eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/3/bab ii.doc · web viewperusahaan tutup, dimana...
TRANSCRIPT
BAB II
PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. PHK dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan efisiensi diatur
secara rinci dan jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dalam
Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan: ”Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena
mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan
memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).”
Banyak pihak yang menafsirkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya adalah karena “melakukan efisiensi”. Padahal, sebenarnya Undang-Undang Ketenagakerjaan sendiri tidak pernah mengenal alasan PHK karena melakukan efisiensi. Kesalahan penafsiran tersebut mungkin terjadi karena banyak pihak yang kurang cermat membaca redaksional pada ketentuan yang ada (hanya sepenggal-sepenggal).1
Dengan kondisi ini sering sekali dijadikan celah oleh pihak perusahaan
untuk menghilangkan hak warga negara untuk bekerja sebagaimana dijamin
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab, pekerja dapat setiap saat di-PHK
dengan dalih efisiensi meski tanpa kesalahan dan kondisi perusahaan dalam 1 http://boedexx.blogspot.com/2009/08/phk-karena-wfisiensi.html, diunduh pada
tanggal 20 April 2017
16
keadaan baik sekalipun. “Karena itu, Pasal 164 ayat (3) inkonstitusional.”2
Tanggapan lain menyatakan bahwa tujuan perusahaan melakukan PHK dengan alasan efisiensi dilatarbelakangi oleh tujuan untung mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja, pengusaha tidak perlu khawatir melakukan PHK karena efisiensi sebab ada alasan hukum Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.3
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam UU PPHI Dengan berlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan Undang- undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU PPHI.4
Undang-Undang PPHI, istilah sengketa yang digunakan adalah
perselisihan atau perselisihan hubungan industrial. UU PPHI Pasal 1 angka 1
menyatakan: “Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.”
Pasal 1 angka 4 UU PPHI menyatakan: “Perselisihan pemutusan
hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh salah satu pihak.”
2 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d7a30ce95bca/aturan-phk-alasan-efisiensi-dinilai- inkonstitusional-
3 Ferianton dan Darmanto, Op.cit, hal. 2634 http://requestartikel.com/pengertian-dan-pengaturan-pemutusan-hubungan-kerja-
201104727.html, diunduh pada tanggal 20 April 2017.
17
Bahasa yang lebih sederhana atau mudah untuk menggambarkan
ketentuan tersebut, baik pihak pengusaha/perusahaan maupun pekerja berbeda
pendapat mengenai kapan suatu hubungan kerja berakhir. Pihak pengusaha
kadang- kadang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pihak
pekerja, tetapi pihak pekerja merasa dirugikan atas keputusan tersebut karena
merasa masih berhak untuk bekerja.
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, PHK merupakan atau dapat menjadi salah satu penyebab
Perselisihan Hubungan Industrial. Pada Pasal 150 sampai dengan Pasal 172
Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat diketahui mengenai segala sesuatu
terkait PHK, termasuk salah satunya mengenai alasan-alasan melakukan PHK.
Namun sayangnya banyak pihak yang salah menafsirkan mengenai alasan-
alasan melakukan PHK tersebut, mungkin dikarenakan keterbatasan
pemahaman atau juga karena redaksional/klausul pada Undang-undang
Ketenagakerjaan yang banyak disebut mengandung ambiguitas. Salah satu
kesalahan penafsiran yang sering terjadi adalah pada ketentuan Pasal 164 ayat
(3) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dimana disebutkan “Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-
turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi,”.
Hal ini dapat menjadi beban dan tanggung jawab yang berat bagi Divisi
Sumber Daya Manusia/Personalia untuk dapat melakukan PHK karena
18
efisiensi, tanpa menimbulkan perselisihan hubungan industrial dengan
pekerja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dan sosialisasi yang efektif
dan insentif kepada pekerja supaya dapat memahami kondisi perusahaaan.
Pendekatan “orang tua” (perusahaan) dan “anak” (pekerja) akan lebih mengena dibandingkan dengan pendekatan hukum. Namun demikian, pemahaman atas ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan syarat mutlak yang harus dipahami sehingga tidak menjadikan “bom atom” bagi perusahaan karena harus menghadapi gugatan pekerja di kemudian hari.5
B. Alasan-alasan Terjadinya PHK
Ada sepuluh alasan bagi perusahaan untuk mem-PHK Anda dengan mengacu
kepada Undang-Undang No. 13 tahun 2003.
1. Pekerja/buruh melakukan Kesalahan Berat
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.6
Pasal 158, ayat 1 berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
5Ferianto dan Darmanto, Op.cit, hal.264.6 Industrial Relation, Artikel Kasus PHK menjadi Kasus Terpopuler di akses dari
situs http://beritahr.wordpress.com/category/industrial-relation/ di unduh tanggal 10 April 2017.
19
merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai
dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan; dengan
ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; ata
i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam PP/PKB, tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat (dalam PP/PKB) tersebut, harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang. Demikian juga sebelum melakukan PHK, harus terlebih dahulu melalui mekanisme yang ditentukan, misalnya dengan memberi surat peringatan (baik berturut- turut, atau surat peringatan pertama dan terakhir) untuk jenis kesalahan berat yang ditentukan PP/PKB. 7
Namun, perlu kita ketahui bahwa alasan PHK berupa kesalahan
berat yang dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti 7Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal.74
20
misalnya:
1) pekerja/buruh tertangkap tangan;
2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
2. Pekerja/buruh Melakukan Diduga Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari kata istilah yang dikenal dalam Hukum Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.8
Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-
perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan
adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan
yang anti sosial. Pasal 160, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh
ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
bukan atas pengaduan pengusaha, "
3. Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Kerja
Pasal 161, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
8Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.67
21
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut." Bila Anda tidak mengindahkan peraturan perusahaan dan
Anda tidak mengindahkan surat peringatan yang diberikan oleh
perusahaan kepada Anda- ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja.
4. Pekerja/buruh Mengundurkan Diri
Salah satu jenis PHK yang inisiatifnya dari pekerja/buruh adalah
pengakhiran hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri atas
kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (izin). Syarat yang harus
dipenuhi apabila seorang pekerja/buruh mengundurkan diri agar
mendapatkan hak-haknya dan mendapatkan surat keterangan kerja/
eksperience letter adalah permohonan tertulis harus diajukan selambat-
lambatnya 30 hari sebelum hari h tanggal pengunduran diri. Hal yang
harus dilakukan pekerja/buruh yang mengundurkan diri adalah sebagai
berikut :
1) Pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas.
2) Selama menunggu hari h, pekerja/buruh harus tetap melaksanakan
kewajiban sampai tanggal pengunduran diri dari yang ditentukan. Hal
ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pengganti formasi untuk
jabatan dimaskud atau dalam rangka transfer of knowledge.
5. PHK Karena terjadi Perubahan Status, Pengabungan, Peleburan, atau
Perubahan Kepemilikan Perusahaan.
Apabila terjadi PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan
22
(merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan kepemilikan perusahaan
(akuisisi), dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja
maka terhadap pekerja/buruh berhak atas uang pesangon satu kali dan
uang pengganti hak. Apabila PHK yang terjadi disebabkan oleh perubahan
status, merger, atau konsolidasi, dan pengusaha tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja dengan pekerja/buruh berhak uang pesangon
dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang pengganti hak.
Pasal 163, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi peru- bahan
status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan
dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja."
6. PHK karena Likuidasi
Pasal 164, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang
disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama
2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur)" Kerugian
perusahaan yang dimaksud harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2
(dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
7. Perusahaan melakukan efisiensi
Ini merupakan alasan phk yang sering digunakan. Pasal 164, ayat 3
menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa
23
(force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi."
8. Perusahaan mengalami Pailit
Pasal 165 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit,.." Kata
pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan
pembayaran.kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang
debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya
dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga,
dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta
debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan
disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang
oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau
warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya
ngertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar
dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri,
maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan
permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari
keadaan tidak mampu membayar.
Orang sering menyamakan arti pailit ini sama dengan bankrupt atau bangkrut dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut penulis pengertian pailit tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan, tetapi pailit bisa
24
terjadi pada perusahaan yang keadaan keuangannya sehat, perusahaan tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh tempo dari salah satu atau lebih kreditornya. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.9
9. Pekerja/buruh Memasuki Usia Pensiun
Pasal 167 ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun..."
Ini merupakan alasan PHK yang normal.
10. Pekerja/buruh Mangkir Selama lima (5) hari berturut-turut
Pasal 168, ayat 1 menyebutkan, "Pekerja/buruh yang mangkir selama 5
(lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis
yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha
2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya
karena dikualifikasikan mengundurkan diri."
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya PHK
1. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan
Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai menjalin kerja bersama. Dengan adanya keterikatan bersama antara para tenaga kerja berarti masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Demikian pula sebaliknya, apablia terjadi PHK berarti manajer tenaga kerja dituntut untuk memenuhi hak dna kewajiban terhadap tenaga kerja sesuai dengan kondisi pada saat terjadi kontrak kerja. 10
9 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100121091038AA5F9h1, diunduh pada tanggal 20 April 2017.
10B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga kerja Indonesia, Pendekatan Administratif dan Operasional, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005 hal.1
25
Bagi setiap pekerja/buruh, pengakhiran atau PHK bisa sejauh
mimpi buruk. Setiap pekerja/buruh sedapat mungin mengupayakan agar
dirinya tidak sampai kehilangan pekerjaan. PHK dapat berarti awal dari
sebuah penderitaan. Namun demikian, suka atau tidak suka, pengakhiran
hubungan kerja sesungguhnya adalah sesuatu yang cukup dekat dan
sangat mungkin serta wajar terjadi dalam konteks hubungan kerja,
hubungan antara majikan (pengusaha) dengan pekerja/buruh.
Seseorang pengusaha dalam mengembangkan usahanya selalu berkeinginan agar perusahaan yang dimlikinya dapat berjalan dengan baik dan sukses, hal ini bdapat terlaksana apabila produksi barang-barang yang dihasilkan dapat diminati dan laku terjual dipasaran dengan harga relatif murah dan kualitas baik. Salah satu keberhasilan yang didapat adalah adanya kerjasama yang baik antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Kondisi demikian tidak mudah terlaksana terus-menerus karena setiap pekerja/buruh ada yang patuh dan taat pada pemimpin dan ada juga yang tidak mematuhi perintah yang diberikan.11
Setiap orang mempunyai tujuan dan motivasi yang berbeda dalam
melakukan pekerjaan. Bagi mereka yang tidak patuh atau menentang
perusahaan dapat diberikan teguran atau sanksi balikan yang lebih tegas
diputuskn hubungan kerjanya.
Secara yuridis dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK
oleh perusahaan disebabkan oleh :
a. Perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu rasionalisasi atau
pengurangan jumlah pekerja/buruh. Dalam hal PHK dengan alasan
rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/buruh dalam Undang-
undanhg Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 151 ayat (1) ditentukan bahwa
11Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Panduan bagi Pegusaha, Pekerja, dan Calon Pekerja, Cetakan I, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2008, hal.106
26
pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh dan pemerintah,
berupaya mengusahakan agar tidak terjadi PHK. Dalam hal, upaya
tersebut telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka
maksud PHK wajib dirundingkan oleh pegusaha dan SP/SB atau
dengan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota
SP/SB.
b. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang
melanggar ketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan,
perjanjian kerja atau PKB (kesalahan ringan), maupun kesalahan
pidana (kesalahan berat). Pekerja/buruh yang diputus hubungan
kerjanya karena alasan telah melakukan kesalahan berat hanya dapat
memperoleh uang pengganti hak.
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan rasionalisasi atau
kesakahan ringan pekerja/buruh dalam undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 dalam Pasal 151 ayat 1 ditentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/buruh dan pemerintah dengans egala upaya harus
megusahakan agar jangan terjadi PHK. Apabila uapay tersebut telah
dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
dengan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
Apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
27
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga PPHI yang
dalam UU PPHI. Permohonan penetapan PHK diajuakn secara tertulis
kepada PHI disertai dengan alasan yang menjadi dasarnya. Permohonan
tersebut akan diterima apabila rencana PHK tersebut dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh,
apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh. Selama putusan PHI belum ditetapkan, baik
penugsaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya, atau pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh.
2. Pemutusan Hubungan Kerja karena Pekerja/Buruh
Pekerja/buruh sebagai manusia merdeka berhak memutuskan hubungan kerja dengan cara mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kehendak untuk mengundurkan diri ini dilakukan tana penetapan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hak untuk mengundurkan diri melekat pada setiap pekerja/buruh karena pekerja/buruh tidak boleh dipaksa untuk bekerja bila tiba ia sendiri tidak menghendakinya.12
Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
pihak pengusaha, karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh
dipaksa untuk terus-menerus bekerjasama apabila ia sendiri tidak
menghendakinya. Dengan demikian PHK oleh pkerja /buruh ini,yang
aktif untuk meminta diputuskan hubungan kerjanya adalah pekerja/buruh
tersebut.
12 Maimun, Hukum Ketengakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hal.100
28
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada
lembaga PPHI,dalam hal pengusaha melakukan perbuatan:
a. Menganiaya,menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;b. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertemtangan dengan peraturan perundang-undangan;c. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3
(tiga) bulan berturut-turut atau lebih;d. Tidak melakukan kewajiban yang telah di janjikan kepada
pekerja/buruh;e. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar
yang diperjanjikan; atauf. Memberikan pekerjaan yang membahayakna jiwa, keselamatan,
kesehatan atau kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. 13
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan
pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari
lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 Ayat 4. Selain uang penggantian hak, pekerja/buruh
diberikan uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja,peraturan perusahaan atau PKB. Pekerja atau buruh yang
mengundurkan diri tersebut harus memenuhi syarat:
a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. Tidak terikat dalam ikatan dinas; danc. Tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran
diri.14
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri tersebut berhak atas uang pengganti hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung,selain menerima uang pengganti hak diberikan pula uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
13Lalu Husni, Op.cit, hal.18614Ibid, hal.187
29
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 15
3. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
Selain PHK oleh pengusaha, pekerja/buruh , hubungan kerja juga
dapat putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut
harus putus dengan sendirinya. Pekerja /buruh tidak perlu mendapatkan
penetapan PHK dari lembaga yang berwenang. PHK demi hukum adalah
pemutusan hubungan kerja yang terjadi dengan sendirinya sehubungan
dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian yang dibuat oleh majikan
dan buruh. PHK demi hukum terjadi apabila karena satu alasan dan lain
hal hubungan kerja oleh hukum dianggap sudah tidak ada dan oleh karena
itu tidak ada alas hak yang cukup dan layak bagi salah satu pihak untuk
menuntut pihak lainya guna tetap mengadakan hubungan kerja.
Karena itulah pemutusan hubungan kerja terjadinya bukan karena
sebab- sebab tertentu bak yang datangnya dari pihak buruh maupun
majikan, Pasal 1603e Perdata menyebutkan : “Perhubungan kerja
berakhir demi hukum, dengan lewatnya waktu yang ditetapkan dalam
persetujuan maupun reglement atau dalam ketentuan undang- undang atau
lagi maijkan itu tidka ada oleh kebiasaan ”.
Demikian juga dalam pasa 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-05/MEN/1986 tentang kesepakatan kerja untuk waktu
tertentu dikatakan : “Kesepakatan kerja untuk waktu tertentu berakhir
demi hukum dengan berakhirnya waktu yang ditentukan dalam
kesepakatan kerja atau dengan selesainya pekerjaan yang disepakatinya”15Maimun Op.cit, hal.101
30
Meskipun pemutusan hubungan kerja itu terjadi dengan sendirinya namun para pihak dapat memperjanjikan untuk mengadakan pemberitahuan apabila perjanjian kerja itu berakhir. Pemberitahuan ini nantinya dapat diikuti dan ketentuan apakah perjanjian kerja/hubungan kerja itu akan diakhiri atau tidak. 16
Selain dapat terjadi karena berakhirnya jangka waktu perjanjian,
pemutusan hubungan kerja/perjanjian kerja demi hukum ini juga dapat
terjadi karena meninggalnya pekerja (Pasal 160 3e KUHPerdata jo. Pasal
13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/PEN/1986). Ketentuan
Pasal ini dapat dimengerti karena sesuai dengan asas hukum perjanjian
yang oleh Soebekti disebut sebagai asas kepribadian. Seperti yang
disimpulkan dari ketentuan Pasal 1331 KUHPerdata yang menentukan
bahwa ssorang hanya dapat mengikatkan diirnya sendiri. Akan tetai jika
yang meninggal dunia itu adalah majikan/pengusaha, maka hubungan
kerjanya tidak putus atau berakhir (Pasal 1603 KUHPerdata jo. Pasal 14
ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-05/PEN/1986 ).17
PHK demi hukum dapat terjadi dalam hal:
a. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak
memperoleh uang penggantian hak dan juga diberikan uang pisah yang
besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau PKB;
b. PHK dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan
tanpa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial;
16 H. Zainal Asikin, H. Agusfian Wahab,Lalu Husni, Zaeni Asyhadie, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, 1993,hal.175
17 Ibid, hal.176
31
c. Perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja;
d. Perusahaan tutup, dimana perusahaan mengalami kerugian secara
terus-menerus selama 2(dua) tahun sehingga terpaksa harus ditutup
atau keadaan memaksa (force majeur), pengusaha dapat melakukan
PHK;
e. Pengusaha juga dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan bermaksud hendak melakukan efisiensi. Dalam hal
rasionalisasi ini, pekerja/buruh yang akan diputuskan hubungan
kerjanya, harus diperhatikan:
1) Masa kerja;
2) Loyalitas; dan
3) Jumlah tanggungan keluarga.
f. Pengusaha dapat melakukan PHK tehadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit;
g. Dalam hal hubungan kerja berakhir, karena pekerja/buruh meninggal
dunia;
h. Pengusaha dapat melakukan PHK tehadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pensiun
i. Pekerja/buruh mangkir(tidak masuk kerja) selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang
dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha
32
2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya
karena dikualifikaikan mengundurkan diri. Keterangan tertulis dengan
bukti yang sah tersebut harus diserahkan paling lambat pada hari
pertama pekerja/buruh tidak masuk kerja;
j. PHK oleh pekerja/buruh, meskipun dalam praktik, PHK oleh
pekerja/buruh sangat jarang atau bahkan tidak mungkin ada, namun
yuridis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh
pekerja/buruh ini dimungkinkan.
4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari
terjadinya PHK. Upaya-upaya yang dapat dilakukan pengusaha untuk
menghindari PHK dapat berupaa pengaturan waktu kerja, penghematan
(efisiensi), pembenaran metode kerja, dan pembinaan kepada
pekerja/buruh. Pembinaan dapat dilakukan kepada pekerja/buruh yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanian kerja bersama dengan cara memberi surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Masing-masing surat peringatan
tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan kecuali ditentukan lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Apabila segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak dapat dihindarkan, maksudnya PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat pekrja/bruhatau apabila pekerja/buruh bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh, perundingan dapat dilakukan dengan pekerja/buruh secara langsung. Apabila perundingan yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan maka pengusaha mengajuakn permohonan penetapan PHK secara tertulis kepada lembaga penyelesaian
33
hubungan industrial (PPHI) disertai alasan yang menjadi Dasarnya.18
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah menerima permohonan PHK akan memanggil para pihak untuk dimintai keterangan di muka persidangan. Berdasarkan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan, lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menetapkan keputusan yang berisi menolak dan mengabulkan PHK yang diajukan. Apabila lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menolak permohonan PHK maka terhadap pekerja/buruh bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Apabila permohonan PHK dikabulkan maka hubungan kerja putus terhitung sejak penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.19
18 Maimun, Op.cit hal.9919 Ibid, hal. 100-101
34