Download - INklusi
IMPLEMENTASI INKLUSI
Disusun oleh :
Alga Nawangsih Fauziyah ( k2309005 )
Goldha Swara Khairunnisaa ( k2309029 )
Ratih Artwiantini Astut ( k2309060 )
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5
dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak
pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal)
dalam pendidikan.
Act of The Republic of Indonesia No. 20 Year 2003 on National
Education System, Article 5, and 32 :
ayat (2) : Warga negara yang mempunyai KELAINAN FISIK, EMOSIONAL,
MENTAL, INTELEKTUAL, dan/atau social berhak memperoleh PENDIDIKAN
KHUSUS.
ayat (4) : Warga negara yang memiliki potensi KECERDASAN DAN BAKAT
ISTIMEWA berhak memperoleh PENDIDIKAN KHUSUS.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga
macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan
khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada
SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB
Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis
anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan
pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan,
dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang
sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun
perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang
keberatan menerima anak berkelainan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-
anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak
hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan,
terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan
disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa
tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat
diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka,
akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.
Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib
belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-
anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum
mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang
belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD
terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi
anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan
bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang
berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat
dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan
anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu
komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan
peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan
pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut
perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat
memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak
berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa
sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
B. Tujuan
1. Mempelajari apakah Pendidikan Inklusi.
2. Mempelajari dasar-dasar Implementasi Pendidikan Inklusi.
3. Memperkenalkan apakah Pendidikan inklusi itu.
4. Mengetahui Pro dan kontra pendidikan inklusi.
5. Mengetahui Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia.
6. Mempelajari permasalahan-permasalahan dalam implementasi Pendidikan
Inklusi di Indonesia.
BAB II
ISI
Pendidikan bagi seorang anak dimulai dari rumah bersama dengan
keluarga , yang mana ini biasa disebut pendidikan non-formal , selanjutnya
seorang anak memasuki pendidikan sekolah yang ditujukan agar siswa bisa lebih
focus dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang umumnya tidak
didapatkan dirumah , sehingga disini siswa bisa mendapatkan apa yang dia
butuhkan ilmu yang akan bermanfaat untuk hidupnya kelak , teman-teman , dan
pengetahuan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Jika dirumah seorang anak
bertemu dengan keluarga maka disekolah seorang anak bertemu dengan guru
sebagai pembimbing.
Tugas guru disini mencakup mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, menilai dan mengevaluasi. Mengajar disini mencoba membantu
siswa dalam memperoleh pengetahuan, mengubah sikapnya, menambah
pengetahuan, memunculkan gagasan dan memberi apresiasi kepada siswa.
Pengajaran ini diciptakan untuk dapat mengubah tingkah laku siswa kepada sikap
yang diinginkan. Pendidikan disini ditujukan untuk dapat menciptakan seseorang
yang memilki kemampuan yang dapat diperhitungkan didunia selanjutnya yang
mana tidak hanya menirukan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelumnya
( ibu , ayah , kakak ), tetapi seseorang yang lebih kreatif, inovatif, dan memiliki
rasa ingin tau yang tinggi. Selain itu pendidikan juga bertujuan menbentuk cara
berpikir kritis , mencoba mengolah dan menimbang apa yang ingin dan perlu
dilakukan , dan mengembangkan dirinya tidak hanya menerima apa yang
ditawarkan.
Guru disini sebagai pendidik karakter, pendidikan karakter itu sendiri
merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi karakter siwa yang diajar.
Pendidikan karakter merupakan upaya yang disengaja untuk membantu orang
memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika. ketika kita berpikir
mengenai jenis karakter yang kita inginkan bagi siswa-siswa kita atau anak-anak
kita , jelas bahwa kita ingin mereka bisa menilai apa yang benar , memiliki
kepedulian yang tinggi , dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini.
Pendidikan karakter disini adalah proses pengembangan mental dalam
pengetahuan , penalaran dan sikap.
A. Konsep Pendidikan Inklusi
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang mana setiap anak mempunyai
hak yang sama dalam pencapaian pendidikan. Di implementasikan dalam sekolah
Inklusi dipandang sebagai sekolah yang menyediakan layanan belajar bagi anak-
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal
dalam komunitas sekolah. Selain itu sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap
anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas. Disini diharapkan
bahwasanya anak-anak yang memiliki kelainan fisik , emosional , mental dan
intelektual ataupun anak-anak yang memilki kecerdasan istimewa mendapatkan
pendidikan yang sesuai , sama dengan anak normal pada umumnya. Pendidikan
khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi memberikan pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial. Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai
kemampuannya.Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: tunanetra
, tunarungu , tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, Tunalaras, berkesulitan belajar,
lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain.
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model
pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam
pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan
bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang
menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman
sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana
pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model
segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator.
Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan.
Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif
tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara
optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.
Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan
peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi
mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah
penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model
mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model
mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi
anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas
biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh
karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the
least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan
pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat
kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai
berikut:
1.Kelas biasa penuh
2.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
3.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
4.Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
5.Kelas khusus penuh,
6.Sekolah khusus, dan
7.Sekolah khusus berasrama.
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan
Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang
menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh
para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan
tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling
membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain
agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan
inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat
secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler
merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis
kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa
pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan
agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler
bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan
kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat
dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat
sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg,
1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak
normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai
suatu komunitas.
B. Landasan Pendidikan Inklusi
Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis
dan empiris yang kuat.
a. Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas
fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono
Abdulrahman, 2003). Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan
misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun
kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-
keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga
kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan
sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu
dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal
ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam,
sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat
toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-
hari.
b. Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah
Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia.
Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak
seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan
yang mungkin ada pada mereka.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan
atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa
sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk
peraturan operasional.
c. Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara
yang demokratis dan bertanggungjawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik
berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan
bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal
mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun
kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
d. Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat
sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National
Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa
klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus
tidak efektif dan diskriminatif
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas
hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan
Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986)
terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap
perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
C. Kontroversi Pendidikan Inklusi
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan
inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).
a. Pro inklusi
Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain
sebagai berikut:
1. Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan
pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil
yang lebih positif bagi anak;
2. Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
3. Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat
berakibat negatif pada anak;
4. Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan
karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;
5. Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama
masyarakat lainnya.
b. Kontra inklusi
Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:
1. Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak
berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
2. Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif
penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;
3. Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di
kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;
4. Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan
inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Oleh karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus
(segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk
pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
c. Inklusi moderat
Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm
(2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai
bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai
penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan
kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling
bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis / tingkat
kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti
bahwa siswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke
alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-
ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai
alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
D. Pendidikan Inklusi di Indonesia
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI NO. 70 Tahun 2009
tentang PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG
MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN
DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA, Pasal 1, menyatakan bahwa “Dalam
Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah system
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki KELAINAN dan memiliki potensi KECERDASAN dan/atau
BAKAT ISTIMEWA untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada
umumnya”.
Sedangkan Pasal 2 menyatakan tujuan dari Pendidikan Inklusif:
“Pendidikan inklusif bertujuan:
a. memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang
memiliki KELAINAN FISIK, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki
potensi KECERDASAN dan/atau BAKAT ISTIMEWA untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;
b. mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman,
dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud
pada huruf a”.
Dan Pasal 3 menyatakan :
1) Setiap peserta didik yang memiliki KELAINAN fisik, emosional, mental,
social, atau memiliki potensi KECERDASAN dan/atau BAKAT
ISTIMEWA berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terdiri atas:
a. TUNANETRA;
b. TUNARUNGU;
c. TUNAWICARA;
d. TUNAGRAHITA;
e. TUNADAKSA;
f. TUNALARAS;
g. BERKESULITAN BELAJAR;
h. LAMBAN BELAJAR;
i. AUTIS;
j. MEMILIKI GANGGUAN MOTORIK;
k. MENJADI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA,
OBAT TERLARANG DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA;
l. MEMILIKI KELAINAN LAINNYA;
m. TUNAGANDA.
- Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu : buta
total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman &
Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi
penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra
penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang
lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip
yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu
tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual
dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul,
benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape
recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas
di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas.
Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra
mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat
putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium).
- Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran
baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan
tingkat gangguan pendengaran adalah:
1. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
2. Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
3. Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
4. Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
5. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu
memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa
isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan
untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Saat ini dibeberapa
sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi
dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh.
Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari
sesuatu yang abstrak.
- Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral
palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa
adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan
aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu
memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi
sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan
tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
- Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya
menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan
aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena
faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
- Kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau
lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan
penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi
kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan
karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia,
dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata
atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik,
gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan
keterlambatan perkembangan konsep. Dst.
Pasal 4
1) Pemerintah KABUPATEN/KOTA MENUNJUK PALING SEDIKIT 1
(satu) SEKOLAH DASAR, dan 1 (satu) SEKOLAH MENENGAH
PERTAMA pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan
MENENGAH untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang WAJIB
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
1) Penerimaan peserta didik BERKELAINAN dan/atau peserta didik yang
memiliki potensi KECERDASAN dan/atau BAKAT ISTIMEWA pada
satuan pendidikan mempertimbangkan SUMBER DAYA yang dimiliki
sekolah.
2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
MENGALOKASIKAN KURSI peserta didik yang memiliki kelainan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PALING SEDIKIT 1
(SATU) PESERTA DIDIK dalam 1 (SATU) ROMBONGAN BELAJAR
yang akan diterima.
3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta didik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, satuan
pendidikan dapat menerima peserta didik normal.
Pasal 6
1) Pemerintah KABUPATEN/KOTA MENJAMIN
TERSELENGGARANYA pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
2) Pemerintah KABUPATEN/KOTA MENJAMIN TERSEDIANYA
SUMBER DAYA pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang
ditunjuk.
3) PEMERINTAH dan PEMERINTAH PROVINSI MEMBANTU
TERSEDIANYA SUMBER DAYA pendidikan inklusif.
Pasal 7
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan
KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN yang
MENGAKOMODASI KEBUTUHAN DAN KEMAMPUAN peserta didik
sesuai dengan bakat, minat dan potensinya.
Pasal 8
PEMBELAJARAN pada pendidikan inklusif mempertimbangkan PRINSIP-
PRINSIP PEMBELAJARAN yang DISESUAIKAN dengan
KARAKTERISTIK BELAJAR peserta didik.
Pasal 9
1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif MENGACU
pada kurikulum tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.
2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berdasarkan KURIKULUM
yang dikembangkan sesuai dengan STANDAR NASIONAL pendidikan
atau DI ATAS STANDAR NASIONAL pendidikan WAJIB mengikuti
UJIAN NASIONAL.
3) Peserta didik yang memiliki KELAINAN dan mengikuti pembelajaran
berdasarkan KURIKULUM yang dikembangkan DI BAWAH standar
nasional pendidikan mengikuti UJIAN yang diselenggarakan oleh
SATUAN PENDIDIKAN yang bersangkutan.
4) Peserta didik yang menyelesaikan pendidikan dan LULUS UJIAN sesuai
dengan STANDAR NASIONAL pendidikan mendapatkan IJAZAH yang
blankonya dikeluarkan oleh PEMERINTAH.
5) Peserta didik yang memiliki KELAINAN yang menyelesaikan pendidikan
berdasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh satuan pendidikan DI
BAWAH STANDAR NASIONAL pendidikan mendapatkan SURAT
TANDA TAMAT BELAJAR yang blankonya dikeluarkan oleh satuan
pendidikan yang bersangkutan.
6) Peserta didik yang memperoleh SURAT TANDA TAMAT BELAJAR
DAPAT MELANJUTKAN pendidikan pada TINGKAT ATAU
JENJANG YANG LEBIH TINGGI pada satuan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan INKLUSIF atau SATUAN PENDIDIKAN
KHUSUS.
Pasal 10
1) Pemerintah KABUPATEN/KOTA WAJIB menyediakan PALING
SEDIKIT 1 (SATU) ORANG GURU PEMBIMBING KHUSUS pada
satuan pendidikan YANG DITUNJUK untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif YANG TIDAK
DITUNJUK oleh pemerintah kabupaten/kota WAJIB menyediakan
PALING SEDIKIT 1 (SATU) ORANG GURU PEMBIMBING
KHUSUS.
3) Pemerintah KABUPATEN/KOTA WAJIB MENINGKATKAN
KOMPETENSI di bidang PENDIDIKAN KHUSUS bagi PENDIDIK dan
TENAGA KEPENDIDIKAN pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif.
4) PEMERINTAH dan PEMERINTAH PROVINSI MEMBANTU
PENYEDIAAN tenaga PEMBIMBING KHUSUS bagi satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai dengan
kewenangannya.
5) PEMERINTAH dan PEMERINTAH PROVINSI MEMBANTU
MENINGKATKAN KOMPETENSI di bidang PENDIDIKAN KHUSUS
bagi PENDIDIK dan TENAGA KEPENDIDIKAN pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5)
dapat dilakukan melalui:
a. pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga
kependidikan (P4TK);
b. lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP)
c. perguruan tinggi (PT)
d. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan
pemerintah daerah, Departemen Pendidikan Nasional dan/atau
Departemen Agama.
e. Kelompok kerja guru/ kepala sekolah (KKG/KKS), kelompok
kerja pengawas sekolah (KKPS), musyawarah guru mata pelajaran
(MGMP), musyawarah kepala sekolah (MKS), musyawarah
pengawas sekolah (MPS), dan sejenisnya.
Pasal 11
1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif BERHAK
memperoleh BANTUAN PROFESSIONAL sesuai dengan kebutuhan dari
pemerintah KABUPATEN/KOTA.
2) PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH, dan/atau MASYARAKAT
DAPAT memberikan BANTUAN PROFESIONAL kepada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
3) BANTUAN PROFESIONAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan melalui KELOMPOK KERJA PENDIDIKAN INKLUSIF,
KELOMPOK KERJA ORGANISASI PROFESI, LEMBAGA
SWADAYA MASYARAKAT, dan LEMBAGA MITRA TERKAIT, baik
dari DALAM NEGERI maupun LUAR NEGERI.
4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi;
b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi, asesmen,
prevensi, intervensi, kompensantoris, dan layanan advokasi peserta
didik;
c. bantuan profesional dalam melakukan pengembangan kurikulum,
program pendidikan individual, pembelajaran, penilaian, media
dan sumber belajar serta sarana dan prasarana aksesibel;
5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat BEKERJA
SAMA dan MEMBANGUN JARINGAN dengan SATUAN
PENDIDIKAN KHUSUS, PERGURUAN TINGGI, ORGANISASI
PROFESI, LEMBAGA REHABILITASI, RUMAH SAKIT, PUSAT
KESEHATAN MASYARAKAT, KLINIK TERAPI, DUNIA USAHA,
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM), dan
MASYARAKAT.
Pasal 12
PEMERINTAH, PEMERINTAH PROVINSI, dan pemerintah
KABUPATEN/KOTA melakukan PEMBINAAN dan PENGAWASAN
pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 13
PEMERINTAH memberikan PENGHARGAAN kepada PENDIDIK dan
TENAGA KEPENDIDIKAN pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif, SATUAN PENDIDIKAN penyelenggara pendidikan
inklusif, dan/atau PEMERINTAH DAERAH yang secara nyata memiliki
KOMITMEN TINGGI dan BERPRESTASI dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
Pasal 14
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar
ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini diberi sanksi sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
E. Masalah ABK di Indonesia
1. SLB masih satu atap di SLB (SDLB, SMPLB. SMLB).
2. Baru 9 Provinsi yang memiliki SMLB/SMKh merata persebarannya.
3. Kepala Sekolah dan Guru masih merangkap mengajar di satu atap.
4. Sarana & Prasarana masih menjadi milik satuan pendidikan satu atap.
5. Banyak ABK belum terlayani pendidikan karena sekolahnya jauh ;
6. Kurangnya koordinasi antara instansi terkait yg menangani pendidikan
bagi ABK.
7. Pemahaman Pejabat daerah ttg Pend. Inklusi terbatas & bervariasi
8. Sebagian besar kondisi ekonomi orang tua ABK adalah miskin.
9. Terbatasnya GPK pada Sekolah inklusif;
10. Sekolah umum/reguler merasa terbebani jika menyelenggarakan pend.
Inklusi karena diberi target pencapaian mutu.
F. Wadah Profesional Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah
Peningkatan mutu pendidikan telah menjadi kebijaksanaan pemerintah yg
harus diwujudkan sebaik-baiknya.
Usaha ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia
untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Dalam usaha peningkatan mutu pendidikan, faktor guru memegang
peranan yang amat penting, karena itu profesionalisme guru harus digalang secara
sistematis secara sistematis melalui wadah-wadah pembinaan profesional guru.
Diharapkan melalui wadah profesional ini dapat meningkatkan motivasi,
inovasi, dan kreasi guru serta memiliki skill yang baiksehingga dapat memberikan
layanan yang optimak kepada semua peserta didik ( Total Quality Services )
secara khusus dan dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan (Total Quality
Management ).
Khususnya dalam upaya mengimplementasikan pendidikan inklusif.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain :
1. Aktif dalam mensosialisasikan Pendidikan Inklusif
2. Ikut serta dalam Diskusi/Rapat Kerja//Workshop/Rapat Koordinasi
Pendidikan Inklusif.
3. Menyusun Desain Pembelajaran, Kegiatan Pembelaaran dan Penilaian
hasil belajar dalam setting Pendidikan Inklusif.
4. Merancang/sharing. Memahami Keberagaman Peserta Didik, identifikasi,
dan Asesmen, PPI, dan PAKEM.
5. Mengembangkan media adaptif.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pendidikan mencoba membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan ,
mengubah sikapnya , menambah pengetahuan , memunculkan gagasan dan
memberi apresiasi kepada siswa. Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang mana
setiap anak mempunyai hak yang sama dalam pencapaian pendidikan
Dasar-dasar pendidikan inklusif teleh dijabarkan secara lengkap .pendidikan
Inklusif telah diatur dan di Implementasikan se-optimal mungkin kepada
masyarakat.
Tujuan dari Implementasi Pendidikan Inklusi itu sendiri adalah agar
kebutuhan akan pendidikan bisa di dapatkan secara merata oleh setiap anak
indonesia baik yang normal ataupun tidak normal (Anak berkebutuhan Khusus )
Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia belum mencapai target yang
diharapkan karena terdapat banyak permasalahan-permasalahan dalam
pencapaiannya.
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model
pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam
pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan
bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak
lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg,
1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak
normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai
suatu komunitas.
Meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus
(segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk
pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.
Yang dinamakan anak berkebutuhan khusus yaitu :
a. TUNANETRA;
b. TUNARUNGU;
c. TUNAWICARA;
d. TUNAGRAHITA;
e. TUNADAKSA;
f. TUNALARAS;
g. BERKESULITAN BELAJAR;
h. LAMBAN BELAJAR;
i. AUTIS;
j. MEMILIKI GANGGUAN MOTORIK;
k. MENJADI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA,
OBAT TERLARANG DAN ZAT ADIKTIF LAINNYA;
l. MEMILIKI KELAINAN LAINNYA;
m. TUNAGANDA.
Dalam usaha peningkatan mutu pendidikan, faktor guru memiliki peranan
yang amat penting, karena profesionalisme guru harus digalang
digalang secara sistematis melalui wadah-wadah pembinaan profesional guru.
Diharapkan melalui wadah profesional ini dapat meningkatkan motivasi,
inovasi dan kreasi guru serta memiliki skill yang baik sehingga dapat
memberikan layanan yang optimal kepada semua peserta didik ( Total Quality
Services ) secara khusus dan dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan
( Total Quality Management) khususnya dalam upaya mengimplementasikan
pendidikan inklusif.
B. SARAN
Kita sebagai calon guru sudah seharusnya ikut serta dalam menyukseskan
pendidikan di indonesia pada umumnya dan pendidikan Inklusi pada khususnya.
Guru selalu berusaha memperlakukan sama terhadap setiap siswanya , sehingga
baik anak normal, anak berkebutuhan khusus maupun anak berbakat istimewa
agar pencapaian pendidikan Indonesia merata.