eksklusifitas Islam adalah Q.S.3:85, 3:19, 5:3. Sedangkan bagi agama Kristen,
Yesus merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan (Yohanes 14:6).
Kedua, sikap inklusif. Pandangan ini membedakan antara kehadiran penyelamatan
dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelematan dan aktivitas Tuhan
dalam Yesus Kristus. “Menjadi inklusif berarti percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-
Kristiani mengacu kepada Kristus”. Teolog terkemuka yang menganut pandangan ini adalah Karl
Rahner. Ia memunculkan satu pertanyaan: Bagaimana terhadap orang-orang yang hidup sebelum
dokumen Konsili Vatikan II yang memuat pandangan inklusif itu hadir, atau orang-orang yang
sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh injil? Untuk menjawabnya ia memunculkan istilah
inklusif, the anonymous christian, yaitu orang-orang non Kristiani.
Dalam pandangannya, mereka selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati
terhadap Tuhan, karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah
mendengar kabar baik. Tetapi pandangan ini dikritik oleh pandangan pluralis, karena membaca
agama lain dengan kacamata agama sendiri. Sementara kalangan Islam inklusif berpandangan
7

bahwa agama semua Nabi adalah satu. Mereka adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak,
namun agama mereka satu. Kalangan ini menganut pandangan al-Qur’an tentang adanya titik
temu agama-agama (Q.S. 3:64), dimana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah dan
minhaj. Menurut kalangan ini, Allah tidak menghendaki adanya kesamaan manusia dalam segala
hal (monolitisisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi berlomba dalam kebaikan; dan Allah
akan menilai dan menjelaskan berbagai perbedaan itu (Q.S. 5:48).
Ketiga, sikap paralelisme. Saya berpendapat bahwa pandangan ini percaya bahwa
setiap agama (di luar Kristen) mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim
bahwa kristianitas adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi
jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis.
Tokoh utama yang sependapat dengan pandangan saya (penulis) adalah John Harwood Hicks
dalam karyanya, God and the Universe Faiths [1973](B.M. Rahman, 2001: 48) Sementara Islam
Pluralis adalah pengembangan secara lebih liberal dari Islam inklusif. Banyak upaya yang
ditempuh untuk mengembangkan paham ini. Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen serta
agama lain diterima sebagai perbedaan dalam meletakkan prioritas antara perumusan iman dan
pengalaman iman.
Menurut kalangan Islam pluralis, seperti: Frithjof Schuon dan Sayed Husein Nasr,
setiap agama pada dasarnya distruktur oleh keduanya. Hanya saja setiap agama selalu
menganggap yang satu mendahului yang kedua. Persis dalam pembedaan ini, sikap pluralis bisa
diterima, karena misalnya antara Islam dan Kristen perbedaannya terletak dalam menaruh mana
yang lebih penting antara keduanya. Islam mendahulukan perumusan iman (tawhid) dan
pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sementara Kristen, mendahulukan
pengalaman iman (pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang
tersimbolkan dalam sakramen misa dan ekaristi), dan perumusan iman mengikuti pengalaman ini,
dengan rumusan dogmatis mengenai trinitas. Menurut saya (penulis), perbedaan dalam struktur
perumusan keduanya hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami
Tuhan yang sama. Jadi pada dasarnya pandangan pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan
yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama. Sebab gagasan mengenai pluralisme
agama berdiri diantara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik, seperti kata
Raimundo Panikkar.
8

Beberapa kasus ketegangan dan konflik-kekerasan berjumlah puluhan kasus.
Untuk kasus pengkafiran telah dilakukan FUI terhadap saudara U.A. Abdalla, Koordinator JIL,
yang dianggap murtad, kafir, dan melenceng dari ajaran Islam sehingga darahnya halal
ditumpahkan. Selain itu ada buku yang ditulis oleh Hartono A. Jaiz yang intinya menuduh ada
pemurtadan di IAIN. Kecenderungan keberagamaan yang monolitik seperti itu saat ini semakin
gencar disuarakan oleh mereka yang bersikap dan berpandangan eksklusif yang memancing
kerusuhan, keonaran, dan bahkan memakan korban. Peledakan hotel JW. Marriot dan Ritz
Carlton baru-baru ini juga akibat sikap dan pandangan keberagamaan model ini. Akibat dari
sikap dan pandangan keberagamaan model ini, pluralitas agama akhirnya menjadi sesuatu yang
terkorbankan. Menurut saya (penulis), mestinya ia menjadi inspirasi bagi setiap pemeluk agama
berlomba menampilkan kualitas amal terbaiknya dan menjadi media integrasi sosial. Bukan
menjadi momok yang menakutkan bagi setiap umat beragama kerena menjadi sumber
perpecahan, konflik, dan kekerasan. Kondisi demikian, berimplikasi terhadap tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kasatuan masyarakat semakin lama semakin melemah atau bahkan
hilang sama sekali. Tidak hanya antar umat beragama saling curiga, umat seagama pun juga
melakukan hal yang sama. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, terpilah-pilah ke dalam kelompok
yang saling berhadap-hadapan dan mudah tersulut amarahnya. Harmonisasi kehidupan menjadi
sesuatu yang mahal di negeri ini dan bila ini biarkan, maka bangsa dan negara ini ada diambang
kehancuran. Untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam kerangka
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus ada upaya merubah sikap dan
pandangan yang semula eksklusif menjadi sikap dan pandangan keberagamaan yang pluralis.
Menurut saya (penulis), sikap dan pandangan ini cocok untuk dijadikan sebagai alat dalam
menyikapi pluralitas agama untuk kemudian dikelola menjadi media integrasi social masyarakat
bangsa Indonesia. Diantara upaya tersebut adalah pertama, kaharusan menggunakan metode dan
pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Selama ini studi agama lebih banyak
dilakukan dengan hanya menggunakan metode dan pendekatan tertentu, seperti: pendekatan
teologis. Kedua, keharusan mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal
dengan baik. Tidak hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan
bentrokan antar pengikut agama.
Dialog antar agama dilakukan umumnya ketika sudah dalam kondisi tersebut.
Kondisi ini mengingatkan saya pada suatu peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nunukan pada
tahun 2007 antara etnis Dayak dan Bugis yang hampir saja terjadi pertumpahan darah, saat
9

melakukan penelitian mengenai integrasi sosial masyarakat Kalimantan Timur. Beruntung
pertumpahan darah batal terjadi berkat dialog yang diprakarsai semua pihak termasuk tokoh
agama dan aparat penegak hukum di sana. Berdasarkan investigasi yang saya lakukan terhadap
penduduk di sana ternyata memang dialog antar penganut agama jarang/tidak pernah terjadi
sebelum ketegangan tersebut terjadi. Pemimpin agama korang berperan dalam membangun
kesadaran akan pluralitas agama. Baru setelah ketegangan itu terjadi penggalakan dialog antar
umat agama dilakukan secara intensif. Peran FKUB harus terus ditingkatkan. Selama ini,
keberadaannya lebih bersifat ceremonial dan secara praksis masih terbatas pada daerah
kota/kabupaten, serta belum menyentuh masyarakat pedesaan yang secara kultur masih
berwawasan sempit sehingga mudah dipengaruhi, digiring, dimobilisasi, untuk melakukan
tindakan kekerasan atas nama agama.
Melalui paper ini, dapat disampaikan berbagai pandangan mengenai kemajemukan
yang menjadi bagian dari realitas masyarakat dunia, yakni masyarakat yang beraneka ragam, baik
agama, suku, daerah, adat kebiasaan dan sebagainya. Dalam suasana kemajemukan seperti ini
diharapkan tumbuh sikap saling menerima sebagaimana adanya, komunikasi semakin intensif,
tumbuh sikap bersama yang sehat, mengakui segi-segi kelebihan orang lain dan mendorong
sama-sama melakukan kebajikan dalam masyarakat. Perbedaan yang ada diterima dalam
kerangka perbedaan atau setuju dalam perbadaan. Pluralitas dipandang sebagai sesuatu yang
wajar. Tidak ada hidup tanpa pluralitas dalam arti antar ummat, kecuali kota tertentu seperti
Vatikan dan Makkah. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap segala
perbedaan, dan pluralis, harus ditanamkan sejak usia dini melalui lembaga pendidikan baik
formal maupun non formal. Menurut saya (penulis), ini menjadi tugas orang tua dan pemerintah
dengan cara melakukan reevaluasi proses pendidikan dan pengajaran akidah baik ditingkat
sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi, menyangkut materi, guru, dan dosen yang
mengampu mata pelajaran/kuliah tersebut. Guru dan dosen harus benar-benar mempunyai
wawasan yang luas dan keahlian dibidang tersebut.
Guru dan dosen diwajibkan dapat membentuk sikap sebagaimana dimaksud bagi
siswa/mahasiswa yang diajar dan dididiknya. Menurut saya (penulis), reevaluasi ini sangat
penting mengingat selama ini telah terjadi kesalahan dalam proses pendidikan dan pengajarannya
sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam membentuk sikap toleran, akomodatif, terbuka
terhadap segala perbedaan belum sepenuhnya berhasil. Misalnya guru mata pelajaran akidah
adalah lulusan syari’ah bukan lulusan ushuludin dengan konsentrasi akidah filsafat. Menurut saya
10

(penulis) ini juga termasuk dari kesalahan kebijakan Departemen Agama sebagai kepanjangan
tangan pemerintah. Mestinya perekrutan guru itu harus terbuka, yang diterima mendaftar tidak
hanya lulusan tarbiyah, tetapi juga lulusan syari’ah, dakwah, dan ushuluddin, sesuai dengan
keahlian masing-masing. Karena mata pelajaran agama Islam banyak jumlahnya. Jika ini
dilakukan, maka harus ada kebijakan baru mengenai perekrutan tenaga pengajar dan kurikulum
yang di ajarkan di fakultas-fakultas yang ada di lingkup Perguruan Tinggi Agama, yakni dengan
menambah mata kuliah tentang kependidikan di fakultas selain selain tarbiyah. Sehingga lulusan
selain tarbiyah juga mempunyai wawasan tentang kependidikan dan kepengajaran yang baik.
Menurut saya (penulis), guru/dosen ilmu tauhid di perguruan tinggi harus doktor sedangkan di
sekolah dasar/menengah harus magister, sebagai parameter mereka ahli dibidangnya dan
mempunyai kemampuan untuk mantransformasikan sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap
segala perbedaan, kepada peserta didiknya. Keempat, membuka forum kajian mengenai agama-
agama yang melibatkan semua agama yang diakui dan berhak hidup dan berkembang di negeri
ini.
Dalam paper ini dapat dikembangkan kajian mengenai teologi agama-agama di
dunia yang selama ini mungkin masih dianggap tabu, karena sudah masuk dalam ranah dasar
agama. Dengan adanya dialog teologi ini para pengikut agama semakin memahami dan mengerti
konsep dasar teologi agamanya sendiri dan pada saat yang sama juga mengenal dan memahami
konsep dasar teologi agama lainnya. Menurut saya (penulis), dengan cara ini sikap saling
pengertian dan hormat menghormati semakin bertambah.
II.5 Sikap Orang Sunda terhadap pluralitas agama
Alur pandangan hidup orang Sunda diasumsikan bahwa sejak awal mula Orang
Sunda telah bertoleransi dengan siapa saja asalkan Visi dan Misi mereka sealur dengan
pandangan hidup Orang Sunda. Karena alur pikir Rawayan Jati terdiri atas 7 strata yang dalam
Bahasa Sunda dikenal dengan Sapta Mandala Panta-Panta yang dapat diartikan sebagai tujuh
tingkat/maqomat/terminant yang sakral. Maka pada setiap tingkat/mandala akan bersentuhan
dengan orang-orang yang berlainan agama/religinya. Karenanya Orang Sunda, tidak menjadikan
masalah yang mengganggu, asal saja mereka ada keselarasan dalam beberapa Mandala yang
bertahap tadi.
11

Toleransi kebersamaan yang paling awal dalam bermasyarakat adalah starata
Mandala Paling Bawah yakni prinsip manusia yang 4 R. Bila dalam kehidupan keseharian telah
terwujud, maka dengan siapa dan agama apa pun, Orang Sunda bisa bertoleransi yang merupakan
pengejawantahan dari pluralitas suku/agama. Sebenarnya konsep Rawayan Jati ini bisa berlaku
umum maupun pribadi. Inilah alur yang dikatakan orang sebagai Filsafat Perenial, yakni
Kerinduan Abadi, Tao, Brahman. Jawidan Khirad, Universal Agreement, Tradisi Primordial,
Filsafat Toleransi. Pandangan hidup Orang Sunda Rawayan Jati inilah yang saya (penulis)
anggap mendasari sikap toleransi Orang Sunda dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Pengkajian secara cermat dan tawadhu harus mencakup tiga tataran fondamental yaitu:
Kajian mengenai alam idea Orang Sunda dimana hal ini merupakan fondasi.
Kajian normatif masyarakat sunda sekaligus rambu dan pilar-pilar budaya.
Kajian perilaku budaya orang Sunda sebagai assesoris kebudayaan.
Dengan paradigma bersendikan Islam dalam berbagai tataran religius, Orang
Sunda harus tetap menyiasati agar tetap terjaga Islaminya. Untuk mewujudkan masyarakat Sunda
yang Madani dan Mardotillah, berikut adalah beberapa aspek Budaya Sunda yang
menggambarkan hasil sentuhan budaya religi, diantaranya :
Dari Agama Budha. Cukup banyak norma-norma hidup (peraturan hidup/etika hidup,bukan
ideanya) yang diambil dari khazanah Agama Budha, misalnya muatan yang terkandung dalam
Naskah Sewaka Darma, Siksa Kanda’ng Karesian dan Kawih Paningkes. Dalam hal ini yang
diserap hanya sebatas Etika Hidup serta diwujudkan dalam banyak aturan perilaku hidup seperti
dalam hal berkesenian dan berkebudayaan.
Dari Agama Hindu. Antara lain yang diserap adalah istilah dewa-dewi. Tetapi itupun diletakkan
di bawah Hyang yang berarti mahluk gaib versi kepercayaan Sunda. Ngahiyang, yang dapat
diterapkan pada sistem pemerintahan, upacara dan lain sebagainya.
Dari Kepercayaan Kejawen. Bila kejawen diartikan sebagai “abangan”, maka pengaruh yang
memasuki pandangan hidup Orang Sunda, yaitu pada tataran “adat kepercayaan” hal ini
merupakan imbas terhadap peri laku yang disebut tirakatan dengan nuansa Kejawen seperti
halnya kungkum atau berendam, matigeni, dan perilaku lainnya. Dalam norma kehidupanpun ada
12

pula pengaruhnya. Misalnya saja di beberapa tempat ada kebiasaan untuk mengadakan perayaan
1 Syuro. Konsep yang bernuansa Budaya Jawa yang Islami pun banyak ditemui; misalnya konsep
Manunggaling Kaula Gusti (Dewaruci), Ngelmu (biasa menggunakan Bahasa Jawa - Arab).
Tetapi yang perlu dibedakan adalah istilah Kejawen (Ka-Jawi-An) dengan Kasundaan. Pengertian
Kasundaan lebih mengacu kepada Etika Hidup, Perilaku Berkehidupan, tidak diartikan sebagai
Aliran Kepercayaan. Contohnya dalam penggunaan kalimat : “Kudu Nyunda atuh! Henteu
Nyunda kalakuan kitu mah! Kumaha ari Sundana!”
Dari Agama Islam. Pengaruh dan daya akulturasi dari Agama Islam sangat mewarnai dan
menjiwai sebagian besar idea, norma dan perilaku Orang Sunda. Hal ini merupakan bias dari
berbagai kejadian, sejauh mana kesejajaran dari Idea/Norma dan Perilaku Islam dengan Rawayan
Jati sebagai konsep pandangan hidup Orang Sunda.
Dari Agama Kristen. Bila kita perhatikan mungkin hanya sebatas perilaku dan sedikit mengenai
norma-norma. Tidak menjangkau tataran idea, yang merupakan fondasi keimanan yang paling
mendasar.
Satu bukti artefak/situs yang unik dan menunjukkan bagaimana toleransi Orang
Sunda dalam berkehidupan religi, terdapat di Candi Cangkuang – Garut. Menurut para ahli,
Candi Cangkuang itu satu-satunya candi yang ada di Tatar Sunda.
Fondasinya berstrukturkan pengaruh Budha (seperti halnya Candi Borobudur)
Arsitektur beserta arca atau patungnya dipengaruhi Hindu berupa Patung Syiwa
Di sisinya bersandar makam Syeh Arif Muhammad Penyebar Agama Islam pada masa
abad ke 17/18.
Situs ini terletak di Kampung Pulo yang bersendikan adat Khas Sunda apabila dilihat dari
tata letak kampung, peraturan adat yang semuanya bercirikan khas Sunda.
Di situs Candi Cangkuang pengaruh empat religi bisa berdampingan begitu indah
dan damai. Hanya bila kita perhatikan dengan seksama ada sesuatu yang dapat mengundang
tanda tanya karena disini tidak tergambarkan sentuhan suasana Nasrani. Selain itu juga perlu
dikaji aspek Budaya Sunda yang merupakan hasil sinkretisme dan akulturasi dari religi lainnya.
13

14

III. KESIMPULAN & SARAN
Berdasarkan ulasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagaimana
dijelaskan di bawah ini :
- Pertama, kesadaran umat beragama tentang pluralitas agama masih rendah, dengan bukti,
pertama, masih terjadinya toleransi basa-basi antar pemeluk agama.
- Kedua, masih adanya konflik dan perang antar agama.
- Ketiga, adanya klaim kebenaran. Pluralitas agama masih dipahami sebagai sumber
bencana, konflik, serta anti integrasi sosial.
- Keempat, pluralitas agama harus diyakini sebagai bagian dari realitas dunia dan sosial. Ia
menjadi nalar baku yang harus diterima oleh setiap umat agama manapun. Menolak nalar
baku berarti menolak realitas dan berarti lari dari kenyataan hidup dan ayat-ayat kawniyah
Tuhan, Sang Pencipta pluralitas itu sendiri. Juga berarti menegasikan eksistensi
kemanusiaannya sendiri, yakni sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.
Dalam hidup seseorang tidak mungkin terlepas dari interaksi dengan orang lain. Karena
itu, pluralitas agama harus dikaji dan dimanfaatkan dalam konteks mengkaitkan secara
positif kedua realitas tersebut.
- Kelima, ketidakmampuan mengelola kedua realitas tersebut mendorong pelembagaan dan
pembudayaan sikap serta perilaku individual dan sosial untuk melakukan pembenaran
terhadap kepentingan keyakinan keagamaannya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan
umat agama lain. Akibatnya muncul sikap tidak toleran dan tidak siap menerima
kehadiran yang lain. Sikap demikian menjadi pemicu konflik agama di berbagai belahan
dunia termasuk Indonesia.
- Keenam, sikap dan pandangan keberagamaan masyarakat Indonesia masuk kategori sikap
dan pandangan eksklusif dengan indikasi adanya nalar agama yang tidak toleran, tidak
akomodatif terhadap segala perbedaan, serta lebih suka mencari titik perbedaan, yang
lebih cenderung menegasikan integrasi sosial. Akibatnya, pluralitas agama menjadi
sesuatu yang terkorbankan.
- Ketujuh, untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media integrasi sosial dalam
kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka harus dilakukan upaya
kongkrit untuk merubah sikap dan pandangan keagamaan masyarakat Indonesia yang
semula eksklusif menjadi pluralis. Pertama, keharusan menggunakan metode dan
15

pendekatan yang beragam dalam melakukan studi agama. Kedua, keharusan
mengintensifkan dialog antar agama secara terstruktur dan terjadwal dengan baik. Tidak
hanya sekedar melakukan dialog ketika telah terjadi ketegangan dan bentrokan antar
pengikut agama. Dialog antar agama yang selama ini dilakukan umumnya ketika sudah
dalam kondisi tersebut. Ketiga, penanaman sikap toleran, akomodatif, terbuka terhadap
segala perbedaan, serta pluralis, harus ditanamkan sejak usia dini melalui lembaga
pendidikan baik formal maupun non formal. Tugas ini menjadi kuwajiban orang tua dan
pemerintah dengan cara melakukan reevaluasi terhadap materi akidah ditingkat
pendidikan dasar, menengah, maupun kurikulum perguruan tinggi, proses pendidikan dan
pengajaran, dan perekrutan tenaga pengajar serta keahliannya. Keempat, membuka forum
kajian mengenai agama-agama yang melibatkan semua agama yang diakui dan berhak
hidup dan berkembang di negeri ini.
- Ada kata bersayap dalam buku Tafsir Kebudayaan (Clifford Geertz, 1992) orang Bali
berkata “Sungguh aneh kalau orang Bali tidak beragama Hindu”. Sedangkan bagi Orang
Sunda ada pemeo: “Kacida anehna lamun Orang Sunda henteu ngagem Agama Isalam”.
Meskipun Orang Sunda bisa bertoleransi terhadap pluralitas agama, tetapi dalam keluarga
harus tetap satu keimanan yakni Iman Islam.
Adapun saran-saran yang akan saya sampaikan dari ulasan diatas, yaitu :
- Pertama, hargailah pluralitas agama yang ada saat ini dan yang akan datang sehingga
kehidupan yang kita jalani hari lepas hari dapat berlangsung dengan tertib, harmonis, dan
sejahtera tak ada konflik yang mengganggu.
- Kedua, jika terjadi konflik lebih baik diselesaikan dengan cara kekeluargaan sehingga
tidak terjadi perpecahan. Dan semoga paper yang saya buat ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membaca dan memperhatikannya.
Ada pepatah mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, oleh karena itu,
mohon maaf apabila ada kesalahan kata, atas perhatian Anda kami mengucapkan terima
kasih.
16

DAFTAR PUSTAKA
B.M. Rahman, Religy, Shahidur, 2001.
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, terj oleh Sukino, Graha Mulia, Jakarta, 1992.
Hugh Goddard, Christians & Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding, 1995.
John Harwood Hicks, God and the Universe Faiths, 1973.
Michael H.Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj oleh H. Mahbub
Djunaidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 1987.
S. Hidayat, Profetika, Pusdiklat, Jakarta, 1999.
Kitab suci Agama Kristen Alkitab, LAI, Lembaga Alkitab Indonesia, 1974
Pidato G.Bush tentang perang Amerika-Irak, http://www.google.co.id/, diakses pada Kamis, 12
Agustus 2010 pk 10.00 wib.
Tesis Samuel P. Huntington tentang Clash of Civiization, http://www.google.com/, diakses pada
Kamis, 12 Agustus 2010 pk 10.00 wib.
Adian Husaini, Pluralitas agama sebagai realitas dunia dan toleransi, http://www.insistnet.com/,
diakses pada Kamis, 12 Agustus 2010 pk. 10.00 wib.
Milis Kisundan, Sikap hidup Orang Sunda, http://www.sundanet.mail.everyone.net/, diakses pada
Kamis, 12 Agustus 2010 pk. 10.00 wib.
17