inklusi

38
IMPLEMENTASI INKLUSI Disusun oleh : Alga Nawangsih Fauziyah ( k2309005 ) Goldha Swara Khairunnisaa ( k2309029 ) Ratih Artwiantini Astut ( k2309060 ) FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Upload: pipit-wahyu-pinilih

Post on 05-Dec-2014

94 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: INklusi

IMPLEMENTASI INKLUSI

Disusun oleh :

Alga Nawangsih Fauziyah ( k2309005 )

Goldha Swara Khairunnisaa ( k2309029 )

Ratih Artwiantini Astut ( k2309060 )

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: INklusi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang

Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5

dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama

memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak

pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal)

dalam pendidikan.

Act of The Republic of Indonesia No. 20 Year 2003 on National

Education System, Article 5, and 32 :

ayat (2) : Warga negara yang mempunyai KELAINAN FISIK, EMOSIONAL,

MENTAL, INTELEKTUAL, dan/atau social berhak memperoleh PENDIDIKAN

KHUSUS.

ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi KECERDASAN DAN BAKAT

ISTIMEWA berhak memperoleh PENDIDIKAN KHUSUS.

Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga

macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar

Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan

khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada

SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB

Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis

anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra,

tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan

pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan,

dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang

Page 3: INklusi

sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun

perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang

keberatan menerima anak berkelainan.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-

anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak

hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan,

terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak

disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan

disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa

tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat

diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka,

akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.

Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.

Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib

belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-

anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum

mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang

belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD

terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya. 

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi

anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan

bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang

berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang

diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada

tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan

terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa

penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat

Page 4: INklusi

dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan

Pendidikan Layanan Khusus.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak

lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini

dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan

anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu

komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan

peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan

pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut

perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat

memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak

berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa

sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

B. Tujuan 

1. Mempelajari apakah Pendidikan Inklusi.

2. Mempelajari dasar-dasar Implementasi Pendidikan Inklusi.

3. Memperkenalkan apakah Pendidikan inklusi itu.

4. Mengetahui Pro dan kontra pendidikan inklusi.

5. Mengetahui Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia.

6. Mempelajari permasalahan-permasalahan dalam implementasi Pendidikan

Inklusi di Indonesia.

Page 5: INklusi

BAB II

ISI

Pendidikan bagi seorang anak dimulai dari rumah bersama dengan

keluarga , yang mana ini biasa disebut pendidikan non-formal , selanjutnya

seorang anak memasuki pendidikan sekolah yang ditujukan agar siswa bisa lebih

focus dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang umumnya tidak

didapatkan dirumah , sehingga disini siswa bisa mendapatkan apa yang dia

butuhkan ilmu yang akan bermanfaat untuk hidupnya kelak , teman-teman , dan

pengetahuan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Jika dirumah seorang anak

bertemu dengan keluarga maka disekolah seorang anak bertemu dengan guru

sebagai pembimbing.

Tugas guru disini mencakup mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, menilai dan mengevaluasi. Mengajar disini mencoba membantu

siswa dalam memperoleh pengetahuan, mengubah sikapnya, menambah

pengetahuan, memunculkan gagasan dan memberi apresiasi kepada siswa.

Pengajaran ini diciptakan untuk dapat mengubah tingkah laku siswa kepada sikap

yang diinginkan. Pendidikan disini ditujukan untuk dapat menciptakan seseorang

yang memilki kemampuan yang dapat diperhitungkan didunia selanjutnya yang

mana tidak hanya menirukan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya

( ibu , ayah , kakak ), tetapi seseorang yang lebih kreatif, inovatif, dan memiliki

rasa ingin tau yang tinggi. Selain itu pendidikan juga bertujuan menbentuk cara

berpikir kritis , mencoba mengolah dan menimbang apa yang ingin dan perlu

dilakukan , dan mengembangkan dirinya tidak hanya menerima apa yang

ditawarkan.

Guru disini sebagai pendidik karakter, pendidikan karakter itu sendiri

merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi karakter siwa yang diajar.

Pendidikan karakter merupakan upaya yang disengaja untuk membantu orang

memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika. ketika kita berpikir

Page 6: INklusi

mengenai jenis karakter yang kita inginkan bagi siswa-siswa kita atau anak-anak

kita , jelas bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar , memiliki

kepedulian yang tinggi , dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini.

Pendidikan karakter disini adalah proses pengembangan mental dalam

pengetahuan , penalaran dan sikap.

A. Konsep Pendidikan Inklusi

Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang mana setiap anak mempunyai

hak yang sama dalam pencapaian pendidikan. Di implementasikan dalam sekolah

Inklusi dipandang sebagai sekolah yang menyediakan layanan belajar bagi anak-

anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal

dalam komunitas sekolah. Selain itu sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap

anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas. Disini diharapkan

bahwasanya anak-anak yang memiliki kelainan fisik , emosional , mental dan

intelektual ataupun anak-anak yang memilki kecerdasan istimewa mendapatkan

pendidikan yang sesuai , sama dengan anak normal pada umumnya. Pendidikan

khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan pelayanan

pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau

sosial. Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk

mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai

kemampuannya.Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: tunanetra

, tunarungu , tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, Tunalaras, berkesulitan belajar,

lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban

penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain.

Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model

pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam

pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan

bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama

Page 7: INklusi

memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang

kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”

Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang

menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman

sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana

pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model

segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator.

Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan.

Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif

tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara

optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.

Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan

peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi

mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah

penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.

Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model

mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model

mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi

anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas

biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh

karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the

least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan

pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat

kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai

berikut:

1.Kelas biasa penuh

2.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam, 

3.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas, 

Page 8: INklusi

4.Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa, 

5.Kelas khusus penuh, 

6.Sekolah khusus, dan

7.Sekolah khusus berasrama.

Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan

Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang

menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program

pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan

kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh

para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan

tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling

membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain

agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.

Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan

inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat

secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler

merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis

kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.

Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa

pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan

agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler

bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya

restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan

kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat

dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat

sekitarnya.

Page 9: INklusi

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak

lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg,

1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak

normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai

suatu komunitas.

B. Landasan Pendidikan Inklusi

Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis

dan empiris yang kuat. 

a. Landasan filosofis

Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia

adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas

fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono

Abdulrahman, 2003). Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan

misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun

kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.

Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-

keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga

kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan

sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu

dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal

ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus

memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam,

sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat

toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-

hari.

 b. Landasan yuridis

Page 10: INklusi

Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah

Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia.

Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak

seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan

yang mungkin ada pada mereka.

Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya

menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan

atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa

sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk

peraturan operasional.

c. Landasan pedagogis

Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa

tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara

yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik

berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan

bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan

berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal

mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun

kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

d. Landasan empiris

Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat

sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National

Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa

klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus

tidak efektif dan diskriminatif

Page 11: INklusi

Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas

hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan

Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986)

terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian

menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap

perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

C. Kontroversi Pendidikan Inklusi

Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan

inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).

a. Pro inklusi

Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain

sebagai berikut:

1. Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan

pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil

yang lebih positif bagi anak;

2. Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;

3. Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat

berakibat negatif pada anak;

4. Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan

karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;

5. Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama

masyarakat lainnya.

b. Kontra inklusi

Page 12: INklusi

Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif

penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:

1. Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak

berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;

2. Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif

penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;

3. Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di

kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;

4. Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan

inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.

Oleh karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus

(segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk

pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.

c. Inklusi moderat

Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm

(2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai

bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai

penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan

kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling

bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis / tingkat

kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti

bahwa siswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke

alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-

ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai

alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.

 D. Pendidikan Inklusi di Indonesia

Page 13: INklusi

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI NO. 70 Tahun 2009

tentang PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG

MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN

DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA, Pasal 1, menyatakan bahwa “Dalam

Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah system

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta

didik yang memiliki KELAINAN dan memiliki potensi KECERDASAN dan/atau

BAKAT ISTIMEWA untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam

lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada

umumnya”.

Sedangkan Pasal 2 menyatakan tujuan dari Pendidikan Inklusif:

“Pendidikan inklusif bertujuan:

a. memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang

memiliki KELAINAN FISIK, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki

potensi KECERDASAN dan/atau BAKAT ISTIMEWA untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;

b. mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman,

dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud

pada huruf a”.

Dan Pasal 3 menyatakan :

1) Setiap peserta didik yang memiliki KELAINAN fisik, emosional, mental,

social, atau memiliki potensi KECERDASAN dan/atau BAKAT

ISTIMEWA berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan

pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) terdiri atas:

Page 14: INklusi

a. TUNANETRA;

b. TUNARUNGU;

c. TUNAWICARA;

d. TUNAGRAHITA;

e. TUNADAKSA;

f. TUNALARAS;

g. BERKESULITAN BELAJAR;

h. LAMBAN BELAJAR;

i. AUTIS;

j. MEMILIKI GANGGUAN MOTORIK;

k. MENJADI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA,

OBAT TERLARANG DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA;

l. MEMILIKI KELAINAN LAINNYA;

m. TUNAGANDA.

- Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.

tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu : buta

total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman &

Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi

penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki

penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra

penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang

lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip

Page 15: INklusi

yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu

tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual

dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul,

benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape

recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas

di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas.

Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra

mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat

putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).

- Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran

baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan

tingkat gangguan pendengaran adalah:

1. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),

2. Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),

3. Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),

4. Gangguan pendengaran berat(71-90dB),

5. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).

Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu

memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut

tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa

isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan

untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini dibeberapa

sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi

dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh.

Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari

sesuatu yang abstrak.

- Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang

disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat

bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral

palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa

adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan

aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu

Page 16: INklusi

memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi

sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan

tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

- Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam

mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya

menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan

aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena

faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.

- Kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau

lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan

penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi

kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan

karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia,

dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata

atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik,

gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan

keterlambatan perkembangan konsep. Dst.

Pasal 4

1) Pemerintah KABUPATEN/KOTA MENUNJUK PALING SEDIKIT 1

(satu) SEKOLAH DASAR, dan 1 (satu) SEKOLAH MENENGAH

PERTAMA pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan

MENENGAH untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang WAJIB

menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat

menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

Pasal 5

1) Penerimaan peserta didik BERKELAINAN dan/atau peserta didik yang

memiliki potensi KECERDASAN dan/atau BAKAT ISTIMEWA pada

Page 17: INklusi

satuan pendidikan mempertimbangkan SUMBER DAYA yang dimiliki

sekolah.

2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

MENGALOKASIKAN KURSI peserta didik yang memiliki kelainan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PALING SEDIKIT 1

(SATU) PESERTA DIDIK dalam 1 (SATU) ROMBONGAN BELAJAR

yang akan diterima.

3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, satuan

pendidikan dapat menerima peserta didik normal.

  

Pasal 6

1) Pemerintah KABUPATEN/KOTA MENJAMIN

TERSELENGGARANYA pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan

peserta didik.

2) Pemerintah KABUPATEN/KOTA MENJAMIN TERSEDIANYA

SUMBER DAYA pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang

ditunjuk.

3) PEMERINTAH dan PEMERINTAH PROVINSI MEMBANTU

TERSEDIANYA SUMBER DAYA pendidikan inklusif.

Pasal 7

Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN yang

Page 18: INklusi

MENGAKOMODASI KEBUTUHAN DAN KEMAMPUAN peserta didik

sesuai dengan bakat, minat dan potensinya.

Pasal 8

PEMBELAJARAN pada pendidikan inklusif mempertimbangkan PRINSIP-

PRINSIP PEMBELAJARAN yang DISESUAIKAN dengan

KARAKTERISTIK BELAJAR peserta didik.

Pasal 9

1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif MENGACU

pada kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.

2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berdasarkan KURIKULUM

yang dikembangkan sesuai dengan STANDAR NASIONAL pendidikan

atau DI ATAS STANDAR NASIONAL pendidikan WAJIB mengikuti

UJIAN NASIONAL.

3) Peserta didik yang memiliki KELAINAN dan mengikuti pembelajaran

berdasarkan KURIKULUM yang dikembangkan DI BAWAH standar

nasional pendidikan mengikuti UJIAN yang diselenggarakan oleh

SATUAN PENDIDIKAN yang bersangkutan.

4) Peserta didik yang menyelesaikan pendidikan dan LULUS UJIAN sesuai

dengan STANDAR NASIONAL pendidikan mendapatkan IJAZAH yang

blankonya dikeluarkan oleh PEMERINTAH.

5) Peserta didik yang memiliki KELAINAN yang menyelesaikan pendidikan

berdasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan DI

BAWAH STANDAR NASIONAL pendidikan mendapatkan SURAT

TANDA TAMAT BELAJAR yang blankonya dikeluarkan oleh satuan

pendidikan yang bersangkutan.

6) Peserta didik yang memperoleh SURAT TANDA TAMAT BELAJAR

DAPAT MELANJUTKAN pendidikan pada TINGKAT ATAU

JENJANG YANG LEBIH TINGGI pada satuan pendidikan yang

Page 19: INklusi

menyelenggarakan pendidikan INKLUSIF atau SATUAN PENDIDIKAN

KHUSUS.

Pasal 10

1) Pemerintah KABUPATEN/KOTA WAJIB menyediakan PALING

SEDIKIT 1 (SATU) ORANG GURU PEMBIMBING KHUSUS pada

satuan pendidikan YANG DITUNJUK untuk menyelenggarakan

pendidikan inklusif.

2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif YANG TIDAK

DITUNJUK oleh pemerintah kabupaten/kota WAJIB menyediakan

PALING SEDIKIT 1 (SATU) ORANG GURU PEMBIMBING

KHUSUS.

3) Pemerintah KABUPATEN/KOTA WAJIB MENINGKATKAN

KOMPETENSI di bidang PENDIDIKAN KHUSUS bagi PENDIDIK dan

TENAGA KEPENDIDIKAN pada satuan pendidikan penyelenggara

pendidikan inklusif.

4) PEMERINTAH dan PEMERINTAH PROVINSI MEMBANTU

PENYEDIAAN tenaga PEMBIMBING KHUSUS bagi satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai dengan

kewenangannya.

5) PEMERINTAH dan PEMERINTAH PROVINSI MEMBANTU

MENINGKATKAN KOMPETENSI di bidang PENDIDIKAN KHUSUS

bagi PENDIDIK dan TENAGA KEPENDIDIKAN pada satuan

pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.

6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)

dapat dilakukan melalui:

a. pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga

kependidikan (P4TK);

b. lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP)

c. perguruan tinggi (PT)

Page 20: INklusi

d. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan

pemerintah daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/atau

Departemen Agama.

e. Kelompok kerja guru/ kepala sekolah (KKG/KKS), kelompok

kerja pengawas sekolah (KKPS), musyawarah guru mata pelajaran

(MGMP), musyawarah kepala sekolah (MKS), musyawarah

pengawas sekolah (MPS), dan sejenisnya.

Pasal 11

1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif BERHAK

memperoleh BANTUAN PROFESSIONAL sesuai dengan kebutuhan dari

pemerintah KABUPATEN/KOTA.

2) PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH, dan/atau MASYARAKAT

DAPAT memberikan BANTUAN PROFESIONAL kepada satuan

pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.

3) BANTUAN PROFESIONAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

dilakukan melalui KELOMPOK KERJA PENDIDIKAN INKLUSIF,

KELOMPOK KERJA ORGANISASI PROFESI, LEMBAGA

SWADAYA MASYARAKAT, dan LEMBAGA MITRA TERKAIT, baik

dari DALAM NEGERI maupun LUAR NEGERI.

4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan

evaluasi;

b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi, asesmen,

prevensi, intervensi, kompensantoris, dan layanan advokasi peserta

didik;

c. bantuan profesional dalam melakukan pengembangan kurikulum,

program pendidikan individual, pembelajaran, penilaian, media

dan sumber belajar serta sarana dan prasarana aksesibel;

5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat BEKERJA

SAMA dan MEMBANGUN JARINGAN dengan SATUAN

Page 21: INklusi

PENDIDIKAN KHUSUS, PERGURUAN TINGGI, ORGANISASI

PROFESI, LEMBAGA REHABILITASI, RUMAH SAKIT, PUSAT

KESEHATAN MASYARAKAT, KLINIK TERAPI, DUNIA USAHA,

LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM), dan

MASYARAKAT.

Pasal 12 

PEMERINTAH, PEMERINTAH PROVINSI, dan pemerintah

KABUPATEN/KOTA melakukan PEMBINAAN dan PENGAWASAN

pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 13

PEMERINTAH memberikan PENGHARGAAN kepada PENDIDIK dan

TENAGA KEPENDIDIKAN pada satuan pendidikan penyelenggara

pendidikan inklusif, SATUAN PENDIDIKAN penyelenggara pendidikan

inklusif, dan/atau PEMERINTAH DAERAH yang secara nyata memiliki

KOMITMEN TINGGI dan BERPRESTASI dalam menyelenggarakan

pendidikan inklusif.

Pasal 14

Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar

ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberi sanksi sesuai

dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.

E. Masalah ABK di Indonesia

1. SLB masih satu atap di SLB (SDLB, SMPLB. SMLB).

2. Baru 9 Provinsi yang memiliki SMLB/SMKh merata persebarannya.

3. Kepala Sekolah dan Guru masih merangkap mengajar di satu atap.

Page 22: INklusi

4. Sarana & Prasarana masih menjadi milik satuan pendidikan satu atap.

5. Banyak ABK belum terlayani pendidikan karena sekolahnya jauh ;

6. Kurangnya koordinasi antara instansi terkait yg menangani pendidikan

bagi ABK.

7. Pemahaman Pejabat daerah ttg Pend. Inklusi terbatas & bervariasi

8. Sebagian besar kondisi ekonomi orang tua ABK adalah miskin.

9. Terbatasnya GPK pada Sekolah inklusif;

10. Sekolah umum/reguler merasa terbebani jika menyelenggarakan pend.

Inklusi karena diberi target pencapaian mutu.

F.  Wadah Profesional Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah

Peningkatan mutu pendidikan telah menjadi kebijaksanaan pemerintah yg

harus diwujudkan sebaik-baiknya.

Usaha ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia 

untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.

Dalam usaha peningkatan mutu pendidikan, faktor guru memegang

peranan yang amat penting, karena itu profesionalisme guru harus digalang secara

sistematis secara sistematis melalui wadah-wadah pembinaan profesional guru.

Diharapkan melalui wadah profesional ini dapat meningkatkan motivasi,

inovasi, dan kreasi guru serta memiliki skill yang baiksehingga dapat memberikan

layanan yang optimak kepada semua peserta didik ( Total Quality Services )

secara khusus dan dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan (Total Quality

Management ).

Khususnya dalam upaya mengimplementasikan pendidikan inklusif.

 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain :

Page 23: INklusi

1. Aktif dalam mensosialisasikan  Pendidikan Inklusif

2. Ikut serta dalam Diskusi/Rapat Kerja//Workshop/Rapat Koordinasi

Pendidikan Inklusif.

3. Menyusun Desain Pembelajaran, Kegiatan Pembelaaran dan Penilaian

hasil belajar dalam setting Pendidikan Inklusif.

4. Merancang/sharing. Memahami Keberagaman Peserta Didik, identifikasi,

dan Asesmen, PPI, dan PAKEM.

5. Mengembangkan media adaptif.

Page 24: INklusi

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pendidikan mencoba membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan ,

mengubah sikapnya , menambah pengetahuan , memunculkan gagasan dan

memberi apresiasi kepada siswa. Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang mana

setiap anak mempunyai hak yang sama dalam pencapaian pendidikan

Dasar-dasar pendidikan inklusif teleh dijabarkan secara lengkap .pendidikan

Inklusif telah diatur dan di Implementasikan se-optimal mungkin kepada

masyarakat.

Page 25: INklusi

Tujuan dari Implementasi Pendidikan Inklusi itu sendiri adalah agar

kebutuhan akan pendidikan bisa di dapatkan secara merata oleh setiap anak

indonesia baik yang normal ataupun tidak normal (Anak berkebutuhan Khusus )

Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia belum mencapai target yang

diharapkan karena terdapat banyak permasalahan-permasalahan dalam

pencapaiannya.

Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model

pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam

pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan

bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama

memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang

kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak

lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg,

1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak

normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai

suatu komunitas.

Meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus

(segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk

pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.

Yang dinamakan anak berkebutuhan khusus yaitu :

a. TUNANETRA;

b. TUNARUNGU;

c. TUNAWICARA;

d. TUNAGRAHITA;

e. TUNADAKSA;

Page 26: INklusi

f. TUNALARAS;

g. BERKESULITAN BELAJAR;

h. LAMBAN BELAJAR;

i. AUTIS;

j. MEMILIKI GANGGUAN MOTORIK;

k. MENJADI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA,

OBAT TERLARANG DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA;

l. MEMILIKI KELAINAN LAINNYA;

m. TUNAGANDA.

Dalam usaha peningkatan mutu pendidikan, faktor guru memiliki peranan

yang amat penting, karena profesionalisme guru harus digalang

digalang secara sistematis melalui wadah-wadah pembinaan profesional guru.

Diharapkan melalui wadah profesional ini dapat meningkatkan motivasi,

inovasi dan kreasi guru serta memiliki skill yang baik sehingga dapat

memberikan layanan yang optimal kepada semua peserta didik ( Total Quality

Services ) secara khusus dan dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan

( Total Quality Management) khususnya dalam upaya mengimplementasikan

pendidikan inklusif.

B. SARAN

Kita sebagai calon guru sudah seharusnya ikut serta dalam menyukseskan

pendidikan di indonesia pada umumnya dan pendidikan Inklusi pada khususnya.

Guru selalu berusaha memperlakukan sama terhadap setiap siswanya , sehingga

Page 27: INklusi

baik anak normal, anak berkebutuhan khusus maupun anak berbakat istimewa

agar pencapaian pendidikan Indonesia merata.