ilmu kesejahteraan sosial shh(sekolah hijau)
DESCRIPTION
KESEHATAN SOSIALTRANSCRIPT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013
PROPOSAL UJIAN MASUK PROGRAM PASCASARJANA
NAMA: DENI GUMILANG
NOMOR: 8131101418
PROGRAM STUDI: ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
JUDUL:
Implementasi Kebijakan Kurikulum SD terhadap pelayanan pendidikan Kota Singkawang (Studi Kasus
Sekolah Model Harmoni Hijau di Kota Singkawang).
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Masalah kesejahteraan sosial sangat terkait banyak aspek, salah satunya adalah aspek
pendidikan. Proses pendidikan yang baik mampu mendukung suatu proses pembangunan sosial yang
baik. Proses inilah yang seyogyanya mampu mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi
terhadap pemecahan masalah sosial dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan
masyarakat. Namun kenyataannya, Montessori (2008:12) salah seorang tokoh pendidikan abad 19
yang masih sangat relevan untuk saat ini menyatakan bahwa sistem pendidikan di banyak negara
belum mempertimbangkan kehidupan, sekolah justru masih merupakan dunia yang terpisah, sebuah
dunia yang steril dari persoalan sosial sehari-hari.
Pembangunan manusia secara sosial di suatu daerah berkorelasi pada sektor pendidikan
yang memiliki mandat untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar ‘berkarakter’. Hal ini mengacu
pada pengertian pendidikan yang sesungguhnya yaitu pendidikan yang dapat menyiapkan anak didik
untuk dapat menghadapi hidup, melestarikan kehidupan di muka bumi serta mampu menjadi agen
perubah yang berbudi luhur untuk kehidupannya, untuk daerahnya. Srini (2011: 1) mengungkapkan
bahwa pendidikan haruslah merupakan proses yang dapat membantu peserta didik membangun
pribadi yang merdeka dan mandiri, memiliki pilihan-pilihan, memiliki kepekaan terhadap masalah di
lingkungan sosialnya, serta mampu berkreativitas menemukan sesuatu yang baru yang dibutuhkan
oleh zamannya.
Pemerintah Indonesia melalui UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, memberikan mandat untuk
mewujudkan hal tersebut melalui otonomi pendidikan. Tiap kabupaten/kota diberikan kewenangan
untuk mengatur dan mengelola pendidikan sesuai dengan isu dan kebutuhan pembangunan daerah
masing-masing, baik dalam pengalokasian dana maupun peningkatan kualitas pendidikan. Sekolah
bersama masyarakat diharapkan memiliki keberdayaan untuk dapat mengelola pendidikan secara
kreatif, transparan dan akuntabel. Melalui penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan),
pemerintah pusat memberikan ruang untuk melakukan berbagai kreativitas. Bahkan kurikulum yang
terbaru saat ini pun, pemerintah pusat menyediakan garis besar atau kompetensi dasar, tiap-tiap
sekolah harus mengintegrasikan dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal.
Secara spesifik, penerapan kurikulum yang tepat sangat diharapkan dalam pendidikan sekolah
dasar yang menjadi ‘dasar’ bagi setiap individu untuk memiliki sikap, karakter, serta kemampuan dasar
untuk pendidikan selanjutnya, bahkan untuk masa depan kehidupan individu tersebut. Hal tersebut
sangat penting untuk diimplementasikan secara prima agar bisa menjadi dasar bagi seorang individu
untuk mampu mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial dan
peningkatan kualitas kehidupannya.
Kenyataanya, perubahan kurikulum sepertinya dianggap menjadi salah satu masalah sosial
dalam ranah pendidikan di negara kita saat ini. Pengembangan kurikulum di Indonesia masih menjadi
suatu tantangan tersendiri untuk diterapkan di daerah-daerah yang wilayahnya amat luas. Saat ini,
perubahan-perubahan kurikulum dianggap terlalu sering terjadi. Alih-alih mengembangkan kurikulum
yang lama mencapai target yang diharapkan, sistem yang ada sepertinya sudah mengubah kurikulum
tersebut saat pelaksanaannya belum tercapai sepenuhnya di daerah-daerah. Adanya kurikulum
terbaru, saat ini pun, sepertinya mendapat banyak keluhan dari berbagai kalangan. Integrasi beberapa
mata pelajaran, dianggap terlalu ideal, karena tidak mempertimbangkan kemampuan guru terutama
dari daerah-daerah pelosok di Indonesia. Tampaknya kebijakan pemerintah itu dianggap terlalu
tergesa-gesa dan menimbulkan masalah sosial tersendiri berupa keresahan akan proses
implementasinya nanti di lapangan. Padahal, secara esensi, kurikulum terbaru diciptakan pemerintah
dengan tujuan agar siswa dan guru tidak terbebani dalam fokus pelajaran ataupun penyusunan
kurikulum di setiap tingkat satuan pendidikan.
Salah satu pilihan strategis yang menarik untuk diteliti adalah dengan mengambil sudut
pandang adanya pengembangan sekolah yang mampu berkontribusi dalam upaya peningkatkan
kualitas pendidikan melalui model pendidikan kurikulum yang kontekstual dan terintegrasi. Umumnya,
inovasi yang dilakukan di sekolah adalah dengan mewujudkan pendidikan yang lebih berdialog dengan
keseharian dan lingkungan sosial di mana anak dan masyarakat tinggal, dengan tetap memfokuskan
pembangunan karakter dasar mereka sesuai dengan kurikulum. Hal ini menarik, di tengah banyaknya
pesimisme dan keresahan akibat sistem kurikulum negara kita, untuk melihat adanya suatu model
penerapan kurikulum yang mampu memberdayakan dan membangun kesadaran kritis dengan tetap
bertumpu pada kearifan dan potensi lokal. Hal ini juga sangat berguna dalam hal menanamkan dasar
pendidikan untuk dapat hidup utuh dan memiliki karakter yang baik.
Salah satu contohnya, Pemerintah Daerah Kota Singkawang bersama World Vision Indonesia
telah mengembangkan pendidikan kontekstual yang sesuai dengan isu dan kebutuhan pembangunan
wilayah setempat melalui model Sekolah Harmoni Hijau. Model ini diharapkan mampu mendorong
upaya peningkatan mutu pendidikan, sekaligus penguatan karakter anak, pelestarian alam serta
pelibatan partisipasi anak dan masyarakat dalam pembangunan Kota singkawang. Penelitian ini akan
membagikan pengalaman-pengalaman dan pembelajaran yang telah diperoleh dalam sistem
kurikulum model sekolah tersebut, serta mempromosikan model tersebut untuk dapat direplikasi
secara kontekstual ke wilayah lainnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Implementasi kurikulum dalam konteks pembangunan di negara Indonesia, bisa dimaknai
sebagai bagian dari isu pendidikan yang berkontribusi dalam pembangunan manusia seutuhnya. Hal
ini bisa diartikan sebagai bagian dari pembangunan yang memberikan kompetensi dasar terkait
keterampilan dan pengetahuan untuk mengormati makna hakikat manusia indonesia sesuangguhnya.
Hal ini termasuk dalam konteks pelayanan pendidikan yang memiliki nilai strategis bagi pemerintah
dalam mencapai bangsa yang maju, mandiri dan beradab. Perubahan kebijakan terkait kurikulum,
walaupun mendatangkan polemik, tentu saja menjadi bagian pemerintah yang berupaya memenuhi
hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan demi peningkatan kualitas hidup
manusia Indonesia.
Pemerintah sendiri, menanggapi banyaknya polemik perubahan kurikulum, dalam situs resmi
mengungkapkan pernyataan sebagai berikut (http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-
kurikulum-2013-4),
“Intinya jangan sekali-kali persoalan implementasi kurikulum dihadapkan pada stigma persoalan yang kemungkinan akan menjerat kita untuk tidak mau melakukan perubahan. Padahal kita sepakat, perubahan itu sesuatu yang niscaya harus dihadapi mana kala kita ingin terus maju dan berkembang. Bukankah melalui perubahan kurikulum ini sesungguhnya kita ingin membeli masa depan anak didik kita dengan harga sekarang.”
Hal ini menguatkan bahwa perubahan kurikulum diharapkan sangat terkait dengan kondisi
kehidupan sosial yang lebih baik di masa depan. Hanya saja, dengan masih banyaknya pengajaran yang
sifatnya konservatif di Indonesia dan sistem penyebaran informasi pada elemen-elemen operasional
pendidikan di daerah-daerah yang luas, maka mungkin saja akan ada tantangan yang sangat besar.
Terlebih, masalah utama tampaknya bukanlah sistem kurikulum, tetapi bagaimana proses
pengimplementasian kurikulum yang tepat terhadap operasional kegiatan belajar mengajar di sekolah-
sekolah yang kebutuhannya amat beragam.
Dalam penelitian ini, Sekolah Dasar merupakan bagian penting untuk diteliti. Sekolah Dasar
berfungsi dalam membangun sikap, keterampilan, dan pengetahuan dasar yang diperlukan individu
untuk pengembangan selanjutnya dalam menghadapi kehidupan dan kesejahteraan sosialnya. Hanya
saja, monitoring dan evaluasi dampak implementasi sistem kurikulum di sekolah dasar belum tentu
sejalan dengan yang diharapkan pemerintah pusat mengingat adanya kesenjangan di masing-masing
daerah. Model implementasi kurikulum SD Harmoni Hijau di Kota Singkawang menjadi salah satu
contoh terkait bisa/tidaknya kebijakan kurikulum yang diimplementasikan secara tepat menjawab
kebutuhan sosial dalam kehidupan internal sekolah dan masyarakat.
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Melakukan analisis hasil monitoring dan evaluasi pengimplementasian kurikulum pendidikan
sekolah dasar, dalam hal ini studi kasus pada sekolah harmoni hijau kota singkawang.
Memberikan rekomendasi yang didapatkan dalam sektor pendidikan kepada pemerintah
dalam pengimplementasian kurikulum sebagai acuan untuk menentukan kebijakan daerah yang
kontekstual di bidang pendidikan.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Aspek Teoretis:
Penelitian diharapkan mampu menjadi jurnal yang mendeskripsikan dampak dari
pengembangan kurikulum pendidikan berkarakter terkait dengan isu sosial yang terjadi di masyarakat,
serta mampu menggambarkan masalah, strategi dan teknik intervensi sosial terhadap fenomena
tersebut. Penelitian juga dapat digunakan untuk dikaji dalam penelitian selanjutnya.
1.4.2 Aspek Praktis:
Penelitian diharapkan mampu mendukung adanya kemampuan menganalisa perencanaan dan
evaluasi program implementasi kurikulum SD yang peka dan berkelanjutan pada kebutuhan sekolah
dan masyarakat. Program yang dikembangkan diharapkan bisa lebih efektif dan berhasil
mengembangkan kelompok masyarakat sasaran sesuai dengan konteks dan kebutuhan sosialnya.
Penelitian juga diharapkan mampu memberikan rekomendasi praktis sebagai acuan untuk
menentukan kebijakan daerah yang kontekstual di bidang pendidikan.
2. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS
2.1 KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Pengertian kebijakan dalam hal ini diartikan sebagai ketentuan yang berkaitan dengan kondisi
sosial, dalam hal ini kegiatan yang dilakukan oleh suatu institusi/pemerintah. Anderson dalam Islamy
(1992:17) mengemukakan bahwa kebijakan itu adalah:
“A purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem
or matter of consern (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah
tertentu)”.
Anderson mengemukakan dalam Islamy (1994:19) bahwa “Public policies are those policies
developed by governmental bodies and officials (kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).” Pengertian itu ditegaskan oleh
pernyataan Islamy (1994:20), bahwa kebijakan Negara adalah serangkaian tindakan yang diterapkan
dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi
pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Sementara itu, pengertian implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier yang dikutip oleh
Abdul Wahab (1997:65) sebagai berikut:
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat/ dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. “
Pengertian lain implementasi menurut friedrich yang dikutip oleh Abdul Wahab (1997:3)
mengatakan bahwa:
“Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang – peluang mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.”
Mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna diperlukan beberapa persyaratan
tertentu, syarat-syarat tersebut menurut Hogwood dan Gunn dikutip oleh Abdul Wahab (1997:71)
adalah sebagai berikut:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia 4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang
handal5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya6. Hubungan saling ketergantungan harus kecil
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat9. Komunitas dan koordinasi yang sempurna10.Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna
Kebijakan publik pada dasarnya melalui beberapa tahapan sebelum kebijakan itu ada. Wibawa
(1994:24) memberi keterangan bahwa masalah kebijakan didasarkan pada “aktor kebijakan,
prosedural problem (masalah prosedur), subtantive problems (masalah tentang isi dan tujuan
kebijakan)”.
Secara umum, kajian tentang kebijakan menyangkut perencanaan umum, kerangka
kebijaksanaan jangka panjang (long term), proses pelaksanaan serta perbaikan metodologi
pelaksanaan demi berhasilnya tujuan kebijakan. Sebagai suatu ketetapan, maka kebijakan publik
dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat
(Thoha, 1991:9). Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat
mencapai tujuannya (Nugroho, 2004:158). Hal ini bisa diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan
oleh implementor (pelaksanaan kebijaksanaan) untuk memberikan kemungkinan tercapainya tujuan
yang telah ditetapkan sesuai dengan arah kebijakan yang telah ditentukan.
Edwards (1980) mengemukakan bahwa ada 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari
suatu implementasi, yakni: Communication, Resources, Dispositions Attitudes, dan Bureaucratic
Structure.
a. “Communication: the first requirement for effective policy implementation is that those who are to implement a decision must know what they are supposed to do. (agar implementasi berjalan secara efektif maka mereka yang bertanggung jawab mengimplementasikan policy/program harus mengetahui apa yang harus dilakukan.)
b. Resources: Implementation orders may be accurately transmitted, clear, and consistent, but if implementation is likely to be ineffective. (Kebijakan yang akan diimplementasikan harus ditransformasikan kepada implemento secara jelas, akurat, dan konsisten. Keterbatasan sumber daya dapat menyebabkan tidak efektifnya implementasi).
c. Dispositions/attitudes: if implementation are well-disposed toward a particular policy they are more likely to carry it out as the original decision makers intended. (Implementator harus memiliki keinginan yang tulus melaksanakan kebijaksanaan seperti yang dikehendaki oleh pembuatan kebijaksanaan.)
d. Bureaucratic structure; Policy implementation may know what to do and have sufficient desire and resources to do it, but they may still be hampered in implementation by the structures of the organizations in which they serve. (perlu dukungan organisasi tempat implementor melaksanakan tugas. Untuk memperlancar pelaksanaan maka harus ada prosedur kerja yang jelas, sehingga kesan adanya birokrasi terlalu panjang dapat dihindarkan.”
Hal yang dimaksud dengan implementasi kebijakan dalam penelitian ini adalah terkait dengan
implementasi kebijakan kurikulum yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah
pendidikan dasar di daerah-daerah.
2.1.2 KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR
Dalam teori kurikulum (Anita Lie, 2012, www.kemdiknas.go.id),
“keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum --termasuk pembelajaran-- dan penilaian pembelajaran dan kurikulum.”
Struktur kurikulum dalam hal perumusan desain kurikulum, menjadi amat penting. Karena begitu
struktur yang disiapkan tidak mengarah sekaligus menopang pada apa yang ingin dicapai dalam
kurikulum, maka bisa dipastikan implementasinya pun akan kedodoran.
Menurut pernyataan resmi pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013:1),
“Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata pelajaran dalam kurikulum, dostribusi konten/mata pelajaran dalam semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban belajar per minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum adalah juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam sistem belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran. Pengorganisasian konten dalam sistem belajar yang digunakan untuk kurikulum yang akan datang adalah sistem semester sedangkan pengorganisasian beban belajar dalam sistem pembelajaran berdasarkan jam pelajaran per semester.”
Lebih lanjut, Kementerian (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013:1) juga menjelaskan
bahwa,
Struktur kurikulum adalah juga gambaran mengenai penerapan prinsip kurikulum mengenai posisi seorang siswa dalam menyelesaikan pembelajaran di suatu satuan atau jenjang pendidikan. Dalam struktur kurikulum menggambarkan ide kurikulum mengenai posisi belajar seorang siswa yaitu apakah mereka harus menyelesaikan seluruh mata pelajaran yang tercantum dalam struktur ataukah kurikulum memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan berbagai pilihan. Struktur kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran, beban belajar, dan kalender pendidikan.
Pemerintah menjalankan kebijakan terkait kurikulum dengan membagikan dokumen yang
berisi Kompetensi Inti dan Struktur Kurikulum. Secara garis besar, Kementerian (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2013:i)menjelaskan bahwa kompetensi dasar SD/MI,
“...memuat berbagai tema yang diintegrasikan dari Kompetensi Dasar berbagai mata pelajaran. Kompetensi Dasar dikembangkan dari Kompetensi Inti, sedangkan pengembangan Kompetensi Inti mengacu pada Struktur Kurikulum. Kompetensi Inti merupakan kompetensi yang mengikat berbagai Kompetensi Dasar ke dalam aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran. Kompetensi Inti harus dimiliki peserta didik untuk setiap kelas melalui pembelajaran Kompetensi Dasar yang diorganisasikan dalam pembelajaran tematik integratif dengan pendekatan pembelajaran siswa aktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas.”
Integrasi antar mata pelajaran menjadi satu bagian penting dalam pengefktifan implementasi
kurikulum ini di sekolah.
2.1.3 PELAYANAN PENDIDIKAN
Pemahaman tentang pelayanan pendidikan sebagai pembentuk manusia baru dipahami dari
fakta bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan
berjalan sepanjang kehidupan umat manusia. Pelayanan pendidikan acapkali menjadi sesuatu yang
menarik perhatian banyak pihak.
Pentingnya suatu pendidikan bila ditelusuri dari tujuan dibentuknya suatu organisasi
pendidikan menurut Marshall (dalam Hesselbein et al, 1997:216) berkaitan dengan:
...membangun kemampuan belajar, kreativitas, rasa ingin tahu dan kemampuan pemahaman yang komplek. Konsep pendidikan harus membangun kapasitas individual secara terus menerus dan menyamakan belajar secara alamiah dengan menggunakan sifat-sifat evolusioner dari pengalaman manusia itu sendiri dengan hubungan-hubungan dinamis serta arti dan tujuan yang diciptakan bersama-sama.
berdasarkan perspektif tersebut, pendidikan bertujuan untuk mengubah paradigma yang ada menjadi
suatu proses belajar berkelanjutan.
Buchori (dalam Syafrudin 1985:11) menjelaskan bahwa hal yang krusial di tengah perubahan
zaman yang imperatif adalah mendesain relevansi pendidikan nasional supaya lebih dinamis,
responsif, dan antisipatif.
Pendidikan yang baik harus mampu menjadikan setiap orang akan mengetahui hak dan tanggung jawabnya sebagai individu, anggota masyarakat, dan sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan bertujuan untuk membantu generasi muda menjadi manusia yang berkembang semua unsur kemanusiaannya, dan membina secara terpadu fisik, spiritualitas, moralitas, sosialitas, emosi, maupun rasionalitas.
Dalam konteks pemikiran klasik, Myrdal (dalam Nugroho, 2008:193) mengungkapkan “from a
development point of view, the purpose of education must be to rationalize attitudes as well as to
import knowledge and skills.” Hal ini lebih terkait kepada proses pendidikan yang menyiapkan generasi
muda memiliki kemampuan dan pengetahuan yang bisa meneruskan kehidupan selanjutnya.
Tujuan pendidikan berdasarkan pemikiran John Dewey (dalam Tilaar dan Nugroho, 2009:39)
bahwa:
“Education as formation... all education forms character, mental, and moral, but formation consist in the selection and coordination of native activities so that they may utilize the subject matter of social environment. Moreover, the formation is not only a formation of native activities, it is a process of reconstruction, reorganization...Education as reconstruction... it is that reconstruction or reorganization of experiences which adds to the meaning of experience, and which increases ability to the direct the course of subsequent experience...”
Pemahaman yang terungkap dalam pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan terkait
dengan pembentukan karakter, mental, dan moral serta hubungan dengan pengalaman-pengalaman
yang membantu memahami banyak makna di dalam kehidupan.
Terkait pelayanan pendidikan, Hammod (dalam Nugroho, 2004:14) mengungkapkan bahwa
‘semua anak mempunyai hak yang sama dan harus dipenuhi, yaitu hak untuk sekolah’. Hal itu sudah
menjadi kewajiban Negara atau Pemerintah untuk memenuhi hak tersebut. Sebagaimana
diamanatkan UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
(5) Pemerintah memasukkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
Sebagai pendukung, Tomasevski (2003:166) mengungkapkan bahwa pelayanan pendidikan
membutuhkan hal-hal sebagai berikut:
“1.Appealability, tersedianya sarana seperti gedung sekolah dan tempat pelaksanaan belajar
lainnya. 2.Accessibility, keterjangkauan sarana pelaksanaan wajib belajar. 3.Acceptability,
yaitu diterima atau tidaknya bentuk kelembagaan pendidikan oleh rakyat. 4.Adaptability,
kesesuaian lembaga-lembaga pendidikan dengan kebutuhan lingkungannya.”
Pendidikan dalam pengembangan masyarakat di negara berkembang dapat membuka jalan
bagi rakyat miskin untuk memperoleh kesempatan yang sama guna memperoleh pendidikan agar
meningkat derajat kehidupannya. Hal ini menjadi tujuan humanis yang baik sehingga pendidikan yang
berkualitas harus diwujudkan. Drucker (1997:73) mengungkapkan beberapa persyaratan untuk
mewujudkan kualitas pendidikan, yaitu: kebijakan umum terkait visi, metode sistematik terkait
perubahan, cara menentukan perubahan di dalam dan luar organisasi, kebijakan untuk membuat
keseimbangan dan keberlanjutan.
2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
Realitas pelayanan publik di negara Indonesia didasari oleh tuntutan kehidupan sosial
masyarakat yang semakin berkembang dan bertambah kompleks. Hal ini membentuk kebijakan-
kebijakan otonomi yang dipandang sebagai cara-cara efektif dalam mewujudkan tuntutan kehidupan
sosial masyarakat tersebut.
Adiwisastra (dalam Tachjan, 2006:xii) mengungkapkan bahwa “sekalipun implementasi
kebijakan publik memainkan peran penting dalam merealisasikan misi suatu kebijakan publik, tetapi
tidak berarti bahwa implementasi kebijakan publik terpisah dari tahapan formulasi melalui proses
negosiasi, tawar-menawar, atau lobby untuk menghasilkan kompromi”. Stoner dan Freeman
(1994:491) mengatakan bahwa “tidak seorangpun secara fisik mampu mampu melaksanakan seluruh
kegiatan dalam tugas yang kompleks.” Dengan demikian untuk menjalankan tugas organisasi hingga
level daerah, sejumlah langkah diperlukan untuk memungkinkan setiap individu dapat menjalankan
dan menjadi mahir dalam fungsi implementasi kebijakan.
Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu faktor penting dari kebijakan publik
karena dalam prakteknya, hal itu amat terkait dengan perwujudan tujuan yang hendak dicapai.
Menurut Dye (1978:23-24), hasil keseluruhan proses kebijakan umumnya mengikuti garis besar,
“identifying problems, formulating policy proposals, legitimating policies, implementing policies, and
evaluating policies” Lebih lanjut, Pressman dan Wildavsky (1973:8) mengungkapkan implementasi
sebagai suatu “process of interaction between the setting of goals and actions geared to achieving
them.” Pentingnya implementasi digambarkan Steiner dan Miner (1977:16), bahwa seluruh proses
dibagi dalam empat bagian utama yaitu, “strategic planning, programming and short-range program,
implementing, monitoring.
Cheema dan Rondinelli (1983:26-30) menyatakan bahwa implementasi kebijakan dalam
kerangka untuk mencapai tujuan melalui pemberian pelayanan dasar kepada masyarakat, analisisnya
harus didasarkan kepada empat faktor terdiri dari, “Environmental Condition, Interorganizational
Relationships, Resources for Policy Program Implementation, and Characteristics of Implementing
Agencies.” Lebih lanjut dijelaskan keempat faktor tersebut memiliki keterkaitan erat sehingga
eksistensi dan pemeliharaan kondisi faktor-faktor tersebut harus mendapat perhatian. Hal itu untuk
memastikan proses dan mekanisme implementasi kebijakan melalui penyelenggaraan pelayanan
publik dapat berjalan dan mencapai tujuan sesuai yang diharapkan.
Lebih lanjut, Kuswara dalam disertasinya (2011:66-68) secara singkat mengungkapkan bahwa
pengukuran efektif/tidaknya layanan pemerintah di daerah dapat didasarkan pada dimensi-dimensi:
1. “Keserasian pelayanan dengan kondisi masyarakat, hal ini mencakup berbagai kondisi yang diharapkan, maupun yang tidak diharapkan oleh masyarakat berkaitan dengan jenis pelayanan yang bersangkutan.
2. Prestasi pelayanan, pengukuran ini bersifat melengkapi pengukuran kondisi masyarakat. Kedua ukuran ini akan membuat ukuran yang lebih baik dan terpadu dalam pengukuran efektifitas. Prestasi pelayanan berkaitan dengan kuantitas dan kualitas pelayanan yang dapat diberikan.
3. Kepuasan dan persepsi masyarakat terhadap layanan yang diberikan, hal ini sangat penting untuk dipertimbangkan. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan untuk mendapatkan gambaran aktualitas sikap yang sebenarnya dari masyarakat, baik dalam skala spesifik, yakni pelanggan atau pengguna layanan, maupun masyarakat secara umum.
4. Mengurangi dampak yang merugikan bagi masyarakat, hal ini berkaitan dengan kemampuan dalam mengendalikan dampak negatif yang ditimbulkan dari jenis pelayanan yang diberikan. Pengukuran yang digunakan berkaitan dengan upaya ‘quality control’ dari pemberian pelayanan sehingga dapat mencegah kemungkinan timbulnya akibat yang dapat merugikan bagi kehidupan masyarakat pada seluruh aspek yang berhubungan dengan jenis pelayanan.”
Berdasarkan uraian dari para ahli, penelitian ini akan menggunakan kerangka pemikiran
berdasarkan analisis Cheeman dan Rondinelli (1983). Subarsono memberi gambaran terhadap model
Cheeman dan Rondinelli tersebut, sebagai berikut:
Gambar 1
Model
Implementasi
Kebijakan
(Cheema dan
Rondinelli)
Analisis Cheema dan Rondinelli tersebut akan dihubungkan dengan pernyataan Fotzsimmons (dalam
Sinambela 2008:7) yang mengemukakan adanya lima faktor kualitas pelayanan publik, yaitu:
“Reliability yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar, tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, responsiveness, yang ditandai dengan keinginan melayani dengan cepat, assurance, yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, empathy, yang ditandai dengan tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen.”
Intinya implementasi kebijakan kurikulum, seharusnya dapat meningkatkan kualitas pelayanan
publik, terutama yang bersinggungan dengan faktor kondisi lingkungan, hubungan antar lembaga,
sumber pelaksanaan program dan karakteristik lembaga penyelenggara. Hal ini bisa berbentuk
hubungan yang saling mendukung sehingga kualitas pelayanan pendidikan sebagai salah satu layanan
publik dapat tercapai.
2.3 HIPOTESIS
Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, hipotesis yang diajukan adalah: Besarnya dampak
pengaruh implementasi kurikulum sekolah harmonis hijau Kota Singkawang terhadap kualitas
pelayanan pendidikan, ditentukan oleh kondisi lingkungan, hubungan antar lembaga, sumber
pelaksanaan progam, dan karakteristik lembaga penyelenggara.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 LANDASAN FILOSOFI
Burrel dan Morgan (1979:1) berpendapat bahwa ilmu sosial dapat dikonseptualisasikan
dengan empat asumsi yang berhubungan dengan ontologi, epistemologi, sifat manusia (human
nature), dan metodologi.
“Ontologi adalah asumsi yang penting tentang inti dari fenomena dalam penelitian. Pertanyaan dasar tentang ontolgi menekankan pada apakah “realita” yang diteliti objektif ataukah “realita” adalah produk kognitif individu. Epistemologi adalah asumsi tentang landasan ilmu pengetahuan (grounds of knowledge) tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Bentuk pengetahuan apa yang bisa diperoleh? Bagaimana seseorang dapat membedakan apa yang disebut ‘benar’ dan apa yang disebut ‘salah’? Apakah sifat ilmu pengetahuan? Pertanyaan dasar tentang epistemologi menekankan pada apakah mungkin untuk mengidentifikasikan dan mengkomunikasikan pengetahuan sebagai sesuatu yang keras, nyata dan berwujud (sehingga pengetahuan dapat dicapai) atau apakah pengetahuan itu lebih lunak, lebih subjektif, berdasarkan pengalaman dan wawasan dari sifat seseorang yang unik dan penting (sehingga pengetahuan adalah sesuatu yang harus dialami secara pribadi). Sifat Manusia (human nature) adalah asumsi-asumsi tentang hubungan antar manusia dan lingkungannya. Pertanyaan dasar tentang sifat manusia menekankan kepada apakah manusia dan pengalamannya adalah produk dari lingkungan mereka, secara mekanis/determinis responsif terhadap situasi yang ditemui di dunia eksternal mereka, atau apakah manusia dapat dipandang sebagai pencipta dari lingkungan mereka. Sementara itu, Metodologi adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang berusaha untuk menyelidiki dan mendapat ‘pengetahuan’ tentang dunia sosial. Pertanyaan dasar tentang metodologi menekankan kepada apakah dunia sosial itu keras, nyata, kenyataan objektif-berada di luar individu ataukah lebih lunak, kenyataan personal-berada dalam individu. Selanjutnya ilmuwan mencoba berkonsentrasi pada pencarian penjelasan dan pemahaman tentang apa yang unik/khusus dari seseorang dibandingkan dengan yang umum atau universal yaitu cara dimana seseorang menciptakan, memodifikasi, dan menginterpretasikan dunia dengan cara yang mereka temukan sendiri. “
Pada intinya, interaksi antara sudut pandang ontologi, episostemologi, sifat manusia, dan
metodologi memunculkan dua perspektif yang luas dan saling bertentangan yaitu pendekatan
subjektif dan objektif dalam ilmu sosial. Pendekatan dalam penelitian ini lebih bersifat subjektif.
3.2 PARADIGMA PENELITIAN
Paradigma merupakan perspektif riset yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan
untuk melihat realita (world views), bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara yang digunakan
dalam penelitian dan cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan. Dalam konteks
desain penelitian, pemilihan paradigma menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang akan
mendasari dan memberi pedoman seluruh proses penelitian. Paradigma penelitian menentukan
masalah apa yang dituju dan tipe penjelasan apa yang dikembangkannya.
Sarantakos (1998) mengatakan bahwa ada beberapa pandangan dalam ilmu sosial tentang
beberapa paradigma yang ada. Ada tiga paradigma utama dalam ilmu sosial, yaitu positivistik,
interpretif, critical. Penelitian ini akan memfokuskan pada paradigma interpretif. Pendekatan
interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi, dan
pemahaman di dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world
dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya
pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di
luar mereka (Ghozali dan Chariri, dalam Chariri 2009:11). Manusia secara terus menerus menciptakan
realitas sosial mereka salah satunya adalh melalui proses interaksi dengan yang lain. Tujuan
pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana
realita sosial itu terbentuk (Chariri 2009).
Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami
pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai
hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka
subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade-off
antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).
Berikut daftar aspek kunci menurut Neumen (2003,81) tentang paradigma interpretif yang
dibedakan dari paradigma positivistik dan critical:
1. Alasan melakukan penelitian Untuk memahami dan menjelaskan tindakan-tindakan manusia.
2. Asumsi tentang sifat dan realita sosial Realita diciptakan oleh manusia sendiri melalui tindakan dan interaksi mereka.
3. Asumsi tentang sifat manusia Makhluk sosial yang bersama-sama menciptakan arti untuk digunakan sebagai pegangan hidup.
4. Peran common sense Sebagai pegangan yang digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
5. Sifat dari teori yang dihasilkan Gambaran tentang berbagai sistem makna dari sebuah kelompok terbentuk dan menjadi langgeng.
6. Penjelasan yang dianggap baik Masuk akal bagi para pelakunya dan dapat membantu orang lain memahami dunia para pelakunya.
7. Bukti yang dianggap baik Diperoleh langsung dari pelakunya dalam sebuah konteks yang spesifik.
8. Nilai-nilai pribadi pelaku dalam ilmu dan penelitian Nilai-nilai adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tidak ada yang salah/benar, yang ada hanya “berbeda”.
9. Metode penelitian yang digunakan studi kasus spesifik dengan penggunaan alat-alat kualitatif secara intensif, meliputi wawancara, observasi, dan analisis dokumen.Tujuan dari pengembangan teori dalam paradigma ini adalah untuk menghasilkan analisa
deskripsi, pandangan-pandangan dan penjelasan tentang peristiwa sosial tertentu sehingga peneliti
mampu mengungkap sistem interpretasi dan pemahaman (makna) yang ada dalam lingkungan sosial.
Dalam konteks ini, tugas peneliti mencari data dan menganalisisnya dari sudut pandang pelaku
sehingga akan terlihat bagaimana dinamika sosial membentuk pemahaman mereka tentang suatu
fenomena. Dengan demikian, peneliti mencoba menginterpretasikan temuan berdasarkan cara
pandang yang digunakan oleh pelaku yang diteliti. Intinya paradigma ini berusaha mengungkap
bagaimana realitas sosial dibentuk dan dipertahankan oleh individu tertentu dan bagaimana mereka
memaknainya.
3.3.METODOLOGI
Secara umum, metode penelitian yang dilakukan adalah melalui metode penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dalam setting tertentu yang ada dalam
kehidupan riil (alamiah) dengan maksud menginvestigasi dan memahami fenomena: apa yang terjadi,
mengapa terjadi, dan bagaimana terjadinya. Jadi “riset kualitatif berbasis pada Konsep ‘going
exploring’ yang melibatkan in-depth and case-oriented study atas sejumlah kasus atau kasus tunggal”
(Finlay 2006). Penelitian ini ditulis dengan menggunakan metode deskriptif analitik dengan harapan
bisa memudahkan untuk dicerna berbagai kalangan
Adapun penelitian ini memiliki berbagai model, tidak hanya studi kasus. Ada beberapa
model perspektif metodologi yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Searcy and
Mentzer (2003) menjelaskannya dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Model Penelitian Kualitatif
Model Tujuan Metode
Symbolic Interactionism Memahami makna yang muncul dari
interaksi sosial yang ada
Case study, interview,
ethnography, grounded theory
Semiotics Memahami makna dari simbol yang
digunakan oleh individu atau kelompok
individu
Interview, text-based content
analysis, case study, interview,
ethnography, grounded theory
Existential Phenomenology Memahami esensi pengalaman
seseorang dengan cara
mengelompokkan isu yang ada dan
memberikan makna atas isu tersebut
sesuai pandangan orang tersebut
Videotype, interview,
interpretation, ethnography,
observation, grounded theory
Constructivism Memahami bagaimana individu
membentuk realita mereka sendiri
Ethnography, naturalistic
inquiry, interview, observation
Critical Theory Mengidentifikasi adanya dominasi
struktur sosial/ekonomi/power yang
menyebabkan ketidakadilan dalam
masyarakat dan berusaha mengubah
dominasi tersebut
Theory-driven interpretative
essays, interview, observation.
Sumber: Searcy and mentzer (2003)
3.4 OBJEK PENELITIAN
Kota Singkawang merupakan kota tempat dihasilkannya model Sekolah Harmoni Hijau kerja
sama antara Pemkot Singkawang melalui Dinas Pendidikan Kota singkawang pada September 2010
hingga saat ini bersama Wahana Visi Indonesia Kantor Operasional Singkawang, Kalimantan barat.
Sampel akan dilakukan di SDN 2 Singkawang Timur dan SDN 4 Singkwang Utara. Hal ini melibatkan
komponen yang terlibat aktif dalam model sekolah harmoni hijau, yaitu perwakilan dari guru-guru
(tim penebar/non tim penebar), siswa, kepala sekolah, dinas pendidikan kota Singkawang. LSM World
Vision ADP Singkawang, penulis buku Sekolah Harmoni Hijau, Komite Sekolah, orang tua siswa
(paguyuban sekolah harmoni hijau).
3.5 TAHAPAN WAKTU PENELITIAN
Tahapan penelitian akan dilakukan dengan cara menentukan research problem, melakukan
literature review, mengumpulkan data, uji kredibilitas, analisis data, dan menulis hasil penelitian.
Berikut gambaran waktu penelitian:
Tabel 2
Timeline Penelitian
Bagian
Penelitian/Waktu
Semester 1 2013
(Juli-Desember 2013)
Semester 2 2014
(Januari-Juni 2014)
Semester 3 2014
(Juli-Desember 2014)
Semester 4 2015
(Januari-Juni 2014)
Matrikulasi Kuliah
Ilmu Kesejahteraan
Sosial
-Perkuliahan reguler
-Penentuan Research
Problem
Melakukan analisis
hasil monitoring dan
evaluasi
pengimplementasian
kurikulum
pendidikan sekolah
dasar, dalam hal ini
studi kasus pada
sekolah harmoni
hijau kota
singkawang
-Perkuliahan Reguler
(Pemastian
instrumen penelitian
berdasarkan kaidah
ilmu Kesejahteraan
Sosial).
-Telaah dokumen
Buku Sekolah
Harmoni Hijau kota
Singkawang.
-Wawancara
bersama 2 orang
penulis Buku
-Perkuliahan
Reguler (Pemastian
instrumen
penelitian
berdasarkan kaidah
ilmu Kesejahteraan
Sosial).
-Telaah dokumen
Buku Sekolah
Harmoni Hijau kota
Singkawang.
-Wawancara
bersama 2 orang
-Perkuliahan Reguler
(Pemastian
instrumen penelitian
berdasarkan kaidah
ilmu Kesejahteraan
Sosial).
-Observasi Langsung
-FGD bersama anak-
anak dan guru-guru
sekolah sampel
-Pengumpulan data
terbaru
-Pengolahan dan
-Pengeditan dan
Penyempurnaan
Naskah Penelitian
Sekolah Harmoni
Hijau Kota
Singkawang.
-Wawancara
bersama perwakilan
Pemda Kota
Singkawang dan
perwakilan World
Vision Indonesia ADP
Singkawang
perwakilan guru tim
penebar Sekolah
Harmoni Hijau
Singkawang
-Wawancara
bersama 2 Kepala
Sekolah sampel
-Wawancara
bersama perwakilan
Komite Sekolah
sampel
-Wawancara
bersama perwakilan
paguyuban harmoni
hijau
analisis data sesuai
dengan rancangan
penelitian dan
instrumen penelitian
-Pengetikan analisis
data sebagai bagian
dalam draft naskah
tesis
Memberikan
rekomendasi yang
didapatkan dalam
sektor pendidikan
kepada pemerintah
dalam
pengimplementasian
kurikulum sebagai
acuan untuk
menentukan
kebijakan daerah
yang kontekstual di
bidang pendidikan
Perkuliahan Reguler
(Pemastian
instrumen penelitian
berdasarkan kaidah
ilmu Kesejahteraan
Sosial).
-Telaah dokumen
Buku Sekolah
Harmoni Hijau kota
Singkawang.
Perkuliahan Reguler
(Pemastian
instrumen
penelitian
berdasarkan kaidah
ilmu Kesejahteraan
Sosial).
-Telaah dokumen
Buku Sekolah
Harmoni Hijau kota
Singkawang.
-Analisis
Rekomendasi
Kebijakan yang
terkait Layanan
Pendidikan
berdasarkan Tools
-Perkuliahan Reguler
(Pemastian
instrumen penelitian
berdasarkan kaidah
ilmu Kesejahteraan
Sosial).
-Observasi Langsung
-Pengumpulan data
terbaru
-Pengolahan dan
analisis data sesuai
dengan rancangan
penelitian dan
instrumen penelitian
-Pengetikan analisis
data sebagai bagian
dalam draft naskah
-Pengeditan dan
Penyempurnaan
Naskah Penelitian
Monitoring &
Evaluation SHH Kota
Singkawang.
-Penyusunan Draft
Rekomendasi
berdasarkan Tools
Monitoring dan
Evaluation SHH Kota
Singkawang.
tesis.
Penyusunan dan
Pengujian Tesis
-Pemastian
prosedur/pemilihan
sampel dan unit
analisis sesuai
dengan kaidah ilmu
kesejahteraan sosial
-Pengumpulan data
-Pengolahan dan
analisis data sesuai
dengan rancangan
penelitian dan
instrumen penelitian
-Pengumpulan data
-Pengolahan dan
analisis data sesuai
dengan rancangan
penelitian dan
instrumen
penelitian
-Pengumpulan data
terbaru
-Pengolahan dan
analisis data sesuai
dengan rancangan
penelitian dan
instrumen penelitian
-Pengetikan draft
naskah tesis.
-Pengajuan tesis.
-Pengetikan naskah
tesis dan uji validitas
dan hasil penelitian
sesuai ketentuan
universitas.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
-Hasil dan pembahasan akan disampaikan kemudian
5. SIMPULAN DAN SARAN
-Simpulan dan saran akan disampaikan kemudian
6. DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abdul Wahab, Solichin. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Abdul Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan
Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Burrell, G dan G. Morgan, 1979, Sociological Paradigms and Organisational Analysis : Elements of The
Sociology of Corporate Life. London: Heinemann Educational Books. (terjemahan A. Chariri).
Cheema G. Shabbir and Dennis A. Rondinelly (Ed). 1983. Decentralization and Development, Policy
Implementation in Developing Countries. London: Sage Publications, Inc.
Darmaningtyas. 2008. Utang dan Korupsi Racun Pendidikan. Jakarta: Pustaka Yashiba.
Drucker, P.F. 1997. Innovation and Enterpreneurship: Practical and Principles. United State: Harper
Business.
Dye, Thomas R., 1978. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, N.J. Prentice Hall, Inc.
Efferin, et al., 2004, Metode Penelitian Untuk Akuntansi. Malang: Bayumedia Publishing.
Finlay, L. 2006. “Going Exploring’: The Nature of Qualitative Research”, Qualitative Research for
Allied Health Professionals: Challenging Choices. Edited by Linda Finlay and Claire Ballinger.
New York: John Wiley & Sons Ltd.
Hesselbein, Frances et.al. 1997. The Organization of The Future. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.
Islamy, M. Irfan. 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Montessori, Maria. 2008. The Absorbent Mind. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Myrdal, Gunnar. 1981. Obyektivitas Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES.
Neumen, W. L., 2003, Social Research Method: Qualitative and Quantitative Approaches,
Boston,MA: Allyn and Bacon.
Nugroho D., Riant. 2004. Kebijakan Publik- Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Nugroho, Riant. 2001. Reinventing Indonesia Menata ulang Manajemen Pemerintahan Untuk
Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Pressman, J., and Wildavsky, A. 1973. Implementation, How Great Expectation in washington are
dased in Oakland. London; California Press.
Sarantakos, S 1998, Social research, 2nd Ed., South Melbourne: Macmillan Education Australia.
Sinambela, Lijan Poltak. 2008. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Steiner, George A. And Miner, John B. 1977. Management Policy adn strategy: Text Readings, and
Cases. New York: Macmillan.
Stoner, James A.F. & R. Edward, Freeman. 1994. Manajemen. Penerjemah Bakowatun. Wilhemus.
Jakarta: Intermedia.
Syafruddin, Ateng. 1985. Pengantar Koordinasi Pemerintahan di Daerah. Bandung: Tarsito.
Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI.
Tan, Jo Hann & Topatimasang, Roem. 2004. Mengorganisir Rakyat. Yogyakarta: INSIST Press.
Tan, Novita et al. 2013. Buku Sekolah Harmoni Hijau. Singkawang: Wahana Visi Indonesia Kantor
Operasional Singkawang.
Thoha, Miftah. 1991. Perspektif Perilaku Birokrasi. Rajawali: Jakarta.
Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Proses dan Analisis, Jakarta: Intermedia.
REFERENSI LAIN:
Chariri, A. 2009. “Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif”, Paper disajikan pada Workshop Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Semarang: Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.
http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-4 (diakses 4-7 Juni 2013).
http://www.tomasevski.net/documents/2006GlobalReport.pdf (diakses 6 Juni 2013).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Kompetensi Dasar SD/MI. Jakarta: Kemdikbud
Kuswara, Tjatja. 2011. Disertasi: Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembentukan Kota banjar
Terhadap Kualitas Pelayanan Pendidikan. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD.
Moen, Darrel Gene. 1998. Social Transformative in Advanced Capitalism.Japan: Journal of Policy and
Culture.
Searcy, D.L. and J.T. Mentzer. 2003. “A Framework for Conducting and Evaluating Research”, Journal
of Accounting Literature, 22, pp. 130 167.‐
Srini, Susana. 2011. Kerangka Acuan Seminar “Pendidikan harmoni sebagai Model Pendidikan Karakter
yang Kontekstual.” Jakarta: World Vision Indonesia.
Tomasevski, Katarina. 2007. Journal of Educational Planning and administration. USA.