intestinal atresia

22
BAB I PENDAHULUAN Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana terjadi penyempitan atau tidak terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum, jejunum, ileum, dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus Beberapa teori mengenai etiologi atresia intestinal pada model binatang. Studi pada model tikus menunjukkan bahwa beberapa bentuk atresia mungkin bersifat herediter dan akibat dari disregulasi proliferasi dan apopts pada perkembangan usus melalui jalur fibroblast growth factor. Untuk saat ini, teori yang paling diterima mengenai etiologi dari atresia jejunoileal adalah “kecelakaan” vaskuler intrauterin yang mengakibatkan nekrosis dari segmen yang terkena dampak. Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus akibat atresia intestinal adalah tindakan pembedahan 1

Upload: satriowcsn

Post on 26-Dec-2015

105 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Atresia

TRANSCRIPT

Page 1: Intestinal Atresia

BAB I

PENDAHULUAN

Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana terjadi

penyempitan atau tidak terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum,

jejunum, ileum, dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus

Beberapa teori mengenai etiologi atresia intestinal pada model binatang. Studi pada

model tikus menunjukkan bahwa beberapa bentuk atresia mungkin bersifat herediter dan

akibat dari disregulasi proliferasi dan apopts pada perkembangan usus melalui jalur fibroblast

growth factor. Untuk saat ini, teori yang paling diterima mengenai etiologi dari atresia

jejunoileal adalah “kecelakaan” vaskuler intrauterin yang mengakibatkan nekrosis dari

segmen yang terkena dampak. Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus akibat atresia

intestinal adalah tindakan pembedahan

1

Page 2: Intestinal Atresia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Atresia intestinal atau atresia usus adalah suatu malformasi dimana terjadi

penyempitan atau tidak terbentuknya lumen usus. Defek ini dapat terjadi di duodenum,

jejunum, ileum, dan colon. Atresia intestinal ini paling sering terjadi di usus halus2.

Epidemiologi

Tempat paling sering terjadinya atresi intestinal adalah usus halus (jejunum dan

ileum). Insiden atresia jejunum dan ileum 1500 sampai 5000 kelahiran. Perbandingan

laki-laki dan perempuan adalah sama. Namun rata-rata berat lahir paling sering

dilaporkan sekitar 2,7 kg, sekitar 33% pasien dengan atresia jejenum, 25% dengan atresia

ileum, dan 50% pasien dengan atresia multipel memiliki berat badan lahir rendah2,3.

Atresia duodenum terjadi satu dari 20.000 sampai 40.000 kelahiran. Sekitar 30% bayi

dengan atresia intestinal menderita Down Syndrome4.

Klasifikasi

Pembagian atresi intestinal berdasarkan letak terjadinya malformasi, yaitu2,4:

a. Atresia duodenum

Atresia ini terjadi pada duodenum. Duodenum merupakan bagian pertama dari

usus halus yang menerima makanan dari hasil

pengosongan lambung. Atresia duodenum ini terjadi 1 dari tiap 2.500 kelahiran hidup.

Setengah dari bayi dengan kondisi ini lahir prematur dan sekitar dua per tiga

memiliki hubungan dengan kelainan jantung, genitourinarius, dan saluran cerna.

Hampir 40% menderita Down Syndrome. Bayi dengan atresia duodenum biasanya

datang dengan muntah dalam beberapa jam setelah lahir2,4.

Gambar 7 Atresia Duodenum

2

Page 3: Intestinal Atresia

b. Atresia jejunoileal

Atresia jejunoileal terjadi obstruksi pada bagian tengah usus halus (jejunum) atau

bagian bawah usus halus (ileum). Segmen usus proksimal dari obstruksi menjadi

membesar (dilatasi), sehingga menghalangi kemampuan usus untuk mengabsorpsi

nutrisi dan mendorong isi lumen melewati saluran cerna. Sepuluh sampai lima belas

persen bayi dengan atresia jejunoileal, bagian dari usus mati selama perkembangan

fetus. Terdapat persentase yang signifikan bayi dengan kondisisi ini dengan adanya

kelainan rotasi dan fiksasi usus. Fibrosis kistik juga merupakan kelainan yang

berhubungan dan dapat menjadi komplikasi serius dalam manajemen atresia

jejunoileal. Bayi dengan atresia jejunoileal harus dilakukan skrining untuk fibrosis

kistik2,4.

Terdapat 4 subtipe atresia jejunoileal:

Atresia tipe I – mukosa dan submukosa usus membentuk suatu membran (web)

sehingga menyebabkan obstruksi. Usus biasanya memiliki panjang yang normal2,4.

Atresia tipe II – dilatasi usus bagian proksimal dengan ujung akhirnya buntu,

dihubungkan dengan bagian distal usus oleh jaringan fibrotik. Usus berkembang

sesuai dengan panjang yang normal2,4.

Atresia tipe IIIa – pada tipe ini mirip seperti tipe II, dimana terjadi dilatasi pada

bagian proksimal usus dengan ujung yang buntu, namun pada tipe IIIa tidak

dihubungkan oleh jaringan fibrotik dan terjadi defek pada mesenterika. Proksimal

usus yang buntu ini ditandai dengan adanya dilatasi dan aperistaltik. Pada tipe ini

terjadi pemendekan usus2,4.

Atresia tipe IIIb – pada tipe IIIb selain terjadi defek yang besar pada mesenterium,

usus juga memendek secara signifikan. Tipe IIIb ini dikenal juga sebagai

Christmas tree deformity atau apple peel deformity, bagian usus yang mengalami

atresia melilit mengelilingi sisa mesenterium. Usus bagian distal diperdarahi oleh

arteri ileocolica dan arteri colica kanan karena arteri mesenterica superior tidak

ada. Prematuritas, malrotasi, dan sindrom usus pendek berhubungan dengan tipe

ini, dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas2,4.

Atresia tipe IV – pada tipe ini terjadi obstruksi multipel pada beberapa bagian

usus. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pemendekan usus2,4.

3

Page 4: Intestinal Atresia

Gambar 8. Tipe atresia intestinal

c. Atresia kolon

Atresia kolon bentuk atresia yang jarang terjadi yaitu 15% dari seluruh bentuk

atresia. Usus mengalami dilatasi masif, dan pasien menunjukkan tanda dan gejala

yang sama seperti atresia jejunoileal4.

Etiologi dan Patogenesis

Teori Vascular Insufficiency

Beberapa teori mengenai etiologi atresia intestinal pada model binatang. Studi pada

model tikus menunjukkan bahwa beberapa bentuk atresia mungkin bersifat herediter dan

akibat dari disregulasi proliferasi dan apopts pada perkembangan usus melalui jalur

fibroblast growth factor. Untuk saat ini, teori yang paling diterima mengenai etiologi dari

atresia jejunoileal adalah “kecelakaan” vaskuler intrauterin yang mengakibatkan nekrosis

dari segmen yang terkena dampak5.

4

Page 5: Intestinal Atresia

Gambar 9. Patogenesis atresia intestinal, Teori Vascular Insufficiency

Tandler's Theory

Pada tahun 1902 Tandler menunjukkan bahwa duodenum melalui fase solid selama

perkembangan embriologi. Fase ini karena adanya proliferasi epitelial pada minggu ke-5

dan kemudian akan mengalami obliterasi pada seluruh lumennya. Lumen terbentuk oleh

vakuolisasi yang menyatu dan selesai pada akhir minggu ke-8. Tandler menyatakan pada

atresia duodenum gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi

endodermal yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau

kegagalan rekanalisasi pita padat epitelial (kegagalan proses vakuolisasi).

Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam usia

kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara sempurna. Proses

selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami

rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel

terprogram, yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum5,6.

5

Page 6: Intestinal Atresia

Gambar 10. Patogenesis Atresia Duodenum.

Manifestasi Klinis

Obstruksi usus pada neonatus sering manifestasi dengan beberapa tanda kardinal,

antara lain polihidramnion maternal, bilious vomiting, distensi abdomen, dan kegagalan

mekonium keluar dalam jumlah normal pada 24 sampai 48 jam pertama kehidupan.

Walaupun tidak ada tanda diatas yang merupakan patognomonik untuk obstruksi

spesifik, semua hal tersebut sesuai dengan fenomena obstruksi dan memiliki indikasi

untuk dilakukan pemeriksaan penunjang3

Polihidramnion adalah peningkatan cairan amnion pada kantong amnion (>2000ml).

Cairan amnion, 25% sampai 40% ditelan oleh fetus (pada bulan keempat atau kelima)

dan diserap pada 25 sampai 30 cm pertama dari panjang jejunum. Atresia jejunum

berhubungan dengan adanya polihidramnion pada 24% kasus. Walaupun ada beberapa

keadaan fetus yang meyebabkan polihidramnion, setiap wanita hamil dengan

polihidramnion harus melakukan pemeriksaan ultrasonografi secara rutin. Prenatal

ultrasonografi dapat mengidentifikasi adanya obstruksi usus halus yang berhubungan

dengan atresia, volvulus, dan pritonitis mekonium. Dengan adanya hal tersebut dapat

mengantipasi dan melakukan rencana manajemen yang tepat saat bayi tersebut lahir3.

6

Page 7: Intestinal Atresia

Bilious vomiting adalah salah satu tanda cardinal dan selalu bersifat patologik.

Adanya cairan empedu pada aspirasi gaster harus diperiksa ataupun diselidiki secara

hati-hati. Lambung bayi yang baru lahir biasanya mengandung kurang dari 15 mL getah

lambung/gastric juice yang jernih saat lahir. Jika lebih dari 20 sampai 25 mL getah

lambung yang jernih atau sedikit saja getah empedu menandakan adanya obstruksi usus.

Bilious vomiting juga dapat terlihat pada neonatal sepsis dengan adinamik ileus. Ketika

obstruksi mekanik terjadi, adanya getah empedu menandakan tingkat obstruksi di bagian

distal ampula Vateri. Bilious vomiting terjadi pada 85 % bayi dengan atresia jejunum dan

lebih sedikit pada atresia ileum3.

Jaundice terjadi lebih dari 30% bayi dengan atresi jejunum dan 20% pada atresia

ileum dan biasanya berhubungan dengan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi.

Distensi abdomen salah satu tanda obstruksi terjadi pada bagian usus yang lebih distal.

Kontur atau bentuk normal abdomen pada bayi baru lahir adalah bulat/round, berbeda

pada dewasa yang berbentuk skapoid. Pada pemeriksaan fisik yang berhubungan dengan

adanya distensi abdomen antara lain terkihatnya vena dari dinding abdomen yang tipis,

terlihatnya lekukan usus (intestinal patterning) dengan atau tanpa terlihatnya peristaltik

dan terkadang terdapat distres pernapasan akibat peninggian diafragma3.

Ketika obstruksi dicurigai, foto abdominal harus dilakukan untuk mengevaluasi

penyebab distensi3.

Salah satu lagi tanda obstruksi usus adalah kegagalan mekonium lewat secara spontan

dalam 24 sampai 48 jam pertama kehidupan. Mekonium normal terdiri dari cairan

amnion dan debris (skuama,rambut lanugo), succus entericus, mukus untestinal.

Mekonium berwarna hijau gelap atau hitam dan lengket, serta 250 g melewati rectum.

Kegagalan melewati pada hari pertama kehidupan sering merupakan suatu keadaan

patologik3.

Diagnosis

Pada atresia intestinal dari manifestasi klinis di atas yang didapat dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik, diperlukan juga beberapa pemeriksaan3.

Pada atresia duodenum pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam posisi tegak akan

terlihat gambaran double bubble. Bila pada foto hanya terlihat satu gelembung udara,

mungkin sekali gelembung duodenum terisi penuh cairan atau gambaran gelembung

duodenum dan lambung dalam proyeksi tumpang tindih. Foto ulang dengan sebelumnya

7

Page 8: Intestinal Atresia

dilakukan pengisapan cairan lambung dan duodenum atau dibuat foto dengan proyeksi

lateral2,3.

Diagnosis atresia jejunoileal umumnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan abdominal

x-ray 3 posisi. Atresia jejunum yang tinggi terlihat adanya sedikit air-fluid level dan

tidak adanya gambaran udara mulai dibawah titik tersebut. Atresia yang letaknya lebih

distal, distensi abdomen terlihat secara klinik dan gambaran intestinal loop dan air-fluid

level. Intestinal loop pada usus yang mengalami atresia lebih besar dari pada bagian usus

yang normal2,3.

Foto kontras barium enema dapat memperlihatkan perbedaan antara distensi ileum

dan kolon, melihat apakah kolon pernah terpakai atau tidak/ unused (mikrokolon) dan

dapat pula mengevaluasi lokasi sekum untuk kemungkinan kelainan rotasi usus3.

Gambar 11. A. foto polos abdomen pada bayi dengan bilious vomiting menunjukkan

dilatasi usus dengan air fluid level, B. Tipe I atresia jejunum.

Penatalaksanaan

Secara umum tatalaksana awal pasien dengan obstruksi usus adalah mengatasi

dehidrasi dan gangguan elektrolit, dekompresi nasogastrik atau orogastrik dengan ukuran

yang adekuat, pemberian antibiotik intravena. Termoregulasi, pencegahan terhadap

hipotermi penting sekali pada pasien pediatrik khususnya pasien neonatus. Tidak boleh

dilupakan untuk identifikasi kemungkinan adanya kelainan penyerta bila penyebab

obstruksi adalah kelainan kongenital. Harus selalu diingat bahwa setiap kelainan

kongenital dapat disertai kelainan kongenital lain, sehingga perlu dicari karena mungkin

8

Page 9: Intestinal Atresia

memerlukan penanganan secara bersamaan. Perkiraan dehidrasi baik dari muntah atau

sekuestrasi cairan akibat obstruksi usus perlu dihitung dan diganti. Dengan sedikit

pengecualian, dehidrasi yang ditimbulkan obstruksi usus biasanya berupa dehidrasi

isotonik, sehingga cairan pengganti yang ideal yang mirip cairan ekstraselular adalah

Ringer asetat.

Nasogastic tube (NGT) atau orogastrik tube(OGT) dengan ukuran yang adekuat

sangat bermanfaat untuk dekompresi dan mencegah aspirasi. Orogastric tube lebih

dipilih untuk pasien neonatus karena neonatus bernapas lebih dominan melalui lubang

hidung3.

Antibiotik intravena untuk bakteri-bakteri usus hampir selalu perlu diberikan pada

pasien-pasien yang mengalami obstruksi usus. Antibiotik ini dapat bersifat profilaktif

atau terapeutik bila lamanya obstruksi usus telah memungkinkan terjadinya translokasi

flora usus2,3.

Tatalaksana Bedah

Secara umum tatalaksana pasien obstruksi usus akibat atresia intestinal adalah

tindakan pembedahan3.

Pada obstruksi setinggi duodenum insisi transversal supraumbilikus memberikan

akses terbaik untuk mencapai duodenum. Pilihan tindakan tergantung situasi anatomis

intraoperatif. Pada obstruksi yang disebabkan oleh atresia atau pankreas annulare,

duodeno-duodenostomi adalah pilihan tindakan bedah terbaik. Sebaiknya

duodenojejenostomi tidak dilakukan karena dengan tehnik ini bagian distal duodenum

dieksklusi dan dianggap prosedur yang tidak fisiologis. Sedangkan bila penyebab

obstruksinya berupa duodenal web atau diafragma duodenum, duodenotomi vertikal dan

eksisi dari web tersebut (septectomy) adalah pilihan terbaik. Setelah prosedur tersebut

perlu dilakukan penilaian ulang kemungkinan adanya obstruksi tambahan lainnya dengan

cara melewatkan kateter 8 fr ke proksimal dan distal. Bila telah yakin tidak ada obstruksi

lainnya maka duodenotomi segera dijahit kembali3.

Pada obstruksi jejunoileal insisi transversal supra umbilikal juga merupakan

akses terpilih. Prosedur operatif tergantung pada temuan patologi, seperti tipe atresia,

panjang usus, ada tidaknya perforasi usus, malrotasi dan volvulus, mekonium peritonitis,

mekonium ileus. Dilakukan eksplorasi, bila terdapat perforasi seluruh rongga abdomen

diirigasi dengan NaCl hangat, semua debris dibersihkan, adhesi dilepaskan dan sebisanya

semua usus dieksteriorisasi. Inspeksi dilakukan mulai dari duodenum sampai sigmoid

9

Page 10: Intestinal Atresia

untuk mencari area atresia lainnya, ada tidaknya kelainan penyerta seperti malrotasi, atau

mekonium ileus yang memerlukan koreksi pada saat bersamaan.

Prosedur operatif atresia jejunoileal pada umumnya adalah reseksi-anastomosis.

Berdasarkan sejarah dan bukti-bukti eksperimental prosedur yang dianjurkan

berkembang dari eksteriorisasi menjadi anastomesis side-to-side, kemudian end-to-end

atau end-to-side, dan terakhir : reseksi segmen atretik proksimal yang dilatasi dan

hipertofi  diikuti anastomosis end-to-end/ end-to-back dengan atau tanpa tailoring

segmen proksimal dan juga end-to-oblique. Perlu diingat bahwa segmen atresia

proksimal yang berdilatasi dan hipertrofi dapat menyebabkan kembalinya fungsi

peristaltik yang terlambat setelah koreksi anastomosis sehingga reseksi bulbus proksimal

segmen atretik perlu dilakukan agar hasilnya memuaskan3.

RESEKSI ANASTOMOSIS

Terdapat beberapa teknik anastomosis yang telah ditemukan. Prosedur tersebut

diklasifikasikan menjadi 2 tipe: (1) pelebaran kaliber usus bagian distal yang mengecil

dan (2) mengurangi kaliber usus bagian proksimal yang membesar. Anastomosis end-to-

back, end-to-side, dan end-to-oblique merupakan jenis tipe pertama, dan enteroplasty

diikuti dengan anastomosis end-to-end merupakan tipe kedua. End-to-back anastomosis

menunjukan baik masalah teknik maupun obstruksi fungsional post-operatif anastomosis

jika kaliber rasio antara segmen proksimal dan segmen distal usus yang mengalami

atresia tidak besar. Namun, rasio kaliber meningkat deviasi aksis longitudinal antara

proksimal dan distal usus secara bertahap menjadi mendekati 90o, menyerupai

anastomosis end-to-side yang dengan mudah menghasilkan obstruksi fungsional.

Sepertinya akan sangat sulit untuk melakukan fungsional end-to-back anastomosis dalam

kasus di mana rasio kaliber lebih dari 4.3

Anastomosis End to end

Umumnya dilakukan insisi tranverasal supraumbilikus pada kuadran kanan atas.

Abdomen dieksplorasi, dan level obstruksi dan tipe obstruksi ditentukan. Dilakukan

diseksi pada ruang antara pembuluh darah mesenterium dari segmen distal usus yang

mengecil. Diseksi secara tumpul sampai tepi mesenterik usus, peritoneum dibebaskan

dari mesenterium yang telah dipotong, memberikan akses ke vascular plane.

10

Page 11: Intestinal Atresia

Insisi 2 cm dilakukan pada ujung buntu dari proksimal usus yang mengalami dilatasi di

sudut kanan mengarah ke mesenterium. Dilanjutkan dengan jahitan interupted satu lapis

dengan benang poliglikolat 5-0.3

Gambar 12. Peritoneal dibebaskan sampai mendekati tepi usus bagian distal yang

mengalami atresia

Gambar 13. Usus bagian distal yang mengecil dan buntu dipotong melalui tepi

mesenterium usus yang telah dipotong. Insisi pada ujung buntu proksimal usus pada

sudut kanan mengarah ke mesenterium.

Anastomosis End-to-oblique

Dilakukan insisi tranverasal supraumbilikus pada kuadran kanan atas. Abdomen

dieksplorasi, dan level obstruksi dan tipe obstruksi ditentukan.

11

Page 12: Intestinal Atresia

Dilakukan reseksi pada segmen proksimal usus yang mengalami dilatasi pada pasien

dengan panjang usus yang mendekati normal. Pada bagian proksimal dilakukan reseksi

dengan sudut 90o dari sumbu panjang usus dan pada bagian distal 45o. Kemudian

dilakukan penjahitan. Pada bagian distal usus harus dilakukan evaluasi untuk menilai

masih adanya atresia atau stenosis dengan menggunakan kateter yang dilalui oleh larutan

normal saline.

Gambar 14. Anastomosis end-to-oblique.

Tatalaksana Pasca Operatif Obstruksi Usus

Meskipun laparotomi pada bayi atau anak memberikan stres yang signifikan kepada

pasien, kebanyakan pasien berangsur membaik setelah koreksi bedah terhadap penyebab

obstruksi ususnya. Pada periode pasca operatif awal, gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit, metabolisme glukosa dan gangguan respirasi biasa terjadi. Kebanyakan bayi

yang menjalani operasi laparotomi biasanya mengalami sekuestrasi cairan ke rongga

ketiga dan ini memerlukan tambahan jumlah cairan pada periode pasca operatif.

Kebutuhan pemeliharaan disesuaikan dengan kondisi pasien. Semua kehilangan cairan

tubuh harus diperhitungkan. Kehilangan cairan melalui muntah, NGT, ileostomi, atau

jejenostomi harus diganti sesuai volume yang hilang. Swenson menyebutkan untuk

berhati-hati dalam instruksi pasca operasi. Tidak ada istilah ‘rutin’ dalam intruksi pasca

operasi terhadap bayi atau anak. Semua dosis obat, elektrolit atau cairan untuk terapi

harus dikalkulasi secara individual dengan mempertimbangkan berat badan, umur atau

kebutuhan metabolik3.

12

Page 13: Intestinal Atresia

Dekompresi nasogastrik dengan ukuran yang adekuat sampai tercapai fungsi usus yang

normal merupakan bantuan yang tak dapat dipungkiri dalam dekompresi bagian

proksimal usus dan fasilitasi penyembuhan anastomosis usus. Ileus hampir selalu terjadi

pada pasien pasca operasi dengan obstruksi usus. Pada atresia duodenum atau atresia

jejunoileal misalnya, ileus yang memanjang dapat terjadi lebih dari 5 hari. Swenson

menyebutkan pulihnya fungsi duodenum dapat lambat sekali bila duodenum sangat

berdilatasi. Cairan berwarna hijau dapat keluar dari nasogastrik dalam periode waktu

yang memanjang. Hal ini disebabkan bukan hanya karena edema di daerah anastomosis

tetapi juga karena terganggunya peristaltik pada segmen duodenum proksimal yang

mengalami dilatasi hebat. Kesabaran yang tinggi sangat diperlukan sebelum memutuskan

re-operasi pada bayi dengan ‘obstruksi’ anastomose, karena diskrepansi ukuran lumen

atau disfungsi anastomosis yang bersifat sementara dapat menyebabkan ileus yang

memanjang3.

Permulaan asupan melalui oral dengan air gula / dextrose dapat dimulai bila drainase

gaster mulai berkurang atau warnanya mulai kecoklatan atau jernih yang kemudian

diikuti oleh susu formula (progestimil, isomil) secara bertahap. Bila program feeding

tersebut tidak bisa diterima pasien atau terdapat ileus yang memanjang maka  nutrisi

parenteral perlu dipertimbangkan dalam menjaga kecukupan asupan nutrisi pasca

operasi.

Prognosis

Hasil tergantung pada anomali yang terkait dan berat badan lahir. Prognosis umumnya

baik.

13

Page 14: Intestinal Atresia

BAB III

KESIMPULAN

Atresia merupakan suatu kelainan di mana terjadi absen/tidak terbentuknya suatu

bagian/porsi dari saluran cerna, sehingga membentuk saluran yang buntu. Atresia dapat

terjadi di duodenum, jejunum, ileum dan kolon. Atresia duodenum biasanya berhubungan

dengan sindrom Down. Penyebab terjadinya atresia adalah gangguan vaskular pada saat

embriologi (dalam uterus) terutama pada saat pembentukan saluran cerna, menyebabkan

perfusi dan iskemik sehingga lumen saluran cerna tidak terbentuk dengan baik bahkan

mengalami obliterasi. Selain itu gangguan/oklusi pada arteri mesenterika superior pada masa

embriologi dapat menyebabkan atresia intestinal.

Pada neonatus, atresia yang paling sering terjadi adalah atresia jejunoilealis

danstenosis (okulsi intraluminal yang inkomplet).

Gejala yang timbul pada atresia antara lain distensi abdomen, muntah yang

mengandung empedu, jaundice pada 32% pasien, serta riwayat polyhidramnion

14

Page 15: Intestinal Atresia

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadler,TW. Sistem Pencernaan. Embriologi Kedokteran Langman.Ed.7. Jakarta:EGC.

2. Jones, BA. Intestinal Atresia, Stenosis, and Webs. 2009.

http://emedicine.medscape.com/article/940615-overview. Diakses tanggal: 28 Mei

2014.

3. Rescorla FJ, Grosfeld JL. Intestinal atresia and stenosis. Surgery.

4. Anonim. Intestinal Atresia and Stenosis. 2007.

http://www.cincinnatichildrens.org/health/info/abdomen/diagnose/obstructions.htm.

Diakses tanggal: 28 Mei 2014.

5. Louw J. H. Congenital Intestinal Atresia And Stenosis In The Newborn Observations

On Its Pathogenesis And Treatment.Handout Lecture. University of Cape Town; Head

of the Department of Surgery, Groote Schuur Hospital and Red Cross War Memorial

Children's Hospital, Cape Town.

6. Witmer, LM. Embryological Anatomy of the Gastrointestinal Tract and Related Birth

Defects.2003. http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-witmer/peds-rpac.htm. Diakses

tanggal: 28 Mei 2014.

15